HO_18_PILPRES_LANGSUNG.Doc

advertisement
\- ¥O@ h- Pþ Tþ %Z@ •O@
`þ \- \[( ”­ ãÉ|2
Ìo ¨ ÏÊ ÊÁ ÓÏà ¶*Ÿô†ÐÃ
€ HO 18 PILPRES
LANGSUNG.Doc MBALI.doc I SANIT.doc I.DOC doc dan
model.doc ' ¬u' ìÄ" ûÄ"
ˆ½
EO@ h
ìÄ" ¬´ •#'
X´ áËËt
•u'
ìÄ"
„u' äÄ" ðx' Ì´
l´ €ÊËtàÄ" ÌÄ" Ì´ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" ðx' `
ˆÄ" üÄ" Ä´ 5ZËtüÄ" •u' HO18PI~1.DOC aÎt`
`
ä´
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" |· ÛNËt
`
ˆÄ" °Ã" îNËt>
ß
G
P
•
`
€s-w•
€s-w
À–
( \µ 3é w€s-w
ÄÄ"
ÄÄ" ÄÅ" Å"
ª
T¸ ÄÄ"
•u'
/
wp
!
· ½ wp¼µ
· í wp
fÃ"
wp(·
P ! @c€P ! Xr!
! àÏ" * . i
P ! l
ˆÄ"
l
ø
Ã"
p4 wŸ4 wl mèp!
! ۀ"
i h†
Ä" Ä ! ˜o! H
!
ۀ"
ÈÅ"
p¶ ¿, sx¶ Ķ ®. s
lsÅ. s ' èx'
¬¶ •u' `t' ••( 0
ÊjÄFèx' ¨·
X
ß ß
ð
Ä
! o!
Ã"
! øÃ"
l m ! ¨Ã"
¸ “1 w8 ! o1 w²•
}
|`
Ä" Ä ! ˜o! è
!
w
! °Ã"
! Ä ! Xr!
! Ä ! Xr!
! P !
Xr!
˜
}
P
˜
Ä
(Ã"
˜o!
Xr! ¸
Xr! èp! }
(Ã
" Ä !
˜
y|
À
@¸ <· @”( ˆÍ M× w - þÿÿÿo1 whw
°Ã" °Ã"
и ¨Ã" P¸ p/úu !
°Ã" `¸ fRúu°Ã" °Ã" p¸ CRúu
°Ã" €¸ çQúu°Ã" Ô¸ Ôpüu˜m! Ôpüu
˜m! °¸ QSúuÔpüuèº ˜m!
ïMûu°¸
°¸ è
q¨²
–
¦
btamail.net.cn w8
o1 w
w
²
ð
u'
‰uQu
ø² pW¯u•
C¼-GþÿÿÿšuQu
•
ðx'
iZËtP
ðx' ð
ÊjÄF ¸ M× w - þÿÿÿo1 wh- w
ð
'
P
•u' ø
̳ Ä
Ҽt
P
P
ÔZËt•u' @
ß
Ä
•
Ä
•u' •#' " û•
´
ô©Qu•#' •u'
•u' F
'
Ò' д
ž5 w8 ' Ÿ4 w~‘
w@¸
' P ' ìÄ" ¬´ P '
F
äÄ" ðx' Ì´ €s-w
€s-w
( ¤´ 3é w€s-wˆµ
p”( ¤´
| ' áËËt
P ' F
à•(
À–
¤´ 9ï wÔ–( ˆµ Ì–( Hµ
F
m w t wæ•
w@¸
Ò' Tþ M× wv- h¸
p”(
0
À–
( †
(¶ p”( †
¨µ
G
&¶
€
€s-wD
€s-w
À–( \µ 3é w€s-w@¸ D
Ò'
@¸ @¸ Ì–
( Ò' ¸· ˜Ã wT—
( |µ Ô-êÿ
•o w
(¶ € ˆ ¨µ
h¸ †
Dq w
D : \ D A T A \ F I l e
D o s e n
J u r u s a n
P K n \ D r .
P r a y o g a
B e s t a r i ,
S . p d . ,
M . S i \ * . *
° (
' èx' `· ž5 w8 ' Ÿ4 wÎ’
w
' P ' Þ¸
ŒuP ' ° ( t '
•u'
N’
' P '
à•(
ÿÿÿç
' @
Ò'
w
•
[(
ðx' ðx' ëx'
þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
P '
' }pQ •¶
@
êx' èx'
0»
Tþ
M× wv-
y' @”(
y'
@”( Ø· —
} w q-w
ðx'
F
F
Ø·
·
ôd wTþ
ì·
Ðø w
y'
¸
aÁQu
y'
0»
˜Ò'
ìº
Œ‹Qu
0»
&
…“ ÏÊ º)º_ÑÏÃ -RN
F
@¹
Ž wȹ
”½
p”( | '
`þ
Ò'
¡‹Qu
˜Ò'
(º
@¹
|Ž w•Ž wîœ
t¸
@
ˆ ˆ
`
Ò' F
w
(º %Z@ Ò' P ' ° ( | '
@
Hº ü¹ 0½
f w0½
º Ëe w(º (º Hº ü¹ (°ý•
Hº `þ
Ò' Tþ M× wv®
°”( W
0
®
\½ Wd w¼I wed wHº
€
U•ôd w?
•
;
#
#
`þ
¹
P ' 0½
(º
®
ðx' ôd wŸ Qu
˜¹
N»
ƒO@
ÿÿ
\½
M× wjZ@ `¹
â• w(º
°”( ®
ùe w(º
0½
º
Õ w(º
Hº
º
}pQ r
€
X
jZ@
F
,½
#
•
€ÿÿ
ø€ ¢ € ¢
Hˆ …
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ \½ \½
' t ' o1 w
ˆ½
O@ À½
`þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2SILA´Í <O@ À½
âëç¥ ÏÊ Œ¼_ÑÏà †²,ͧÌÊ
SILABUS-HO-SAP SISPOLIN RA
PKn onesia teknik, model.ppt , dan model.doc pe: text/html
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
ðx
<html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID
height=3D0 width=3D0></iframe></body></html>
--#BOUNSILABU~2 DOC ersion: 1.0
Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-id: THE-CID
h
@
ngnya pemerintahan Nigeria pada tahun 1983 dan Sudan pada
tahun 1989 merupakan contoh yang dapat dijadikan pelajaran. Di Angola,
fase transisi menuju demokrasi berakhir dengan pecahnya perang saudara
dan berlanjut pada rezim yang otoriter. Demokratisasi adalah proses
bertingkat-tingkat dimana terdapat kemungkinan bagi setiap negara-bangsa
untuk gagal di setiap tingkatan sepanjang garis kontinum dari
otoritarianisme sampai dengan tahap demokrasi yang baru (Casper dan
Taylor, 1996).
Pengalaman Indonesia di masa lalu, baik di bawah rezim Orde Lama maupun
di bawah pemerintahan Orde Baru, merpakan petunjuk betapa sulitnya jalan
menuju masyarakat dan negara-bangsa yang demokratis. Jika demikian
halnya, mengapa beberapa negara berhasil mencangkok demokrasi setelah
runtuhnya rezim otoriter, sementara beberapa negara lainnya gagal? Dan,
mengapa proses demokratisasi di beberapa negara berhasil sampai ke tahap
mengkristalnya demokrasi baru, sementara yang lainnya mandeg atau bahkan
berantakan pada tahap-tahap awal? Setelah membandingkan dengan mengkaji
beberapa kasus, Casper dan Taylor berpendapat, bahwa tahap pencangkokan
demokrasi baru merupakan separuh dari proses dmeokratisasi. Kita tidak
dapat berasumsi bahwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya. Menurut mereka ada dua alangkah penting yang harus dilakukan
agar suatu negara-bangsa dapat sampai pada kehidupan demokratis yang
dicitakan. Pertama, langkah jangka pendek yang berkaitan dnegan
pencarian jalan keluar bagi kekuatan-kekuatan yang masih mndukung rezim
lama; dan, kedua, adalah langkah jangka panjang yang difokuskan pada
proses konsolidasi demokrasi baru tersebut. Kerangka tersebut bukanlah
resep yang dapat mentransformasi otoritarianisme dan situasi anarkis saat
ini menjadi kehidupan yang harmonis dari demokratis dalam sekejap mata,
semalam, atau bahkan dalam hitungan bulan. Akan tetapi, melalui temuan
Casper dan Taylor (1996) bangsa kita dapat memompa optimisme dari mana
usaha harus dimulai agar proses reformasi yang tengah bergulir tidak
berakhir dengan kembalinya kekuasaan negara yang begitu besar sehingga
warna otoritarianisme atau bahkan fasisme menjadi keadaan nyata sekali
lagi di negeri ini.
Konstruksi Sosio-Antropolitik di Indonesia
Francis Fukuyama (1995) dalam bukunya Trust: the Social Virtues and the
Creation of Prosperity pernah men-thesis-kan dua bentuk masyarakat yang
berwujud pada aras dunia mondial, pertama, masyarakat dengan tingkat
kepercayaan tinggi (high trust society) dan, kedua, masyarakat yang
bertingkat kepercayaan rendah (low trust society). Menurutnya lebih
lanjut bahwa tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibangun melalui social
capital yang berbasis pada sifat dan sikap untuk saling percaya baik
dalam bentuk relasi horisontal maupun vertikal. Melalui pendekatan
pengategorian masyarakat tersebut Fukuyama dapat menganalisis mengenai
perkembangan sosial, politik, serta ekonomi di suatu negara. Kemudian
bagaimana kabarnya bila kita kaitkan dengan Indonesia?
Bila Fukuyama mengatakan ada dua bentuk masyarakat yang dapat membangun
lanskap sosial, ekonomi, dan politik, maka penulis perlu menambahkan satu
kategori masyarakat lagi untuk menganalisis pembangunan sosial, ekonomi,
dan politik tersebut di atas, khususnya untuk kaus di Indonesia, yakni:
zero trust society atau distrust society. Kenapa demikian? Jawabannya
bisa dirujuk melalui akar sejarah panjang Indonesia, yang dibangun
melalui perselisihan, konflik, pertentangan kepentingan, saling tidak
percaya, saling sikut satu dengan yang lainnya, dan seterusnya. Pada
intinya, tidak ada kepercayaan, zero trust society atau distrust society,
diantara warga masyarakatnya. Baik antara kaum perempuan—kaum laki-laki,
kelompok sipil—kelompok militer, antarpartai, antarkelompok kepentingan,
dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu dibahas kiranya mengenai konstruksi
sosio-antropolitik masyarakat di Indonesia agar kita dapat mengurai
persoalan-persoalan yang telah mengakar pada sikap dan perilaku warga
masyarakat bangsa Indonesia. Dan, salah satu langkah yang perlu dibangun
dalam menyairkan persoalan bangsa ini ialah dnegan cara membangun trust
sebagai wujud bagi “kontrak sosial baru” antara pemerintah baru dengan
warga masyarakatnya. Kontrak sosial ini baru dapat terlaksana apabila
kepercayaan yang tinggi antara kelompok masyarakat dengan kelompok
masyarakat lainnya saling bersatu; kepercayaan antara pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat terwujud; kepercayaan antara kelompok sipil dan
kelompok militer terbangun; kepercayaan antara masyarakat dengan
pemerintahnya berdiri; hingga kepercayaan antara kaum perempuan dan kaum
laki-laki mewujud.
A. Membangun Kepercayaan dalam Hubungan Sipil-Militer
Salah satu persoalan pokok penting guna membangun demokratisasi,
khususnya dari rezim yang otoriter atau bahkan totaliter menuju rezim
yang demokratis, adalah bagaimana membangun civilian control upon
military serta seberapa jauh kontrol sipil tersebut terhadap angkatan
bersenjata. Perlu diingat bahwa angkatan bersenjata/militer di Indonesia
telah memainkan peran sentral dalam politik semenjak kemerdekaan, hal ini
terwujud karena faktor kesejarahan yang tidak dapat dipungkiri oleh
seluruh warga masyarakat. Tapi dukungannya terhadap rezim Soeharto
menjadikan militer tak populer di mata masyarakat sendiri.
