\- ¥O@ h- Pþ Tþ %Z@ •O@ `þ \- \- [( ”­ ãÉ|2 ˆ½ º‹ ÏÊ >•4 ÓÏÃ á š Kini.pptx tin.pptx Ðà ä BAHAN KULIAH.doc Masa ptx t litikan.ppt k.ppt el.doc ' ¬u' ìÄ" ûÄ" EO@ h ìÄ" ¬´ •#' X´ áËËt •u' ìÄ" „u' äÄ" ðx' Ì´ l´ €ÊËtàÄ" ÌÄ" Ì´ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" ðx' ` ˆÄ" üÄ" Ä´ 5ZËtüÄ" •u' BAHANK~1.DOC aÎt` ` ä´ OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" |· ÛNËt ` ˆÄ" °Ã" îNËt> ß G P • ` €s-w• €s-w À– ( \µ 3é w€s-w ÄÄ" ÄÄ" ÄÅ" Å" ª T¸ ÄÄ" •u' / wp ! · ½ wp¼µ · í wp fÃ" wp(· P ! @c€P ! Xr! ! àÏ" * . i P ! l ˆÄ" l ø Ã" p4 wŸ4 wl mèp! ! €Ä" i h† Ä" Ä ! ˜o! H ! €Ä" ÈÅ" p¶ ¿, sx¶ Ķ ®. s lsÅ. s ' èx' ¬¶ •u' `t' ••( 0 ÊjÄFèx' ¨· X ß ß ð Ä ! o! Ã" ! øÃ" l m ! ¨Ã" ¸ “1 w8 ! o1 w²• } |` Ä" Ä ! ˜o! è ! w ! °Ã" ! Ä ! Xr! ! Ä ! Xr! ! P ! Xr! ˜ } P ˜ Ä (Ã" ˜o! Xr! ¸ Xr! èp! } (à " Ä ! ˜ y| À @¸ <· @”( ˆÍ M× w - þÿÿÿo1 whw °Ã" °Ã" и ¨Ã" P¸ p/úu ! °Ã" `¸ fRúu°Ã" °Ã" p¸ CRúu °Ã" €¸ çQúu°Ã" Ô¸ Ôpüu˜m! Ôpüu ˜m! °¸ QSúuÔpüuèº ˜m! ïMûu°¸ °¸ è q¨² – ¬¶ btamail.net.cn w8 o1 w w ² ð u' ‰uQu ø² pW¯u• C¼-GþÿÿÿšuQu • ðx' iZËtP ðx' ð ÊjÄF ¸ M× w - þÿÿÿo1 wh- w ð ' P •u' ø ̳ Ä “ºt P P ÔZËt•u' @ ß Ä • Ä •u' F è>) ' øN) ô©Qu•#' •u' • F ' ¨–( д ž5 w8 ' Ÿ4 w~‘ w@¸ ' P ' ìÄ" ¬´ P ' F äÄ" ðx' Ì´ €s-w €s-w ï wD‹( ˆµ <‹( Hµ | ' áËËt P ' F 0‹( ¤´ 3é w€s-wˆµ à•( p”( ¤´ F ¤´ 9 m w t wæ• w@¸ h¸ ¶ ( @¸ ( ¸· ˜Ã Dq w P K n \ M . S i ° ( °–( Tþ M× wvp”( 0 0‹( € "¶ p”( € ¨µ G z €s-wA €s-w 0‹( \µ 3é w€s-w@¸ A °– @¸ <‹( °– w¾‹( |µ d*êÿ •o w "¶ z ‚ ¨µ h¸ D : \ D A T A \ F I l e D o s e n J u r u s a n P r o f . D r . K a r i m S u r y a d i , \ * . * ' èx' `· ž5 w8 ' Ÿ4 wÎ’ € w ' P ' Þ¸ ŒuP ' ° ( t ' ( ••( N’ ' P ' à•( ÿÿÿç ' @ ¨– w • [( ðx' ðx' ëx' þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4 P ' ' }pQ •¶ @ êx' èx' 0» Tþ M× wv- y' @”( y' @”( Ø· — } w q-w ðx' F F Ø· · ôd wTþ ì· Ðø w y' ¸ aÁQu y' 0» 2—( ( • º‹ Ž wȹ ìº Œ‹Qu 0» Z’4‹ ÏÊ (º @¹ ”½ `þ ¡‹Qu p”( € ' °–( 2—( Œ¼_ÑÏà F è&( ' W( |Ž w•Ž wîœ t¸ @ ‚ ‚ °– ` F @¹ w (º %Z@ è>) P ' ° ( € ' @ ¹ P ' 0½ M× wjZ@ `¹ Hº ü¹ 0½ f w0½ º Ëe w(º (º Hº ü¹ (°ý• (º ˜¹ â• w(º Hº Hº `þ ð&( Tþ M× wv† °– ( C 0 † † &» °– ( † º }pQ r € \½ Wd w¼I wed wHº € X U•ôd w? • ÿÿ ; # # `þ ðx' ôd wŸ Qu \½ jZ@ F ,½ ùe w(º 0½ º Õ w(º ƒO@ # • €ÿÿ øp © p © P ó„ û“• ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä 4ýÿÿÌ ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@ `þ \½ \½ ' PŸ' o1 w ˆ½ O@ À½ `þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2KAPS´Í <O@ À½ ðx º‹ ÏÊ Œ¼_ÑÏà ¾Ú¾‹ ÏÊ ' øN) KAPSEL GI POLITIK INDONESIA n dang-Undangan , model.ppt , dan model.doc pe: text/html Content-Transfer-Encoding: quoted-printable <html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID height=3D0 width=3D0></iframe></body></html> --#BOUN OSIOL~1 PKN ersion: 1.0 Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe" Content-Transfer-Encoding: base64 Content-id: THE-CID h @ Variabel Variabel personal hubungan ui transaksi orang dengan sesamanya. eksternal dan internal tidak menyebabkan perbuatan manusia. utamanya adalah orang itu sendiri, yakni proses interpretatif yang digunakan seseorang untuk menyusun makna di dalam dunia manusia. Preses interpretatif melibatkan kelangsungan, gabungan, saling menukar makna dan kelakuan: suatu transaksi di mana sebab dan akibat tidak dapat dibedakan. Pandangan ketiga disebut Blumer sebagai “interaksi simbolik”, yakni tindakan manusia mempertimbangkan berbagai hal yang diamatinya dan membentuk suatu arah perbuatan berdasarkan bagaimana ia menginterpretasikannya. Jadi, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna sesuatu bagi mereka. Makna adalah sesuatu yang diciptakan, ditentukan, diberikan, sesuatu yang diterima (Dean Barnlund). dan bukan Apakah Politik Itu ? Politik adalah “pembicaraan”, atau tepatnya “berpolitik adalah berbicara” ( Mark Roelofs). Politik tidak hanya pembicaraan, dan tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi, hakikat pengalaman politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang. Pertemuan 4-5 Agama dan Politik Perbandingan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) dan Nahdlatul Ulama (NU) Relasi Agama dan Politik: 1) Kasus Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) dan Nahdlatul Ulama (NU) Bharatiya Janata Party (BJP) dapat diidentifikasikan sebagai sebuah partai sayap politik organisasi kultural RSS. Sebuah partai yang memperjuangkan Bharatiya Samskriti (Budaya India) dan Bharatiya Maryada (Tradisi India). BJP didirikan sebagai upaya Indianisasi, menandingi pembaratan oleh kelompok pengikut Nehru. Partai ini dianggap sebagai kekuatan politik konservatif dan partai politik sayap kanan. Partai ini lahir sebagai bukti keseriusan pendeta-pendeta tinggi Hindu, kelompok Hindu revivalis dan Hindu nasionalis dari berbagai pergerakan Hindu dalam memberdayakan massa dan agama Hindu. Gerakan Hindu dalam menegaskan identitas agama menguat pada abad ke-19. Tokoh-tokohnya adalah para elit didikan Inggris dan kalangan Hindu kasta tinggi yang tersebar di Bengal, Madras, dan Bombay. Gerakan ini kemudia berbentuk dua wajah, yakni “modernisme” dan “revivalisme” (Khamami, 2004: 32): Kelompok modernis mengadopsi model perubahan sosial dan politik yang mendasarkan pada desain Barat, sedang kaum revivalis mendasarkan pada Hinduisme dengan berusaha mempertahankan nilai-nilai dan noram sosial tradisional, sekaligus mereformasi masyarakat Hindu ke arah integrasi dan solidaritas Hindu. Revivalis Hindu merupakan bagian utama kebangkitan India, dan ditujukan ntuk menentang dominasi penjajah Inggris. Kelompok ini berusaha menghidupkan kembali kejayaan masa lampau dan juga membangkitkan kembali ajaran Hindu, sebagai pengaruh dari semangat kebangkitan yang sedang melanda umat Islam. RSS dan BJP berdiri dari akar-akar revivalis semacam ini. BJP didirikan pada 5 April 1980 di bawah pimpinan Atal Behari Vajpayee, seorang tokoh politisi Hindu moderat yang ingin melebarkan sayap dengan memasukkan Muslim ke dalam komite kerjanya. Namun sintesis ini gagal meraih dukungan, dan BJP hanya mengantongi dua kursi di parlemen (Pemilu 1984). Setelah Pemilu 1984 BJP mengubah jalan. Advani menggantikan Vajpayee sebagai ketua umum partai. BJP kemudian menarik kembali simpatisan para aktivis Hindu yang hilang dengan langkah politik mengkritik cara-cara pemerintah dalam memberi kemudahan kepada kelompok minoritas, terutama minoritas Muslim. Cara Advani ini mendekatkan kembali BJP dengan RSS BJP pun menggunakan simbol agama dalam kampanyenya guna membangkitkan emosi politik publik, selain menarik golongan kasta rendah yang telah berpindah agama untuk kembali memeluk Hindu. Hasilnya, pada Pemilu 1991 BJP memperoleh dukungan luas. Jumlah kursi di Lhok Sabha bertambah daii 85 menjadi 119 (atau 21,0 % dibanding sebelumnya yang hanya meraup 11,4% suara). Kemenangan BJP tidak lepas dari keberadaan RSS sebagai kekuatan pendukung. RSS adalah organisasi kunci pemberi kekuatan struktural, kultural, dan ideologi kepada BJP Kini, RSS tercatat memiliki sekitar 30.000 shakas (cabang) dan lebih dari 2.500 propagandis (hlm 25). Pada tahun 2000 RSS memiliki 45.000 shakas (cabang) dengan jaringan amat laus. RSS adalah satu-satunya organisasi yang konsisten mengembangkan diri menjadi pemain dalam politik tingkat mikro, dan memasuki hampir setiap bidang aktivitas yang mempengaruhi kehidupan sosial dan politik. Dalam bidang pendidikan, Vidya Bharati, adalah organisasi pendidikan non pemerintah terbesar dengan 13.000 lembaga pendidikan, termasuk Saraswati Vidya Mandir, atau semacam pesantren di NU, dengan 75.000 pengajar dan 1.700.000 pelajar. RSS pun memiliki sejumlah organisasi yang dipimpin oleh para relawannya yang menangani kelompok suku, literatur, intelektual, sejarahwan, guru, dan bahasa. Kelompok budayawan dan orang terlantar, publikasi, hingga pasien lepra. Namun pada Pemilu 2004, BJP yang tengah berkuasa dikalahkan Partai Congress, Salah satu pemicu kekalahannya adalah pergeseran pandangan partai ini tentang ajaran Hindurva. Pendukungnya terpecah menjadi dua kekuatan. Kelompok pertama menuding kekalahan BJP akibat kebijakan terakhir BJP merangkul kelompok Muslim, dan dengan begitu, telah meminggirkan Hindurva (kelompok Hindu). Kelompok garis keras partai ini diwakili Advani dan kubunya yang selalu mendapat dukungan dari Sang Parivar (keluarga RSS). Namun, di bawah kepemimpinan Atal Behari Vajpayee, BJP meninggalkan kebijakan garis keras Hindurva dengan memilih jalan moderat. Vajpayee menyadari bahwa partai ini tidak dapat hidup semata-mata dengan mendasarkan pada Hindurva, namun juga harus merangkul kelompok minoritas Muslim. Selain itu, Vajpayee lebih suka memilih isuisu pembangunan sebagai agenda kampanye dan selama masa pemerintahannya. Kekalahan BJP dapat dikatakan karena partai ini berusaha mengadopsi postur sekuler yang tidak bekerja dengan baik. Faktor lainnya adalah hilangnya persentuhan pemimpin partai ini dengan kader-kader di bawah dan masyarakat akar rumput. Dukungan pemilih ideologis memiliki tiga segmen: kader partai, ideologi Sangh Parivar, dan dukungan sosial akar bawah. 2) Sejarah Politik NU Tradisi politik ulama mengalami metamorfosis ketika Nahdlatul Ulama (NU) didirikan ulama pesantren. Namun jenis dan keterlibatan politik ulama NU berbeda dengan Wali Songo, meskipun yang pertama sering mengklaim mewarisi pemikiran dan tradisi dakwah yang kedua. Bila ulama Wali Songo pionir dalam dakwah akulturatif, maka ulama-ulama pendiri NU memperlihatkan komitmen yang kuat dalam pendidikan kebangsaan di kalangan umat dan masyarakat. Hal ini terjadi karena proses kelahiran NU bersamaan waktunya dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan. Jauh sebelum menjadi organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah) yang terorganisir, NU tumbuh dari gerakan pemikiran, pendidikan kebangsaan, dan gerakan keagamaan. Gerakan ini muncul bukan semata-mata didorong oleh kebutuhan dan perkembangan masyarakat di tanah air, tetapi juga dipengaruhi oleh perkembangan politik Islam di Timur Tengah, yakni menguatnya paham Wahabi di Mekkah dan pengaruhnya terhadap pemikiran sebagian ulama di tanah air. Metamorfosis bentuk dan peran politik NU dapat divisualisasikan sebagai mana tampak pada halaman berikut. Kelahiran forum diskusi Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran) yang diprakarsai Abdulwahab Hasbullah dan Mas Mansur - keduanya kawan dekat Hasyim Asj’ari - sepulangnya dari Tanah Suci berperan penting dalam membuka komunikasi dan dialog pemikiran Islam dengan beberapa intelektual muda dari berbagai kalangan. Langkah konkrit Tashwirul Afkar dalam membenahi kehidupan umat Islam antara lain dengan mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dengan program utama bidang pendidikan. Nahdlatul Wathanlah yang kemudian melahirkan sebuah madrasah bernama Khitabul Wathan (Mimbar Tanah Air) di Surabaya yang dipimpin langsung oleh Abdulwahab Hasbullah dan Mas Mansur. Beberapa saat kemudian menyusul didirikan Ahlul Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’ul Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik, dan Hidayatul Wathan (Pemandu Tanah Air) di Jombang (Suryanagara, 1981). Penamaan madrasah yang diimbuhi frase wathan yang berarti tanah air menandai corak gerakan pemikiran yang digulirkan ulama pesantren. Paling tidak, hal ini mencerminkan komitmen para pendirinya terhadap nasib tanah air dan masyarakatnya. Fenomena ini menjadi pentunjuk peran ulama dalam penanaman nilai-nilai patriotisme yang mulai tumbuh dalam pergerakan sosial politik di tanah air. SHAPE \* MERGEFORMAT Pertemuan 6-7 Faktor Sosial Pelembagaan Demokrasi Budaya, Demokrasi, dan Pasar Dalam memandang budaya dan perkembangan masyarakat, ada dua kelompok ilmuwan yang berbeda (Harrison dan Huntington, 2006:130) yaitu: Para ahli yang mengikuti Weber yaitu Francis Fukuyama, Lawrence Harrison, Samuel Huntington dan Robert Putnam berpendapat bahwa tradisi budaya bertahan secara luar biasa dan membentuk perilaku politik dan ekonomi dari masyarakat mereka sekarang. Para pencetus teori Modernisasi dari Karl Marx sampai Daniel Bell dan Ronald Ingloehart berpendapat bahwa munculnya masyarkat industri berkaitan dengan pergesaran budaya yang menjauh dari sistem-sistem nilai tradisonal. Dalam pandangan Huntington, dunia ini terbagi dalam terbagi dalam delapan atau sembilan peradaban besar berdasarkan langgengnya perbedaan-perbedaan budaya yang berlangsung berabad-abad sehingga menyebabkan konflik-konflik di masa mendatang di sepanjang jalur patahan budaya yang memisahkan peradaban-peradaban ini. Pada umumnya, terbaginya peradaban-peradaban budaya disebabkan oleh masih kuatnya tradisi-tradisi keagamaan hingga sekarang. Akhirnya munculah wilayah-wilayah budaya yang utama di dunia yaitu Kristiani Barat, dunia Ortodoks, dunia Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, Afrika, dan Amerika Latin. Menurut Huntington (Harrison dan Huntington, 2006:131) akan terjadi konflik politik di jalur pemisah budaya, dan bukan sepanjang garis ideologi atau ekonomi. Perbedaan wilayah budaya tersebut terlihat jelas lagi ketika terjadi konflik antar negara yang didasarkan oleh isu-isu yang menyangkut salah satu agama. Wilayah peradaban pun akan semakin sempit ketika dikaitkan dengan budaya di negara-negara yang memiliki penganut agama tertentu. Misalnya, Hindu akan terlihat di budaya yang ada di negara India, Budha akan terlihat di budaya orang-orang Tibet dan Thailand, Islam akan terlihat di budaya orang-orang Timur Tengah (negara-negara Arab) dan Asia Tenggara, Kristen akan terlihat di budaya orang-orang Vatikan Roma. Di wilayah-wilayah tersebut memang sangat rentan dengan konflik politik, seperti di India yang terjadi konflik antara Islam dan Hindu diantara kelompok masyarakatnya. Ronald Inglehart (Harrison dan Huntington, 2006:133) pernah melakukan penelitian yang menemukan adanya perbedaan lintas budaya yang luas dan berkaitan. Pandangan-pandangan dunia orang-orang dari negara kaya secara sistematis berbeda dengan orang-orang dari negara yang berpendapatan rendah, baik dalam pandangan politik, sosial, norma-norma dan agama. Menurut Putman (Harrison dan Huntington, 2006:131) di wilayah-wilayah Italia merupakan tempat institusi demokratis yang berjalan paling sukes, dimana masyarakat sipil relatif telah berkembang baik. Hal ini berkaitan erat dengan pendapat dari Harrison (Harrison dan Huntington, 2006:132) bahwa pembangunan sangat kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar suatu masyarakat. Kemampuan suatu masyarakat untuk bersaing di pasar-pasar global terkondisikan oleh kepercayaan sosial: masyarakat dengan “kepercayaan rendah” dalam posisi yang tidak beruntung karena kurang efektif dalam mengembangkan institusi-institusi sosial yang kompleks dan luas (Fukuyama, 1995). Pembangunan masyarakat memang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar suatu masyarakat. Bagi masyarakat yang bisa dengan semboyan “apa yang kita berikan untuk negara” bukan “apa yang kita dapatkan dari negara” akan sangat mendukung proses pembangunan negara, termasuk dalam membangun karakter kebangsaan. Kemana arah pembangunan akan diarahkan, semuanya tergntung oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Apabila nilainilai dasar yang dipegang oleh masyarakat berdasarkan komunisme, maka pembangunan yang dijalankan pun akan diarahkan pada komunisme. Apabila nilai-nilai dasar yang dipegang oleh masyarakat berdasarkan demokrasi, maka pembangunan pun akan diarahkan pada proses demokrasi yang dianut. Begitu pula ketika nilai-nilai dasar yang dipegang berdasarkan ajaran Islam, maka pembangunan pun diarahkan sesuai ajaran islam dan mengedepankan keislaman. Persaingan masyarakat antar negara dan bangsa dalam era globalisasi sangat tinggi dan kompleks. Sesuai dengan pendapat Fukuyama di atas, jelas terlihat bahwa yang akan menguasai pasar adalah mereka yang memiliki kepercayaan sosial tinggi dari masyarakat negara lainnya. Sebagai contoh, misalnya kualitas produk sepeda motor Jepang dan sepeda motor Indonesia sama bagusnya, bahkan lebih bagus hasil Indonesia. Namun hasil produk Jepang lebih memiliki tingkat kepercaayan sosial yang tinggi dibandingkan dengan produk Indonesia, sehingga produk sepeda motor Jepang lebih menguasai pasar dunia. Dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi, menyebakan Jepang dapat memasarkan produknya ke berbagai negara, baik di Asia, Eropa, Afrika maupun Amerika, walaupun sistem perekenomian di berbagai negara tersebut berbeda dan memiliki aturan yang rumit, namun dapat ditangani dengan adanya kepercayan sosial yang tinggi dari negaranegara lain kepada Jepang. Berbeda dengan Indonesia, walaupun produknya lebih bagus, akan tetapi karena rendahnya kepercayaan sosial dari masyarakat dunia, maka pemsarannya pun akan terbatas, karena terbentur dengan berbagai sistem yang rumit, berbeda, dan kompleks di berbagai negara lainnya. Bagi penggagas modernisasi (Harrison dan Huntington, 2006:132), dunia sedang berubah dalam cara-cara yang mengikis nilai-nilai tradisonal. Pembangunan ekonomi menyebabkan kemunduran agama, kepicikan, dan perbedaan-perbedaan agama. Ada dua dimensi yang menggambarkan polarisasi lintas nasional (Harrison dan Huntington, 2006:133) yaitu : Orientasi tradisonal versus sekuler-rasional terhadap kekuasaan Merefleksikan kontras antara masyarakat yang memandang agama sangat penting dan masyarakat yang memandang agama itu tidak penting. Bagi masyarakat tradisional, agama merupakan standar mutlak, lebih suka keluarga besar, menolak perceraian, lebih menyukai konsesus daripada konflik politik terbuka. Nilai-nilai peninggalan versus ekspresi diri. Kedua dimensi ini melibatkan tema-tema yang mencirikan masyarakat pascaindustri, antara lain melibatkan polarisasi antara nilai-niali materialis dan pascamaterialis. Nilai-nilai ini memanfaatkan sebuah pergesaran antargenerasi, dari penekanan pada keamanan ekonomi dan fisik ke arah penekanan yang makin meningkat pada ekspresi diri, kesejahteraan subjektif, dan kualitas hidup. Masyarakat yang menekankan nilai peninggalan relatif menunjukan tingkat kesejahteraan subjektif yang rendah, kesehatan yang buruk, kepercayaan antarpribadi yang rendah, tidak toleran, tidak semangat dalam isu penyetaraan gender, kepercayaan relatif rendah terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, relatif memihak pemerintahan yang otoriter. Sedangkan masyarakat yang menekankan nilainilai ekspresi diri cenderung kebalikan dari sifat-sifat yang dimiliki oleh kelompok yang menekankan nilai-nilai peninggalan. Berdasarkan peringkat Freedom House tentang hak-hak politik dan kebebasan sipil dari tahun 1972-1998 menunjukan bahwa negara-negara yang mempunyai peringkat tinggi dalam nilai-nilai peninggalan dan ekspresi diri merupakan negara yang demokrasinya stabil. Sedangkan negara-negara yang peringkatnya rendah mempunyai pemerintah yang otoriter (Harrison dan Huntington, 2006:147). Dari keterpaduan berbagai dimensi diatas, fakta membuktikan bahwa budaya suatu masyarakat dibentuk oleh seluruh warisan ekonomi dan sejarahnya. Pada gilirannya, budaya itu kemudian membentuk ekonomi dan sejarah. Perkembangan ekonomi memiliki dampak yang kuat terhadap nilai-nilai budaya (Harrison dan Huntington, 2006:139). Selain itu juga, ada tafsiran (Harrison dan Huntington, 2006:147) yang mengatakan bahwa institusi-institusi demokrasi memunculkan nilai-nilai ekspresi diri yang berkaitan erat dengan institusi tersebut. Dengan kata lain, demokrasi membuat orang sehat, gembira, toleran, dan memiliki kepercayaan terhadap orang lain. Teori modernisasi secara tak langsung menyatakan bahwa ketika masyarakat berkembang secara ekonomi, budaya mereka pun cenderung akan bergeser ke arah yang mudah ditebak. James Colemen, Almond dan Verba, Putnam, dan Fukuyama (Harrison dan Huntington, 2006:143) menyatakan bahwa kepercayaan antar pribadi itu penting untuk membangun struktur sosial dimana demokrasi bergantung dan organisasi sosial yang kompleks tempat upaya ekonomi dalam skala besar. Pembangunan ekonomi membawa masyarakat pada dua tipe perubahan yang kondusif terhadap demokrasi (Harrison dan Huntington, 2006:146): Pembangungan ekonomi cenderung mengubah struktur sebuah masyarakat, membawa urbanisasi, pendidikan rakyat, spesialisasi pekerjaan, tumbuhnya jaringan organisasi, pemdapatan yang lebih besar, dan berbagai perkembangan terkait yang menggerakan partisipasi massa dalam partai politik. Pembangunan ekonomi kondusif bagi perubahan-perubahan budaya yang membantu menstabilkan demokrasi. Pembangunan ekonomi cenderung mengembangkan kepercayaan pribadi dan toleransi, dan ia membawa terhadap penyebaran nilai-nilai pascamaterialisme yang menempatkan prioritas pada ekspresi diri dan partisipasi dalam membuat keputusan. Pembangunan ekonomi secara berangsur-angsur membawa ke arah perubahan sosial dan budaya membuat institusi-institusi demokrasi sepertinya akan bertambah subur. Namun, demokrasi bukan merupakan sesuatu yang dapat dengan mudah dicapai hanya dengan mengadopsi hukum-hukum yang sama. Dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi sekarang ini, cenderung membangkitkan kondisi-kondisi sosial dan budaya yang secara tidak langsung memungkinkan demokrasi akan terus muncul dan bertahan. Walaupun negara-negarayang kaya lebih mungkin berdemokrasi daripada negara miskin, akan tetapi kekeyaan saja tidak otomatis membawa demokrasi. Tetapi, proses modernisasi cenderung membawa perubahanperubahan budaya yang kondusif terhadap demokrasi. Secara tidak langsung, fakta lain juga menunjukan bahwa budaya memainkan peran yang jauh lebih penting dalam demokrasi. Dan yang penting lagi adalah demokrasi tidak akan tercapai hanya dengan membuat perubahan-perubahan secara institusional atau melalui manuver-manuver tingkat elite. Pembangunan ekonomi juga kemungkinan dapat mengurangi korupsi melalui dampak penting dan positifnya demokrasi. Sejumlah asumsi mengatakan bahwa adanya hubungan antara pendapatan dan korupsi. Pendapatan yang besar mungkin dapat mengurangi korupsi dengan mengubah struktur-struktur insentif dari para pejabat publik (Harrison dan Huntington, 2006:179). Negara-negara yang secara ekonomi paling maju adalah yang secara politik paling tidak korup. Modal Sosial dan Pelembagaan Demokrasi Istilah modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Lyda Judson Hanifan pada tahun 1916 untuk menggambarkan pusat-pusat sekolah komunis di pedesaan (Harrison dan Huntington, 2006:156). Istilah modal sosial juga digunakan dalam buku Jane Jacob yang menjelaskan bahwa jaringan-jaringan sosial yang rapat pada lingkungan urban yang lebih tua yang multiguna telah membentuk modal sosial yang mendorong keselamatan publik. Secara lebih luas, penggunaan istilah modal sosial digunakan oleh James Colmen dan Robert Putman pada tahun 1980-an. Menurut Coleman (1998) modal sosial adalah kumpulan tindakan, hasil dan hubungan yang berbeda sebagai modal sosial. Modal sosial bagi Coleman adalah inherently functional, dan modal sosial adalah apa saja yang memungkinkan orang atau institusi bertindak. Modal sosial, kerena itu, bukan merupakan sebuah mekanisme, sesuatu atau sebuah hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua dari mereka ( mekanisme, sesuatu, dan hasil ) secara simultan. Sehingga bagi Coleman modal sosial adalah netral secara normatif dan moral, yaitu bahwa modal sosial diinginkan dan sekaligus tidak diinginkan; modal sosial hanya memungkinkan tindakan terjadi dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan. Sedangkan Putnam (2000) secara singkat mengatakan bahwa modal sosial terkait dengan organisasi sosial, ikatan atau hubungan sosial, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama (Jurnal Analisis CSIS, Vol 33, No. 3, 2004) Menurut Francis Fukyama, yang dimaksud dengan modal sosial (social capital) adalah serangkaian nilai atau norma infromal pemberi teladan yang digunakan bersama-sama diantara anggota-anggota sebuah kelompok yang memungkinkan mereka saling bekerja sama. Kepercayaan diantara anggota berfungsi seperti pelumas yang membuat organisasi atau kelompok dapat berjalan dengan dinamis (Harrison dan Huntington, 2006:152). Norma-norma yang menghasilkan modal sosial harus secara subtansif mengikutsertakan kebajikan. Semua masyarakat memiliki sejumlah persediaan modal sosial, yang memnedakannya adalah radius kepercayaan, maksudnya adalah norma-norma kerjasama seperti kejujuran dan kewajiban timbal balik dapat dianut diantara kelompok-kelompok yang terbatas tetapi tidak dengan yang lainnya di masyarakat yang sama. Di masyarakat mana pun, sumber penting dari modal sosialnya adalah keluarga. Akan tetapi setiap masyarakat memiliki ikatan atau pertalian keluarga yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Ikatan keluarga bervariatif relatif terhadap tipe-tipe lain kewajiban sosial (Harrison dan Huntington, 2006:154). Modal sosial memiliki manfaat yang jauh melampaui bidang eknomi, hal ini penting untuk penciptaan civil society yang sehat. Modal sosial memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda di dalam sebuah masyarakat yang kompleks untuk bersatu mempertahankan kepentingan mereka. Akan tetapi, modal sosial dan civil society tidak selalu memberikan manfaat (Harrison dan Huntington, 2006:155).. Makanya, diperlukan kordinasi bagi semua aktivitas sosial, apakah baik atau buruk. Contohnya adalah Mafia dan Ku Klu Klan di Amrika yang memiliki modal sosial akan tetapi keberadaannya mengganggu ketenangan masyarakat. Demokrasi yang bernilai adalah yang dibangun di atas landasan konstitusional dan kultural sekaligus. Sebab, dalam membangun demokrasi yang sesungguhnya dibutuhkan modal sosial yang memadai. Modal sosial, menurut Robert Putnam (1995) sebagai “features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit.” Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Modal sosial adalah faktor determinan yang menunjang kekokohan struktur bangunan demokrasi. Menjamurnya partai baru yang berdiri di atas kekecewaan dan ketidakpercayaan pada institusi-institusi yang sudah ada bisa menjadi persoalan serius bagi masa depan demokrasi. Apalagi, jika institusi yang dimaksud adalah partai politik yang nota bene diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Kalau pilarnya saja sudah rapuh, demokrasi macam apa yang hendak kita bangun di negeri ini. Modal sosial hanya bisa dibangun dengan adanya rasa saling percaya, sementara partai-partai baru umumnya lahir karena ketidak percayaan pada pihak lain. Kalau kekecewaan itu muncul lantaran aspirasinya yang menyangkut nilai-nilai kebenaran tidak tersalurkan, barangkali masih bisa ditoleransi. Tapi jika kekecewaan itu muncul karena kalah berkompetisi, karena tidak mendapatkan jabatan atau kursi yang diinginkan? Tentu akan mudah ditebak, untuk apa partai-partai baru itu didirikan. Tanpa modal sosial yang memadai, partai politik hanya akan berfungsi sebagai batu loncatan kepentingan politik sesaat berupa kursi jabatan dan atau konpensasi dari sebuah kekalahan dari para pendirinya. Setidaknya, ada tiga problem mendasar yang dihadapi partai politik yang dibangun tanpa modal sosial: Pertama, kerapuhan institusional. Hal ini terjadi karena proses berdirinya yang lebih disebabkan karena kekecewaan dan kekalahan dalam berkompetisi daripada atas dasar keinginan objektif dan pertimbangan rasional. Kedua, kekaburan landasan ideologis. Kalau kita cermati secara saksama, partai-partai yang mengalami proses pemecahan diri itu sejatinya masih memiliki ideologi yang sama (antara partai asal dengan yang baru). Apa yang membedakan PDIP dengan PDP, atau antara PKB dan PKNU? Kalau pun ada perbedaan, lebih pada tataran klaim-klaim kebenaran yang berasal dari perbedaan interpretasi, interes, dan kecenderungan dari masing-masing tokohnya, bukan pada substansi. Ketiga, terkait dengan pencitraan. Di mata publik, citra partai baru sebagai pemenuhan hasrat politik lebih menonjol daripada sebagai koreksi atas kesalahan partai sebelumnya. Apalagi, alasan mengoreksi tidak cukup kuat untuk meninggalkan yang lama dan mendirikan yang baru. Sekadar contoh, alasan berdirinya PDP (dari PDIP) jelas berbeda dengan alasan berdirinya PDIP (dari PDI). PDIP berdiri sebagai koreksi total terhadap PDI yang telah dijadikan “tanaman bonsai” oleh rezim Orde Baru. Untuk mengukur modal sosial, Robert Putnam (Harrison dan Huntington, 2006:157) menggunakan dua tipe ukuran statistik. Pertama, informasi tentang kelompok dan keanggotaan kelompok (kelompok olahraga, perkumpulan paduan suara, kelompok kepentingan, partai politik) dan juga daftar isi dari partisipasi politik seperti kehadiran pemilih dan jumlah pembaca surat kabar. Tipe kedua, riset survei seperti Survey Sosial Umum (untuk Amerika Serikat) atau Survey Nilai-nilai Dunia (untuk di lebih 60 negara dunia). Modal sosial bukanlah suatu kekayaan budaya langka yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang jika hilang atau habis tidak bisa diganti. Akan tetapi modal sosial diciptakan secara spontan setiap waktu oleh orang-orang yang menjalani kehidupan sehari-hari. Norma-norma diciptakan secara spontan, cenderung informal, sedangkan norma-norma dan nilai-nilai yang diciptakan oleh sumber kekuasaan hirarkies cenderung berbentuk hukum tertulis, UUD, peraturan-peraturan, teks-teks suci, atau grafik organisasi yang birokratis. Selain muncul dari sisi spontan atau hierarkis, norma juga merupakan bisa timbul hasil dari pilihan rasional dan norma-norma yang diwarisi secara sosial dan awalnya tidak rasional. Tipe-tipe norma tersebut dapat digambarkan dalam empat kuadran sebagai berikut: Rasional Muncul Hierarkis Muncul spontan Tidak Rasional Menurut Douglass North (Harrison dan Huntington, 2006:163), yang dimaksud dengan “institusi” adalah norma atau aturan, baik formal maupun informal, yang mengatur interaksi sosial manusia. Diambil dari karya Elinor Ostrom (Harrison dan Huntington, 2006:169-170) bahwa tatanan spontan hanya terjadi di bawah kondisi tertentu yang ditetapkan dengan baik, dan bahwa dalam banyak situasi tatanan itu juga gagal untuk terwujud atau membawa ke situasi yang tidak baik dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan. Menurutnya, banyak contoh dari usaha yang gagal untuk menegakan norma-norma bagi pembagian sumber-sumber bersama. Kondisi Ostrom untuk swaorganisasi mengisyaratkan beberapa kategori alasan yang menjelaskan mengapa masyarakat tidak akan selalu mampu memunculkan solusi-solusi tatanan spontan, yaitu: Ukuran Batasan-batasan Interaksi yang terulang Norma-norma yang terdahulu yang membentuk budaya bersama. Kekuasaan dan keadilan bertahannya pilihan-pilihan yang buruk Sejak abad ke-19, lembaga-lembaga demokrasi di sejumlah negara berkembang secara berangsur-angsur sehingga sulit serta subjektif untuk menyebut suatyu waktu tertentu dimana setelah titik waktu itu sistem politiknya dapat dikatakan demokratis (Huntington, 1995:16). Pertemuan 9-10 Partai Politik dan Pendidikan Demokrasi di Indonesia Konteks Kelahiran Partai Politik di Indonesia Perkembangan politik Indonesia muncul sejak awal abad 20 yang ditandai berdirinya organisasi politik modern pada tahun 1908. Organisasi sosial modern tersebut bernama Budi Utomo, beranggotakan sekelompok pegawai negeri Jawa yang bependidikan. Orientasi ke arah kebangsaan dan kesatuan negara Indonesia pun mulai terlihat sejak akhir tahun 1920-an dengan diadakannya Sumpah Pemuda, yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk mencapai Indonesia merdeka. Para pemimpin gerakan politik pun mulai menyuarakan cita-cita kemerdekanan bangsa Indenesia. Pemikiran tentang cara terbaik untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan memenuhi wacana politik Indonesia saat itu. Berbagai organisasi sosial dan keagmaan menjadi lahan subur untuk memupuk nasionalisme dan paham Indonesia merdeka. Dengan demikian, ketika Indonesia merdeka belum mengenal partai politik sebagai organisasi yang didirikan untuk merebut jabatan publik melalui pemilihan umum. Namun kehadiran organisasi yang menyalurkan dan membimbing pemikiran politik ke jalan yang teratur tidak bisa dipungkiri lagi. Organisasi politik pada masa sebelum Indonesia merdeka dapat dikelompokan ke dalam beberapa golongan sesuai latarbelakang asas dan ideologinya (Feith dan Castles, 1970), antara lain (1) kaum nasionalis : nasionalis sekuler, nasionalis pro Jepang, nasionalis anti Jepang, (2) golongan Islam, dan (3) golongan komunis. Peran partai politik dalam kehidupan nasional segera tampak dalam beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 telah memberi kesempatan bagi didirikannya partai politik guna memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Maklumat itu pun menyiratkan pandangan pemerintah yang menempatkan partai politik sebagai wadah bagi semua paham yang ada di dalam masyarakat sehingga dapat dipimpin ke jalan yang teratur. Setelah Indonesia merdeka, para tokoh gerakan nasionalis banyak yang menduduki jabatan penting di pemerintahan. Namun tidak sedikit pula yang tetap memilih sebagai cendekiawan. Pertentangan ideologi pada awal kemerdekaan sudah terlihat, terutama saat menghadapi Belanda yang berusaha menjajah kembali. Ideologi yang ada saat itu adalah sosialis, nasionalis, Islam dan ideologi lain. Selain harus menghadapi kolonialisasi Belanda, saat itu pun Indonesia menghadapi masalah internal berupa gejolak politik kelompok komunis, dan kelompok Islam radikal. Oleh karena itu, meski mengalami pasang surut dalam perkembangannya, bersama-sama dengan kaum cendekiawan yang tidak terikat (unattached intellectuals), partai politik telah menjadi sumber pemikiran politik. Hal ini dimungkinkan karena sebagai systems of ideas, partai politik dalam kurun 1945-1965 telah mampu memberikan jawaban ideologis atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul menyertai cepatnya perubahan masyarakat dan sistem nilainya (Feith, 1970: 6), selain telah menjadi sarana bagi alternation of power, atau pergeseran kekuasaan antarpartai politik (Dhakidae, 1995: 212). Analisis Feith tentang pemikiran politik Indonesia 1945-1965 memberi petunjuk tentang kemunculan partai politik yang biasanya didasarkan atas preferensi tentang masyarakat dan negara yang dicita-citakan dan hendak diperjuangkan melalui partai politik. Preferensi semacam inilah yang disebut political platform atau ideologi partai, yakni “the party’s underlying value system” (McNair, 1999: 6), atau “a statement of principles, goals, and programs developed and supported by a political party and its candidates” (Paulson, 2000: 1043). Dengan demikian, secara hakiki partai politik adalah kumpulan individu yang memiliki pemikiran yang kurang lebih sama dan bersepakat untuk bergabung di dalam sebuah organisasi dan struktur ideologis untuk mengejar tujuan bersama. Berbeda dengan periode sebelumnya, kehidupan politik pada masa Orde Baru tidak diwarnai pertarungan ideologis. Deideologisasi yang dianut Orde Baru didasari anggapan bahwa “ideologi merupakan penyebab utama ketidakstabilan politik” (Arbi Sanit, 1994: 5). Kebijakan ini berujung pada penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga asas atau ideologi partai tidak dikenal saat itu. Selain menguatnya isu primordial, kemunculan puluhan partai politik pasca rezim Orde Baru ditandai pula oleh absennya platform dan program yang dapat menggugah partisipasi publik. Akibatnya gugatan terhadap eksistensi partai politik sebagai organisasi yang mempersambungkan anggota masyarakat dengan proses politik di Indonesia sering muncul ke permukaan. Gugatan tadi bukan hanya berbentuk pernyataan yang berisi kekecewaan, tetapi juga dengan mendirikan partai politik baru. Keadaan ini diperparah oleh inkonsistensi partai politik terhadap janji-janji yang telah diucapkannya saat kampanye (Putra, 2003: 197) dan perilaku sebagian politisi yang menyimpang dari keharusannya. Kecenderungan di atas mengisyaratkan betapa keberadaan platform partai politik di Indonesia belum fungsional. Hal ini mungkin dikarenakan rumusannya belum jelas atau karena tidak dikomunikasikan secara efektif. Padahal, layaknya sebuah ideologi, platform partai mengandung seperangkat nilai politik, sekumpulan makna sakral dan luhur, yang dapat menimbulkan respon emosional yang kuat di kalangan khalayak (Sherman & Kolker, 1987: 97). B. Orientasi Politik Indonesia Entitas ideologis tetap bertahan meski socara sosiologis dan politik Indonesia mengalami perubahan. Dalam konteks politik Indonesia modern, entitas ideologis tadi mewujud ke dalam belahan-belahan ideologis yang mengisyaratkan kehadiran orientasi politik yang beragam pula. Evans (2003) melukiskan belahan-belahan ideologis tadi sebagai berikut. Pertama belahan kiri-kanan. Berbeda dengan Barar, belahan kiri-kanan di Indonesia bukanlah kapitalis-komunis. Di Indonesia istilah kiri-kanan mengacu kepada kaum sekuler dan Islamis. Belahan politik kedua adalah belahan atas-bawah, yaitu kaum elitis dan populis. Patahan ini mengacu kepada cara-cara yang ditempuh dalam memperjuangkan keyakinan ideologis menjadi gerakan politik. Peta ideologis tadi bisa digunakan untuk menjelaskan orientasi politik partai-partai yang bersaing dalam Pemilu 1955. PNI yang berhaluan nasionalis adalah representasi kekuatan sekuler dengan mengandalkan basis dukungan pada kekuatan elit dalam memobilisasi massa. Masyumi lebih bercorak elits dibanding NU, keduanya jelas menjadikan Islam sebagai haluannya. Berbeda dengan Evans, Feith dan Castles (1970) membagi peta orientasi politik Indonesia ke dalam lima kelompok. Karena itu, perselisihan partai-partai dalam gerakan nasionalis bersifat ideologis. Konflik ideologi terutama terdapat diantara kelompok-kelompok karyawan di kotakota di bawah pimpinan cendekiawan dan tidak melibatkan bagian besar dari masyarakat. Puncak proses pemindahan perpecahan-perpecahan ideologis dari kalangan karyawan di kota-kota ke massa rakyat terjadi selama dua tahun kampanye besar-besaran sebelum pemilihan umum tahun 1995. Isu kampanye yang didengungkan saat itu adalah dua hal yang saling bertentangan yaitu Pancasila dan Islam. Isu-isu kampanye itu terlihat buahnya pada hasil pemilu 1955, empat partai besar pemenang pemilu adalah PNI memperoleh 57 kursi (22,3% suara), Masyumi memperoleh 57% (20,9% suara), NU memperoleh 45 kursi (18,4%) dan PKI memperoleh 39 kursi (15,4% suara). Keempat partai masing-masing memperbanyak organisasi massa. Organisasi buruh, tani, pemuda, wanita, olahraga, dan berbagai perkumpulan budaya berdiri hingga ke desa-desa. Masing-masing menjadi juru bicara bagi sekelompok etnis dan sosial yang telah lama ada. Masing-masing memiliki pandangan hidup sendiri. Selain ideologis, peta geografis pun menjadi variabel penting untuk menandai orientasi politik Indonesia dekade 1950-an. Terminologi Jawa versus Luar Jawa menjadi atribut penting untuk menandai orientasi politik saat itu. Terdapat dasar agama yang kuat bagi pemilih di luar jawa. Misalnya Partai Kristen yang berbasis Protestan memperoleh lebih banyak suara ketimbang PKI, sedangkan Katolik hampir memperoleh suara yang sama dengan PKI. Sedangkan di pulau Jawa sendiri, PNI yang non-agama dan PKI memperoleh hampir 50% suara, sedangkan di luar Jawa kedua partai tersebut tidak sampai memperoleh 20% dari total suara. Hanya NU yang memiliki basis kuat dan menyaingi kekuatan nasionalis dan komunis di Jawa. Secara ringkas, Feith (1970) membagi aliran politik di Indonesia menjadi lima aliran. Komunis, banyak dianut dan dikung oleh PKI dan sebagian kecil masyarakat Jawa. Tradisonalisme Jawa, yang dianut orang-orang Jawa. Nasionalisme Radikal, dianut oleh sebagain besar PNI. Sosialisme Demokrat, dianut oleh sebagian ummat Islam, sebagian kecil PNI dan sebagian Masyumi. Sedangkan aliran pemikiran politik Islam, dianut dan didukung oleh NU dan Masyumi. Kelima garis pemikiran politik tersebut digambarkan sebagai berikut. Peta pemikiran politik Feith menjelaskan ketegangan antara warisanwarisan tradisionalisme khusus (bagian bawah bagan), serta kaitannya dengan dunia modern – terutama dunia Barat – dan ide-idenya. Dari bagan kita ketahui bahwa aliran-aliran politik di Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh Hindu dan Islam secara terpisah sebagai “modal awal” yang paling mendasar. Sedangkan pengaruh dari Barat, sangat kuat dan tidak da perbedaan yang tajam pengaruh dari luar yang kuat adalah Marxisme, yaitu dalam bentuk komunisnya atau Sosialisme Demokratnya. Di dalam aliran politik Islam sendiri terdapat dua kekuatan yang diwakili oleh Masyumi dan NU. Keduanya bersinggungan dengan aliran politik yang berbeda. Masyumi bersinggungan dengan aliran Sosialisme Demokrat, sedangkan NU bersinggungan dengan Tradisionalisme Jawa. Sementara itu, aliran Tradisionalisme bersinggungan dengan tiga aliran politik lainnya. Hal ini terjadi karena di Jawa itulah semua aliran politik tumbuh subur. Pemikiran politik Islam, Nasionalisme Radikal, dan Komunis hidup di Jawa dengan banyak pengikutnya. Golongan Komunis lebih bisa memutuskan hubungan dengan masa lampau dan langsung mengambil konsep-konsep pemikiran - baik secara langsung maupun tidak - dari Barat. Namun mereka juga menggunakan simbol-simbol abangan tradisonalisme dan yang sejenis. Dalam analisis Feith (1970), pemikiran politik Indonesia 1945-1965 ditandai oleh tiga hal berikut. Bersifat moralis, cirinya adalah memiliki kecenderungan untuk melihat masyarakat tidak berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Pemikiran ini bersiat optimis dan bercorak normatif. Para pemikir politik Indonesia cenderung untuk tidak melihat masyarakat mereka terbagi dalam beberapa golongan yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Pembagian yang ada bersifat saling mengisi antara ‘para pemimpin’ dengan ‘rakyat’. Para pemikir politik Indonesia umumnya bersifat optimis. Bentuk optimisme tersebut antara lain voluntarisme, progresivisme, dan kepercayaan terhadap pemuda. Orintasi politik Indonesia yang menyertai tumbuhnya partai-partai pada 1998 dapat dilacak akar-akarnya pada peta pemikiran politik Indonesia kurun 1945-1965. Mursal (2004) misalnya menguraikan tautan historis orientasi politik Indonesia sebagai berikut. Orientasi agama. Mengutip pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh Afan Gaffar (1992), orientasi sosio-religious mempunyai korelasi terhadap perilaku pemilih PPP, Golkar dan PDI. Santri cenderung memilih partai Islam dan kaum abangan memilih partai yang tidak membela dan memajukan Islam. Pada Pemilu 1992, "santri tulen" mendukung dengan kuat partai Islam karena berhubungan dengan ideologi. Sementara abangan cenderung memilih partai non Islam tanpa adanya alasan ideologi. Pemilih pada 1997 menunjukkan kecenderungan yang sama. Penelitian perilaku pemilih di perkotaan Bandar Lampung oleh Suwondo (1997), bermuara pada kategorisasi yang sama dengan Afan Gaffar. Walaupun pada Pemilu 1997 seluruh partai berasaskan Pancasila, santri dan abangan menjatuhkan pilihan dengan alasan ikatan agama (pemilih santri) dan non agama (abangan). Orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Penelitian tidak menemukan korelasi nyata antara kelas dan perilaku pemilih. Afan Gaffar menyebut empat faktor. Pertama, sifat sistem ekonomi (agraris subsistem) tidak memungkinkan kesadaran massa berdasarkan kelas. Kedua, setelah hapusnya PKI dan pengebirian partai politik, penduduk desa terdepolitisasi. Ketiga, trauma G 30 S, ribuan anggota partai komunis dibunuh, termasuk anggota Barisan Tani Indonesia di pedesaan Jawa. Keempat, pemerintah Orde Baru tak henti-hentinya menjelaskan bahwa individu maupun organisasi tidak diizinkan menonjolkan antagonisme dari perbedaan agama, ras dan kelas. Suwondo berkesimpulan sama. Tetapi memberi catatan khusus perilaku pemilih Golkar waktu itu dari kelas menengah-atas. Pertimbangannya menyangkut kemudahan-kemudahan yang mereka akan terima dari birokrasi. Faktor kepemimpinan. Penelitian di pedesaan Jawa menunjukkan pengaruh pemimpin informal dan formal terhadap perilaku pemilih abangan dan santri. Para responden yang memiliki ikatan kuat dengan pemimpin agama cenderung memilih partai Islam. Sedangkan kalangan abangan cenderung memilih partai non Islam. Faktor identifikasi. Penelitian Afan Gaffar di pedesaan Jawa pada 1992 dan penelitian Suwondo di Bandar Lampung pada 1997 menunjukkan, responden yang mengidentifikasikan diri mereka dengan partai Islam menyatakan orangtua mereka juga mengindentifikasi diri mereka dengan partai yang sama. Demikian halnya responden yang orangtuanya