\- ¥O@ h- Pþ Tþ %Z@... - º‹ ÏÊ >•4 ÓÏÃ á š Ðà ...

advertisement
\-
¥O@ h-
Pþ
Tþ
%Z@ •O@
`þ
\-
\-
[( ”­
ãÉ|2
ˆ½
º‹ ÏÊ >•4 ÓÏÃ á š
Kini.pptx tin.pptx
ÐÃ
ä
BAHAN KULIAH.doc Masa
ptx t litikan.ppt k.ppt el.doc ' ¬u' ìÄ" ûÄ"
EO@ h
ìÄ" ¬´ •#'
X´ áËËt
•u'
ìÄ"
„u' äÄ" ðx' Ì´
l´ €ÊËtàÄ" ÌÄ" Ì´ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" ðx' `
ˆÄ" üÄ" Ä´ 5ZËtüÄ" •u' BAHANK~1.DOC aÎt`
`
ä´
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" |· ÛNËt
`
ˆÄ" °Ã" îNËt>
ß
G
P
•
`
€s-w•
€s-w
À–
( \µ 3é w€s-w
ÄÄ"
ÄÄ" ÄÅ" Å"
ª
T¸ ÄÄ"
•u'
/
wp
!
· ½ wp¼µ
· í wp
fÃ"
wp(·
P ! @c€P ! Xr!
! àÏ" * . i
P ! l
ˆÄ"
l
ø
Ã"
p4 wŸ4 wl mèp!
! ۀ"
i h†
Ä" Ä ! ˜o! H
!
ۀ"
ÈÅ"
p¶ ¿, sx¶ Ķ ®. s
lsÅ. s ' èx'
¬¶ •u' `t' ••( 0
ÊjÄFèx' ¨·
X
ß ß
ð
Ä
! o!
Ã"
! øÃ"
l m ! ¨Ã"
¸ “1 w8 ! o1 w²•
}
|`
Ä" Ä ! ˜o! è
!
w
! °Ã"
! Ä ! Xr!
! Ä ! Xr!
! P !
Xr!
˜
}
P
˜
Ä
(Ã"
˜o!
Xr! ¸
Xr! èp! }
(Ã
" Ä !
˜
y|
À
@¸ <· @”( ˆÍ M× w - þÿÿÿo1 whw
°Ã" °Ã"
и ¨Ã" P¸ p/úu !
°Ã" `¸ fRúu°Ã" °Ã" p¸ CRúu
°Ã" €¸ çQúu°Ã" Ô¸ Ôpüu˜m! Ôpüu
˜m! °¸ QSúuÔpüuèº ˜m!
ïMûu°¸
°¸ è
q¨²
–
¦
btamail.net.cn w8
o1 w
w
²
ð
u'
‰uQu
ø² pW¯u•
C¼-GþÿÿÿšuQu
•
ðx'
iZËtP
ðx' ð
ÊjÄF ¸ M× w - þÿÿÿo1 wh- w
ð
'
P
•u' ø
̳ Ä
Ҽt
P
P
ÔZËt•u' @
ß
Ä
•
Ä
•u' F
è>)
' øN) ô©Qu•#' •u'
•
F
' ¨–( д
ž5 w8 ' Ÿ4 w~‘
w@¸
' P ' ìÄ" ¬´ P '
F
äÄ" ðx' Ì´ €s-w
€s-w
ï wD‹( ˆµ <‹( Hµ
| ' áËËt
P ' F
0‹( ¤´ 3é w€s-wˆµ
à•(
p”( ¤´
F
¤´
9
m w t wæ•
w@¸
h¸
¶
(
@¸
( ¸· ˜Ã
Dq w
P K n \
M . S i
° (
°–( Tþ M× wvp”(
0
0‹( €
"¶ p”( €
¨µ
G
z
€s-wA
€s-w
0‹( \µ 3é w€s-w@¸ A
°–
@¸ <‹( °–
w¾‹( |µ d*êÿ
•o w
"¶ z ‚ ¨µ
h¸
D : \ D A T A \ F I l e
D o s e n
J u r u s a n
P r o f .
D r .
K a r i m
S u r y a d i ,
\ * . *
' èx' `· ž5 w8 ' Ÿ4 wÎ’
€
w
' P ' Þ¸ ŒuP ' ° ( t '
(
••(
N’
' P '
à•(
ÿÿÿç
' @
¨–
w
•
[(
ðx' ðx' ëx'
þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
P '
' }pQ •¶
@
êx' èx'
0»
Tþ
M× wv-
y' @”(
y'
@”( Ø· —
} w q-w
ðx'
F
F
Ø·
·
ôd wTþ
ì·
Ðø w
y'
¸
aÁQu
y'
0»
2—(
( •
º‹
Ž wȹ
ìº
Œ‹Qu
0»
Z’4‹ ÏÊ
(º
@¹
”½ `þ ¡‹Qu
p”( € ' °–(
2—(
Œ¼_ÑÏÃ
F
è&(
' W(
|Ž w•Ž wîœ
t¸
@
‚ ‚ °–
`
F
@¹
w
(º %Z@ è>) P ' ° ( € '
@ ¹ P ' 0½ M× wjZ@ `¹
Hº ü¹ 0½
f w0½
º Ëe w(º (º Hº ü¹ (°ý•
(º ˜¹ â• w(º Hº
Hº `þ
ð&( Tþ M× wv†
°–
( C
0
†
†
&» °–
( †
º }pQ r
€
\½ Wd w¼I wed wHº
€
X
U•ôd w?
•
ÿÿ
;
#
#
`þ
ðx' ôd wŸ Qu
\½
jZ@
F
,½
ùe w(º
0½
º
Õ w(º
ƒO@
#
•
€ÿÿ
øp © p ©
P ó„
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ \½ \½
' PŸ' o1 w
ˆ½
O@ À½
`þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2KAPS´Í <O@ À½
ðx
º‹ ÏÊ Œ¼_ÑÏà ¾Ú¾‹ ÏÊ
' øN) KAPSEL GI POLITIK
INDONESIA n dang-Undangan , model.ppt , dan model.doc pe: text/html
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
<html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID
height=3D0 width=3D0></iframe></body></html>
--#BOUN OSIOL~1 PKN ersion: 1.0
Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-id: THE-CID
h
@
Variabel
Variabel
personal
hubungan
ui transaksi orang dengan sesamanya.
eksternal dan internal tidak menyebabkan perbuatan manusia.
utamanya adalah orang itu sendiri, yakni proses interpretatif
yang digunakan seseorang untuk menyusun makna di dalam dunia
manusia.
Preses interpretatif melibatkan kelangsungan, gabungan, saling menukar
makna dan kelakuan: suatu transaksi di mana sebab dan akibat tidak dapat
dibedakan.
Pandangan ketiga disebut Blumer sebagai “interaksi simbolik”, yakni
tindakan manusia mempertimbangkan berbagai hal yang diamatinya dan
membentuk suatu arah perbuatan berdasarkan bagaimana ia
menginterpretasikannya.
Jadi, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna sesuatu bagi
mereka.
Makna adalah sesuatu yang diciptakan, ditentukan, diberikan,
sesuatu yang diterima (Dean Barnlund).
dan bukan
Apakah Politik Itu ?
Politik adalah “pembicaraan”, atau tepatnya “berpolitik adalah
berbicara” ( Mark Roelofs). Politik tidak hanya pembicaraan, dan tidak
semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi, hakikat pengalaman politik
adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Pertemuan 4-5
Agama dan Politik
Perbandingan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) dan Nahdlatul Ulama (NU)
Relasi Agama dan Politik:
1) Kasus Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) dan Nahdlatul Ulama (NU)
Bharatiya Janata Party (BJP) dapat diidentifikasikan sebagai sebuah
partai sayap politik organisasi kultural RSS. Sebuah partai yang
memperjuangkan Bharatiya Samskriti (Budaya India) dan Bharatiya Maryada
(Tradisi India). BJP didirikan sebagai upaya Indianisasi, menandingi
pembaratan oleh kelompok pengikut Nehru. Partai ini dianggap sebagai
kekuatan politik konservatif dan partai politik sayap kanan. Partai ini
lahir sebagai bukti keseriusan pendeta-pendeta tinggi Hindu, kelompok
Hindu revivalis dan Hindu nasionalis dari berbagai pergerakan Hindu dalam
memberdayakan massa dan agama Hindu.
Gerakan Hindu dalam menegaskan identitas agama menguat pada abad ke-19.
Tokoh-tokohnya adalah para elit didikan Inggris dan kalangan Hindu kasta
tinggi yang tersebar di Bengal, Madras, dan Bombay. Gerakan ini kemudia
berbentuk dua wajah, yakni “modernisme” dan “revivalisme” (Khamami, 2004:
32):
Kelompok modernis mengadopsi model perubahan sosial dan politik yang
mendasarkan pada desain Barat, sedang kaum revivalis mendasarkan pada
Hinduisme dengan berusaha mempertahankan nilai-nilai dan noram sosial
tradisional, sekaligus mereformasi masyarakat Hindu ke arah integrasi dan
solidaritas Hindu. Revivalis Hindu merupakan bagian utama kebangkitan
India, dan ditujukan ntuk menentang dominasi penjajah Inggris. Kelompok
ini berusaha menghidupkan kembali kejayaan masa lampau dan juga
membangkitkan kembali ajaran Hindu, sebagai pengaruh dari semangat
kebangkitan yang sedang melanda umat Islam. RSS dan BJP berdiri dari
akar-akar revivalis semacam ini.
BJP didirikan pada 5 April 1980 di bawah pimpinan Atal Behari Vajpayee,
seorang tokoh politisi Hindu moderat yang ingin melebarkan sayap dengan
memasukkan Muslim ke dalam komite kerjanya. Namun sintesis ini gagal
meraih dukungan, dan BJP hanya mengantongi dua kursi di parlemen (Pemilu
1984).
Setelah Pemilu 1984 BJP mengubah jalan. Advani menggantikan Vajpayee
sebagai ketua umum partai. BJP kemudian menarik kembali simpatisan para
aktivis Hindu yang hilang dengan langkah politik mengkritik cara-cara
pemerintah dalam memberi kemudahan kepada kelompok minoritas, terutama
minoritas Muslim. Cara Advani ini mendekatkan kembali BJP dengan RSS
BJP pun menggunakan simbol agama dalam kampanyenya guna membangkitkan
emosi politik publik, selain menarik golongan kasta rendah yang telah
berpindah agama untuk kembali memeluk Hindu. Hasilnya, pada Pemilu 1991
BJP memperoleh dukungan luas. Jumlah kursi di Lhok Sabha bertambah daii
85 menjadi 119 (atau 21,0 % dibanding sebelumnya yang hanya meraup 11,4%
suara).
Kemenangan BJP tidak lepas dari keberadaan RSS sebagai kekuatan
pendukung. RSS adalah organisasi kunci pemberi kekuatan struktural,
kultural, dan ideologi kepada BJP Kini, RSS tercatat memiliki sekitar
30.000 shakas (cabang) dan lebih dari 2.500 propagandis (hlm 25). Pada
tahun 2000 RSS memiliki 45.000 shakas (cabang) dengan jaringan amat laus.
RSS adalah satu-satunya organisasi yang konsisten mengembangkan diri
menjadi pemain dalam politik tingkat mikro, dan memasuki hampir setiap
bidang aktivitas yang mempengaruhi kehidupan sosial dan politik. Dalam
bidang pendidikan, Vidya Bharati, adalah organisasi pendidikan non
pemerintah terbesar dengan 13.000 lembaga pendidikan, termasuk Saraswati
Vidya Mandir, atau semacam pesantren di NU, dengan 75.000 pengajar dan
1.700.000 pelajar. RSS pun memiliki sejumlah organisasi yang dipimpin
oleh para relawannya yang menangani kelompok suku, literatur,
intelektual, sejarahwan, guru, dan bahasa. Kelompok budayawan dan orang
terlantar, publikasi, hingga pasien lepra.
Namun pada Pemilu 2004, BJP yang tengah berkuasa dikalahkan Partai
Congress, Salah satu pemicu kekalahannya adalah pergeseran pandangan
partai ini tentang ajaran Hindurva. Pendukungnya terpecah menjadi dua
kekuatan. Kelompok pertama menuding kekalahan BJP akibat kebijakan
terakhir BJP merangkul kelompok Muslim, dan dengan begitu, telah
meminggirkan Hindurva (kelompok Hindu). Kelompok garis keras partai ini
diwakili Advani dan kubunya yang selalu mendapat dukungan dari Sang
Parivar (keluarga RSS). Namun, di bawah kepemimpinan Atal Behari
Vajpayee, BJP meninggalkan kebijakan garis keras Hindurva dengan memilih
jalan moderat. Vajpayee menyadari bahwa partai ini tidak dapat hidup
semata-mata dengan mendasarkan pada Hindurva, namun juga harus merangkul
kelompok minoritas Muslim. Selain itu, Vajpayee lebih suka memilih isuisu pembangunan sebagai agenda kampanye dan selama masa pemerintahannya.
Kekalahan BJP dapat dikatakan karena partai ini berusaha mengadopsi
postur sekuler yang tidak bekerja dengan baik. Faktor lainnya adalah
hilangnya persentuhan pemimpin partai ini dengan kader-kader di bawah dan
masyarakat akar rumput. Dukungan pemilih ideologis memiliki tiga segmen:
kader partai, ideologi Sangh Parivar, dan dukungan sosial akar bawah.
2) Sejarah Politik NU
Tradisi politik ulama mengalami metamorfosis ketika Nahdlatul Ulama (NU)
didirikan ulama pesantren. Namun jenis dan keterlibatan politik ulama NU
berbeda dengan Wali Songo, meskipun yang pertama sering mengklaim
mewarisi pemikiran dan tradisi dakwah yang kedua.
Bila ulama Wali Songo pionir dalam dakwah akulturatif, maka ulama-ulama
pendiri NU memperlihatkan komitmen yang kuat dalam pendidikan kebangsaan
di kalangan umat dan masyarakat. Hal ini terjadi karena proses kelahiran
NU bersamaan waktunya dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan.
Jauh sebelum menjadi organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah) yang
terorganisir, NU tumbuh dari gerakan pemikiran, pendidikan kebangsaan,
dan gerakan keagamaan. Gerakan ini muncul bukan semata-mata didorong oleh
kebutuhan dan perkembangan masyarakat di tanah air, tetapi juga
dipengaruhi oleh perkembangan politik Islam di Timur Tengah, yakni
menguatnya paham Wahabi di Mekkah dan pengaruhnya terhadap pemikiran
sebagian ulama di tanah air. Metamorfosis bentuk dan peran politik NU
dapat divisualisasikan sebagai mana tampak pada halaman berikut.
Kelahiran forum diskusi Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran) yang
diprakarsai Abdulwahab Hasbullah dan Mas Mansur - keduanya kawan dekat
Hasyim Asj’ari - sepulangnya dari Tanah Suci berperan penting dalam
membuka komunikasi dan dialog pemikiran Islam dengan beberapa intelektual
muda dari berbagai kalangan. Langkah konkrit Tashwirul Afkar dalam
membenahi kehidupan umat Islam antara lain dengan mendirikan Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dengan program utama bidang pendidikan.
Nahdlatul Wathanlah yang kemudian melahirkan sebuah madrasah bernama
Khitabul Wathan (Mimbar Tanah Air) di Surabaya yang dipimpin langsung
oleh Abdulwahab Hasbullah dan Mas Mansur. Beberapa saat kemudian menyusul
didirikan Ahlul Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’ul Wathan
(Cabang Tanah Air) di Gresik, dan Hidayatul Wathan (Pemandu Tanah Air) di
Jombang (Suryanagara, 1981).
Penamaan madrasah yang diimbuhi frase wathan yang berarti tanah air
menandai corak gerakan pemikiran yang digulirkan ulama pesantren. Paling
tidak, hal ini mencerminkan komitmen para pendirinya terhadap nasib tanah
air dan masyarakatnya. Fenomena ini menjadi pentunjuk peran ulama dalam
penanaman nilai-nilai patriotisme yang mulai tumbuh dalam pergerakan
sosial politik di tanah air.
SHAPE
\* MERGEFORMAT
Pertemuan 6-7
Faktor Sosial Pelembagaan Demokrasi
Budaya, Demokrasi, dan Pasar
Dalam memandang budaya dan perkembangan masyarakat, ada dua kelompok
ilmuwan yang berbeda (Harrison dan Huntington, 2006:130) yaitu:
Para ahli yang mengikuti Weber yaitu Francis Fukuyama, Lawrence Harrison,
Samuel Huntington dan Robert Putnam berpendapat bahwa tradisi budaya
bertahan secara luar biasa dan membentuk perilaku politik dan ekonomi
dari masyarakat mereka sekarang.
Para pencetus teori Modernisasi dari Karl Marx sampai Daniel Bell dan
Ronald Ingloehart berpendapat bahwa munculnya masyarkat industri
berkaitan dengan pergesaran budaya yang menjauh dari sistem-sistem nilai
tradisonal.
Dalam pandangan Huntington, dunia ini terbagi dalam terbagi dalam delapan
atau sembilan peradaban besar berdasarkan langgengnya perbedaan-perbedaan
budaya yang berlangsung berabad-abad sehingga menyebabkan konflik-konflik
di masa mendatang di sepanjang jalur patahan budaya yang memisahkan
peradaban-peradaban ini.
Pada umumnya, terbaginya peradaban-peradaban budaya disebabkan oleh masih
kuatnya tradisi-tradisi keagamaan hingga sekarang. Akhirnya munculah
wilayah-wilayah budaya yang utama di dunia yaitu Kristiani Barat, dunia
Ortodoks, dunia Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, Afrika, dan
Amerika Latin. Menurut Huntington (Harrison dan Huntington, 2006:131)
akan terjadi konflik politik di jalur pemisah budaya, dan bukan sepanjang
garis ideologi atau ekonomi.
Perbedaan wilayah budaya tersebut terlihat jelas lagi ketika terjadi
konflik antar negara yang didasarkan oleh isu-isu yang menyangkut salah
satu agama. Wilayah peradaban pun akan semakin sempit ketika dikaitkan
dengan budaya di negara-negara yang memiliki penganut agama tertentu.
Misalnya, Hindu akan terlihat di budaya yang ada di negara India, Budha
akan terlihat di budaya orang-orang Tibet dan Thailand, Islam akan
terlihat di budaya orang-orang Timur Tengah (negara-negara Arab) dan Asia
Tenggara, Kristen akan terlihat di budaya orang-orang Vatikan Roma. Di
wilayah-wilayah tersebut memang sangat rentan dengan konflik politik,
seperti di India yang terjadi konflik antara Islam dan Hindu diantara
kelompok masyarakatnya.
Ronald Inglehart (Harrison dan Huntington, 2006:133) pernah melakukan
penelitian yang menemukan adanya perbedaan lintas budaya yang luas dan
berkaitan. Pandangan-pandangan dunia orang-orang dari negara kaya secara
sistematis berbeda dengan orang-orang dari negara yang berpendapatan
rendah, baik dalam pandangan politik, sosial, norma-norma dan agama.
Menurut Putman (Harrison dan Huntington, 2006:131) di wilayah-wilayah
Italia merupakan tempat institusi demokratis yang berjalan paling sukes,
dimana masyarakat sipil relatif telah berkembang baik. Hal ini berkaitan
erat dengan pendapat dari Harrison (Harrison dan Huntington, 2006:132)
bahwa pembangunan sangat kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar suatu
masyarakat. Kemampuan suatu masyarakat untuk bersaing di pasar-pasar
global terkondisikan oleh kepercayaan sosial: masyarakat dengan
“kepercayaan rendah” dalam posisi yang tidak beruntung karena kurang
efektif dalam mengembangkan institusi-institusi sosial yang kompleks dan
luas (Fukuyama, 1995).
Pembangunan masyarakat memang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dasar
suatu masyarakat. Bagi masyarakat yang bisa dengan semboyan “apa yang
kita berikan untuk negara” bukan “apa yang kita dapatkan dari negara”
akan sangat mendukung proses pembangunan negara, termasuk dalam membangun
karakter kebangsaan. Kemana arah pembangunan akan diarahkan, semuanya
tergntung oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Apabila nilainilai dasar yang dipegang oleh masyarakat berdasarkan komunisme, maka
pembangunan yang dijalankan pun akan diarahkan pada komunisme. Apabila
nilai-nilai dasar yang dipegang oleh masyarakat berdasarkan demokrasi,
maka pembangunan pun akan diarahkan pada proses demokrasi yang dianut.
Begitu pula ketika nilai-nilai dasar yang dipegang berdasarkan ajaran
Islam, maka pembangunan pun diarahkan sesuai ajaran islam dan
mengedepankan keislaman.
Persaingan masyarakat antar negara dan bangsa dalam era globalisasi
sangat tinggi dan kompleks. Sesuai dengan pendapat Fukuyama di atas,
jelas terlihat bahwa yang akan menguasai pasar adalah mereka yang
memiliki kepercayaan sosial tinggi dari masyarakat negara lainnya.
Sebagai contoh, misalnya kualitas produk sepeda motor Jepang dan sepeda
motor Indonesia sama bagusnya, bahkan lebih bagus hasil Indonesia. Namun
hasil produk Jepang lebih memiliki tingkat kepercaayan sosial yang tinggi
dibandingkan dengan produk Indonesia, sehingga produk sepeda motor Jepang
lebih menguasai pasar dunia. Dengan tingkat kepercayaan sosial yang
tinggi, menyebakan Jepang dapat memasarkan produknya ke berbagai negara,
baik di Asia, Eropa, Afrika maupun Amerika, walaupun sistem perekenomian
di berbagai negara tersebut berbeda dan memiliki aturan yang rumit, namun
dapat ditangani dengan adanya kepercayan sosial yang tinggi dari negaranegara lain kepada Jepang. Berbeda dengan Indonesia, walaupun produknya
lebih bagus, akan tetapi karena rendahnya kepercayaan sosial dari
masyarakat dunia, maka pemsarannya pun akan terbatas, karena terbentur
dengan berbagai sistem yang rumit, berbeda, dan kompleks di berbagai
negara lainnya.
Bagi penggagas modernisasi (Harrison dan Huntington, 2006:132), dunia
sedang berubah dalam cara-cara yang mengikis nilai-nilai tradisonal.
Pembangunan ekonomi menyebabkan kemunduran agama, kepicikan, dan
perbedaan-perbedaan agama.
Ada dua dimensi yang menggambarkan polarisasi lintas nasional (Harrison
dan Huntington, 2006:133) yaitu :
Orientasi tradisonal versus sekuler-rasional terhadap kekuasaan
Merefleksikan kontras antara masyarakat yang memandang agama sangat
penting dan masyarakat yang memandang agama itu tidak penting. Bagi
masyarakat tradisional, agama merupakan standar mutlak, lebih suka
keluarga besar, menolak perceraian, lebih menyukai konsesus daripada
konflik politik terbuka.
Nilai-nilai peninggalan versus ekspresi diri.
Kedua dimensi ini melibatkan tema-tema yang mencirikan masyarakat
pascaindustri, antara lain melibatkan polarisasi antara nilai-niali
materialis dan pascamaterialis. Nilai-nilai ini memanfaatkan sebuah
pergesaran antargenerasi, dari penekanan pada keamanan ekonomi dan fisik
ke arah penekanan yang makin meningkat pada ekspresi diri, kesejahteraan
subjektif, dan kualitas hidup. Masyarakat yang menekankan nilai
peninggalan relatif menunjukan tingkat kesejahteraan subjektif yang
rendah, kesehatan yang buruk, kepercayaan antarpribadi yang rendah, tidak
toleran, tidak semangat dalam isu penyetaraan gender, kepercayaan relatif
rendah terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, relatif memihak
pemerintahan yang otoriter. Sedangkan masyarakat yang menekankan nilainilai ekspresi diri cenderung kebalikan dari sifat-sifat yang dimiliki
oleh kelompok yang menekankan nilai-nilai peninggalan.
Berdasarkan peringkat Freedom House tentang hak-hak politik dan kebebasan
sipil dari tahun 1972-1998 menunjukan bahwa negara-negara yang mempunyai
peringkat tinggi dalam nilai-nilai peninggalan dan ekspresi diri
merupakan negara yang demokrasinya stabil. Sedangkan negara-negara yang
peringkatnya rendah mempunyai pemerintah yang otoriter (Harrison dan
Huntington, 2006:147).
Dari keterpaduan berbagai dimensi diatas, fakta membuktikan bahwa budaya
suatu masyarakat dibentuk oleh seluruh warisan ekonomi dan sejarahnya.
Pada gilirannya, budaya itu kemudian membentuk ekonomi dan sejarah.
Perkembangan ekonomi memiliki dampak yang kuat terhadap nilai-nilai
budaya (Harrison dan Huntington, 2006:139).
Selain itu juga, ada tafsiran (Harrison dan Huntington, 2006:147) yang
mengatakan bahwa institusi-institusi demokrasi memunculkan nilai-nilai
ekspresi diri yang berkaitan erat dengan institusi tersebut. Dengan kata
lain, demokrasi membuat orang sehat, gembira, toleran, dan memiliki
kepercayaan terhadap orang lain.
Teori modernisasi secara tak langsung menyatakan bahwa ketika masyarakat
berkembang secara ekonomi, budaya mereka pun cenderung akan bergeser ke
arah yang mudah ditebak. James Colemen, Almond dan Verba, Putnam, dan
Fukuyama (Harrison dan Huntington, 2006:143) menyatakan bahwa kepercayaan
antar pribadi itu penting untuk membangun struktur sosial dimana
demokrasi bergantung dan organisasi sosial yang kompleks tempat upaya
ekonomi dalam skala besar.
Pembangunan ekonomi membawa masyarakat pada dua tipe perubahan yang
kondusif terhadap demokrasi (Harrison dan Huntington, 2006:146):
Pembangungan ekonomi cenderung mengubah struktur sebuah masyarakat,
membawa urbanisasi, pendidikan rakyat, spesialisasi pekerjaan, tumbuhnya
jaringan organisasi, pemdapatan yang lebih besar, dan berbagai
perkembangan terkait yang menggerakan partisipasi massa dalam partai
politik.
Pembangunan ekonomi kondusif bagi perubahan-perubahan budaya yang
membantu menstabilkan demokrasi. Pembangunan ekonomi cenderung
mengembangkan kepercayaan pribadi dan toleransi, dan ia membawa terhadap
penyebaran nilai-nilai pascamaterialisme yang menempatkan prioritas pada
ekspresi diri dan partisipasi dalam membuat keputusan.
Pembangunan ekonomi secara berangsur-angsur membawa ke arah perubahan
sosial dan budaya membuat institusi-institusi demokrasi sepertinya akan
bertambah subur. Namun, demokrasi bukan merupakan sesuatu yang dapat
dengan mudah dicapai hanya dengan mengadopsi hukum-hukum yang sama.
Dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi sekarang ini, cenderung membangkitkan
kondisi-kondisi sosial dan budaya yang secara tidak langsung memungkinkan
demokrasi akan terus muncul dan bertahan.
Walaupun negara-negarayang kaya lebih mungkin berdemokrasi daripada
negara miskin, akan tetapi kekeyaan saja tidak otomatis membawa
demokrasi. Tetapi, proses modernisasi cenderung membawa perubahanperubahan budaya yang kondusif terhadap demokrasi. Secara tidak langsung,
fakta lain juga menunjukan bahwa budaya memainkan peran yang jauh lebih
penting dalam demokrasi. Dan yang penting lagi adalah demokrasi tidak
akan tercapai hanya dengan membuat perubahan-perubahan secara
institusional atau melalui manuver-manuver tingkat elite.
Pembangunan ekonomi juga kemungkinan dapat mengurangi korupsi melalui
dampak penting dan positifnya demokrasi. Sejumlah asumsi mengatakan bahwa
adanya hubungan antara pendapatan dan korupsi. Pendapatan yang besar
mungkin dapat mengurangi korupsi dengan mengubah struktur-struktur
insentif dari para pejabat publik (Harrison dan Huntington, 2006:179).
Negara-negara yang secara ekonomi paling maju adalah yang secara politik
paling tidak korup.
Modal Sosial dan Pelembagaan Demokrasi
Istilah modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Lyda Judson Hanifan
pada tahun 1916 untuk menggambarkan pusat-pusat sekolah komunis di
pedesaan (Harrison dan Huntington, 2006:156). Istilah modal sosial juga
digunakan dalam buku Jane Jacob yang menjelaskan bahwa jaringan-jaringan
sosial yang rapat pada lingkungan urban yang lebih tua yang multiguna
telah membentuk modal sosial yang mendorong keselamatan publik. Secara
lebih luas, penggunaan istilah modal sosial digunakan oleh James Colmen
dan Robert Putman pada tahun 1980-an.
Menurut Coleman (1998) modal sosial adalah kumpulan tindakan, hasil dan
hubungan yang berbeda sebagai modal sosial. Modal sosial bagi Coleman
adalah inherently functional, dan modal sosial adalah apa saja yang
memungkinkan orang atau institusi bertindak. Modal sosial, kerena itu,
bukan merupakan sebuah mekanisme, sesuatu atau sebuah hasil, tetapi
merupakan beberapa atau semua dari mereka ( mekanisme, sesuatu, dan hasil
) secara simultan. Sehingga bagi Coleman modal sosial adalah netral
secara normatif dan moral, yaitu bahwa modal sosial diinginkan dan
sekaligus tidak diinginkan; modal sosial hanya memungkinkan tindakan
terjadi dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan. Sedangkan Putnam
(2000) secara singkat mengatakan bahwa modal sosial terkait dengan
organisasi sosial, ikatan atau hubungan sosial, norma dan kepercayaan
yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama
(Jurnal Analisis CSIS, Vol 33, No. 3, 2004)
Menurut Francis Fukyama, yang dimaksud dengan modal sosial (social
capital) adalah serangkaian nilai atau norma infromal pemberi teladan
yang digunakan bersama-sama diantara anggota-anggota sebuah kelompok yang
memungkinkan mereka saling bekerja sama. Kepercayaan diantara anggota
berfungsi seperti pelumas yang membuat organisasi atau kelompok dapat
berjalan dengan dinamis (Harrison dan Huntington, 2006:152).
Norma-norma yang menghasilkan modal sosial harus secara subtansif
mengikutsertakan kebajikan. Semua masyarakat memiliki sejumlah persediaan
modal sosial, yang memnedakannya adalah radius kepercayaan, maksudnya
adalah norma-norma kerjasama seperti kejujuran dan kewajiban timbal balik
dapat dianut diantara kelompok-kelompok yang terbatas tetapi tidak dengan
yang lainnya di masyarakat yang sama. Di masyarakat mana pun, sumber
penting dari modal sosialnya adalah keluarga. Akan tetapi setiap
masyarakat memiliki ikatan atau pertalian keluarga yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya. Ikatan keluarga bervariatif relatif
terhadap tipe-tipe lain kewajiban sosial (Harrison dan Huntington,
2006:154).
Modal sosial memiliki manfaat yang jauh melampaui bidang eknomi, hal ini
penting untuk penciptaan civil society yang sehat. Modal sosial
memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda di dalam sebuah masyarakat
yang kompleks untuk bersatu mempertahankan kepentingan mereka. Akan
tetapi, modal sosial dan civil society tidak selalu memberikan manfaat
(Harrison dan Huntington, 2006:155).. Makanya, diperlukan kordinasi bagi
semua aktivitas sosial, apakah baik atau buruk. Contohnya adalah Mafia
dan Ku Klu Klan di Amrika yang memiliki modal sosial akan tetapi
keberadaannya mengganggu ketenangan masyarakat.