Dinamika hubungan sipil-militer yang berkait dengan civilian control
secara teoretik dibahas dengan gamblang oleh Huntington, dalam bukunya
the Soldier and the State (1956). Katanya, kekuasaan militer dapat
dikontrol atau diredam dengan cara memperbesar kekuasaan pihak sipil,
seperti mekanisme zero-sum game. Bila hal ini dapat terwujud kekuasaan
pihak sipil yang besar, maka yang muncul kemudian adalah: dua kemungkinan
kontrol sipil atas militer (dalam perpolitikan negara). Pertama,
subjective civilian control, asumsinya: pada saat kelompok sipil berkuasa
yang biasanya terdiri atas banyak golongan serta faksi yang berbeda sifat
dan kepentingan, dan angkatan bersenjata/militer diperintah oleh banyak
“mulut sipil” yang terjadi bukanlah civilian control upon military tapi
yang muncul ialah esprit de corps militer dan bahkan dapat memperkuat
posisi militer (lagi), bila hal ini yang terjadi maka demokrasi hanyalah
kenangan, maka dari itu akhirnya diputuskan kontrol militer hanya
dipegang oleh satu kelompok sipil saja. Ini artinya kelompok lain tidak
memiliki kontrol terhadap militer karena kontrol telah dimonopoli oleh
satu kelompok sipil lainnya demi kepentingan bersama. Dengan demikian
upaya kontrol sipil terhadap militer secara subyektif membawa implikasi
bahwa kekuasaan berada di satu golongan, yang biasanya dimanfaatkan oleh
penguasa sipil (yang mengontrol militer) untuk mematikan gerak kelompokkelompok sipil lainnya dengan memanfaatkan kedekatannya dengan angkatan
bersenjata. Menurut Huntington subjective civilian control yang salah
atur dapat melahirkan rezim otoriter baru. Oleh karena itu, bila ada
ucapan yang selalu mengatakan bahwa militer harus tunduk pada kelompok
sipil, yang perlu dipertanyakan lagi adalah: kelompok sipil yang mana?
Bila hal ini dicermati dari konsep subjective civilian control.
Kedua, objective civilian control. Kontrol sipil terhadap militer secara
obyektif bertujuan untuk memaksimalkan profesionalisme militer karena
pada konteks ini kelompok sipil saling bekerja sama untuk me-format
bentuk ideal dari sifat dan perilaku kelompok militer. Namun perlu
diingat, sebuah teori pernah berujar: semakin ketat kontrol sipil
terhadap militer, maka semakin besar pula resistensi kelompok militer
terhadap kelompok sipil. Bila demikian halnya, maka civilian control
upon military tidak dapat berwujud dan mendemokrasikan demokrasi tidak
akan pernah terjadi. Alasannya, karena militer “merasa” semakin tidak
nyaman atas kontrol sipil yang terlalu besar. Kasus tahun 1950-an hingga
tahun 1990-an dibanyak negara, antara lain: di Indonesia, Chili, Nigeria,
Guatemala, Pakistan, Thailand, Sudan, dll. di mana kudeta militer
berhasil kembali menegakkan rezim milternya sehingga membalikan proses
demokratisasi 180 derajat ke arah otoriterianisme baru (Huntington,
1995).
Untuk itu, perlu kiranya manajemen publik dalam mewujudkan demokratisasi
pada negara yang awalnya bercorak otoriter untuk membatasi kekuatan
militer dengan cara meningkatkan profesionalisme angkatan bersenjata.
Beberapa langkah sudah dijalankan oleh pemerintah sipil di Indonesia
untuk menempatkan militer dalam kontrol sipil, antara lain: penunjukan
Menteri Pertahanan (Menhan) dari kelompok sipil, larangan bagi perwira
untuk merangkap jabatan di pemerintahan, mengganti secara gradual kepala
daerah dan kepala wilayah oleh kelompok sipil, hingga dilepasnya polisi
dari kontrol militer. Tapi menariknya, laju reformasi militer justru
didorong oleh pihak militer sendiri (Mabes ABRI, 1998), dan bukan oleh
pemerintahan sipil. Disini terlihat bagaimana pihak sipil “sebenarnya”
takut untuk melakukan perombakan dalam tubuh angkatan bersenjata, mulai
dari: pencabutan dwifungsi, perombakan atau bahkan penghapusan fungsi
territorial TNI, restrukturisasi dan redoktrinisasi, serta perubahan
kultur di dalam tubuh militer.
Oleh sebab itu, sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah yang belum
diselesaikan oleh pemerintah sipil yang berkuasa saat ini. Perubahanperubahan besar lain masih perlu digulirkan untuk memastikan agar militer
menjadi kekuatan profesional dan apolitis yang tidak berbaur pada kancah
sosial-politik, dengan syarat perubahan-perubahan ini harus dilaksanakan
secara gradual (bertahap) dan melalui konsultasi yang intens antara
eksekutif, legislatif, dan militer sendiri.
Konsultasi yang intens amat perlu dilakukan agar tidak muncul
kesalahpahaman antara pihak sipil dan militer. Tindakan seperti
menyingkirkan dan memensiunkan perwira-perwira senior secara mendadak,
menghukum prajurit dan perwira yang melanggar Hak Azasi Manusia (HAM)
pada masa lalu tanpa toleran, mengganti secara tiba-tiba kepala-kepala
daerah dan kepala-kepala wilayah yang awalnya dipegang oleh pihak
militer, dikuranginya anggaran belanja militer dengan jumlah besar, dll.
dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu terjadi, bila tidak
didialogkan secara intens. Karena sekali lagi terori dan sejarah pernah
berkata bahwa terlalu banyaknya tekanan dari pihak sipil pada pihak
militer bisa berakibat fatal dengan menguatnya kembali posisi perwiraperwira yang tak terlalu bersimpati pada reformasi (khususnya pada
kelompok sipil), yang diakhiri oleh kudeta militer.
Menurut S.E. Finer (1962) ada beberapa faktor yang menyebabkan kembalinya
militer pada kancah sosial-politik, yakni: (1) melemahnya pemerintahan
sipil. Ketika pemeritahan sipil menurut mereka telah mengalami pembusukan
politik yang disebabkan oleh pertikaian elite, pertentangan kepentingan
melalui pelembagaan undang-undang serta kebijakan, dan macam sebagainya,
ketika itulah militer masuk dalam kancah politik dengan argumen menjaga
persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa. Hal ini disebut pula dengan
istilah “push factor” (push factor theory) atau faktor pendorong masuknya
militer pada kancah sosial-politik. Selain sebab di muka, faktor
pendorong aneksasi militer pada ranah sosial politik sipil terkait
dengan: (2) kebanggaan atas korps, etos mengenai diri sendiri sebagai
sekelompok orang pilihan, paling patriotik, paling berdisiplin, paling
berjasa untuk mempersatukan seluruh wilayah kedaulatan, dll. sehingga
sekali lagi manakala terjadi ketidaksepahaman pada elite sipil, maka yang
terjadi adalah keluarnya militer dari barak. Push factor ini dibarengi
pula, biasanya, oleh kebiasaan militer yang selalu memandang dan
menganggap rendah terhadap kaum sipil; sipil tidak becus, sipil
senangnya bertikai terus, sipil tidak pernah memikirkan rakyat, sipil
penuh intrik dan kebohongan, dan macam sebagainya. Dan, hal tersebut akan
didukung oleh situasi objektif masyarakat saat itu karena tidak akan ada
satu pun golongan yang menyatakan bahwa tindakan militer bukan suatu
tindakan demi kepentingan militer sendiri. Masyarakat akan selalu
mempercayai landasan militer bergerak pada tataran "kepentingan
nasional". Militer punya kedudukan istimewa dalam menggunakan landasan
ini. Mereka dipercayai berada di luar politik gabungan. Tugas mereka
adalah tugas negara, dan keberadaannya memang dimaksudkan khusus untuk
membela negara. Lembaga kemiliteran juga disimbolkan sebagai lembaga
nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan
patriotisme. Jadi kalau mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan
nasional bukan per kelompok seperti yang dipertontonkan oleh pihak sipi
masyarakat luas akan lebih mudah percaya. Jika demikian, terlegimasilah
peran militer di ranah sosial-poltik.
Motif lainnya masuknya militer ke aras sosial-politik lebih bersifat (3)
egoistik. Finer percaya bahwa militer akan selalu menjaga kepentingan
mereka sebagai lembaga yang otonom. Bila otonomi itu dirasa terancam,
maka mereka (seringkali) akan melakukan intervensi. Dalam bentuk
defensif, motif ini menjurus ke semacam sindikalisme militer: sikap
bersikukuh bahwa militer, dan hanya militer, yang berhak menentukan
besar-kecilnya angkatan perang, kebutuhan perlengkapan militer (terkait
dengan anggaran belanja), dan pendaftaran calon serdadu (jumlah angkatan
bersenjata). Dalam bentuk yang lebih agresif kekhawatiran tersebut
menjurus pada tuntutan agar militer menentukan semua hal yang berdampak
pada konstitusi angkatan bersenjatanya, termasuk: penentuan kepala-kepala
staf angkatan dan panglima angkatan bersenjata.
Yang terakhir, pull factor theory, militer masuk dalam bidang politik
karena: (4) ajakan kelompok-kelompok sipil yang tengah bersaing dalam
pemerintahan. Atau, ajakan pihak sipil dalam menanggulangi krisis yang
multidimensional. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintahan
sipil dan bertambahnya harapan pada militer dalam memperbaiki keadaan
yang carut-marut, menciptakan kesempatan bagi militer untuk melkukan
konsolidasi dan mendongkrak pengaruhnya. Kelak, bila konsolidasi telah
rampung, bila kuku pengaruh militer sudah tertancap, pada saatnya beban
kesalahan semua kegagalan akan diletakkan di pundak sipil.
Variabel terpenting dalam menentukan kemungkinan, intensitas, dan metode
intervensi militer pada tatar sosial-politik adalah tingkat kultur
politik suatu masyarakat. Semakin tinggi kultur politik, maka kian tipis
kemungkinan intervensi militer ke bidang non-militer. Penentuan tinggi,
sedang, rendahnya kultur politik pada suatu masyarakat, ujar Finer,
terletak pada: (a) adanya konsensus mengenai suksesi kekuasaan; (b)
adanya konsensus terhadap pemerintah yang legitimate; serta (c) adanya
masyarakat yang peduli "politik" (kelompok kepentingan, kelompok penekan,
dan juga ornop) yang cukup aktif dalam mengontrol jalannya pemerintahan.
Oleh karenanya, prioritas pertama reformasi, dan merupakan langkah tepat
yang telah dilakukan oleh pemerintah sipil Republik Indonesia adalah
dengan mencabut undang-undang dan keputusan-keputusan yang berkait dengan
persoalan Dwifungsi militer. Langkah taktis berikutnya adalah melakukan
redoktrinisasi militer dengan cara mengakui secara eksplisit supremasi
sipil dan menyatakan bahwa peran angkatan bersenjata adalah untuk
melindungi negara dari ancaman eksternal, sedangkan persoalan yang
menyangkut tentang ancaman internal adalah merupakan tugas dan
tanggungjawab kepolisian.
Bila kelompok militer sudah mau dan konsekuen menjalankan langkah penting
demokratisasi dengan melarang anggotanya merangkap jabatan di
pemerintahan. Maka yang perlu dipikirkan oleh pihak sipil kemudian
adalah: bagaimana memperlakukan perwira-perwira yang mendekati masa
pensiun. Cara tradisional yang kerap kali dirujuk adalah memberikan
jabatan-jabatan sipil pada pensiunan perwira menengah dan perwira tinggi
militer sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kekecewaan, karena selama ini budayanya perwira-perwira
menengah dan perwira-perwira tinggi yang memasuki masa pensiun seringkali
diberi “jatah” untuk duduk di jabatan sektor publik (entah itu: kepala
daerah, kepala wilayah, Dirjen, Dirut, atau lainnya), sedangkan saat ini
justru yang hendak dibangun adalah profesionalisme militer, oleh
karenanya, para perwira ini harus diberi kompensasi lain. Merujuk pada
negara-negara maju biasanya para pensiunan militer ini kemudian diberikan
kompensasi atau sokongan total pada pemeliharaan kesehatan gratis hingga
mereka meninggal, gaji pensiun yang tinggi, hingga status serta reputasi
dirinya dikalangan masyarakat umum sebagaimana yang mereka persepsikan.