mengidentifikasi dengan partai non Islam. Orientasi isu. Orientasi isu disimpulkan tidak berpengaruh pada kecenderungan pemilih untuk menjatuhkan partai pilihannya. Orientasi kandidat. Orientasi ini tidak berpengaruh pada Pemilu 1992 maupun 1997 karena pemilihan hanya dilakukan terhadap partai. Kaitan dengan peristiwa. Kandidat partai yang diajukan kaitannya dengan peristiwa yang menimpanya akan mempengaruhi pikiran pemilih. Ketika Megawati ditindas oleh rezim Soeharto dianggap sebagai simbol tokoh teraniaya sehingga mengundang simpati dan dukungan besar terhadap partainya pada Pemilu 1997. Fenomena yang diperkirakan mirip terjadi pada Susilo Bambang Yudhoyono. Perilaku pemilih dalam Pemilu 1992 dan 1997 dapat dikorelasikan dengan perilaku pemilih Pada Pemilu 1999 dan 2004. Meski jumlah partai peserta pemilu jauh berbeda, namun anasir-anasir ideologisnya tidak berbeda secara mendasar. Orientasi agama. Para pemilih yang memiliki latar belakang agama akan memilih partai-partai yang memiliki platform religius, baik yang implisit atau eksplisit maupun secara kultur. Misalnya, para pemilih dari kalangan Nahdliyin lebih cenderung memilih PKB, para pemilih dari Muhammadiyah cenderung ke PAN, para pemilih dari kalangan muslim “terpelajar” akan cenderung memilih PKS. Apalagi dengan fenomena perolehan suara PKS yang cukup besar di perkotaan dan dari kalangan terpelajar. Orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Kelompok sosial dan kelas sosial memang tidak terlihat pada pemilu 1999 dan 2004, karena hampir semua partai mengidentifikasikan dirinya sebagai partai wong cilik. Hal ini terjadi karena hampir semua partai bercorak catch-all party. Faktor kepemimpinan. Figur seorang pimpinan masih sangat berpengaruh pada kecenderungan pemilih. Tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Amin Rais, Megawati masih menjadi ikon dan simbol PKB, PAN, dan PDI Perjuangan. Faktor identifikasi. Faktor identifikasi terjadi pada kalangan santri. Namun di beberapa tempat telah terjadi pergeseran orientasi politik santri, sehingga pilihannya tidak selalu identik dengan sikap politik kiainya. Orientasi isu. Pemilu 2004 mulai memperlihatkan kecenderungan memilih berdasarkan orientasi program atau isu. Orientasi kandidat. Pada pemilu 2004, orientasi kandidat terlihat karena pemilihan secara langsung, baik anggota DPR, DPD, maupun Presiden. Kaitan dengan peristiwa. Faktor perbedaan pendapat dengan Megawati cenderung dikonotasikan dengan faktor peristiwa dan kecenderungan pendukung memilih dia. Pasca keruntuhan Orde Baru tahun 1998, kemunculan partai politik mencapai sembilan ratusan (Daniel Dakhidae, 2004). Hal ini terjadi sebagai reaksi dari kepuasan politik. Kemungkinan yang terjadi saat itu untuk membangun tata-letak politik pasca Orde Baru adalah menggunakan dua cara (Dakhidae, 2004:4): Suatu reformasi yang radikal terhadap institusi politik Orde Baru termasuk penggusuran besar-besaran para penjaga lembaga tersebut dalam bentuk pemecatan, penggantian dan sebaginya. Hal ini dilakukan karena yang dihadapi saat itu adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Jadi pembersihan kekuatan politik yang tengah bersaing diberi klaim moral dalam konteks penegakkan self-government. Alternatif pertama ini adalah pembelaan terhadap nilai-nilai republikan, sehingga reformasi lebih dekat kepada republikanisme. Menggunakan konsep demokratik klasik dengan penekanan kepada persamaan, partisipasi rakyat dalam proses politik, dan memberikan fokus kepada ide kebebasan dan persamaan. Dua paham di atas (republikanisme dan demokrasi) bukanlah hal yang saling bertentangan, namun hanya sebatas dua hal yang berbeda satu sama lain. Dalam perjalanan reformasi, alternatif pertama cenderung tidak dipakai dan lebih mengarah kepada penggunaan alternatif kedua. Dalam pemilihan umum 1999, terdapat rekayasa politik terhadap keberadaan partai-partai politik: Rekayasa dimaksud adalah legalisasi keberadaan partai politik yang dilakukan Departemen Kehakiman. Rekayasa birokratis dalam bentuk verifikasi administratif dan faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rekayasa melalui proses pemilihan : political engineering by electoral proses. Sedangan dalam Pasca pemilu 2004, terjadi gabungan dari ketiga rekaya di atas sehingga menciutkan jumlah partai peserta pemilu tahun 2004. Gejala oligarki pun melanda partai-partai besar pemenang pemilu pasca reformasi. Keberadaan partai besar yang tanpa tantangan dan partai kecil (gurem) yang lama kelamaan akan hilang akan menyebabkan partai besar akan lebih memperkuat keyakinan sendiri dan akan memisahkan dirinya dari massa pemilih dan anggotanya sendiri. Tapi, gejala tersebut menyebabkan lahirnya persaingan elit partai intern yang ingin mendobrak oligarki, sehingga perpecahan intern partai politik pun tidak terhindarkan. Sejatinya fenomena ini bukan hanya terjadi pasca reformasi, gelaja ini pun sudah melanda organisasi politik Indonesia sebelum merdeka. Daniel Dakhidae (2004) mencatat setidaknya ada 13 partai politik yang terlibat perpecahan dari satu geneologis, bahkan delapan diantaranya menjadi peserta pemilu 1999 dan 2004. Partai-partai tersebut antara lain: Partai Golkar (1999 dan 2004), PKP (1999), PKP Indonesia (2004), PKPB (2004), dan Partai MKGR (1999). Semuanya lahir dari satu gen yaitu Golongan Karya. PPP (1999 dan 2004), Partai Persatuan (1999), PBR (2004). Semuanya lahir dari gen PPP Orde Baru. Partai PDI, PDI Perjuangan, dan PNBK memiliki gen dari PDI masa Orde Baru. Dalam Pemilu 2004, tiga induk partai Orde Baru melahirkan 13 partai, termasuk tiga induknya yang melahirkan belasan partai baru. Karena ada berbagai rekayasa hukum dan administratif, sehingga hasilnya delapan parpol, termasuk partai induk. Dari jumlah 8 partai hasil perpecahan dari satu induk, ditambah 16 partai yang sama sekali baru, maka jumlahnya 24 partai yang mengikuti pemilu 2004. Perjalanan panjang kepartaian pada masa Orde Baru merupakan suatu gerak oligarki yang teratur dengan didukung oleh hukum dan undang-undang hasil mereka sendiri. Orde Baru mengabaikain nilai-nilai Republikan dan Demokratik secara bersama dengan mengandalkan legitimasi dirinya dan berpedoman pada legitimasi sejarah. Ada hal yang sedikit kontrtadiksi adalah ketika demokrasi menentang oligarki, namun terbukti demokrasi perwakilan dapat memunculkan sebuah oligarki baru. Kecenderungan ini dapat dilihat dari kuatnya Golkar di pemerintahan. Bahkan untuk melegalkan tindakan-tindakan dan keinginannya dibuatlah peraturan atau perundang-undangan, sehingga seolah-olah tindakan Golkar atau pemerintahan saat itu tidak inkonstitusional. Kuatnya Orde Baru juga didukung militer, khususnya Angkatan Darat. Pada masa Orde Baru birokrasi dan Angkatan Darat bahu-membahu membangun kekuatan politik Golkar. Islam dan Pluralisme Politik Indonesia Dari sisi ideologis, kemunculan Islam yang terorganisasi merupakan ciri penting bangkitnya pluralisme politik pasca Orde Baru. Berbeda dengan dekade sebelumnya yang hanya diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pada masa ini puluhan partai berasas Islam, atau memiliki basis massa Islam, bermunculan. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah dua partai yang berbasis massa Islam dengan raihan suara yang signifikan pada Pemilu 1999. Selain sama-sama memiliki captive market yang bernaung di bawah dua organisasi massa Islam terbesar, kedua partai ini menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Kedua partai ini pun bersifat terbuka, dan berhasil merekrut kadernya dari berbagai agama dan etnis. Di luar partai ini masih terdapat Partai Keadilan (PK) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kedua partai ini berasas Islam. Dalam proses amandemen UUD 1945, kedua partai ini berusaha memasukkan kembali frase “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun usaha ini gagal. Meski sama-sama berasas Islam, PK dan PBB memiliki gaya komunikasi politik yang berbeda. PBB lebih sering mengangkat isu penegakkan syari’at Islam dibanding PK. Sosok Muhammad Natsir pun dimanfaatkan PBB untuk menarik dukungan dalam Pemilu 1999. Citra partai Islam “modernis” pun melekat kuat dalam tubuh PBB. Sementara PK, tampak lebih lincah berkat dukungan kader muda yang militan. Dengan motto “bersih dan peduli”, partai ini cekatan dalam memainkan setiap isu yang berkaitan dengan dunia Islam, masalah sosial, dan kejadian-kejadian yang mengandung human interest. Selain dikenal militan, kader PK (yang dalam Pemilu 2004 menjadi Partai Keadilan Sejahtera-PKS) pun amat solid. Partai ini terhubung dengan kehidupan kampus lewat organisasi dakwah kampus. Jaringan dakwahnya menembus kelompok-kelompok kecil yang terorganisir, sehingga arus informasi dari atas ke bawah dan sebaliknya nyaris tanpa hambatan. Meski tidak lolos electoral threshold pada Pemilu 1999, PK menjadi partai fenomenal pada Pemilu 2004 karena berhasil meraih suara signifikan di kota-kota besar. Hal sebaliknya dialami PBB. Partai yang mengklaim pewaris Masyumi ini anjlok prolehan suarannya dalam Pemilu 2004. Hingga berlangsungnya Pemilu 2004, PBB, PAN dan PKS lebih menyerupai corak “administrators”. Hal ini dimungkinkan karena kualitas pendidikan para kader dan tokohnya relatif lebih baik. Mereka memiliki keterampilan teknis di atas rata-rata. Sedangkan PKB lebih menyerupai corak “solidarity makers”. Melalui jaringan pesantren dan tokohnya, partai ini berusaha dekat dengan rakyat. Sayangnya, partai ini kurang memiliki kader dengan kemahiran politik yang tinggi, sehingga daya tawar politiknya masih jauh lebih rendah dibanding jumlah massa yang diklaim sebagai pendukung tradisionalnya. Hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemilu jumlah partai politik yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM mencapai 141 buah. Dari jumlah ini, 48 lolos verifikasi yang dilakukan KPU dan dinyatakan sebagai peserta Pemilu 1999. Bila dikaji menurut asas yang dianut, ke-48 partai politik peserta Pemilu 1999 dapat dibedakan menjadi empat kelompok. Pertama, terdapat 33 partai politik memiliki asas Pancasila. Ke dalam kelompok ini bisa ditambahkan PKB yang di dalam anggaran dasarnya mencantumkan asas Kelima Sila dalam Pancasila. Kedua, terdapat 7 partai yang mengusung asas Islam, di samping dua partai mencantumkan asas Dienul Islam (PSII dan PSII 1905), serta masing-masing satu partai mencantumkan asas Pancasila dan Aqidah Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah (Partai Kebangkitan Umat) dan asas Pancasila dan beraqidah Islam Mab’da Ahlussunnah Wal-Jamaah (Partai Nahdlatul Ummat/Partai NU). Ke dalam kelompok ini pun bisa dimasukkan Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (Kami) yang mencantumkan asas Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Ketiga, asas sosial demokrasi kerakyatan yang diusung Partai Rakyat Demokratik (PRD). Keempat, asas demokrasi religius yang dianut Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Bila dikaji lebih lanjut, rumusan platform partai-partai yang muncul dan menjadi peserta Pemilu 1999 memiliki perbedaan yang longgar. Artinya, perbedaan antara satu platform dibandingkan platform partai lainnya tidak berbeda secara tajam. Rumusan platformnya masih bersifat simbolis, tidak mencerminkan basis sosial pendukungnya, dan belum semua partai politik mengoperasionalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam platformnya ke dalam rumusan kebijakan yang terukur. Dikaji dari sudut ini, kemunculan partai politik pada tahun-tahun awal gerakan reformasi selain didorong oleh euforia reformasi yang ditandai terbukanya katup kebebasan juga karena romantisme masa lalu. Beberapa partai politik yang pada Pemilu 1955 menjadi peserta dihidupkan kembali, baik dengan nama partai yang sama maupun dengan mengubah nama. Selain memunculkan tuduhan bangkitnya politik aliran, gejala ini pun menandai kemunculan kembali pemain lama dalam bentuk baru. Pada tahun-tahun awal pasca kejatuhan Soeharto penggalangan kekuatan bertumpu pada kata, simbol, figur dan gerakan reformasi. Secara sederhana simbol-simbol tadi dinisbatkan sebagai lawan Orde Baru. Pada saat yang sama, semua simbol Orde Baru dijauhi. Semua kekuatan yang menjadi pilar Orde Baru berlomba-lomba melakukan metamorfosis. Pada tahun-tahun awal digulirkannya gerakan reformasi peta ideologis bergeser. Dalam kurun ini, dikotomi “kiri-kanan antara kaum sekuler dan Islamis digantikan dengan belahan anti Orde Baru dan Orde Baru” (Evans, 2003: 31). Meskipun mengandung kelemahan karena menjadikan masa hidup figur yang menjadi tokoh partai sebagai parameter ideologis, pembelahan tadi memberi gambaran tentang kemunculan pluralisme politik. Orde Baru menjadi sumbu politik yang dijauhi, sekaligus menjadi antitesa bagi orientasi politik baru. Dengan menolak Orde Baru berarti mendukung pluralisme organisasi dan ideologi. Berbagai profesi dan kepentingan tidak cukup diwadahi dalam satu organisasi. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan lagi satusatunya asosiasi para wartawan. Seperti para wartawan, buruh pun membentuk asosiasi yang berbeda-beda. Uniknya, setiap asosiasi merumuskan kode etiknya sendiri-sendiri, yang dalam perumusannya bebas dari campur tangan pemerintah. Gencarnya pemberitaan media massa tentang catatan hitam (black mail) para pejabat Orde Baru melahirkan tekanan kepada pemerintah untuk mengadili mereka. Rendahnya kemampuan menegakkan supremasi hukum mengakibatkan merosotnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Wibawa pemerintah terus melorot di tengah keterpurukan ekonomi yang tidak kunjung membaik. Hasil-hasil Pemilu 1997 pun hampir kehilangan legitimasinya. Kondisi ini telah memaksa pengganti Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, untuk menggelar pemilu yang dipercepat. Pemerintahan Habibie berhasil menggelar pemilu pada 7 Juni 1999, hanya 13 bulan setelah presiden ketiga ini dilantik. Pemilu 1999 dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang keanggotaannya terdiri atas wakil partai politik dan wakil pemerintah. Salah satu perbedaan menonjol Pemilu 1999 dibandingkan enam pemilu sebelumnya adalah jumlah peserta yang banyak dengan asas yang beragam. Hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik memberikan kebebasan kepada warga negara Republik Indonesia untuk mendirikan partai politik dengan asas atau ciri partai sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila. Syarat-syarat pembentukan partai politik menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 amat mudah. Setiap 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk partai politik. Menurut ketentuan Pasal 2 (2) mereka hanya diharuskan melengkapi persyaratan: (a) mencantumkan Pansasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partainya; (b) asas atau ciri, aspirasi dan program partai tidak bertentangan dengan Pancasila; (c) keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memiliki hak pilih; dan (d) tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera negara kesatuan Republik Indonesia, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan, dan nama serta lambang partai lain yang telah ada. Berbagai analisis perbandingan Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 mempostulasikan adanya kontinuitas antara kedua pemilu yang diikuti puluhan partai politik tersebut. Dengan menganalisis data hasil penelitian lokal (kabupaten/kota), King (2000: 6) mengukuhkan postulasi tersebut. Beberapa temuan King mengungkapkan bahwa secara umum terdapat kontinuitas politik aliran dan basic cleavage antara tahun 1955 dan 1999. Pemilu 1999 pun memunculkan kembali basis cleavage di antara para pemilih pada daerah-daerah yang mendukung partai nasionalis dan pada daerah yang mendukung partai Islam. Lebih jauh, Pemilu 1999 memunculkan kembali perbedaan orientasi yang hidup di kalangan Islam. Orientasi tradisional dan modern yang menonjol pada 1955 kembali mengemuka. Kontinuitas politik aliran dan basic cleavage antara Pemilu 1955 dan 1999 tampak menonjol di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur. Politik di kawasan pesisir utara Jawa yang membentang dari Tuban, Lamongan, Gresik, Pasuruan, Pulau Madura hingga Banyuwangi tersebut merupakan zona politik kaum santri. Di wilayah ini, NU memiliki akar ideologis yang kuat. Sedemikian kuatnya, beberapa penduduk di kawasan ini menyebut NU sebagai agamanya, dan mengaku sudah menjadi NU sebelum dilahirkan. Hasil Pemilu 1955 dan 1999 memperlihatkan dominasi Partai NU dan PKB di wilayah Tapal Kuda. Sementara wilayah Jawa Timur lainnya (yang lazim disebut kawasan Mataraman) menjadi basis partai-partai politik berhaluan nasionalis. Sebagaimana tampak dalam Peta Politik Jawa Timur (lihat lampiran), kawasan Mataraman menjadi basis PNI dan PKI pada Pemilu 1955 serta PDI-P dan Partai Golkar pada Pemilu 1999. Partai yang berhaluan nasionalis, seperti PDI-P mendominasi perolehan suara pada Pemilu 1999 di Malang, Blitar, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Jombang, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Bojonegoro dan Tuban. Sementara PKB mendulang suara yang signifikan di kawasan Tapal Kuda. Secara keseluruhan PKB merebut 35,48% suara pemilih di Jawa Timur, disusul PDI-P di urutan kedua dengan merebut 33,81% suara pada Pemilu 1999. Persaingan antara PKB dan PDI-P di wilayah Tapal Kuda merupakan pengulangan persaingan antara kekuatan Islam dan nasionalis pada Pemilu 1955. Pada Pemilu 1955, Partai NU memperoleh 34,14%, PKI meraih 23,29%, PNI meraup 22,%, dan Masyumi merebut 11,24% suara pemilih (KPU, 1999). Identitas Tapal Kuda sebagai wilayah politik santri mengalami transformasi pada masa Orde Baru. Pada masa ini, dukungan terhadap NU disalurkan melalui PPP. Meski Golkar mendominasi perolehan suara di Jawa Timur, di wilayah Tapal Kuda Golkar mendapat perlawanan kuat dari PPP. Bahkan di Pasuruan, Golkar tidak pernah unggul. Perolehan suara PKB pada Pemilu 2004 di wilayah Tapal Kuda tidak jauh berbeda dengan hasil Pemilu 1999. Hal ini memunculkan dugaan adanya pemilih ideologis PKB di wilayah ini. Namun fakta yang dihimpun pasca pemilu legislatif April 2004 dan pilpres putaran pertama mengungkapkan fakta yang berbeda. Para pemilih umumnya menyebut tiga alasan mengapa mereka memilih PKB dalam Pemilu 2004. Pertama, “kedekatan” mereka dengan calon legislatif yang dimajukan PKB. Mereka memilih calon yang dikenal atau diperkenalkan kepada mereka. Dengan demikian, dalam pemilu legislatif preferensi pemilih PKB lebih dibentuk oleh pengenalan mereka tentang calon legislatif. Fakta ini pun menyiratkan pentingnya peran “political broker” sebagai agen pemasaran politik. Kedua, di luar pengenalan pemilih tentang kandidat yang dimajukan adalah tradisi politik keluarga. Banyak pemilih mengidentifikasikan sebagai pendukung PKB karena keluarga mereka sejak dahulu adalah pendukung Partai NU. Dalam pandangan mereka, PKB adalah “titisannya” Partai NU karena didirikan dan didukung oleh kiai-kiai NU. Banyak pemilih dari kelompok ini hanya mencoblos tanda gambar karena calon yang dimajukannya tidak mereka kenal. Namun mereka mengaku tidak ragu memilih PKB karena yakin calon yang dimajukannya pasti berasal dari kalangan kiai, keluarga kiai, atau kalangan santri. Ketiga, pilihan politik kiai menjadi faktor penentu keputusan untuk memilih. Pengaruh pilihan politik kiai semakin besar apabila calon yang dimajukan partai tidak mereka kenal. Fakta ini berguna dalam menjelaskan mengapa tidak semua keluarga pendukung Partai NU memilih PKB dan mengapa tidak semua pemilih PKB memilih calon presiden yang dimajukan PKB. Pemilih yang berasal dari keluarga bertradisi politik NU yang tidak memiliki calon legislatif yang mereka kenal menggantungkan keputusannya untuk memilih kepada kiai panutan mereka. Bila kiai mereka memperlihatkan preferensi kepada PKB, atau dikenal dekat dengan tokoh-tokoh NU yang melahirkan PKB, maka pilihan mereka adalah PKB. Sedangkan apabila kiai mereka memperlihatkan preferensi pada partai lain, dan mereka tidak mengenal tokoh-tokoh yang membidani PKB, maka mereka mengaku tetap memilih PPP. Karena itu, di wilayah Sampang dan Pasuruan misalnya, ditemukan keluarga yang dahulu pendukung Partai NU namun tetap memilih PPP. Kasus terakhir ditemukan pada daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh kiai yang berorientasi politik PPP dan tidak terlalu “bermesraan” dengan tokoh-tokoh NU yang membidani kelahiran PKB. Pengaruh pilihan politik kiai lebih rendah kadarnya dalam pemilihan presiden karena pemilih relatif lebih independen. Hal ini terjadi karena pemilih mengaku amat mudah menemukan informasi tentang calon presiden. Namun pada pemilih yang tidak memiliki akses informasi, pengaruh pilihan politik kiai tetap dominan, bahkan pengaruhnya jauh lebih kental. Kesimpangsiuran tentang sosok calon presiden membagi pemilih ke dalam dua kategori. Kategori pertama, adalah kelompok yang mengaku aktif mencari informasi tentang sosok calon dari berbagai sumber. Kelompok ini umumnya berusia muda dan berpendidikan formal yang relatif bagus. Mereka tidak menjadikan kiai sebagai satu-satunya rujukan dalam menentukan pilihan. Meski jumlahnya relatif kecil, peran politik mereka amat signifikan karena mereka pun membagi informasi yang didapatkan kepada pemilih lainnya. Kategori kedua, adalah kelompok yang “bermakmum” pada pilihan politik kiai. Mengikuti pilihan politik kiai menjadi jalan keluar dari kesimpangsiuran tentang sosok calon presiden. Meski terkesan fatalistik, pilihan jalan keluar ini memiliki landasan teologis yang kuat. Mereka bermakmum kepada pilihan politik kiai bukan semata-mata sebagai bentuk pelarian (escape) dari situasi yang membingungkan, namun diyakini sebagai jalan menuju (wasilah) beroleh berkah (tabaruk). Selain ketertutupan akses informasi, orientasi tabaruk menguat karena sebagian besar massa PKB mengaku tidak memiliki target politik. Berbeda dengan elit PKB yang mengejar jabatan politik, keterlibatan massa dalam pemilu tidak diarahkan oleh tujuan tertentu. Mereka menyadari, bila tidak berniat untuk memperoleh berkah, tindakan mereka tidak bermakna sama sekali. Mereka hanya akan jatuh pada kategori penggembira untuk kemudian dilupakan setelah pemilu berakhir. Dikaji dari konteks ini, orientasi