Demokrasi yang bernilai adalah yang dibangun di atas landasan
konstitusional dan kultural sekaligus. Sebab, dalam membangun demokrasi
yang sesungguhnya dibutuhkan modal sosial yang memadai. Modal sosial,
menurut Robert Putnam (1995) sebagai “features of social organization
such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination
and cooperation for mutual benefit.”
Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau
mempercayai individu lain sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang
saling menguntungkan. Modal sosial adalah faktor determinan yang
menunjang kekokohan struktur bangunan demokrasi.
Menjamurnya partai baru yang berdiri di atas kekecewaan dan
ketidakpercayaan pada institusi-institusi yang sudah ada bisa menjadi
persoalan serius bagi masa depan demokrasi. Apalagi, jika institusi yang
dimaksud adalah partai politik yang nota bene diyakini sebagai salah satu
pilar demokrasi. Kalau pilarnya saja sudah rapuh, demokrasi macam apa
yang hendak kita bangun di negeri ini.
Modal sosial hanya bisa dibangun dengan adanya rasa saling percaya,
sementara partai-partai baru umumnya lahir karena ketidak percayaan pada
pihak lain. Kalau kekecewaan itu muncul lantaran aspirasinya yang
menyangkut nilai-nilai kebenaran tidak tersalurkan, barangkali masih bisa
ditoleransi. Tapi jika kekecewaan itu muncul karena kalah berkompetisi,
karena tidak mendapatkan jabatan atau kursi yang diinginkan? Tentu akan
mudah ditebak, untuk apa partai-partai baru itu didirikan. Tanpa modal
sosial yang memadai, partai politik hanya akan berfungsi sebagai batu
loncatan kepentingan politik sesaat berupa kursi jabatan dan atau
konpensasi dari sebuah kekalahan dari para pendirinya.
Setidaknya, ada tiga problem mendasar yang dihadapi partai politik yang
dibangun tanpa modal sosial: Pertama, kerapuhan institusional. Hal ini
terjadi karena proses berdirinya yang lebih disebabkan karena kekecewaan
dan kekalahan dalam berkompetisi daripada atas dasar keinginan objektif
dan pertimbangan rasional.
Kedua, kekaburan landasan ideologis. Kalau kita cermati secara saksama,
partai-partai yang mengalami proses pemecahan diri itu sejatinya masih
memiliki ideologi yang sama (antara partai asal dengan yang baru). Apa
yang membedakan PDIP dengan PDP, atau antara PKB dan PKNU? Kalau pun ada
perbedaan, lebih pada tataran klaim-klaim kebenaran yang berasal dari
perbedaan interpretasi, interes, dan kecenderungan dari masing-masing
tokohnya, bukan pada substansi.
Ketiga, terkait dengan pencitraan. Di mata publik, citra partai baru
sebagai pemenuhan hasrat politik lebih menonjol daripada sebagai koreksi
atas kesalahan partai sebelumnya. Apalagi, alasan mengoreksi tidak cukup
kuat untuk meninggalkan yang lama dan mendirikan yang baru. Sekadar
contoh, alasan berdirinya PDP (dari PDIP) jelas berbeda dengan alasan
berdirinya PDIP (dari PDI). PDIP berdiri sebagai koreksi total terhadap
PDI yang telah dijadikan “tanaman bonsai” oleh rezim Orde Baru.
Untuk mengukur modal sosial, Robert Putnam (Harrison dan Huntington,
2006:157) menggunakan dua tipe ukuran statistik. Pertama, informasi
tentang kelompok dan keanggotaan kelompok (kelompok olahraga, perkumpulan
paduan suara, kelompok kepentingan, partai politik) dan juga daftar isi
dari partisipasi politik seperti kehadiran pemilih dan jumlah pembaca
surat kabar. Tipe kedua, riset survei seperti Survey Sosial Umum (untuk
Amerika Serikat) atau Survey Nilai-nilai Dunia (untuk di lebih 60 negara
dunia).
Modal sosial bukanlah suatu kekayaan budaya langka yang dapat diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya yang jika hilang atau habis
tidak bisa diganti. Akan tetapi modal sosial diciptakan secara spontan
setiap waktu oleh orang-orang yang menjalani kehidupan sehari-hari.
Norma-norma diciptakan secara spontan, cenderung informal, sedangkan
norma-norma dan nilai-nilai yang diciptakan oleh sumber kekuasaan
hirarkies cenderung berbentuk hukum tertulis, UUD, peraturan-peraturan,
teks-teks suci, atau grafik organisasi yang birokratis. Selain muncul
dari sisi spontan atau hierarkis, norma juga merupakan bisa timbul hasil
dari pilihan rasional dan norma-norma yang diwarisi secara sosial dan
awalnya tidak rasional. Tipe-tipe norma tersebut dapat digambarkan dalam
empat kuadran sebagai berikut:
Rasional
Muncul Hierarkis
Muncul spontan
Tidak Rasional
Menurut Douglass North (Harrison dan Huntington, 2006:163), yang dimaksud
dengan “institusi” adalah norma atau aturan, baik formal maupun informal,
yang mengatur interaksi sosial manusia.
Diambil dari karya Elinor Ostrom (Harrison dan Huntington, 2006:169-170)
bahwa tatanan spontan hanya terjadi di bawah kondisi tertentu yang
ditetapkan dengan baik, dan bahwa dalam banyak situasi tatanan itu juga
gagal untuk terwujud atau membawa ke situasi yang tidak baik dari sudut
pandang masyarakat secara keseluruhan. Menurutnya, banyak contoh dari
usaha yang gagal untuk menegakan norma-norma bagi pembagian sumber-sumber
bersama. Kondisi Ostrom untuk swaorganisasi mengisyaratkan beberapa
kategori alasan yang menjelaskan mengapa masyarakat tidak akan selalu
mampu memunculkan solusi-solusi tatanan spontan, yaitu:
Ukuran
Batasan-batasan
Interaksi yang terulang
Norma-norma yang terdahulu yang membentuk budaya bersama.
Kekuasaan dan keadilan
bertahannya pilihan-pilihan yang buruk
Sejak abad ke-19, lembaga-lembaga demokrasi di sejumlah negara berkembang
secara berangsur-angsur sehingga sulit serta subjektif untuk menyebut
suatyu waktu tertentu dimana setelah titik waktu itu sistem politiknya
dapat dikatakan demokratis (Huntington, 1995:16).
Pertemuan 9-10
Partai Politik dan Pendidikan Demokrasi
di Indonesia
Konteks Kelahiran Partai Politik di Indonesia
Perkembangan politik Indonesia muncul sejak awal abad 20 yang ditandai
berdirinya organisasi politik modern pada tahun 1908. Organisasi sosial
modern tersebut bernama Budi Utomo, beranggotakan sekelompok pegawai
negeri Jawa yang bependidikan. Orientasi ke arah kebangsaan dan kesatuan
negara Indonesia pun mulai terlihat sejak akhir tahun 1920-an dengan
diadakannya Sumpah Pemuda, yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Para pemimpin gerakan politik pun mulai menyuarakan cita-cita
kemerdekanan bangsa Indenesia. Pemikiran tentang cara terbaik untuk
mencapai dan mengisi kemerdekaan memenuhi wacana politik Indonesia saat
itu. Berbagai organisasi sosial dan keagmaan menjadi lahan subur untuk
memupuk nasionalisme dan paham Indonesia merdeka.
Dengan demikian, ketika Indonesia merdeka belum mengenal partai politik
sebagai organisasi yang didirikan untuk merebut jabatan publik melalui
pemilihan umum. Namun kehadiran organisasi yang menyalurkan dan
membimbing pemikiran politik ke jalan yang teratur tidak bisa dipungkiri
lagi.
Organisasi politik pada masa sebelum Indonesia merdeka dapat dikelompokan
ke dalam beberapa golongan sesuai latarbelakang asas dan ideologinya
(Feith dan Castles, 1970), antara lain (1) kaum nasionalis : nasionalis
sekuler, nasionalis pro Jepang, nasionalis anti Jepang, (2) golongan
Islam, dan (3) golongan komunis.
Peran partai politik dalam kehidupan nasional segera tampak dalam
beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. Maklumat Pemerintah 3 November
1945 telah memberi kesempatan bagi didirikannya partai politik guna
memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan
masyarakat. Maklumat itu pun menyiratkan pandangan pemerintah yang
menempatkan partai politik sebagai wadah bagi semua paham yang ada di
dalam masyarakat sehingga dapat dipimpin ke jalan yang teratur.
Setelah Indonesia merdeka, para tokoh gerakan nasionalis banyak yang
menduduki jabatan penting di pemerintahan. Namun tidak sedikit pula yang
tetap memilih sebagai cendekiawan. Pertentangan ideologi pada awal
kemerdekaan sudah terlihat, terutama saat menghadapi Belanda yang
berusaha menjajah kembali. Ideologi yang ada saat itu adalah sosialis,
nasionalis, Islam dan ideologi lain. Selain harus menghadapi
kolonialisasi Belanda, saat itu pun Indonesia menghadapi masalah internal
berupa gejolak politik kelompok komunis, dan kelompok Islam radikal.
Oleh karena itu, meski mengalami pasang surut dalam perkembangannya,
bersama-sama dengan kaum cendekiawan yang tidak terikat (unattached
intellectuals), partai politik telah menjadi sumber pemikiran politik.
Hal ini dimungkinkan karena sebagai systems of ideas, partai politik
dalam kurun 1945-1965 telah mampu memberikan jawaban ideologis atas
pertanyaan-pertanyaan yang muncul menyertai cepatnya perubahan masyarakat
dan sistem nilainya (Feith, 1970: 6), selain telah menjadi sarana bagi
alternation of power, atau pergeseran kekuasaan antarpartai politik
(Dhakidae, 1995: 212).
Analisis Feith tentang pemikiran politik Indonesia 1945-1965 memberi
petunjuk tentang kemunculan partai politik yang biasanya didasarkan atas
preferensi tentang masyarakat dan negara yang dicita-citakan dan hendak
diperjuangkan melalui partai politik. Preferensi semacam inilah yang
disebut political platform atau ideologi partai, yakni “the party’s
underlying value system” (McNair, 1999: 6), atau “a statement of
principles, goals, and programs developed and supported by a political
party and its candidates” (Paulson, 2000: 1043). Dengan demikian, secara
hakiki partai politik adalah kumpulan individu yang memiliki pemikiran
yang kurang lebih sama dan bersepakat untuk bergabung di dalam sebuah
organisasi dan struktur ideologis untuk mengejar tujuan bersama.
Berbeda dengan periode sebelumnya, kehidupan politik pada masa Orde Baru
tidak diwarnai pertarungan ideologis. Deideologisasi yang dianut Orde
Baru didasari anggapan bahwa “ideologi merupakan penyebab utama
ketidakstabilan politik” (Arbi Sanit, 1994: 5). Kebijakan ini berujung
pada penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga asas atau ideologi
partai tidak dikenal saat itu.
Selain menguatnya isu primordial, kemunculan puluhan partai politik pasca
rezim Orde Baru ditandai pula oleh absennya platform dan program yang
dapat menggugah partisipasi publik. Akibatnya gugatan terhadap eksistensi
partai politik sebagai organisasi yang mempersambungkan anggota
masyarakat dengan proses politik di Indonesia sering muncul ke permukaan.
Gugatan tadi bukan hanya berbentuk pernyataan yang berisi kekecewaan,
tetapi juga dengan mendirikan partai politik baru. Keadaan ini
diperparah oleh inkonsistensi partai politik terhadap janji-janji yang
telah diucapkannya saat kampanye (Putra, 2003: 197) dan perilaku sebagian
politisi yang menyimpang dari keharusannya.
Kecenderungan di atas mengisyaratkan betapa keberadaan platform partai
politik di Indonesia belum fungsional. Hal ini mungkin dikarenakan
rumusannya belum jelas atau karena tidak dikomunikasikan secara efektif.
Padahal, layaknya sebuah ideologi, platform partai mengandung seperangkat
nilai politik, sekumpulan makna sakral dan luhur, yang dapat menimbulkan
respon emosional yang kuat di kalangan khalayak (Sherman & Kolker, 1987:
97).
B. Orientasi Politik Indonesia
Entitas ideologis tetap bertahan meski socara sosiologis dan politik
Indonesia mengalami perubahan. Dalam konteks politik Indonesia modern,
entitas ideologis tadi mewujud ke dalam belahan-belahan ideologis yang
mengisyaratkan kehadiran orientasi politik yang beragam pula. Evans
(2003) melukiskan belahan-belahan ideologis tadi sebagai berikut. Pertama
belahan kiri-kanan. Berbeda dengan Barar, belahan kiri-kanan di Indonesia
bukanlah kapitalis-komunis. Di Indonesia istilah kiri-kanan mengacu
kepada kaum sekuler dan Islamis. Belahan politik kedua adalah belahan
atas-bawah, yaitu kaum elitis dan populis. Patahan ini mengacu kepada
cara-cara yang ditempuh dalam memperjuangkan keyakinan ideologis menjadi
gerakan politik.
Peta ideologis tadi bisa digunakan untuk menjelaskan orientasi politik
partai-partai yang bersaing dalam Pemilu 1955. PNI yang berhaluan
nasionalis adalah representasi kekuatan sekuler dengan mengandalkan
basis dukungan pada kekuatan elit dalam memobilisasi massa. Masyumi lebih
bercorak elits dibanding NU, keduanya jelas menjadikan Islam sebagai
haluannya.
Berbeda dengan Evans, Feith dan Castles (1970) membagi peta orientasi
politik Indonesia ke dalam lima kelompok. Karena itu, perselisihan
partai-partai dalam gerakan nasionalis bersifat ideologis. Konflik
ideologi terutama terdapat diantara kelompok-kelompok karyawan di kotakota di bawah pimpinan cendekiawan dan tidak melibatkan bagian besar dari
masyarakat. Puncak proses pemindahan perpecahan-perpecahan ideologis dari
kalangan karyawan di kota-kota ke massa rakyat terjadi selama dua tahun
kampanye besar-besaran sebelum pemilihan umum tahun 1995. Isu kampanye
yang didengungkan saat itu adalah dua hal yang saling bertentangan yaitu
Pancasila dan Islam. Isu-isu kampanye itu terlihat buahnya pada hasil
pemilu 1955, empat partai besar pemenang pemilu adalah PNI memperoleh 57
kursi (22,3% suara), Masyumi memperoleh 57% (20,9% suara), NU memperoleh
45 kursi (18,4%) dan PKI memperoleh 39 kursi (15,4% suara).
Keempat partai masing-masing memperbanyak organisasi massa. Organisasi
buruh, tani, pemuda, wanita, olahraga, dan berbagai perkumpulan budaya
berdiri hingga ke desa-desa. Masing-masing menjadi juru bicara bagi
sekelompok etnis dan sosial yang telah lama ada. Masing-masing memiliki
pandangan hidup sendiri.
Selain ideologis, peta geografis pun menjadi variabel penting untuk
menandai orientasi politik Indonesia dekade 1950-an. Terminologi Jawa
versus Luar Jawa menjadi atribut penting untuk menandai orientasi politik
saat itu.
Terdapat dasar agama yang kuat bagi pemilih di luar jawa. Misalnya Partai
Kristen yang berbasis Protestan memperoleh lebih banyak suara ketimbang
PKI, sedangkan Katolik hampir memperoleh suara yang sama dengan PKI.
Sedangkan di pulau Jawa sendiri, PNI yang non-agama dan PKI memperoleh
hampir 50% suara, sedangkan di luar Jawa kedua partai tersebut tidak
sampai memperoleh 20% dari total suara. Hanya NU yang memiliki basis kuat
dan menyaingi kekuatan nasionalis dan komunis di Jawa.
Secara ringkas, Feith (1970) membagi aliran politik di Indonesia menjadi
lima aliran. Komunis, banyak dianut dan dikung oleh PKI dan sebagian
kecil masyarakat Jawa. Tradisonalisme Jawa, yang dianut orang-orang Jawa.
Nasionalisme Radikal, dianut oleh sebagain besar PNI. Sosialisme
Demokrat, dianut oleh sebagian ummat Islam, sebagian kecil PNI dan
sebagian Masyumi. Sedangkan aliran pemikiran politik Islam, dianut dan
didukung oleh NU dan Masyumi. Kelima garis pemikiran politik tersebut
digambarkan sebagai berikut.
Peta pemikiran politik Feith menjelaskan ketegangan antara warisanwarisan tradisionalisme khusus (bagian bawah bagan), serta kaitannya
dengan dunia modern – terutama dunia Barat – dan ide-idenya.
Dari bagan kita ketahui bahwa aliran-aliran politik di Indonesia secara
tidak langsung dipengaruhi oleh Hindu dan Islam secara terpisah sebagai
“modal awal” yang paling mendasar. Sedangkan pengaruh dari Barat, sangat
kuat dan tidak da perbedaan yang tajam pengaruh dari luar yang kuat
adalah Marxisme, yaitu dalam bentuk komunisnya atau Sosialisme
Demokratnya.
Di dalam aliran politik Islam sendiri terdapat dua kekuatan yang diwakili
oleh Masyumi dan NU. Keduanya bersinggungan dengan aliran politik yang
berbeda. Masyumi bersinggungan dengan aliran Sosialisme Demokrat,
sedangkan NU bersinggungan dengan Tradisionalisme Jawa. Sementara itu,
aliran Tradisionalisme bersinggungan dengan tiga aliran politik lainnya.
Hal ini terjadi karena di Jawa itulah semua aliran politik tumbuh subur.
Pemikiran politik Islam, Nasionalisme Radikal, dan Komunis hidup di Jawa
dengan banyak pengikutnya.
Golongan Komunis lebih bisa memutuskan hubungan dengan masa lampau dan
langsung mengambil konsep-konsep pemikiran - baik secara langsung maupun
tidak - dari Barat. Namun mereka juga menggunakan simbol-simbol abangan
tradisonalisme dan yang sejenis.
Dalam analisis Feith (1970), pemikiran politik Indonesia 1945-1965
ditandai oleh tiga hal berikut.
Bersifat moralis, cirinya adalah memiliki kecenderungan untuk melihat
masyarakat tidak berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Pemikiran ini
bersiat optimis dan bercorak normatif.
Para pemikir politik Indonesia cenderung untuk tidak melihat masyarakat
mereka terbagi dalam beberapa golongan yang memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Pembagian yang ada bersifat saling mengisi antara ‘para
pemimpin’ dengan ‘rakyat’.
Para pemikir politik Indonesia umumnya bersifat optimis. Bentuk optimisme
tersebut antara lain voluntarisme, progresivisme, dan kepercayaan
terhadap pemuda.
Orintasi politik Indonesia yang menyertai tumbuhnya partai-partai pada
1998 dapat dilacak akar-akarnya pada peta pemikiran politik Indonesia
kurun 1945-1965. Mursal (2004) misalnya menguraikan tautan historis
orientasi politik Indonesia sebagai berikut.
Orientasi agama. Mengutip pelitian perilaku pemilih di pedesaan Jawa oleh
Afan Gaffar (1992), orientasi sosio-religious mempunyai korelasi terhadap
perilaku pemilih PPP, Golkar dan PDI. Santri cenderung memilih partai
Islam dan kaum abangan memilih partai yang tidak membela dan memajukan
Islam. Pada Pemilu 1992, "santri tulen" mendukung dengan kuat partai
Islam karena berhubungan dengan ideologi. Sementara abangan cenderung
memilih partai non Islam tanpa adanya alasan ideologi. Pemilih pada 1997
menunjukkan kecenderungan yang sama. Penelitian perilaku pemilih di
perkotaan Bandar Lampung oleh Suwondo (1997), bermuara pada kategorisasi
yang sama dengan Afan Gaffar. Walaupun pada Pemilu 1997 seluruh partai
berasaskan Pancasila, santri dan abangan menjatuhkan pilihan dengan
alasan ikatan agama (pemilih santri) dan non agama (abangan).
Orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Penelitian tidak menemukan
korelasi nyata antara kelas dan perilaku pemilih. Afan Gaffar menyebut
empat faktor. Pertama, sifat sistem ekonomi (agraris subsistem) tidak
memungkinkan kesadaran massa berdasarkan kelas. Kedua, setelah hapusnya
PKI dan pengebirian partai politik, penduduk desa terdepolitisasi.
Ketiga, trauma G 30 S, ribuan anggota partai komunis dibunuh, termasuk
anggota Barisan Tani Indonesia di pedesaan Jawa. Keempat, pemerintah Orde
Baru tak henti-hentinya menjelaskan bahwa individu maupun organisasi
tidak diizinkan menonjolkan antagonisme dari perbedaan agama, ras dan
kelas. Suwondo berkesimpulan sama. Tetapi memberi catatan khusus perilaku
pemilih Golkar waktu itu dari kelas menengah-atas. Pertimbangannya
menyangkut kemudahan-kemudahan yang mereka akan terima dari birokrasi.
Faktor kepemimpinan. Penelitian di pedesaan Jawa menunjukkan pengaruh
pemimpin informal dan formal terhadap perilaku pemilih abangan dan
santri. Para responden yang memiliki ikatan kuat dengan pemimpin agama
cenderung memilih partai Islam. Sedangkan kalangan abangan cenderung
memilih partai non Islam.
Faktor identifikasi. Penelitian Afan Gaffar di pedesaan Jawa pada 1992
dan penelitian Suwondo di Bandar Lampung pada 1997 menunjukkan, responden
yang mengidentifikasikan diri mereka dengan partai Islam menyatakan
orangtua mereka juga mengindentifikasi diri mereka dengan partai yang
sama. Demikian halnya responden yang orangtuanya mengidentifikasi dengan
partai non Islam.
Orientasi isu. Orientasi isu disimpulkan tidak berpengaruh pada
kecenderungan pemilih untuk menjatuhkan partai pilihannya.
Orientasi kandidat. Orientasi ini tidak berpengaruh pada Pemilu 1992
maupun 1997 karena pemilihan hanya dilakukan terhadap partai.
Kaitan dengan peristiwa. Kandidat partai yang diajukan kaitannya dengan
peristiwa yang menimpanya akan mempengaruhi pikiran pemilih. Ketika
Megawati ditindas oleh rezim Soeharto dianggap sebagai simbol tokoh
teraniaya sehingga mengundang simpati dan dukungan besar terhadap
partainya pada Pemilu 1997. Fenomena yang diperkirakan mirip terjadi pada
Susilo Bambang Yudhoyono.
Perilaku pemilih dalam Pemilu 1992 dan 1997 dapat dikorelasikan dengan
perilaku pemilih Pada Pemilu 1999 dan 2004. Meski jumlah partai peserta
pemilu jauh berbeda, namun anasir-anasir ideologisnya tidak berbeda
secara mendasar.
Orientasi agama. Para pemilih yang memiliki latar belakang agama akan
memilih partai-partai yang memiliki platform religius, baik yang implisit
atau eksplisit maupun secara kultur. Misalnya, para pemilih dari kalangan
Nahdliyin lebih cenderung memilih PKB, para pemilih dari Muhammadiyah
cenderung ke PAN, para pemilih dari kalangan muslim “terpelajar” akan
cenderung memilih PKS. Apalagi dengan fenomena perolehan suara PKS yang
cukup besar di perkotaan dan dari kalangan terpelajar.
Orientasi kelas sosial dan kelompok sosial. Kelompok sosial dan kelas
sosial memang tidak terlihat pada pemilu 1999 dan 2004, karena hampir
semua partai mengidentifikasikan dirinya sebagai partai wong cilik. Hal
ini terjadi karena hampir semua partai bercorak catch-all party.
Faktor kepemimpinan. Figur seorang pimpinan masih sangat berpengaruh pada
kecenderungan pemilih. Tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Amin Rais, Megawati
masih menjadi ikon dan simbol PKB, PAN, dan PDI Perjuangan.
Faktor identifikasi. Faktor identifikasi terjadi pada kalangan santri.
Namun di beberapa tempat telah terjadi pergeseran orientasi politik
santri, sehingga pilihannya tidak selalu identik dengan sikap politik
kiainya.
Orientasi isu. Pemilu 2004 mulai memperlihatkan kecenderungan memilih
berdasarkan orientasi program atau isu.
Orientasi kandidat. Pada pemilu 2004, orientasi kandidat terlihat karena
pemilihan secara langsung, baik anggota DPR, DPD, maupun Presiden.
Kaitan dengan peristiwa. Faktor perbedaan pendapat dengan Megawati
cenderung dikonotasikan dengan faktor peristiwa dan kecenderungan
pendukung memilih dia.
Pasca keruntuhan Orde Baru tahun 1998, kemunculan partai politik mencapai
sembilan ratusan (Daniel Dakhidae, 2004). Hal ini terjadi sebagai reaksi
dari kepuasan politik. Kemungkinan yang terjadi saat itu untuk membangun
tata-letak politik pasca Orde Baru adalah menggunakan dua cara (Dakhidae,
2004:4):
Suatu reformasi yang radikal terhadap institusi politik Orde Baru
termasuk penggusuran besar-besaran para penjaga lembaga tersebut dalam
bentuk pemecatan, penggantian dan sebaginya. Hal ini dilakukan karena
yang dihadapi saat itu adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Jadi
pembersihan kekuatan politik yang tengah bersaing diberi klaim moral
dalam konteks penegakkan self-government. Alternatif pertama ini adalah
pembelaan terhadap nilai-nilai republikan, sehingga reformasi lebih dekat
kepada republikanisme.
Menggunakan konsep demokratik klasik dengan penekanan kepada persamaan,
partisipasi rakyat dalam proses politik, dan memberikan fokus kepada ide
kebebasan dan persamaan.
Dua paham di atas (republikanisme dan demokrasi) bukanlah hal yang saling
bertentangan, namun hanya sebatas dua hal yang berbeda satu sama lain.
Dalam perjalanan reformasi, alternatif pertama cenderung tidak dipakai
dan lebih mengarah kepada penggunaan alternatif kedua.
Dalam pemilihan umum 1999, terdapat rekayasa politik terhadap keberadaan
partai-partai politik: Rekayasa dimaksud adalah legalisasi keberadaan
partai politik yang dilakukan Departemen Kehakiman. Rekayasa birokratis
dalam bentuk verifikasi administratif dan faktual oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Rekayasa melalui proses pemilihan : political engineering by
electoral proses. Sedangan dalam Pasca pemilu 2004, terjadi gabungan dari
ketiga rekaya di atas sehingga menciutkan jumlah partai peserta pemilu
tahun 2004.
Gejala oligarki pun melanda partai-partai besar pemenang pemilu pasca
reformasi. Keberadaan partai besar yang tanpa tantangan dan partai kecil
(gurem) yang lama kelamaan akan hilang akan menyebabkan partai besar akan
lebih memperkuat keyakinan sendiri dan akan memisahkan dirinya dari massa
pemilih dan anggotanya sendiri. Tapi, gejala tersebut menyebabkan
lahirnya persaingan elit partai intern yang ingin mendobrak oligarki,
sehingga perpecahan intern partai politik pun tidak terhindarkan.
Sejatinya fenomena ini bukan hanya terjadi pasca reformasi, gelaja ini
pun sudah melanda organisasi politik Indonesia sebelum merdeka.
Daniel Dakhidae (2004) mencatat setidaknya ada 13 partai politik yang
terlibat perpecahan dari satu geneologis, bahkan delapan diantaranya
menjadi peserta pemilu 1999 dan 2004. Partai-partai tersebut antara lain:
Partai Golkar (1999 dan 2004), PKP (1999), PKP Indonesia (2004), PKPB
(2004), dan Partai MKGR (1999). Semuanya lahir dari satu gen yaitu
Golongan Karya.
PPP (1999 dan 2004), Partai Persatuan (1999), PBR (2004). Semuanya lahir
dari gen PPP Orde Baru.
Partai PDI, PDI Perjuangan, dan PNBK memiliki gen dari PDI masa Orde
Baru.
Dalam Pemilu 2004, tiga induk partai Orde Baru melahirkan 13 partai,
termasuk tiga induknya yang melahirkan belasan partai baru. Karena ada
berbagai rekayasa hukum dan administratif, sehingga hasilnya delapan
parpol, termasuk partai induk. Dari jumlah 8 partai hasil perpecahan dari
satu induk, ditambah 16 partai yang sama sekali baru, maka jumlahnya 24
partai yang mengikuti pemilu 2004.
Perjalanan panjang kepartaian pada masa Orde Baru merupakan suatu gerak
oligarki yang teratur dengan didukung oleh hukum dan undang-undang hasil
mereka sendiri. Orde Baru mengabaikain nilai-nilai Republikan dan
Demokratik secara bersama dengan mengandalkan legitimasi dirinya dan
berpedoman pada legitimasi sejarah. Ada hal yang sedikit kontrtadiksi
adalah ketika demokrasi menentang oligarki, namun terbukti demokrasi
perwakilan dapat memunculkan sebuah oligarki baru.
Kecenderungan ini dapat dilihat dari kuatnya Golkar di pemerintahan.
Bahkan untuk melegalkan tindakan-tindakan dan keinginannya dibuatlah
peraturan atau perundang-undangan, sehingga seolah-olah tindakan Golkar
atau pemerintahan saat itu tidak inkonstitusional. Kuatnya Orde Baru juga
didukung militer, khususnya Angkatan Darat. Pada masa Orde Baru birokrasi
dan Angkatan Darat bahu-membahu membangun kekuatan politik Golkar.
Islam dan Pluralisme Politik Indonesia
Dari sisi ideologis, kemunculan Islam yang terorganisasi merupakan ciri
penting bangkitnya pluralisme politik pasca Orde Baru. Berbeda dengan
dekade sebelumnya yang hanya diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
pada masa ini puluhan partai berasas Islam, atau memiliki basis massa
Islam, bermunculan.
Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah
dua partai yang berbasis massa Islam dengan raihan suara yang signifikan
pada Pemilu 1999. Selain sama-sama memiliki captive market yang bernaung
di bawah dua organisasi massa Islam terbesar, kedua partai ini menjadikan
Pancasila sebagai asasnya. Kedua partai ini pun bersifat terbuka, dan
berhasil merekrut kadernya dari berbagai agama dan etnis.
Di luar partai ini masih terdapat Partai Keadilan (PK) dan Partai Bulan
Bintang (PBB). Kedua partai ini berasas Islam. Dalam proses amandemen UUD
1945, kedua partai ini berusaha memasukkan kembali frase “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun usaha
ini gagal.
Meski sama-sama berasas Islam, PK dan PBB memiliki gaya komunikasi
politik yang berbeda. PBB lebih sering mengangkat isu penegakkan syari’at
Islam dibanding PK. Sosok Muhammad Natsir pun dimanfaatkan PBB untuk
menarik dukungan dalam Pemilu 1999. Citra partai Islam “modernis” pun
melekat kuat dalam tubuh PBB.
Sementara PK, tampak lebih lincah berkat dukungan kader muda yang
militan. Dengan motto “bersih dan peduli”, partai ini cekatan dalam
memainkan setiap isu yang berkaitan dengan dunia Islam, masalah sosial,
dan kejadian-kejadian yang mengandung human interest.
Selain dikenal militan, kader PK (yang dalam Pemilu 2004 menjadi Partai
Keadilan Sejahtera-PKS) pun amat solid. Partai ini terhubung dengan
kehidupan kampus lewat organisasi dakwah kampus. Jaringan dakwahnya
menembus kelompok-kelompok kecil yang terorganisir, sehingga arus
informasi dari atas ke bawah dan sebaliknya nyaris tanpa hambatan.
Meski tidak lolos electoral threshold pada Pemilu 1999, PK menjadi
partai fenomenal pada Pemilu 2004 karena berhasil meraih suara signifikan
di kota-kota besar. Hal sebaliknya dialami PBB. Partai yang mengklaim
pewaris Masyumi ini anjlok prolehan suarannya dalam Pemilu 2004.