Langkah lainnya yang perlu digarap adalah kemampuan pihak sipil dalam
memberdayakan dan menguatkan pengadilan sipil. Artinya, pengadilan sipil
harus dapat mengadili anggota militer yang melanggar hukum sipil dan
undang-undang. Karena hingga kini, militer menjalankan sistem hukumnya
sendiri yang kerap dilihat oleh pihak sipil sebagai perlindungan
kejahatan yang diperbuat/dilakukan oleh personel militer selama ini,
serta masa lalu.
Selain itu, kaum sipil harus bisa mengontrol badan-badan usaha milik
militer dan membuat kebijakan-kebijakan yang mengatur akan hal tersebut.
Militer Indonesia, seperti kita ketahui, sudah terlibat di dalam bisnis
sejak pembentukannya, pada mulanya angkatan bersenjata menggunakan
pendapatan itu untuk mengatasi masalah kekurangan dana yang seharusnya
diperoleh mereka dari pemerintah sipil. Sistem seperti ini bisnis
militer terbuka bagi penyalahgunaan dan menimbulkan risiko bahwa
pendapatan dari kegiatan bisnis yang tak diumumkan bisa digunakan oleh
perwira-perwira untuk tujuan pribadi, yang lebih buruk lagi untuk tujuan
politik mereka. Hal ini kelihatannya akan terus berlanjut hingga
beberapa dekade ke depan sebab sejauh ini pemerintah sipil belum mampu
menutup kekurangan dana keperluan militer tersebut.
B. Membangun Kepercayaan dalam Hubungan/Relasi Gender
Meski lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, namun
mereka hanya memiliki pengaruh kecil dalam pembuatan keputusan dan sering
tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya bahkan strategic resources
sebagaimana kelompok pria. Ketimpangan ini diperkuat oleh rezim Orde Baru
yang melihat perempuan semata-mata di bawah pria, sebagai istri atau ibu
yang berfungsi sebagai pembangtu pekerjaan rumah tangga. Oleh karena
itu, tidak heran bila saat ini kata wanita yang seringkali melekat pada
diri seorang istri atau ibu kemudian digugat oleh kelompok-kelompok
gerakan perempuan karena konotasinya yang negatif. Wanita diartikan atau
dimaknai oleh mereka kebersediaan untuk diatur, yakni sebagai: “wani di
toto/tata”, “berani atau bersedia diatur”, oleh sebab itu, kedudukan
perempuan (selalu) tergambar inferior. Pemaknaan itu tidak stop sampai
di sana. Manakala makna tersebut diejawantahkan dalam bentuk perbuatan
maka yang terjadi adalah subordinasi perempuan, stereotype (pencitraan
yang buruk) terhadap kaum perempuan, marginalisasi (peminggiran), hingga
kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok gerakan
perempuan berbondong-bondong untuk menggugat kata kata ‘wanita’ dengan
mengubahnya menjadi kata ‘perempuan’ yang lebih netral. Itu langkah awal
dari gerakan kesetaraan gender.
Di era-reformasi ini memungkinkan penyeimbangan kembali posisi laki-laki
dan perempuan dengan tujuan mengurangi ketimpangan yang telah terjadi
selama ini. Tujuan ini tidak hendak menggantikan patriarki dengan
matriarki, tapi untuk memastikan bahwa masalah perempuan dan laki-laki
harus diberi perhatian yang sama oleh negara dan di dalam masyarakat.
Upaya ini sudah pasti menghadapi rintangan kultural dan agama sekaligus
kepercayaan bahwa demokrasi yang baru tumbuh seperti di Indonesia punya
prioritas yang lebih penting ketimbang persoalan gender belaka. Bila
kita cermati lebih dalam, maka kepercayaan seperti ini amatlah keliru,
sebab ketimpangan gender berada di jantung demokrasi yang sejati.
Karena, tidak mungkin ada demokrasi tanpa menyertakan partisipasi dan
peran aktif dari kelompok perempuan. Oleh karena itu, konstitusi perlu
diamandemen untuk memuat jaminan bagi kesetaraan dan kesamaan gender,
termasuk didalamnya mengenai penentangan terhadap diskriminasi, juga
proses amandemen itu harus melibatkan peran aktif dari kelompok-kelompok
perempuan yang ada. Kendati Indonesia saat ini memiliki presiden
perempuan tapi ini saja bukan jaminan bahwa masalah perempuan bakal
dipertimbangkan pada saat keputusan diambil oleh pemerintah dan parlemen.
Ada banyak langkah konkret yang bisa dijalankan untuk meningkatkan
kesadaran terhadap persoalan gender: misalnya, peningkatan jumlah
perempuan di parlemen melalui affirmative action, partai-partai politik
harus mengadopsi kuota minimum kandidat perempuan dalam pemilu,
dipopularkannya dan ditingkatkan peran Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan sebagai institusi penerima aspirasi kelompok perempuan, dan
presiden harus mempunyai penasihat khusus masalah gender. Di aras
internasional wacana Women in Development (WID) yang berupaya membangun
dan menjalankan proyek-proyek dan program-program untuk atau demi
“kepentingan kaum perempuan” atau Gender and Development (GAD) yang
berupaya mengintegrasikan kepentingan-kepentingan kelompok perempuan
dalam proyek pembangunan nasional suatu negara. Dalam diskursus GAD
pengikutsertaan kelompok perempuan dalam proses pembuatan kebijakan
(decision making process), dibukanya akses ekonomi dan politik bagi kaum
perempuan, hingga kebermanfaatan pembangunan bagi perempuan merupakan
suatu hal yang disyaratkan.
Berkait dengan persoalan affirmative action dan sistem kuota minimum yang
disampaikan di atas perlu kiranya dibahas mengapa persoalan gender dan
keterwakilan perempuan amat penting khususnya dalam masyarakat
transisional. Dalam masyarakat demokratis, kompetisi yang adil (fairness
competition) amat dijunjung tinggi termasuk pula dan seharusnya dengan
persoalan gender. Hal ini berimplikasi pada tidak perlu ada segregasi
keterwakilan politik perempuan dilembaga formal maupun informal. Data
Badan Pusat Politik (BPS) menunjukkan bahwa sensus tahun 2000
mengidentifikasi terdapat jumlah perempuan sebanyak 101.625.816 jiwa,
atau 51 persen dari seluruh populasi, kendati demikian, jumlah yang besar
itu tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga
formal termasuk di lembaga-lembaga pembuat atau pengambil keputusan
politik di Indonesia, sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini:
Tabel: Jumlah Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Formal Negara
Lembaga Jumlah
Perempuan Jumlah
Laki-laki Presentase
Jumlah
Perempuan MPR 18 177 9,2% DPR 45 455 9% MA 7 40 14,8% BPK 0 7 0%
2 43 4,4% KPU 2 9 18,1% Gubernur 0 30 0% Bupati 5 331 1,5%
Sumber: Panduan Parlemen Indonesia, hal. 232.
DPA
Ada beberapa sebab yang dimunculkan oleh “orang atau kelompok tertentu”
agar kaum perempuan ditelantarkan dalam parlemen atau dalam decisionmaking process. Ada sejumlah alasan yang bila tidak kita cermati akan
menimbulkan persepsi yang sejalan dengan “orang atau kelompok tertentu”
tersebut. Pertama, argumen yang mengatakan bahwa perempuan adalah mahluk
yang lemah dan harus dilindungi(?). Oleh karena lemahnya perempuan maka
pekerjaan yang cocok bagi mereka adalah di daerah domestik-rumah tangga,
seperti: mengurus anak, menyiapkan makan, membuat air panas, dan macam
sebagainya. Sedangkan di sisi lain, pria adalah mahluk yang kuat, yang
pantas bekerja di luar. Implikasi dari hal tersebut adalah
dikebelakangkannya kepentingan-kepentingan perempuan karena mereka sama
sekali tidak akan pernah bersinggungan dengan persoalan kepemerintahan
bahkan kenegaraan. Inti pendekatan ini adalah lingkungan dan budayalah
yang menyebabkan perempuan ‘terlihat’ lemah dibandingkan dengan pria,
pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah nurture theory (Budiman,
1981), yang berakar dari teori struktural-fungsional. Alasan kedua,
karena perempuan adalah “mahluk yang tidak lengkap” Caroline Whitback
(1976) mengistilahkan dengan ‘jiwa yang tak lengkap’; sedang Freud
mengistilahkan dengan penis-envy sehingga manakala mereka diberi
pekerjaan yang sama dengan kaum pria, maka mereka tidak akan mampu untuk
mengerjakannya. Mulai dari Aristoteles hingga Jacques Lacan penerus Freud
mengatakan hal yang sama tentang perempuan, bahwa perempuan memang lebih
lemah dibandingkan dengan kaum pria oleh karena ketidaksempurnaan
instrumen fisiknya. Oleh sebab itu, perempuan hanya baik dan sukses
apabila dia menjalankan fungsinya sebagai pengembang keturunan (bahasa
sarkasmenya: pabrik anak), dan bukan dilevel kepemerintahan. Jadi, mereka
sama sekali kurang atau bahkan tidak baik untuk bekerja di luar
domainnya, sebagai wadah reproduksi. Pendekatan ini dikenal dengan
istilah the nature theory.
Untuk merevisi kedua mitos tersebut di atas kelihatannya hanya ada satu
jalan, yakni: membongkar ideologi yang tersedia tersebut. Karena, mengapa
kaum perempuan begitu penting untuk turut serta dalam pembuatan keputusan
politik? Sebab, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya
dapat dipahami (paling baik) oleh perempuan itu sendiri. Kebutuhankebutuhan ini meliputi: (a) isu-isu kesehatan reproduksi, seperti: cara
berkontrasepsi yang aman, karena selama ini yang menjadi obyek
(penderita) alat kontrasepsi tersebut mayoritas adalah perempuan,
sedangkan kelompok pria (kelihatannya) menjadi ‘kelompok penggembira’;
(b) isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti: harga sembilan bahan pokok
yang semakin tak terjangkau, masalah kesehatan, dan pendidikan anak; (c)
isu-isu kekerasan seksual; (c) pencitraan ulang atas stereotype yang ada
selama ini, dan lain sebagainya.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik memiliki dua
sasaran strategis: pertama, memberi dampak atau gambaran positif kepada
institusi-institusi agar lebih bisa memahami sekaligus mengeliminasi
berbagai bentuk rasisme (termasuk subordinasi dan marginalisasi) serta
seksisme (sexual harassment) dimanapun perempuan berada; kedua, agar
institusi-institusi tersebut mampu mencegah terjadinya prasangka (bias)
gender dan sukuisme (Ani W. Soetjipto, 2001: 230). Oleh karena itu, agar
ketimpangan gender dan representasi perempuan di lembaga politik lebih
adil, maka perlu dilakukan gerakan-gerakan demokratis yang lebih nyata
salah satunya, adalah: menjalankan affirmative action secara konsekuen
dan menerapkan sistem kuota bagi perempuan.
Affirmative action adalah gerakan proaktif untuk menghapus diskriminasi
yang berbasis gender.Tidak hanya itu, gerakan tersebut juga mengupayakan
kemajuan kelompok-kelompok perempuan dalam hal kesetaraan kesempatan,
yang lebih bersifat subtantif dan bukan formalitas (Clayton and Crosby,
1994: 3). Sedangkan sistem kuota adalah suatu mekanisme yang menetapkan
suatu persentase keterwakilan minimum bagi pria dan perempuan yang
bertujuan menjamin tercapainya keseimbangan keberadaan pria dan perempuan
di pelbagai bidang, termasuk juga pada posisi decision making. Alasan
mendasar penerapan sistem kuota adalah untuk mengatasi masalah
ketidaksetaraan dan ketidaksamaan yang disebabkan oleh hukum dan kultur
(nurture theory) di dalam masyarakat (Ani W. Soetjipto, 2001: 230).
Sistem kuota ini dilakukan, biasanya, dengan cara mencantumkan dan
menyertakan minimal 20 persen calon legislatif perempuan, dan nama
kandidat perempuan tersebut dituliskan berselang-seling dengan nama
kandidat laki-laki serta menetapkan minimal 30 persen perempuan sebagai
calon anggota pengurus partai politik. Hal amat mungkin apabila paradigma
yang berkembang selama ini dibongkar.