tabaruk pun bermakna mendekatkan dunia politik yang jauh dari jangkauan massa. Analisis pada bagian ini mengungkapkan preferensi pemilih PKB tidak dibentuk oleh pemahaman mereka tentang platform. Pemilih PKB menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan asal-usul kandidat, pilihan politik kiai panutan mereka dan faktor figur kandidat. Tradisi politik keluarga menjadi predisposisi dan landasan identifikasi kepartaian mereka. Partai Politik dan Pendidikan Demokrasi Peranan partai politik dan pemilu dalam proses pembangunan demokrasi masih menjadi polemik di tanah air. Secara teori, kedua pranata ini tidak disangsikan lagi menjadi bagian terpenting bangunan demokrasi. Namun dalam praksis politik Indonesia, keduanya kerap menampilkan realitas politik yang bertentangan dengan kaidah demokrasi. Keberadaan partai politik di Indonesia memiliki relasi dengan keadaan sosial serta iklim demokrasi di Indonesia. Berbagai kendala pun muncul dalam perkembangan partai politik, sejak masa kemerdekaan sampai pascareformasi sekarang. Kendala yang dihadapi oleh partai politik di Indonesia antara lain sebagai berikut. Perjalanan partai politik selalu diwarnai oleh "patahan-patahan sejarah" (historical fractures) partai, menurut Daniel Dhakidae; patahan terbesar adalah pada zaman pendudukan Jepang yang tidak mengakomodasi partai politik. Ketika kemerdekaan diraih pada tahun 1945, masyarakat Indonesia menikmati euforia politik yang luar biasa. Partai-partai menjamur pada masa demokrasi parlementer dengan ideologi yang beranekaragam seperti keadaan sekarang. Adanya jurang lebar antara partai politik dengan masyarakat akibat warisan kebijakan massa mengambang dan praktik korporatisme negara pada Orde Baru. Partai-partai dikebiri dan diputus jalinannya dengan rakyat sementara aspirasi (kepentingan) masyarakat disalurkan secara "terkendali" melalui organisasi-organisasi bentukan negara. Era reformasi merupakan peluang untuk merancang ulang orientasi partai. Persoalannya adalah membuat partai-partai berakar pada masyarakat. Hal ini harus dimulai dengan meluasnya jaringan organisasi partai ke akar rumput. Tetapi, perluasan jaringan organisasi partai sejauh ini sebatas untuk memobilisasi dukungan massa untuk meraih kekuasaan, bukan dalam rangka menerjemahkan fungsi-fungsi partai yang komprehensif. Dalam praktiknya partai-partai politik tetap tidak berhasil menampilkan diri sebagai basis artikulasi, partisipasi, dan kontrol publik terhadap negara. Partai politik di Indonesia sangat kental dengan elitismenya ketimbang sebagai organisasi yang mengakar ke bawah. Hal yang menonjol adalah ketergantungan organisasi partai pada figur pemimpin puncaknya ketimbang kinerja secara keseluruhan, sebagai instrumen untuk meraih dukungan massa. Partai politik lebih digerakan oleh politik identitas yang sektarian ketimbang oleh ideologi dan perjuangan kelas. Kepartaian di Indonesia jauh dari budaya oposisi. Di masa Orde Baru, dua partai nonpemerintah (PPP dan PDI) adalah lawan-lawan politik yang tidak berperan sebagai oposisi, melainkan sebagai pecundang yang cukup puas menerima pembagian jatah kekuasaan dan kekayaan secara terbatas. Huntington (2000) memandang bahwa pengalaman berdemokrasi di masa lalu dapat menjadi salah satu faktor pendukung lahirnya kembali demokrasi di sebuah negara. Maka dengan serta merta mungkin para penggagas politik Indonesia menoleh pengalaman di masa Demokrasi Konstitusional era 1950-an yang diwarnai kontestasi multipartai dan partisipasi politik yang meluas untuk mendukung argumen bahwa demokrasi bukanlah ide yang asing dalam pengalaman bernegara kita. Dan kini, pasca tumbangnya rezim otoriter Orde Baru Indonesia tengah mencoba membangun kembali tatanan demokrasi dengan wajah baru. Tetapi, Huntington juga mengingatkan bahwa kegagalan proses konsolidasi demokrasi akan memberi gambaran buruk tentang wajah demokrasi. Pada masa lalu juga, Indonesia pernah gagal menjaga keberlangsungan demokrasi tersebut hingga kemudian terkungkung dalam cengkeraman otoritarianisme yang panjang. Lebih jauh Huntington menjelaskan, kekecewaan yang berkembang pada sistem demokrasi yang baru dapat menimbulkan beberapa sikap berikut. Pertama, kekecewaan itu sering mengakibatkan pengunduran diri, sinisme, dan penarikan diri dari dunia politik. Kedua, kekecewaan mewujud dalam reaksi menentang pemerintah yang berkuasa, dan mengantikannya dengan kelompok politik alternatif. Ketiga, kekecewaan kadang menimbulkan reaksi yang bersifat anti kemapanan dengan menolak tidak hanya partai yang berkuasa, tetapi juga partai alternatif yang berada dalam sistem politik dan memberikan dukungan mereka kepada pihak di luar sistem. Keempat, ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi. Pendukung utama terhadap ide ini adalah kelompok konservatif sisa rezim otoriter. Dalam konteks Indonesia kontemporer, kekhawatiran akan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi bukan tanpa alasan. Jika mencermati fenomena politik yang terjadi beberapa tahun terakhir, setidaknya terdapat empat hal yang bisa memutar jarum perubahan ke arah langkah mundur. Dalam usia demokrasi yang masih sangat muda ini, kerap mencuat beberapa perilaku yang tidak demokratis sebagai berikut. Pertama, sebagian anggota masyarakat memaknai demokrasi baru sebatas kebebasan dengan tanggungjawab yang minim. Akibatnya, mereka merasa bebas untuk mengekspresikan kehendaknya namun mengabaikan kepentingan pihak lain dan bahkan dengan cara yang melanggar aturan. Tidak jarang tindakantindakan anarkis dianggap wajar untuk memperjuangkan kepentingan, sehingga kekerasan seolah menjadi kosakata yang inheren dalam kebebasan. Kedua, sebagian masyarakat belum memiliki mekanisme sosial yang tepat untuk mengelola perbedaan. Pada masa lalu, masyarakat Indonesia memiliki wajah yang nyaris seragam. Hal ini tidak lepas dari rekayasa sosial yang dilakukan oleh rezim Orde Baru yang menabukan perbedaan. Akibatnya, ketika liberalisme muncul sebagai salah satu wajah demokrasi, masyarakat belum siap untuk menerima kenyataan bahwa kehidupan ternyata memiliki banyak ragam pandangan, kepentingan, dan orientasi. Kegagalan mengenali keragaman dalam masyarakat dan tiadanya mekanisme sosial untuk mengelola perbedaan kemudian mengarah kepada terjadinya konflik horizontal. Hal ini dapat memberi kesan buruk bahwa kebebasan yang menyertai demokrasi ternyata merupakan pangkal terjadinya konflik. Padahal, selain menghargai perbedaan, demokrasi juga berbicara tentang konsensus. Kemauan untuk berdialog dan membangun mekanisme sosial untuk mengelola konflik sesungguhnya dapat membawa kita pada kedewasaan untuk mengarungi bahtera demokrasi. Ketiga, sebagian elite politik masih mengembangkan cara-cara nondemokrasi untuk memperjuangkan kepentingannya. Dalam pemilu legislatif yang lalu, sebagian lembaga pemantau pemilu mensinyalir adanya politik uang atau mobilisasi oleh pejabat pemerintahan demi memilih partai atau kadidat tertentu. Tetapi, sebagaimana biasa hal tersebut sulit untuk dibuktikan. Meski demikian, indikasi-indikasi yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga pemantau tersebut cukup membuat kita khawatir akan merebaknya perilaku politik nondemokratis. Keempat, konservatisme elite politik dalam menyikapi berbagai isu reformasi. Beberapa agenda reformasi seperti penegakan HAM, reformasi lembaga peradilan dan perangkat hukum, serta pemberantasan korupsi masih berjalan lamban. Tentu saja hal demikian membawa kekhawatiran bahwa rezim pascaotoriter akan menjadi penerus setia bangunan politik Orde Baru. Dengan meminjam istilah Benedict Anderson, mungkin kondisi ini dapat dideskripsikan secara singkat sebagai 'Old State, New Society'. Rezim boleh berganti baru, tetapi secara umum tidak terdapat perubahan berarti dalam kultur pemerintahan. Masyarakat politik masih tetap didominasi oleh nilai-nilai lama warisan rezim terdahulu. Hal yang demikian akan dapat membuat masyarakat frustrasi dan mengambil kesimpulan bahwa perubahan ternyata hanya memberi keuntungan bagi segelintir elite, sementara rakyat selalu saja menjadi aktor pinggiran yang kepentingannya kerap diabaikan. Mencari jumlah partai yang ideal bagi Indonesia tidak lebih penting ketimbang mendorong demokratisasi internal partai politik. Demokratisasi internal penting dilakukan bukan saja untuk mengikis oligarkhi partai, tetapi juga mendorong kinerja partai. Oligarkhi harus dikikis bukan saja menghambat promosi karier secara transparan, tetapi juga merusak keterwakilan. Bila oligarkhi menguat, partai akan sulit memainkan perannya sebagai representasi kepentingan pengikut, tetapi hanya mengukuhkan dominasi kaukus yang dibentuk tokohtokoh senior partai (gerontocracy). Penghormatan terhadap figur yang menjadi ikon partai akan meredusir kepentingan pengikut. Kehidupan kepartaian harus dikembalikan kepada khittoh sebagai peletak tradisi panjang demokrasi. Pemilu harus menjadi alat koreksi bagi partai yang merusak tradisi demokrasi, dan memajukan kader-kader yang mengusung nilai-nilai baru. Maka tugas para kader partai tidak lain adalah mempromosikan nilai-nilai terbaik yang diyakini sebagai jalan menuju kebaikan bersama. Debirokratisasi partai politik adalah agenda pertama yang harus dilakukan bersama-sama dengan perbaikan citra partai di mata publik. Posisi partai yang mengesankan dirinya sebagai birokrasi politik yang menjauhkan dirinya dari grass root harus diakhiri. Demikian pula kegiatan pengurus yang hanya mengulang rapat, atau duduk di kepanitiaan, harus diubah. Jumlah aktivis partai harus diperbanyak ketimbang sekedar menjadi “petugas” partai. Pendidikan kader secara berjenjang adalah agenda penting lainnya. Promosi berdasarkan jenjang pelatihan kader yang sudah ditamatkan akan mengurangi koncoisme, menguatkan transparansi, dan diyakini mampu mendongkrak akuntabilitas kinerja partai. Pendidikan kader tidak memadai bila hanya dipandang sebagai dampak pengiring (nurturant effect) keterlibatan kader dalam aktivitas harian (rutin) partai. Enterpreneurship partai dalam menaklukan perilaku pasar politik akan menentukan masa depan partai dan demokrasi itu sendiri. Di luar partai masih banyak pemain lain. Partai politik tidak boleh terlambat membangun loyalitas pengikutnya sebelum mereka direnggut kelompok kepentingan, atau tergilas isu global persamaan hak, gender, senjata nuklir, atau lingkungan. Di atas segalanya, usaha nyata partai politik dalam membebaskan pedukungnya dari selimut kelaparan dan ketakutan adalah investasi terbesar dalam membangun demokrasi dan menjamin tetap utuhnya Republik Indonesia. Untuk itu, langkah partai dan kadernya mengambil jalan yang berbeda dengan kehendak masyarakat yang mereka wakili adalah “perceraian” yang sesungguhnya dengan kepentingan umum, sekaligus pengingkaran terhadap jati diri partai politik itu sendiri Pertemuan 13-14 Islam, Budaya, dan Demokrasi Relasi antara agama dan politik mengandung dimensi yang luas. Namun secara teoretik kemunculan agama dalam khasanah politik bisa mengambil bentuk sebagai garis ideologi politik ataupun sekedar alat untuk melegalisasi pikiran yang dianut aktor politik. Namun di luar dua sisi tadi, pemakaian simbol-simbol agama untuk kepentingan politik jauh lebih mudah ditemukan. Lebih-lebih bila terjadi koeksidensi yang kuat antara agama dan politik. Dalam khasanah politik Indonesia kemunculan Islam sebagai entitas politik bukan barang baru. Ulama pun memiliki sejarah keterlibatan yang panjang dalam dunia politik. Sebelum era kerajaan Mataram Islam ulama telah memegang otoritas penting dalam bidang pemerintahan. Namum posisi dan peran ulama dalam wilayah politik mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika sosial politik. Uraian berikut akan mengetengahkan analisis tentang kontribusi Islam di Indonesia dalam penataan demokrasi. Meski demokrasi diyakini memiliki keterbatasan dalam mewadahi ajaran Islam, namun kontribusi Islam dalam membentuk karakter umatnya yang kongruen dengan ide demokrasi tidak bisa disangsikan lagi. A. Islam dan Demokrasi Hubungan Islam dan demokrasi tidak sederhana. Namun Liddle dan Mujani (2000) mencoba menggambarkan hubungan tersebut dalam asumsi yang sederhana. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Dalam pandangan kelompok ini, Islam tidak bisa disubordinasikan ke dalam demokrasi. Islam merupakan sebuah sistem yang self-sufficent. Islam dan demokrasi bersifat mutually exclusive. Islam dipandang sebagai sistem alternatif terhadap demokrasi. Pendapat tersebut dikemukakan oleh elit Kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pad masa awal revolusi Islam Iran (Eickelman dan Psicatori, 1996). Kedua, pendapat yang mendefinisikan demokrasi secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikan di negara-negara demokrasi maju (seperti AS dan Eropa Barat). Islam juga merupakan sistem politik demokratis apabila demokrasi didefinisikan secara subtansif, yakni kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat tersebut. Sebagai contoh, apabila rakyat menghendaki sebuah sistem pemerintahan tertentu, misalnya sistem pemerintahan dibawah otoritas ulama seperti di Iran, maka sistem pemerintahan tersebut dapat dianggap demokratis. Kedaulatan rakyat diterjemahkan dengan mengabaikan prosedur-prosedur yang disepakati dan dipraktikan di negara-negara demokrasi. Pluralitas dan persaingan antara kelompok-kelompok masyarakat yang diagregasi ke dalam bentuk partai politik untuk memperebutkan posisi-posisi penting, dari tingkat lokal sampai nasional. Oleh karena itu, jumlah partai politik pun lebih dari satu dan bersifat kompetitif. Semuanya mendapatkan perlindungan konstitusional, sehingga negara tidak dapat disubordinasikan ke dalam suatu partai tertentu. Ideologi sebuah partai yang berbeda dengan ideologi partai lain tidak bisa dijadikan ideologi negara. Pemilu demokratis adalah prosedur dari persaingan kelompok-kelompok masyarakat yang pluralis ini, apakah dari segi ideologi, ekonomi, maupun politik. Dalam kasus Iran, di sana tidak ada jaminana konstitusioanl bagi lahirnya partai politik lebih dari satu. Tidak boleh ada partai politik yang tidak berdasarkan Konstitusi Islam (Arjoman, 1993), sehingga persaingan antara kelompok kepentingan politik yang beragam itu tidak dimungkinkan. Karena itu pula prasyarat dasar demokrasi tidak terpenuhi. Prosedur demokrasi diabaikan oleh pandanganpandangan subtabsif tentang demokrasi yang tumbuh diantara pemikir Islam seperti halnya di kalangan pemikir Komunis. Mendefinisikan demokrasi secara subtansif dengan mengabaikan prosedur berujung pada kegagalan analitik untuk membedakan antara rezjm demokrasi dan totalitarianisme. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokratis seperti yang dipraktikan di negara-negara maju. Pandangan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan yang diterjemahkan dalam politik elektoral dan politik kepartaian hidup di antara pemikir Islam, walaupun memang tidak sampai menjadi mainstream. Dalam menjelaskan kelangkaan rezim demokrai di dunia Islam akan digunakan berbagai pendekatan antara lain : pendekatan kultural, pendekatan sosial ekonomi, pendekatan konsensus/kompromi elit, dan pendekatan pilihan rasional elit atau aktor startegis. Teori sosial ekonomi mulai populer sejak Lipset (1959) dan Moore (1966) menjelaskan muncul dan stabilnya demokrasi. Dalam pandangan Lipset, pertumbuhan ekonomi dan semakin terdidiknya masyarakat, setidaknya dalam jangka panjang, akan berdampak pada semakin kuatnya tuntutan terhadap demokrasi di suatu negara. Apabila masyarakat sudah meningkat kesejahteraan dan tingkat pendidikannya, maka mereka akan menuntut terbukanya mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Demokrasi menjadi pilihan untuk menampung aspirasi tersebut, karena demokrasi adalah mekanisme politik yang paling memungkinkan untuk memenuhi aspirasi tersebut. Sedangkan bagi Moore, demokrasi adalah rezim yang lahir dari perubahan cara produksi feodalis ke cara produksi kapitalis, yang kedua-duanya berlangsung melalui pertentangan kelas sosial, melalui eksploitasi atas budak pada masa feodalisme, dan melalui eksploitasi atas buruh pada masa kapitalisme. Implisit di dalam argumen kelas sosial historis ini adalah sulitnya negara-negara Dunia Ketiga menjadi negara kapitalis yang dapat bersaing dengan negara-negara Kapitalis Barat karena mereka tumbuh dari konteks perkembangan sejarah yang berbeda. Kapitalisme maju tumbuh dalam konteks imperalisme. Konteks historis inilah yang tidak dimiliki oleh negara-negara Dunia Ketiga, karenanya demokrasi merupakan fenomena langka di negara-negara tersebut. Argumen lainnya adalah datang dri O’Donnell (1979) dan Evans (1979) yang percaya bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang seperti di kawasan Amerika Latin dengan model kapitalisme Barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekankan partispasi massa dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptkana stabilitas politik adalah negara di bawah komando militer. Karena itu, pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong ke arah demokrasi, tapi justeru menghambat demokrasi karena peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa disingkirkan dalam proses politik. O’Donnell menyebut fenomena ini buraucratic authoritrianism. Kelemahan buraucratic authoritrianism yang menuai kritik adalah O’Donnell tidak melihat pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur pada tahun 1980-an, dimana pembangunan kapitalis tidak sepenuhnya melahirkan rezim otoritarian. Melihat realita di negara-negara Asia Timur, pada penghujung 1980-an O’Donnell berkesimpulan bahwa munculnya rezim demokrasi adalah suatu “kebetulan” sejarah, yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting dalam proses transisi ke rezim demokrasi, tapi kapan elite menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya, tidak bisa dijelaskan. Di awal 1970-an, penjelasan terhadap transisi demokrasi lebih fokus pada elit. Pendekatan ini melihat bahwa transisi ke demokrasi pada dasarnya merupakan hasil dari kreasi, pilihan, dan kompromi elite politik dimana demokrasi merupakan rule of game yang dipandang paling pas bagi kontes politik antarelite politik. Sejak awal 1980 “model” ini telah banyak dikembangkan dengan berbagai variannya. Misalnya inisiatif atau kreasi elite politik yang hampir tidak diungkap polanya (O’Donnell dan Schmitter, 1986; DiPalma, 1984), atau peran elite dalam konteks institusi politik (Linz dan Stepan, 1996; Higley dan Gunther, 1992) atau kalkulasikalkulasi rasional elite dan kelompok kepentingan dalam rangka mencapai tujuan politik mereka (Prezeworski,1991). Dalam pendekatan elite, disumsikan bahwa transisi dari rezim nondemokratik ke rezim demokratik sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elite politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memungkinkan elite mencapai tujuan politik mereka. Perilaku elite dibentuk oleh konteks struktur sosial-ekonomi atau oleh budaya politik disuatu negara. Konsep civic culture sebagai budaya politik demokratis dikembangkan oleh Almond dan Verba (1963) yang pada dasarnya sama dengan prepektif Tocqueville dalam menjelaskan demokrasi di Amerika , yang akar filosofinya ditarik dari Rousseau. Konsep tersebut telah direaktualisasi tahun 1990-an dalam studi politik Making Democracy Work karya Putnam (1994). Dalam karyanya, Putnam menunjukan tidak relialistiknya penjelasan new-institutionalism dan sosial ekonomi terhadap kinerja demokrasi, menurutnya yang menentukan perkembangan demokrasi adalah civic culture atau civic community. B. Civic Culture dan Demokrasi Civic culture adalah sikap dan tindakan yang terlembagakan yang dibangun atas dasar nilai-nilai yang menekankan pentingnya hak partisipasi warga negara untuk mengambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan berbagai aspek kepentingan publik. Partisipasi ini dibangun atas hal-hal yang mendasar (Putnam, 1994) yaitu: Egalitarianisme atau hubungan timbal balik secara horizontal sesama warga. Pluralisme, dimana perbedaan paham, kepercayaan, dan kepentingan sesama warga diterima sebagai kenyataan hidup yang harus dihargari, karena itu toleransi sosial politik memberi ciri krusial terhadap civic community. Rasa saling percaya (trust) dan solider sesama warga Lawan dari civic culture adalah klerakilisme, yaitu orde sosial hirarkis yang dibangaun atas dasar otoritas sakral elite-elite agama sehingga memunculkan perilaku dan sikap yang tidak setara secara sosial antara warga karena perbedaan posisi hirerkis sosial keagamaan. Proses-proses pengambilan keputusan untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik terkait erat dengan perbedaan hirarkis sosial keagamaan antar warga, bahkan otoritas keagamaan meluaskan wilayah otoritasnya sehingga memasuki sosial politik dimana komunitas-komunitas keagamaan lain terlibat di dalamnya. Untuk mengukur sejauh mana negra berciri demokratis atau tidak, skala “kebebasan” yang dikontruksi Freedom House sangat membantu. Setiap tahun Freedom House melaporkan skala kebebasan negera-negara di dunia, yang terdiri dari kebebasan yang berkaitan dengan hak-hak sipil (kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, kebesan pers, dan equality befor law)dan yang berkaitan dengan hak-hak politik (hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu demokratis). Atas dasar ini Freedom House membuat rating dua dimensi kebebasan ini antara 1 sampai 7, semakin besar rate kebebasan sebuah negara, maka semakikn tidak bebas negeri tersebut, dan sebaliknya. Skala kebebasan 1-3 termasuk dalam kategori bebas, 3-5 sebagian bebas, dan skala 5-7 termasuk tidak bebas. Oleh William Leddle dan Saiful Mujani sebutan kategori tiap skala diganti, “bebas” diartikan “demokrasi”, “setengah bebas” diartikan “semi demokrasi”, dan “tidak bebas” diartikan “otoitariansime”. Dalam masyarakat yang berkultur politik demokratis, proporsi warga negara yang tertarik dengan politik dan sering mendiskuiskan politik, besar. Demikian juga prporsi toleransi terhadap kelompok sosial politik yang berbeda, termasuk yang ekstrim Kiri maupun Kanan. Selain itu juga warga negara yang berkultur politik demokratis cenderung saling percaya sesama warga (Almond dan Verba, 1963; Putnam, 1994; Inglehart, 1988). Agama tidak hanya diukur secara nominal, Islam versus non-Islam, tapi juga intensitas keberagaman masyarakat suatu negara. Banyak dimensi untuk mengukur tingkat keberagamaan antara lain tingkat kesetaraan, seberapa penting agama dan Tuhan dalam hidup, persamaan nyaman dengan agama, dan intensitas sembahyang. Pada tahun 1997/1998, dari seluruh negera-negara muslim di duniam hanya 8,7% yang dapat dikategorikan demokratis, yaitu di Mali, Bangladesh, dan Cyprus. Di negara-negara tesebut, pemilu demokratis telah berlangsung dimana warga secara sukarela ikut memilih dan dipilih. Para elite politik bersaing secara bebasatas dasar aturan main demokrasi. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan equality before the law telah berlangsung di negara-negara ini. Proporsi negara-negara muslim yang semi demokratis cukup besar yaitu 30% antra lain di Turki, Pakistan, Malaysia, Jordania, Kuawit, Kyrgzitan, Azerbaijan, Maroko, Komoros, Sierra Leone, dan Indonesia. Di negaranegara tersebut pemerintahan demokratis sekali-kali diintervensi oleh negara, terutama oleh tentara dengan alasan integrasi nasional. Selain itu juga persaingan politik terkadang diwarnai dengan kekerasan sesama warga sipil. Proporsi paling besar di negara-negara muslim adlah bertipe otoritarianisme/Sultanisme yaitu sekitar 30% diantaranya adalah Arab Saudi, Afganistan, Sudan, Somalia, Iraq, Syria, Tukmenistan, Guinea dan Libya. Penyelenggaraan pemilu di negara-negara tersebut tidak dalam rangka suksesi dan persaingan elite politik, kalaupun ada partai politik, tidak lebih hanya sebagai alat mobilisasi elite yang berkuasa, dan untuk merintangi elit yang lain.. Di tingkat masyarakat, relatif sedikit lembaga-lembaga atau organisasi sosial (LSM) yang independen. Ketika Uni Sovyet runtuh melahirkan 15 negara-negara baru, sebagaian negara baru yang penduduknya Islam tidak mengalami perubahan dari rezim komunis ke rezim demokrasi. Mereka secara regional telah muncul seagai negara-negara otorian baru. Sedangkan negara-negara bekas Uni Sovyet yang mayoritas pendudukan non muslim sebagian besar beralih ke rezim demokratis. Selain itu, fakta lain menyebutkan bahwa elit umat Islam di dunia yang paling rajin menyebut kata ‘Islam’, ‘persaudaraan muslim’, dan jargon lainnya yang mencerminkan Islam ternyata hampir semuanya hidup dalam rezim otorian. Selain itu juga ada kecenderungan umum bahwa negara-negara Muslim yang artikulasi Islam politiknya kuat – yang ditunjukan oleh relatif kuatnya gerakan Islamis dan terlembagakannya Islam dalam partai politik – negaranegara Muslim tersebut punya kesulitan untuk mendirikan rezim demokratis penuh. Misalnya malaysia, Pakistan, dan Turki, dalam kurunwaktu yang lama mereka berada di antara rezim otorian dan demokrasi (semi demokrasi). Sementara Mali dan Bangladesh yang tidak memiliki partai politik Islam yang kekuatannya cukup signifikan, ternyata relatif sukses membangun demokrasi. Di Mali tidak ada partai politik yang dibangun atas nama Islam. hal menarik di Bangladesh dan Mali adalah bukan saja karena mereka telah membantah argumen pengaruh tingkat pembangunan sosial-ekonomi terhadap demokrasi, tapi juga mereka memberikan isyarat bahwa demokrasi dapat muncul dari bagian “pingiran” kebuadayaan Islam. Dari pengamatan terhadap dua negara tersebut, memperkuat dugaan bahwa Islam sebagai kultur politik tidak sejalan dengan demokrasi. Di negara-negara muslim pada umumnya ada gerakan yang menyuarakan bahwa Islam mengandung nilai-nilai positif bagi demokrasi, namun gerakan pemikiran ini masih belum kuat dibanding pemikiran dan kelembagaan Islam yang tidak mencerminkan demokrasi. Dalam kaitan ini ada pertanyaan yang patut direnungkan, adakah sesuatu yang "salah" di negara-negara Muslim, sehingga proses pemantapan demokrasi dan kebebasan di sana terus tersendat? Kalaupun demokrasi mulai berkembang, yang muncul kemudian adalah radikalisme dalam segala bentuknya, terutama agama. Indeks yang ditunjukkan Freedom House bisa menjadi satu indikasi bahwa demokrasi di negara-negara Islam masih mempunyai masalah yang besar. Mengapa demikian? Dalam kaitan ini ada penjelasan yang baik dari Samuel P Huntington (1991). Di samping faktor ekonomi dan politik, faktor budaya dan tradisi menjadi penghalang paling penting tumbuhnya demokrasi di suatu negara. Budaya dan tradisi masyarakat --menyangkut sikap, nilai, kepercayaan dan pola perilaku-- akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi. Suatu budaya masyarakat yang tidak demokratis, baik yang berasal dari kultur maupun pemahaman agama, akan menghambat penyebaran norma-norma demokratis dalam masyarakat, tidak memberi legitimasi pada lembaga-lembaga demokrasi, sehingga menghalangi fungsifungsi demokrasi secara baik. Berkaitan dengan budaya ini, paling tidak ada dua versi. Pertama, versi restriktif, yang menyatakan bahwa hanya budaya Barat yang cocok untuk persemaian demokrasi. Negara-negara yang berbudaya non-Barat tidak akan mampu melaksanakan demokrasi secara baik. Argumentasi ini muncul karena kenyataan bahwa demokrasi modern bermula dari Barat, karenanya sejak awal abad ke-19, negeri demokratis terbesar adalah negeri-negeri Barat. Kedua, versi kurang restriktif yang menyatakan bahwa tidak hanya satu budaya yang secara khusus dapat menopang demokrasi. Kebudayaan Konfusianisme dan Islam yang hidup di Timur tidak menutup kemungkinan dapat dijadikan lahan persemaian demokrasi. Konfusianisme yang pernah dianggap anti-demokrasi dan tidak akan berhasil dalam pembangunan yang kapitalis, namun ternyata menjelang dasawarsa 1980 Konfusinisme mampu mendorong demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di masyarakat Asia Timur. Ajaran Katolik, dibanding Protestan, juga pernah dituduh sebagai penghalang demokrasi dan ekonomi. Namun pada 1960-an dan 70-an negeri-negeri Katolik menjadi demokratis dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada negeri-negeri Protestan. Melihat kenyataan tersebut, sejauh dikaitkan dengan ajaran dan tradisi agama, maka demokrasi tidak bisa dinilai secara hitam-putih, "sesuai" dan "tidak sesuai". Budaya dan tradisi sebagai wadah gagasan, kepercayaan, doktrin, asumsi, pola perilaku dan sebagainya, mempunyai unsur-unsur yang sangat kompleks, karenanya di dalam tradisi dan ajaran itu terdapat unsur-unsur yang "sesuai" dan "tidak sesuai" dengan demokrasi sekaligus. Di samping itu, budaya yang kemudian melahirkan tradisi bukanlah sesuatu yang sudah selesai, tapi selalu dalam proses berubah. Oleh karena itu, sebuah tradisi yang semula diklaim menjadi penghalang demokrasi, pada generasi berikutnya bisa berubah menjadi sebaliknya. Spanyol barangkali contoh yang baik mengenai hal ini. Pada 1950-an budaya Spanyol dilukiskan bersifat tradisional, otoriter, hierarkis dan sangat religius. Namun pada dasawarsa 1970-an sifat-sifat tersebut tidak punya tempat lagi di Spanyol. Karenanya, budaya senantiasa mengalami evolusi dan faktor yang sangat mempengaruhi adalah perkembangan ekonomi. Dengan penjelasan ini jelas bahwa faktor budaya dan tradisi tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi permanen untuk menilai tingkat demokrasi suatu negara. Di samping karena faktor demokrasi yang memberi peluang kebebasan mengekspresikan ide, gagasan dan gerakan, munculnya gerakan radikalisme agama bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, kekecewaan terhadap sistem demokrasi yang dinilai sekuler, dimana agama tidak diberi tempat di dalam negara. Agama adalah urusan privat yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun, sedang negara urusan publik. Ajaran demokrasi yang menempatkan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) dianggap telah mensubordinasi Tuhan. Oleh karena itu, gerakan radikalisme agama biasanya mengambil bentuk pada perjuangan mendirikan negara Islam, negara teokrasi atau teo-demokrasi dalam istilah al-Maududi. Meskipun kelompok radikal kecewa terhadap sistem demokrasi, namun mereka memanfaatkan momentum demokrasi itu memperjuangkan aspirasi politiknya. Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan oleh ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara religius. Dalam konteks Islam, radikalisme agama jenis ini biasanya mengambil bentuk pada Islamisasi sistem sosial dan masyarakat dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap aktifitas sosial yang dianggap maksiat, melanggar agama. Radikalisme jenis ini bisa diekspresikan dalam bentuk perusakan terhadap tempat-tempat maksiat, pelacuran, perjuadian dan sebagainya. Ketiga, ketidakadilan politik. Radikalisme agama juga bisa muncul sebagai ekspresi perlawanan terhadap sistem politik yang menindas dan tidak adil. Suatu kelompok yang terus menerus ditindas dan diperlakukan tidak adil, maka akan muncul solidaritas internal serta militansi untuk tetap survive. Radikalisme jenis ini biasanya mengambil bentuk pada oposisi atas nama agama terhadap pemerintah. Dari ketiga hal tersebut, radikalisme agama yang muncul di Indonesia merupakan variasi dan percampuran dari model-model di atas. Dalam sebuah negara demokrasi, radikalisme agama, asal tidak melakukan anarkhisme sosial, harus tetap diberi ruang untuk berekspresi. Oleh karena itu, tugas negara bukan bagaimana membungkam radikalisme tersebut, tapi menyalurkannya melalui institusionalisasi politik secara baik. Dengan demikian, radikalisme agama akan tetap terkontrol dalam bingkai demokrasi. Menurut Bernard Lewis (Liddle dan Mujani, 2000), kata ‘civic’ dan ‘citizen’ dalam pengertian ‘warga negara’ atau ‘individu’ tidak dikenal dalam bahasa politik Islam. Yang dimaksudkan adalah individu yang otonom dan bebas untuk mebentuk asosiasi-asosiasi yang bersandar pada prinsip kesetaraan dan untuk ikut menentukan pengambilan keputusan menyangkut kepentingan publik speeti dipahami dalam bahasa politik Yunani ataupun Barat modern. Ketika pemahaman politik Yunani diperkenalkan ke Islam, para ulama dan elit politik tidak memperhatikan konsep Yunani “polities” yang berarti “warga negara” tersebut. Yang mereka perhatikan adalah konsep “polis”, “negara kota”, yang diterjemahkan menjadi “madina”. Sementara kata “madani” yang kadang-kadang digunakan sebagai padanan kata “polities” lebih biasa diartikan sebagai “negarawan”, bukan warga negara. Dalam bahasa politik Islam, dikenal istilah ra’iyya yang artinya “rakyat”, bukan warga negara yang otonom dari pengaruh kekuasaan, melainkan “kumpulan orang yang dituntun dan dilindungi oleh penguasa”. Dalam politik Islam juga dikenal istilah tab’i yang bebarti mengikuti, yakni rakyat yang dipersepsikan sebagai pengikut penguasa. Lewis juga menunjuk pada perilaku “ketundukan” dan “ketergantungan” terhadap penguasa. Hal itu semua mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam tradisi Islam yang panjang. Nilai-nilai tersebut merupakan akar kultural dari pola-pola hubungan sosial-keagamaan dan hubungan antara rakyat dan penguasa yang mencerminkan kultur politik klientelistik dam klerikal yang hirarkis/vertikal. Klerikalisme dalam dunia Islam dapat dikenali terutama lewat ulama sebagai lembaga sosial keagamaan dalam komunitas muslim, dimana ulama merupakan otoritas keagamaan. Sakralitas imam di kelompok Syi’ah sangat tinggi, sedangkan di kelompok Sunni tidak sesakral syi’ah. Pengalaman Indonesia sebagian menunjukan kuatnya Islam sebagai kultur politik terhadap kegagalan transisi demokrasi pada tahun 1950-an. Pada masa itu identitas Islam dipahami sebagai identitas politik. Prof John O Voll (Rumadi, 2002), guru besar sejarah di Georgetown University AS, mempunyai kesimpulan menarik mengenai relasi Islam, demokrasi, dan terorisme. Menurutnya, hubungan antara demokrasi dan terorisme di negara-negara muslim menampakkan wajah paradoks. Di satu sisi, tidak adanya demokrasi di negara-negara muslim dapat memunculkan terorisme, namun adanya demokrasi juga dapat melahirkan terorisme. Meskipun diakui bahwa terorisme tidak khas Islam, artinya bisa juga dilakukan siapa saja di luar muslim, namun asumsi yang mengatakan bahwa proses demokratisasi dapat menghilangkan radikalisme agama seperti terorisme, tidak berlaku di negara-negara muslim, karena proses demokratisasi di negara-negara muslim tidak otomatis menghilangkan terorisme (Kompas, 15/1/02). Tesis John O Voll tersebut tentu saja didasari oleh observasi yang mendalam mengenai perkembangan demokrasi di berbagai negara muslim serta efek-efek sampingan yang ditimbulkannya, sehingga kesimpulan tersebut memang banyak benarnya. Bahkan, proses demokratisasi bukan saja tidak secara otomatis menghilangkan terorisme, tapi justru dijadikan inspirasi bangkitnya radikalisme agama. Di beberapa negara muslim, gerakan-gerakan radikal keagamaan justru lahir pada saat proses demokratisasi sedang digelar. Indonesia barangkali bisa dijadikan contoh yang baik mengenai hal ini. Gerakan-gerakan agama radikal di Indonesia justru lahir di saat proses demokratisasi sedang berjalan. Otonomi daerah sebagai refleksi dari tuntutan demokrasi misalnya, justru ditandai dengan bangkitnya literalisme-radikalisme agama seperti kehendak untuk menerapkan "syariat Islam". Di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Aceh, Makassar dan Cianjur sudah disusun sejumlah Peraturan Daerah (Perda) untuk menerapkan syari'at Islam. Munculnya ormas-ormas Islam radikal dalam skala massif sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) juga terjadi ketika arus demokratisasi mulai digulirkan sejak Mei 1998, meskipun bibitbibitnya sudah muncul jauh sebelum itu. Bagaimana hal ini dijelaskan? Demokrasi yang seharusnya menjadikan tatanan masyarakat semakin cair, egaliter dan inklusif, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Demokrasi di Indonesia justru semakin mengentalkan identitas kesukuan, keagamaan, perbedaan agama menjadi sedemikian dieksploitasi, yang kemudian memberi peluang lahirnya eksklusifisme beragama. Kenyataan ini tentu saja tidak dikehendaki oleh proses demokrasi itu sendiri, tapi kemunculannya tidak dapat ditolak, persis seperti "anak jadah" yang kelahirannya tidak dikehendaki tapi juga tidak mungkin dicegah. Bahkan, membunuh "anak jadah" itu dapat dikatakan sebagai perbuatan kriminal. Artinya, menghambat sebuah aliran pemikiran tertentu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan semangat demokrasi. "Anak jadah" demokrasi berupa radikalisme agama tersebut pada tingkat tertentu justru menjadi ancaman bagi demokrasi. Demokrasi yang melindungi kebebasan berbicara, berpikir dan mengemukakan pendapat (freedom to speech, and expression) tidak mungkin menghalanghalangi aspirasi masyarakat, apapun bentuknya. Senang atau tidak, demokrasi tidak mungkin membungkam pemikiran-pemikiran tertentu meskipun pemikiran tersebut bertentangan dengan nilai demokrasi, karena pembungkaman itu bertentangan dengan makna demokrasi itu sendiri. Negaranegara yang sudah dewasa dalam berdemokrasi menunjukkan bahwa variasi ideologi dan pemikiran tetap dilindungi oleh negara. Namun justru di sinilah problemnya, karena dalam demokrasi ada kebebasan dan penghormatan atas pluralitas, maka demokrasi kelihatan begitu "loyo" untuk menghadapi radikalisme agama. Mekanisme demokrasi tidak bisa berbuat lain kecuali membiarkannya untuk berkompetisi dengan gagasan dan ide-ide lain. Atas dasar itu tidak mengherankan jika bangkitnya radikalisme agama seringkali dibungkus dengan baju demokrasi, sesuatu yang sebenarnya paradoks dengan semangat demokrasi. Perjuangan menegakkan syariat Islam di beberapa daerah, semangat menghidupkan kembali Piagam Jakarta misalnya, muncul atas nama demokrasi dan kebebasan. Barangkali inilah keterbatasan dari demokrasi yang tidak mampu mengeluarkan aspek-aspek yang dapat mengurangi kewibawaannya. Demokrasi bisa dimakan oleh kebebasan yang dibawanya, sehingga dengan demokrasi tidak menutup kemungkinan sebuah bangsa justru terjatuh pada otoritarianisme baru. Hal ini jelas sangat berbahaya, karena otoritarianisme baru berbaju demokrasi. Hasil studi komparatif di Iran, Sudan, Pakistan, malaysia, Aljazair, dan Mesir yang dilakukan oleh John L. Esposito dan John O. Voll (1996). Menurut penelitan mereka, kebangkitan Islam dan demokrasi di dunia muslim berlangsung dalam konteks global yang dinamis, dimana terjadi proses menguatnya identitas komunal dan tuntutan partisipasi rakyat muncul dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin memperkuat hubungan global, sementara pada saat yang sama identitas lokal masih sangat kuat. Dari berbagai pemikir Muslim, disimpulkan bahwa proses global kebangkitan agama dan demokratisasi di dunia Muslim, benar-benar saling mengisi. Kedua proses itu akan bertentangan jika “demokrasi” diidentifikasikan secara sanagt terbatas dan dipandang hanya mungkin jika pranata-pranata khas Eropa Barat atau Amerika diterapkan, atau jika prinsip-prinsip utama Islam didefinisikan secara tradisional dan kaku (Elposito & Voll, 1996:25). Dengan kata lain proses demokratisasi tidak seyogyanya selalu diukur dari kriteria demokrasi barat, tetapi seyogyanya dilihat secara kontekstula, karena demokrasi sendiri tidak berkembang dalam situasi yang secara sosial kultiral vakum. Memang diakui (Elposito dan Voll, 1996:28-29) bahwa kaum Muslim sepakat menempatkan tauhid sebagi inti dari keimanan, tradisi, dan praktek kehidupan Islam. Namun, demikian bukan berarti Islam menolak demokrasi yang intinya adalah kedaulatan rakyat, karena ada perintah dalam Islam untuk menaati Allah, rasul dan pemerintah. Selain itu, dalm Islam dikenal konsep-konsep khilafah sebagai bentuk kepemimpinan politik masyarakatnya, syura sebagai tadisi musyawarah, ijma sebagai bentuk konsep persetujuan dan ijtihad sebagai bentuk penafsiran mandiri. Hasil studi komperatif yang dilakukan ditemukan adanya keanekaragaman pemahaman hubungan demokrasi dan Islam di berrbagai negara sampel. Namun demikian disimpulkan bahwa bagaimanapun keanekaragaman pemahaman dan penggunakan konsep demokrasi itu, tuntutan akan demopkratisasi, partisipasi politik, dan demokrasi Islam menunjukan diterimanya demokrasi di banyak masyarakat muslim kontemporter. Sementara sebagian lainnnya tetap yakin bahwa demokrasi itu tidak Islami atau anti Islam. Demokrasi dan Ideologi Toleransi Pemahaman demokrasi bisa dibedakan atas pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif berkaitan dengan demokrasi sebagai tujuan atau sebenarnya persoalan sekitar, bagaimana demokrasi yang seharusnya ataupun sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara (Affan Gafar, 1999:3) Sementara pendekatan empiric terkait dengan system politik dan karenanya baik oleh Gaffar (1999:3) maupun James Ferguson (2002) disebut sebagai “procedural democracy”. Karena terkait dengan Sistem Politik, maka Demokrasi dikaitkan dengan soal Perwakilan Langsung (Cynthia Farrar, 1988). Tetapi tidak jarang dikaitkan juga model lain yang dikenal dengan Perwakilan Demokratis (Watson, Patrick & Barber, Benyamin, 1990). Kalangan Ilmuwan Politik kemudian secara empirik dengan mengamati praktek Demokrasi merumuskan demokrasi dengan beberapa indicator seperti misalnya Larry Diamond (Watson, Patrick & Barber, Benyamin, 1990:10) yang mengetengahkan Demokrasi dengan 3 ciri: Pertama – persaingan ekstensif untuk menduduki posisi politis Negara melalui Pemilu yang teratur, bebas dan adil, kedua – Partisipasi politik menyeluruh dan ketiga – kebebasan pers, berserikat dan ditegakkannya hukum. Sementara Bingham Powell (1982:3) menyebut kriteria sebagai berikut: The legitimacy of the government rests on a claim to represent the desire of its citizen. The organized arrangement that regulates this bargain of legitimacy is the competitive political election Most adults can participate in the electoral process both as voters and as candidate Citizens votes are secret and not coerced; Citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organizations Berbeda dengan Powell, Dahl (1989:233) sendiri mengajukan 7 indikator yang bisa diringkaskan sebagai berikut: Kontrol atas keputusan pemerintah, Pergantian elite atau pemimpin melalui Pemilu yang bebas, adil dan jujur dan secara regular, Semua orang dewasa memiliki hak suara, Semua orang dewasa mempunyai hak untuk menjadi kandidat dipilih, Adanya hak berekspresi, termasuk mengritik pemerintah, Termasuk juga akses ke sumber informasi alternative, Juga hak berkumpul dan berorganisasi dan masuk partai politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi termasuk indikator-indikatornya, maka setidaknya yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah: Pertama, adanya Pemilihan Umum yang regular, jujur dan adil yang memungkinkan pergantian elite dan pemerintahan dengan semua orang dewasa berhak memilih dan dipilih. Kedua, adanya pertanggungjawaban pemerintah terhadap kekuasaan yang dimilikinya kepada masyarakat. Ketiga, adanya kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintahan yang diekspresikan dalam bentuk memilih kembali atau menolak pemerintahan yang ada dalam Pemilu kemudian. Keempat, adanya kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul dan akses informasi yang bebas. Pada saat sekarang, hampir semua negara di dunia mengkalim sebagai penganut paham demokrasi. Istilah demokrasi sampai saat sekarang ditujukan terhadap sistem pemerintahan yang ideal. Istilah demokrasi muncul sejak zaman Yunani kuno dalam kata demos dan cratos, atau demos dan kratien. Demokrasi dibayangkan sebagai pemerintahan oleh semua orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (otokrasi). Penerapan demokrasi di setiap negara berbeda-beda. Bahkan, setiap negara menerapkan definisi dan penerapan demokrasi dengan cara masing-masing sesuai kriterianya sendiri. Sehingga tidak heran, negara RRC dan Kuba yang merupakan negara komunis pun mengaku dirinya sebagai negara demokrasi. Demokrasi di Indonesia pun demikian, sejak era Sukarno (gonta ganti demokrasi) sampai Suharto (Demokrasi Pancasila) Seiring dengan tumbangnya Suharto, perdebatan mengenai masa depan politik Indonesia mulai mengemuka. Sebagai pengingat, sekitar tahun 1990an orang Indonesia memperdebatkan mengenai seperti apa Negara Indonesia dan sistem perpolitikannya. Hal tersebut menyangkut legitimasi pemerintahan Suharto, hubungan antara Islam dengan Negara, peran serta abri