Hingga berlangsungnya Pemilu 2004, PBB, PAN dan PKS lebih menyerupai
corak “administrators”. Hal ini dimungkinkan karena kualitas pendidikan
para kader dan tokohnya relatif lebih baik. Mereka memiliki keterampilan
teknis di atas rata-rata.
Sedangkan PKB lebih menyerupai corak “solidarity makers”. Melalui
jaringan pesantren dan tokohnya, partai ini berusaha dekat dengan rakyat.
Sayangnya, partai ini kurang memiliki kader dengan kemahiran politik yang
tinggi, sehingga daya tawar politiknya masih jauh lebih rendah dibanding
jumlah massa yang diklaim sebagai pendukung tradisionalnya.
Hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemilu
jumlah partai politik yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan
HAM mencapai 141 buah. Dari jumlah ini, 48 lolos verifikasi yang
dilakukan KPU dan dinyatakan sebagai peserta Pemilu 1999.
Bila dikaji menurut asas yang dianut, ke-48 partai politik peserta Pemilu
1999 dapat dibedakan menjadi empat kelompok. Pertama, terdapat 33 partai
politik memiliki asas Pancasila. Ke dalam kelompok ini bisa ditambahkan
PKB yang di dalam anggaran dasarnya mencantumkan asas Kelima Sila dalam
Pancasila. Kedua, terdapat 7 partai yang mengusung asas Islam, di samping
dua partai mencantumkan asas Dienul Islam (PSII dan PSII 1905), serta
masing-masing satu partai mencantumkan asas Pancasila dan Aqidah Islam
Ahlussunnah Wal-Jamaah (Partai Kebangkitan Umat) dan asas Pancasila dan
beraqidah Islam Mab’da Ahlussunnah Wal-Jamaah
(Partai Nahdlatul
Ummat/Partai NU).
Ke
dalam kelompok ini pun bisa dimasukkan Partai Kebangkitan Muslim
Indonesia (Kami) yang mencantumkan asas Al Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad SAW. Ketiga, asas sosial demokrasi kerakyatan yang diusung
Partai Rakyat Demokratik (PRD). Keempat, asas demokrasi religius yang
dianut Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI).
Bila dikaji lebih lanjut, rumusan platform partai-partai yang muncul dan
menjadi peserta Pemilu 1999 memiliki perbedaan yang longgar. Artinya,
perbedaan antara satu platform dibandingkan platform partai lainnya tidak
berbeda secara tajam. Rumusan platformnya masih bersifat simbolis, tidak
mencerminkan basis sosial pendukungnya, dan belum semua partai politik
mengoperasionalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam platformnya ke
dalam rumusan kebijakan yang terukur.
Dikaji dari sudut ini, kemunculan partai politik pada tahun-tahun awal
gerakan reformasi selain didorong oleh euforia reformasi yang ditandai
terbukanya katup kebebasan juga karena romantisme masa lalu. Beberapa
partai politik yang pada Pemilu 1955 menjadi peserta dihidupkan kembali,
baik dengan nama partai yang sama maupun dengan mengubah nama. Selain
memunculkan tuduhan bangkitnya politik aliran, gejala ini pun menandai
kemunculan kembali pemain lama dalam bentuk baru.
Pada tahun-tahun awal pasca kejatuhan Soeharto penggalangan kekuatan
bertumpu pada kata, simbol, figur dan gerakan reformasi. Secara sederhana
simbol-simbol tadi dinisbatkan sebagai lawan Orde Baru. Pada saat yang
sama, semua simbol Orde Baru dijauhi. Semua kekuatan yang menjadi pilar
Orde Baru berlomba-lomba melakukan metamorfosis.
Pada tahun-tahun awal digulirkannya gerakan reformasi peta ideologis
bergeser. Dalam kurun ini, dikotomi “kiri-kanan antara kaum sekuler dan
Islamis digantikan dengan belahan anti Orde Baru dan Orde Baru” (Evans,
2003: 31). Meskipun mengandung kelemahan karena menjadikan masa hidup
figur yang menjadi tokoh partai sebagai parameter ideologis, pembelahan
tadi memberi gambaran tentang kemunculan pluralisme politik. Orde Baru
menjadi sumbu politik yang dijauhi, sekaligus menjadi antitesa bagi
orientasi politik baru.
Dengan menolak Orde Baru berarti mendukung pluralisme organisasi dan
ideologi. Berbagai profesi dan kepentingan tidak cukup diwadahi dalam
satu organisasi. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan lagi satusatunya asosiasi para wartawan. Seperti para wartawan, buruh pun
membentuk asosiasi yang berbeda-beda. Uniknya, setiap asosiasi merumuskan
kode etiknya sendiri-sendiri, yang dalam perumusannya bebas dari campur
tangan pemerintah.
Gencarnya pemberitaan media massa tentang catatan hitam (black mail)
para pejabat Orde Baru melahirkan tekanan kepada pemerintah untuk
mengadili mereka. Rendahnya kemampuan menegakkan supremasi hukum
mengakibatkan merosotnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Wibawa
pemerintah terus melorot di tengah keterpurukan ekonomi yang tidak
kunjung membaik. Hasil-hasil Pemilu 1997 pun hampir kehilangan
legitimasinya. Kondisi ini telah memaksa pengganti Soeharto, Bacharuddin
Jusuf Habibie, untuk menggelar pemilu yang dipercepat. Pemerintahan
Habibie berhasil menggelar pemilu pada 7 Juni 1999, hanya 13 bulan
setelah presiden ketiga ini dilantik.
Pemilu 1999 dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang
keanggotaannya terdiri atas wakil partai politik dan wakil pemerintah.
Salah satu perbedaan menonjol Pemilu 1999 dibandingkan enam pemilu
sebelumnya adalah jumlah peserta yang banyak dengan asas yang beragam.
Hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik memberikan kebebasan kepada warga negara Republik
Indonesia untuk mendirikan partai politik dengan asas atau ciri partai
sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila.
Syarat-syarat pembentukan partai politik menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 amat mudah. Setiap 50 orang warga negara Republik Indonesia
yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk partai politik. Menurut
ketentuan Pasal 2 (2) mereka hanya diharuskan melengkapi persyaratan: (a)
mencantumkan Pansasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam anggaran dasar partainya; (b) asas atau ciri, aspirasi
dan program partai tidak bertentangan dengan Pancasila; (c) keanggotaan
partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik
Indonesia yang telah memiliki hak pilih; dan (d) tidak boleh menggunakan
nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera negara
kesatuan Republik Indonesia, bendera kebangsaan negara asing, gambar
perorangan, dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.
Berbagai analisis perbandingan Pemilu 1955 dan Pemilu 1999
mempostulasikan adanya kontinuitas antara kedua pemilu yang diikuti
puluhan partai politik tersebut. Dengan menganalisis data hasil
penelitian lokal (kabupaten/kota), King (2000: 6) mengukuhkan postulasi
tersebut. Beberapa temuan King mengungkapkan bahwa secara umum terdapat
kontinuitas politik aliran dan basic cleavage antara tahun 1955 dan 1999.
Pemilu 1999 pun memunculkan kembali basis cleavage di antara para pemilih
pada daerah-daerah yang mendukung partai nasionalis dan pada daerah yang
mendukung partai Islam. Lebih jauh, Pemilu 1999 memunculkan kembali
perbedaan orientasi yang hidup di kalangan Islam. Orientasi tradisional
dan modern yang menonjol pada 1955 kembali mengemuka.
Kontinuitas politik aliran dan basic cleavage antara Pemilu 1955 dan 1999
tampak menonjol di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur. Politik di kawasan
pesisir utara Jawa yang membentang dari Tuban, Lamongan, Gresik,
Pasuruan, Pulau Madura hingga Banyuwangi tersebut merupakan zona politik
kaum santri. Di wilayah ini, NU memiliki akar ideologis yang kuat.
Sedemikian kuatnya, beberapa penduduk di kawasan ini menyebut NU sebagai
agamanya, dan mengaku sudah menjadi NU sebelum dilahirkan.
Hasil Pemilu 1955 dan 1999 memperlihatkan dominasi Partai NU dan PKB di
wilayah Tapal Kuda. Sementara wilayah Jawa Timur lainnya (yang lazim
disebut kawasan Mataraman) menjadi basis partai-partai politik berhaluan
nasionalis. Sebagaimana tampak dalam Peta Politik Jawa Timur (lihat
lampiran), kawasan Mataraman menjadi basis PNI dan PKI pada Pemilu 1955
serta PDI-P dan Partai Golkar pada Pemilu 1999.
Partai yang berhaluan nasionalis, seperti PDI-P mendominasi perolehan
suara pada Pemilu 1999 di Malang, Blitar, Ponorogo, Pacitan, Kediri,
Jombang, Nganjuk, Madiun, Ngawi, Bojonegoro dan Tuban. Sementara PKB
mendulang suara yang signifikan di kawasan Tapal Kuda.
Secara keseluruhan PKB merebut 35,48% suara pemilih di Jawa Timur,
disusul PDI-P di urutan kedua dengan merebut 33,81% suara pada Pemilu
1999. Persaingan antara PKB dan PDI-P di wilayah Tapal Kuda merupakan
pengulangan persaingan antara kekuatan Islam dan nasionalis pada Pemilu
1955. Pada Pemilu 1955, Partai NU memperoleh 34,14%, PKI meraih 23,29%,
PNI meraup 22,%, dan Masyumi merebut 11,24% suara pemilih (KPU, 1999).
Identitas Tapal Kuda sebagai wilayah politik santri mengalami
transformasi pada masa Orde Baru. Pada masa ini, dukungan terhadap NU
disalurkan melalui PPP. Meski Golkar mendominasi perolehan suara di Jawa
Timur, di wilayah Tapal Kuda Golkar mendapat perlawanan kuat dari PPP.
Bahkan di Pasuruan, Golkar tidak pernah unggul.
Perolehan suara PKB pada Pemilu 2004 di wilayah Tapal Kuda tidak jauh
berbeda dengan hasil Pemilu 1999. Hal ini memunculkan dugaan adanya
pemilih ideologis PKB di wilayah ini. Namun fakta yang dihimpun pasca
pemilu legislatif April 2004 dan pilpres putaran pertama mengungkapkan
fakta yang berbeda.
Para pemilih umumnya menyebut tiga alasan mengapa mereka memilih PKB
dalam Pemilu 2004. Pertama, “kedekatan” mereka dengan calon legislatif
yang dimajukan PKB. Mereka memilih calon yang dikenal atau diperkenalkan
kepada mereka. Dengan demikian, dalam pemilu legislatif preferensi
pemilih PKB lebih dibentuk oleh pengenalan mereka tentang calon
legislatif. Fakta ini pun menyiratkan pentingnya peran “political broker”
sebagai agen pemasaran politik.
Kedua, di luar pengenalan pemilih tentang kandidat yang dimajukan adalah
tradisi politik keluarga. Banyak pemilih mengidentifikasikan sebagai
pendukung PKB karena keluarga mereka sejak dahulu adalah pendukung Partai
NU. Dalam pandangan mereka, PKB adalah “titisannya” Partai NU karena
didirikan dan didukung oleh kiai-kiai NU. Banyak pemilih dari kelompok
ini hanya mencoblos tanda gambar karena calon yang dimajukannya tidak
mereka kenal. Namun mereka mengaku tidak ragu memilih PKB karena yakin
calon yang dimajukannya pasti berasal dari kalangan kiai, keluarga kiai,
atau kalangan santri.
Ketiga, pilihan politik kiai menjadi faktor penentu keputusan untuk
memilih. Pengaruh pilihan politik kiai semakin besar apabila calon yang
dimajukan partai tidak mereka kenal. Fakta ini berguna dalam menjelaskan
mengapa tidak semua keluarga pendukung Partai NU memilih PKB dan mengapa
tidak semua pemilih PKB memilih calon presiden yang dimajukan PKB.
Pemilih yang berasal dari keluarga bertradisi politik NU yang tidak
memiliki calon legislatif yang mereka kenal menggantungkan keputusannya
untuk memilih kepada kiai panutan mereka. Bila kiai mereka memperlihatkan
preferensi kepada PKB, atau dikenal dekat dengan tokoh-tokoh NU yang
melahirkan PKB, maka pilihan mereka adalah PKB. Sedangkan apabila kiai
mereka memperlihatkan preferensi pada partai lain, dan mereka tidak
mengenal tokoh-tokoh yang membidani PKB, maka mereka mengaku tetap
memilih PPP. Karena itu, di wilayah Sampang dan Pasuruan misalnya,
ditemukan keluarga yang dahulu pendukung Partai NU namun tetap memilih
PPP. Kasus terakhir ditemukan pada daerah-daerah yang berada di bawah
pengaruh kiai yang berorientasi politik PPP dan tidak terlalu
“bermesraan” dengan tokoh-tokoh NU yang membidani kelahiran PKB.
Pengaruh pilihan politik kiai lebih rendah kadarnya dalam pemilihan
presiden karena pemilih relatif lebih independen. Hal ini terjadi karena
pemilih mengaku amat mudah menemukan informasi tentang calon presiden.
Namun pada pemilih yang tidak memiliki akses informasi, pengaruh pilihan
politik kiai tetap dominan, bahkan pengaruhnya jauh lebih kental.
Kesimpangsiuran tentang sosok calon presiden membagi pemilih ke dalam dua
kategori. Kategori pertama, adalah kelompok yang mengaku aktif mencari
informasi tentang sosok calon dari berbagai sumber. Kelompok ini umumnya
berusia muda dan berpendidikan formal yang relatif bagus. Mereka tidak
menjadikan kiai sebagai satu-satunya rujukan dalam menentukan pilihan.
Meski jumlahnya relatif kecil, peran politik mereka amat signifikan
karena mereka pun membagi informasi yang didapatkan kepada pemilih
lainnya.
Kategori kedua, adalah kelompok yang “bermakmum” pada pilihan politik
kiai. Mengikuti pilihan politik kiai menjadi jalan keluar dari
kesimpangsiuran tentang sosok calon presiden. Meski terkesan fatalistik,
pilihan jalan keluar ini memiliki landasan teologis yang kuat. Mereka
bermakmum kepada pilihan politik kiai bukan semata-mata sebagai bentuk
pelarian (escape) dari situasi yang membingungkan, namun diyakini sebagai
jalan menuju (wasilah) beroleh berkah (tabaruk).
Selain ketertutupan akses informasi, orientasi tabaruk menguat karena
sebagian besar massa PKB mengaku tidak memiliki target politik. Berbeda
dengan elit PKB yang mengejar jabatan politik, keterlibatan massa dalam
pemilu tidak diarahkan oleh tujuan tertentu. Mereka menyadari, bila tidak
berniat untuk memperoleh berkah, tindakan mereka tidak bermakna sama
sekali. Mereka hanya akan jatuh pada kategori penggembira untuk kemudian
dilupakan setelah pemilu berakhir. Dikaji dari konteks ini, orientasi
tabaruk pun bermakna mendekatkan dunia politik yang jauh dari jangkauan
massa.
Analisis pada bagian ini mengungkapkan preferensi pemilih PKB tidak
dibentuk oleh pemahaman mereka tentang platform. Pemilih PKB menjatuhkan
pilihannya berdasarkan pertimbangan asal-usul kandidat, pilihan politik
kiai panutan mereka dan faktor figur kandidat. Tradisi politik keluarga
menjadi predisposisi dan landasan identifikasi kepartaian mereka.
Partai Politik dan Pendidikan Demokrasi
Peranan partai politik dan pemilu dalam proses pembangunan demokrasi
masih menjadi polemik di tanah air. Secara teori, kedua pranata ini tidak
disangsikan lagi menjadi bagian terpenting bangunan demokrasi. Namun
dalam praksis politik Indonesia, keduanya kerap menampilkan realitas
politik yang bertentangan dengan kaidah demokrasi.
Keberadaan partai politik di Indonesia memiliki relasi dengan keadaan
sosial serta iklim demokrasi di Indonesia. Berbagai kendala pun muncul
dalam perkembangan partai politik, sejak masa kemerdekaan sampai
pascareformasi sekarang. Kendala yang dihadapi oleh partai politik di
Indonesia antara lain sebagai berikut.
Perjalanan partai politik selalu diwarnai oleh "patahan-patahan sejarah"
(historical fractures) partai, menurut Daniel Dhakidae; patahan terbesar
adalah pada zaman pendudukan Jepang yang tidak mengakomodasi partai
politik. Ketika kemerdekaan diraih pada tahun 1945, masyarakat Indonesia
menikmati euforia politik yang luar biasa. Partai-partai menjamur pada
masa demokrasi parlementer dengan ideologi yang beranekaragam seperti
keadaan sekarang.
Adanya jurang lebar antara partai politik dengan masyarakat akibat
warisan kebijakan massa mengambang dan praktik korporatisme negara pada
Orde Baru. Partai-partai dikebiri dan diputus jalinannya dengan rakyat
sementara aspirasi (kepentingan) masyarakat disalurkan secara
"terkendali" melalui organisasi-organisasi bentukan negara. Era reformasi
merupakan peluang untuk merancang ulang orientasi partai. Persoalannya
adalah membuat partai-partai berakar pada masyarakat. Hal ini harus
dimulai dengan meluasnya jaringan organisasi partai ke akar rumput.
Tetapi, perluasan jaringan organisasi partai sejauh ini sebatas untuk
memobilisasi dukungan massa untuk meraih kekuasaan, bukan dalam rangka
menerjemahkan fungsi-fungsi partai yang komprehensif. Dalam praktiknya
partai-partai politik tetap tidak berhasil menampilkan diri sebagai basis
artikulasi, partisipasi, dan kontrol publik terhadap negara.
Partai politik di Indonesia sangat kental dengan elitismenya ketimbang
sebagai organisasi yang mengakar ke bawah. Hal yang menonjol adalah
ketergantungan organisasi partai pada figur pemimpin puncaknya ketimbang
kinerja secara keseluruhan, sebagai instrumen untuk meraih dukungan
massa.
Partai politik lebih digerakan oleh politik identitas yang sektarian
ketimbang oleh ideologi dan perjuangan kelas.
Kepartaian di Indonesia jauh dari budaya oposisi. Di masa Orde Baru, dua
partai nonpemerintah (PPP dan PDI) adalah lawan-lawan politik yang tidak
berperan sebagai oposisi, melainkan sebagai pecundang yang cukup puas
menerima pembagian jatah kekuasaan dan kekayaan secara terbatas.
Huntington (2000) memandang bahwa pengalaman berdemokrasi di masa lalu
dapat menjadi salah satu faktor pendukung lahirnya kembali demokrasi di
sebuah negara. Maka dengan serta merta mungkin para penggagas politik
Indonesia menoleh pengalaman di masa Demokrasi Konstitusional era 1950-an
yang diwarnai kontestasi multipartai dan partisipasi politik yang meluas
untuk mendukung argumen bahwa demokrasi bukanlah ide yang asing dalam
pengalaman bernegara kita. Dan kini, pasca tumbangnya rezim otoriter Orde
Baru Indonesia tengah mencoba membangun kembali tatanan demokrasi dengan
wajah baru. Tetapi, Huntington juga mengingatkan bahwa kegagalan proses
konsolidasi demokrasi akan memberi gambaran buruk tentang wajah
demokrasi. Pada masa lalu juga, Indonesia pernah gagal menjaga
keberlangsungan demokrasi tersebut hingga kemudian terkungkung dalam
cengkeraman otoritarianisme yang panjang.
Lebih jauh Huntington menjelaskan, kekecewaan yang berkembang pada sistem
demokrasi yang baru dapat menimbulkan beberapa sikap berikut. Pertama,
kekecewaan itu sering mengakibatkan pengunduran diri, sinisme, dan
penarikan diri dari dunia politik. Kedua, kekecewaan mewujud dalam
reaksi menentang pemerintah yang berkuasa, dan mengantikannya dengan
kelompok politik alternatif. Ketiga, kekecewaan kadang menimbulkan reaksi
yang bersifat anti kemapanan dengan menolak tidak hanya partai yang
berkuasa, tetapi juga partai alternatif yang berada dalam sistem politik
dan memberikan dukungan mereka kepada pihak di luar sistem. Keempat,
ketidakpercayaan terhadap sistem demokrasi. Pendukung utama terhadap ide
ini adalah kelompok konservatif sisa rezim otoriter.
Dalam konteks Indonesia kontemporer, kekhawatiran akan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi bukan tanpa alasan. Jika
mencermati fenomena politik yang terjadi beberapa tahun terakhir,
setidaknya terdapat empat hal yang bisa memutar jarum perubahan ke arah
langkah mundur. Dalam usia demokrasi yang masih sangat muda ini, kerap
mencuat beberapa perilaku yang tidak demokratis sebagai berikut.
Pertama, sebagian anggota masyarakat memaknai demokrasi baru sebatas
kebebasan dengan tanggungjawab yang minim. Akibatnya, mereka merasa bebas
untuk mengekspresikan kehendaknya namun mengabaikan kepentingan pihak
lain dan bahkan dengan cara yang melanggar aturan. Tidak jarang tindakantindakan anarkis dianggap wajar untuk memperjuangkan kepentingan,
sehingga kekerasan seolah menjadi kosakata yang inheren dalam kebebasan.
Kedua, sebagian masyarakat belum memiliki mekanisme sosial yang tepat
untuk mengelola perbedaan. Pada masa lalu, masyarakat Indonesia memiliki
wajah yang nyaris seragam. Hal ini tidak lepas dari rekayasa sosial yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru yang menabukan perbedaan. Akibatnya,
ketika liberalisme muncul sebagai salah satu wajah demokrasi, masyarakat
belum siap untuk menerima kenyataan bahwa kehidupan ternyata memiliki
banyak ragam pandangan, kepentingan, dan orientasi. Kegagalan mengenali
keragaman dalam masyarakat dan tiadanya mekanisme sosial untuk mengelola
perbedaan kemudian mengarah kepada terjadinya konflik horizontal. Hal ini
dapat memberi kesan buruk bahwa kebebasan yang menyertai demokrasi
ternyata merupakan pangkal terjadinya konflik. Padahal, selain menghargai
perbedaan, demokrasi juga berbicara tentang konsensus. Kemauan untuk
berdialog dan membangun mekanisme sosial untuk mengelola konflik
sesungguhnya dapat membawa kita pada kedewasaan untuk mengarungi bahtera
demokrasi.
Ketiga, sebagian elite politik masih mengembangkan cara-cara nondemokrasi
untuk memperjuangkan kepentingannya. Dalam pemilu legislatif yang lalu,
sebagian lembaga pemantau pemilu mensinyalir adanya politik uang atau
mobilisasi oleh pejabat pemerintahan demi memilih partai atau kadidat
tertentu. Tetapi, sebagaimana biasa hal tersebut sulit untuk dibuktikan.
Meski demikian, indikasi-indikasi yang dikemukakan oleh lembaga-lembaga
pemantau tersebut cukup membuat kita khawatir akan merebaknya perilaku
politik nondemokratis.
Keempat, konservatisme elite politik dalam menyikapi berbagai isu
reformasi. Beberapa agenda reformasi seperti penegakan HAM, reformasi
lembaga peradilan dan perangkat hukum, serta pemberantasan korupsi masih
berjalan lamban. Tentu saja hal demikian membawa kekhawatiran bahwa rezim
pascaotoriter akan menjadi penerus setia bangunan politik Orde Baru.
Dengan meminjam istilah Benedict Anderson, mungkin kondisi ini dapat
dideskripsikan secara singkat sebagai 'Old State, New Society'. Rezim
boleh berganti baru, tetapi secara umum tidak terdapat perubahan berarti
dalam kultur pemerintahan. Masyarakat politik masih tetap didominasi oleh
nilai-nilai lama warisan rezim terdahulu. Hal yang demikian akan dapat
membuat masyarakat frustrasi dan mengambil kesimpulan bahwa perubahan
ternyata hanya memberi keuntungan bagi segelintir elite, sementara rakyat
selalu saja menjadi aktor pinggiran yang kepentingannya kerap diabaikan.
Mencari jumlah partai yang ideal bagi Indonesia tidak lebih penting
ketimbang mendorong demokratisasi internal partai politik. Demokratisasi
internal penting dilakukan bukan saja untuk mengikis oligarkhi partai,
tetapi juga mendorong kinerja partai.
Oligarkhi harus dikikis bukan saja menghambat promosi karier secara
transparan, tetapi juga merusak keterwakilan. Bila oligarkhi menguat,
partai akan sulit memainkan perannya sebagai representasi kepentingan
pengikut, tetapi hanya mengukuhkan dominasi kaukus yang dibentuk tokohtokoh senior partai (gerontocracy). Penghormatan terhadap figur yang
menjadi ikon partai akan meredusir kepentingan pengikut.
Kehidupan kepartaian harus dikembalikan kepada khittoh sebagai peletak
tradisi panjang demokrasi. Pemilu harus menjadi alat koreksi bagi partai
yang merusak tradisi demokrasi, dan memajukan kader-kader yang mengusung
nilai-nilai baru. Maka tugas para kader partai tidak lain adalah
mempromosikan nilai-nilai terbaik yang diyakini sebagai jalan menuju
kebaikan bersama.
Debirokratisasi partai politik adalah agenda pertama yang harus dilakukan
bersama-sama dengan perbaikan citra partai di mata publik. Posisi partai
yang mengesankan dirinya sebagai birokrasi politik yang menjauhkan
dirinya dari grass root harus diakhiri. Demikian pula kegiatan pengurus
yang hanya mengulang rapat, atau duduk di kepanitiaan, harus diubah.
Jumlah aktivis partai harus diperbanyak ketimbang sekedar menjadi
“petugas” partai.
Pendidikan kader secara berjenjang adalah agenda penting lainnya. Promosi
berdasarkan jenjang pelatihan kader yang sudah ditamatkan akan mengurangi
koncoisme, menguatkan transparansi, dan diyakini mampu mendongkrak
akuntabilitas kinerja partai. Pendidikan kader tidak memadai bila hanya
dipandang sebagai dampak pengiring (nurturant effect) keterlibatan kader
dalam aktivitas harian (rutin) partai.
Enterpreneurship partai dalam menaklukan perilaku pasar politik akan
menentukan masa depan partai dan demokrasi itu sendiri. Di luar partai
masih banyak pemain lain. Partai politik tidak boleh terlambat membangun
loyalitas pengikutnya sebelum mereka direnggut kelompok kepentingan, atau
tergilas isu global persamaan hak, gender, senjata nuklir, atau
lingkungan.
Di atas segalanya, usaha nyata partai politik dalam membebaskan
pedukungnya dari selimut kelaparan dan ketakutan adalah investasi
terbesar dalam membangun demokrasi dan menjamin tetap utuhnya Republik
Indonesia. Untuk itu, langkah partai dan kadernya mengambil jalan yang
berbeda dengan kehendak masyarakat yang mereka wakili adalah “perceraian”
yang sesungguhnya dengan kepentingan umum, sekaligus pengingkaran
terhadap jati diri partai politik itu sendiri
Pertemuan 13-14
Islam, Budaya, dan Demokrasi
Relasi antara agama dan politik mengandung dimensi yang luas. Namun
secara teoretik kemunculan agama dalam khasanah politik bisa mengambil
bentuk sebagai garis ideologi politik ataupun sekedar alat untuk
melegalisasi pikiran yang dianut aktor politik. Namun di luar dua sisi
tadi, pemakaian simbol-simbol agama untuk kepentingan politik jauh lebih
mudah ditemukan. Lebih-lebih bila terjadi koeksidensi yang kuat antara
agama dan politik.
Dalam khasanah politik Indonesia kemunculan Islam sebagai entitas politik
bukan barang baru. Ulama pun memiliki sejarah keterlibatan yang panjang
dalam dunia politik. Sebelum era kerajaan Mataram Islam ulama telah
memegang otoritas penting dalam bidang pemerintahan. Namum posisi dan
peran ulama dalam wilayah politik mengalami pasang surut sesuai dengan
dinamika sosial politik.
Uraian berikut akan mengetengahkan analisis tentang kontribusi Islam di
Indonesia dalam penataan demokrasi. Meski demokrasi diyakini memiliki
keterbatasan dalam mewadahi ajaran Islam, namun kontribusi Islam dalam
membentuk karakter umatnya yang kongruen dengan ide demokrasi tidak bisa
disangsikan lagi.
A. Islam dan Demokrasi
Hubungan Islam dan demokrasi tidak sederhana. Namun Liddle dan Mujani
(2000) mencoba menggambarkan hubungan tersebut dalam asumsi yang
sederhana. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan demokrasi
adalah dua sistem politik yang berbeda. Dalam pandangan kelompok ini,
Islam tidak bisa disubordinasikan ke dalam demokrasi. Islam merupakan
sebuah sistem yang self-sufficent. Islam dan demokrasi bersifat mutually
exclusive. Islam dipandang sebagai sistem alternatif terhadap demokrasi.
Pendapat tersebut dikemukakan oleh elit Kerajaan Arab Saudi dan elit
politik Iran pad masa awal revolusi Islam Iran (Eickelman dan Psicatori,
1996).
Kedua, pendapat yang mendefinisikan demokrasi secara prosedural seperti
dipahami dan dipraktikan di negara-negara demokrasi maju (seperti AS dan
Eropa Barat). Islam juga merupakan sistem politik demokratis apabila
demokrasi didefinisikan secara subtansif, yakni kedaulatan di tangan
rakyat, dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat tersebut.
Sebagai contoh, apabila rakyat menghendaki sebuah sistem pemerintahan
tertentu, misalnya sistem pemerintahan dibawah otoritas ulama seperti di
Iran, maka sistem pemerintahan tersebut dapat dianggap demokratis.
Kedaulatan rakyat diterjemahkan dengan mengabaikan prosedur-prosedur yang
disepakati dan dipraktikan di negara-negara demokrasi. Pluralitas dan
persaingan antara kelompok-kelompok masyarakat yang diagregasi ke dalam
bentuk partai politik untuk memperebutkan posisi-posisi penting, dari
tingkat lokal sampai nasional. Oleh karena itu, jumlah partai politik pun
lebih dari satu dan bersifat kompetitif. Semuanya mendapatkan
perlindungan konstitusional, sehingga negara tidak dapat disubordinasikan
ke dalam suatu partai tertentu.
Ideologi sebuah partai yang berbeda dengan ideologi partai lain tidak
bisa dijadikan ideologi negara. Pemilu demokratis adalah prosedur dari
persaingan kelompok-kelompok masyarakat yang pluralis ini, apakah dari
segi ideologi, ekonomi, maupun politik. Dalam kasus Iran, di sana tidak
ada jaminana konstitusioanl bagi lahirnya partai politik lebih dari satu.
Tidak boleh ada partai politik yang tidak berdasarkan Konstitusi Islam
(Arjoman, 1993), sehingga persaingan antara kelompok kepentingan politik
yang beragam itu tidak dimungkinkan. Karena itu pula prasyarat dasar
demokrasi tidak terpenuhi. Prosedur demokrasi diabaikan oleh pandanganpandangan subtabsif tentang demokrasi yang tumbuh diantara pemikir Islam
seperti halnya di kalangan pemikir Komunis. Mendefinisikan demokrasi
secara subtansif dengan mengabaikan prosedur berujung pada kegagalan
analitik untuk membedakan antara rezjm demokrasi dan totalitarianisme.
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah sistem nilai yang
membenarkan dan mendukung sistem politik demokratis seperti yang
dipraktikan di negara-negara maju. Pandangan bahwa suara rakyat adalah
suara Tuhan yang diterjemahkan dalam politik elektoral dan politik
kepartaian hidup di antara pemikir Islam, walaupun memang tidak sampai
menjadi mainstream.