Tapi pertanyaannya selanjutnya, bagaimana melakukan perombakan atau
pembongkaran paradigma (cara pandang atau mitos) yang telah mengakar
kuat, agar sosialisasi gerakan ini berhasil? Sebelum sampai di sana perlu
diperhatikan dulu bahwa undang-undang dan peraturan di Indonesia
seringkali keliru mengasumsikan bahwa semua pencari nafkah (breadfinder)
dan kepala rumah tangga adalah pria. Persepsi tak akurat ini perlu
direvisi. Perencanaan masa depan, keuangan, dan anggaran harus mengakui
peran perempuan di dalam sosio-ekonomi formal maupun informal. Rintangan
bagi perempuan bekerja harus dicabut, misalnya dengan menerapkan gaji
yang sama untuk pekerjaan yang sama dan menyediakan kredit lunak bagi
wiraswastawan perempuan. Tidak itu saja. Kekerasan terhadap perempuan
akibat konflik domestik juga harus diakui sebagai kejahatan, meski
pendidikan publik diperlukan untuk menangkis “faktor aib” yang
menghalangi perempuan dalam melaporkan kejahatan semacam itu.
Langkah-langkah konkret lain perlu didukung oleh perubahan cara melihat
perempuan di media-massa, yang saat ini kerap klise. Salah satu cara
untuk melakukan hal tersebut adalah pemerintah bersama-sama dengan
kalangan bisnis dan ornop menjalankan sistem insentif imbalan dan
penghargaan terhadap liputan media yang peka gender. Jangan jadikan
perempuan hanya sebagai objek kepuasan! Ada beberapa strategi agar
affirmative action dan sistem kuota dapat berjalan guna proses demokrasi
di Indonesia: (a) mensosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan
dalam pembuatan keputusan politik kepada media-massa, lingkungan
masyarakat dan keluarga; (b) memberikan nilai atau pandangan kepada
lingkungan masyarakat dan keluarga sejak dini tentang pentingnya peran
perempuan dalam politik; (c) mendorong perempuan untuk berani mengisi
jabatan-jabatan strategis dalam politik; (d) mendukung perempuan yang
telah duduk dalam posisi-posisi strategis pembuat keputusan; (e) membuat
jaringan kerja sama antara kelompok-kelompok perempuan baik di tingkat
lokal, nasional, maupun internasional; (f) mendesak pemerintah dan
lembaga-lembaga formal negara lainnya untuk mendukung angka strategis
untuk perempuan; (g) mendesak partai politik dan lembaga-lembaga/ormas
lainnya untuk mendukung dan menerapkan peningkatan jumlah perempuan dalam
lembaga-lembaga politik; dan (h) memilih kandidat perempuan dalam pemilu
mendatang untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dalam politik
(International IDEA, 2000: 173—199).
C. Membangun Kepercayaan dalam Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah
Sejak zaman penjajahan terdapat ketegangan antara kecenderungan
sentralisasi pemerintahan pusat di Jakarta dengan hasrat daerah-daerah di
Indonesia untuk menjalankan sendiri urusan mereka. Rezim yang berkuasa di
Indonesia menanggapi pemberontakan di daerah pada tahun 1950-an dengan
menciptakan sebuah sistem pemerintahan terpusat yang ketat (JD. Legge,
1961). Legge menganalisis gejala lahirnya “daerahisme” atau latar
belakang “otonomi lokal” sebagai suatu manifestasi gumpalan emosi dan
rasio yang sedikitnya terdiri atas tiga unsur. Pertama, kebutuhan
memproyeksikan identitas etnis daerahnya sebagai manifestasi dari akar
kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yang sekaligus juga awal jalan
aktualisasi kedaerahan. Kedua, adanya kecemasan akan “imperialisme Jawa”.
Penelitian Legge di beberapa daerah menunjukkan adanya keluhan bahwa
sejumlah departemen di pemerintahan pusat bahkan juga di daerah
didominasi oleh pejabat-pejabat Jawa. Unsur ketiga bersifat lebih
rasional, dibeberapa daerah pengekspor, seperti: Sumatra, Kalimantan, dan
Sulawesi (juga Irian) memberi sumbangan kepada ekonomi Indonesia yang
tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh oleh daerah mereka. Unsurunsur inilah, menurut Legge, yang menjadi dasar kokoh guna lahirnya
“daerahisme” atau desentralisasi penyurutan kekuatan pemerintah pusat
(sentral) di daerah.
Ketimpangan-ketimpangan yang diperoleh masyarakat daerah selama inilah
yang memang perlu dikoreksi. Ada kesepakatan umum bahwa sistem yang
selama ini (di)berlaku(kan) harus direformasi melalui otonomi daerah yang
tidak semu, yang instrumennya ialah Undang Undang (UU) No. 22/1999 dan
Undang Undang (UU) No. 25/1999 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Desentralisasi diharapkan akan berdampak sangat besar terhadap sosial
ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, readjusment (penyesuaian
ulang) perlu dilakukan disegala bidang, termasuk juga bagaimana
pemerintah pusat mempertimbangkan pengalihan kekuasaan ke pemerintah
daerah secara bertahap, dimulai dari kekuasaan dan fungsi yang bisa
dengan mudah dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah.
Bila dimasa lalu pemerintah pusat cenderung memberi lebih banyak otonomi
kepada daerah pada saat pemeirntah pusat lemah kemudian kembali
mencengkeram kekuasaan itu begitu mereka sudah kuat, maka hal ini tidak
ada artinya bila mengalihkan wewenang ke daerah jika sebagaimana di masa
lalu hanya menimbulkan penyalahgunaan di tingkat daerah. Saat ini
pemerintah pusat harus sudah mulai membina aparatur daerah melalui
pendidikan berjenjang bagi birokrat-birokrat lokal sehingga yang maju di
tingkat daerah bukan lagi orang Jawa (atau dari Jawa) tetapi aparatur
setempat. Menurut Osborne dan Gaebler (1996) dan juga Frederickson (1997)
dalam masyarakat yang berubah, aparatur negara sejatinya harus merubah
perilaku ke arah yang lebih kondusif dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri. Artinya perampingan, fleksibelitas, responsiveness, dan yang
mampu bekerja sama dengan semua pihak menjadi penting adanya.
Lebih lanjut ujar Osborne dan Gaebler dan Frederickson, ada sepuluh hal
yang perlu direvisi dalam menjalankan birokrasi pada abad mendatang,
yaitu:(a) aparatur pemerintah harus mengalihkan caranya bekerja dari
melayani ke mengarahkan, steering rather than rowing. Dominasi pemerintah
dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus segera diakhiri atau
setidaknya dikurangi, selanjutnya secara gradual diserahkan pada
masyarakat sipil. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai pembagian wewenang
dan urusan dalam kerangka otonomi daerah saat ini seharusnya tidak hanya
berlaku dari tingkat pusat ke daerah tetapi juga mulai memikirkan
bagaimana membagi wewenang dari pemerintah daerah ke masyarakatnya
sendiri; (b) pemerintah memberikan pemberdayaan dan penguatan (empowering
and strengthening) pada masyarakat agar mereka dapat melayani dan
menolong dirinya sendiri, bukan sebaliknya, masyarakat terus diladeni
atau dicekoki, empowering rather than serving;(c) membangun suasana
kompetisi dalam pemberian layanan dalam tubuh pemerintah agar tercipta
iklim kondusif yang terlepas dari warna kolusi dan nepotisme, injecting
competition into service delivery;(d) jalannya pemerintahan harus lebih
banyak digerakkan oleh misi ketimbang oleh aturan, transforming rule–
driven organizations;(e) mengalihkan orientasi pemerintah dari
input/masukan kepada outcomes/hasil, funding outcomes not input;(f)
pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat luas bukan kebutuhannya
sendiri, meeting the needs of customer not the bureaucracy;(g) birokrasi
harus mulai mengubah cara pandangnya dari birokrasi yang menghamburhamburkan anggranan melalui praktik mark-up ke arah menghasilkan atau
bahkan melakukan investasi, earning than spending;(h) aparatur birokrasi
ke depan harus bisa menghindari masalah daripada memecahkan masalah,
prevention rather than cure;(i) membangun pemerintahan lokal dengan
berlandas pada kerjasama dan partisipasi inklusif, bukan berlandas
senioritas atau hirarkies, from hierarchy to participation and team work;
dan terakhir (j) pemerintah harus diorientasikan ke arah pasar yang
mendongkrak perubahan kepada pendekatan insentif daripada pendekatan
program, leveraging change through the Market.
Jika otonomi diartikan seperti apa yang dithesiskan oleh Osborne dan
Gaebler serta Frederickson di atas kelihatannya persoalan manajemen
publik dalam era transisi menuju demokrasi akan lebih mudah berwujud.
Tapi masalahnya, pada saat yang sama ada celah-celah kemungkinan dalam
hukum yang berlaku yang memungkinkan terjadinya pelbagai pembusukan di
tingkat daerah. Kalau pada masa Orde Baru masalah korupsi dapat
dikatakan terpusat, maka pada era sekarang ini kecenderungan menyebarnya
korupsi kelihatannya menjadi kenyataan. Celah-celah ini harus disumbat,
karena korupsi adalah hambatan besar dalam otonomi daerah yang bertujuan
mengembangkan kehidupan sosio-ekonomi lokal. Mencegahnya berarti
mereformasi birokrasi yang juga menghadapi masalah kelebihan staf dan
kurangnya motivasi; serta merivisi budaya (buruk) birokrasi di Indoensia.
Jalan keluar klise dari permasalahan korupsi adalah setiap pegawai negeri
harus dipromosikan berdasarkan prestasi, diberi gaji yang lebih baik dan
layak, serta disediakan jalur karir yang jelas sehingga ada insentif bagi
staf terbaik untuk tetap bekerja di sektor publik.
Persoalan lain dalam tatar praksis otonomi daerah adalah masalah
pengaturan perpajakan yang ditetapkan dalam UU No. 22 dan UU No. 25, yang
menurut beberapa ahli hanya akan menguntungkan daerah-daerah yang
memiliki sumber daya alam (SDA) saja. Daerah yang kaya sumber daya alam
akan menjadi lebih kaya berdasarkan otonomi daerah ini, tidak seperti
pada orde pemerintahan sebelumnya yang menelantarkan daerah kaya demi
pensubsidian silang pada daerah miskin. Risiko bahwa daerah yang miskin
akan menjadi lebih miskin karena pemerintah pusat hanya punya sedikit
uang untuk mensubsidi mereka kelihatannya menjadi kenyataan. Oleh sebab
itu, pemerintah harus mencoba memastikan bahwa risiko ini diminimalkan
dengan cara merevisi beberapa pasal dalam undang-undang tersebut. Karena
asumsi otonomi daerah adalah pengharapan atas perbaikan kesejahteraan
masyarakat (menjadi nyata) melalui pemrioritasan pada pertumbuhan demi
pertumbuhan itu sendiri.
Persoalan penting lainnya dalam konten desentralisasi adalah perbaikan
yang meliputi kelompok-kelompok perempuan dan kelompok-kelompok marginal
lainnya. Ekonomi yang didominasi oleh elite monopolistis perlu diubah
menjadi ekonomi yang memperkuat bisnis kecil dan menengah serta
memberikan perhatian lebih banyak kepada sektor-sektor pertanian,
perikanan, dan sumber penghidupan lainnya yang dibutuhkan oleh kebanyakan
rakyat Indonesia. Penguatan sektor-sektor tersebut di atas juga dapat
memberikan jalan keluar dari krisis tenaga kerja yang tengah berkecamuk.
Peran ornop/LSM dalam melakukan advokasi pada masyarakat pada keadaan
pemerintahan yang terdesentralisasi amat diperlukan. Bila ornop/LSM
bergerak secara massif dan berdiaspora di tingkat lokal, maka negara
perlu juga memainkan perannya sebagai penyeimbang di level daerah,
sekaligus mengurangi keterlibatannya di dalam ekonomi seraya melindungi
kesejahteraan kelompok-kelompok yang rentan dan mempertahankan undangundang yang melindungi hak pekerja dan melarang praktik-praktik bisnis
tak adil. Yang dalam bahasa Osborne dan Gaebler: pemerintah harus mampu
mendorong dan membangun jasa–jasa yang awalnya dikelola dan dilakukan
oleh pemerintah, kini dapat dilakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat
itu sendiri. Dengan demikian pemberdayaan dan penguatan peran masyarakat
untuk dapat melaksanakan dan memecahkan permasalahan (mereka sendiri)
secara lebih efektif dan kreatif di tingkat lokal melalui eliminasi
ketergantungan pada pemerintah pusat.