dalam politik, kehidupan berdemokrasi, transisi pasca pemerintahan Suharto, dan pembangunan ekonomi. Perdebatan itu sebetulnya berangkat dari ideologi nasional Indonesia yaitu Pancasila. Secara singkat, Pancasila terdiri dari lima sila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, ketuhanan yang maha esa, kemanusian dan keadilan, persatuan kebangsaan, demokrasi Indonesia yang didasarkan pada perwakilan dan musyawarah, dan keadilan soaial. Banyak orang-orang di luar Indonesia menganggap ideologi nasional itu tidak nyata dan memerlukan pengkajian mendalam, tapi hal tersebut tidak benar. Karena Pancasila itu menyentuh semua aspek kehidupan politik. Pancasila meligitimasi bahwa perilaku berpolitik itu tidak hanya pemerintah, tetapi juga pihak-pihak yang bersebarangan. Debat politik sering terjadi dikarenakan Pancasila itu memang memungkinkan untuk diperdebatkan. Hingga pada akhirnya akan terungkap politik Indonesia, militer, agama (khususnya Islam), dan para pemimpin intelektual. Semenjak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi yang formal, maka sejak sat itu juga menjadikannya bahan yang tidak terpisakan untuk diperdebatkan. Pada 1 Juni 1945 adalah hari kelahiran Pancasila, sebagimana disampaikan oleh Sukarno presiden RI pertama (1945-1966). Tujuan awal Pancasila adalah menciptakan kesamaan cita-cita untuk memperoleh kemerdekaan, persatuan, dan terlepas dari penjajahan Belanda. Disini Sukarno menggambarkan sebuah negara yang tidak membede-bedakan agama, suku dan bangsa. Usulan untuk mendeklarasikan Islam sebagai dasar negara Indonesia jelas mendapat tantangan keras dari kalangan pemimpin sekuler, untuk itulah Pancasila didesain sebagai pernyataan yang universal yang bisa diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Nilai sosial yang terpenting dari Pancasila adalah toleransi, khsususnya dalam maslaah keagamaan. Pancasila mengakomodasi kepentingan dari golongan nasionalis sekuler baik muslim maupun non muslim bahwa negara tidak akan memprioritaskan Islam melampaui negara lain, itulah yang menyebabkan Indonesia bukan negara agama meskipun terdapat banyak agama. Pemerintah akan menghormati setiap perbedaan dalam beragama. Untuk beberapa orang Indonesia, toleransi Pancasila digambarkan dengan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang Indonesia, sebagai contoh YB. Mangunwijaya seorang aktifis kemanusian dan pendeta mengemukakan bahwa semua bangsa memiliki “batas”, dan inilah yang terjadi di Indonesia bahwa Islam maupun komunis tidak akan bisa diterima.Mangunwijaya mengatakan bahwa Pancasila menggariskan batasan ini dengan menjamin toleransi perbedaan beragama dan kesukuan. Orang-orang Indonesia menjadikannya jelas, bahwa pemerintah tidak memonopoli Pancasila. Idoelogi Pancasila merupakan isu-isu yang dibahas dalam setiap perdebatan politik dan cara memandang Pancasila itu sendiri. Ideologi ini juga menentang golongan-golongan yang “anti Pancasila”. Tidak lupa disebutkan juga bahwa pemimpin-pemimpin muslim, nasionalis sekuler, dan anggota angkatan bersenjata mendukung pemerintah Suharto dalam mengamalkan Pancasila sebagai satu-satunya sumber ideologi. Pada tahun 1985, pemerintahan Suharto mengkodifikasikannya perundanganundangan yang mengharuskan semua organisasi sosial, keagaman, dan politik berasaskan Pancasila, itulah yang disebut asas tunggal. Sebelumnya hal tersebut mengundang banyak perdebatan. Banyak organisasi terutama kelompok keagamaan teakut dengan mengadopsi Pancasila sebagai asas tunggal akan mempengaruhi/menganggu integritas organisasi, kebebasan, dan tujuan awal organisasi mereka dengan ideoligi negara sekuler. Ketua NU Abdurahman Wahid, seorang cendekiawan dan aktifis muslim bergabung dengan ICMI, ABRI, dan para nasionalis lainnya mulai mempersiapkan langkah-langkah politik. NU yang waktu itu diketuai oleh Abdurahman Wahid langsung menirima secara mutlak keputusan asas tunggal, dan NU termasuk organisasi islam petama yang menerima pancasila sebagai asas tunggal. Penerimaan NU terhadap pancasila tidak lepas dari latar belakang dan “asas” NU yang moderat dan senantiasa mengedepankan toleransi. Dari berbagai pemikiran ulama sunni, pandangan NU mengenai wawasan kebangsaan dan kenegaraan diformulasikan dalam ketetapan Jam’iyah yang tertuang dalam Hasil-hasil Muktamar ke 29 yang diterbitkan oleh PBNU tahun 1996 (Hakim, 2004:58), antara lain : NU menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara – dimana sekelompok orang yang karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki kesamaan kemudian mengikatkan diri dalam suatu sistem dan tatanan kehidupan – merupakan realitas kehidupan yang diyakini merupakan bagian dari kecenderungan dan kebutuhan fitri dan manusiawi. Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perwujudan universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanat-Nya sejalan dengan tabi’at atau budaya yang dimiliki bangsa dan wilayah itu. Kehidupan berbangsa dan bernegara seyogyanya merupakan langkah menuju perkembangan tanggung jawab kekhalifahan yang lebih besar, yang menyangkut kehidupan bersama seluruh manusia dalam rangka melaksanakan amanat Allah, mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin di dunia dan akhirat. Dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah, bentuk negara dan bentuk pemerintahan tidak harus Islam, dalam arti Islam tidak perlu dilembagakan dalam bentuk ketatanegaraan. Sehingga bisa saja bentuk pemerintahan demokrasi, monarki, teokrasi dan sebagainya. Pendapat yang menegaskan hal tersebut dikemukakan oleh KH. Hasyim Asy’ari (Hakim, 2004:59): Bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan. Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, Beliau tidak meninggalkan pesan apapun mengenai bagaimana memilih kepala negara..Jadi pemilihan kepala negara dan banyak lagi mengenai ketatanegaraan tidak ditentukan dan (ummat Islam) dapat dilaksanakan tidak terikat untuk mengikuti suatu sistem. Semua (sistem) dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam pada setiap tempat. Walaupun bentuk negara tidak harus Islam, akan tetapi dalam pandangan ahslussunnah wal jamaah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dibangun atas dasar beberapa prinsip yang mau tidak mau harus ada, yakni prinsip ketuhanan, kedaulatan/hurriyah (kemerdekaan dan kebebasan), keadilan/adl, persamaan/al-masawah dan musawarah/shura. Abdurahman Wahid dan NU, ICMI, ABRI dan nasionalis sekuler saling berhubugan satu sama lainnya dalam politik nasional. Mereka juga dipengaruhi oleh tradisi Islamisasi Indonesia, pemikiran mengenai demokrasi, percepatan pembangunan yang beralih dari agraris menjadi industri, dan pembangunan internasional. Pada tanggal 1 Maret 1992 di depan 200.000 pendukung NU, bertempat di Istora Senayan Jakarta, merayakan hari jadinya yang ke 66. Pesan yang disampaikan oleh NU adalah bahwa NU akan selalu setia pada Pancasila, beserta alasan-alasannya. Jadi, kalau menurut NU hal ini menunjukan ideologi bernegara, bukan Islam. Dalam pertemuan tersebut juga, ketua NU Abdurahman Wahid menyatakan bahwa dia menganggap Pancasila merupakan wahana terbaik untuk meligitimasi tindakan politik organisasinya. Dia juga menekankan bahwa dengan setia pada Pancasila, hal tersebut menunjukan semangat nasionalis NU. Dan dia juga mengemukakan komitmennya pada negara demokratis sekuler. Letnan Jenderal Harsudiono Hartas (Kasospol ABRI) pernah memberikan contoh perbandingan tentang pengalaman Pancasila. Menurutnya, ICMI kurang menggunakan Pancasila dan lebih memprioritaskan politik Islam melebihih kepentingan nasional. Dia juga menambahkan bahwa aktifis hak asasi dan demokrasi melindungi gagasan-gagasannya sebagimana halnya Indonesia yang menggunakan Pancasila sebagai ideologinya. Saat reformasi sekarang ini cita-citanya adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, ditegakannya hukum, pemerintah yang bersih dari KKN, keteraturan sosial, rasa aman, menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan Rakyat Indonesia. Hasil reformasi ini adalah masyarakat Indonesia yang bercorak majemuk (Plural Society) berisikan potensi kekuatan primordial yang otoriter-militeristik, harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, demokratis dan toleransi sejati. Dengan sendirinya, di dalam masyarakat majemuk belum tentu dapat dinyatakan masyarakat multikultural, karena di dalamnya terdapat hubungan antarkekuatan masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi. Di antara prinsip mendasar dari demokrasi yang patut dikembangkan di Indonesia adalah kesetaraan derajat individu, kebebasan, toleransi terhadap perbedaan, konflik dan konsensus, hukum yang adil dan beradab serta perikemanusiaan. Demokratisasi memiliki nilai tambah terhadap semua aspek kehidupan. Ini terlihat ketika demokratisasi sudah menghadirkan sejumlah contoh tentang keberhasilan, sehingga bangsa kita pun mengadopsi sistem nilai yang satu ini. Namun, proses mengimplementasikan demokratisasi terhadap semua aspek kehidupan harus juga memperhatikan sistem nilai lain yang sebelumnya telah menjadi landasan bagi dinamika kehidupan masyarakat, budaya serta kondisi riil bangsa dan masyarakatnya. Tanpa pertimbangan dan toleransi, proses demokratisasi akan menimbulkan benturan, pergeseran prioritas yang dipaksakan, serta dinamika kontraproduktif yang "dipaksakan" mengemuka, semata-mata untuk menggambarkan sedang berlangsungnya proses demokratisasi itu sendiri. Semua ekses ini, jika tidak segera dikendalikan, akan memerangkap masyarakat. Masyarakat akan dipaksa untuk kenyang dan enjoy dengan wacana demokratisasi, sementara penanganan atau pembangunan aspek kehidupan lainnya dinomorsekiankan, atau bahkan tidak diurus sebagaimana mestinya. Demokrasi bukan saja siap menghadapi perbedaan, karena demokrasi justru memerlukan adanya aspirasi dan kepentingan yang saling berbeda untuk dirujukkan, sehingga berkembang menjadi aspirasi dan kepentingan yang semakin berkualitas. Demokrasi juga tidak perlu menutup diri dari pertentangan, karena pertentangan justru merupakan dinamika dalam dialektika perbedaan. Dengan demikian, jika pluralitas dipandang sebagai sumber dari perbedaan dan pertentangan, maka pluralitas itulah yang justru dicari dan dibutuhkan untuk dijadikan sebagai bahan baku demokrasi. Jika perbedaan dan pertentangan di suatu daerah meledak menjadi konflik fisik, hal ini merupakan petunjuk belum beradabnya pranata dan mekanisme demokrasi untuk menampung partisipasi politik masyarakat yang plural tersebut. Sayangnya pranata dan mekanisme demokratis yang beradab (civilized) tidak dapat berjalan sendiri, apalagi harus menjadi lokomotif untuk menarik gerbong budaya, sosial, politik dan ekonomi. Di sini demokrasi bukan sekedar sebagai gejala politik melainkan gejala keberadaban seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara secara komprehensif dan holistik. Isu demokrasi di bidang budaya menunjuk pada kefaktaan sistem. Kepercayaan, sistem nilai dan motivasi, adat istiadat dan ekspresi estetik yang bersifat khas, unik dan hanya sama persis dengan dirinya sendiri yang dapat disandingkan, namun tidak perlu dikawinkan, karena tidak mungkin dengan gejala budaya yang lain. Isu demokrasi di level sosial adalah upaya untuk menciptakan wahana pergaulan dan hubungan interaktif antar kelompok masyarakat yang mengacu pada pemenuhan kepentingan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Dibidang politik, demokrasi mencoba menganalisasi aspirasi masyarakat sesuai dengan level partisipasinya terhadap kekuasaan, pengambilan keputusan, dukungan massa, yang diperjuangkan melalui lembaga-lembaga agregasi politik, baik partisan maupun non partisan. Sedangkan isu demokrasi dibidang ekonomi secara khusus terkait dengan pemerataan aksessibilitas seluruh lapisan masyarakat terhadap sumber ekonomi, faktor produksi dan kesempatan ekonomi yang bukan tak terbatas tersebut. Pada akhirnya isu kunci demokrasi adalah keadilan bersama (justice) dan pemerataan untuk semua (equality), yang meletakkan musyawarah dan mufakat sekedar sebagai cara dan pendekatan serta upaya pembangunan sebagai lead sector perjuangan demokrasi. Salah terima yang telah menjadi kaprah, pada tahap awal proses demokratisasi adalah diketengahkannya praktek-praktek formal yang lazim berkembang dalam masyarakat dan negara demokrasi yang telah maju dan matured, misalnya melalui lembaga agregasi politik partisan dan non partisan dengan mengedepankan atau tepatnya berpaling dalam cara musyawarah untuk mufakat. Namun tetap saja demokrasi bukanlah upacara kebersamaan dan keterbukaan, sehingga di sektor ini kita belum dapat berharap banyak, bahkan harus siap tertimpa implikasi dari praktek demokrasi yang belum dewasa. Proses demokratisasi adalah proses pembangunan disegala bidang yang meletakkan equality and justice sebagai parameter utama. Dalam proses ini derajat pluralitas masyarakat hanyalah merupakan antecedent variable yang hanya terkait dengan derajat kesulitan pembangunan, bukan independent variable yang membatasi pembangunan. Ini berarti, semakin tinggi derajat pluralitas masyarakat, maka kebutuhan adanya pemerintah yang kuat (strong government) agar mampu menjalankan pembangunan semakin tinggi. Pustaka Rujukan Almond, Gabriel A., 1980, The Civic Culture Revisited, Canada: Little Brown and Company Ltd. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press. Chilcote, Ronald H, 1994, Theories of Comparative Politics, Colorado: Westview Press, Inc. DelMcLemore, 1980, Racial and Ethnic Relations in America, Massachussets: Allyn and Bacon, Inc. Feith, Herbert dan Lance Castles (1970), Indonesian Political Thinking 1945-1965, Ithaca: Cornell University Press. Feith, Herbert, 1962, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press. Gudykunst, William, 1992, Communicating With Strangers: An Approach to Intercultural Communication, McGraw Hill, Inc. Heywoo, Andrew, 2002, Politics, New York: Palgrave. Kahin, George, 1970, Nationalism and Revolusion in Indonesia, Ithaca, Cornell University Press. Liddle, William dan Saiful Mujani, 2000, “Islam, Kultur Politik, dan Demokratisasi” dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta: The Habibie Center. Milner, Henry, 2002, Civic Literacy: How Informed Citizens Makes Democracy Work, Hanover: University Press of New England. Siradj, Said Aqiel, 1999, Islam Kebangsaan: Fikih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Fatma Press. Verba, Sidney, eds, 1978, Participation and Political Equality, Sidney: Cambridge University Press. PAGE PAGE 48 Manusia Politik = p]d]r} Elitis Sekuler Islamis Populis Gerakan Keagamaan, Pemikiran, Pendidikan Kebangsaan Nahdlatul Ulama MIAI Partai NU Liga Muslim Indonesia Partai NU (18,4%) Partai NU (18,7%) Kelompok Persatuan Pembangunan PPP Nahdlatul Ulama 1916 31 Jan 1926 21 Sep 1937 Oktober 1943 8 April 1952 Muhammadiyah Masyumi Muktamar Palembang 28/4-1/5 1982 Agustus 1952 Pemilu 1955 Pemilu 1971 Pra Fusi 13 Maret 1970 Fusi Partai 10 Januari 1973 1984 Kembali ke Khittah 1926 PKI Elitis Sekuler Populis Islamis PNI Masyumi NU Western Influence Hindu-Javanese Islamic Tradition PNI Radical Nationalism Javanese Traditionalism Democratic Masyumi NU PKI Communism Socialism 1 2 3 4 L < K O P T 4 6 H g ðÚÇÚº¬š‰w‰`‰w‰N: & h"Vh hÉl• 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh hÉl• 5 •OJ QJ ^J mH! sH! , j h"Vh h½g« O J QJ U ^J mH nH u # h"Vh h½g« 6 •OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h½g« OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h½g« 5 •OJ QJ ^J mH! sH! h" Vh h b; 5 •OJ QJ ^J h"Vh h±#µ OJ QJ ^J % h“,‹ 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! + h"Vh hÂM• 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! - h"Vh hÂM• 5 •6 •O J QJ ^J 2 5 6 h • H I ÷ 3 4 L N ÷ Í À & F ´ „Ð ^„Ð a$ gd˜MŽ ¤ð a$ gd Q õ R S í Í Í $ $ O Í Í ´ 4 Ù Í Í T Í Í Í Í Ù b; $ & F Æ ñ „h ^„h a$ gd½g« Ð h „h ^„h a$ gd˜MŽ âô ýýý $ $ a$ gd˜MŽ $ a$ gdÂM• ñ g h q s } ~ • ¦ À Á  t Æ Ø Ù ã å ï ð ñ ú Š h i r t † ‡ ˆ Ü˹ËÜ…s…Ë…ÜbPbÜËÜË # h"Vh h X Y _ íÜ˹Ëܧܖܖ…– b; 6 •OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h b; OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h™*Æ OJ QJ ^J h"Vh hÑ"¤ OJ QJ ^J Vh h˜MŽ 6 •OJ QJ ^J h"Vh hÉl• OJ QJ ^J  à ٠# h"Vh h™*Æ 6 •OJ QJ ^J mH! sH! mH! sH! mH! sH! # h"Vh hÉl• 6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h" mH! sH! h"Vh h˜MŽ OJ QJ ^J mH! sH! mH! sH! # h"Vh h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! I Ú ñ ® ù ú - Š ç h i ˆ ó Y Z ? @ ó ó è ó Ü Ý ó µ ó ó ó Ý ó ó u ó Ý ó ó ´ è Ý ó ó ó ó ó ó ó $ & F & F a$ gd˜MŽ $ a$ gd˜MŽ $ „Ð ^„Ð a$ gd˜MŽ _ ³ ´ u v Ž “ ” • – ¤ · þ ÿ ïÞïͼ͚ͫ†v`N?. h"Vh h¯8§ OJ QJ ^J mH! sH! hÜYõ 6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h M• 6 •OJ QJ ^J mH! sH! + h"Vh hÂM• 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! - h"Vh hÂM• 5 •6 •OJ QJ ^J & h“,‹ h“,‹ 5 •6 •OJ QJ ^J m H! sH! hÂM• 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh hÂM• OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh hÉl• OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h b; OJ w= OJ ¤ × $ $ $ QJ QJ · ^J ^J mH! sH! h"Vh h˜MŽ OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh hmH! sH! u v ‹ Ž • • ‘ ’ “ ” • – ] ^ ³ Û m ÷ ã × × × × × ÷ Ï Ï Ï Ï Å ½ ± ± ¥ „ ^„ a$ gd¯8§ „ `„ a$ gd OG $ a$ gd¯8§ $ ¤ð a$ gdÊ ˜ $ a$ gdÂM• „h ^„h a$ gd Å b; & F Æ Ð $ h „h ^„h a$ gd b; $ a$ gd˜MŽ ] C( D( G( Y( Z( Ž( ž( ©* º* ¹, È, 6. G. Ì. Ü. f/ s/ – / ¤/ Æ/ Ö/ 10 80 •1 íÛʶ¢ŽziWiWiWiWiWiWiWiWiWi # h"Vh h¦oj 6 •OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h¦oj OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh h¯8§ 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh h¦oj 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh hÊ ˜ 5 •6 •OJ QJ ^J mH ! sH! & h"Vh h OG 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h¯8§ OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h¯8§ 6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h" Vh hÊ ˜ 6 •OJ QJ ^J mH! sH! m n “ aZ# á& C( D( Z( a) w* ¡, 0 Ž1 •1 °1 ±1 ²1 ³1 ´1 µ1 ¶1 Ä1 ÷ ë ë ë ß ß × × ë ë ë ë ë Ë Æ Ë Ë Ë ¾ ¾ ¾ ¾ $ a$ gdà ´ gd¦oj $ „ `„ a$ gd¦oj $ a$ gd OG $ „ `„ a$ gd OG $ „ `„ a$ gd OG $ a$ gd¯8§ •1 “1 ”1 «1 ¬1 -1 ¯1 ³1 ¶ 1 Ä1 è1 é1 ŽA 7G ¥Z [ Ô] é] 2a @a ºe Èe ¦h 2i j èo t t u çÒÁÒçÒÁ¯›‡wjYjYjIjIjIjIjYjIj - h"Vh hÊ ˜ 6 •OJ QJ ] •^J h“,‹ hÊ ˜ OJ QJ ^J mH sH h"Vh hÊ ˜ OJ QJ ^J - h"Vh hÊ ˜ 5 •OJ QJ \ •^J & h"Vh hÊ ˜ 5 •CJ OJ QJ \ •^J aJ & h"Vh h¥`2 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h OG 5 •OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h¦oj OJ QJ ^J mH! sH! ) j h"Vh h¦oj OJ QJ U ^J mH! sH ! 0 j h"Vh h¦oj OJ QJ U ^J mH nH sH! u Ä1 è1 é1 2 ‹2 • 3 ]4 ™5 `7 :: ›; +> ŽA OF 7G ¢G âG I :I ô é Í Ù Í Í „ „ $ & F Æ „ ^„ Í Í $ a$ gdÊ ˜ £ & F Æ & F Í Í `„ a$ gdQTR º Í Í $ º Í £ › $ „ ^„ `„ a$ gdQTR „h `„h a$ gdÊ ˜ Ð „ ^„ gdÊ ˜ $ dh a$ gdÊ ˜ $ dh a$ gdÊ ˜ :I ³L +N oO ¬P pR õR T ZU /W FY [ )[ ?] ö` ’b Xe µg 3i |j þk -n ÷ ë ß ß ß ß Ì Ì ß ß ß ¸ ß ß ß ß ß ß ß ß ß & F Æ Ð „ „ ^„ `„ gdQTR $ & F „ „ ^„ `„ a$ gdQTR $ „h `„h a$ gdÊ ˜ $ „ `„ a$ gdÊ ˜ $ a$ gdÊ ˜ -n èo ³q œs – u ¼x Âx Ëx Íx Îx òx óx ôx y y Åy 3| :| J| b| œ| ³| ó ó ó ó ó à Í à à à à à à à ó ó º º º º º $ & F „ „ ^„ `„ a$ gdÊ ˜ $ „h „h dh ^„h `„h a$ gdÊ ˜ $ „h „h dh ^„h `„h a$ gdÊ ˜ $ „h `„h a$ gdÊ ˜ u u Ëx Ìx ä} æ} õ} *~ +~ ,~ [~ z• ˜ ‚ Õƒ ¶… ä† Ü‡ Zˆ ðãÌ㺢“º•qdSBSB1S h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h"Vh OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h"Vh OJ QJ ^J h"Vh h"Vh 5 •OJ QJ ^J & h“,‹ h"Vh 5 •OJ QJ \ •^J mH sH h"Vh 5 •OJ QJ ^ J mH! sH! . h"Vh h¥`2 5 •6 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! # h"Vh h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! , j h"Vh hÊ ˜ OJ QJ U ^J mH nH u h"V h hÊ ˜ OJ QJ ^J - h"Vh hÊ ˜ 6 •OJ QJ ] •^J ³| Ú| ä} å} æ} õ} -~ +~ ,~ [~ 6€ z• ˜‚ Õƒ ¶… ܇ "Š ì à Ø Ø Ð Ð Ð Å ± ¥ ¥ — ¥ — ¥ — „ dð ¤ `„ gd"Vh $ „ `„ a$ gd"Vh & F Æ Ð h „h dh ^„h gd"Vh $ dh a$ gd"Vh $ a$ gd"Vh $ a$ gd˜MŽ $ „h `„h a$ gdÊ ˜ $ & F ‹ „ „ ^„ `„ a$ gdÊ ˜ Zˆ rˆ Ј ∠Ɖ Ú‰ "Š F‹ O‹ P‹ X‹ m‹ v‹ ™‹ ´‹ "Œ àŽ )“ *“ +“ >“ @“ A“ `“ º” »” ìÛìÛìÛʼ«¼›¼Ž«¼«¼Û|ìÛnÛ`ŽR h"Vh h"V h 6 •OJ QJ ^J h"Vh h"Vh 5 •OJ QJ ^J h"Vh OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h"Vh OJ QJ ] •^J mH! sH! h"Vh h"Vh OJ QJ ^J - h"Vh h"V h 6 •OJ QJ \ •^J ! h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ \ •] •^J h"Vh h"Vh OJ Q J \ •^J h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH! sH! h"Vh h"Vh OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH! sH! "Š "• àŽ ‰‘ ?“ @“ A“ `“ 7– 8– D– K– L– M– R– S– T– U– V– W– X– ,— -— ó ó á á á á Ö ó ó à à à à à à à à à à à ó à $ „h „h dh ^„h `„h a$ gd"Vh $ dh a$ gd"Vh Æ à „ dð ¤ `„ gd"Vh $ „ `„ a$ gd"Vh »” Á” q• •• †• B– C– ì– í– ó– ô– — — — — — — — — ,— -— .— 2— 8— 9— Ó— y• ^Ÿ l ”£ •£ – £ §£ ¨£ –§ Wª fª ¿ª Ϊ •« £- Í- ðãÒ¾Ò§Ò–Ò–Ò–Ò–Ò–Ò–Ò–§Ò–Ò–Òã…Ò– §Ò–ÒãðãðãÒq & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h“,‹ h f£ OJ QJ ^J mH sH , j h"Vh h"Vh OJ QJ U ^J mH nH u & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h"Vh h"Vh OJ QJ ^J - h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J )-— /— 0— 1— 2— 3— 4— 5— 6— 7— 8— 9— Ó— f› ›œ y• ^Ÿ e¡ *¢ ”£ •£ — £ ˜£ ™£ ì ì ì ì ì ì ì ì ì ì ì ä Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ø É É É É $ $ „h dh ^„h a$ gd"Vh „ `„ a$ gd f£ $ a$ gd f£ $ „h „h dh ^„h `„h a$ gd" Vh ™£ š£ ›£ œ£ •£ ž£ Ÿ£ £ ¡£ ¢£ ££ ¤£ ¥£ ¦£ §£ ¨£ º¥ ´¦ § ̧ ¼¨ Y© Wª ô ô ô ô ô ô ô ô ô ô ô ô ô ô å Ù Ù Ù Æ Æ Æ Ù $ & F Æ @ „ ^„ a$ gd f£ $ „ `„ a$ gd f£ $ „ dh `„ a$ gd"Vh $ dh a$ gd"Vh Wª £¼ ’¼ /½ ^¾ dÀ ó° #² ™³ ´ ™´ ¶ ô¶ Ù¸ ï¹ ½º ˜» Á - ì ì ì ì Í à Í § ì Í Í à ì Í º ì Í à § $ & F „ „ ^„ `„ a$ gd f£ $ & F Æ & F p „ $ „Èû`„Èûa$ gd f£ „ „ ^„ `„ $ `„ a$ gd f£ a$ gd f£ $ & F ± „ „ ^„ `„ a$ gd f£ #² 6² ™³ ¦³ ´ '´ º ½º к ˜» ¥» ¼ Í- ?® G® §® ¬® ¯ ¯ z¯ •¯ ó° ± ã ™´ °´ ô¶ · Ù¸ ¹ •¹ §¹ ©¹ ݹ ì¹ ï¹ ¼ ’¼ ©¼ Ô¿ ã¿ dÀ Á à ŸÁ $Ä nà — ïÛïÛïÛïÛïÛïξξξξξÎÛïÛï­›­‡­‡­‡­¾Î¾Î¾Î­Î­‡­ & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH # h“,‹ h"Vh 6 •O J QJ ^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH - h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J h"Vh h"Vh OJ QJ ^J & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH .- $Ä ˜Æ mÇ È gÈ ²È 8Ê Ì ¹Í ºÍ áÍ Ï ·Ð ßÑ Ó Ô pÕ …Ö v× ÑØ ó ó ó à à à ó ó ó Ñ ½ ± ± ± ± ± ± ± ± ± $ „ `„ a$ gd f£ & F Æ Ð h „h dh ^„h gd"Vh $ & F „h dh ^„h a$ gd"Vh $ „ $ Ô Ý „ ^„ `„ a$ gd f£ „ `„ a$ gd f£ $Ä IÇ È @È ²È ºÍ áÍ Ô oÕ pÕ ƒÕ –Õ eÛ rÛ ÈÛ ìÛ 'Ü OÜ äÜ ÐÏ ÞÏ ·Ð Ó Ý bÝ çá °å °æ ºæ Xî Çï Öï ð %ð gñ uñ <þ + D ïâÑÀâ°â¢â‘ â¢âƒâ¢â¢â¢â¢â¢âÀÑ‘ÀqÀâ¢â¢â¢âÀÑ # h“,‹ h"Vh 6 •OJ Q J ^J mH sH h"Vh h"Vh >* OJ QJ ^J h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ^J - h"Vh h"Vh 5 •OJ QJ \ •^J h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h"Vh h"Vh OJ QJ ^J h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH (ÑØ ÛÙ {Ü ·Ý •ß iá ¹â Àä væ é ë Xî Hñ )ó ¼ô Äõ l÷ ±ø Üù Ÿû ïý Pÿ ˆ ç ß µ ø ó ç ß ç ç ó ó ó ó ó ó ç ç ç ç ç ç ç ç ç ç ç ç ç ó ó $ a$ gd f£ $ „ `„ a$ gd f£ $ „ `„ a$ gd f£ D J ’ ™ « ² ü W • Í ´ R f ž L ß ù • À ”# •# ¥# ¦# ¡% ¿²¡Ï‘πϡϑÏoÏ‘Ïo€[€I # h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ •OJ QJ ] •^J mH sH h"Vh h"Vh OJ QJ h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH - h"Vh h"Vh h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h f£ h"Vh •OJ QJ \ •^J h"Vh h"Vh OJ QJ ^J sH # h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ^J mH sH ø W X • Í ¢% m' …' g+ s+ íÜíÜíÜÏ ^J mH sH & h“,‹ h"Vh 6 ^J mH sH 6 •OJ QJ ] •^J OJ QJ ^J - h"Vh h"Vh 5 h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH Ç •# L ¢% k @) ¸ ¸ ß :* ¥ ù Ò+ „ ÿ ¸ „ $ i „ `„ ¨ë × ¥ ¸ & F p ó ¥ ¸ a$ gd f£ $ „ ¥ ¸ ó ^„ `„ a$ gd f£ Ä ¥ ¸ ó ¤ ¤ ¸ $ [$ \$ `„ a$ gd f£ & F Æ 3 Ð h „h dh ^„h gd"Vh $ „ `„ a$ gd f£ s+ , ä3 ô3 4 4 v8 •8 ú9 dh gd"Vh , &. 0. >0 : ': 9: N0 Š0 š0 Á3 Â3 Ã3 ã N )N 5N PN VQ cQ ïÝïÝïÝïÝï˼­ï••pï^ïJïJïJïJïJ & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH # h“,‹ h"Vh 5 •OJ QJ ^J mH sH h“,‹ hl[š OJ QJ ^J mH sH & h“,‹ hl[š 5 •OJ QJ \ •^J mH sH . hl[š h¥`2 5 •6 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! h f£ 5 •OJ QJ ^J mH! sH! h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! # h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH Ò+ Cû. Š0 ÷1 Á3 Â3 Ã3 Ä3 Å3 Æ3 Ç3 È3 É3 Ê3 Ë3 Ì3 Í3 Î3 Ï3 Ð3 Ñ3 Ò3 Ó3 Ô3 Õ3 ó ó ó ó ç ß × × × × × × × × × × × × × × × × × × × $ a$ gd˜M Ž $ a$ gd f£ $ „ `„ a$ gd f£ $ „ `„ a$ gd f£ Õ3 Ö3 ×3 Ø3 Ù3 Ú3 Û3 Ü3 Ý3 Þ3 ß3 à3 á 3 â3 ã3 ä3 ô3 4 4 È5 E7 u8 v8 ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ ÷ è à Õ É É É É ¾ $ dh a$ gd"Vh $ „ `„ a$ gdl[š $ dh a$ gdl[š $ a$ gdl[š $ „ dh `„ a$ gd"Vh $ a$ gd˜MŽ v8 •8 ; D= T? ðB ]D Ô_ za °b ô è è É É è ^H HK O è jP è ZS iT è W è è W è ô É 2W qX è ½X •Y ÊY è ô è \ è è Ü è è $ & F „ „ ^„ `„ a$ gdl[š $ „ `„ a$ gdl[š $ „ `„ a$ gdl[š $ dh a$ gd"Vh cQ ÖT äT V V pV „V íV úV W W W 2W ?W 'X qX €X ½X ÉX „Y ”Y ªY ¯Y f] x] Ô_ Id ad *• <• Œ‰ “‰ SŠ XŠ U• d• º™ Û™ x¥ €¥ ´¥ ¹¥ Õ¥ Ù¥ ¦ ¦ ¨ ¨ ¨ ïÛïÛïÛïÛïÛïÉÛ︨›¨›¨›¨›¨›ïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïŠï h“,‹ hl[š OJ QJ •OJ QJ ] •^J ^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ h"Vh h"Vh OJ QJ ^J mH QJ ^J - h"Vh h"Vh 6 sH # h“,‹ h"Vh 5 •OJ QJ ^J mH sH & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J Šd _h 5m ¿n mH H h“,‹ h"Vh OJ t ¨x a} Ÿ€ QJ ™‚ ^J "„ mH sH 0°b >f Êi ¬j ¶o pq s † `‰ *Œ 7• Ž å• g™ °œ dŸ £ ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó $ „ `„ a$ gdl[š +¦ ‘ ó ¨ ¤ ó +¦ ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ¨ ¨ ¨ ¨ ¨ ó ó ó 4¨ ?- š­ ® ¹ ¹ - Z® †® ó ¹ Ü® ó L¯ p¯ ¹ š š ί è ö¯ ó Ñ ¹ š $ & F „ $ & F Æ & F Æ „ h Ð $ $ „ ^„ `„ a$ gdl[š `„ a$ gdl[š $ „e „›þ^„e `„›þa$ gdl[š $ h „0ý dh `„0ýa$ gd"Vh dh a$ gd"Vh „ `„ a$ gdl[š ¨ 3¨ ª ª ª $ª 'ª …ª žª öª #« Å« ò « ¬ '¬ ’¬ — ¬ ½¬ ì ú¬ ͯ ί 8° p´ ¬´ ²´ ¶´ ¾´ ô É´ Í´ Ô´ ¹¶ Ŷ චó¶ þÍ ÞÏ ðãÓãÓã­­­™™™Âã•ãÂ~j~j~j~j~j~j~ & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH h"Vh OJ QJ ^J & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH ) h“,‹ h"Vh B* OJ QJ ^J mH ph sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH - h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J h"Vh h"Vh OJ QJ ^J - h"Vh h"Vh 5 •OJ QJ \ •^J %ö¯ 8° p° ¦° ± ¹³ •¶ TÓ ì ¸¸ º ]» ì 6¼ à à à & F Æ ŠÂ ì rÄ à à É ºÀ XÆ DÈ ?É ì à à É ¥Ì þÍ êÐ Ò à à à à ˜Ï à à à à tË É à $ $ $ & F h „h dh ^„h a$ gd"Vh „ `„ a$ gdl[š $ „ „ ^„ `„ a$ gdl[š ÞÏ õÏ ‹Ð ”Ð ºÐ ½Ð ÉÐ ÔÐ âÐ éÐ ¢× ´Ú ´Þ â â _ç fç „ç Œç úç è <è Bè èè ïè §ê ³ê ´ê »ê ë +ë jë ~ë ì ì Iì Jì Mì ]ì íÜÈÜÈÜÈÜÈÜÈܳÜÈÜÈÜÈÜÈÜ¡ÜÈÜÈÜÈÜÈÜÈÜÈÜ•}o h"Vh h«Wí 5 •OJ QJ ^J # h“,‹ h«Wí 5 •OJ QJ ^J mH sH # h“,‹ h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH sH # h“,‹ h"Vh OJ QJ ] •^J mH sH ) h“,‹ h"Vh B* OJ QJ ^J mH ph sH & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH # h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ^J mH sH 'TÓ ±Ô BÖ •× NØ ÎÙ ´Ú ”Û ´Þ Ñá è Hì Iì Jì Kì Lì Mì ]ì ^ì »ì í xí Øí ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ó ä Ü Ü Ü Ü Ü Ô Ä Ä Ä Ä $ „h „˜þ^„h `„˜þa$ gdl[š $ a$ gd«Wí $ a$ gd˜MŽ °× $ „ dh `„ a$ gd"Vh $ „ `„ a$ gdl[š ]ì ^ì xì “ì »ì Õì í í 7í Wí ‹í ±í î (î bî – î Þî &ï Pï Xï ƒï ªï (ð @ð tð ®ð ôð "ñ Tñ xñ žñ Ÿñ ñ ¡ñ £ñ ¤ñ ¦ñ §ñ ©ñ ªñ ¬ñ -ñ ³ñ ´ñ µñ ·ñ ¸ñ ¾ñ ¿ñ ïâÔâñÃâÔâÔ âÔâÔâÔâÔâÔâÔâÔâÔâÔâ- ˜”˜”˜”˜”Š„Š„€Š„Š h“,‹ h“,‹ 0J j h“,‹ 0J U h yñ j h yñ U h"Vh h«Wí OJ Q J ^J hl[š # h“,‹ hl[š 6 •OJ QJ ^J mH sH h“,‹ hl[š OJ QJ ^J mH sH hl[š hl[š 6 •OJ QJ ^J hl[š hl[š OJ QJ ^J h"Vh h«Wí OJ QJ ^J mH! sH! 0Øí Lî Äî :ï nï Îï _ð Úð :ñ žñ Ÿñ ñ ¢ñ £ñ ¥ñ ¦ñ ¨ñ ©ñ «ñ ¬ñ µñ ¶ñ ·ñ Ãñ ï ï ï ï ï ï ï ï ï â Ú Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ø Ì Ê Ø Ì „üÿ „ &`#$ gd§bB $ a$ gd˜MŽ „h „˜þ^„h `„˜þgdl[š Åñ Æñ ßñ ò $ „h „˜þ^„h `„˜þa$ gdl[š ¿ñ Áñ Âñ Ãñ ò ò Cò Dò Tò Uò Zò [ò eò fò |ò }ò †ò Žò •ò •ò ™ò ¡ò ¢ò £ò Âò Ãò Çò Èò Øò Ùò Þò ßò ëò ìò øò ùò ó ó ó ó "ó #ó +ó ,ó Gó Ló Mó Nó [ó \ó hó ió ôêäàÜÑàÊà¾à¶à¶à¶à¶à¶±¶à¶±¶à¶ à¶à¶à©à©à©à©àà•à•àŒà©à©à h“,‹ 5 •CJ aJ h3m h“,‹ 5 • hÀg~ h“, ‹ 5 •CJ aJ hÿ ± h“,‹ 5 • h“,‹ 5 • h HË h“,‹ 5 • h HË h“,‹ 5 •CJ aJ hh{… h“,‹ h½g« h“,‹ OJ QJ h yñ h“,‹ h“,‹ 0J j h“,‹ 0J U hÜYõ 0J mH nH u àñ áñ èñ éñ êñ ëñ ìñ ò ò ò ò ò ò 7Ãñ Äñ Åñ Æñ ßñ ò ò Cò û Dò Tò Uò î Zò Ñ $ a$ gd"Vh û û á á î ý î Ù î Ù û ó á î û Ñ á á î Ñ û $ a$ gd¦oj „Ð ^„ `„Ð gd"Vh gd"Vh $ a$ gd½g« Zò [ò eò f }ò •ò •ò ¢ò £ò Âò Ãò Çò Èò Øò Ùò Þò ßò ëò ìò øò ùò ó ó ó "ó #ó +ó ý õ ý õ ý õ ý õ ý õ ý õ ý ð ý ð ý ð ý ð ý ð ý ð ý ð ý õ gd¦oj $ a$ gd¦oj +ó ,ó Mó Nó [ó \ó hó ió uó vó Žó •ó «ó ¬ó -ó ²ó ³ó Ëó Ìó Ðó Ñó Ò ó Ùó Úó Ûó Üó ý ø ý ø ý ø ý ø ý ø ý ø ý ø ø ý ð ý ë ý ë Þ Þ Þ Þ ò „ |ò ó „ „Ð ^„ `„Ð gd"Vh vó ~ó €ó Žó •ó «ó ô ¬ó gd"Vh ±ó ²ó $ a$ gd¦oj ³ó Ëó Ìó Ðó gd¦oj òó óó þó ió ÿó uó ô ô ô ô ô iô jô kô lô qô …ô ¨ô ©ô Ãô Äô Ìô Íô Ðô Ñô Öô áô âô ãô ÷ó÷î÷ó÷óî÷óäóÙóÒóËóÀóÒóÒó¹ó²ó§ó ó™ó™ó™óŽóŠ} h"Vh h«Wí OJ QJ ^J h.F= h•}È h“,‹ CJ aJ àô h7MÀ h“,‹ hß^¡ h“,‹ h7MÀ h“,‹ CJ aJ h•}È h“,‹ h˜k¥ h“,‹ h)K× h“,‹ CJ aJ hh{… h“,‹ h)K× ÿó ô h“,‹ h)K× h“,‹ CJ aJ h•þ h“,‹ 5 •6 • h“,‹ 5 h“,‹ hÿ ± h“,‹ 5 • +Üó Ýó ñó òó ô ô ô óó ôó õó öó ô ô ô ô $ô ò %ô í &ô 'ô )ô å í í í í ,ô í í í Û í í gd"Vh +ô Ý Û í *ô í å $ gd"Vh (ô í Û å í í í $ a$ gd§bB í $ a „ „Ð ^„ `„Ð gd"Vh .ô /ô 0ô 1ô 2ô 3ô 4ô 5ô Pô Qô _ô `ô jô kô lô mô qô …ô †ô ’ô ©ô ªô Äô Åô ú ú ú ú ú ú ú ú ú ú ú ú ò ê ú å ú ú ã ú ú ã Ú Ñ „¤ ^„¤ gd§bB „¤ ^„¤ gd"Vh gd§bB $ a$ gd§bB $ a$ gd"Vh gd"Vh Åô Íô Îô Ñô Òô Öô àô áô âô ãô ú ø ú ø ú ú ø ø ð ô $ a$ gd˜MŽ 6 &P 1•h :p gd"Vh b; °ƒ. °ÈA!°ù "° #•ù $•¥ %° °Å °Å •Ä • D d à ðD ² ð 3 ð • @ @ ÿÿ ðÿ "ñ ? ð € † @ @ñÿ @ œ N o r m a l CJ _H D A@òÿ¡ D aJ mH sH tH D e f a u l t P a r a g r a p h F o n t R i@óÿ³ R T a b l e N o r m a l l 4Ö aö ( k ôÿÁ ( N o ö 4Ö L i s t j š@³ ó j b; T a b l e G r i d 7 :V f R@ f Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ "Vh 2 B* aJ B o d y $ „© dà ph B ^@ T e x t I n d e n t ¤ð `„© a$ B "Vh N o r m a l ( W e b ) ¤d ¤d [$ \$ H ™ " H Ú 9 B a l l o o n T e x t CJ OJ QJ ^J aJ 4 @ 2 4 Ú 9 Æ F o o t e r à À! . )@¢ A . Ú 9 P a g e N u m b e r & 3 A O : ? H I ] L f ¥ ˆ § ~ – À • £ ä • ° ÿ É · æ Ê í Ý ý ãì ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ8 ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ " ÿÿÿÿ- ÿÿÿÿ# ÿÿÿÿ& ÿÿÿÿ( ÿÿÿÿ? ÿÿÿÿD H ÿÿÿÿK I & L ÿÿÿÿG ÿÿÿÿJ ÿÿÿÿN ÿÿÿÿ ? 3 ¥ A § ÿÿÿ ÿÿÿÿE ÿÿÿÿH ÿÿÿÿM : ÿÿÿÿ% ÿÿÿÿ' ÿÿÿÿ= ÿC ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ$ ÿÿÿÿ, ÿÿW ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ O À ] ä f ÿ ˆ ~ – ÿÿÿÿO • • £ ° É · æ Ê í Ý ÿÿ ý - ! " # $ % & ' ÿÿ ãì V ÿÿÿÿ 2 I µ u v ‹ Ž 3 4 L  à ٠@ Ü N Ú ñ Ý ® ´ O ù Q ú R - S Š T ç 4 h 5 i 6 ˆ h Y • Z H ? • • ‘ ’ “ ” • – ¤ · ] ^ ³ Û m n “ a Z á- C D Z a! w" ¡$ ( Ž) •) °) ±) ²) ³) ´) µ) ¶) Ä) è) é) * ‹* `/ :2 ›3 +6 Ž9 O> 7? ¢? â? •+ ], ™- A :A ³D +F oG ¬H pJ õJ L ZM /O FQ S )S ?U öX ’Z X] µ_ 3a |b þc -f èg ³i œk – m ¼p Âp Ëp Íp Îp òp óp ôp q q Åq 3t :t Jt bt œt ³t Út äu åu æu õu -v +v ,v [v 6x zy ˜z Õ{ ¶} Ü• "‚ "… à† ‰‰ ?‹ @‹ A‹ `‹ 7Ž 8Ž DŽ KŽ LŽ MŽ RŽ SŽ TŽ UŽ VŽ WŽ XŽ ,• -• /• 0• 1• 2• 3• 4• 5• 6• 7• 8• 9• Ó• f“ ›” y• ^— e™ *š ”› •› — › ˜› ™› š› ›› œ› •› ž› Ÿ› › ¡› ¢› £› ¤› ¥› ¦› §› ¨› º• ´ž Ÿ ÌŸ ¼ Y¡ W¢ £¥ ó¨ #ª ™« ¬ ™¬ ® ô® Ù° ï± ½² ˜³ ´ ’´ /µ ^¶ d¸ ¹ -º $¼ ˜¾ m¿ À gÀ ²À 8Â Ä ¹Å ºÅ …Î vÏ ÑÐ ÛÑ {Ô ·Õ •× iÙ ¹Ú ÀÜ vÞ ã Xæ Hé )ë ¼ì Äí lï ±ð Üñ Ÿó ïõ P÷ • Í Ç L k áÅ á ˆú Ç ·È ßÉ çû ßý µÿ Ë ø Ì W pÍ X ß ù p i ÿ ¨ • ¢ @! :" Ò# C% û& Š( ÷) Á+ Â+ Ã+ Ä+ Å+ Æ+ Ç+ È+ É+ Ê+ Ë+ Ì+ Í+ Î+ Ï+ Ð+ Ñ+ Ò+ Ó+ Ô+ Õ+ Ö+ ×+ Ø+ Ù+ Ú+ Û+ Ü+ Ý+ Þ+ ß+ à+ á+ â+ ã+ ä+ ô+ , , ÈE/ u0 v0 •0 3 D5 T7 ð: ]< ^@ HC G jH ZK iL O O ÔW zY °Z Š\ >^ _` Êa ¬b 5e ¿f ¶g pi 2O qP ½P •Q ÊQ T l ¨p au Ÿx ™z "| ~ `• *„ 7… † ‰ å• g‘ °” d— › œ +ž 4 ?¥ š¥ ¦ Z¦ †¦ ܦ L§ p§ Χ ö§ 8¨ p¨ ¦¨ © ¹« •® ¸° ² ]³ 6´ º¸ Šº r¼ X¾ DÀ ?Á tà ¥Ä þÅ ˜Ç êÈ Ê TË ±Ì BÎ •Ï NÐ ÎÑ ´Ò ”Ó ´Ö ÑÙ à Hä Iä Jä Kä Lä Mä ]ä ^ä »ä å xå Øå Læ Äæ :ç nç Îç _è Úè :é žé Ÿé é ¢é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é µé ¶é ·é Ãé Äé Åé Æé ßé àé áé èé éé ê é ëé ìé ê ê ê ê ê ê ê ê Cê Dê Tê Uê Zê [ê eê fê |ê }ê •ê •ê ¢ê £ê Âê Ãê Çê Èê Øê Ùê Þê ßê ëê ìê øê ùê ë ë ë ë "ë #ë +ë ,ë Më Në [ë \ë hë ië uë vë Žë •ë «ë ¬ë -ë ²ë ³ë Ëë Ìë Ðë Ñë Òë Ùë Úë Ûë Üë Ýë ñë òë óë ôë õë öë ÿë ì ì ì ì ì ì ì ì $ì %ì &ì 'ì (ì )ì *ì +ì ,ì .ì /ì 0ì 1ì 2ì 3ì 4ì 5ì Pì Qì _ì `ì jì kì lì mì qì …ì †ì ’ì ©ì ªì Äì Åì Íì Îì Ñì Òì Öì àì áì äì ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 6 € ˜ 0 6 € ˜ 0 6 € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 é) € € ˜ 0 é) € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ € 0 0 € ˜ € € ˜ € € ˜ € 0 0 € € € € € ˜ 0 ˜ € € 0 ˜ € 0 € ˜ € 0 ˜ € € ˜ € € ˜ € ˜ € 0 € ˜ € € ˜ € 0 0 ˜ € 0 ˜ € 0 € 0 ˜ € € € € € € € € ˜ € 0 ˜ € ˜ € ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ € 0 ˜ € 0 0 € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € € 0 € € ˜ € ˜ € 0 € ˜ € 0 0 € € € € ˜ ˜ € 0 ˜ € ˜ € € € ˜ € 0 ˜ ˜ € 0 ˜ € 0 0 ˜ € 0 € € ˜ € 0 0 0 € € € ˜ € € 0 € ˜ € € ˜ € 0 € ˜ € € € € € ˜ € 0 ˜ € 0 0 ˜ € 0 € 0 0 ˜ € 0 € 0 € € ˜ € 0 € ˜ € 0 ˜ € 0 € € ˜ € ˜ € 0 € ˜ € € 0 € € 0 € 0 ˜ € € € € € € € € € € € ˜ € € ˜ € 0 € ˜ € 0 ˜ € € 0 € € ˜ 0 ˜ € 0 € ˜ € 0 € € € ™¬ ™¬ ™¬ ™¬ 0 0 € 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ˜ € ˜ € 0 € ˜ € 0 € ˜ € € 0 € € 0 € ˜ € € 0 € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € € 0 ˜ € € ˜ ˜ ˜ € 0 0 € ˜ € € 0 € € 0 € ˜ € € € ˜ € 0 € ˜ € ˜ € 0 € € ˜ € 0 € € 0 € ˜ € 0 € € € ˜ € 0 € € € ˜ € 0 0 ˜ € € ˜ € 0 ˜ € ˜ € 0 ˜ € 0 0 ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € 0 € € ˜ ˜ € € 0 0 0 0 € € € € € 0 0 0 € ˜ € € € € ˜ € 0 € € ˜ € ˜ € 0 ˜ € € ˜ ˜ ˜ ˜ € 0 € 0 0 0 € € € € 0 ˜ € ˜ € ˜ € 0 ˜ ˜ € € € € 0 0 0 0 € 0 ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ 0 0 0 0 ™¬ ™¬ ™¬ € € € € € 0 € ˜ € 0 ˜ ˜ ˜ ˜ € ˜ € 0 € 0 € ˜ € € 0 ˜ € ˜ € 0 € ˜ € 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € ˜ 0 € ˜ € 0 € ˜ € 0 ˜ € € € 0 € ˜ € ˜ € 0 ˜ € 0 ˜ € € € 0 € ˜ € € ˜ € ˜ € € ˜ € ˜ € 0 ˜ € 0 0 ˜ € 0 € € ˜ € € 0 € ˜ € € ˜ € € ˜ € ˜ € 0 ˜ € 0 € 0 € 0 0 ˜ € € ˜ € ˜ € € ˜ € 0 € ˜ € 0 € € 0 € € € ˜ 0 0 0 € ˜ € ˜ € ˜ 0 € € 0 € € ˜ 0 € ˜ 0 € € ˜ 0 € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 ˜ ˜ ˜ € 0 € 0 € € € € 0 ˜ € € ˜ € ˜ € 0 € € ˜ € 0 ˜ € 0 ˜ € 0 € 0 0 0 € 0 € 0 € € 0 ˜ € 0 € ˜ 0 € ˜ 0 € € ˜ € 0 € ˜ € 0 € 0 ˜ € 0 0 € € € € ˜ € € 0 € 0 € € ˜ € € 0 ˜ € 0 ˜ € € ˜ € € ˜ € ˜ € 0 € € € ˜ € 0 0 ˜ € € 0 ˜ € 0 € 0 ˜ € € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € 0 € ˜ € 0 € ˜ ˜ € 0 0 € Ÿ ˜@ Ÿ yÉ 0 0 0 0 ˜ € 0 0 0 € ˜ € € ˜@ € € y‰ 0 0 0 € yÉ 0 0 € € ˜ € € € 0 € ˜ € € ˜ € € 0 € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € € y‰ 0 0 0 € € 0 0 ˜ € ˜@ yÉ 0 € ˜ ˜ € 0 0 € 0 0 0 € ˜ € ˜ € € ˜ € 0 ˜ € 0 ˜ € € ˜ € € € € ˜ 0 0 Ÿ ˜@ 0 0 ˜@ ˜ € € ˜ € € ˜ € € 0 € ˜ ˜ € 0 0 0 0 0 € € y‰ 0 0 0 ˜ € ˜ € 0 € ˜ € ˜ € € 0 0 € € ˜ € ˜ € ˜ € ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ € € ˜ € € € € € € € ˜ € 0 € € 0 0 0 ˜ € € ˜ € € ˜ € 0 € 0 0 € € € € € € € € 0 € € € € € †¦ †¦ †¦ ˜ € ˜ € € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € € 0 ˜ € € € ˜ € ˜ € 0 0 ˜ ˜ € 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 € € 0 0 € 0 ˜ € € ˜ € ˜ € € ˜ € ˜ € 0 ˜ € 0 ˜ € € ˜ € 0 € € € ˜ € 0 0 0 € € € ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ ˜ € 0 € € € € ˜ € 0 € € € € € € € € 0 †¦ †¦ †¦ †¦ ˜ € 0 ˜ € 0 ˜ € € € ˜ € € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € € 0 0 0 € ˜ 0 0 0 0 0 0 0 0 ˜ € ˜ € 0 ˜ € 0 € ˜ € € € € € 0 0 0 0 € ˜ € € 0 0 ˜ € € y‰ 0 0 Ÿ yÉ 0 0 € 0 € yÉ € 0º € y‰ 0 0 $ Ÿ ˜ 0 € € ˜ 0 € x ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ 0 € € ˜ € €l ¾ 2 “ ‹ ” ¤ · á- C Z w" ¡$ Ž) ²) ³) œt ³t Út äu lï ±ð µÿ Á+ äì š@ 0 € € € š@ 0 € € € {‰ 0 0 \C² {‰ 0 0 € {‰ 0 0 š@ 0 € € € š@ 0 € € ø {‰ 0 0 € š 0 € € € {‰ 0 0 € {‰ 0 0 ¬a {‰ 0 0 {‰ 0 0 € š@ 0 € € € {‰ 0 0 œNÛ {‰ 0 0 € {‰ 0 0 •a {‰ 0 0 {‰ 0 0 š 0 € € € KÈ 0 0 ½ KÈ 0 0 € ( @ @ 0 0 0 0 š 0 € € € % _ þ % •1 % u ( Zˆ »” g Í- $Ä D s+ cQ ¨ ÞÏ ]ì ¿ñ ió ãô û u ô Åô ! # ' I Ä1 :I -n ³| "Š -— ™£ Wª - ÑØ ø Ò+ Õ3 v8 °b +¦ ö¯ TÓ Øí Ãñ Zò +ó Üó ãô ü ÿ m - " $ % & ( ) * âô ý “) «) ®) ãì “_ ÿ œ @ -ñ ÿÿ ! ( ÿ €€€ ÷ !• ! ÿ•€ ð ð8 ð W X # ð ð ð ð T W ð< ð¬" ðŒ ð( ð ð Ü Ü °% t4 3 • À À ˆ s "ñ* • ð` ² ¿ • ‘ ’ ¿ ? ð ð ð c ð$ • X ðf • 9 9 ¿ ¢ ÿ ? ð Ü Ü °% t4 ð ð S ð- € Š Î × ÿ ð ´ Ü Œ ` ð ð ðT ¢ ð # ð € Œ ð Š ä ð ð ðT ¢ ´ È ð # ð € ð Š ðT ð ¢ 8 L Œ ´ ð ð # ð € Š ð ð p ”# ðT ¢ p ð ð # ð € Š ð ð ¨- $ ü$ ðT ¢ ô ð ð # ð € Š ð ð p ðT ¨- ”# ¢ Ä ð ð # ð € Š ð ð p à" ”# ü$ ðT ¢ ð ð # ð € Š ð Ø ð ðT ¢ ' à" P+ ð ð # ð € Š ð ð ðT ¢ @ l- x! ˆ/ ð ð # ð € Š ð ð ä ð0 T À3 ð ðZ B ð S ð- D • ¿ Ñ ÿ ð Ÿ ` È ð ðf B ð s ð* ð ð D • ¿ ðf Î Ñ × ÿ ð ´ Î Ñ × ÿ ð ä B s ð* ð ð D • ¿ ðZ L B S ð- D • à" ¿ ð Ñ ðZ ÿ ð [ Ä \- ÿ ð \ P+ ] B ð S ð- D ð • ¿ ðT Ñ D • ¿ ÿ • ¿ Ñ l- B ð C ð B ð S ððn D ¢ ð ÿ Ð ð ä Ð Ð Ð Ð ð 8 Ð ðZ ð ð C ð € Š • ¿ | ÿ "ñ ¿ ` ð D ø ð ð ðn ¢ ð C ð € Š ¿ È ˜ ð ä ÿ ð "ñ ¿ ` ð D ðn ¢ ð C ð € L ð Š h ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð C ð € ´ ð Š 8 ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð C ð € ì ð ´ Š T ðf ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð S ðð € Š ðT Î ¢ × ÿ ð Ø Ð H$ ì ð ð # ð € Š - ð ð ð ðT 8 Œ 8 ð B C ð B ð S ððZ ð S ððn D D • ¿ ÿ ð 8 • ¿ Ñ ÿ ð • ¿ Ñ ÿ ð ¼ ð ðZ ¼ p ¼ ð p ô ¨- ð B ! D ¢ ô ð " C ð ð € Š " $ ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð # C ð € Ø ð „ Š # ô ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð $ C ð € ¨- ð Š $ Ä ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð % C ð € à" ð Š % ü$ ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð & C ð € €( ð p Š & œ* ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð ' C ð € ¸, ð Š ' Ô. ðn ¿ ð ¢ ÿ "ñ ¿ ` ð D ð ( C ð € <0 ð ð Š ( À3 ð` ä ¿ ð B ÿ "ñ ¿ ¿ Î × ÿ Î Ñ × ` ð D ) c ð$ D • ðf ð ð Œ p Œ @ ð B * s ð* ð ð D • ¿ ðZ ÿ ð B + S ð- D ' • ð ¿ Ñ ðf ÿ ¢ ð \ ü$ \- Œ @ ¨- @ ð , S ðð ð € Š , ðT Î B × • ¿ ÿ • ¿ Ñ ÿ ð $ ð0 H$ À3 ð C ð ð D . S ððB D ð \ ˆ/ \ ð0 ð ðZ B ¢ ÿ ð T X2 $ X2 ð B ð ð ð ð € ð ðH ð B / C ð ð D 0 • ¿ ÿ ð ð ðH B D 1 • ¿ ÿ ð ð ðH B D 2 • ¿ ÿ ð ð ðH B D ð 4 • l ¿ ¬ ÿ ( ð ð ðb C ð ð C ð ð C ð ð ð # ðn ˆ B ð 3 "ñ • ‘ ¿ € € ð Ñ ÿ "ñ ÿ "ñ ð ðn 5 c ð$ D • ¹# ð ¿ ð Ð ðn ¿ € € ð l ¸# € € ð … -- B 6 c ð$ D † ‰ ð ð • ( ]! 7 ¿ ð i # Ð Ñ ðP ðh ¿ ð Ý ¬ ˆ ¿ # "ñ • ð ‘ ð ð ðh 8 3 ð € ‰ ð ð ð Š 8 i ðh 3 ˆ ]! 9 3 "ñ ð : S ðD "ñ ð ; S ðD "ñ ð • ¿ ð ð€ • ¿ ¿ € € • ¿ ð ¿ € € E ¿ ð € € ô ð ! Ý € Ú* ¿ ‘ ¿ "ñ ð € € ð ÿ ô î% ÿ Ñ ! 1 Å ½ • ð ðh ¿ € ï% ð ðh Ñ Ú* ð ðd B ¿ ðb B ¹ ð ð Å" < ˆ ™ # "ñ • ‘ ð = ð € ð ð "ñ ð ðb ‰ ð ð ]! > i # ¿ ð € € ðz ð ð ð\ ™ Ý u u 2 ‘ ˆ ¿ 3 "ñ • ‘ ¿ € € ð E ¹ ð Å" ™ ð Š ? i ðh 3 ˆ ¿ ð ðh ? 3 ð € ‰ ð ð ð ]! @ ¿ € € ð - "ñ ð ð ‘ • ¿ ¿ ð ô ð ÿ ô î% ð ÿ Ñ ! € € ð ¿ ð\ € € ð € € • - ð € € ! Ý € Ú* ¿ • ¿ ¿ ð€ 3 "ñ ð A S ðD "ñ ð B S ðD "ñ ð C € ð "ñ ¿ 1 Å ½ • ð ¿ € ï% ð ðh B Ñ Ú* ð ð\ 2 ¿ M ñ û { 2 D ð € ð ð ð "ñ ð\ ¿ € € ð 9 ñ % Ý 2 E ð € % "ñ ¿ € € ð ¡ ) ð ð ð ð ðx F ˆ # "ñ ðb ðh ð u á ±' U# B • ð # ð ‘ G ð ð ðb € ð ð H # ð ! Š G ! ðb "ñ 2 ¿ € € ð u á ±' U# ð € = " Š H "ñ ¿ € € ð ) } ð ð I "ñ J ð # ð Ý " ð ðB ¿ € € 2 ð } ¥ … a ð ðb € ð ð # Š J # ðh "ñ 2 ¿ € € ð 1 a Ñ ™ ð K 3 ð 8•- € $ Š K Œ … ð $ ðP 2 M ð ð "ñ ¿ € € ð W L ð S Öÿ M ð "ñ ¿ € € ð µ u ‰" ¿ € € ð ðh 3 ð S æ % ! ð ð N # ð Öÿ€ ð ðb % Š M "ñ ð % ] 2 € ð ð O # ð & Š N & ðb "ñ ¿ € € ð 9 ß Ù § ð € ð ð ' Š O ' ðh P B "ñ B ¿ D ¿ Ñ € € ð Ñ - U } ð S ð- • Õ ÿ "ñ ¿ € € ð i m ð Q ð ðh B S ð- D … • Õ ¿ Ñ ÿ "ñ ¿ € € ð … m ð R ð ðh B S ð- D ¡ • Õ ¿ Ñ ÿ "ñ ¿ € € ð í m ð S ð ðh B  S ð- D • ð ð T ¿ ðh B ¿ ðh B Ñ ÿ "ñ ¿ € € ð 9 9! Ñ ÿ "ñ ¿ € € ð í 9! Ñ ÿ "ñ ¿ € € ð q % - Ñ ÿ "ñ ¿ € € ð ‘ ‚ S ð- D • ð ð U ‚ S ð- D ð V ð • ¿ ðh B  S ð- D å 9! ð ð W # ð • ¿ ðb 1 € ñ ( Š W "ñ ¿ € € ð B ð ð u ( ð ðB S ð• ¿ •› Ë ? ãì ÿ ð ¨ O •) •) ‘) ’) ¬) Ëp BŽ - À è è t Lÿÿÿ L, 4 @ $ € ” t ´ 2 ð- ¦ 1 L, t 7 t Ô / Ð L, LÿÿÿÔ P ÿÿ˜ à ܆ t 2 Lÿÿÿt Ô t Ð < LÿÿÿÔ ´ P L, Ô t ” t ˜+ 0 t€ F tþ ݆ ´þ Þ† ôþ ߆ 4ÿ à† tÿ ᆠ´ÿ ↠ôÿ ㆠ4 ä† t å† ´ æ† ô ç† 4 è† t é† ´ ê† ô ë† 4 ì† t í† ´ î† ô ï† 4 ð† t ñ† ´ ò† $t# ó† Ìr# ô† t—# õ† Ì ö† Œ ÷† ø† ”ª ù† Ôª ú† l. û† T- ü† ´ ý† Üt þ† |' ÿ† ´[ ‡ <% ‡ |% ‡ ¼% ‡ ü% ‡ <& ‡ |& ‡ ¼& ‡ ô ‡ ÌN ‡ ̦ ‡ \ ‡ ´r ‡ |© ‡ Tr# ‡ Ôü ‡ Tˆ% ‡ l«' ‡ 4È ‡ l¯' ‡ 5! ‡ $’! ‡ l ‡ |Ì ‡ ü-' ‡ ć% ‡ ¼# ‡ ¬ˆ% ‡ ìl# ‡ <' ‡ Ì -‡ ! ‡ Ô•% ‡ œ !‡ <$ "‡ ¼$ #‡ ü$ $‡ ì™' %‡ ,š' &‡ ,™' '‡ l™' (‡ ¬˜' )‡ ì˜' *‡ <é+ +‡ üè+ ,‡ lš' -‡ ¬š' .‡ ¬•R /‡ D‚ 0‡ „©' 1‡ ì<! 2‡ ¬”! 3‡ \“ 4‡ \K 5‡ L 6‡ N 7‡ , L 8‡ \žR 9‡ œm# :‡ „å ;‡ ¤ú <‡ ä9! =‡ „:! >‡ ¼˜R ?‡ ä5! @‡ «' A‡ ¬-' B‡ ˆ% C‡ Ü•R D‡ ‘R E‡ ü‘R F‡ ÜL G‡ $P H‡ ,i# I‡ Š% J‡ äÿ K‡ ¤n# L‡ ´˜# M‡ ìˆ% N‡ Œ‹% O‡ |Œ% P‡ <0! Q‡ „6! R‡ 47! S‡ 45! T‡ „í+ U‡ $ì+ V‡ D W‡ ã X‡ Ü Y‡ ŒE! Z‡ tÈ [‡ ¬ŸR \‡ L ]‡ Ì•' ^‡ Ü™# _‡ Œ™! `‡ Ì™! a‡ | b‡ ¼ c‡ § d‡ D§ e‡ ,ª' f‡ lª' g‡ <ŠR h‡ |ŠR i‡ ä•R j‡ $•R k‡ <î+ l‡ |î+ m‡ $‹ n‡ d‹ o‡ L! p‡ Œ! q‡ › r‡ œŠ% s‡ T"0 n* n* ‹* •+ m, m, ã. ã. ç1 ç1 Y2 Y2 ¸3 ¸3 ¤4 ¤4 6 7? ƒ? ƒ? F F XG XG ›G ›G ÞJ ÞJ óK óK ŽR ŽR ÊS Ê S {Z {Z @] @] Á^ Á^ Õk Õk ýl ýl -q q ôq ôq Qv Qv pv pv •w #x #x 6x òx òx gy gy V‹ V‹ ¥‹ ¥‹ Ú‹ Ú‹ áŸ áŸ Ñ Ñ j¡ Ü¡ Ü¡ <¢ <¢ ¯ tà tà ×Å ×Å ùÆ ùÆ tÇ tÇ È È Ë Ë œÐ œÐ Üñ k k á á ^ ^ d 6 d ù ù Î Î ö ö N N â â { *æ *æ •æ ˜æ æ ªæ ªæ Íè $é $é rê rê ßê ìê { w ²æ Zç ë äì w Zç $ ¡ç $ ¬ç •ä •ä Yå Yå ªå ªå ´ç ´ç ¼ç Bè Bè °è ! . : F R " # / ; 0 < G S ^ w ƒ 1 x „ a m y … 2 > J U ` l % = I H T _ k j $ ' ( ) 3 4 @ 5 A 6 B ? K V b n z & L W c o { M Y X d p | 7 ~ ‹ g s • Š , 8 9 D P O [ f r + C N Z e q } ‰ * E Q \ h t € ] i u • v ‚ † ‡ ˆ Œ • Ž • ‘ ’ “ ” • – — x* x* •* …+ w, w, í. í. ì1 ì1 c2 c2 Â3 Â3 ®4 ®4 "6 "6 :? •? •? -F -F bG bG ¥G ¥G èJ èJ øK øK ˜R ˜R ÔS ÔS … Z …Z J] J] Ë^ Ë^ ßk ßk m m 7q 7q þq þq Zv Zv yv yv ˆw ,x ,x :x ûx ûx py py _‹ _‹ ®‹ ®‹ ã‹ ã‹ êŸ êŸ Ú Ú s¡ å¡ å¡ E¢ E¢ ¯ wà wà àÅ àÅ þÆ þÆ yÇ yÇ È È "Ë "Ë ¡Ð ¡Ð àñ t t ê ê & & ! ! g g i • i × × ÿ ÿ X X ë ë … … € € ›ä ›ä aå aå ±å ±å 0æ 0æ – æ žæ ¨æ ±æ ¼æ ¼æ bç bç ªç ²ç »ç Æç Æç {ê {ê êê ÷ê ë äì Iè Iè ·è Øè +é +é ! . @ R " / A S e d # 0 B T f $ 1 C U g % 2 D V h & 3 E W F X x ‹ y Š z Œ j | ( 5 G Y k } ) 6 H Z l ~ * 7 I [ m • + 8 J \ n , 9 K ] o : L ^ p ; M _ q < N ` r = O a > P b s t u { € • ‚ ƒ „ … † ‡ • Ž • • ‘ ’ “ ” • – — 9 ˜ *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €place €= *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €PlaceName €= *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €PlaceType €; A *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €address €8 *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €date €8 — *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €City €B • *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags w ‰ i ' 4 ? Q c v ˆ €country-region €: @ *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €Street €9 *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €State € Pn €1 €1926 €1937 €1952 €21 €31 €4 €8 €9 €Day €Month €Year˜ ˜ ˜ — ˜ — ˜ • ˜ — ˜ ˜ — ˜ ˜ — — — ˜ — ˜ ˜ — ˜ ˜ — — ˜ — ˜ — ˜ — ˜ — ˜ — ˜ — ˜ — ˜ ˜ • • ˜ • • ˜ ˜ • ˜ • ˜ • ˜ • ˜ ˜ • ˜ • ˜ • ˜ ˜ — ˜ ˜ • — ˜ — ˜ A @ — ˜ ˜ • ˜ • ˜ ˜ • — ˜ • ˜ — ˜ — ˜ • ˜ • ˜ • ˜ — ˜ • ˜ • ˜ • ˜ ˜ ˜ — • — ˜ ˜ • ˜ ˜ — ˜ ˜ — • ˜ — — — ˜ ˜ ˜ • ˜ — — — • • — ˜ — • ˜ 1 H h ` ³ µ u v Ž 4 I i á À r â à t K t † w Ø ˆ T Ú X 4 ã Z 6 å ? g ï @ h q s ñ á â Ü Ý } ù • ú _ ¦ © – – Ÿ ¤ þ ÿ ] ^ ø ù m n C D Y Z ž Ÿ º" ¼" È$ Ê$ ø% ù% G& H& Ü& Ý& s' t' ¤' ¥' Ö' Ø' Ž) ¶) Ä) Ê) Ë) Ñ) Ò) Ý) Þ) ç) é) ï) ñ) ú) ü) ÿ) * * ø( * ù( * * * + + * * * * * !* .* 8* :* =* >* A* B* š* £* ª* ¯* ç* ê* ù* J* + K* + R* X* _* j* m* „* ‰* •* ”* + + + + "+ #+ )+ *+ .+ /+ 4+ 5+ 8+ 9+ B+ C+ K+ L+ S+ T+ W+ X+ _+ `+ d+ e+ o+ p+ v+ w+ •+ †+ Ž+ •+ ”+ •+ + ¡+ ¥+ °+ ¶+ Ã+ Æ+ Î+ Ø+ Ù+ ä+ å+ ê+ ë+ ô+ õ+ þ+ ÿ+ , , , , , , #, $, *, 0, 7, 8, <, =, J, K, P, Q, [ , ], b, c, l, y, ~, •, ‚, ƒ, Š, ‹, •, ‘, ˜, ™, ž, Ÿ, ¦, §, «, ¬, ´, µ, ¾, ¿, Ä, Å, Ð, Ñ, Ü, Ý, ð, ñ, ÷, ý, - -- - *- +- :- ;- =- >- B- C- L- M- O- PY- Z- _- `- g- h- n- t- ~- •- ’- “- –- ™- •- ž- ¥- §±- ²- Å- Æ- Ì- Í- ×- Ø- Ü- Ý- â- ã- ê- ë- ú- û. . . . . . . -. '. (. 7. 8. >. D. I. J. L. o. p. x. z. •. ‡. •. ‘. — . . ¥. §. -. ¯. ². ³. º. Â. / M. R. S. X. Y. b. c. h. É. ß. â. ù. ý. þ. / / j. / / / // r/ / œ/ ì/ 0 0 X0 0 ˜0 Ó0 1 / 2/ x/ •/ í/ 0 `0 š0 Ù0 / 3/ y/ ¤/ ñ/ 0 a0 ›0 Ú0 / -/ / &/ '/ 8/ 9/ B/ C/ H/ I/ Q/ R/ V/ •/ ‚/ Š/ ‹/ •/ ‘/ •/ – ¥/ ¬/ -/ ²/ ³/ ¹/ ¿/ É/ Ê/ ù/ 0 0 0 0 "0 #0 )0 *0 30 40 :0 i0 p0 x0 z0 ‚0 Š0 Ž0 •0 — ¡0 §0 ª0 «0 -0 ®0 ´0 ¼0 Á0 å0 ì0 ï0 1 1 1 W/ ^/ `/ i/ j/ q/ Î/ Ï/ Ö/ Ü/ æ/ ç/ ;0 A0 B0 D0 E0 R0 Â0 Æ0 Ç0 Ï0 Ð0 Ò0 1 1 1 1 1 #1 $1 )1 *1 01 21 ?1 F1 I1 O1 W1 a1 e1 f1 n1 o1 q1 r1 x1 y1 „1 …1 Œ1 “1 •1 – 1 ¥1 ¦1 ®1 ¯1 µ1 ¶1 ¼1 ½1 Ã1 Ä1 Ê1 Ë1 Ò1 Ó1 Ú1 Ü1 ã1 ä1 æ1 ò1 ù1 ú1 2 2 2 2 2 2 !2 "2 *2 +2 82 A2 J2 U2 X2 o2 u2 v2 •2 €2 Š2 •2 ™2 š2 2 ¡2 ª2 «2 ±2 ²2 ¸2 ¾2 Â2 Ã2 Æ2 Ç2 Ð2 Ò2 å2 æ2 ë2 ì2 ÷2 ø2 ü2 ý2 3 3 3 3 3 3 3 3 "3 #3 )3 *3 53 63 :3 ;3 A3 G3 T3 U3 [3 ]3 a3 b3 g3 h3 q3 r3 y3 {3 •3 ƒ3 Ž3 •3 ’3 ›3 ¢3 ´3 · 3 Î3 Ð3 Ñ3 à3 è3 ñ3 ò3 ø3 ù3 4 4 4 4 4 #4 (4 *4 04 14 ;4 <4 A4 B4 I4 J4 O4 P4 Z4 [4 _4 e4 h4 i4 r4 s4 w4 x4 ~4 •4 ‡4 ˆ4 Œ4 4 £4 º4 ¿4 À4 Ë4 Ì4 Ò4 Ó4 ×4 Ø4 ã4 ä4 è4 é4 ô4 õ4 ú4 û4 5 5 5 5 5 5 5 5 '5 (5 5 .5 65 75 95 :5 E5 M5 Z5 [5 _5 `5 k5 l5 r5 t5 ~5 •5 …5 ‡5 ’5 “5 ™5 ›5 5 ¡5 §5 -5 ²5 +6 66 76 A6 B6 H6 I6 O6 P6 [6 \6 `6 a6 l6 m6 r6 s6 x6 y6 ƒ6 …6 ‰6 Š6 ”6 š6 ž6 Ÿ6 ¥6 ¦6 ®6 °6 ³6 ¹6 ½6 ¾6 Å6 Æ6 Ë6 Ì6 Ò6 Ô6 Ù6 Û6 Þ6 ä 6 è6 é6 ñ6 #9 .9 o9 p9 s9 Ž9 ø: ù: ø; ù; 7? :? ;? >? ?? F? L? Y? Z? d? e? k? l? t? ·? ¾? Î? Ï? ×? Ø? á? â? ï? ð? ÷? ø? þ? ÿ? @ @ @ @ %@ &@ @ .