Dalam menjelaskan kelangkaan rezim demokrai di dunia Islam akan digunakan
berbagai pendekatan antara lain : pendekatan kultural, pendekatan sosial
ekonomi, pendekatan konsensus/kompromi elit, dan pendekatan pilihan
rasional elit atau aktor startegis. Teori sosial ekonomi mulai populer
sejak Lipset (1959) dan Moore (1966) menjelaskan muncul dan stabilnya
demokrasi. Dalam pandangan Lipset, pertumbuhan ekonomi dan semakin
terdidiknya masyarakat, setidaknya dalam jangka panjang, akan berdampak
pada semakin kuatnya tuntutan terhadap demokrasi di suatu negara. Apabila
masyarakat sudah meningkat kesejahteraan dan tingkat pendidikannya, maka
mereka akan menuntut terbukanya mekanisme pengambilan keputusan untuk
urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya kesempatan untuk
berpartisipasi dalam menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut
kepentingan publik. Demokrasi menjadi pilihan untuk menampung aspirasi
tersebut, karena demokrasi adalah mekanisme politik yang paling
memungkinkan untuk memenuhi aspirasi tersebut.
Sedangkan bagi Moore, demokrasi adalah rezim yang lahir dari perubahan
cara produksi feodalis ke cara produksi kapitalis, yang kedua-duanya
berlangsung melalui pertentangan kelas sosial, melalui eksploitasi atas
budak pada masa feodalisme, dan melalui eksploitasi atas buruh pada masa
kapitalisme. Implisit di dalam argumen kelas sosial historis ini adalah
sulitnya negara-negara Dunia Ketiga menjadi negara kapitalis yang dapat
bersaing dengan negara-negara Kapitalis Barat karena mereka tumbuh dari
konteks perkembangan sejarah yang berbeda. Kapitalisme maju tumbuh dalam
konteks imperalisme. Konteks historis inilah yang tidak dimiliki oleh
negara-negara Dunia Ketiga, karenanya demokrasi merupakan fenomena langka
di negara-negara tersebut.
Argumen lainnya adalah datang dri O’Donnell (1979) dan Evans (1979) yang
percaya bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang seperti di kawasan
Amerika Latin dengan model kapitalisme Barat mensyaratkan adanya
stabilitas politik dengan menekankan partispasi massa dalam politik untuk
mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen
yang paling memungkinkan untuk menciptkana stabilitas politik adalah
negara di bawah komando militer. Karena itu, pembangunan di negara-negara
terbelakang bukannya mendorong ke arah demokrasi, tapi justeru menghambat
demokrasi karena peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa
disingkirkan dalam proses politik. O’Donnell menyebut fenomena ini
buraucratic authoritrianism. Kelemahan buraucratic authoritrianism yang
menuai kritik adalah O’Donnell tidak melihat pembangunan ekonomi di
negara-negara Asia Timur pada tahun 1980-an, dimana pembangunan kapitalis
tidak sepenuhnya melahirkan rezim otoritarian.
Melihat realita di negara-negara Asia Timur, pada penghujung 1980-an
O’Donnell berkesimpulan bahwa munculnya rezim demokrasi adalah suatu
“kebetulan” sejarah, yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting
dalam proses transisi ke rezim demokrasi, tapi kapan elite menjadi pro
demokrasi dan kapan tidak, menurutnya, tidak bisa dijelaskan.
Di awal 1970-an, penjelasan terhadap transisi demokrasi lebih fokus pada
elit. Pendekatan ini melihat bahwa transisi ke demokrasi pada dasarnya
merupakan hasil dari kreasi, pilihan, dan kompromi elite politik dimana
demokrasi merupakan rule of game yang dipandang paling pas bagi kontes
politik antarelite politik. Sejak awal 1980 “model” ini telah banyak
dikembangkan dengan berbagai variannya. Misalnya inisiatif atau kreasi
elite politik yang hampir tidak diungkap polanya (O’Donnell dan
Schmitter, 1986; DiPalma, 1984), atau peran elite dalam konteks institusi
politik (Linz dan Stepan, 1996; Higley dan Gunther, 1992) atau kalkulasikalkulasi rasional elite dan kelompok kepentingan dalam rangka mencapai
tujuan politik mereka (Prezeworski,1991).
Dalam pendekatan elite, disumsikan bahwa transisi dari rezim nondemokratik ke rezim demokratik sebagian besar ditentukan oleh inisiatif,
kompromi, dan kalkulasi rasional elite politik. Pilihan atas demokrasi
dipandang memungkinkan elite mencapai tujuan politik mereka.
Perilaku elite dibentuk oleh konteks struktur sosial-ekonomi atau oleh
budaya politik disuatu negara. Konsep civic culture sebagai budaya
politik demokratis dikembangkan oleh Almond dan Verba (1963) yang pada
dasarnya sama dengan prepektif Tocqueville dalam menjelaskan demokrasi di
Amerika , yang akar filosofinya ditarik dari Rousseau. Konsep tersebut
telah direaktualisasi tahun 1990-an dalam studi politik Making Democracy
Work karya Putnam (1994). Dalam karyanya, Putnam menunjukan tidak
relialistiknya penjelasan new-institutionalism dan sosial ekonomi
terhadap kinerja demokrasi, menurutnya yang menentukan perkembangan
demokrasi adalah civic culture atau civic community.
B. Civic Culture dan Demokrasi
Civic culture adalah sikap dan tindakan yang terlembagakan yang dibangun
atas dasar nilai-nilai yang menekankan pentingnya hak partisipasi warga
negara untuk mengambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan berbagai
aspek kepentingan publik. Partisipasi ini dibangun atas hal-hal yang
mendasar (Putnam, 1994) yaitu:
Egalitarianisme atau hubungan timbal balik secara horizontal sesama
warga.
Pluralisme, dimana perbedaan paham, kepercayaan, dan kepentingan sesama
warga diterima sebagai kenyataan hidup yang harus dihargari, karena itu
toleransi sosial politik memberi ciri krusial terhadap civic community.
Rasa saling percaya (trust) dan solider sesama warga
Lawan dari civic culture adalah klerakilisme, yaitu orde sosial hirarkis
yang dibangaun atas dasar otoritas sakral elite-elite agama sehingga
memunculkan perilaku dan sikap yang tidak setara secara sosial antara
warga karena perbedaan posisi hirerkis sosial keagamaan. Proses-proses
pengambilan keputusan untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan
kepentingan publik terkait erat dengan perbedaan hirarkis sosial
keagamaan antar warga, bahkan otoritas keagamaan meluaskan wilayah
otoritasnya sehingga memasuki sosial politik dimana komunitas-komunitas
keagamaan lain terlibat di dalamnya.
Untuk mengukur sejauh mana negra berciri demokratis atau tidak, skala
“kebebasan” yang dikontruksi Freedom House sangat membantu. Setiap tahun
Freedom House melaporkan skala kebebasan negera-negara di dunia, yang
terdiri dari kebebasan yang berkaitan dengan hak-hak sipil (kebebasan
berbicara, kebebasan berkumpul, kebesan pers, dan equality befor law)dan
yang berkaitan dengan hak-hak politik (hak warga negara untuk
berpartisipasi dalam pemilu demokratis). Atas dasar ini Freedom House
membuat rating dua dimensi kebebasan ini antara 1 sampai 7, semakin besar
rate kebebasan sebuah negara, maka semakikn tidak bebas negeri tersebut,
dan sebaliknya. Skala kebebasan 1-3 termasuk dalam kategori bebas, 3-5
sebagian bebas, dan skala 5-7 termasuk tidak bebas. Oleh William Leddle
dan Saiful Mujani sebutan kategori tiap skala diganti, “bebas” diartikan
“demokrasi”, “setengah bebas” diartikan “semi demokrasi”, dan “tidak
bebas” diartikan “otoitariansime”.
Dalam masyarakat yang berkultur politik demokratis, proporsi warga negara
yang tertarik dengan politik dan sering mendiskuiskan politik, besar.
Demikian juga prporsi toleransi terhadap kelompok sosial politik yang
berbeda, termasuk yang ekstrim Kiri maupun Kanan. Selain itu juga warga
negara yang berkultur politik demokratis cenderung saling percaya sesama
warga (Almond dan Verba, 1963; Putnam, 1994; Inglehart, 1988).
Agama tidak hanya diukur secara nominal, Islam versus non-Islam, tapi
juga intensitas keberagaman masyarakat suatu negara. Banyak dimensi untuk
mengukur tingkat keberagamaan antara lain tingkat kesetaraan, seberapa
penting agama dan Tuhan dalam hidup, persamaan nyaman dengan agama, dan
intensitas sembahyang.
Pada tahun 1997/1998, dari seluruh negera-negara muslim di duniam hanya
8,7% yang dapat dikategorikan demokratis, yaitu di Mali, Bangladesh, dan
Cyprus. Di negara-negara tesebut, pemilu demokratis telah berlangsung
dimana warga secara sukarela ikut memilih dan dipilih. Para elite politik
bersaing secara bebasatas dasar aturan main demokrasi. Kebebasan
berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan equality before
the law telah berlangsung di negara-negara ini.
Proporsi negara-negara muslim yang semi demokratis cukup besar yaitu 30%
antra lain di Turki, Pakistan, Malaysia, Jordania, Kuawit, Kyrgzitan,
Azerbaijan, Maroko, Komoros, Sierra Leone, dan Indonesia. Di negaranegara tersebut pemerintahan demokratis sekali-kali diintervensi oleh
negara, terutama oleh tentara dengan alasan integrasi nasional. Selain
itu juga persaingan politik terkadang diwarnai dengan kekerasan sesama
warga sipil.
Proporsi paling besar di negara-negara muslim adlah bertipe
otoritarianisme/Sultanisme yaitu sekitar 30% diantaranya adalah Arab
Saudi, Afganistan, Sudan, Somalia, Iraq, Syria, Tukmenistan, Guinea dan
Libya. Penyelenggaraan pemilu di negara-negara tersebut tidak dalam
rangka suksesi dan persaingan elite politik, kalaupun ada partai politik,
tidak lebih hanya sebagai alat mobilisasi elite yang berkuasa, dan untuk
merintangi elit yang lain.. Di tingkat masyarakat, relatif sedikit
lembaga-lembaga atau organisasi sosial (LSM) yang independen.
Ketika Uni Sovyet runtuh melahirkan 15 negara-negara baru, sebagaian
negara baru yang penduduknya Islam tidak mengalami perubahan dari rezim
komunis ke rezim demokrasi. Mereka secara regional telah muncul seagai
negara-negara otorian baru. Sedangkan negara-negara bekas Uni Sovyet yang
mayoritas pendudukan non muslim sebagian besar beralih ke rezim
demokratis.
Selain itu, fakta lain menyebutkan bahwa elit umat Islam di dunia yang
paling rajin menyebut kata ‘Islam’, ‘persaudaraan muslim’, dan jargon
lainnya yang mencerminkan Islam ternyata hampir semuanya hidup dalam
rezim otorian.
Selain itu juga ada kecenderungan umum bahwa negara-negara Muslim yang
artikulasi Islam politiknya kuat – yang ditunjukan oleh relatif kuatnya
gerakan Islamis dan terlembagakannya Islam dalam partai politik – negaranegara Muslim tersebut punya kesulitan untuk mendirikan rezim demokratis
penuh. Misalnya malaysia, Pakistan, dan Turki, dalam kurunwaktu yang lama
mereka berada di antara rezim otorian dan demokrasi (semi demokrasi).
Sementara Mali dan Bangladesh yang tidak memiliki partai politik Islam
yang kekuatannya cukup signifikan, ternyata relatif sukses membangun
demokrasi. Di Mali tidak ada partai politik yang dibangun atas nama
Islam.
hal menarik di Bangladesh dan Mali adalah bukan saja karena mereka telah
membantah argumen pengaruh tingkat pembangunan sosial-ekonomi terhadap
demokrasi, tapi juga mereka memberikan isyarat bahwa demokrasi dapat
muncul dari bagian “pingiran” kebuadayaan Islam. Dari pengamatan terhadap
dua negara tersebut, memperkuat dugaan bahwa Islam sebagai kultur politik
tidak sejalan dengan demokrasi.
Di negara-negara muslim pada umumnya ada gerakan yang menyuarakan bahwa
Islam mengandung nilai-nilai positif bagi demokrasi, namun gerakan
pemikiran ini masih belum kuat dibanding pemikiran dan kelembagaan Islam
yang tidak mencerminkan demokrasi.
Dalam kaitan ini ada pertanyaan yang patut direnungkan, adakah sesuatu
yang "salah" di negara-negara Muslim, sehingga proses pemantapan
demokrasi dan kebebasan di sana terus tersendat? Kalaupun demokrasi mulai
berkembang, yang muncul kemudian adalah radikalisme dalam segala
bentuknya, terutama agama. Indeks yang ditunjukkan Freedom House bisa
menjadi satu indikasi bahwa demokrasi di negara-negara Islam masih
mempunyai masalah yang besar.
Mengapa demikian? Dalam kaitan ini ada penjelasan yang baik dari Samuel P
Huntington (1991). Di samping faktor ekonomi dan politik, faktor budaya
dan tradisi menjadi penghalang paling penting tumbuhnya demokrasi di
suatu negara. Budaya dan tradisi masyarakat --menyangkut sikap, nilai,
kepercayaan dan pola perilaku-- akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan demokrasi. Suatu budaya masyarakat yang tidak demokratis,
baik yang berasal dari kultur maupun pemahaman agama, akan menghambat
penyebaran norma-norma demokratis dalam masyarakat, tidak memberi
legitimasi pada lembaga-lembaga demokrasi, sehingga menghalangi fungsifungsi demokrasi secara baik.
Berkaitan dengan budaya ini, paling tidak ada dua versi. Pertama, versi
restriktif, yang menyatakan bahwa hanya budaya Barat yang cocok untuk
persemaian demokrasi. Negara-negara yang berbudaya non-Barat tidak akan
mampu melaksanakan demokrasi secara baik. Argumentasi ini muncul karena
kenyataan bahwa demokrasi modern bermula dari Barat, karenanya sejak awal
abad ke-19, negeri demokratis terbesar adalah negeri-negeri Barat. Kedua,
versi kurang restriktif yang menyatakan bahwa tidak hanya satu budaya
yang secara khusus dapat menopang demokrasi. Kebudayaan Konfusianisme dan
Islam yang hidup di Timur tidak menutup kemungkinan dapat dijadikan lahan
persemaian demokrasi. Konfusianisme yang pernah dianggap anti-demokrasi
dan tidak akan berhasil dalam pembangunan yang kapitalis, namun ternyata
menjelang dasawarsa 1980 Konfusinisme mampu mendorong demokrasi dan
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di masyarakat Asia Timur. Ajaran
Katolik, dibanding Protestan, juga pernah dituduh sebagai penghalang
demokrasi dan ekonomi. Namun pada 1960-an dan 70-an negeri-negeri Katolik
menjadi demokratis dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi daripada negeri-negeri Protestan.
Melihat kenyataan tersebut, sejauh dikaitkan dengan ajaran dan tradisi
agama, maka demokrasi tidak bisa dinilai secara hitam-putih, "sesuai" dan
"tidak sesuai". Budaya dan tradisi sebagai wadah gagasan, kepercayaan,
doktrin, asumsi, pola perilaku dan sebagainya, mempunyai unsur-unsur yang
sangat kompleks, karenanya di dalam tradisi dan ajaran itu terdapat
unsur-unsur yang "sesuai" dan "tidak sesuai" dengan demokrasi sekaligus.
Di samping itu, budaya yang kemudian melahirkan tradisi bukanlah sesuatu
yang sudah selesai, tapi selalu dalam proses berubah. Oleh karena itu,
sebuah tradisi yang semula diklaim menjadi penghalang demokrasi, pada
generasi berikutnya bisa berubah menjadi sebaliknya. Spanyol barangkali
contoh yang baik mengenai hal ini. Pada 1950-an budaya Spanyol dilukiskan
bersifat tradisional, otoriter, hierarkis dan sangat religius. Namun pada
dasawarsa 1970-an sifat-sifat tersebut tidak punya tempat lagi di
Spanyol. Karenanya, budaya senantiasa mengalami evolusi dan faktor yang
sangat mempengaruhi adalah perkembangan ekonomi. Dengan penjelasan ini
jelas bahwa faktor budaya dan tradisi tidak dapat dijadikan sebagai
argumentasi permanen untuk menilai tingkat demokrasi suatu negara.
Di samping karena faktor demokrasi yang memberi peluang kebebasan
mengekspresikan ide, gagasan dan gerakan, munculnya gerakan radikalisme
agama bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, kekecewaan terhadap sistem
demokrasi yang dinilai sekuler, dimana agama tidak diberi tempat di dalam
negara. Agama adalah urusan privat yang tidak boleh dicampuri oleh
siapapun, sedang negara urusan publik. Ajaran demokrasi yang menempatkan
suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei) dianggap telah
mensubordinasi Tuhan. Oleh karena itu, gerakan radikalisme agama biasanya
mengambil bentuk pada perjuangan mendirikan negara Islam, negara teokrasi
atau teo-demokrasi dalam istilah al-Maududi. Meskipun kelompok radikal
kecewa terhadap sistem demokrasi, namun mereka memanfaatkan momentum
demokrasi itu memperjuangkan aspirasi politiknya.
Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan oleh
ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara
religius. Dalam konteks Islam, radikalisme agama jenis ini biasanya
mengambil bentuk pada Islamisasi sistem sosial dan masyarakat dengan
melakukan kontrol yang ketat terhadap aktifitas sosial yang dianggap
maksiat, melanggar agama. Radikalisme jenis ini bisa diekspresikan dalam
bentuk perusakan terhadap tempat-tempat maksiat, pelacuran, perjuadian
dan sebagainya.
Ketiga, ketidakadilan politik. Radikalisme agama juga bisa muncul sebagai
ekspresi perlawanan terhadap sistem politik yang menindas dan tidak adil.
Suatu kelompok yang terus menerus ditindas dan diperlakukan tidak adil,
maka akan muncul solidaritas internal serta militansi untuk tetap
survive. Radikalisme jenis ini biasanya mengambil bentuk pada oposisi
atas nama agama terhadap pemerintah.
Dari ketiga hal tersebut, radikalisme agama yang muncul di Indonesia
merupakan variasi dan percampuran dari model-model di atas. Dalam sebuah
negara demokrasi, radikalisme agama, asal tidak melakukan anarkhisme
sosial, harus tetap diberi ruang untuk berekspresi. Oleh karena itu,
tugas negara bukan bagaimana membungkam radikalisme tersebut, tapi
menyalurkannya melalui institusionalisasi politik secara baik. Dengan
demikian, radikalisme agama akan tetap terkontrol dalam bingkai
demokrasi.
Menurut Bernard Lewis (Liddle dan Mujani, 2000), kata ‘civic’ dan
‘citizen’ dalam pengertian ‘warga negara’ atau ‘individu’ tidak dikenal
dalam bahasa politik Islam. Yang dimaksudkan adalah individu yang otonom
dan bebas untuk mebentuk asosiasi-asosiasi yang bersandar pada prinsip
kesetaraan dan untuk ikut menentukan pengambilan keputusan menyangkut
kepentingan publik speeti dipahami dalam bahasa politik Yunani ataupun
Barat modern. Ketika pemahaman politik Yunani diperkenalkan ke Islam,
para ulama dan elit politik tidak memperhatikan konsep Yunani “polities”
yang berarti “warga negara” tersebut. Yang mereka perhatikan adalah
konsep “polis”, “negara kota”, yang diterjemahkan menjadi “madina”.
Sementara kata “madani” yang kadang-kadang digunakan sebagai padanan kata
“polities” lebih biasa diartikan sebagai “negarawan”, bukan warga negara.
Dalam bahasa politik Islam, dikenal istilah ra’iyya yang artinya
“rakyat”, bukan warga negara yang otonom dari pengaruh kekuasaan,
melainkan “kumpulan orang yang dituntun dan dilindungi oleh penguasa”.
Dalam politik Islam juga dikenal istilah tab’i yang bebarti mengikuti,
yakni rakyat yang dipersepsikan sebagai pengikut penguasa. Lewis juga
menunjuk pada perilaku “ketundukan” dan “ketergantungan” terhadap
penguasa. Hal itu semua mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam tradisi
Islam yang panjang. Nilai-nilai tersebut merupakan akar kultural dari
pola-pola hubungan sosial-keagamaan dan hubungan antara rakyat dan
penguasa yang mencerminkan kultur politik klientelistik dam klerikal yang
hirarkis/vertikal.
Klerikalisme dalam dunia Islam dapat dikenali terutama lewat ulama
sebagai lembaga sosial keagamaan dalam komunitas muslim, dimana ulama
merupakan otoritas keagamaan. Sakralitas imam di kelompok Syi’ah sangat
tinggi, sedangkan di kelompok Sunni tidak sesakral syi’ah.
Pengalaman Indonesia sebagian menunjukan kuatnya Islam sebagai kultur
politik terhadap kegagalan transisi demokrasi pada tahun 1950-an. Pada
masa itu identitas Islam dipahami sebagai identitas politik.
Prof John O Voll (Rumadi, 2002), guru besar sejarah di Georgetown
University AS, mempunyai kesimpulan menarik mengenai relasi Islam,
demokrasi, dan terorisme. Menurutnya, hubungan antara demokrasi dan
terorisme di negara-negara muslim menampakkan wajah paradoks. Di satu
sisi, tidak adanya demokrasi di negara-negara muslim dapat memunculkan
terorisme, namun adanya demokrasi juga dapat melahirkan terorisme.
Meskipun diakui bahwa terorisme tidak khas Islam, artinya bisa juga
dilakukan siapa saja di luar muslim, namun asumsi yang mengatakan bahwa
proses demokratisasi dapat menghilangkan radikalisme agama seperti
terorisme, tidak berlaku di negara-negara muslim, karena proses
demokratisasi di negara-negara muslim tidak otomatis menghilangkan
terorisme (Kompas, 15/1/02).
Tesis John O Voll tersebut tentu saja didasari oleh observasi yang
mendalam mengenai perkembangan demokrasi di berbagai negara muslim serta
efek-efek sampingan yang ditimbulkannya, sehingga kesimpulan tersebut
memang banyak benarnya. Bahkan, proses demokratisasi bukan saja tidak
secara otomatis menghilangkan terorisme, tapi justru dijadikan inspirasi
bangkitnya radikalisme agama. Di beberapa negara muslim, gerakan-gerakan
radikal keagamaan justru lahir pada saat proses demokratisasi sedang
digelar. Indonesia barangkali bisa dijadikan contoh yang baik mengenai
hal ini. Gerakan-gerakan agama radikal di Indonesia justru lahir di saat
proses demokratisasi sedang berjalan. Otonomi daerah sebagai refleksi
dari tuntutan demokrasi misalnya, justru ditandai dengan bangkitnya
literalisme-radikalisme agama seperti kehendak untuk menerapkan "syariat
Islam". Di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Aceh, Makassar dan
Cianjur sudah disusun sejumlah Peraturan Daerah (Perda) untuk menerapkan
syari'at Islam. Munculnya ormas-ormas Islam radikal dalam skala massif
sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) juga terjadi ketika
arus demokratisasi mulai digulirkan sejak Mei 1998, meskipun bibitbibitnya sudah muncul jauh sebelum itu.
Bagaimana hal ini dijelaskan? Demokrasi yang seharusnya menjadikan
tatanan masyarakat semakin cair, egaliter dan inklusif, tapi yang terjadi
justru sebaliknya. Demokrasi di Indonesia justru semakin mengentalkan
identitas kesukuan, keagamaan, perbedaan agama menjadi sedemikian
dieksploitasi, yang kemudian memberi peluang lahirnya eksklusifisme
beragama. Kenyataan ini tentu saja tidak dikehendaki oleh proses
demokrasi itu sendiri, tapi kemunculannya tidak dapat ditolak, persis
seperti "anak jadah" yang kelahirannya tidak dikehendaki tapi juga tidak
mungkin dicegah. Bahkan, membunuh "anak jadah" itu dapat dikatakan
sebagai perbuatan kriminal. Artinya, menghambat sebuah aliran pemikiran
tertentu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
semangat demokrasi. "Anak jadah" demokrasi berupa radikalisme agama
tersebut pada tingkat tertentu justru menjadi ancaman bagi demokrasi.
Demokrasi yang melindungi kebebasan berbicara, berpikir dan mengemukakan
pendapat (freedom to speech, and expression) tidak mungkin menghalanghalangi aspirasi masyarakat, apapun bentuknya. Senang atau tidak,
demokrasi tidak mungkin membungkam pemikiran-pemikiran tertentu meskipun
pemikiran tersebut bertentangan dengan nilai demokrasi, karena
pembungkaman itu bertentangan dengan makna demokrasi itu sendiri. Negaranegara yang sudah dewasa dalam berdemokrasi menunjukkan bahwa variasi
ideologi dan pemikiran tetap dilindungi oleh negara. Namun justru di
sinilah problemnya, karena dalam demokrasi ada kebebasan dan penghormatan
atas pluralitas, maka demokrasi kelihatan begitu "loyo" untuk menghadapi
radikalisme agama. Mekanisme demokrasi tidak bisa berbuat lain kecuali
membiarkannya untuk berkompetisi dengan gagasan dan ide-ide lain.
Atas dasar itu tidak mengherankan jika bangkitnya radikalisme agama
seringkali dibungkus dengan baju demokrasi, sesuatu yang sebenarnya
paradoks dengan semangat demokrasi. Perjuangan menegakkan syariat Islam
di beberapa daerah, semangat menghidupkan kembali Piagam Jakarta
misalnya, muncul atas nama demokrasi dan kebebasan. Barangkali inilah
keterbatasan dari demokrasi yang tidak mampu mengeluarkan aspek-aspek
yang dapat mengurangi kewibawaannya. Demokrasi bisa dimakan oleh
kebebasan yang dibawanya, sehingga dengan demokrasi tidak menutup
kemungkinan sebuah bangsa justru terjatuh pada otoritarianisme baru. Hal
ini jelas sangat berbahaya, karena otoritarianisme baru berbaju
demokrasi.
Hasil studi komparatif di Iran, Sudan, Pakistan, malaysia, Aljazair, dan
Mesir yang dilakukan oleh John L. Esposito dan John O. Voll (1996).
Menurut penelitan mereka, kebangkitan Islam dan demokrasi di dunia muslim
berlangsung dalam konteks global yang dinamis, dimana terjadi proses
menguatnya identitas komunal dan tuntutan partisipasi rakyat muncul dalam
lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin memperkuat
hubungan global, sementara pada saat yang sama identitas lokal masih
sangat kuat. Dari berbagai pemikir Muslim, disimpulkan bahwa proses
global kebangkitan agama dan demokratisasi di dunia Muslim, benar-benar
saling mengisi. Kedua proses itu akan bertentangan jika “demokrasi”
diidentifikasikan secara sanagt terbatas dan dipandang hanya mungkin jika
pranata-pranata khas Eropa Barat atau Amerika diterapkan, atau jika
prinsip-prinsip utama Islam didefinisikan secara tradisional dan kaku
(Elposito & Voll, 1996:25).
Dengan kata lain proses demokratisasi tidak seyogyanya selalu diukur dari
kriteria demokrasi barat, tetapi seyogyanya dilihat secara kontekstula,
karena demokrasi sendiri tidak berkembang dalam situasi yang secara
sosial kultiral vakum.
Memang diakui (Elposito dan Voll, 1996:28-29) bahwa kaum Muslim sepakat
menempatkan tauhid sebagi inti dari keimanan, tradisi, dan praktek
kehidupan Islam. Namun, demikian bukan berarti Islam menolak demokrasi
yang intinya adalah kedaulatan rakyat, karena ada perintah dalam Islam
untuk menaati Allah, rasul dan pemerintah. Selain itu, dalm Islam dikenal
konsep-konsep khilafah sebagai bentuk kepemimpinan politik masyarakatnya,
syura sebagai tadisi musyawarah, ijma sebagai bentuk konsep persetujuan
dan ijtihad sebagai bentuk penafsiran mandiri.
Hasil studi komperatif yang dilakukan ditemukan adanya keanekaragaman
pemahaman hubungan demokrasi dan Islam di berrbagai negara sampel. Namun
demikian disimpulkan bahwa bagaimanapun keanekaragaman pemahaman dan
penggunakan konsep demokrasi itu, tuntutan akan demopkratisasi,
partisipasi politik, dan demokrasi Islam menunjukan diterimanya demokrasi
di banyak masyarakat muslim kontemporter. Sementara sebagian lainnnya
tetap yakin bahwa demokrasi itu tidak Islami atau anti Islam.
Demokrasi dan Ideologi Toleransi
Pemahaman demokrasi bisa dibedakan atas pendekatan normatif dan
pendekatan empiris. Pendekatan normatif berkaitan dengan demokrasi
sebagai tujuan atau sebenarnya persoalan sekitar, bagaimana demokrasi
yang seharusnya ataupun sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau
diselenggarakan oleh sebuah Negara (Affan Gafar, 1999:3) Sementara
pendekatan empiric terkait dengan system politik dan karenanya baik oleh
Gaffar (1999:3) maupun James Ferguson (2002) disebut sebagai “procedural
democracy”. Karena terkait dengan Sistem Politik, maka Demokrasi
dikaitkan dengan soal Perwakilan Langsung (Cynthia Farrar, 1988). Tetapi
tidak jarang dikaitkan juga model lain yang dikenal dengan Perwakilan
Demokratis (Watson, Patrick & Barber, Benyamin, 1990). Kalangan Ilmuwan
Politik kemudian secara empirik dengan mengamati praktek Demokrasi
merumuskan demokrasi dengan beberapa indicator seperti misalnya Larry
Diamond (Watson, Patrick & Barber, Benyamin, 1990:10) yang mengetengahkan
Demokrasi dengan 3 ciri: Pertama – persaingan ekstensif untuk menduduki
posisi politis Negara melalui Pemilu yang teratur, bebas dan adil, kedua
– Partisipasi politik menyeluruh dan ketiga – kebebasan pers, berserikat
dan ditegakkannya hukum. Sementara Bingham Powell (1982:3) menyebut
kriteria sebagai berikut:
The legitimacy of the government rests on a claim to represent the desire
of its citizen.
The organized arrangement that regulates this bargain of legitimacy is
the competitive political election
Most adults can participate in the electoral process both as voters and
as candidate
Citizens votes are secret and not coerced;
Citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and
organizations
Berbeda dengan Powell, Dahl (1989:233) sendiri mengajukan 7 indikator
yang bisa diringkaskan sebagai berikut:
Kontrol atas keputusan pemerintah,
Pergantian elite atau pemimpin melalui Pemilu yang bebas, adil dan jujur
dan secara regular,
Semua orang dewasa memiliki hak suara,
Semua orang dewasa mempunyai hak untuk menjadi kandidat dipilih,
Adanya hak berekspresi, termasuk mengritik pemerintah,
Termasuk juga akses ke sumber informasi alternative,
Juga hak berkumpul dan berorganisasi dan masuk partai politik untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi termasuk
indikator-indikatornya, maka setidaknya yang dimaksudkan dengan demokrasi
adalah: Pertama, adanya Pemilihan Umum yang regular, jujur dan adil yang
memungkinkan pergantian elite dan pemerintahan dengan semua orang dewasa
berhak memilih dan dipilih. Kedua, adanya pertanggungjawaban pemerintah
terhadap kekuasaan yang dimilikinya kepada masyarakat. Ketiga, adanya
kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintahan yang diekspresikan dalam
bentuk memilih kembali atau menolak pemerintahan yang ada dalam Pemilu
kemudian. Keempat, adanya kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul
dan akses informasi yang bebas.