Lain dari itu peninjauan ulang pranata sosio-ekonomi dan sosio-politik
lokal perlu dilakukan, termasuk melakukan pembentukan dewan pengawas
untuk memantau pengangkatan pejabat senior di lokal area serta meninjau
ulang kontrak-kontrak di masa lalu yang ditandatangani oleh pemerintah
pusat. Dewan pengawas yang dibentuk harus pula mengawasi dan mengurangi
keterlibatan militer secara langsung dalam bisnis di daerah. Bila perlu
bisnis militer dikontrol oleh pemeirntah daerah setempat. Dewan pengawas
juga dapat mengontrol pemungutan pajak di daerah, dalam artian sejauhmana
pajak itu memenuhi prinsip-prinsip pengenaan pajak (prinsip kesamaan,
prinsip kepastian, prinsip kelayakan serta, prinsip ekonomi) atau tidak,
atau dalam konteks lain pemungutan pajak harus dilakukan secara efisien
dan jujur. Jangan sampai oleh karena terbius “euphoria otonomi” maka
semua hal dijadikan uang oleh pemerintah daerah!
Dan yang perlu diingat pula, manakala otonomi diejawantahkan, adalah
daerah harus menghindarkan diri menjadi tergantung pada pinjaman asing
dalam pembiayaan pembangunannya. Perencanaan anggaran ekonomi guna
pembangunan harus menjadi proses yang inklusif, dengan perdebatan terbuka
dan mendengarkan pendapat publik (melibatkan partisipasi masyarakat
luas). Perencanaan anggaran ekonomi harus pula memperhitungkan (biaya)
eksternalitas atas penggunaan sumber daya alam (natural cost), yang
meliputi habisnya sumber daya alam itu kelak serta polusi yang
dihasilkannya. Karena itu, otonomi daerah harus juga memperhatikan
bagaimana pemerintah lokal mampu membangun ecodevelopment (meminjam
istilah Bjorne Hettne) di daerahnya, termasuk juga pemeliharaan tradisibudaya yang ada (ethnodevelopment). Oleh sebab itu, peran pemerintah
dalam melakukan analisis biaya eksternalitas amat diperlukan karena
institusi pasar lemah dalam menilai biaya-biaya dampak pembangunan, baik
natural cost, social cost, maupun human cost; misalnya melalui penetapan
pajak polusi.
Hal lain yang perlu disikapi dalam melakukan manajemen otonomi daerah
pada konteks perubahan di Indonesia adalah bagaimana pemerintah lokal
maupun pusat memperlakukan kelas pekerja (buruh). Selama ini kelas
pekerja di Indonesia mengalami banyak bentuk eksploitasi, mulai dari:
upah yang rendah, intimidasi oleh manajemen dan aparat
pemerintah/militer, hingga tekanan-tekanan yang bersifat consent. Juga,
sekali lagi, perlu ada pemberantasan atas segala bentuk diskriminasi
terhadap kelas pekerja perempuan, dan yang paling urgent adalah bagaimana
pemerintah daerah mengatur para pekerja anak. Karena asumsinya anak tidak
perlu bekerja, yang perlu dilakukan mereka hanyalah menikmati masa
kecilnya dengan bermain dan belajar, namun apabila memang amat mendesak
maka pemerintah harus membuat kebijakan yang mengatur para pekerja anak
tersebut, misalnya: mereka hanya diperbolehkan bekerja setelah jam
sekolah selesai dan hanya untuk beberapa jam saja, dengan tingkat upah
yang sama dengan pekerja dewasa. Upah bagi kelas pekerja baik pria,
perempuan, maupun anak harus mencerminkan kondisi hidup riil pekerja, dan
(seharusnya) tidak boleh ditetapkan secara tidak transparan dan sepihak
sehingga seringkali upah yang ditetapkan manajemen perusahaan berada pada
tingkatan yang tidak realistis.
Membangun High-Trust Society Melalui Pelembagaan Pemeilihan Presiden
Langsung
Demokrasi modern sebagai aplikasi politik mutakhir pascaperang dingin
ditandai dengan kuat oleh sistem perwakilan yang relatif kedap dari
nilai-nilai tekanan atau dalam bahasa politiknya kita kenal dengan
istilah representative democracy. Kenyataan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari perkembangan dan evolusi entitas negara yang
diikuti oleh semakin membesarnya jumlah penduduk --dalam suatu negara--,
(relatif) bertambah luasnya wilayah suatu negara, dan semakin kompleksnya
persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh entitas negara tersebut.
Oleh karena itu, dalam suatu sistem pemerintahan perwakilan tidak semua
masyarakat (atau rakyat) dalam suatu negara akan ikut serta secara
langsung dalam proses perencanaan, pembuatan, serta pengambilan
keputusan. Hanya sebagian kecil dari masyarakat (tepatnya warga negara)
yang melakukan peran utama tersebut. Kenyataan ini tentunya menimbulkan
pertanyaan mendasar yang selalu menjadi isu sentral dalam kehidupan
bernegara, sebenarnya siapa saja yang paling berhak menjadi wakil dari
seluruh rakyat yang ada dalam sebuah entitas negara tersebut? Dan,
mekanisme atau prosedural seperti apa yang dapat memenuhi kebutuhan
keterwakilan (representativeness) tersebut?
Persoalan sekaligus pertanyaan di atas dalam sistem politik mutakhir coba
dijawab dengan sebuah konsep yang disebut dengan sistem pemilihan umum
(general elections). Dalam kerangka demokrasi modern yang tengah
berlangsung saat ini ada tiga elemen yang menghubungkan sistem pemilihan
umum dengan karangka representativeness tersebut. Elemen pertama
sekaligus elemen dasar bagi terwujudnya demokrasi modern adalah
competition atau persaingan. Dalam kompetisi atau persaingan secara
logic akan memberikan dan membuka peluang bagi setiap orang untuk
mencalonkan dirinya ataupun orang lain sebagai wakil dari kelompok,
golongan, agama, ras, etnis, atau lainnya. Melalui mekanisme kompetisi
inilah kita akan mendapatkan wakil yang benar-benar berkualitas
dibidangnya masing-masing, siapa yang terbaik maka dialah yang bakal
terpilih menjadi wakil rakyat (natural selection dalam istilah
Darwinisme-Sosial). Kedua, peran serta atau partisipasi politik yang
memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi dalam menyeleksi calon
wakil-wakil rakyat. Terakhir, ketiga, kebebasan untuk mernggunakan hakhak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties)
(Raymod D Gastil, 1993). Elemen terkahir, political rigths dan civil
liberties, bila kita elaborasi lebih jauh merupakan kondisi yang
diperlukan bagi terlaksananya dua pranata (elemen) sebelumnya. Artinya,
dapat dikatakan bahwa sistem pemilihan umum tidak sekadar berhubungan
langsung dengan sistem pemerintahan tetapi terlebih lagi berhubungan
dengan sebuah sistem politik secara keseluruhan, khsusunya dalam
membangun pelembagaan masyarakat high-trust.
Dalam negara-negara demokrasi modern yang mengedapankan keterwakilan
masyarakat, pemilihan umum ternyata tidak sekadar untuk memilih wakil-
wakil rakyat yang akan duduk di parlemen atau badan legislatif semata
tetapi juga untuk memilih seorang pemimpin yang akan menduduki jabatan
tertinggi dalam lembaga eksekutif, yakni presiden. Pada mulanya, hanya
sistem presidensil lah yang mengisyaratkan pemilihan umum (pemilihan
presiden) langsung bagi pemegang kekuasaan eksekutif (presiden, serta
wakil presiden tentunya), namun dalam perkembangannya kemudian beberapa
negara yang berbentuk republik dan menganut sistem parlementer
mengisyaratkan pula pemilihan langsung bagi seseorang yang ingin duduk
pada jabatan presiden, yang kemudian dalam analisis Lijphart (1994)
dijadikan karakteristik utama bagi penggolongan negara-negara yang
menganut sistem ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sistem SemiPresidensil”, seperti: Prancis, Finlandia, Austria, Irlandia, Islandia,
Jerman, dan Portugal. Bahkan dua negara yang menganut sistem parlementer
lainnya seperti Belanda dan Israel sempat mempertimbangkan secara serius
alternatif pemilihan secara langsung bagi jabatan perdana mentri, dengan
alasan utama masalah legitimasi dan stabilitas penyelenggaraan
pemerintahan.
Berlainan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif,
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung hanya akan
memunculkan satu paket pemenang --presiden dan wakilnya--. Namun
demikian hasil yang diperoleh dari pemilihan presiden secara langsung
tidak menyediakan ruang bagi terciptanya kondisi mayoritas dan minoritas
pendukung sebagaimana layaknya pemilihan anggota legislatif. Maksudnya,
setiap pemenang suara terbanyak bukan berarti dia pasti akan terpilih
lagi dalam pemilihan umum yang akan datang layaknya pemilihan umum
sebelumnya karena kredibilitas pemenang pemilihan umum saat ini tidak
memberikan nilai mutlak bagi dirinya. Stabilitas, kemajuan ekonomi,
serta terbukanya lapangan kerja yang luas adalah sebagaian dari banyak
indikator yang dapat dijadikan penilaian kinerja presiden.
Bila demikian adanya, padahal kekuasaan yang diberikan kepada presiden
dan wakil presiden (pemenang pemilihan) dibandingkan dengan kekuasaan
yang diberikan pada gabungan seluruh anggota parlemen relatif sama besar.
Ini artinya, desain dan mekanisme sistem pemilihan presiden dan wakil
presiden juga memiliki kriteria yang berbeda dengan desain dan mekanisme
dalam sistem pemilihan anggota legislatif –yang dalam konteks Indonesia
menjadi anggota DPR dan MPR--. Secara teoretik dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa sistem pemilihan presiden (eksekutif) merupakan salah
satu prinsip pokok yang membedakan sistem presidensil dengan sistem
parlementer. Sistem pemilihan presiden langsung tentu berkorelasi erat
dengan tujuan pokok dari sistem presidensil yakni pemilihan presiden
secara langsung oleh masyarakatnya (direct popular vote). Dalam kerangka
sistem pemilihan presiden langsung terkandung makna subtansial penting,
diantaranya adalah:
Penciptaan equilibrium (keseimbangan) legitimasi sekaligus checks and
balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif,
Pertanggungjawaban presiden terpilih secara langsung kepada kostituen
pemilihnya (direct responsible to the people) yang diharapkan mampu
menciptakan kondisi yang diperlukan bagi pemerintahan yang legitimate,
dan
Penyelenggaraan pemerintahan yang stabil karena kontrol dan legitimasi.
A. Sistem Pemilihan Presiden Berdasar UUD 1945 dan Kritik Terhadapnya
Sistem pemilihan presiden di Indonesia telah diatur dalam dalam
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 6, yang menyatakan bahwa, “Presiden dan
Wakil Presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan suara
terbanyak.” Untuk memahami pernyataan di atas, maka perlu kita membalik
lembaran sejarah yang berkenaan dengan latar belakang sosio-historis dari
pemikiran sistem pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut.
Pemahaman kita –tentunya-- akan semakin baik apabila didasarkan pada
pemikiran-pemikiran yang mengkristal pada saat pembahasan materi UUD yang
terjadi dalam sidang BPUPK [I] pada tahun 1945. Dalam penjelasan Prof.
Soepomo yang bertindak sebagai ketua panitia kecil penyusunan UUD RI,
pemilihan presiden dan wakil presiden didasarkan atas pemikiran bahwa
Negara Indonesia adalah negara yang berpaham kekeluargaan (integralistik)
dan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah badan yang menyelenggarakan
paham tersebut secara kelembagaan, karena ia merupakan penjelmaan dari
seluruh rakyat, seluruh golongan, dan seluruh daerah di Indonesia. Oleh
karenanya, majelis inilah yang memiliki kewenangan akhir dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat Indonesia sepenuhnya dengan kekuasaan yang tidak
terbatas. Konsekuensi logis dari pemikiran seperti itu kemudian pasti
berhubungan erat dengan fungsi pokok yang dijalankan oleh Majelis, yakni
memilih presiden dan wakil presiden setiap lima tahun sekali, memberikan
mandat pemerintahan kepada presiden terpilih, dan meminta
pertanggungjawaban dari mandataris, baik pada akhir pemerintahan maupun
pada saat-saat khusus.