@ 1@ 2@ <@ B@ K@ L@ A A A #A +A 3A LA VA 8C CC •D ™D šD ¥D ¦D ±D ÈD ÑD ŽF ’F oG uG vG yG zG ~G €G ƒG „G ŒG — G šG ¶G ÀG ÁG ÆG ÇG ÚG ŠH •H ³D ¾D ¿D J K K K J K K K K %K &K ,K 7K 9K @K AK KK MK WK ‚K ŠK ‹K •K — ¡K åL ðL ñL M M M M M 1M 4M 5M @M XM ZM eM fM mM /O 7O 8O IO JO NO OO TO P P ŸQ ©Q ²R ³R ·R ¸R ¾R ¿R ÆR ÇR ÍR ÎR ßR åR æR íR îR ôR õR úR ûR S S S S AM FM GM NM OM ÒR ÓR ÙR ÚR ÞR S S )S 0S FS KS VS WS [S \S `S hS oS †S “S ”S ŸS S §S ¨S ¯S °S ²S ³S »S ÆS ?U FU \U bU cU iU jU rU sU {U }U ‚U ƒU †U ‡U •U •U œU •U ¤U «U ±U ¹U ¿U ÀU ÄU ÍU ÓU ëU îU ôU ´V ¹V ºV ¾V ùV W W W W W W "W #W )W *W 0W 1 W 9W :W öX ýX Y Y Y Y Y #Y *Y 0Y BY HY IY TY UY ZY [Y _Y `Y eY fY nY oY vY wY ~Y „Y •Y ŽY šY ›Y £Y ¤Y ³Y ´Y ºY »Y ÃY ÉY ÕY ÖY ÜY ÝY ãY äY ëY ìY ðY òY ýY eZ lZ X] ^] d] e] m] n] u] {] •] €] ‰] Š] •] ‘] — ] ™] œ] •] ] ¡] ¨] ©] ®] À] Í] Ò] Ú] à] á] í] î] ÿ] µ_ ¾_ Ä_ Ì_ Í_ Ó_ Ù_ á_ â_ ä_ å_ é_ ê_ ò_ ó_ ` ` ` ` ` ` ` ` ` !` &` '` 0` 1` :` @` L` M` W` ^` d` j` q` y` •` •` ˆ` ž` ¥` 9a ?a @a Ea Fa Ka La Ta Ua [a \a `a aa ia ja qa ra ua va ya za …a †a Ža ”a œa •a £a ¤a §a ¨a ¯a Ub øc ùc èg íg ïg øg ùg h h h h h h h h h h &h 'h .h 0h =h Ch Lh Mh Sh Th ]h ^h bh ch fh gh ph ei li ³i ¹i »i Âi Ãi Éi Êi Ôi Öi Øi Ùi Ýi Þi äi æi ëi ìi òi ói ÷i øi ÿi j j j j j j j -j j 'j (j 0j 1j 8j 9j @j Aj Ej Fj Oj Pj Vj Wj aj cj jj lj rj sj }j – m œm ¢m £m «m ¬m ±m ²m ºm »m Ám Âm Èm Îm Óm Ôm Þm ßm ãm äm èm ém ñm òm ôm õm ým þm n n n n n n -n Kn Qn Rn \n ]n cn dn kn ln rn •n ˜n ™n ¢n £n ®n ¶n »n ¼n Æn Çn Ín În Ön ×n àn Hp Ip Op Pp Sp Tp [p \p ap bp jp lp up vp {p |p „p …p Šp ‹p –p — p œp •p ¢p £p ªp «p ²p ³p ºp Âp Êp Îp Ôp q q q )q ,q Iq Qq Åq Ìq Íq Ñq Òq ×q Øq Þq ßq åq ðq óq r r r r r #r $r )r *r 1r 2r 4r 5r :r ;r Br Cr Kr Qr [r \r br cr gr ir lr mr rr sr xr yr •r €r ‡r ˆr •r •r “r ”r ˜r ™r žr Ÿr ¤r ¥r -r ®r ²r ³r ºr »r ½r ¾r År Ër Ðr Ñr Õr Ör Úr Ûr àr ár èr t t t t t "t #t *t ,t 1t 3t 9t :t It Jt St Yt at ht mt st |t ‚t ‹t Œt ’t “t št œt ¥t ¦t ©t ªt ²t ³t ¾t ¿t Ît Ôt Ùt Út ßt àt ät ìt ût üt u u u u u u u u #u $u *u +u ;u <u Du Eu Ju Ku Pu Qu Zu [u `u au iu ju pu qu vu wu •u €u †u ‡u Žu •u ”u •u š u ›u žu Ÿu ¥u ¦u °u ±u ¶u ·u Àu Áu Ëu æu *v ,v 3v 4v =v >v Dv Ev Lv Mv Ov [v gv hv ov zv €v •v †v ‡v ‹v Œv •v ™v ¡v ¢v ¬v -v ·v ¸v ¿v Çv Ëv Ìv Ñv Øv âv ãv év ñv ùv úv w w w w w w w w &w 'w .w /w 5w 6w :w @w Lw Nw Ww Xw Zw [w _w `w jw kw nw ow ww xw ~w •w ’w “w ›w œw ¡w ¢w §w ¨w -w ¶w ¼w ½w Èw Éw Ïw Ðw Öw Ýw éw êw ðw ûw x x x x x x x x "x x 4x ;x Cx Dx Kx Lx Sx Xx ]x ^x ix jx sx tx €x •x ‡x ˆx ‘x “x œx •x ¤x ¥x ©x ªx ±x ²x ·x ¸x Àx Áx Äx Æx Íx Îx Ùx Úx âx ãx éx êx ñx üx y y y y y y y y y y !y $y %y .y 5y 6y ;y <y Ay By Gy Hy Oy Py \y ]y `y ay fy qy xy zy r€ u€ Ú• Ü• ø‚ ù‚ ƒ )ƒ *ƒ 1ƒ 2ƒ 8ƒ >ƒ L„ R„ †… •… ‘… Ÿ… ¥… «… à† øˆ ùˆ )‹ +‹ >‹ D‹ M‹ N‹ U‹ `‹ g‹ h‹ q‹ r‹ w‹ x‹ €‹ •‹ †‹ ‡‹ •‹ Ž‹ ˜‹ ™‹ œ‹ •‹ ¤‹ ¯‹ ¸‹ ¹‹ ‹ Ä‹ É‹ Ê‹ Ñ‹ Ò‹ Ù‹ ì‹ ó‹ ô‹ ý‹ þ‹ Œ Œ Œ Œ Œ Œ Œ Œ $Œ %Œ .Œ Á• 6Ž XŽ ìŽ íŽ óŽ õŽ • • • • • • • -• ,• 9• y• •• ‚• ‡• ˆ• •• ¤• ¥• ±• ³• »• ¼• • Е Ø• ^— ”› ¨› – Ÿ ŸŸ Ÿ £Ÿ ¤Ÿ š › Ÿ ¨ ª ° ² ¸ Á `¢ h¢ p¢ q¢ y¢ z¢ ‚¢ ƒ¢ Š¢ ‹¢ •¢ Ž¢ –¢ — ¢ ›¢ œ¢ ¢ ¡¢ ¥¢ ¦¢ ¬¢ µ¢ ¾¢ ¿¢ Ä¢ Ï¢ Ø¢ Ù¢ ó¢ ô¢ û¢ £ £ £ £ £ £ £ !£ "£ )£ *£ 0£ 7£ :£ ;£ ?£ @£ G£ ÿ¤ ¥ ¥ ¥ ¥ §• ¨• ¬• ­• È 4¢ ;¢ W¢ á¢ â¢ ê¢ ë¢ H£ O£ P£ V£ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ *¥ +¥ 4¥ 6¥ <¥ =¥ @¥ A¥ H¥ I¥ T¥ U¥ \¥ ]¥ c¥ d¥ j¥ k¥ q¥ r¥ w¥ x¥ €¥ •¥ ˆ¥ ‰¥ Œ¥ •¥ •¥ ‘¥ –¥ — ¥ ¥ £¥ Í¥ Ï¥ ø¥ ù¥ G¦ H¦ ¬¦ ®¦ § § •§ ƒ§ © © ã© ì© í© õ© ö© ͪ Ѫ Òª ت Ùª ߪ àª æª íª ÷ª øª « « « ™¬ Ÿ¬ ¬ ¦¬ §¬ °¬ ²¬ º¬ »¬ Á¬ Ǭ Ϭ Ь Ù¬ Ú¬ à¬ á¬ ê¬ ð¬ ú¬ û¬ ÿ¬ - - b´ c´ h´ -- $- .- 6- 7- ;- <- A- B- J- K- S- T- [- \¡¯ §¯ ô° ± ± §± ©± ì± ï± ² ² в Ò² ¥³ §³ ´ ´ œµ §µ ªµ Ùµ äµ êµ ñµ òµ öµ ÷µ úµ ûµ ¶ ¶ ¶ ¶ ^¶ c¶ d¶ m¶ s¶ z¶ {¶ ƒ¶ „¶ •¶ Ž¶ •¶ – š¶ ›¶ Ÿ¶ ¶ ¨¶ ©¶ ´¶ µ¶ ¶ ö Ƕ o¸ p¸ v¸ w¸ •¸ ‚¸ ˆ¸ ‰¸ •¸ •¸ ™¸ š¸ ¸ ¡¸ ª¸ ¬¸ ·¸ ¸¸ ¾¸ ¿¸ ĸ Ÿ ˸ ̸ Ó¸ Õ¸ ظ Ù¸ ã¸ ä¸ é¸ ê¸ ¹ À ¹ À ¹ À ¹ À ¹ À 9º —» ™» $¼ V¿ W¿ _¿ `¿ ç¿ ë¿ À À À !À "À +À ,À 2À 4À 7À 8À >À @À HÀ IÀ NÀ OÀ SÀ TÀ WÀ XÀ [À \À `À aÀ eÀ gÀ mÀ nÀ qÀ sÀ vÀ wÀ •À ƒÀ †À ‡À ‹À ŒÀ ”À •À ˜À ™À •À žÀ ¡À ¢À ¦À §À «À ¬À °À ²À ·À ¸À ¾À ¿À ÃÀ ÄÀ ×À ÛÀ ÜÀ àÀ áÀ ëÀ ïÀ õÀ ÷À ÿÀ Z Á gÁ Ý Þ â ã ï ð û ü à à à à à ºÅ ÀÅ ÃÅ ÄÅ ÎÅ ÏÅ ÖÅ æÅ êÅ ëÅ ôÅ öÅ Æ àÈ øÈ ùÈ Ë Ë Ë "Ë $Ë úË ÿË Ì Ì !Ì "Ì )Ì *Ì 1Ì 3Ì 8Ì BÌ GÌ HÌ NÌ TÌ [Ì \Ì bÌ cÌ kÌ lÌ uÌ •Ì ƒÌ ‹Ì ‘Ì NÏ ZÏ ÛÑ ßÑ àÑ æÑ çÑ îÑ ïÑ óÑ ø Ñ „Ò •Ò •Ò ‘Ò ’Ò — Ò ˜Ò Ò ·Õ ºÞ ¼Þ øå ùå Xæ `æ aæ iæ jæ væ wæ }æ ƒæ †æ ÿæ ç Ñë Øë ßë ìë ²ÿ ô ô µÿ ü ›õ §õ íë ¨õ ôë -õ ¡í ®õ «í µõ 5ï ¶õ 8ï ºõ 9ï P÷ @ï øù Aï ùù Hï Jÿ Pï Lÿ Uï ™ÿ Vï ›ÿ ]ï " Õ ( Ú Û ¸ ¹ Ã Ä Ñ Ò Ù Ú ß à å æ L R S Z [ Ú ø 0 1 ) á : K â t P è ´ R é » _ ð ¼ ` ñ À h ÷ Á i ø É m ! n r Ç Í Î Ô ò œ ó • ø ¦ 3 ¨ 4 - ? @ 9 E @ F Q F Q ‰ • – — ?! •P ¥ # . / 3 4 C D L ¢ … ‡@! ø! ù! s# v# $ $ 0& 1& ø& û& N( P( š( ›( Á+ ã+ ã+ …P †P ¥ ¥ í+ î+ ó+ ô+ €P ¥ `« b« h« i« r« s« ~« €« •« •« ˜« ™« œ« •« ¢« £« ¬« -« ±« ²« ·« ¹« Tä Uä \ä ^ä dä eä Æä Èä Íä Ïä Óä Õä Úä Ûä ßä àä æä çä êä ëä öä ÷ä å å å å å å å å %å 'å å .å /å 0å Ÿé é é ¢é ¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é ´é ·é Âé Æé Íé Îé Õé áé çé íé ôé øé ÿé ê ê ê ê ê ê ê ê "ê +ê 7ê 8ê Bê Dê Mê Nê Sê [ê aê fê jê }ê ƒê •ê – £ê «ê ¬ê µê ¶ê Áê Èê Ñê Òê ×ê ùê ë ë !ë #ë *ë ,ë 4ë 5ë >ë Në Uë \ë bë ië oë vë yë zë ~ë ƒë ˆë •ë “ë ”ë šë žë ¥ë ³ë ºë »ë ½ë ¾ë Åë Òë Øë Þë åë éë ðë öë ýë ì ì Åì Ìì áì äì 1 Ø ‰ µ t v Š ‹ • 4 Ú Š K ð æ L ñ ç M g ® ø i T ú ‡ 3 , ˆ 6 g Z > h ~ • G I Á X @ Û Ý ³ à ¤ ¶ · \ ^ ² `! ( ( ³ a! Ú v" Û w" l $ •) ¶) Ã) ], —. ù. ý. `/ ø/ n ¡$ ™0 ’ 0 “ ` a Y Z à- á- B D “1 92 :2 Ñ2 Ò2 ™3 ›3 `4 a4 Y Z 5 +6 „6 ÿ6 7 v7 z7 ;8 ?8 ¾8 Â8 j9 o9 Ž9 N> O> 6? ™? ? â? d@ e@ A àA ´B D ²D ³D ±E ²E *F +F ºF »F þF ÿF nG oG 9H ,I 0I óK øK ÆL ÈL ãM çM kN oN O O ‚O †O ¾O 'P ÍP ÑP FQ ´Q µQ R R ¤R ¥R S )S àS áS ÉT ÊT >U ?U ²U V V ÆV ÑV ùV éW `Y eY òY ‘Z ’Z ïZ \ \ l\ ä\ å\ V] X] Ó] Ô] f^ Ö^ Ø^ Ù^ + _ x_ |_ µ_ ` ` r` •a “a b {b |b ýc þc ¬f -f çg èg h m m Žh ’h ºh ½h ùh ²i ³i Õi Öi bj cj Åj Æj /k œk l ýl •m – 8n 9n ¯n °n ¶o ço ìo vp {p lq qq Åq s s ys ïs ós âu æu ôu õu v -v *v [v ×v Øv Mw êw ðw 6x ’x Áx Íx yy zy —z ˜z Ô{ Õ{ µ} ¶} Û• Ü• !‚ "‚ ƒ ¬„ °„ "… •… ±… ¿… "† ߆ à† ˆ‰ ‰‰ >‹ `‹ Ë m Út y Œ Ÿ ¹ ¾ È Î Œ š” d™ ¸Ÿ 5¯ ”¹ ˜¾ Å RÈ .Î ÛÑ rŒ ›” e™ ÊŸ 9¯ ˜¹ I¿ WÅ ¶È „Î QÒ ¹Œ x• )š ¡ Ù° Ÿ¹ À XÅ ·È ±Î RÒ ºŒ y• *š ¡ î± º fÀ ¸Å ÞÉ ´Î ŽÒ ÕŒ ²• “› Y¡ ï± -º gÀ áÅ ßÉ âÎ •Ò ÖŒ ?– ¨› ö¡ ¼² #¼ ±À _Æ Ë =Ï Ó '• C– ¹• ÷¡ ½² $¼ 3Á ùÆ aË >Ï {Ô (• — º• V¢ —³ — ¡Á þÆ Ì tÏ €Ô p• q• 6Ž XŽ +• 9• Ò• Ó• e“ \— ^— ³ž ´ž Ÿ Ÿ – •£ ¢¥ £¥ ò¨ ó¨ ã© û¬ ÿ¬ ƒ® ˜³ ´ /µ ¢µ £µ ص E¶ I¶ d¸ 8 Ø tÇ yÇ Ì ŠÌ vÏ ¯Ï ÙÂ È ‹Ì °Ï f“ ó® sà Èà ÛÃ Ä TÄ UÄ Å ×Ì Ð ØÌ œÐ oÍ ¡Ð qÍ `Ñ Î cÑ Î wÑ ÚÑ Õ ã ã ì ï ¶Õ ·Õ Œ× •× hÙ iÙ ¸Ú ¹Ú ¿Ü ÀÜ uÞ vÞ ÿà á Wæ ~í ÿæ Âí ç Ûí °è éí Áè Tî üè áî Gé Åé nê oê ¤ê ¥ê (ë )ë „ë …ë ï lï Ëï Ìï ð ð •ð ±ð ñ ñ `ñ añ Ûñ Üñ 3ò 4ò {ò |ò ¿ò Àò ?ó @ó •ó Ÿó ô ô zô {ô åô æô Võ Wõ îõ ïõ ;ö <ö O÷ P÷ ‡ú ˆú æû çû Þý ßý ´ÿ µÿ ÷ ø ü V ê N O Ì Í ´ ò ö ! ž K d i ß ø ù – f ¼ ) 3 ½ ÷)  E ˜ œ Í o p ÷ ø f h é ê ß à › Ÿ è † • ‘ ÿ n ë ï § ¨ Q R ¸ ¹ † ‡ % & Ÿ ñ ò ” • û r v ¢ ?! @! 9" :" Ñ# Ò# B% C% ú& û& ‰( Š( À+ ä+ ó+ ô+ , , Ç- È- D/ E/ t0 v0 Œ0 •0 ö 3 C5 D5 hL iL S7 O T7 ï: ð: \< ]< ]@ O 1O 2O 'P ãQ ÷Q ^@ GC HC G G T šT xU |U ¤V iH jH YK ZK W ~ ÔW yY zY ¯Z °Z ¿f µg ¶g oi pi ‰\ l Š\ =^ >^ ^` _` Éa Êa «b ¬b 4e 5e l §p ¨p `u au žx Ÿx ˜z ™z !| "| ¾f ~ _• › `• › )„ œ *„ 6… 7… œ *ž +ž † † ‰ ‰ ä• å• f‘ g‘ ¯” °” c— d— 4 © ‡ '¢ ú¤ ñ¦ ø¦ 8¨ o¨ p¨ ¥¨ ¦¨ © Ç ¸« ¹« p¬ 7Á =Á þÅ — ˜Ç éÈ êÈ Ê Ê SË TË °Ì ±Ì AÎ BÎ •Ï •Ï MÐ NÐ ÍÑ ÎÑ ³Ò ´Ò “Ó ”Ó ³Ö ´Ö ÐÙ ÑÙ à à Gä xä {ä »ä å bæ eæ Ié Lé é é ¢é ¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é Åé Æé Ùé Ûé Šê Œê •ê Ÿê zë ‚ë äì 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ‹ – 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ˆ v 3 3 L 6 3 • Ú 3 ñ 3 i 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ¤ ¶) * 7? â? A Ÿ :A ÌŸ S )S Âp q 3t bt œt Út ,v [v A‹ `‹ – ã© #ª Ç® ´ ’´ I¿ m¿ ºÅ áÅ xÔ {Ô €ð ±ð ü • ´ ä+ ô+ qP ½P •Q ÊQ 4 ú¤ ?¥ L§ p§ Χ ö§ é é ¢é ¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é Åé Æé Þé áé ê ê Bê Dê Sê Uê Yê [ê dê fê {ê }ê Žê •ê ¡ê £ê Áê Ãê Æê Èê ×ê Ùê Ýê ßê êê ìê ÷ê ùê ë ë ë ë !ë #ë *ë ,ë Lë Në Zë \ë gë ië të vë •ë •ë ªë -ë ±ë ³ë Êë Ìë Ïë Òë þë ì ì ì ì ì ì mì – „ì †ì ¨ì ªì Ãì Åì Ìì Îì Ðì Òì ßì äì – þ ÿ ã+ ã+ é é ¢é ¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é Åé Æé äì _fˆ ~X •ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ e – ‚*VÛÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ AlA nhÚwÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ m ß è6°lÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ¨f? |N"‰ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 7 ^ ð„”†ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ‹1Í NG ²ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ªLš •äj3ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ‘i£ Ú±\ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ À|?-4ýpÀÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ He6$ØüRVÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ `þ$îú ªÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ cgL& ' ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ¼'âSæoÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ + 3Zù Õÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ¸Uš3€!6Zÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Á1š4j „÷ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ oMü8DÛVÍÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ½8»;ÄÊ4ãÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Øp®EÄôƸÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Þ)CGBn Aÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ t>hQrœØ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ é-lVN Êdÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ *[ýWü³¶ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ^ 'Yz„tàÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 9b Z\ Bæÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ à=/`¢MðXÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 6^o„œ¼!ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÄH t øî`ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„ ˜þo( . € „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h ˆH . € „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þo( ) „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ . . ‚ € „ € ˆH ˆH „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . „à „Lÿ Æ à ^„à „° „˜þ Æ ° ^„° „€ „˜þ Æ € ^„€ „P „Lÿ Æ P ^„P „˜þ Æ ^„ `„˜þ „p `„˜þ . „Lÿ Æ @ ^„@ `„Lÿ . ‚ `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h ) ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . h h h h € € ‚ „@ „ „p „˜þ Æ p „ ^ „˜þ Æ ^„ `„˜þ þ Æ P `„Lÿ „˜þ Æ . h „€ „˜þ Æ ^„P `„˜þ . h € . „p „Lÿ Æ ^„h `„˜þ h „° „Lÿ Æ ^„€ `„˜þ ° . „à „˜þ Æ ^„° `„Lÿ à . „Ð p . „˜þ Æ ^„ `„˜þ „ Ð . h h h „ „˜þ Æ ^„p `„Lÿ ^„à `„˜þ „Lÿ Æ ^„Ð `„˜þo( . . „P ^„ „˜ . „h „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ ÿ Æ ˜þo( . P „€ „˜þ Æ ^„P `„Lÿ . `„˜þ „Ø . € . „˜þ Æ „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ ° . h „ „Lÿ Æ Ø ^„Ø „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ à . ^„à `„Lÿ „h „˜þ Æ h „8 „˜þ Æ 8 ^„8 `„˜þo( ^„ `„Lÿ . „¨ . „P „L ^„h `„ ) „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ . „H ^„ „˜þ Æ `„˜þ „ „˜þ Æ è ^„è `„Lÿ . „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ‡h „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . • „ H . ÿ Æ „x „Lÿ Æ ^„H `„˜þ x . ^„x `„Lÿ „è h ˆH ˆH ˆH ) . . h . • ’ • h h h „L „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . „à „Lÿ Æ à ^„à „° „˜þ Æ ° ^„° „€ „˜þ Æ € ^„€ „P „Lÿ Æ P ^„P 8 „˜þ Æ 8 ^„8 `„˜þ „ `„˜þ . `„Lÿ . ’ `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h ) h ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . • • ’ h h h h h h „Ø h „Lÿ Æ „¨ „ Ø „˜þ Æ ^„Ø „ ^ „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ . h „H „Lÿ Æ ^„ `„˜þ h þ Æ Lÿ è . „ „˜þ Æ ^„è `„˜þ . „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h @ ˆH . „x „˜þ Æ ^„H `„Lÿ x . € „˜þ Æ ˆH ^„x `„˜þ h h „Ð „ „p „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ‡h „ H . „˜þ Æ Ð ^„ `„˜þo( . € „¸ „Lÿ Æ ¸ ^„Ð `„˜þo( ) ‚ . h „è „˜ ^„¸ `„ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h h „˜þ Æ h ^„h `„˜þo( . ^„8 `„˜þ . „Ø `„˜þ . ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ „ „˜þ Æ Ø „Lÿ Æ ^„Ø „¨ „8 ^„ „˜þ Æ `„Lÿ „ 8 . „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ ÿ Æ ˜þo( . è „ „˜þ Æ ^„è `„Lÿ . „H ^„ „˜þ Æ `„˜þ H . „x „Lÿ Æ ^„H `„˜þ . „Î „Lÿ Æ Î „þ „˜þ Æ ^„Î `„Lÿ „ž „˜þ Æ ^„ž `„˜þ ž . „n x . ^„x `„Lÿ „. „˜þ Æ . þ ^„þ `„˜þ . . „è „L ^„. `„ . „˜þ Æ n ^„n `„˜þ . „> „ „Lÿ Æ > ^„> `„Lÿ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ „ „p „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ‡h „ . „® „Lÿ Æ „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þo( „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h ˆH @ ˆH . € ® „Þ „˜þ Æ ^„® `„Lÿ . € . ‚ . € Þ . ^„Þ `„˜þ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . „à „Lÿ Æ à ^„à „° „˜þ Æ ° ^„° „€ „˜þ Æ € ^„€ „P „Lÿ Æ P ^„P Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ „ `„˜þ . h „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ . ‚ `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h ) ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . h h „p „@ h € € ‚ „ „Lÿ Æ p h „ „˜þ Æ ^„p `„Lÿ „ ^ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ . h h „° „˜þ Æ ° „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ . ÿ Æ P ^„P `„Lÿ . ;þOJ QJ ^J o( §ð Æ OJ QJ ^J o( o Æ „˜þ Æ 6 ^„6 `„˜þOJ QJ ^J o( §ð „˜þ Æ ^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ·ð ˜þOJ QJ ^J o( o Æ OJ QJ ^J o( §ð Æ QJ ^J o( ·ð Æ QJ ^J o( o Æ ^J o( §ð h „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ‡h ˆH „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h ˆH „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . • h „ „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ à . ^„à `„Lÿ . h „P „L „‹ „;þ Æ ‹ ^„‹ `„ „f „˜þ Æ f ^„f `„˜þ h Æ „6 Æ „ Æ „Ö „˜þ Æ Ö ^„Ö `„ „¦ „˜þ Æ ¦ ^„¦ `„˜þ „v „˜þ Æ v ^„v `„˜þOJ „F „˜þ Æ F ^„F `„˜þOJ „ „˜þ Æ ^„ `„˜þOJ QJ ) . . • ’ • h h h „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ’ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h ‹ „;þ Æ ‹ ^„‹ `„;þo( . ^„ `„˜þ . „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ . h ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . • • ’ „ „p „ h h h „Lÿ Æ p „ „˜þ Æ ^„p `„Lÿ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ ÿ Æ ˜þo( ‚ . P „€ „˜þ Æ ^„P `„Lÿ . € € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ ° . „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ „p „Lÿ Æ „ „˜þ Æ ^„p `„Lÿ p @ . € ^„à `„Lÿ „Ð „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ à . „ . „˜þ Æ Ð ^„ `„˜þ € . „P „L ^„Ð `„ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ € . ‚ „€ „˜þ Æ ÿ Æ P ^„P `„Lÿ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ ) € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ h ° . „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ ‚ h „ à . ^„à `„Lÿ € . „P „@ „L „˜þ Æ ^„ `„˜þ . h „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ . h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ . h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ . h „P „L ÿ Æ P ^„P `„Lÿ . h „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ . h „ð- „˜þ Æ ð- ^„ð-`„˜þ . h „À! „Lÿ Æ À! ^„À!`„Lÿ . „h „˜þ Æ h ^„h `„˜þo( . „8 „˜þ Æ 8 ^„8 `„˜þ . „ „Lÿ Æ ^„ `„Lÿ . „Ø „˜þ Æ Ø ^„Ø `„˜þ . „¨ „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ . „H ^„ ÿ Æ ˜þo( è „ „p „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ‡h „ „˜þ Æ `„˜þ „ „˜þ Æ ^„è `„Lÿ . . € „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h @ ˆH . € H . „x „Lÿ Æ ^„H `„˜þ x . „Ð ˆH ˆH . . ‚ € ^„x `„Lÿ „˜þ Æ . Ð „è „L ^„Ð `„ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „à „° „€ „P „h „ „p „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ‡h „ ˆH „Lÿ Æ „˜þ Æ „˜þ Æ „Lÿ Æ „˜þ Æ „˜þ Æ „Lÿ Æ . ^„à ^„° ^„€ ^„P ^„h ^„ p ^„p ‚ `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . • à ° € P h ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . ) . . @ ˆH h € € ‚ • ’ • h h h h „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ’ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h Æ „:þ Æ Æ ^„Æ `„:þo( . ^„‹ `„;þo( . . „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ . h ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . • • ’ „p „@ „ h h h „Lÿ Æ „ „‹ „;þ Æ ‹ p ^„p `„Lÿ „˜þ Æ ^„ `„˜þ ÿ Æ ˜þo( . P ‚ „p „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ‡h „ „€ „˜þ Æ ^„P `„Lÿ . „Lÿ Æ p € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ „ ^„p `„Lÿ‡h . à . „Ð @ ˆH ° . € ˆH . „˜þ Æ € ^„à `„Lÿ „˜þ Æ Ð ^„ `„˜þo( . „P „L ^„Ð `„ ) „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ5 o( ^„ `„˜þ5 o( ‡h ˆH h ^„h `„˜þ5 o( ‡h ˆH „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . ) ) € . € € ‚ „ „ „˜þ Æ „h „˜þ Æ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h h „˜þ Æ h ^„h `„˜þo( . ^„ `„˜þ . „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ . ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ „ „p „ „Lÿ Æ p „ „˜þ Æ ^„p `„Lÿ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ ÿ Æ :þo( . P „€ „˜þ Æ ^„P `„Lÿ . € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ „p ° . „Lÿ Æ „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ @ . ^„à `„Lÿ „Æ „:þ Æ Æ „‹ „;þ Æ ‹ ^„‹ `„;þo( p ^„p `„Lÿ . „@ „˜þ Æ ^„@ `„˜þ à . „ . „P „L ^„Æ `„ . „˜þ Æ ^„ `„˜þ . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ „€ „˜þ Æ € P ^„P `„Lÿ . „$ „˜þ Æ $ ^„$ `„˜þo( ‡h ˆH ) „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . • „ ° . ÿ Æ „à „Lÿ Æ ^„° `„˜þ à . ^„à `„Lÿ „P ¼ • ˆH ˆH ¼ . . ¼ . ’ • ¼ ¼ „L „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ’ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þo( ) „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ ¼ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . • • ’ ˆH ˆH . . ‚ € ¼ ¼ ¼ „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „à „° „€ „P „8 „ „Ø „¨ ˆH „Lÿ Æ „˜þ Æ „˜þ Æ „Lÿ Æ „˜þ Æ „˜þ Æ „Lÿ . ^„à ^„° ^„€ ^„P ^„8 ^„ Æ Ø à ° € P 8 ‚ `„Lÿ‡h ˆH `„˜þ‡h ˆH `„˜þ‡h ˆH `„Lÿ‡h ˆH `„˜þ‡h ˆH `„˜þ‡h ˆH ^„Ø `„Lÿ‡h . . . . ) . ˆH € € ‚ h h h • ’ . • h „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ‡h ˆH . • „x „˜þ Æ x ^„x `„˜þ‡h „H „Lÿ Æ H ^„H `„Lÿ‡h „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „è „˜þ Æ è ^„è `„˜þ‡h „¸ „Lÿ Æ ¸ ^„¸ `„Lÿ‡h h „˜þ Æ h ^„h `„˜þo( . ^„8 `„˜þ . „Ø `„˜þ . h ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . . ’ • • ’ „ „˜þ Æ Ø „Lÿ Æ ^„Ø „¨ h h h h „8 ^„ „˜þ Æ `„Lÿ „ 8 . „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ . ÿ Æ è m ß „H ^„ „ „˜þ Æ ^„è `„Lÿ . „˜þ Æ `„˜þ t>hQ AlA H . ¨f? `þ$ À|?6^o e– 7 ^ 3 ^„x `„Lÿ . „è ¸Uš3 ÄH t oMü8 cgL& + x . ½8»; ‹1Í ‘i£ _fˆ „x „Lÿ Æ ^„H `„˜þ Á1š4 *[ýW Þ)CG ªLš ^ 'Y à=/` „L ¼' Øp®E élV 9b Z He6$ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿ ! ! ! ! ! ! ! ! ! rÕ ! -)Ê ÆàôÎ f 4] èΖ@”ž˜ ¾6 t™zB ¢Ð2÷¾ n²¤ jfZ¡8Aî ¸ ®L *3~{ á Úa ²r à å à Œ Ž ÷k - v nL C@ P& ³f N ¯ 9 ›i Î ïz /| G6 i Í+! +D! ôN! Áy# N?& pL) , ì , ¢$, °i, Ä~, & - _ - Ù3. ó 2 ¥`2 im3 ‰ 5 žq5 ¢ 7 .=7 [m8 Ú V7 ÷V 3y Ë `m ]= +`- 9 ^ : : b; .F= w= ™K? ‰2@ $ B §bB Ø D 7.D óFD oD šoD OG ekG . H ø{H õnJ Z K r*K [kL ‡ M D M ©'M CgN >XO QTR ý T ´~T ý" V eYV ó[V `uV X Î~X Y yY ”YZ ù \ ì \ I"\ = _ ÿ'_ w_d `e ›jf ¢ h "Vh ¦oj V|k R m ]Pr º s c[s 'v ©^v zv H'w 7 x ž4x Ýdx sx 6.y ÈZy ·~y Þ z ]Zz (_z ´h{ ì;| ”7} W~ he~ ˆ{• Àc• Él• q… i† ­9‡ “,‹ b Œ ¤PŒ ˜MŽ D&• • ÂM• ˆ ‘ —:‘ 9 ” l"• ´.• 3i– Ê ˜ µ š Ú0š vXš l[š •W› EXž m Ÿ ñ\Ÿ ‰I¢ f£ •n£ Ñ"¤ l ¥ •S¦ •v¦ ¯8§ Á -© ô+ª £2« ½g« •T- 9 ® - ® C+® m² à ´ ±#µ c · ,¸ "\¸ F» _» %/¼ É> » à ÆkÅ ™*Æ M Ç ü"É Ù Ï 0 Ñ ÀEÒ *{Ò Î Ó +FÓ “_Ó H Ô GbÖ › × ˜ Ø -|Ù <TÛ ëpÛ 57Þ p_Þ 4Mß Õ$à væ ©Eè }Tè ?é :qé êqé AUê *8í «Wí 7 î O î yñ Õ ó Öió ÜYõ äpö Y]ú 8eû xþ ¼?ÿ Æé áé ê ê Cê Tê Zê eê |ê •ê Më [ë hë uë Žë «ë äì Ÿé Tyé Ÿé ÿÿ ÿÿ € R o m a n ÿ 5 • ‡z € € x ¢ê Âê Çê Øê Þê Ÿé ãì P ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ T i m e s N e w @ € A r i a l ;&• A g e n c y F ‡z a € ÿ T a h o m a ; € W i n g d i n g s ?5• ÿ C o u r i e r N e w " ˆ ðÐ h kâã pâã ¨¹Æ& I Œ q ð ëê øê ? ä ë "ë +ë ÿ@ € Ÿé U n k n o w n ‡z ÿÿ G • S y m b o l 3&• ÿ B • 5&• ‡z 1 ú x ù ù ´ ´ •• 4 ðÿ ë HP ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•¥`2 ÿÿ P e r t e m u a n 1 S u r y a d i D r s S u r y a d i D r s . K a r i m € K a r i m I ¦è 2 Œ ú ¦è 2ƒQ ð þÿ +'³Ù0 œ ˜ ´ , L X À Ü è à…ŸòùOh «‘ ô d p | „ Œ ” ä - Pertemuan 1 Suryadi Suryadi Word @ êVú ÎÊ @ p !ÎÊ - 3 @ - Drs. Karim Normal Microsoft Office È IÁÔÈ @ Ja I Œ - Drs Karim þÿ +,ù®0 ÕÍÕœ. “— h ° Ð p ¸ • À ˜ È ¨ è ä Corporation - x Microsoft ú ¦è Ø Pertemuan 1 - Title ! . @ R " / A S e d w ‰ ˜ ª ¼ T f x Š ™ « ½ Ï Î á ó # 0 B U g y ‹ š ¬ ¾ Ð â ô $ 1 C V h z Œ › ¿ Ñ ã õ % 2 D E W i { • œ ® À Ò ä ö & 3 F X j | Ž * 7 I [ m • ‘ ± à \ n ’ ² Ä ³ Å × é û ü ] o Æ Ø ê , 9 K • “ ¢ ´ ¡ Ö è ú + 8 J € Ÿ Õ ç ù H Z • °  ) 6 l ~ ž Ô æ ø G Y • ¯ Á ( 5 k } • Ó å ÷ ' 4 ^ p ‚ ” £ µ Ç Ù ë ý : L _ q ƒ • ¤ ¶ È Ú ì þ ; M ` r „ – ¥ · É Û í ÿ < N s … > P b t † ? Q c u ‡ v ˆ — ¦ ¸ Ê Ü î = O a § ¹ Ë Ý ï ¨ º Ì Þ ð © » Í ß ñ à ò ' ( ) * + þÿÿÿþÿÿÿ5 6 7 8 9 : ; < = > ? E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~ • € • ‚ ƒ „ … † ‡ ˆ ‰ Š ‹ Œ • Ž • • ‘ ’ “ ” • – — ˜ ™ š › œ • ž Ÿ ¡ ¢ £ ¤ ¥ ¦ § ¨ © ª « ¬ ® ¯ ° ± ² ³ ´ µ ¶ · ¸ ¹ º » ¼ ½ ¾ ¿ À Á Â Ã Ä Å Æ Ç È É Ê Ë Ì Í Î Ï Ð Ñ Ò Ó Ô Õ Ö × Ø þÿÿÿÚ Û Ü Ý Þ ß à þÿÿÿâ ã ä å æ ç è þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿî þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t E n t r y ÿÿÿÿÿÿÿÿ À F ÀKY !ÎÊ ð € D a t a ! . @ " / A # 0 B $ 1 C ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ e % 2 D & 3 , 1 T a b l ÿÿÿÿ o c u m e n t a t i o n Ù t i o n 8 C o m p O b j ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ 4 *H W o r d D ÿÿÿÿ 8V S u m m a r y I n f o r m ( ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a ÿÿÿÿÿÿÿÿ á q ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ ÿÿÿÿ À F Microsoft Office Word Document MSWordDoc Word.Document.8 ô9²q