Pada saat sekarang, hampir semua negara di dunia mengkalim sebagai
penganut paham demokrasi. Istilah demokrasi sampai saat sekarang
ditujukan terhadap sistem pemerintahan yang ideal. Istilah demokrasi
muncul sejak zaman Yunani kuno dalam kata demos dan cratos, atau demos
dan kratien. Demokrasi dibayangkan sebagai pemerintahan oleh semua orang
yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang
(otokrasi). Penerapan demokrasi di setiap negara berbeda-beda. Bahkan,
setiap negara menerapkan definisi dan penerapan demokrasi dengan cara
masing-masing sesuai kriterianya sendiri. Sehingga tidak heran, negara
RRC dan Kuba yang merupakan negara komunis pun mengaku dirinya sebagai
negara demokrasi.
Demokrasi di Indonesia pun demikian, sejak era Sukarno (gonta ganti
demokrasi) sampai Suharto (Demokrasi Pancasila) Seiring dengan tumbangnya
Suharto, perdebatan mengenai masa depan politik Indonesia mulai
mengemuka. Sebagai pengingat, sekitar tahun 1990an orang Indonesia
memperdebatkan mengenai seperti apa Negara Indonesia dan sistem
perpolitikannya. Hal tersebut menyangkut legitimasi pemerintahan Suharto,
hubungan antara Islam dengan Negara, peran serta abri dalam politik,
kehidupan berdemokrasi, transisi pasca pemerintahan Suharto, dan
pembangunan ekonomi.
Perdebatan itu sebetulnya berangkat dari ideologi nasional Indonesia
yaitu Pancasila. Secara singkat, Pancasila terdiri dari lima sila
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, ketuhanan yang maha esa,
kemanusian dan keadilan, persatuan kebangsaan, demokrasi Indonesia yang
didasarkan pada perwakilan dan musyawarah, dan keadilan soaial.
Banyak orang-orang di luar Indonesia menganggap ideologi nasional itu
tidak nyata dan memerlukan pengkajian mendalam, tapi hal tersebut tidak
benar. Karena Pancasila itu menyentuh semua aspek kehidupan politik.
Pancasila meligitimasi bahwa perilaku berpolitik itu tidak hanya
pemerintah, tetapi juga pihak-pihak yang bersebarangan.
Debat politik sering terjadi dikarenakan Pancasila itu memang
memungkinkan untuk diperdebatkan. Hingga pada akhirnya akan terungkap
politik Indonesia, militer, agama (khususnya Islam), dan para pemimpin
intelektual.
Semenjak Pancasila ditetapkan sebagai ideologi yang formal, maka sejak
sat itu juga menjadikannya bahan yang tidak terpisakan untuk
diperdebatkan. Pada 1 Juni 1945 adalah hari kelahiran Pancasila,
sebagimana disampaikan oleh Sukarno presiden RI pertama (1945-1966).
Tujuan awal Pancasila adalah menciptakan kesamaan cita-cita untuk
memperoleh kemerdekaan, persatuan, dan terlepas dari penjajahan Belanda.
Disini Sukarno menggambarkan sebuah negara yang tidak membede-bedakan
agama, suku dan bangsa. Usulan untuk mendeklarasikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia jelas mendapat tantangan keras dari kalangan pemimpin
sekuler, untuk itulah Pancasila didesain sebagai pernyataan yang
universal yang bisa diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Nilai sosial
yang terpenting dari Pancasila adalah toleransi, khsususnya dalam maslaah
keagamaan. Pancasila mengakomodasi kepentingan dari golongan nasionalis
sekuler baik muslim maupun non muslim bahwa negara tidak akan
memprioritaskan Islam melampaui negara lain, itulah yang menyebabkan
Indonesia bukan negara agama meskipun terdapat banyak agama. Pemerintah
akan menghormati setiap perbedaan dalam beragama.
Untuk beberapa orang Indonesia, toleransi Pancasila digambarkan dengan
apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang Indonesia, sebagai contoh
YB. Mangunwijaya seorang aktifis kemanusian dan pendeta mengemukakan
bahwa semua bangsa memiliki “batas”, dan inilah yang terjadi di Indonesia
bahwa Islam maupun komunis tidak akan bisa diterima.Mangunwijaya
mengatakan bahwa Pancasila menggariskan batasan ini dengan menjamin
toleransi perbedaan beragama dan kesukuan.
Orang-orang Indonesia menjadikannya jelas, bahwa pemerintah tidak
memonopoli Pancasila. Idoelogi Pancasila merupakan isu-isu yang dibahas
dalam setiap perdebatan politik dan cara memandang Pancasila itu sendiri.
Ideologi ini juga menentang golongan-golongan yang “anti Pancasila”.
Tidak lupa disebutkan juga bahwa pemimpin-pemimpin muslim, nasionalis
sekuler, dan anggota angkatan bersenjata mendukung pemerintah Suharto
dalam mengamalkan Pancasila sebagai satu-satunya sumber ideologi.
Pada tahun 1985, pemerintahan Suharto mengkodifikasikannya perundanganundangan yang mengharuskan semua organisasi sosial, keagaman, dan politik
berasaskan Pancasila, itulah yang disebut asas tunggal. Sebelumnya hal
tersebut mengundang banyak perdebatan. Banyak organisasi terutama
kelompok keagamaan teakut dengan mengadopsi Pancasila sebagai asas
tunggal akan mempengaruhi/menganggu integritas organisasi, kebebasan, dan
tujuan awal organisasi mereka dengan ideoligi negara sekuler.
Ketua NU Abdurahman Wahid, seorang cendekiawan dan aktifis muslim
bergabung dengan ICMI, ABRI, dan para nasionalis lainnya mulai
mempersiapkan langkah-langkah politik. NU yang waktu itu diketuai oleh
Abdurahman Wahid langsung menirima secara mutlak keputusan asas tunggal,
dan NU termasuk organisasi islam petama yang menerima pancasila sebagai
asas tunggal. Penerimaan NU terhadap pancasila tidak lepas dari latar
belakang dan “asas” NU yang moderat dan senantiasa mengedepankan
toleransi.
Dari berbagai pemikiran ulama sunni, pandangan NU mengenai wawasan
kebangsaan dan kenegaraan diformulasikan dalam ketetapan Jam’iyah yang
tertuang dalam Hasil-hasil Muktamar ke 29 yang diterbitkan oleh PBNU
tahun 1996 (Hakim, 2004:58), antara lain :
NU menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara – dimana sekelompok
orang yang karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki
kesamaan kemudian mengikatkan diri dalam suatu sistem dan tatanan
kehidupan – merupakan realitas kehidupan yang diyakini merupakan bagian
dari kecenderungan dan kebutuhan fitri dan manusiawi. Kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah perwujudan universalitas Islam yang akan menjadi
sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanat-Nya
sejalan dengan tabi’at atau budaya yang dimiliki bangsa dan wilayah itu.
Kehidupan berbangsa dan bernegara seyogyanya merupakan langkah menuju
perkembangan tanggung jawab kekhalifahan yang lebih besar, yang
menyangkut kehidupan bersama seluruh manusia dalam rangka melaksanakan
amanat Allah, mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia lahir dan
batin di dunia dan akhirat.
Dalam pandangan ahlussunnah wal jamaah, bentuk negara dan bentuk
pemerintahan tidak harus Islam, dalam arti Islam tidak perlu dilembagakan
dalam bentuk ketatanegaraan. Sehingga bisa saja bentuk pemerintahan
demokrasi, monarki, teokrasi dan sebagainya. Pendapat yang menegaskan hal
tersebut dikemukakan oleh KH. Hasyim Asy’ari (Hakim, 2004:59):
Bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan. Ketika Nabi Muhammad SAW
meninggal dunia, Beliau tidak meninggalkan pesan apapun mengenai
bagaimana memilih kepala negara..Jadi pemilihan kepala negara dan banyak
lagi mengenai ketatanegaraan tidak ditentukan dan (ummat Islam) dapat
dilaksanakan tidak terikat untuk mengikuti suatu sistem. Semua (sistem)
dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam pada setiap tempat.
Walaupun bentuk negara tidak harus Islam, akan tetapi dalam pandangan
ahslussunnah wal jamaah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dibangun atas dasar beberapa prinsip yang mau tidak mau harus ada, yakni
prinsip ketuhanan, kedaulatan/hurriyah (kemerdekaan dan kebebasan),
keadilan/adl, persamaan/al-masawah dan musawarah/shura.
Abdurahman Wahid dan NU, ICMI, ABRI dan nasionalis sekuler saling
berhubugan satu sama lainnya dalam politik nasional. Mereka juga
dipengaruhi oleh tradisi Islamisasi Indonesia, pemikiran mengenai
demokrasi, percepatan pembangunan yang beralih dari agraris menjadi
industri, dan pembangunan internasional.
Pada tanggal 1 Maret 1992 di depan 200.000 pendukung NU, bertempat di
Istora Senayan Jakarta, merayakan hari jadinya yang ke 66. Pesan yang
disampaikan oleh NU adalah bahwa NU akan selalu setia pada Pancasila,
beserta alasan-alasannya. Jadi, kalau menurut NU hal ini menunjukan
ideologi bernegara, bukan Islam.
Dalam pertemuan tersebut juga, ketua NU Abdurahman Wahid menyatakan bahwa
dia menganggap Pancasila merupakan wahana terbaik untuk meligitimasi
tindakan politik organisasinya. Dia juga menekankan bahwa dengan setia
pada Pancasila, hal tersebut menunjukan semangat nasionalis NU. Dan dia
juga mengemukakan komitmennya pada negara demokratis sekuler.
Letnan Jenderal Harsudiono Hartas (Kasospol ABRI) pernah memberikan
contoh perbandingan tentang pengalaman Pancasila. Menurutnya, ICMI kurang
menggunakan Pancasila dan lebih memprioritaskan politik Islam melebihih
kepentingan nasional. Dia juga menambahkan bahwa aktifis hak asasi dan
demokrasi melindungi gagasan-gagasannya sebagimana halnya Indonesia yang
menggunakan Pancasila sebagai ideologinya.
Saat reformasi sekarang ini cita-citanya adalah sebuah masyarakat sipil
demokratis, ditegakannya hukum, pemerintah yang bersih dari KKN,
keteraturan sosial, rasa aman, menjamin kelancaran produktivitas warga
masyarakat dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan Rakyat Indonesia.
Hasil reformasi ini adalah masyarakat Indonesia yang
bercorak majemuk (Plural Society) berisikan potensi kekuatan primordial
yang otoriter-militeristik, harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman
kebudayaan atau ideologi multikulturalisme.
Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam
kesetaraan derajat, demokratis dan toleransi sejati. Dengan sendirinya,
di dalam masyarakat majemuk belum tentu dapat dinyatakan masyarakat
multikultural, karena di dalamnya terdapat hubungan antarkekuatan
masyarakat varian budaya yang tidak simetris yang selalu hadir dalam
bentuk dominasi, hegemoni dan kontestasi.
Di antara prinsip mendasar dari demokrasi yang patut dikembangkan di
Indonesia adalah kesetaraan derajat individu, kebebasan, toleransi
terhadap perbedaan, konflik dan konsensus, hukum yang adil dan beradab
serta perikemanusiaan.
Demokratisasi memiliki nilai tambah terhadap semua aspek kehidupan. Ini
terlihat ketika demokratisasi sudah menghadirkan sejumlah contoh tentang
keberhasilan, sehingga bangsa kita pun mengadopsi sistem nilai yang satu
ini.
Namun, proses mengimplementasikan demokratisasi terhadap semua aspek
kehidupan harus juga memperhatikan sistem nilai lain yang sebelumnya
telah menjadi landasan bagi dinamika kehidupan masyarakat, budaya serta
kondisi riil bangsa dan masyarakatnya. Tanpa pertimbangan dan toleransi,
proses demokratisasi akan menimbulkan benturan, pergeseran prioritas yang
dipaksakan, serta dinamika kontraproduktif yang "dipaksakan" mengemuka,
semata-mata untuk menggambarkan sedang berlangsungnya proses
demokratisasi itu sendiri. Semua ekses ini, jika tidak segera
dikendalikan, akan memerangkap masyarakat. Masyarakat akan dipaksa untuk
kenyang dan enjoy dengan wacana demokratisasi, sementara penanganan atau
pembangunan aspek kehidupan lainnya dinomorsekiankan, atau bahkan tidak
diurus sebagaimana mestinya.
Demokrasi bukan saja siap menghadapi perbedaan, karena demokrasi justru
memerlukan adanya aspirasi dan kepentingan yang saling berbeda untuk
dirujukkan, sehingga berkembang menjadi aspirasi dan kepentingan yang
semakin berkualitas. Demokrasi juga tidak perlu menutup diri dari
pertentangan, karena pertentangan justru merupakan dinamika dalam
dialektika perbedaan. Dengan demikian, jika pluralitas dipandang sebagai
sumber dari perbedaan dan pertentangan, maka pluralitas itulah yang
justru dicari dan dibutuhkan untuk dijadikan sebagai bahan baku
demokrasi. Jika perbedaan dan pertentangan di suatu daerah
meledak
menjadi
konflik
fisik,
hal
ini
merupakan petunjuk belum
beradabnya pranata dan mekanisme demokrasi untuk menampung partisipasi
politik masyarakat yang plural tersebut.
Sayangnya pranata dan mekanisme demokratis yang beradab (civilized) tidak
dapat berjalan sendiri, apalagi harus menjadi lokomotif untuk menarik
gerbong budaya, sosial, politik dan ekonomi. Di sini demokrasi bukan
sekedar sebagai gejala politik melainkan gejala keberadaban seluruh aspek
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara secara komprehensif dan holistik.
Isu demokrasi di bidang budaya menunjuk pada kefaktaan sistem.
Kepercayaan, sistem nilai dan motivasi, adat istiadat dan ekspresi
estetik yang bersifat khas, unik dan hanya sama persis dengan dirinya
sendiri yang dapat disandingkan, namun tidak perlu dikawinkan, karena
tidak mungkin dengan gejala budaya yang lain. Isu demokrasi di level
sosial adalah upaya untuk menciptakan wahana pergaulan dan hubungan
interaktif antar kelompok masyarakat yang mengacu pada pemenuhan
kepentingan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Dibidang politik,
demokrasi mencoba menganalisasi aspirasi masyarakat sesuai dengan level
partisipasinya terhadap kekuasaan, pengambilan keputusan, dukungan massa,
yang diperjuangkan melalui lembaga-lembaga agregasi politik, baik
partisan maupun non partisan. Sedangkan isu demokrasi dibidang ekonomi
secara khusus terkait dengan pemerataan aksessibilitas seluruh lapisan
masyarakat terhadap sumber ekonomi, faktor produksi dan kesempatan
ekonomi yang bukan tak terbatas tersebut. Pada akhirnya isu kunci
demokrasi adalah keadilan bersama (justice) dan pemerataan untuk semua
(equality), yang meletakkan musyawarah dan mufakat sekedar sebagai cara
dan pendekatan serta upaya pembangunan sebagai lead sector perjuangan
demokrasi.
Salah terima yang telah menjadi kaprah, pada tahap awal proses
demokratisasi adalah diketengahkannya praktek-praktek formal yang lazim
berkembang dalam masyarakat dan negara demokrasi yang telah maju dan
matured, misalnya melalui lembaga agregasi politik partisan dan non
partisan dengan mengedepankan atau tepatnya berpaling dalam cara
musyawarah untuk mufakat. Namun tetap saja demokrasi bukanlah upacara
kebersamaan dan keterbukaan, sehingga di sektor ini kita belum dapat
berharap banyak, bahkan harus siap tertimpa implikasi dari praktek
demokrasi yang belum dewasa. Proses demokratisasi adalah proses
pembangunan disegala bidang yang meletakkan equality and justice sebagai
parameter utama. Dalam proses ini derajat pluralitas masyarakat hanyalah
merupakan antecedent variable yang hanya terkait dengan derajat kesulitan
pembangunan, bukan independent variable yang membatasi pembangunan. Ini
berarti, semakin tinggi derajat pluralitas masyarakat, maka kebutuhan
adanya pemerintah yang kuat (strong government) agar mampu menjalankan
pembangunan semakin tinggi.
Pustaka Rujukan
Almond, Gabriel A., 1980, The Civic Culture Revisited, Canada: Little
Brown and Company Ltd.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
Jakarta: Konstitusi Press.
Chilcote, Ronald H, 1994, Theories of Comparative Politics, Colorado:
Westview Press, Inc.
DelMcLemore, 1980, Racial and Ethnic Relations in America, Massachussets:
Allyn and Bacon, Inc.
Feith, Herbert dan Lance Castles (1970), Indonesian Political Thinking
1945-1965, Ithaca: Cornell University Press.
Feith, Herbert, 1962, The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press.
Gudykunst, William, 1992, Communicating With Strangers: An Approach to
Intercultural Communication, McGraw Hill, Inc.
Heywoo, Andrew, 2002, Politics, New York: Palgrave.
Kahin, George, 1970, Nationalism and Revolusion in Indonesia, Ithaca,
Cornell University Press.
Liddle, William dan Saiful Mujani, 2000, “Islam, Kultur Politik, dan
Demokratisasi” dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta: The Habibie
Center.
Milner, Henry, 2002, Civic Literacy: How Informed Citizens Makes
Democracy Work, Hanover: University Press of New England.
Siradj, Said Aqiel, 1999, Islam Kebangsaan: Fikih Demokratik Kaum Santri,
Jakarta: Fatma Press.
Verba, Sidney, eds, 1978, Participation and Political Equality, Sidney:
Cambridge University Press.
PAGE
PAGE
48
Manusia Politik = p]d]r}
Elitis
Sekuler
Islamis
Populis
Gerakan Keagamaan, Pemikiran, Pendidikan Kebangsaan
Nahdlatul Ulama
MIAI
Partai NU
Liga Muslim Indonesia
Partai NU (18,4%)
Partai NU (18,7%)
Kelompok Persatuan Pembangunan
PPP
Nahdlatul Ulama
1916
31 Jan 1926
21 Sep 1937
Oktober 1943
8 April 1952
Muhammadiyah
Masyumi
Muktamar Palembang 28/4-1/5 1982
Agustus 1952
Pemilu 1955
Pemilu 1971
Pra Fusi
13 Maret 1970
Fusi Partai 10 Januari 1973
1984
Kembali ke Khittah 1926
PKI
Elitis
Sekuler
Populis
Islamis
PNI
Masyumi
NU
Western Influence
Hindu-Javanese
Islamic
Tradition
PNI
Radical Nationalism
Javanese
Traditionalism
Democratic
Masyumi
NU
PKI
Communism
Socialism
1
2
3
4
L
<
K
O
P
T
4
6
H
g
ðÚÇÚº¬š‰w‰`‰w‰N:
& h"Vh hÉl• 5 •6 •OJ
QJ ^J mH! sH! # h"Vh hÉl• 5 •OJ QJ ^J mH! sH! , j
h"Vh h½g« O
J QJ U ^J mH nH u
# h"Vh h½g« 6 •OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h½g« OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h½g« 5 •OJ QJ ^J mH! sH!
h"
Vh h
b; 5 •OJ QJ ^J
h"Vh h±#µ OJ QJ ^J
% h“,‹ 5 •CJ OJ QJ ^J aJ
mH! sH! + h"Vh hÂM• 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! - h"Vh hÂM• 5 •6 •O
J QJ ^J
2
5
6
h
•
H
I
÷
3
4
L
N
÷
Í
À
&
F
´
„Ð ^„Ð a$ gd˜MŽ
¤ð a$ gd
Q
õ
R
S
í
Í
Í
$
$
O
Í
Í
´
4
Ù
Í
Í
T
Í
Í
Í
Í
Ù
b;
$
&
F
Æ
ñ
„h ^„h a$ gd½g«
Ð h
„h ^„h a$ gd˜MŽ
âô ýýý
$
$ a$ gd˜MŽ
$ a$ gdÂM•
ñ
g
h
q
s
}
~
•
¦
À
Á
Â
t
Æ
Ø
Ù
ã
å
ï
ð
ñ
ú
Š
h
i
r
t
†
‡
ˆ
Ü˹ËÜ…s…Ë…ÜbPbÜËÜË # h"Vh h
X
Y
_
íÜ˹Ëܧܖܖ…–
b; 6 •OJ
QJ
^J
mH! sH!
h"Vh
h
b; OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h™*Æ OJ QJ ^J
h"Vh hÑ"¤ OJ QJ ^J
Vh h˜MŽ 6 •OJ QJ ^J
h"Vh hÉl• OJ QJ ^J
Â
Ã
Ù
# h"Vh h™*Æ 6 •OJ QJ ^J mH! sH!
mH! sH!
mH! sH! # h"Vh hÉl• 6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"
mH! sH!
h"Vh h˜MŽ OJ QJ ^J mH! sH!
mH! sH! # h"Vh h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! I
Ú
ñ
®
ù
ú
-
Š
ç
h
i
ˆ
ó
Y
Z
?
@
ó
ó
è
ó
Ü
Ý
ó
µ
ó
ó
ó
Ý
ó
ó
u
ó
Ý
ó
ó
´
è
Ý
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
$
&
F
&
F
a$ gd˜MŽ
$
a$ gd˜MŽ
$ „Ð ^„Ð a$ gd˜MŽ
_
³
´
u
v
Ž
“
”
•
–
¤
·
þ
ÿ
ïÞïͼ͚ͫ†v`N?.
h"Vh h¯8§ OJ QJ ^J mH! sH!
hÜYõ 6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh hÂ
M• 6 •OJ QJ ^J mH! sH! + h"Vh hÂM• 5 •CJ OJ QJ ^J aJ
mH! sH! - h"Vh hÂM• 5 •6 •OJ QJ ^J
& h“,‹ h“,‹ 5 •6 •OJ QJ ^J m
H! sH!
hÂM• 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh hÂM• OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh hÉl• OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h
b; OJ
w= OJ
¤
×
$
$
$
QJ
QJ
·
^J
^J
mH! sH!
h"Vh h˜MŽ OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh hmH! sH! u
v
‹
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
]
^
³
Û
m
÷
ã
×
×
×
×
×
÷
Ï
Ï
Ï
Ï
Å
½
±
±
¥
„ ^„ a$ gd¯8§
„ `„ a$ gd OG
$ a$ gd¯8§
$ ¤ð a$ gdÊ ˜
$ a$ gdÂM•
„h ^„h a$ gd
Å
b;
&
F
Æ Ð
$
h
„h ^„h a$ gd
b;
$ a$ gd˜MŽ
]
C( D( G( Y( Z( Ž( ž( ©* º* ¹,
È, 6. G. Ì. Ü. f/ s/ –
/ ¤/ Æ/ Ö/ 10 80 •1 íÛʶ¢ŽziWiWiWiWiWiWiWiWiWi
# h"Vh h¦oj 6 •OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h¦oj OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh h¯8§ 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH!
& h"Vh h¦oj 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh hÊ ˜ 5 •6 •OJ QJ ^J mH
! sH! & h"Vh h OG 5 •6 •OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h¯8§ OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h¯8§ 6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"
Vh hÊ ˜ 6 •OJ QJ ^J mH! sH!
m
n
“
aZ# á& C( D( Z( a) w* ¡,
0 Ž1 •1 °1 ±1 ²1 ³1 ´1 µ1 ¶1 Ä1 ÷
ë
ë
ë
ß
ß
×
×
ë
ë
ë
ë
ë
Ë
Æ
Ë
Ë
Ë
¾
¾
¾
¾
$ a$ gdÃ
´
gd¦oj
$ „ `„ a$ gd¦oj
$ a$ gd OG
$ „ `„ a$ gd OG
$ „ `„ a$ gd OG
$ a$ gd¯8§
•1 “1 ”1 «1 ¬1 -1 ¯1 ³1 ¶
1 Ä1 è1 é1 ŽA 7G ¥Z
[ Ô] é] 2a @a ºe Èe ¦h 2i
j èo
t
t
u çÒÁÒçÒÁ¯›‡wjYjYjIjIjIjIjYjIj - h"Vh hÊ ˜ 6 •OJ QJ
] •^J
h“,‹ hÊ ˜ OJ QJ ^J mH sH
h"Vh hÊ ˜ OJ QJ ^J
- h"Vh hÊ ˜ 5
•OJ QJ \ •^J
& h"Vh hÊ ˜ 5 •CJ OJ QJ \ •^J aJ
& h"Vh h¥`2 5
•6 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h OG 5 •OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h¦oj OJ QJ ^J mH! sH! ) j
h"Vh h¦oj OJ QJ U ^J mH! sH
! 0 j
h"Vh h¦oj OJ QJ U ^J mH nH sH! u
Ä1 è1 é1
2 ‹2 •
3 ]4 ™5 `7 :: ›; +> ŽA OF 7G ¢G âG
I
:I
ô
é
Í
Ù
Í
Í
„
„
$
&
F
Æ
„
^„
Í
Í
$ a$ gdÊ ˜
£
&
F
Æ
&
F
Í
Í
`„
a$ gdQTR
º
Í
Í
$
º
Í
£
›
$
„ ^„ `„ a$ gdQTR
„h `„h a$ gdÊ ˜
Ð
„ ^„ gdÊ ˜
$ dh
a$ gdÊ ˜
$ dh
a$ gdÊ ˜
:I ³L +N oO ¬P pR õR
T ZU /W FY
[ )[
?] ö` ’b Xe µg 3i |j þk -n ÷
ë
ß
ß
ß
ß
Ì
Ì
ß
ß
ß
¸
ß
ß
ß
ß
ß
ß
ß
ß
ß
&
F
Æ Ð
„
„ ^„ `„ gdQTR
$
&
F
„
„ ^„ `„ a$ gdQTR
$ „h `„h a$ gdÊ ˜
$ „ `„ a$ gdÊ ˜
$ a$ gdÊ ˜
-n èo ³q œs –
u ¼x Âx Ëx Íx Îx òx óx ôx
y
y Åy 3| :| J| b| œ| ³| ó
ó
ó
ó
ó
à
Í
à
à
à
à
à
à
à
ó
ó
º
º
º
º
º
$
&
F
„
„ ^„ `„ a$ gdÊ ˜
$ „h „h dh
^„h `„h a$ gdÊ ˜
$
„h „h dh
^„h `„h a$ gdÊ ˜
$ „h `„h a$ gdÊ ˜
u
u Ëx Ìx ä} æ} õ} *~ +~ ,~ [~ z• ˜
‚ Õƒ ¶… ä† Ü‡ Zˆ ðãÌ㺢“º•qdSBSB1S
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J
h"Vh h"Vh 5
•OJ QJ ^J & h“,‹ h"Vh 5 •OJ QJ \ •^J mH sH
h"Vh 5 •OJ QJ ^
J mH! sH! . h"Vh h¥`2 5 •6 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! # h"Vh h¥`2 5
•OJ QJ ^J mH! sH! , j
h"Vh hÊ ˜ OJ QJ U ^J mH nH u
h"V
h hÊ ˜ OJ QJ ^J
- h"Vh hÊ ˜ 6 •OJ QJ ] •^J
³| Ú| ä} å} æ}
õ} -~ +~ ,~ [~ 6€ z• ˜‚ Õƒ ¶… ܇ "Š ì
à
Ø
Ø
Ð
Ð
Ð
Å
±
¥
¥
—
¥
—
¥
—
„
dð
¤ `„ gd"Vh
$ „ `„ a$ gd"Vh
&
F
Æ Ð h
„h dh
^„h gd"Vh
$ dh
a$ gd"Vh
$ a$ gd"Vh
$ a$ gd˜MŽ
$ „h `„h a$ gdÊ ˜
$
&
F
‹
„
„ ^„ `„ a$ gdÊ ˜
Zˆ rˆ Ј ∠Ɖ Ú‰ "Š F‹ O‹ P‹ X‹ m‹ v‹ ™‹ ´‹ "Œ àŽ )“ *“ +“ >“ @“ A“ `“ º”
»” ìÛìÛìÛʼ«¼›¼Ž«¼«¼Û|ìÛnÛ`ŽR
h"Vh h"V
h 6 •OJ QJ ^J
h"Vh h"Vh 5 •OJ QJ ^J
h"Vh OJ QJ ^J mH! sH!
# h"Vh h"Vh OJ QJ ] •^J mH! sH!
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J
- h"Vh h"V
h 6 •OJ QJ \ •^J
! h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ \ •] •^J
h"Vh h"Vh OJ Q
J \ •^J
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH! sH!
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J mH! sH! & h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH! sH!