Dari persoalan yang diungkap di atas, nyata bahwa konsep sistem
pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia didasarkan oleh
setidak-tidaknya dua faktor. Pertama, paham integralistik yang
diintrodusir oleh Prof. Soepomo, yang dirancang sesuai dengan konteks
sosio-politik saat itu sekaligus juga merupakan idealisasi konsep
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Faktor kedua, masih berhubungan
dengan faktor yang pertama, adalah persepsi para pembentuk konstitusi
saat itu yang berupaya meretas persoalan diseputar keadaan obyektif -realitas sosial-politik-- masyarakat Indonesia pada masa itu.
Ada beberapa kritik yang muncul kemudian sesuai dengan bertambahnya
pengalaman dan ilmu yang diperoleh masyarakat terhadap sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden ala UUD 1945. Pertama, pemilihan presiden
dan wakil presiden yang dilakukan oleh MPR merupakan bentuk penyimpangan
dari sistem presidensil, yang dianut oleh Indonesia. Ketiadaan suatu
konsep yang baku dalam praktek kepolitikan dan ketatanegaraan mengenai
hal tersebut menjadikan sistem-sistem Pemilu akan sangat tergantung pada
kondisi obyektif suatu negara, termasuk dinamika politik yang ada
didalamnya. Di Indonesia misalnya, sistem presidensil juga mengalami
modifikasi (baca: penyimpangan), diantaranya ialah: dipilihnya presiden
oleh MPR, dan bukan secara langsung oleh rakyat; serta dapat di
jatuhkannya presiden oleh MPR secara politis. Namun demikian,
pertimbangan dalam sistem kepolitikan dan ketatanegaraan tersebut
seharusnya tetap berada dalam koridor demokrasi. Unsur-unsur demokrasi
yang terdapat dalam sistem presidensil akhirnya justru menjadi hilang
pada saat penyimpangan ini dilakukan. Pemilihan presiden secara langsung
oleh rakyat merupakan unsur yang paling penting dalam sistem presidensil,
dan sekaligus juga merupakan kelebihan dari sistem ini dimana rakyat
memiliki kontrol secara langsung atas presiden yang dipilihnya. Dengan
dipilihnya presiden oleh MPR, maka legitimasi presiden akan sangat
bergantung pada MPR bukan pada rakyat pemilih. Di sisi lain dalam sistem
presidensil yang dianut oleh Indonesia, parlemen (baca: MPR) tidak dapat
memberikan warna politik secara langsung pada kekuasaan eksekutif, karena
ia berbeda dengan sistem parlementer yang kabinetnya merupakan cerminan
kekuatan politik dalam parlemen.
Kedua --berkaitan dengan kritik yang pertama-- persoalan yang
muncul kemudian adalah dari segi keterwakilan. Apakah tepat meletakkan
suara kurang lebih 250 (dua ratus lima puluh) juta jiwa rakyat Indonesia
(hanya) kepada 700 orang (anggota MPR) untuk memilih mandatarisnya?
Pemilihan presiden secara langsung diyakini oleh banyak orang sebagai
suatu mekanisme yang paling sesuai dari sudut pandang demokratis.
Apalagi dengan ditambahkan argumentasi yang pertama, yaitu bahwa dalam
sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia kedudukan legislatif
relatif independen terhadap eksekutif. MAksudnya, dipilihnya presiden
oleh mayoritas suara di MPR yang tidak memiliki kontrol secara langsung
terhadap eksekutif akan menjadi mekanisme yang kontra-produktif dalam
upaya mewujudkan mekanisme checks and balances dalam sistem politik dan
atau bahakan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Ketiga, sejarah ketatanegaraan dan kepolitikan di Indonesia membuktikan
bahwa sistem pemilihan presiden dan wakil presiden ala UUD 1945 membuka
peluang yang sangat lebar bagi terjadinya manipulasi kedaulatan rakyat
oleh pemegang kekuasaan dominan dalam elite politik (ingat, teori hukum
besi oligarki). Contoh yang sangat sering kita dengar adalah
membudayanya money politics dalam parlemen. Orang yang berencana (baca:
mendambakan) untuk menjadi pemimpin eksekutif akan dengan mudah dan murah
mengakali perolehan suara dengan kekuatan uang di parlemen. Bila satu
wakil rakyat yang berjumlah tujuh ratus orang, setengahnya plus satu
disogok untuk memilih dirinya atau wakilnya, maka secara mayoritas ia
dapat menjadi presiden dengan lenggang, walaupun pilihan itu bukan
representasi keinginan masyarakat. Kritik ini pula yang mendorong
keinginan akademisi, peneliti, LSM, dan pelbagai pihak untuk meminta
pemerintah menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Karena
dengan sistem pemilihan presiden secara langsung inilah penyakit money
politics –setidaknya-- dapat diredam.
B. Keberatan-keberatan Akan Pemilihan Presiden Langsung Serta Elaborasi
Terhadap Hal Tersebut
Tanpa mengenyampingkan faktor-faktor obyektif kemasyarakatan yang
lebih kompleks untuk menilai secara komprehensif mengenai kekurangankekurangan mekanisme pemilihan presiden secara langsung, dibawah ini ada
beberapa keberatan (bila perlu dapat disebut dengan “kekurangan sistem
pemilihan presiden secara langsung”) terhadap rencana pelaksanaan sistem
pemilihan presiden secara langsung.
Pertama, sistem pemilihan presiden secara langsung akan melemahkan
kedudukan DPR. Karena diasumsikan dengan legitimasi yang besar dari
rakyat pemilihnya, presiden terpilih akan memiliki kedudukan dan
legitimasi yang sangat kokoh terhadap lembaga yang lain (termasuk dalam
hal ini DPR), yang pada gilirannya akan memperlemah kedudukan DPR
terhadap presiden. Pengalaman buruk pada masa orde baru dimana presiden
memiliki kekuatan yang sangat besar dibandingkan dengan DPR membuat
(sebagian) elite politik kita enggan untuk menerima sistem pemilihan
presiden secara langsung.
Kedua, sistem pemilihan presiden secara langsung akan memperlemah
kedudukan MPR. Dengan pemilihan presiden secara langsung, maka akan
muncul pertanyaan, apa tugas utama MPR kemudian?
Ketiga, sistem pemilihan presiden secara langsung akan memakan
biaya yang sangat besar, karena paling tidak negara atau pemerintah harus
melakukan dua pemilihan umum berskala nasional, pertama, pemilihan
anggota parlemen (MPR/DPR/DUD –Dewan Utusan Daerah--) dan kedua pemilihan
presiden dan wakil presiden (satu paket).
Terakhir keempat, (lagi-lagi) rakyat dianggap belum siap untuk
melaksanakan pemilihan presiden secara langsung.
Bila kita elaborasi secara mendalam mengenai keberatan-keberatan
elite politik di Indonesia dalam wacana pemilihan presiden secara
langsung, maka penulis berargumentasi sebaliknya, karena bahwasannya
keempat alasan itu bisa dipecahkan secara teoretik maupun secara logikarasional. Hal yang pertama, persoalan melemahnya kedudukan DPR.
Meningkatnya legitimasi presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat
pemilih tidak berakibat langsung pada pelemahan posisi/kedudukan DPR.
Legitimasi presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi
tujuan pokok dari sistem presidensil. Namun bukan berarti DPR akan
mejadi lemah, justru ia akan tetap bisa berperan dalam memberikan arahan
dan pengawasan terhadap kinerja presiden (karena itulah fungsinya),
melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya.
Perubahan yang justru akan ditimbulkan dari pemilihan presiden secara
langsung justru terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan
checks and balances dalam penyelengaraan negara dan pemerintahan, karena
DPR semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada
padanya.
Kedua, mengurangnya peran dan fungsi MPR secara signifikan manakala
pemilihan presiden secara langsung digelar. Permasalahan ini berkait
dengan perubahan susunan, kedudukan, dan wewenang MPR yang --seharusnya-menjadi lembaga perwakilan rakyat dua kamar (Bikameral), yang juga
merupakan perubahan sangat diperlukan dalam perbaikan sistem politik di
Indonesia. Dalam sistem pemerintahan presidensil yang menganut sistem
perwakilan bikameral, fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan apa
yang ada pada konstitusi saat ini. MPR yang terdiri dari dua kamar akan
berisi DPR –hasil pemilihan-- dan Dewan Utusan Daerah (DUD) –hasil
penunjukkan oleh daerahnya--. Hal ini akan secara lugas mengonsentrasi
fungsi legislasi dan fungsi kontrol MPR terhadap presiden.
Relasional antara presiden dan MPR yang berlaku selama ini pun
(secara politik) harus turut dirubah –bila kita ingin menjalankan sistem
dua kamar, tentunya--. Hubungan yang selama ini berdasarkan pada sistem
pertanggungjawaban (Tap MPR No. III/ MPR/1978), baik pada Sidang Umum
(SU) yang berisi laporan pelaksanaan tugas presiden; serta
pertanggungjawaban khusus yang diberikan presiden dalam Sidang Istimewa
(SI). Kritik terhadap sistem hubungan pertanggungjawaban presiden kepada
MPR yang selama ini dikenal dalam sistem politik di Indonesia dapat
ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek efektifitas dan aspek teoretis.
Pada aspek efektifitas, pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris
MPR pada masa akhir jabatan tidak menimbulkan konsekuensi (hukum) apapun
terhadap jabatan presiden. Oleh karena itu, dari segi efektifitas sistem
pertanggungjawaban seperti itu sebenarnya tidak dibutuhkan. Sedangkan
pertanggungjawaban presiden ditengah masa jabatan dapat saja dilaksanakan
asal presiden memang secara hukum melanggar aturan-aturan kenegaraan.
Penentuan pelanggaran presiden, yang kelak dapat dikenakan sangsi
impeachment, dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai wasit di negeri ini.
Pada aspek teoretis yang perlu diungkapkan pertama-tama adalah bahwa pada
dasarnya sistem pertanggungjawaban eksekutif hanya dikenal dalam sistem
parlementer atau sistem semi-parlementer, dan tidak dikenal dalam sistem
presidensil. Setidak-tidaknya ada dua dasar pemikiran rasional mengapa
sistem pertanggungjawaban tidak berlaku dalam sistem presidensial.
Pertama, orientasi utama dalam sistem presidensil adalah membentuk
pemerintahan yang stabil dalam/untuk jangka waktu tertentu; kedua, sistem
pemisahan kekuasaan secara tegas dalam tataran kelembagaan yang berusaha
diterapkan oleh sistem presidensil berimplikasi pada tidak terjadinya
peleburan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Karenanya,
orientasi pemerintahan yang stabil hanya dapat tercapai jika dan hanya
jika antara lembaga-lembaga pemegang kekuasaan di dalam negara tidak
memiliki wewenang untuk saling menjatuhkan satu sama lainnya. Salah satu
konsekuensi logis dari prinsip ini kemudian adalah tidak adanya
pertanggungjawaban politik antara satu lembaga kepada lembaga lainnya;
yang dalam hal ini pertanggungjawaban presiden kepada MPR.
Ketiga, kebertan akan pemilihan presiden langsung yang memakan biaya
sangat besar. Sistem pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan
mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan
pemilihan presiden tidak langsung. Hal tersebut dikarenakan dalam
pemilihan presiden secara langsung yang ideal, waktu pelaksanaan
pemilihan umum presiden dan pemilihan umum anggota legislatif dilakukan
dalam waktu yang berbeda. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi
terjadinya coat-tail effect. Namun, dengan keterbatasan dana yang
tersedia seperti di negara kita, kiranya waktu pemilihan presiden dan
waktu pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilaksanakan
dalam waktu yang bersamaan. Sehingga pengeluaran biaya dapat ditekan
seminimal mungkin. Dengan kondisi pendanaan yang tebatas seperti
sekarang ini seharusnya pemerintah melakukan pendekatan dan kerjasama
dengan LSM, partai politik, dan pelbagai kalangan termasuk akademisi
untuk memikirkan atau mempertimbangkan mengenai sistem pemilihan umum
yang akan digunakan di Indonesia dengan lebih sederhana lebih hemat/irit
–satu putaran, misalnya—, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang
memadai bagi kandidat yang terpilih.