"Š "• àŽ ‰‘ ?“ @“ A“ `“ 7– 8– D– K– L– M– R– S– T– U–
V– W– X– ,— -—
ó
ó
á
á
á
á
Ö
ó
ó
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
ó
Ã
$ „h „h dh
^„h `„h a$ gd"Vh
$ dh
a$ gd"Vh
Æ
à
„
dð
¤ `„ gd"Vh
$ „ `„ a$ gd"Vh
»” Á” q• •• †• B– C– ì– í– ó– ô–
—
—
—
—
—
—
—
— ,— -— .— 2— 8— 9— Ó— y• ^Ÿ l
”£ •£ –
£ §£ ¨£ –§ Wª fª ¿ª Ϊ •« £- Í- ðãÒ¾Ò§Ò–Ò–Ò–Ò–Ò–Ò–Ò–§Ò–Ò–Òã…Ò–
§Ò–ÒãðãðãÒq
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
h“,‹ h f£ OJ QJ ^J mH sH
, j
h"Vh h"Vh OJ QJ U ^J mH nH
u
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J
- h"Vh h"Vh 6
•OJ QJ ] •^J )-— /— 0— 1— 2— 3— 4— 5— 6— 7— 8— 9— Ó—
f› ›œ y• ^Ÿ e¡ *¢ ”£ •£ —
£ ˜£ ™£ ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ä
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
É
É
É
É
$
$
„h dh
^„h a$ gd"Vh
„ `„ a$ gd f£
$ a$ gd f£
$ „h „h dh
^„h `„h a$ gd"
Vh
™£ š£ ›£ œ£ •£ ž£ Ÿ£
£ ¡£ ¢£ ££ ¤£ ¥£ ¦£ §£ ¨£ º¥
´¦
§ ̧ ¼¨ Y© Wª ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
ô
å
Ù
Ù
Ù
Æ
Æ
Æ
Ù
$
&
F
Æ @
„ ^„ a$ gd f£
$ „ `„ a$ gd f£
$ „
dh
`„ a$ gd"Vh
$ dh
a$ gd"Vh
Wª £¼ ’¼ /½ ^¾ dÀ
ó°
#²
™³
´
™´
¶
ô¶
Ù¸
ï¹
½º
˜»
Á
-Â
ì
ì
ì
ì
Í
à
Í
§
ì
Í
Í
à
ì
Í
º
ì
Í
à
§
$
&
F
„
„
^„
`„
a$ gd f£
$
&
F
Æ
&
F
p
„
$
„Èû`„Èûa$ gd f£
„
„
^„
`„
$
`„ a$ gd f£
a$ gd f£
$
&
F
±
„
„ ^„ `„ a$ gd f£
#² 6² ™³ ¦³
´ '´
º ½º к ˜» ¥»
¼
Í- ?® G® §® ¬®
¯
¯ z¯ •¯ ó°
± ã
™´ °´ ô¶
· Ù¸
¹ •¹ §¹ ©¹ ݹ ì¹ ï¹
¼ ’¼ ©¼ Ô¿ ã¿ dÀ
Á
Ã
ŸÁ
$Ä
nà —
ïÛïÛïÛïÛïÛïξξξξξÎÛïÛï­›­‡­‡­‡­¾Î¾Î¾Î­Î­‡­
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH
# h“,‹ h"Vh 6 •O
J QJ ^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
- h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J
h"Vh
h"Vh OJ QJ ^J
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH
sH
.- $Ä ˜Æ mÇ
È gÈ ²È 8Ê
Ì ¹Í ºÍ áÍ
Ï ·Ð ßÑ
Ó
Ô pÕ
…Ö v× ÑØ ó
ó
ó
à
à
à
ó
ó
ó
Ñ
½
±
±
±
±
±
±
±
±
±
$ „ `„ a$ gd f£
&
F
Æ
Ð
h
„h
dh
^„h gd"Vh
$
&
F
„h
dh
^„h a$ gd"Vh
$
„
$
Ô
Ý
„ ^„ `„ a$ gd f£
„ `„ a$ gd f£
$Ä IÇ
È @È ²È ºÍ áÍ
Ô oÕ pÕ ƒÕ –Õ eÛ rÛ ÈÛ ìÛ 'Ü OÜ äÜ
ÐÏ
ÞÏ
·Ð
Ó
Ý bÝ çá °å °æ ºæ Xî Çï Öï
ð %ð gñ uñ <þ +
D
ïâÑÀâ°â¢â‘
â¢âƒâ¢â¢â¢â¢â¢âÀÑ‘ÀqÀâ¢â¢â¢âÀÑ
# h“,‹ h"Vh 6 •OJ Q
J ^J mH sH
h"Vh h"Vh >* OJ QJ ^J
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ^J - h"Vh h"Vh
5 •OJ QJ \ •^J
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH
sH
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH (ÑØ ÛÙ {Ü ·Ý •ß iá ¹â Àä væ
é
ë Xî Hñ )ó ¼ô Äõ l÷ ±ø Üù Ÿû ïý Pÿ ˆ
ç
ß
µ
ø
ó
ç
ß
ç
ç
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ó
ó
$ a$ gd f£
$ „ `„ a$ gd f£
$ „ `„ a$ gd f£
D
J
’
™
«
²
ü
W
•
Í
´
R
f
ž
L
ß
ù
•
À
”# •# ¥# ¦# ¡%
¿²¡Ï‘πϡϑÏoÏ‘Ïo€[€I # h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ
•OJ QJ ] •^J mH sH
h"Vh h"Vh OJ QJ
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
- h"Vh h"Vh
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
h f£ h"Vh
•OJ QJ \ •^J
h"Vh h"Vh OJ QJ ^J
sH
# h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ^J mH
sH
ø
W
X
•
Í
¢% m' …' g+ s+ íÜíÜíÜÏ
^J mH sH & h“,‹ h"Vh 6
^J mH
sH
6 •OJ QJ ] •^J
OJ QJ ^J
- h"Vh h"Vh 5
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH
Ç
•#
L
¢%
k
@)
¸
¸
ß
:*
¥
ù
Ò+
„
ÿ
¸
„
$
i
„
`„
¨ë
×
¥
¸
&
F
p
ó
¥
¸
a$ gd f£
$ „
¥
¸
ó
^„ `„
a$ gd f£
Ä
¥
¸
ó
¤
¤
¸
$
[$ \$ `„
a$ gd f£
&
F
Æ
3
Ð h
„h dh
^„h gd"Vh
$ „ `„ a$ gd f£
s+
,
ä3 ô3
4
4 v8 •8 ú9
dh
gd"Vh
, &. 0. >0
: ': 9:
N0
Š0
š0
Á3
Â3
Ã3
ã
N
)N 5N PN VQ cQ ïÝïÝïÝïÝï˼­ï••pï^ïJïJïJïJïJ
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ
QJ ] •^J mH sH
# h“,‹ h"Vh 5 •OJ QJ ^J mH sH
h“,‹ hl[š OJ QJ ^J mH sH
& h“,‹ hl[š 5 •OJ QJ \ •^J mH sH
. hl[š h¥`2 5 •6 •CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH!
h f£ 5 •OJ QJ ^J mH!
sH!
h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! # h"Vh h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH! sH! #
h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
Ò+ Cû. Š0 ÷1 Á3 Â3 Ã3 Ä3 Å3 Æ3 Ç3 È3 É3 Ê3 Ë3 Ì3 Í3 Î3 Ï3
Ð3 Ñ3 Ò3 Ó3 Ô3 Õ3 ó
ó
ó
ó
ç
ß
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
$ a$ gd˜M
Ž
$ a$ gd f£
$ „ `„ a$ gd f£
$ „ `„ a$ gd f£
Õ3 Ö3 ×3 Ø3 Ù3 Ú3 Û3 Ü3 Ý3 Þ3 ß3 à3 á
3 â3 ã3 ä3 ô3
4
4 È5 E7 u8 v8 ÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
÷
è
à
Õ
É
É
É
É
¾
$ dh
a$ gd"Vh
$ „ `„ a$ gdl[š
$ dh
a$ gdl[š
$ a$ gdl[š
$
„
dh
`„
a$ gd"Vh
$ a$ gd˜MŽ
v8
•8
;
D= T? ðB ]D
Ô_ za °b ô
è
è
É
É
è
^H
HK
O
è
jP
è
ZS
iT
è
W
è
è
W
è
ô
É
2W qX
è
½X
•Y
ÊY
è
ô
è
\
è
è
Ü
è
è
$
&
F
„
„ ^„ `„ a$ gdl[š
$ „ `„ a$ gdl[š
$ „ `„ a$ gdl[š
$ dh
a$ gd"Vh
cQ ÖT äT
V
V pV „V íV úV
W
W
W 2W
?W 'X qX €X ½X ÉX „Y ”Y ªY ¯Y f] x] Ô_ Id ad *• <• Œ‰
“‰ SŠ XŠ U• d• º™ Û™ x¥ €¥ ´¥ ¹¥ Õ¥ Ù¥
¦
¦
¨
¨
¨ ïÛïÛïÛïÛïÛïÉÛ︨›¨›¨›¨›¨›ïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïÛïŠï
h“,‹ hl[š OJ QJ
•OJ QJ ] •^J
^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ
h"Vh h"Vh OJ
QJ ^J mH
QJ
^J
- h"Vh
h"Vh 6
sH
# h“,‹
h"Vh 5 •OJ
QJ
^J
mH
sH
& h“,‹
h"Vh 6 •OJ
QJ
] •^J
Šd
_h
5m
¿n
mH
H
h“,‹ h"Vh OJ
t ¨x a} Ÿ€
QJ
™‚
^J
"„
mH
sH
0°b
>f
Êi
¬j
¶o
pq
s
†
`‰
*Œ 7•
Ž
å• g™ °œ dŸ
£
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
$ „ `„ a$ gdl[š
+¦
‘
ó
¨
¤
ó
+¦
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
¨
¨
¨
¨
¨
ó
ó
ó
4¨
?-
š­
®
¹
¹
-
Z®
†®
ó
¹
Ü®
ó
L¯
p¯
¹
š
š
ί
è
ö¯
ó
Ñ
¹
š
$
&
F
„
$
&
F
Æ
&
F
Æ
„
h
Ð
$
$
„ ^„ `„ a$ gdl[š
`„ a$ gdl[š
$
„e
„›þ^„e `„›þa$ gdl[š
$
h
„0ý dh
`„0ýa$ gd"Vh
dh
a$ gd"Vh
„ `„ a$ gdl[š
¨ 3¨
ª
ª
ª $ª 'ª …ª žª öª #« Å« ò
«
¬ '¬ ’¬ —
¬ ½¬ ì ú¬ ͯ ί 8° p´ ¬´ ²´ ¶´ ¾´ ô É´ Í´ Ô´ ¹¶ Ŷ à¶
ó¶ þÍ ÞÏ ðãÓãÓã­­­™™™Âã•ãÂ~j~j~j~j~j~j~Â
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
h“,‹
h"Vh OJ
QJ
^J
mH
sH
h"Vh OJ QJ ^J
& h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J mH sH
) h“,‹ h"Vh
B* OJ QJ ^J mH ph
sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
- h"Vh h"Vh 6 •OJ QJ ] •^J
h"Vh
h"Vh OJ QJ ^J
- h"Vh h"Vh 5 •OJ QJ \ •^J %ö¯ 8° p° ¦°
±
¹³ •¶
TÓ ì
¸¸
º
]»
ì
6¼
à
à
à
&
F
Æ
ŠÂ
ì
rÄ
à
à
É
ºÀ
XÆ
DÈ ?É
ì
à
à
É
¥Ì
þÍ
êÐ
Ò
à
à
à
à
˜Ï
à
à
à
à
tË
É
à
$
$
$
&
F
h
„h dh
^„h a$ gd"Vh
„ `„ a$ gdl[š
$
„
„ ^„ `„ a$ gdl[š
ÞÏ õÏ ‹Ð ”Ð ºÐ ½Ð ÉÐ ÔÐ âÐ éÐ ¢×
´Ú ´Þ
â
â _ç fç „ç Œç úç
è <è Bè èè ïè §ê ³ê ´ê »ê
ë +ë jë
~ë
ì
ì Iì Jì Mì ]ì íÜÈÜÈÜÈÜÈÜÈܳÜÈÜÈÜÈÜÈÜ¡ÜÈÜÈÜÈÜÈÜÈÜÈÜ•}o
h"Vh h«Wí 5 •OJ QJ ^J # h“,‹ h«Wí 5 •OJ QJ ^J
mH sH # h“,‹ h¥`2 5 •OJ QJ ^J mH sH # h“,‹ h"Vh OJ QJ ] •^J
mH sH ) h“,‹ h"Vh B* OJ QJ ^J mH ph
sH & h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ
] •^J mH sH
h“,‹ h"Vh OJ QJ ^J mH sH
# h“,‹ h"Vh 6 •OJ QJ ^J mH sH
'TÓ
±Ô BÖ •× NØ ÎÙ ´Ú ”Û ´Þ Ñá
è Hì Iì Jì Kì Lì Mì ]ì ^ì
ȓ
í xí Øí ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ä
Ü
Ü
Ü
Ü
Ü
Ô
Ä
Ä
Ä
Ä
$ „h „˜þ^„h `„˜þa$ gdl[š
$ a$ gd«Wí
$ a$ gd˜MŽ
°×
$ „
dh
`„ a$ gd"Vh
$ „ `„ a$ gdl[š
]ì ^ì xì “ì »ì Õì
í
í 7í Wí ‹í ±í
î (î bî –
î Þî &ï Pï Xï ƒï ªï (ð @ð tð ®ð ôð "ñ Tñ xñ žñ Ÿñ
ñ ¡ñ
£ñ ¤ñ ¦ñ §ñ ©ñ ªñ ¬ñ -ñ ³ñ ´ñ µñ ·ñ ¸ñ ¾ñ ¿ñ ïâÔâñÃâÔâÔ
âÔâÔâÔâÔâÔâÔâÔâÔâÔâ- ˜”˜”˜”˜”Š„Š„€Š„Š
h“,‹
h“,‹ 0J
j
h“,‹ 0J U
h yñ
j
h yñ U
h"Vh h«Wí OJ Q
J ^J
hl[š # h“,‹ hl[š 6 •OJ QJ ^J mH sH
h“,‹ hl[š OJ QJ ^J mH sH
hl[š hl[š 6 •OJ QJ ^J
hl[š hl[š
OJ QJ ^J
h"Vh h«Wí OJ QJ ^J mH! sH! 0Øí Lî Äî :ï nï Îï _ð Úð :ñ žñ
Ÿñ
ñ ¢ñ £ñ ¥ñ ¦ñ ¨ñ ©ñ «ñ ¬ñ µñ ¶ñ ·ñ Ãñ ï
ï
ï
ï
ï
ï
ï
ï
ï
â
Ú
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ì
Ê
Ø
Ì
„üÿ „
&`#$ gd§bB
$ a$ gd˜MŽ
„h „˜þ^„h `„˜þgdl[š
Åñ Æñ ßñ
ò
$
„h
„˜þ^„h `„˜þa$ gdl[š
¿ñ
Áñ
Âñ
Ãñ
ò
ò Cò Dò Tò Uò Zò [ò eò fò |ò }ò †ò Žò •ò •ò ™ò ¡ò ¢ò
£ò Âò Ãò Çò Èò Øò Ùò Þò ßò ëò ìò øò ùò
ó
ó
ó
ó "ó
#ó +ó ,ó Gó Ló Mó Nó [ó \ó hó ió ôêäàÜÑàÊà¾à¶à¶à¶à¶à¶±¶à¶±¶à¶
à¶à¶à©à©à©à©àà•à•àŒà©à©à
h“,‹ 5 •CJ aJ
h3m
h“,‹ 5 • hÀg~ h“,
‹ 5 •CJ aJ
hÿ ± h“,‹ 5 •
h“,‹ 5 • h HË h“,‹ 5 • h HË h“,‹ 5 •CJ aJ
hh{… h“,‹
h½g« h“,‹ OJ QJ
h yñ
h“,‹
h“,‹ 0J
j
h“,‹ 0J U
hÜYõ 0J mH nH u
àñ áñ èñ éñ êñ ëñ ìñ
ò
ò
ò
ò
ò
ò
7Ãñ
Äñ
Åñ
Æñ
ßñ
ò
ò
Cò
û
Dò
Tò
Uò
î
Zò
Ñ
$ a$ gd"Vh
û
û
á
á
î
ý
î
Ù
î
Ù
û
ó
á
î
û
Ñ
á
á
î
Ñ
û
$ a$ gd¦oj
„Ð ^„ `„Ð gd"Vh
gd"Vh
$ a$ gd½g«
Zò [ò eò f
}ò •ò •ò ¢ò £ò Âò Ãò Çò Èò Øò Ùò Þò ßò ëò ìò øò ùò
ó
ó
ó "ó #ó +ó ý
õ
ý
õ
ý
õ
ý
õ
ý
õ
ý
õ
ý
ð
ý
ð
ý
ð
ý
ð
ý
ð
ý
ð
ý
ð
ý
õ
gd¦oj
$ a$ gd¦oj
+ó ,ó Mó
Nó [ó \ó hó ió uó vó Žó •ó «ó ¬ó -ó ²ó ³ó Ëó Ìó Ðó Ñó Ò
ó Ùó Úó Ûó Üó ý
ø
ý
ø
ý
ø
ý
ø
ý
ø
ý
ø
ý
ø
ø
ý
ð
ý
ë
ý
ë
Þ
Þ
Þ
Þ
ò
„
|ò
ó
„
„Ð ^„ `„Ð gd"Vh
vó ~ó €ó Žó •ó «ó
ô
¬ó
gd"Vh
±ó ²ó
$ a$ gd¦oj
³ó Ëó Ìó Ðó
gd¦oj
òó óó
þó
ió
ÿó
uó
ô
ô
ô
ô
ô iô jô kô lô qô …ô ¨ô ©ô Ãô Äô Ìô Íô Ðô Ñô Öô
áô âô ãô ÷ó÷î÷ó÷óî÷óäóÙóÒóËóÀóÒóÒó¹ó²ó§ó ó™ó™ó™óŽóŠ}
h"Vh h«Wí OJ QJ ^J
h.F=
h•}È h“,‹ CJ aJ
àô
h7MÀ
h“,‹
hß^¡
h“,‹
h7MÀ
h“,‹ CJ
aJ
h•}È
h“,‹
h˜k¥
h“,‹
h)K×
h“,‹ CJ
aJ
hh{…
h“,‹
h)K×
ÿó
ô
h“,‹
h)K× h“,‹ CJ aJ
h•þ h“,‹ 5 •6 •
h“,‹ 5  h“,‹
hÿ ± h“,‹ 5 • +Üó Ýó ñó òó
ô
ô
ô
óó
ôó
õó
öó
ô
ô
ô
ô
$ô
ò
%ô
í
&ô
'ô
)ô
å
í
í
í
í
,ô
í
í
í
Û
í
í
gd"Vh
+ô
Ý
Û
í
*ô
í
å
$ gd"Vh
(ô
í
Û
å
í
í
í
$ a$ gd§bB
í
$ a
„
„Ð ^„ `„Ð gd"Vh
.ô /ô 0ô 1ô 2ô 3ô 4ô 5ô Pô Qô _ô `ô jô kô lô mô qô …ô
†ô ’ô ©ô ªô Äô Åô ú
ú
ú
ú
ú
ú
ú
ú
ú
ú
ú
ú
ò
ê
ú
å
ú
ú
ã
ú
ú
ã
Ú
Ñ
„¤ ^„¤ gd§bB
„¤ ^„¤ gd"Vh
gd§bB
$ a$ gd§bB
$ a$ gd"Vh
gd"Vh
Åô Íô Îô Ñô Òô Öô àô áô âô ãô ú
ø
ú
ø
ú
ú
ø
ø
ð
ô
$ a$ gd˜MŽ
6 &P
1•h :p
gd"Vh
b; °ƒ. °ÈA!°ù "°
#•ù $•¥ %°
°Å
°Å
•Ä
•
D d
à
ðD
²
ð
3
ð
• @ @
ÿÿ
ðÿ
"ñ
?
ð
€
†
@
@ñÿ
@
œ
N o r m a l
CJ _H
D A@òÿ¡ D
aJ
mH
sH
tH
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
R i@óÿ³ R
T a b l e
N o r m a l
l 4Ö
aö
( k ôÿÁ (
N o
ö
4Ö
L i s t
j š@³ ó j
b;
T a b l e
G r i d
7 :V
f R@
f
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
"Vh
2
B* aJ
B o d y
$ „© dà
ph
B ^@
T e x t
I n d e n t
¤ð `„© a$
B
"Vh
N o r m a l
( W e b )
¤d
¤d [$ \$
H ™
" H
Ú
9
B a l l o o n
T e x t
CJ
OJ
QJ
^J
aJ
4
@
2 4
Ú
9
Æ
F o o t e r
à À!
. )@¢ A .
Ú
9
P a g e
N u m b e r
&
3
A
O
:
?
H
I
]
L
f
¥
ˆ
§
~
–
À
•
£
ä
•
°
ÿ
É
·
æ
Ê
í
Ý
ý
ãì
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ8
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
"
ÿÿÿÿ-
ÿÿÿÿ#
ÿÿÿÿ&
ÿÿÿÿ(
ÿÿÿÿ?
ÿÿÿÿD
H
ÿÿÿÿK
I
&
L
ÿÿÿÿG
ÿÿÿÿJ
ÿÿÿÿN
ÿÿÿÿ
?
3
¥
A
§
ÿÿÿ
ÿÿÿÿE
ÿÿÿÿH
ÿÿÿÿM
:
ÿÿÿÿ%
ÿÿÿÿ'
ÿÿÿÿ=
ÿC
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ$
ÿÿÿÿ,
ÿÿW
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
O
À
]
ä
f
ÿ
ˆ
~
–
ÿÿÿÿO
•
•
£
°
É
·
æ
Ê
í
Ý
ÿÿ
ý
-
!
"
#
$
%
&
'
ÿÿ
ãì
V
ÿÿÿÿ
2
I
µ
u
v
‹
Ž
3
4
L
Â
Ã
Ù
@
Ü
N
Ú
ñ
Ý
®
´
O
ù
Q
ú
R
-
S
Š
T
ç
4
h
5
i
6
ˆ
h
Y
•
Z
H
?
•
•
‘
’
“
”
•
–
¤
·
]
^
³
Û
m
n
“
a
Z
á- C
D
Z
a! w" ¡$
( Ž) •) °) ±) ²) ³) ´) µ) ¶) Ä) è) é)
* ‹*
`/ :2 ›3 +6 Ž9 O> 7? ¢? â?
•+
],
™-
A
:A ³D +F oG ¬H pJ õJ
L ZM /O FQ
S )S ?U öX ’Z X] µ_
3a |b þc -f èg ³i œk –
m ¼p Âp Ëp Íp Îp òp óp ôp
q
q Åq 3t :t Jt bt œt ³t Út
äu åu æu õu -v +v ,v [v 6x zy ˜z Õ{ ¶} Ü• "‚ "… à† ‰‰
?‹ @‹ A‹ `‹ 7Ž 8Ž DŽ KŽ LŽ MŽ RŽ SŽ TŽ UŽ VŽ WŽ XŽ ,•
-• /• 0• 1• 2• 3• 4• 5• 6• 7• 8• 9• Ó• f“ ›” y• ^—
e™ *š ”› •› —
› ˜› ™› š› ›› œ› •› ž› Ÿ›
› ¡› ¢› £› ¤› ¥› ¦› §› ¨› º•
´ž
Ÿ ÌŸ ¼
Y¡ W¢ £¥ ó¨ #ª ™«
¬ ™¬
® ô® Ù° ï± ½² ˜³
´ ’´ /µ ^¶ d¸
¹
-º $¼ ˜¾ m¿
À gÀ ²À 8Â
Ä ¹Å ºÅ
…Î vÏ ÑÐ ÛÑ {Ô ·Õ •× iÙ ¹Ú ÀÜ vÞ
ã Xæ Hé )ë ¼ì Äí lï ±ð Üñ Ÿó ïõ P÷
•
Í
Ç
L
k
áÅ
á
ˆú
Ç
·È
ßÉ
çû
ßý
µÿ
Ë
ø
Ì
W
pÍ
X
ß
ù
p
i
ÿ
¨
•
¢
@! :" Ò# C% û& Š( ÷) Á+ Â+ Ã+ Ä+ Å+
Æ+ Ç+ È+ É+ Ê+ Ë+ Ì+ Í+ Î+ Ï+ Ð+ Ñ+ Ò+ Ó+ Ô+ Õ+ Ö+ ×+
Ø+ Ù+ Ú+ Û+ Ü+ Ý+ Þ+ ß+ à+ á+ â+ ã+ ä+ ô+
,
, ÈE/ u0 v0 •0
3
D5 T7 ð: ]< ^@ HC
G jH ZK iL
O
O
ÔW zY °Z Š\ >^ _` Êa ¬b 5e ¿f ¶g pi
2O qP ½P •Q ÊQ
T
l ¨p au Ÿx ™z "|
~
`•
*„
7…
†
‰
å•
g‘
°”
d—
›
œ
+ž
4
?¥
š¥
¦
Z¦
†¦
ܦ
L§
p§
Χ
ö§
8¨
p¨
¦¨
©
¹« •® ¸°
² ]³ 6´ º¸ Šº r¼ X¾ DÀ ?Á tà ¥Ä þÅ ˜Ç êÈ
Ê
TË ±Ì BÎ •Ï NÐ ÎÑ ´Ò ”Ó ´Ö ÑÙ
à Hä Iä Jä Kä Lä Mä ]ä
^ä »ä
å xå Øå Læ Äæ :ç nç Îç _è Úè :é žé Ÿé
é ¢é £é
¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é µé ¶é ·é Ãé Äé Åé Æé ßé àé áé èé éé ê
é ëé ìé
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê Cê Dê Tê Uê Zê [ê eê fê |ê }ê •ê •ê ¢ê £ê Âê Ãê Çê
Èê Øê Ùê Þê ßê ëê ìê øê ùê
ë
ë
ë
ë "ë #ë +ë ,ë Më
Në [ë \ë hë ië uë vë Žë •ë «ë ¬ë -ë ²ë ³ë Ëë Ìë Ðë Ñë
Òë Ùë Úë Ûë Üë Ýë ñë òë óë ôë õë öë ÿë
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì
ì $ì %ì &ì 'ì (ì )ì *ì +ì ,ì .ì /ì 0ì 1ì 2ì 3ì 4ì 5ì Pì Qì _ì `ì jì kì lì mì qì …ì
†ì ’ì ©ì ªì Äì Åì Íì Îì Ñì Òì Öì àì áì äì ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
6
€
˜
0
6
€
˜
0
6
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
é)
€
€ ˜
0
é)
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
€
0
0
€
˜
€
€
˜
€
€
˜
€
0
0
€
€
€
€
€
˜
0
˜
€
€
0
˜
€
0
€
˜
€
0
˜
€
€
˜
€
€
˜
€
˜
€
0
€
˜
€
€
˜
€
0
0
˜
€
0
˜
€
0
€
0
˜
€
€
€
€
€
€
€
€
˜
€
0
˜
€
˜
€
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
€
0
˜
€
0
0
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
€
0
€
€
˜
€
˜
€
0
€
˜
€
0
0
€
€
€
€
˜
˜
€
0
˜
€
˜
€
€
€
˜
€
0
˜
˜
€
0
˜
€
0
0
˜
€
0
€
€
˜
€
0
0
0
€
€
€
˜
€
€
0
€
˜
€
€
˜
€
0
€
˜
€
€
€
€
€
˜
€
0
˜
€
0
0
˜
€
0
€
0
0
˜
€
0
€
0
€
€
˜
€
0
€
˜
€
0
˜
€
0
€
€
˜
€
˜
€
0
€
˜
€
€
0
€
€
0
€
0
˜
€
€
€
€
€
€
€
€
€
€
€
˜
€
€
˜
€
0
€
˜
€
0
˜
€
€
0
€
€
˜
0
˜
€
0
€
˜
€
0
€
€
€
™¬
™¬
™¬
™¬
0
0
€
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
˜
€
˜
€
0
€
˜
€
0
€
˜
€
€
0
€
€
0
€
˜
€
€
0
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
€
0
˜
€
€
˜
˜
˜
€
0
0
€
˜
€
€
0
€
€
0
€
˜
€
€
€
˜
€
0
€
˜
€
˜
€
0
€
€
˜
€
0
€
€
0
€
˜
€
0
€
€
€
˜
€
0
€
€
€
˜
€
0
0
˜
€
€
˜
€
0
˜
€
˜
€
0
˜
€
0
0
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
0
€
€
˜
˜
€
€
0
0
0
0
€
€
€
€
€
0
0
0
€
˜
€
€
€
€
˜
€
0
€
€
˜
€
˜
€
0
˜
€
€
˜
˜
˜
˜
€
0
€
0
0
0
€
€
€
€
0
˜
€
˜
€
˜
€
0
˜
˜
€
€
€
€
0
0
0
0
€
0
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
0
0
0
0
™¬
™¬
™¬
€
€
€
€
€
0
€
˜
€
0
˜
˜
˜
˜
€
˜
€
0
€
0
€
˜
€
€
0
˜
€
˜
€
0
€
˜
€
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
˜
0
€
˜
€
0
€
˜
€
0
˜
€
€
€
0
€
˜
€
˜
€
0
˜
€
0
˜
€
€
€
0
€
˜
€
€
˜
€
˜
€
€
˜
€
˜
€
0
˜
€
0
0
˜
€
0
€
€
˜
€
€
0
€
˜
€
€
˜
€
€
˜
€
˜
€
0
˜
€
0
€
0
€
0
0
˜
€
€
˜
€
˜
€
€
˜
€
0
€
˜
€
0
€
€
0
€
€
€
˜
0
0
0
€
˜
€
˜
€
˜
0
€
€
0
€
€
˜
0
€
˜
0
€
€
˜
0
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
˜
˜
˜
€
0
€
0
€
€
€
€
0
˜
€
€
˜
€
˜
€
0
€
€
˜
€
0
˜
€
0
˜
€
0
€
0
0
0
€
0
€
0
€
€
0
˜
€
0
€
˜
0
€
˜
0
€
€
˜
€
0
€
˜
€
0
€
0
˜
€
0
0
€
€
€
€
˜
€
€
0
€
0
€
€
˜
€
€
0
˜
€
0
˜
€
€
˜
€
€
˜
€
˜
€
0
€
€
€
˜
€
0
0
˜
€
€
0
˜
€
0
€
0
˜
€
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
0
€
˜
€
0
€
˜
˜
€
0
0
€
Ÿ ˜@
Ÿ yÉ 0 0
0
0
˜
€
0
0
0
€
˜
€
€
˜@
€
€
y‰ 0 0
0
€
yÉ 0 0
€
€
˜
€
€
€
0
€
˜
€
€
˜
€
€
0
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
€
y‰ 0 0
0
€
€
0
0
˜
€
˜@
yÉ 0
€
˜
˜
€
0
0
€
0
0
0
€
˜
€
˜
€
€
˜
€
0
˜
€
0
˜
€
€
˜
€
€
€
€
˜
0
0
Ÿ ˜@
0 0
˜@
˜
€
€
˜
€
€
˜
€
€
0
€
˜
˜
€
0
0
0
0
0
€
€
y‰ 0 0
0
˜
€
˜
€
0
€
˜
€
˜
€
€
0
0
€
€
˜
€
˜
€
˜
€
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
€
€
˜
€
€
€
€
€
€
€
˜
€
0
€
€
0
0
0
˜
€
€
˜
€
€
˜
€
0
€
0
0
€
€
€
€
€
€
€
€
0
€
€
€
€
€
†¦
†¦
†¦
˜
€
˜
€
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
€
0
˜
€
€
€
˜
€
˜
€
0
0
˜
˜
€
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
€
€
0
0
€
0
˜
€
€
˜
€
˜
€
€
˜
€
˜
€
0
˜
€
0
˜
€
€
˜
€
0
€
€
€
˜
€
0
0
0
€
€
€
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
˜
€
0
€
€
€
€
˜
€
0
€
€
€
€
€
€
€
€
0
†¦
†¦
†¦
†¦
˜
€
0
˜
€
0
˜
€
€
€
˜
€
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
€
0
0
0
€
˜
0
0
0
0
0
0
0
0
˜
€
˜
€
0
˜
€
0
€
˜
€
€
€
€
€
0
0
0
0
€
˜
€
€
0
0
˜
€
€
y‰ 0 0
Ÿ yÉ 0 0
€
0
€
yÉ
€
0º
€
y‰ 0 0
$ Ÿ ˜
0
€
€
˜
0
€
x
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
€ ˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
0
€
€
˜
€
€l
¾
2
“
‹
”
¤
·
á- C
Z
w" ¡$
Ž) ²) ³) œt ³t Út äu lï ±ð µÿ Á+ äì š@
0
€
€
€ š@
0
€
€
€ {‰ 0 0
\C² {‰ 0 0
€ {‰ 0 0
š@
0
€
€
€
š@
0
€
€
ø
{‰ 0 0
€ š
0
€
€
€ {‰ 0 0
€ {‰ 0 0
¬a
{‰ 0 0
{‰ 0 0
€ š@
0
€
€
€ {‰ 0 0
œNÛ {‰ 0 0
€
{‰ 0 0
•a
{‰ 0 0
{‰ 0 0
š
0
€
€
€ KÈ 0 0
½ KÈ 0 0
€
(
@
@
0
0
0
0
š
0
€
€
€
%
_
þ
%
•1
%
u
(
Zˆ
»”
g
Í-
$Ä
D
s+
cQ
¨
ÞÏ
]ì
¿ñ
ió
ãô
û
u
ô
Åô
!
#
'
I
Ä1 :I -n ³| "Š -— ™£ Wª - ÑØ ø
Ò+ Õ3 v8 °b +¦ ö¯ TÓ Øí Ãñ Zò +ó Üó
ãô ü
ÿ
m
-
"
$
%
&
(
)
*
âô
ý
“)
«)
®)
ãì
“_ ÿ œ
@ -ñ
ÿÿ
!
(
ÿ €€€ ÷
!•
! ÿ•€
ð
ð8
ð
W
X
#
ð
ð
ð
ð
T
W
ð<
ð¬"
ðŒ
ð(
ð
ð
Ü
Ü
°%
t4
3
• À À ˆ
s "ñ*
•
ð`
²
¿
•
‘
’
¿
?
ð
ð
ð
c
ð$
•
X
ðf
• 9 9 ¿
¢
ÿ
?
ð
Ü
Ü
°%
t4
ð
ð
S
ð-
€
Š
Î
×
ÿ
ð
´
Ü
Œ
`
ð
ð
ðT
¢
ð
#
ð
€
Œ
ð
Š
ä
ð
ð
ðT
¢
´
È
ð
#
ð
€
ð
Š
ðT
ð
¢
8
L
Œ
´
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
ð
p
”#
ðT
¢
p
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
ð
¨- $
ü$
ðT
¢
ô
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
ð
p
ðT
¨- ”#
¢
Ä
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
ð
p
à" ”# ü$
ðT
¢
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
Ø
ð
ðT
¢
'
à"
P+
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
ð
ðT
¢
@
l-
x!
ˆ/
ð
ð
#
ð
€
Š
ð
ð
ä
ð0
T
À3
ð
ðZ
B
ð
S
ð-
D
•
¿
Ñ
ÿ
ð
Ÿ
`
È
ð
ðf
B
ð
s
ð*
ð
ð
D
•
¿
ðf
Î
Ñ
×
ÿ
ð
´
Î
Ñ
×
ÿ
ð
ä
B
s
ð*
ð
ð
D
•
¿
ðZ
L
B
S
ð-
D
•
à"
¿
ð
Ñ
ðZ
ÿ
ð
[
Ä
\-
ÿ
ð
\
P+
]
B
ð
S
ð-
D
ð
•
¿
ðT
Ñ
D
•
¿
ÿ
•
¿
Ñ
l-
B
ð
C
ð
B
ð
S
ððn
D
¢
ð
ÿ
Ð
ð
ä
Ð
Ð
Ð
Ð
ð
8
Ð
ðZ
ð
ð
C
ð
€
Š
•
¿
|
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ø
ð
ð
ðn
¢
ð
C
ð
€
Š
¿
È
˜
ð
ä
ÿ
ð
"ñ
¿
`
ð
D
ðn
¢
ð
C
ð
€
L
ð
Š
h
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
C
ð
€
´
ð
Š
8
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
C
ð
€
ì
ð
´
Š
T
ðf
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
S
ðð
€
Š
ðT
Î
¢
×
ÿ
ð
Ø
Ð
H$
ì
ð
ð
#
ð
€
Š -
ð
ð
ð
ðT
8
Œ
8
ð
B
C
ð
B
ð
S
ððZ
ð
S
ððn
D
D
•
¿
ÿ
ð
8
•
¿
Ñ
ÿ
ð
•
¿
Ñ
ÿ
ð
¼
ð
ðZ
¼
p
¼
ð
p
ô
¨-
ð
B
!
D
¢
ô
ð
"
C
ð
ð
€
Š "
$
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
#
C
ð
€
Ø
ð
„
Š #
ô
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
$
C
ð
€
¨-
ð
Š $
Ä
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
%
C
ð
€
à"
ð
Š %
ü$
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
&
C
ð
€
€(
ð
p
Š &
œ*
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
'
C
ð
€
¸,
ð
Š '
Ô.
ðn
¿
ð
¢
ÿ
"ñ
¿
`
ð
D
ð
(
C
ð
€
<0
ð
ð
Š (
À3
ð`
ä
¿
ð
B
ÿ
"ñ
¿
¿
Î
×
ÿ
Î
Ñ
×
`
ð
D
)
c
ð$
D
•
ðf
ð
ð
Œ
p
Œ
@
ð
B
*
s
ð*
ð
ð
D
•
¿
ðZ
ÿ
ð
B
+
S
ð-
D
'
•
ð
¿
Ñ
ðf
ÿ
¢
ð
\
ü$
\-
Œ
@
¨-
@
ð
,
S
ðð
ð
€
Š ,
ðT
Î
B
×
•
¿
ÿ
•
¿
Ñ
ÿ
ð
$
ð0
H$
À3
ð
C
ð
ð
D
.
S
ððB
D
ð
\
ˆ/
\
ð0
ð
ðZ
B
¢
ÿ
ð
T
X2
$
X2
ð
B
ð
ð
ð
ð
€
ð
ðH
ð
B
/
C
ð
ð
D
0
•
¿
ÿ
ð
ð
ðH
B
D
1
•
¿
ÿ
ð
ð
ðH
B
D
2
•
¿
ÿ
ð
ð
ðH
B
D
ð
4
•
l
¿
¬
ÿ
(
ð
ð
ðb
C
ð
ð
C
ð
ð
C
ð
ð
ð
#
ðn
ˆ
B
ð
3 "ñ
•
‘
¿
€ €
ð
Ñ
ÿ
"ñ
ÿ
"ñ
ð
ðn
5
c
ð$
D
•
¹#
ð
¿
ð
Ð
ðn
¿
€ €
ð
l
¸#
€ €
ð
…
--
B
6
c
ð$
D
†
‰
ð
ð
•
(
]!
7
¿
ð
i
#
Ð
Ñ
ðP
ðh
¿
ð
Ý
¬
ˆ
¿
# "ñ
•
ð
‘
ð
ð
ðh
8
3
ð
€
‰
ð
ð
ð
Š 8
i
ðh
3
ˆ
]!
9
3 "ñ
ð
:
S
ðD
"ñ
ð
;
S
ðD
"ñ
ð
•
¿
ð
ð€
•
¿
¿
€ €
•
¿
ð
¿
€ €
E
¿
ð
€ €
ô
ð
!
Ý
€
Ú*
¿
‘
¿
"ñ
ð
€ €
ð
ÿ
ô
î%
ÿ
Ñ
!
1
Å
½
•
ð
ðh
¿
€
ï%
ð
ðh
Ñ
Ú*
ð
ðd
B
¿
ðb
B
¹
ð
ð
Å"
<
ˆ
™
# "ñ
•
‘
ð
=
ð
€
ð
ð
"ñ
ð
ðb
‰
ð
ð
]!
>
i
#
¿
ð
€ €
ðz
ð
ð
ð\
™
Ý
u
u
2
‘
ˆ
¿
3 "ñ
•
‘
¿
€ €
ð
E
¹
ð
Å"
™
ð
Š ?
i
ðh
3
ˆ
¿
ð
ðh
?
3
ð
€
‰
ð
ð
ð
]!
@
¿
€ €
ð
-
"ñ
ð
ð
‘
•
¿
¿
ð
ô
ð
ÿ
ô
î%
ð
ÿ
Ñ
!
€ €
ð
¿
ð\
€ €
ð
€ €
•
-
ð
€ €
!
Ý
€
Ú*
¿
•
¿
¿
ð€
3 "ñ
ð
A
S
ðD
"ñ
ð
B
S
ðD
"ñ
ð
C
€
ð
"ñ
¿
1
Å
½
•
ð
¿
€
ï%
ð
ðh
B
Ñ
Ú*
ð
ð\
2
¿
M
ñ
û
{
2
D
ð
€
ð
ð
ð
"ñ
ð\
¿
€ €
ð
9
ñ
%
Ý
2
E
ð
€
%
"ñ
¿
€ €
ð
¡
)
ð
ð
ð
ð
ðx
F
ˆ
# "ñ
ðb
ðh
ð
u
á
±'
U#
B
•
ð
#
ð
‘
G
ð
ð
ðb
€
ð
ð
H
#
ð
! Š G
!
ðb
"ñ
2
¿
€ €
ð
u
á
±'
U#
ð
€
=
" Š H
"ñ
¿
€ €
ð
)
}
ð
ð
I
"ñ
J
ð
#
ð
Ý
"
ð
ðB
¿
€ €
2
ð
}
¥
…
a
ð
ðb
€
ð
ð
# Š J
#
ðh
"ñ
2
¿
€ €
ð
1
a
Ñ
™
ð
K
3
ð
8•- €
$ Š K
Œ
…
ð
$
ðP
2
M
ð
ð
"ñ
¿
€ €
ð
W
L
ð
S
Öÿ
M
ð
"ñ
¿
€ €
ð
µ
u
‰"
¿
€ €
ð
ðh
3
ð
S
æ
%
!
ð
ð
N
#
ð
Öÿ€
ð
ðb
% Š M
"ñ
ð
%
]
2
€
ð
ð
O
#
ð
& Š N
&
ðb
"ñ
¿
€ €
ð
9
ß
Ù
§
ð
€
ð
ð
' Š O
'
ðh
P
B
"ñ
B
¿
D
¿
Ñ
€ €
ð
Ñ
-
U
}
ð
S
ð-
•
Õ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
i
m
ð
Q
ð
ðh
B
S
ð-
D
…
•
Õ
¿
Ñ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
…
m
ð
R
ð
ðh
B
S
ð-
D
¡
•
Õ
¿
Ñ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
í
m
ð
S
ð
ðh
B
Â
S
ð-
D
•
ð
ð
T
¿
ðh
B
¿
ðh
B
Ñ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
9
9!
Ñ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
í
9!
Ñ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
q
%
-
Ñ
ÿ
"ñ
¿
€ €
ð
‘
‚
S
ð-
D
•
ð
ð
U
‚
S
ð-
D
ð
V
ð
•
¿
ðh
B
Â
S
ð-
D
å
9!
ð
ð
W
#
ð
•
¿
ðb
1
€
ñ
( Š W
"ñ
¿
€ €
ð
B
ð
ð
u
(
ð
ðB
S
ð•
¿
•›
Ë
?
ãì
ÿ
ð
¨
O
•)
•)
‘)
’)
¬)
Ëp
BŽ
-
À
è
è
t
Lÿÿÿ
L,
4
@
$
€
”
t
´
2
ð- ¦
1
L,
t
7
t
Ô
/
Ð
L,
LÿÿÿÔ
P
ÿÿ˜
à
܆
t
2
Lÿÿÿt
Ô
t
Ð
<
LÿÿÿÔ
´
P
L,
Ô
t
”
t
˜+
0
t€
F
tþ
݆
´þ
Þ†
ôþ
߆
4ÿ
à†
tÿ
á†
´ÿ
â†
ôÿ
ã†
4
ä†
t
å†
´
æ†
ô
ç†
4
è†
t
é†
´
ê†
ô
ë†
4
ì†
t
í†
´
î†
ô
ï†
4
ð†
t
ñ†
´
ò†
$t#
ó†
Ìr#
ô†
t—#
õ†
Ì
ö†
Œ
֠
ø†
ӻ
ù†
Ôª
ú†
l.
û†
T-
ü†
´
ý†
Üt
þ†
|'
ÿ†
´[
‡
<%
‡
|%
‡
¼%
‡
ü%
‡
<&
‡
|&
‡
¼&
‡
ô
‡
ÌN
‡
̦
‡
\
‡
´r
‡
|©
‡
Tr#
‡
Ôü
‡
Tˆ%
‡
l«'
‡
4È
‡
l¯'
‡
5!
‡
$’!
‡
l
‡
|Ì
‡
ü-'
‡
ć%
‡
¼#
‡
¬ˆ%
‡
ìl#
‡
<'
‡
Ì
-‡
!
‡
Ô•%
‡
œ
!‡
<$
"‡
¼$
#‡
ü$
$‡
ì™'
%‡
,š'
&‡
,™'
'‡
l™'
(‡
¬˜'
)‡
ì˜'
*‡
<é+
+‡
üè+
,‡
lš'
-‡
¬š'
.‡
¥R
/‡
D‚
0‡
„©'
1‡
ì<!
2‡
¬”!
3‡
\“
4‡
\K
5‡
L
6‡
N
7‡
,
L
8‡
\žR
9‡
œm#
:‡
„å
;‡
¤ú
<‡
ä9!
=‡
„:!
>‡
¼˜R
?‡
ä5!
@‡
«'
A‡
¬-'
B‡
ˆ%
C‡
Ü•R
D‡
‘R
E‡
ü‘R
F‡
ÜL
G‡
$P
H‡
,i#
I‡
Š%
J‡
äÿ
K‡
¤n#
L‡
´˜#
M‡
ìˆ%
N‡
Œ‹%
O‡
|Œ%
P‡
<0!
Q‡
„6!
R‡
47!
S‡
45!
T‡
„í+
U‡
$ì+
V‡
D
W‡
ã
X‡
Ü
Y‡
ŒE!
Z‡
tÈ
[‡
¬ŸR
\‡
L
]‡
Ì•'
^‡
Ü™#
_‡
Ϊ!
`‡
Ì™!
a‡
|
b‡
¼
c‡
§
d‡
D§
e‡
,ª'
f‡
lª'
g‡
<ŠR
h‡
|ŠR
i‡
ä•R
j‡
$•R
k‡
<î+
l‡
|î+
m‡
$‹
n‡
d‹
o‡
L!
p‡
Œ!
q‡
›
r‡
œŠ%
s‡
T"0 n* n* ‹* •+ m, m, ã. ã. ç1 ç1 Y2 Y2 ¸3 ¸3 ¤4 ¤4
6 7? ƒ? ƒ?
F
F XG XG ›G ›G ÞJ ÞJ óK óK ŽR ŽR ÊS Ê
S {Z {Z @] @] Á^ Á^ Õk Õk ýl ýl -q q ôq ôq Qv Qv pv pv •w #x #x 6x òx òx gy gy V‹ V‹ ¥‹ ¥‹
Ú‹ Ú‹ ០០Ñ
Ñ
j¡ Ü¡ Ü¡ <¢ <¢
¯ tà tà ×Å ×Å ùÆ ùÆ
tÇ tÇ
È
È
Ë
Ë œÐ œÐ Üñ k
k
á
á
^
^
d
6
d
ù
ù
Î
Î
ö
ö
N
N
â
â
{
*æ *æ •æ ˜æ
æ ªæ ªæ
Íè $é $é rê rê ßê ìê
{
w
²æ Zç
ë äì
w
Zç
$
¡ç
$

•ä •ä Yå Yå ªå ªå
´ç ´ç ¼ç Bè Bè °è
!
.
:
F
R
"
#
/
;
0
<
G
S
^
w
ƒ
1
x
„
a
m
y
…
2
>
J
U
`
l
%
=
I
H
T
_
k
j
$
'
(
)
3
4
@
5
A
6
B
?
K
V
b
n
z
&
L
W
c
o
{
M
Y
X
d
p
|
7
~
‹
g
s
•
Š
,
8
9
D
P
O
[
f
r
+
C
N
Z
e
q
}
‰
*
E
Q
\
h
t
€
]
i
u
•
v
‚
†
‡
ˆ
Œ
•
Ž
•
‘
’
“
”
•
–
—
x* x* •* …+ w, w, í. í. ì1 ì1 c2 c2 Â3 Â3 ®4 ®4 "6
"6 :? •? •? -F -F bG bG ¥G ¥G èJ èJ øK øK ˜R ˜R ÔS ÔS …
Z …Z J] J] Ë^ Ë^ ßk ßk
m
m 7q 7q þq þq Zv Zv yv yv ˆw
,x ,x :x ûx ûx py py _‹ _‹ ®‹ ®‹ ã‹ ã‹ êŸ êŸ Ú
Ú
s¡
å¡ å¡ E¢ E¢ ¯ wà wà àÅ àÅ þÆ þÆ yÇ yÇ
È
È "Ë "Ë ¡Ð ¡Ð àñ t
t
ê
ê
&
&
!
!
g
g
i
•
i
×
×
ÿ
ÿ
X
X
ë
ë
…
…
€
€
›ä ›ä aå aå ±å ±å 0æ 0æ –
æ žæ ¨æ ±æ ¼æ ¼æ bç bç ªç ²ç »ç Æç Æç
{ê {ê êê ÷ê
ë äì
Iè
Iè
·è
Øè
+é
+é
!
.
@
R
"
/
A
S
e
d
#
0
B
T
f
$
1
C
U
g
%
2
D
V
h
&
3
E
W
F
X
x
‹
y
Š
z
Œ
j
|
(
5
G
Y
k
}
)
6
H
Z
l
~
*
7
I
[
m
•
+
8
J
\
n
,
9
K
]
o
:
L
^
p
;
M
_
q
<
N
`
r
=
O
a
>
P
b
s
t
u
{
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
•
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
—
9
˜
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €place €=
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
€PlaceName €=
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
€PlaceType €;
A
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €address €8
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €date €8
—
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €City €B
•
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
w
‰
i
'
4
?
Q
c
v
ˆ
€country-region €:
@
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €Street €9
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €State €
Pn
€1 €1926 €1937 €1952 €21 €31 €4 €8 €9 €Day €Month €Year˜
˜
˜
—
˜
—
˜
•
˜
—
˜
˜
—
˜
˜
—
—
—
˜
—
˜
˜
—
˜
˜
—
—
˜
—
˜
—
˜
—
˜
—
˜
—
˜
—
˜
—
˜
˜
•
•
˜
•
•
˜
˜
•
˜
•
˜
•
˜
•
˜
˜
•
˜
•
˜
•
˜
˜
—
˜
˜
•
—
˜
—
˜
A
@
—
˜
˜
•
˜
•
˜
˜
•
—
˜
•
˜
—
˜
—
˜
•
˜
•
˜
•
˜
—
˜
•
˜
•
˜
•
˜
˜
˜
—
•
—
˜
˜
•
˜
˜
—
˜
˜
—
•
˜
—
—
—
˜
˜
˜
•
˜
—
—
—
•
•
—
˜
—
•
˜
1
H
h
`
³
µ
u
v
Ž
4
I
i
á
À
r
â
Ã
t
K
t
†
w
Ø
ˆ
T
Ú
X
4
ã
Z
6
å
?
g
ï
@
h
q
s
ñ
á
â
Ü
Ý
}
ù
•
ú
_
¦
©
–
–
Ÿ
¤
þ
ÿ
]
^
ø
ù
m
n
C
D
Y
Z
ž
Ÿ
º" ¼" È$ Ê$ ø% ù% G& H& Ü& Ý& s' t' ¤' ¥' Ö' Ø'
Ž) ¶) Ä) Ê) Ë) Ñ) Ò) Ý) Þ) ç) é) ï) ñ) ú) ü) ÿ)
*
*
ø(
*
ù(
*
*
*
+
+
*
*
*
*
* !* .* 8* :* =* >* A* B*
š* £* ª* ¯* ç* ê* ù*
J*
+
K*
+
R*
X*
_*
j*
m*
„*
‰*
•*
”*
+
+
+
+ "+ #+ )+ *+ .+ /+ 4+ 5+ 8+ 9+ B+ C+ K+ L+
S+ T+ W+ X+ _+ `+ d+ e+ o+ p+ v+ w+ •+ †+ Ž+ •+ ”+ •+
+ ¡+ ¥+ °+ ¶+ Ã+ Æ+ Î+ Ø+ Ù+ ä+ å+ ê+ ë+ ô+ õ+ þ+ ÿ+
,
,
,
,
,
, #, $, *, 0, 7, 8, <, =, J, K, P, Q, [
, ], b, c, l, y, ~, •, ‚, ƒ, Š, ‹, •, ‘, ˜, ™, ž, Ÿ, ¦,
§, «, ¬, ´, µ, ¾, ¿, Ä, Å, Ð, Ñ, Ü, Ý, ð, ñ, ÷, ý,
- -- - *- +- :- ;- =- >- B- C- L- M- O- PY- Z- _- `- g- h- n- t- ~- •- ’- “- –- ™- •- ž- ¥- §±- ²- Å- Æ- Ì- Í- ×- Ø- Ü- Ý- â- ã- ê- ë- ú- û.
.
.
.
.
.
. -. '. (. 7. 8. >. D. I. J. L.
o. p. x. z. •. ‡. •. ‘. —
.
. ¥. §. -. ¯. ². ³. º. Â.
/
M.
R.
S.
X.
Y.
b.
c.
h.
É.
ß.
â.
ù.
ý.
þ.
/
/
j.
/
/
/
//
r/
/ œ/
ì/
0
0
X0
0 ˜0
Ó0
1
/
2/
x/
•/
í/
0
`0
š0
Ù0
/
3/
y/
¤/
ñ/
0
a0
›0
Ú0
/ -/ / &/ '/ 8/ 9/ B/ C/ H/ I/ Q/ R/ V/
•/ ‚/ Š/ ‹/ •/ ‘/ •/ –
¥/ ¬/ -/ ²/ ³/ ¹/ ¿/ É/ Ê/
ù/
0
0
0
0 "0 #0 )0 *0 30 40 :0
i0 p0 x0 z0 ‚0 Š0 Ž0 •0 —
¡0 §0 ª0 «0 -0 ®0 ´0 ¼0 Á0
å0 ì0 ï0
1
1
1
W/
^/
`/
i/
j/
q/
Î/
Ï/
Ö/
Ü/
æ/
ç/
;0
A0
B0
D0
E0
R0
Â0
Æ0
Ç0
Ï0
Ð0
Ò0
1
1
1
1
1 #1 $1 )1 *1 01 21 ?1 F1 I1 O1 W1 a1 e1 f1
n1 o1 q1 r1 x1 y1 „1 …1 Œ1 “1 •1 –
1 ¥1 ¦1 ®1 ¯1 µ1 ¶1 ¼1 ½1 Ã1 Ä1 Ê1 Ë1 Ò1 Ó1 Ú1 Ü1 ã1 ä1
æ1 ò1 ù1 ú1
2
2
2
2
2
2 !2 "2 *2 +2 82 A2 J2 U2
X2 o2 u2 v2 •2 €2 Š2 •2 ™2 š2
2 ¡2 ª2 «2 ±2 ²2 ¸2 ¾2
Â2 Ã2 Æ2 Ç2 Ð2 Ò2 å2 æ2 ë2 ì2 ÷2 ø2 ü2 ý2
3
3
3
3
3
3
3
3 "3 #3 )3 *3 53 63 :3 ;3 A3 G3 T3 U3
[3 ]3 a3 b3 g3 h3 q3 r3 y3 {3 •3 ƒ3 Ž3 •3 ’3 ›3 ¢3 ´3 ·
3 Î3 Ð3 Ñ3 à3 è3 ñ3 ò3 ø3 ù3
4
4
4
4
4 #4 (4 *4 04 14 ;4 <4 A4 B4 I4 J4 O4 P4 Z4 [4 _4
e4 h4 i4 r4 s4 w4 x4 ~4 •4 ‡4 ˆ4 Œ4
4 £4 º4 ¿4 À4 Ë4
Ì4 Ò4 Ó4 ×4 Ø4 ã4 ä4 è4 é4 ô4 õ4 ú4 û4
5
5
5
5
5
5
5
5 '5 (5 5 .5 65 75 95 :5 E5 M5 Z5 [5 _5 `5 k5 l5 r5 t5 ~5 •5 …5
‡5 ’5 “5 ™5 ›5
5 ¡5 §5 -5 ²5 +6 66 76 A6 B6 H6 I6 O6
P6 [6 \6 `6 a6 l6 m6 r6 s6 x6 y6 ƒ6 …6 ‰6 Š6 ”6 š6 ž6
Ÿ6 ¥6 ¦6 ®6 °6 ³6 ¹6 ½6 ¾6 Å6 Æ6 Ë6 Ì6 Ò6 Ô6 Ù6 Û6 Þ6 ä
6 è6 é6 ñ6 #9 .9 o9 p9 s9 Ž9 ø: ù: ø; ù; 7? :? ;? >? ??
F? L? Y? Z? d? e? k? l? t? ·? ¾? Î? Ï? ×? Ø? á? â? ï?
ð? ÷? ø? þ? ÿ?
@
@
@ @ %@ &@ @ .@ 1@ 2@ <@ B@ K@ L@
A
A
A #A +A 3A LA VA 8C CC •D ™D šD ¥D ¦D ±D
ÈD ÑD ŽF ’F oG uG vG yG zG ~G €G ƒG „G ŒG —
G šG ¶G ÀG ÁG ÆG ÇG ÚG ŠH •H
³D
¾D
¿D
J
K
K
K
J
K
K
K
K %K &K ,K 7K 9K @K AK KK MK WK ‚K ŠK ‹K •K —
¡K åL ðL ñL
M
M
M
M
M 1M 4M 5M @M
XM ZM eM fM mM /O 7O 8O IO JO NO OO TO
P
P ŸQ ©Q ²R ³R ·R ¸R ¾R ¿R ÆR ÇR ÍR ÎR
ßR åR æR íR îR ôR õR úR ûR
S
S
S
S
AM
FM
GM
NM
OM
ÒR
ÓR
ÙR
ÚR
ÞR
S
S )S 0S FS KS VS WS [S \S `S hS oS †S “S ”S ŸS
S §S
¨S ¯S °S ²S ³S »S ÆS ?U FU \U bU cU iU jU rU sU {U }U
‚U ƒU †U ‡U •U •U œU •U ¤U «U ±U ¹U ¿U ÀU ÄU ÍU ÓU ëU
îU ôU ´V ¹V ºV ¾V ùV
W
W
W
W
W
W "W #W )W *W 0W 1
W 9W :W öX ýX
Y
Y
Y
Y
Y #Y *Y 0Y BY HY IY TY UY ZY [Y _Y `Y eY fY nY
oY vY wY ~Y „Y •Y ŽY šY ›Y £Y ¤Y ³Y ´Y ºY »Y ÃY ÉY ÕY
ÖY ÜY ÝY ãY äY ëY ìY ðY òY ýY eZ lZ X] ^] d] e] m] n]
u] {] •] €] ‰] Š] •] ‘] —
] ™] œ] •]
] ¡] ¨] ©] ®] À] Í] Ò] Ú] à] á] í] î] ÿ] µ_
¾_ Ä_ Ì_ Í_ Ó_ Ù_ á_ â_ ä_ å_ é_ ê_ ò_ ó_
`
`
`
`
`
`
`
`
` !` &` '` 0` 1` :` @` L` M` W` ^` d` j` q` y` •` •` ˆ`
ž` ¥` 9a ?a @a Ea Fa Ka La Ta Ua [a \a `a aa ia ja qa
ra ua va ya za …a †a Ža ”a œa •a £a ¤a §a ¨a ¯a Ub øc
ùc èg íg ïg øg ùg
h
h
h
h
h
h
h
h h
h &h 'h .h 0h =h Ch Lh Mh Sh Th ]h ^h bh ch fh gh ph ei
li ³i ¹i »i Âi Ãi Éi Êi Ôi Öi Øi Ùi Ýi Þi äi æi ëi ìi
òi ói ÷i øi ÿi
j
j
j
j
j
j
j -j j 'j (j 0j 1j 8j 9j @j Aj Ej Fj Oj Pj Vj Wj aj cj jj lj
rj sj }j –
m œm ¢m £m «m ¬m ±m ²m ºm »m Ám Âm Èm Îm Óm Ôm Þm ßm ãm
äm èm ém ñm òm ôm õm ým þm
n
n
n
n
n
n -n Kn Qn Rn \n ]n cn dn kn ln rn •n ˜n ™n
¢n £n ®n ¶n »n ¼n Æn Çn Ín În Ön ×n àn Hp Ip Op Pp Sp
Tp [p \p ap bp jp lp up vp {p |p „p …p Šp ‹p –p —
p œp •p ¢p £p ªp «p ²p ³p ºp Âp Êp Îp Ôp
q
q
q )q ,q
Iq Qq Åq Ìq Íq Ñq Òq ×q Øq Þq ßq åq ðq óq
r
r
r
r
r #r $r )r *r 1r 2r 4r 5r :r ;r Br Cr Kr Qr
[r \r br cr gr ir lr mr rr sr xr yr •r €r ‡r ˆr •r •r
“r ”r ˜r ™r žr Ÿr ¤r ¥r -r ®r ²r ³r ºr »r ½r ¾r År Ër
Ðr Ñr Õr Ör Úr Ûr àr ár èr
t
t
t
t
t "t #t *t ,t 1t 3t 9t :t It Jt St Yt at ht mt st
|t ‚t ‹t Œt ’t “t št œt ¥t ¦t ©t ªt ²t ³t ¾t ¿t Ît Ôt
Ùt Út ßt àt ät ìt ût üt
u
u
u
u
u
u
u
u #u $u *u +u ;u <u Du Eu Ju Ku Pu Qu
Zu [u `u au iu ju pu qu vu wu •u €u †u ‡u Žu •u ”u •u š
u ›u žu Ÿu ¥u ¦u °u ±u ¶u ·u Àu Áu Ëu æu *v ,v 3v 4v =v
>v Dv Ev Lv Mv Ov [v gv hv ov zv €v •v †v ‡v ‹v Œv •v
™v ¡v ¢v ¬v -v ·v ¸v ¿v Çv Ëv Ìv Ñv Øv âv ãv év ñv ùv
úv
w
w
w
w
w
w
w
w &w 'w .w /w 5w 6w :w @w Lw Nw Ww Xw Zw [w _w `w
jw kw nw ow ww xw ~w •w ’w “w ›w œw ¡w ¢w §w ¨w -w ¶w
¼w ½w Èw Éw Ïw Ðw Öw Ýw éw êw ðw ûw
x
x x
x
x
x
x
x "x x 4x ;x Cx Dx Kx Lx Sx Xx ]x ^x ix jx sx tx €x •x ‡x ˆx
‘x “x œx •x ¤x ¥x ©x ªx ±x ²x ·x ¸x Àx Áx Äx Æx Íx Îx
Ùx Úx âx ãx éx êx ñx üx
y
y
y
y
y
y
y
y
y
y !y $y %y .y 5y 6y ;y <y Ay By Gy Hy Oy Py \y ]y `y ay fy qy xy
zy r€ u€ Ú• Ü• ø‚ ù‚ ƒ )ƒ *ƒ 1ƒ 2ƒ 8ƒ >ƒ L„ R„ †… •… ‘… Ÿ… ¥… «… à† øˆ ùˆ )‹
+‹ >‹ D‹ M‹ N‹ U‹ `‹ g‹ h‹ q‹ r‹ w‹ x‹ €‹ •‹ †‹ ‡‹ •‹
Ž‹ ˜‹ ™‹ œ‹ •‹ ¤‹ ¯‹ ¸‹ ¹‹ ‹ Ä‹ É‹ Ê‹ Ñ‹ Ò‹ Ù‹ ì‹ ó‹
ô‹ ý‹ þ‹
Œ
Œ
Œ
Œ
Œ
Œ
Œ
Œ
$Œ
%Œ
.Œ
Á•
6Ž
XŽ
ìŽ
íŽ
óŽ
õŽ
•
•
•
•
•
•
• -• ,• 9• y• •• ‚• ‡• ˆ• •• ¤• ¥•
±• ³• »• ¼• • Е Ø• ^— ”› ¨› –
Ÿ ŸŸ
Ÿ £Ÿ ¤Ÿ š
›
Ÿ
¨
ª
°
²
¸
Á
`¢ h¢ p¢ q¢ y¢ z¢ ‚¢ ƒ¢ Š¢ ‹¢ •¢ Ž¢ –¢ —
¢ ›¢ œ¢
¢ ¡¢ ¥¢ ¦¢ ¬¢ µ¢ ¾¢ ¿¢ Ä¢ Ï¢ Ø¢ Ù¢
ó¢ ô¢ û¢
£
£
£
£
£
£
£ !£ "£ )£ *£ 0£ 7£ :£ ;£ ?£ @£ G£
ÿ¤
¥
¥
¥
¥
§•
¨•
¥
­•
È
4¢
;¢
W¢
á¢
â¢
ê¢
ë¢
H£
O£
P£
V£
¥
¥
¥
¥
¥
¥ ¥
*¥ +¥ 4¥ 6¥ <¥ =¥ @¥ A¥ H¥ I¥ T¥ U¥ \¥ ]¥ c¥ d¥ j¥ k¥
q¥ r¥ w¥ x¥ €¥ •¥ ˆ¥ ‰¥ Œ¥ •¥ •¥ ‘¥ –¥ —
¥
¥ £¥ Í¥ Ï¥ ø¥ ù¥ G¦ H¦ ¬¦ ®¦
§
§ •§ ƒ§
©
© ã© ì© í© õ© ö© ͪ Ѫ Òª ت Ùª ߪ àª æª íª
÷ª øª
«
«
« ™¬ Ÿ¬
¬ ¦¬ §¬ °¬ ²¬ º¬ »¬ Á¬ Ǭ Ϭ Ь
Ù¬ Ú¬ à¬ á¬ ê¬ ð¬ ú¬ û¬ ÿ¬
-
-
b´
c´
h´
-- $- .- 6- 7- ;- <- A- B- J- K- S- T- [- \¡¯ §¯ ô°
±
± §± ©± ì± ï±
²
² в Ò² ¥³ §³
´
´ œµ §µ ªµ Ùµ äµ êµ ñµ òµ öµ ÷µ úµ ûµ
¶
¶
¶
¶
^¶ c¶ d¶ m¶ s¶ z¶ {¶ ƒ¶ „¶ •¶ Ž¶ •¶ –
š¶ ›¶ Ÿ¶
¶ ¨¶ ©¶ ´¶ µ¶ ¶ ö Ƕ o¸ p¸ v¸ w¸ •¸ ‚¸ ˆ¸
‰¸ •¸ •¸ ™¸ š¸
¸ ¡¸ ª¸ ¬¸ ·¸ ¸¸ ¾¸ ¿¸ ĸ Ÿ ˸ ̸ Ó¸
Õ¸ ظ Ù¸ ã¸ ä¸ é¸ ê¸
¹
À
¹
À
¹
À
¹
À
¹
À
9º —» ™» $¼ V¿ W¿ _¿ `¿ ç¿ ë¿
À
À
À !À "À +À ,À 2À 4À 7À 8À >À @À HÀ IÀ
NÀ OÀ SÀ TÀ WÀ XÀ [À \À `À aÀ eÀ gÀ mÀ nÀ qÀ sÀ vÀ wÀ
•À ƒÀ †À ‡À ‹À ŒÀ ”À •À ˜À ™À •À žÀ ¡À ¢À ¦À §À «À ¬À
°À ²À ·À ¸À ¾À ¿À ÃÀ ÄÀ ×À ÛÀ ÜÀ àÀ áÀ ëÀ ïÀ õÀ ÷À ÿÀ Z
Á gÁ Ý Þ â ã ï ð û üÂ
Ã
Ã
Ã
Ã
à ºÅ ÀÅ ÃÅ ÄÅ ÎÅ ÏÅ ÖÅ æÅ êÅ ëÅ ôÅ öÅ
Æ àÈ øÈ ùÈ
Ë
Ë
Ë "Ë $Ë úË ÿË
Ì
Ì !Ì "Ì )Ì *Ì 1Ì 3Ì 8Ì BÌ GÌ HÌ NÌ TÌ [Ì \Ì bÌ
cÌ kÌ lÌ uÌ •Ì ƒÌ ‹Ì ‘Ì NÏ ZÏ ÛÑ ßÑ àÑ æÑ çÑ îÑ ïÑ óÑ ø
Ñ „Ò •Ò •Ò ‘Ò ’Ò —
Ò ˜Ò
Ò ·Õ ºÞ ¼Þ øå ùå Xæ `æ aæ iæ jæ væ wæ }æ ƒæ †æ ÿæ
ç
Ñë
Øë
ßë
ìë
²ÿ
ô
ô
µÿ ü
›õ
§õ
íë
¨õ
ôë
-õ
¡í
®õ
«í
µõ
5ï
¶õ
8ï
ºõ
9ï
P÷
@ï
øù
Aï
ùù
Hï
Jÿ
Pï
Lÿ
Uï
™ÿ
Vï
›ÿ
]ï
"
Õ
(
Ú
Û
¸
¹
Ã
Ä
Ñ
Ò
Ù
Ú
ß
à
å
æ
L
R
S
Z
[
Ú
ø
0
1
)
á
:
K
â
t
P
è
´
R
é
»
_
ð
¼
`
ñ
À
h
÷
Á
i
ø
É
m
!
n
r
Ç
Í
Î
Ô
ò
œ
ó
•
ø
¦
3
¨
4
-
?