Keempat, asumsi belum siapnya rakyat pemilih untuk melaksanakan
pemilihan presiden secara langsung. Argumen ini sebenarnya tidak lagi
relevan untuk diangkat pada saat proses demokratisasi dan proses
pendewasaan politik masyarakat yang tengah berjalan dengan baik seperti
saat ini (masa reformasi). Bila kita lakukan eksperimen atau penelitian
kecil mengenai ketidaksiapan rakyat pemilih yang diukur dari kesiapan
mental dan intelektualitas (dengan indikatior jenjang pendidikan formal),
maka hal itu hanyalah suatu penglihatan yang sangat tidak jernih dan
merendahkan kapasitas politik masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kenyataan telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia mampu dengan baik
melaksanakan pemilihan umum yang bebas pada tahun 1955 dan pemilihan umum
yang sama sekali berbeda dengan pemilihan orde baru (khususnya dalam
konteks tekanan) pada tahun 1999 yang baru lalu. Selain itu, pengalaman
memilih secara langsung –walaupun dengan derajat yang berbeda—telah
dimiliki, dilakukan, dan dibuktikan oleh masyarakat Indonesia yang
tinggal di desa-desa, pada saat pelaksanaan pemilihan langsung kepala
desa, dan kenyataan membuktikan bahwa lebih dari 80% rakyat Indonesia
tinggal di daerah pedesaan, ini artinya masyarakat Indonesia lebih
berpengalaman dalam melaksanakan pemilihan secara langsung dibandingkan
dengan pemilihan secara tidak langsung.
Bila akses informasi yang menjadi parameter ketidaksiapan
masyarakat, maka data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1997
membuktikan sebaliknya. Pada tahun 1997, hasil survey BPS mengungkapkan
bahwa masyarakat Indonesia yang berusia sepuluh tahun atau lebih yang
mendengarkan radio berjumlah 59,17 persen; yang menonton televisi
berjumlah 78,22 persen; dan yang membaca koran/majalah berjumlah 22,38
persen. Persentase tersebut akan bertambah besar apabila yang dihitung
hanya orang-orang yang mempunyai hak pilih dalam Pemilu (usia minimal 17
tahun atau telah menikah), dengan asumsi, semakin dewasa usia seseorang
maka semakin besar pula kebutuhan akan informasi dan semakin luas pula
peluang akses informasinya. Selain fakta di atas, hasil survey BPS juga
menunjukkan tingkat literasi yang tinggi terhadap total penduduk
Indonesia per tahun 1999, yakni diangka 89,42 persen. Artinya, bila ada
tuntutan tingkat melek huruf (literasi) dari rakyat pemilih yang memadai
dalam suatu sistem pemilihan presiden secara langsung, maka rakyat
Indonesia sudah memenuhi persyaratan tersebut.
Dengan pelbagai kenyataan di atas, sebenarnya tidak ada lagi
argumen yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa rakyat Indonesia belum
siap untuk melaksanakan pemilihan presiden secara langsung. Kalau yang
dimaksud dengan belum siapnya masyarakat adalah elite-elite politik, maka
hal itu mungkin lebih mendekati kenyataan. Terlalu lama rakyat Indonesia
dipinggirkan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh
penguasa politik dan pemerintahan, sehingga wajar saja apabila elite
politik yang selama ini lebih dekat dengan kekuasaan masih dibayangbayangi oleh pemikiran-pemikiran pesimis terhadap rakyatnya, yang secara
konstitusional adalah pemilik kedaulatan yang sah dari republik ini.
Penutup
Seperti telah diungkapkan di atas, mewujudkan kepemerintahan yang
ber-high-trust dalam konteks perubahan pascalengsernya Soeharto di
Indonesia, bukanlah hal yang mudah. Sejatinya melakukan perubahan atau
revisi menuju iklim yang demokratis di Indonesia bukan hanya kerja
birokrat di pemerintahan tetapi tugas seluruh anak bangsa, tetapi mulai:
dari militer hingga buruh, dari anak-anak hingga orang tua, dan oleh
perempuan maupun pria. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam
mendemokrasikan demokrasi di Indonesia, pertama, adanya kesediaan dari
semua pihak untuk melakukan sharing, mulai dari membangun kepercayaan
diantara warga negara. Ini artinya lupakan dominasi suku, etnis, agama,
dan golongan tertentu. Karena apabila hal ini tetap dipupuk, maka yang
terjadi adalah pencitraan yang baik bagi suku, etnis, agama, dan golongan
tertentu tapi menggambarkan hal-hal buruk pada suku, etnis, agama, dan
golongan lain. Termasuk juga menjaga agar gejala atau kecenderungan yang
mengganjal jalannya transisi menuju demokrasi, seperti: faksionalisme,
perpecahan atau melemahnya kesatuan, baik di legislatif, eksekutif,
ataupun di dalam tubuh masyarakat; non-kompromi, kelompok masyarakat atau
tokoh sering tersingkir bukan akibat konflik ideologis, tapi karena
saling sikut dalam perebutan jabatan. Konflik antarkelompok lalu
berkembang menjadi tak suka dan saling menjatuhkan, sehingga ide awal
untuk mendemokrasikan demokrasi terlupakan begitu geist non-kompromi
muncul; dominasi tokoh. Demokrasi tidak mungkin dapat muncul bila semua
orang ingin didengar atau ingin menjadi tokoh. Padahal jiwa demokrasi
adalah menghormati perbedaan (pluralitas) dan mengatur pelbagai perbedaan
serta kepentingan tersebut melalui mekanisme yang disepakati, check and
balances misalnya; dan terakhir, kedaerahan dan kesukuan, demokrasi akan
sulit terbentuk bila paham kedaerahan atau kesukuan menyeruak.
Kepentingan dan sentimen kedaerahan atau kesukuan sering sangat mewarnai
dalam tingkat otonomi yang negatif. Oleh karenanya, empat pengganjal
transisi pada era-Reformasi ini perlu disiasati dengan cerdas dan elegan,
dengan langkah yang telah diutarakan dalam isi makalah di atas.
Hal kedua yang perlu dicermati dalam me-manage proses demokrasi di
Indonesia adalah meningkatkan peran serta atau partisipasi warga
masyarakat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi luas dari masyarakat
akan tumbuh bila mereka sadar akan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.
Tidak saja kebutuhan dasar tetapi juga kebutuhan akan eksistensi,
keberadaan, hingga eksistensi diri. Dan, partisipasi akan meningkat bila
elemen-elemen di dalam mayarakat telah kuat. Karenanya, penguatan partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan ornop amat
diperlukan dalam mengawal pemerintahan transisional agar tidak kembali ke
arah yang lebih buruk.
Faktor terakhir lain yang perlu diperhatikan dalam konteks perubahan saat
ini adalah menapaki transisi demokrasi dengan sabar. Kesabaran merupakan
invisble hand yang mau tidak mau harus dipercaya keberadaannya. Tanpa
kesabaran transisi ini bisa berbalik 180 derajat menjadi lebih brutal.
Jadi, kesabaran dan kepercayaan bisa dijadikan landasan berpijak utama
bagi warga agar setiap individu di dalam ruang-publik-negara mampu
mengawalnya dengan sejati.
Referensi:
Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan
Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia).
Clayton, Susan D., and Faye J. Crosby. 1994. Justice, Gender, and
Affirmative Action (Michigan: The University of Michigan Press).
Cohen, Jean L., and Andrew Arato. 1995. Civil Society and Political
Theory (Cambridge, Massachussets: the MIT Press).
Diamond, Larry, and Marc F. Plattner, (Eds.). 1997. Consolidating the
Third Wave Democracies: Regional Challenges, Vol. II, (Baltimore: The
Johns Hopkins University Press).
Finer, SE. 1962. The Man on Horeseback: The Role of the Military in
Politics (New York: Frederick A. Praeger Publisher).
Fukuyama, Francis. 1995. Trust: the Social Virtues and the Creation of
Prosperity (New York: Free Press).
Frederickson, George H. 1997. The Siprit of Public Administration (San
Fransisco: Jossey Bass Inc.).
Gastil, Raymon D., “The Competitive Survey of Freedom: Experiences and
Suggestions” dalam Alex Inkeles (ed.), On Measuring Democracy: Its
Consequences and Concomitants (New Brunswick: Transaction Publisher,
1993).
Huntington, Samuel P. 1956. The Soldier and the State (Harvard: Harvard
University Press).
________________ . 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta:
Grafiti).
International Institute for Democracy and Electoral Assitance (IDEA).
2000. Democratization in Indonesia: An Assesment (Stockholm, Swedia:
International IDEA).
J.D. Legge. 1961. Central Authority and Regional Autonomy in Indonesia:
A Study in Local Administration 1950–1960 (Ithaca, New York: Cornell
University Press).
Keane, John. 1988. Democracy and Civil Society (London: Verso).
Lijphart, Arend, Electoral System and Party System: A Study of
Twentyseven Democracies 1945—1990 (New York: Oxford University Press,
1994).
Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi:
Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik (Jakarta: PPM).
Soetjipto, Ani Widyani, ”Affirmative Action untuk Perempuan di Parlemen”
dalam Yayasan API.
API).
2001.
Panduan Parlemen Indonesia (Jakarta: Yayasan
( Pengajar di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untitra), Serang,
Banten.
PAGE
PAGE
32
/
G
c
d
–
—
†
‡
.
0
Y
e
f
g
h
t
<
7
U
V
W
X
r
s
›
œ
ý
þ
c
d
p
q
“
”
³
´
8
9
ä
÷
?