@
9
E
@
F
Q
F
Q
‰
•
–
—
?!
•P
¥
#
.
/
3
4
C
D
L
¢
… ‡@! ø! ù! s# v#
$
$ 0& 1& ø& û& N( P( š( ›( Á+ ã+ ã+
…P †P
¥
¥
í+
î+
ó+
ô+
€P
¥
`« b« h« i« r« s« ~« €« •« •« ˜« ™« œ« •« ¢« £« ¬« -«
±« ²« ·« ¹« Tä Uä \ä ^ä dä eä Æä Èä Íä Ïä Óä Õä Úä Ûä
ßä àä æä çä êä ëä öä ÷ä
å
å
å
å
å
å
å
å %å 'å å .å /å 0å Ÿé
é
é ¢é ¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é ´é ·é
Âé Æé Íé Îé Õé áé çé íé ôé øé ÿé
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê
ê "ê +ê 7ê 8ê Bê Dê Mê Nê Sê [ê aê fê jê }ê ƒê •ê –
£ê «ê ¬ê µê ¶ê Áê Èê Ñê Òê ×ê ùê
ë
ë !ë #ë *ë ,ë 4ë
5ë >ë Në Uë \ë bë ië oë vë yë zë ~ë ƒë ˆë •ë “ë ”ë šë
žë ¥ë ³ë ºë »ë ½ë ¾ë Åë Òë Øë Þë åë éë ðë öë ýë
ì
ì
Åì
Ìì
áì
äì
1
Ø
‰
µ
t
v
Š
‹
•
4
Ú
Š
K
ð
æ
L
ñ
ç
M
g
®
ø
i
T
ú
‡
3
,
ˆ
6
g
Z
>
h
~
•
G
I
Á
X
@
Û
Ý
³
Ã
¤
¶
·
\
^
²
`!
(
(
³
a!
Ú
v"
Û
w"
l
$
•) ¶) Ã) ], —. ù. ý. `/ ø/
n
¡$
™0
’
0
“
`
a
Y
Z
à-
á-
B
D
“1
92
:2
Ñ2
Ò2
™3
›3
`4
a4
Y
Z
5
+6 „6 ÿ6
7 v7 z7 ;8 ?8 ¾8 Â8 j9 o9 Ž9 N> O> 6? ™?
?
â? d@ e@
A àA ´B
D ²D ³D ±E ²E *F +F ºF »F þF ÿF nG oG 9H ,I 0I óK øK ÆL
ÈL ãM çM kN oN
O
O ‚O †O ¾O 'P ÍP ÑP FQ ´Q µQ
R
R
¤R ¥R
S )S àS áS ÉT ÊT >U ?U ²U
V
V ÆV ÑV ùV éW `Y
eY òY ‘Z ’Z ïZ
\
\ l\ ä\ å\ V] X] Ó] Ô] f^ Ö^ Ø^ Ù^ +
_ x_ |_ µ_
`
` r` •a “a
b {b |b ýc þc ¬f -f çg èg
h
m
m
Žh
’h
ºh
½h
ùh
²i
³i
Õi
Öi
bj
cj
Åj
Æj
/k
œk
l
ýl
•m –
8n 9n ¯n °n ¶o ço ìo vp {p lq qq Åq
s
s ys ïs ós
âu æu ôu õu
v -v *v [v ×v Øv Mw êw ðw 6x ’x Áx Íx
yy zy —z ˜z Ô{ Õ{ µ} ¶} Û• Ü• !‚ "‚ ƒ ¬„ °„ "… •… ±… ¿… "† ߆ à† ˆ‰ ‰‰ >‹ `‹ Ë
m
Út
y
Œ
Ÿ
¹
¾
È
Î
Œ
š”
d™
¸Ÿ
5¯
”¹
˜¾
Å
RÈ
.Î
ÛÑ
rŒ
›”
e™
ÊŸ
9¯
˜¹
I¿
WÅ
¶È
„Î
QÒ
¹Œ
x•
)š
¡
Ù°
Ÿ¹
À
XÅ
·È
±Î
RÒ
ºŒ
y•
*š
¡
î±
º
fÀ
¸Å
ÞÉ
´Î
ŽÒ
Ռ
²•
“›
Y¡
ï±
-º
gÀ
áÅ
ßÉ
âÎ
•Ò
֌
?–
¨›
ö¡
¼²
#¼
±À
_Æ
Ë
=Ï
Ó
'•
C–
¹•
÷¡
½²
$¼
3Á
ùÆ
aË
>Ï
{Ô
(•
—
º•
V¢
—³
—
¡Á
þÆ
Ì
tÏ
€Ô
p• q• 6Ž XŽ +• 9• Ò• Ó• e“
\— ^—
³ž ´ž
Ÿ
Ÿ –
•£ ¢¥ £¥ ò¨ ó¨ ã© û¬ ÿ¬ ƒ®
˜³
´ /µ ¢µ £µ ص E¶ I¶ d¸
8Â ØÂ
tÇ yÇ
Ì ŠÌ
vÏ ¯Ï
ÙÂ
È
‹Ì
°Ï
f“
ó®
sÃ
ÈÃ
ÛÃ
Ä
TÄ
UÄ
Å
×Ì
Ð
ØÌ
œÐ
oÍ
¡Ð
qÍ
`Ñ
Î
cÑ
Î
wÑ
ÚÑ
Õ
ã
ã
ì
ï
¶Õ
·Õ
Œ×
•×
hÙ
iÙ
¸Ú
¹Ú
¿Ü
ÀÜ
uÞ
vÞ
ÿà
á
Wæ
~í
ÿæ
Âí
ç
Ûí
°è
éí
Áè
Tî
üè
áî
Gé
Åé
nê
oê
¤ê
¥ê
(ë
)ë
„ë
…ë
ï
lï Ëï Ìï
ð
ð •ð ±ð
ñ
ñ `ñ añ Ûñ Üñ 3ò 4ò {ò |ò ¿ò
Àò ?ó @ó •ó Ÿó
ô
ô zô {ô åô æô Võ Wõ îõ ïõ ;ö <ö O÷
P÷ ‡ú ˆú æû çû Þý ßý ´ÿ µÿ ÷
ø
ü
V
ê
N
O
Ì
Í
´
ò
ö
!
ž
K
d
i
ß
ø
ù
–
f
¼
)
3
½
÷)
Â
E
˜
œ
Í
o
p
÷
ø
f
h
é
ê
ß
à
›
Ÿ
è
†
•
‘
ÿ
n
ë
ï
§
¨
Q
R
¸
¹
†
‡
%
&
Ÿ
ñ
ò
”
•
û
r
v
¢
?! @! 9" :" Ñ# Ò# B% C% ú& û& ‰( Š(
À+ ä+ ó+ ô+
,
, Ç- È- D/ E/ t0 v0 Œ0 •0
ö
3
C5 D5
hL iL
S7
O
T7 ï: ð: \< ]< ]@
O 1O 2O 'P ãQ ÷Q
^@ GC HC
G
G
T šT xU |U ¤V
iH
jH
YK
ZK
W
~
ÔW yY zY ¯Z °Z
¿f µg ¶g oi pi
‰\
l
Š\ =^ >^ ^` _` Éa Êa «b ¬b 4e 5e
l §p ¨p `u au žx Ÿx ˜z ™z !| "|
¾f
~
_•
›
`•
›
)„
œ
*„ 6… 7…
œ *ž +ž
†
†
‰
‰
ä•
å•
f‘
g‘
¯”
°”
c—
d—
4
©
‡
'¢
ú¤
ñ¦
ø¦
8¨
o¨
p¨
¥¨
¦¨
©
Ç
¸« ¹« p¬ 7Á =Á þÅ —
˜Ç éÈ êÈ
Ê
Ê SË TË °Ì ±Ì AÎ BÎ •Ï •Ï MÐ NÐ ÍÑ ÎÑ ³Ò
´Ò “Ó ”Ó ³Ö ´Ö ÐÙ ÑÙ
à
à Gä xä {ä »ä
å bæ eæ Ié Lé
é
é ¢é ¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é Åé Æé Ùé Ûé Šê Œê
•ê Ÿê zë ‚ë äì
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
‹
–
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
ˆ
v
3
3
L
6
3
•
Ú
3
ñ
3
i
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
¤
¶)
*
7?
â?
A
Ÿ
:A
ÌŸ
S )S Âp
q 3t bt œt Út ,v [v A‹ `‹ –
ã© #ª Ç®
´ ’´ I¿ m¿ ºÅ áÅ xÔ {Ô €ð ±ð ü
•
´
ä+ ô+ qP ½P •Q ÊQ
4
ú¤ ?¥ L§ p§ Χ ö§
é
é ¢é
¢é £é £é ¥é ¦é ¨é ©é «é ¬é Åé Æé Þé áé
ê
ê Bê Dê Sê Uê Yê [ê dê fê {ê }ê Žê •ê ¡ê £ê Áê Ãê Æê
Èê ×ê Ùê Ýê ßê êê ìê ÷ê ùê
ë
ë
ë
ë !ë #ë *ë ,ë Lë
Në Zë \ë gë ië të vë •ë •ë ªë -ë ±ë ³ë Êë Ìë Ïë Òë þë
ì
ì
ì
ì
ì
ì
mì
–
„ì
†ì
¨ì
ªì
Ãì
Åì
Ìì
Îì
Ðì
Òì
ßì
äì
–
þ
ÿ
ã+
ã+
é
é
¢é
¢é
£é
£é
¥é
¦é
¨é ©é «é ¬é Åé Æé äì
_fˆ ~X •ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
e
–
‚*VÛÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
AlA nhÚwÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
m ß è6°lÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ
¨f? |N"‰ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
7 ^ ð„”†ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
‹1Í NG ²ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ªLš •äj3ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
‘i£ Ú±\
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
À|?-4ýpÀÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
He6$ØüRVÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
`þ$îú ªÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
cgL& ' ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
¼'âSæoÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
+
3Zù Õÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
¸Uš3€!6Zÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Á1š4j „÷ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ
oMü8DÛVÍÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
½8»;ÄÊ4ãÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Øp®EÄôƸÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Þ)CGBn Aÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
t>hQrœØ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
é-lVN
Êdÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
*[ýWü³¶ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
^ 'Yz„tàÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
9b Z\ Bæÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
à=/`¢MðXÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
6^o„œ¼!ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÄH t
øî`ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„
˜þo(
.
€
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
€
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
)
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
.
.
‚
€
„
€
ˆH
ˆH
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à
„° „˜þ Æ
° ^„°
„€ „˜þ Æ
€ ^„€
„P „Lÿ Æ
P ^„P
„˜þ Æ
^„ `„˜þ
„p `„˜þ
.
„Lÿ Æ
@
^„@
`„Lÿ
.
‚
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
)
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
h
h
h
h
€
€
‚
„@
„
„p
„˜þ Æ
p
„
^
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
þ Æ
P
`„Lÿ
„˜þ Æ
.
h
„€ „˜þ Æ
^„P `„˜þ
.
h
€
.
„p „Lÿ Æ
^„h `„˜þ
h
„° „Lÿ Æ
^„€ `„˜þ
°
.
„à „˜þ Æ
^„° `„Lÿ
à
.
„Ð
p
.
„˜þ Æ
^„ `„˜þ
„
Ð
.
h
h
h
„
„˜þ Æ
^„p `„Lÿ
^„à `„˜þ
„Lÿ Æ
^„Ð `„˜þo(
.
.
„P
^„
„˜
.
„h
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
ÿ Æ
˜þo(
.
P
„€ „˜þ Æ
^„P `„Lÿ
.
`„˜þ
„Ø
.
€
.
„˜þ Æ
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
°
.
h
„
„Lÿ Æ
Ø ^„Ø
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
à
.
^„à `„Lÿ
„h „˜þ Æ
h
„8 „˜þ Æ
8 ^„8 `„˜þo(
^„ `„Lÿ
.
„¨
.
„P „L
^„h `„
)
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ
.
„H
^„
„˜þ Æ
`„˜þ
„
„˜þ Æ
è ^„è `„Lÿ
.
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ‡h
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
•
„
H
.
ÿ Æ
„x „Lÿ Æ
^„H `„˜þ
x
.
^„x `„Lÿ
„è
h
ˆH
ˆH
ˆH
)
.
.
h
.
•
’
•
h
h
h
„L
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à
„° „˜þ Æ
° ^„°
„€ „˜þ Æ
€ ^„€
„P „Lÿ Æ
P ^„P
8 „˜þ Æ
8 ^„8 `„˜þ
„ `„˜þ
.
`„Lÿ
.
’
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
)
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
•
•
’
h
h
h
h
h
h
„Ø
h
„Lÿ Æ
„¨
„
Ø
„˜þ Æ
^„Ø
„
^
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ
.
h
„H „Lÿ Æ
^„ `„˜þ
h
þ Æ
Lÿ
è
.
„
„˜þ Æ
^„è `„˜þ
.
„Lÿ Æ
p
^„p `„Lÿ‡h
@
ˆH
.
„x „˜þ Æ
^„H `„Lÿ
x
.
€
„˜þ Æ
ˆH
^„x `„˜þ
h
h
„Ð
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
H
.
„˜þ Æ
Ð
^„ `„˜þo(
.
€
„¸ „Lÿ Æ
¸
^„Ð `„˜þo(
)
‚
.
h
„è „˜
^„¸ `„
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
h „˜þ Æ
h ^„h `„˜þo(
.
^„8 `„˜þ
.
„Ø
`„˜þ
.
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
„
„˜þ Æ
Ø
„Lÿ Æ
^„Ø
„¨
„8
^„
„˜þ Æ
`„Lÿ
„
8
.
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ
ÿ Æ
˜þo(
.
è
„
„˜þ Æ
^„è `„Lÿ
.
„H
^„
„˜þ Æ
`„˜þ
H
.
„x „Lÿ Æ
^„H `„˜þ
.
„Î
„Lÿ Æ
Î
„þ „˜þ Æ
^„Î `„Lÿ
„ž
„˜þ Æ
^„ž
`„˜þ
ž
.
„n
x
.
^„x `„Lÿ
„. „˜þ Æ
.
þ ^„þ `„˜þ
.
.
„è „L
^„. `„
.
„˜þ Æ
n
^„n
`„˜þ
.
„>
„
„Lÿ Æ
>
^„> `„Lÿ
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
.
„® „Lÿ Æ
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
ˆH
„Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
@
ˆH
.
€
®
„Þ „˜þ Æ
^„® `„Lÿ
.
€
.
‚
.
€
Þ
.
^„Þ `„˜þ
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à
„° „˜þ Æ
° ^„°
„€ „˜þ Æ
€ ^„€
„P „Lÿ Æ
P ^„P
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ
„ `„˜þ
.
h
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
.
‚
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
)
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
h
h
„p
„@
h
€
€
‚
„
„Lÿ Æ
p
h
„
„˜þ Æ
^„p `„Lÿ
„
^
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
.
h
h
„° „˜þ Æ
°
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ
.
ÿ Æ
P ^„P `„Lÿ
.
;þOJ QJ ^J o(
§ð
Æ
OJ QJ ^J o(
o
Æ
„˜þ Æ
6
^„6
`„˜þOJ QJ ^J o(
§ð
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o(
·ð
˜þOJ QJ ^J o(
o
Æ
OJ QJ ^J o(
§ð
Æ
QJ ^J o(
·ð
Æ
QJ ^J o(
o
Æ
^J o(
§ð
h
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ‡h
ˆH
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
ˆH
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
•
h
„
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
à
.
^„à `„Lÿ
.
h
„P „L
„‹ „;þ Æ
‹ ^„‹ `„
„f „˜þ Æ
f ^„f `„˜þ
h
Æ
„6
Æ
„
Æ
„Ö „˜þ Æ
Ö ^„Ö `„
„¦ „˜þ Æ
¦ ^„¦ `„˜þ
„v „˜þ Æ
v ^„v `„˜þOJ
„F „˜þ Æ
F ^„F `„˜þOJ
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ
)
.
.
•
’
•
h
h
h
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
’
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
‹ „;þ Æ
‹ ^„‹ `„;þo(
.
^„ `„˜þ
.
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
.
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
•
•
’
„
„p
„
h
h
h
„Lÿ Æ
p
„
„˜þ Æ
^„p `„Lÿ
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
ÿ Æ
˜þo(
‚
.
P
„€ „˜þ Æ
^„P `„Lÿ
.
€
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
°
.
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
„p
„Lÿ Æ
„
„˜þ Æ
^„p `„Lÿ
p
@
.
€
^„à `„Lÿ
„Ð
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ
à
.
„
.
„˜þ Æ
Ð
^„ `„˜þ
€
.
„P „L
^„Ð `„
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
€
.
‚
„€ „˜þ Æ
ÿ Æ
P ^„P `„Lÿ
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
)
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
h
°
.
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
‚
h
„
à
.
^„à `„Lÿ
€
.
„P
„@
„L
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
.
h
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ
.
h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ
.
h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ
.
h
„P „L
ÿ Æ
P ^„P `„Lÿ
.
h
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
.
h
„ð- „˜þ Æ
ð- ^„ð-`„˜þ
.
h
„À! „Lÿ Æ
À! ^„À!`„Lÿ
.
„h „˜þ Æ
h ^„h `„˜þo(
.
„8
„˜þ Æ
8 ^„8 `„˜þ
.
„
„Lÿ Æ
^„
`„Lÿ
.
„Ø
„˜þ Æ
Ø ^„Ø
`„˜þ
.
„¨
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ
.
„H
^„
ÿ Æ
˜þo(
è
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
„˜þ Æ
`„˜þ
„
„˜þ Æ
^„è `„Lÿ
.
.
€
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
@
ˆH
.
€
H
.
„x „Lÿ Æ
^„H `„˜þ
x
.
„Ð
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
^„x `„Lÿ
„˜þ Æ
.
Ð
„è „L
^„Ð `„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„h
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
ˆH
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
.
^„à
^„°
^„€
^„P
^„h
^„
p ^„p
‚
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
•
à
°
€
P
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
)
.
.
@
ˆH
h
€
€
‚
•
’
•
h
h
h
h
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
’
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
Æ „:þ Æ
Æ ^„Æ `„:þo(
.
^„‹ `„;þo(
.
.
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
.
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
•
•
’
„p
„@
„
h
h
h
„Lÿ Æ
„
„‹ „;þ Æ
‹
p ^„p `„Lÿ
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
ÿ Æ
˜þo(
.
P
‚
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
„€ „˜þ Æ
^„P `„Lÿ
.
„Lÿ Æ
p
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
„
^„p `„Lÿ‡h
.
à
.
„Ð
@
ˆH
°
.
€
ˆH
.
„˜þ Æ
€
^„à `„Lÿ
„˜þ Æ
Ð
^„ `„˜þo(
.
„P „L
^„Ð `„
)
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ5 o(
^„ `„˜þ5 o( ‡h
ˆH
h ^„h `„˜þ5 o( ‡h
ˆH
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
)
)
€
.
€
€
‚
„
„
„˜þ Æ
„h „˜þ Æ
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
h „˜þ Æ
h ^„h `„˜þo(
.
^„ `„˜þ
.
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
.
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
„
„p
„
„Lÿ Æ
p
„
„˜þ Æ
^„p `„Lÿ
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
ÿ Æ
:þo(
.
P
„€ „˜þ Æ
^„P `„Lÿ
.
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
„p
°
.
„Lÿ Æ
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
@
.
^„à `„Lÿ
„Æ „:þ Æ
Æ
„‹ „;þ Æ
‹ ^„‹ `„;þo(
p ^„p `„Lÿ
.
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ
à
.
„
.
„P „L
^„Æ `„
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
„€ „˜þ Æ
€
P ^„P `„Lÿ
.
„$
„˜þ Æ
$ ^„$
`„˜þo( ‡h
ˆH
)
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
•
„
°
.
ÿ Æ
„à „Lÿ Æ
^„° `„˜þ
à
.
^„à `„Lÿ
„P
¼
•
ˆH
ˆH
¼
.
.
¼
.
’
•
¼
¼
„L
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
’
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
)
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
¼
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
•
•
’
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
¼
¼
¼
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„8
„
„Ø
„¨
ˆH
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ
.
^„à
^„°
^„€
^„P
^„8
^„
Æ
Ø
à
°
€
P
8
‚
`„Lÿ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
`„Lÿ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
^„Ø `„Lÿ‡h
.
.
.
.
)
.
ˆH
€
€
‚
h
h
h
•
’
.
•
h
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ‡h
ˆH
.
•
„x „˜þ Æ
x ^„x `„˜þ‡h
„H „Lÿ Æ
H ^„H `„Lÿ‡h
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„è „˜þ Æ
è ^„è `„˜þ‡h
„¸ „Lÿ Æ
¸ ^„¸ `„Lÿ‡h
h „˜þ Æ
h ^„h `„˜þo(
.
^„8 `„˜þ
.
„Ø
`„˜þ
.
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
.
’
•
•
’
„
„˜þ Æ
Ø
„Lÿ Æ
^„Ø
„¨
h
h
h
h
„8
^„
„˜þ Æ
`„Lÿ
„
8
.
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ
.
ÿ Æ
è
m ß
„H
^„
„
„˜þ Æ
^„è `„Lÿ
.
„˜þ Æ
`„˜þ
t>hQ
AlA
H
.
¨f?
`þ$
À|?6^o
e–
7 ^
3
^„x `„Lÿ
.
„è
¸Uš3
ÄH t
oMü8
cgL&
+
x
.
½8»;
‹1Í
‘i£
_fˆ
„x „Lÿ Æ
^„H `„˜þ
Á1š4
*[ýW
Þ)CG
ªLš
^ 'Y
à=/`
„L
¼'
Øp®E
élV
9b Z
He6$
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿ
!
!
!
!
!
!
!
!
!
rÕ !
-)Ê
ÆàôÎ
f 4]
èΖ@”ž˜
¾6
t™zB
¢Ð2÷¾
n²¤
jfZ¡8Aî
¸
®L
*3~{
á
Úa
²r
à
å
à
Œ
Ž
÷k
-
v
nL
C@
P& ³f N ¯
9 ›i
Î
ïz /| G6
i
Í+! +D! ôN! Áy# N?& pL)
, ì , ¢$, °i, Ä~, & - _ - Ù3. ó 2 ¥`2 im3 ‰
5 žq5 ¢ 7 .=7 [m8 Ú
V7
÷V
3y
Ë
`m
]= +`-
9 ^
:
:
b; .F= w= ™K? ‰2@ $ B §bB Ø D 7.D óFD
oD šoD OG ekG . H ø{H õnJ Z K r*K [kL ‡ M D M ©'M CgN >XO QTR ý T ´~T ý"
V eYV ó[V `uV
X Î~X
Y yY ”YZ ù
\ ì \ I"\ = _ ÿ'_ w_d `e ›jf ¢ h "Vh ¦oj V|k R m ]Pr º s c[s 'v ©^v
zv H'w 7 x ž4x Ýdx sx 6.y ÈZy ·~y Þ
z ]Zz (_z ´h{ ì;| ”7} W~ he~ ˆ{• Àc• Él• q… i† ­9‡ “,‹ b Œ ¤PŒ ˜MŽ D&•
• ÂM• ˆ ‘ —:‘ 9 ” l"• ´.• 3i– Ê ˜ µ
š Ú0š vXš l[š •W› EXž m Ÿ ñ\Ÿ
‰I¢ f£ •n£ Ñ"¤ l ¥ •S¦ •v¦ ¯8§ Á
-© ô+ª £2« ½g« •T- 9 ® - ® C+® m² Ã
´ ±#µ c · ,¸ "\¸ F» _» %/¼ É>Â » Ã ÆkÅ ™*Æ M Ç ü"É Ù Ï 0 Ñ ÀEÒ *{Ò Î Ó
+FÓ “_Ó H Ô GbÖ › × ˜
Ø -|Ù <TÛ ëpÛ 57Þ p_Þ 4Mß Õ$à væ ©Eè }Tè ?é :qé êqé AUê *8í «Wí 7
î O î yñ Õ ó Öió ÜYõ äpö Y]ú 8eû xþ ¼?ÿ Æé áé
ê
ê Cê Tê Zê eê |ê •ê
Më [ë hë uë Žë «ë äì
Ÿé
Tyé
Ÿé
ÿÿ
ÿÿ
€
R o m a n
ÿ
5 •
‡z
€
€
x
¢ê
Âê
Çê
Øê
Þê
Ÿé
ãì P
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
T i m e s
N e w
@
€
A r i a l
;&•
A g e n c y
F
‡z a
€
ÿ
T a h o m a
;
€
W i n g d i n g s
?5•
ÿ
C o u r i e r
N e w
"
ˆ ðÐ
h
kâã pâã ¨¹Æ&
I Œ
q ð
ëê
øê
?
ä
ë
"ë
+ë
ÿ@ € Ÿé
U n k n o w n
‡z
ÿÿ
G •
S y m b o l
3&•
ÿ
B
•
5&•
‡z
1
ú
x
ù ù ´ ´ •• 4
ðÿ
ë
HP
ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•¥`2
ÿÿ
P e r t e m u a n
1
S u r y a d i
D r s
S u r y a d i
D r s .
K a r i m
€
K a r i m
I
¦è
2
Œ
ú
¦è
2ƒQ ð
þÿ
+'³Ù0
œ
˜
´
,
L
X
À
Ü
è
à…ŸòùOh «‘
ô
d
p
|
„
Œ
”
ä
-
Pertemuan 1 Suryadi Suryadi
Word
@
êVú
ÎÊ @
p !ÎÊ
-
3
@
-
Drs. Karim
Normal
Microsoft Office
È IÁÔÈ @
Ja
I
Œ
-
Drs Karim
þÿ
+,ù®0
ÕÍÕœ.
“—
h
°
Ð
p
¸
•
À
˜
È
¨
è
ä
Corporation
-
x
Microsoft
ú
¦è
Ø
Pertemuan 1
-
Title
!
.
@
R
"
/
A
S
e
d
w
‰
˜
ª
¼
T
f
x
Š
™
«
½
Ï
Î
á
ó
#
0
B
U
g
y
‹
š
¬
¾
Ð
â
ô
$
1
C
V
h
z
Œ
›
¿
Ñ
ã
õ
%
2
D
E
W
i
{
•
œ
®
À
Ò
ä
ö
&
3
F
X
j
|
Ž
*
7
I
[
m
•
‘
±
Ã
\
n
’
²
Ä
³
Å
×
é
û
ü
]
o
Æ
Ø
ê
,
9
K
•
“
¢
´
¡
Ö
è
ú
+
8
J
€
Ÿ
Õ
ç
ù
H
Z
•
°
Â
)
6
l
~
ž
Ô
æ
ø
G
Y
•
¯
Á
(
5
k
}
•
Ó
å
÷
'
4
^
p
‚
”
£
µ
Ç
Ù
ë
ý
:
L
_
q
ƒ
•
¤
¶
È
Ú
ì
þ
;
M
`
r
„
–
¥
·
É
Û
í
ÿ
<
N
s
…
>
P
b
t
†
?
Q
c
u
‡
v
ˆ
—
¦
¸
Ê
Ü
î
=
O
a
§
¹
Ë
Ý
ï
¨
º
Ì
Þ
ð
©
»
Í
ß
ñ
à
ò
'
(
)
*
+
þÿÿÿþÿÿÿ5
6
7
8
9
:
;
<
=
>
?
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
Y
Z
[
\
]
^
_
`
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
n
o
p
q
r
s
t
u
v
w
x
y
z
{
|
}
~
•
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
ˆ
‰
Š
‹
Œ
•
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
—
˜
™
š
›
œ
•
ž
Ÿ
¡
¢
£
¤
¥
¦
§
¨
©
ª
«
¬
®
¯
°
±
²
³
´
µ
¶
·
¸
¹
º
»
¼
½
¾
¿
À
Á
Â
Ã
Ä
Å
Æ
Ç
È
É
Ê
Ë
Ì
Í
Î
Ï
Ð
Ñ
Ò
Ó
Ô
Õ
Ö
×
Ø
þÿÿÿÚ
Û
Ü
Ý
Þ
ß
à
þÿÿÿâ
ã
ä
å
æ
ç
è
þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿî
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
ÀKY !ÎÊ ð
€
D a t a
!
.
@
"
/
A
#
0
B
$
1
C
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
e
%
2
D
&
3
,
1 T a b l
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
a t i o n
Ù
t i o n
8
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
4
*H
W o r d D
ÿÿÿÿ
8V
S u m m a r y I n f o r m
(
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
á
q
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F
Microsoft Office Word Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download