•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ªŽª‡ª€ª€
@
i
n
^
~
óêóÞ˽¹±ª£ªœªœª•ª•ª•ª•ª
hV[à
h 2g
hV[à
h^|å
hV[à
h•t¼
hV[à
hë(,
hV[à
h `Û
hV[à
h Z¯
hV[à
h¨9Ò
hV[à h¨9Ò 5 • hQ~•
h•&v hQ~• 5 •OJ QJ \ • $
j *ð hÄpƒ hQ~• 0J 5 •OJ QJ \ •
h–
C hQ~• OJ QJ \ • h Z¯ 5 •CJ aJ
h«r› hQ~• 5 •CJ aJ
2
0
Y
g
h
t
5
Þ
ß
€" ·" -% M, &0 &4 ý5 k9
B ô
ô
å
Ý
Ý
Î
Î
Î
Ý
Ý
¿
¿
´
¿
¿
¿
¿
¿
¿
¿
$
dh
a$ gd½C
$
„Ð
dh
`„Ð a$ gd½C
$
„Ð
$
h
˜
dh
j
È
$
1
dh
`„Ð a$ gd½C
a$ gd½C
Í
Î
Ï
3
4
i
~
dh
¤
P
Ä
P
U
gd½C
é
Q
n
$
dh
7$ 8$ H$ a$ gd½C
ê
'
o
(
]
}
^
~
¦
•
¨
€
ß
‚
ï
ƒ
ñ
ùòùòùëùëùëùäùäùÝùÝùÝùÝùÖùÎùÖùÎùÇùÇùÇù¿·¿¯ ‘‘
" hV[à hh £ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
hV[à hh £ CJ
QJ aJ
hV[à h† Á CJ OJ QJ aJ
hV[à hR h 5 • hV[à hÒ
5 • hV[à h¨9Ò 5 •
—
•
OJ
hV[à
h%wA
hV[à
h¨9Ò 6 •
hV[à
h•
U
hV[à
hu }
hV[à
hHVü
hV[à
hËz
hV[à
h 2g
hV[à
h¨9Ò -•
&
9
H ¢ ç
C
=
ù
»
T
N
½
X
¦
Ä
o
Å
ô
¬
%-
º
5-
ü
D-
E-
]-
p-
t-
‡-
¦-
)-
z
ñâÒâÀâñ°ñâÀâñâÀâ¡âÀâÀâ¡â’â’âÀâÀâƒtƒâƒâƒâƒ
hV[à
h%wA CJ OJ QJ aJ
hV[à h p^ CJ OJ QJ aJ
hV[à h b, CJ OJ
QJ aJ
hV[à hÈI» CJ OJ QJ aJ
hV[à hó&• 6 •CJ OJ QJ aJ " hV[à hh £ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
hV[à hh £ 6 •CJ OJ QJ aJ
hV[à hh £ CJ OJ QJ aJ
hV[à hó&•
CJ OJ QJ aJ )z
{
•
€
Ž
¹! û! 0" C" D" K" |" •" €" ·" j# ‰# R% b% ª% Ã% E& R&
ü&
'
'
'
( #( ;( J(
+ ++ ., I, M, R, T, îÜ;;;¯¾ Í‘•r`r`r`r`r`r`
r`r`r`r`r`r
" hV[à h%wA 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
hV[à h%wA CJ OJ QJ
aJ
hV[à h%wA 5 •CJ OJ QJ aJ
hV[à hÒ
CJ OJ QJ aJ
hV[à h4k, CJ OJ QJ aJ
hV[à hð3 CJ OJ QJ
aJ
hV[à h p^ CJ OJ QJ aJ
hV[à h í CJ OJ QJ aJ
" hV[à
h í 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
" hV[à h p^ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ %T, n,
- . >. ä9
: o; z; }; •; @< U< •= Š=
B ]E oE <H cH ŽI ˜I
>J XJ _J ÊQ ÏQ -V UV ”V ™V
W ,W ”W ™W 'Z 1Z l\ m\ ¢^
îßîßîßîßîßîßîßîßØÎØÎØÎØßî߻߫œ‰œwœ‰œgœ‰œ
hV[à h_
5 6 •CJ
OJ
QJ
aJ
" hV[à
h_
5 6 •CJ
OJ
QJ
] •aJ
$ hV[à
h_
5 CJ
OJ
QJ
aJ
nH
tH
hV[à
h_
5 CJ
OJ
QJ
aJ
hV[à
h_
5 5 •CJ
•] •
OJ
QJ
aJ
$ hV[à
h%wA CJ
OJ
QJ
aJ
nH
tH
hV[à
h%wA 6
hV[à h%wA
hV[à h%wA CJ OJ
•aJ ( B NE ¿G >J ƒL 5Q êR
mh Žh Âh ð
ð
á
á
Ö
á
Ê
ª
ª
ª
QJ
-V
Ê
aJ
UV
ð
" hV[à h%wA 6 •CJ OJ QJ ]
€[ q` “d
h
h -h dh eh
á
á
á
á
á
Â
¶
$
$ If
a$ gd_
5
$
„Ð `„Ð a$ gd_
5
$ a$ gd_
5
$
$
„Ð `„Ð a$ gd½C
dh
a$ gd½C
$
„Ð
dh
`„Ð a$ gd½C
$ „Ð dh
`„Ð a$ gd½C
¢^ £^
a &a bb vb ùb
c éc
d ¬d
¾d £e ·e
h
h -h dh eh Ji ÿi
j „j ›j •j žj &k 'k .k
Šk ‹k Kl Ll
n
n cn hn
o
o
q
q ³q Äq
u ñâÐâÐâÐâÐâÐâÐâĵ¦š¦š“ˆzˆoˆozˆoˆoˆzˆzˆzˆzˆzˆ
h§n\
hQcC OJ QJ
h§n\ h_
5 6 •OJ
QJ
] •
h§n\
h_
5 OJ
QJ
h_
5
h_
5
h_
5 CJ
OJ
QJ
^J
h_
5 5 •CJ
OJ
QJ
\ •^J
h_
5
h½C
CJ
OJ
QJ
aJ
h_
5 CJ
OJ
QJ
aJ
" hV[à
h_
5 6 •CJ
OJ
QJ
] •aJ
hV[à
h_
5 CJ OJ
Zi ó
QJ
aJ
hV[à
_
”
kd
l Ö
Á Ù õÖ0
Ö
ÿ
ÿ4Ö
l aö Z
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
hº2b CJ
ó
ÿ
OJ
ÿ
aJ
+Âh
ó
$ $ If
Ö\ î '
š
ÿ
ÿ
QJ
ÿ
ÿ Ö
Ii
Ji
ó
Ni
Qi
Ui
ó
ÿ
ö
ÿ
6
ÿ
–
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
$
$ If
a$ gd_
5
Zi
[i
_
_i
bi
fi
ii
k
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ” kdÔ
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿÿÿÿÿ š
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
ii ji mi oi ri xi k
_
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ” kdÒ
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
xi yi }i •i •i „i k
_
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ” kdÞ
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
„i …i ‰i ‹i Ži “i k
_
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ” kdê
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
“i ”i ˜i ši œi ¢i k
_
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ” kdö
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
¢i £i ¬i ®i ±i ´i k
_
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ” kd
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
´i µi ¼i ¾i Âi Çi k
_
_
_
_
$
$ If
a$ gd_
5 ”
kd
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
Çi Èi ÿi
j Æq >u 2x »| k
c
X
P
P
P
P
dh
gd§n\
$ dà
a$ gd_
5
$ a$ gd_
5 ” kd
$ $ If
–l Ö
Ö\ î '
Á Ù õÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿ
ÿÿÿÿÿ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿ4Ö
l aö Z
u
u ˜u Ÿu cv tv ’v —
v àv äv àw ów 2x Dx Tz cz ôz
{ »|
~
~ ¿• Û• û€ ü€ P• Y•
‚ +‚ X† Ÿ† ³‡ º‡ ¸ˆ ¿ˆ k‰ p‰ NŠ
òçòçòçòçòçòçòçòçòçØÆسؤسØÆØ”…r…`…`…
" h§n\ h)Gõ 6 •CJ OJ QJ ] •
aJ
$ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ nH tH
h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ
h§n\ h)Gõ 5 •CJ OJ QJ aJ
h§n\ hQcC CJ OJ QJ aJ
$ h§n\ h_
5 CJ
OJ
QJ
aJ
nH
tH
" h§n\
h_
5 6 •CJ
OJ
QJ
] •aJ
h§n\
h_
5 CJ
OJ
QJ
aJ
h§n\
h_
5 OJ
QJ
h§n\
h_
5 6 •OJ QJ
¬µ úµ Áº
ð
Æ
] •%»| € X† Ÿ†
Á
Æ EÉ ÷Ì ð
ð
ð
ð
Æ
Æ
Ü‹
ÎŽ
[’
ð
ð
üš
WŸ
£
å
dh
dh
dh
`„ gd§n\
a$ gd§n\
a$ gd§n\
}¬
Ÿ°
ð
Ú
ð
Î
Æ
«µ
ð
ð
ð
Æ
dh
„
$
$
î¨
gd§n\
$ „Ð dh
`„Ð a$ gd§n\
NŠ TŠ ™Œ šŒ ÖŒ ÜŒ ÝŒ âŒ ãŒ èŒ ùŒ
ÿŒ
•
•
•
• °• »• Ó• Ô• à• ã•
’
’ F“ a“
•
• P• l• ê• ð• ò•
–
«– ×– 0— W— ‚— ‡— —— Ÿ— §— Á—
˜ J˜ Á˜ Ș þ˜
™ q™ Œ™
š @š Aš Bš Ôš øš E£ S£
¦
¦
š­ •- £- ¦- Q® ]® n® v®
¯
¯ „¯ ”¯ E° Q° S° ^° g° q° $² îßÌßÌßÌßÌßÌßÌßÌßîßÌßÌßîßîßîßîßîßîß
îßîßîßîßîßîßîßîßîßîßîßîßÌßÌßÌßÌßîßÌßîßîßîßîßîß
$ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ
aJ nH tH
h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ
" h§n\ h)Gõ 6 •CJ OJ QJ
] •aJ P$² +² ª² °²
´
´ Wµ ‰µ •µ ’µ «µ ¬µ ¶µ ȵ ѵ ݵ ù
µ úµ ϶ ç¶ £º µº S» d» ò»
¼
¼ -¼ _¼ j¼ ¤¼ ª¼
¾ '¾ K¾
P¾ á¾ ç¾
¿ '¿ >¿ M¿ z¿ Š¿ •¿ ž¿ îßîßÌßÌßÌßÅ·¨·š·Œ•s•s•s•s•s
•s•s•s•s•s•s•s•s•s
h§n\ h‹1 6 •OJ QJ ] •
h§n\ h‹1 OJ QJ
h§
n\ h‹1 5 •OJ QJ \ •
h§n\ h= ' 5 •OJ QJ \ •
h§n\ hQcC 5 •6 •OJ
QJ \ • h§n\ hQcC 5 •OJ QJ \ •
h§n\ hÒ
$ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ nH tH
§n\ h)Gõ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ -ž¿ ÙÀ
h§n\
h)Gõ CJ
OJ
QJ
aJ
" h
Á
Á tÌ ‡Ì 2Í EÍ ÉÍ éÍ <Î FÎ ”Î ˜Î ±Î »Î ÛÎ ¨Õ ¯Õ ƒÖ ‰Ö
Ø
Ø -Ø %Ø &Þ +Þ =á Pá ›á ¡á
â
â
ã
ã ±å ¿å Ýå áå
<æ Ãç Êç
ê
ê ¿ê õêÞõÐõÐõÐõÐõ´¦´õÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõ˜Š•q•q•
h§n\ h6-K 6 •OJ QJ ] •
h§n\ h6-K OJ QJ
h§n\ h6K 5 •OJ QJ \ •
h§n\ hý ™ 5 •OJ QJ \ •
h§n\ hÚWÜ 5 •OJ QJ \ •
h§n\ h‹1 5 •OJ QJ \ •
h§n\ hÑ]$ 5 •OJ QJ \ •
h§n\ h‹1 6 •O
J QJ ] •
h§n\ hÑ]$ 6 •OJ QJ
h§n\ hÑ]$ OJ QJ
h§n\ h‹1 OJ
QJ ,÷Ì wÍ LÎ ”Î ÛÎ ‚Ð
Õ f× %Þ ›á Ýå <æ Âç
ê ¾ê ÿë pì
Ôð Òó }ø àü ¥
ÿ
è
è
è
Ü
Ü
Ô
Ü
Ü
Ü
Ô
Â
Ü
Ü
Ü
Ü
Ü
Ü
Ü
Ü
Ô
Ô
Ü
„h „˜þ dh
¤ð ^„h `„˜þgd§n\
dh
gd§n\
„
dh
`„ gd§n\
&
F
Æ q
„
„0ý dh
^„ `„0ýgd§n\
¿ê Åê xë •ë Åë Êë
ì
ì •í œí 8ð Kð Õð Úð äù ëù cú hú àü æü Ôþ äþ ¦
,
3
[
b
’
™
j
q
—
œ
ý
þ
,
@
B
M
W
Y
u
{
û
K
R
_
Š
#
Œ
˜
±
¶
Ì
Ú
çòçòçòçòçòçòçòçòçòçòçÜçÜçÜçÜçòçÕÍÆ¿¸¿°¿Æ¦ÆŸÆ¦Æ¦ÆŸÆ¦Æ¦Æ¦Æ¦Æ¦
Ú
ì
òçò
h§n\
hUD
h§n\
h.
6 •] •
h§n\
h÷6« 6 •
h§n\
h
c©
h§n\
h÷6«
h§n\
h.
h§n\
h9 § 5 •
h§n\ h6-K
K 6 •OJ QJ
ý
þ
h§n\
] •>ÿ
hý ™ OJ
A
QJ
h§n\
h6-K OJ
QJ
h§n\
h6-
-
†
t-
Ù
Ú
Û
ó
Ù
´
æ
y
þ
ó
Î
´
v
è
&
¡
è
Ã
¢
è
Ã
´
´
„
è
´
´
„ôü dð
¤È ^„
`„ôügdŠ -
„
„öü ¤È ^„
`„öügdŠ $ dà
a$ gd)Gõ
$ dà
a$ gd.
$
$
„
„Ð dh
`„Ð a$ gd§n\
dh
a$ gd§n\
dh
`„ gd§n\
ì
‹
•
¯
µ
£
°
ã
ä
0
R
s
„
•
›
¢
¶
Ä
Î
Ø
Ù
Ú
Û
æ
þ
c
¨
Ï
(
J
¬
é
9
t
ùïùèùïùïùáùÒÀÒ±Ò±Ò±Ò±Ò±
Ò±Ò¡š–Œ{g{g{g{g{g & hŠ - hŠ - 6 •CJ OJ QJ ] •^J aJ
hŠ - hŠ - CJ OJ QJ ^J aJ
hŠ - hŠ - 5 •>*
hŠ -
h.
hŠ 5 •CJ
6 •CJ
h§n\ h.
OJ QJ aJ
h§n\ h'[ CJ
OJ QJ ] •aJ
h§n\ h.
OJ
QJ
CJ
aJ
OJ
" h§n\
QJ aJ
h.
h§n\
h'[
h§n\
hUD
h§n\
h.
6 •] •
h§n\
¬
! O!
h.
(t
¼
ô
--
P-
t-
â-
J
h
•
Â
j! }! Ž! Ý!
" 2" …" °" Â" û"
# /# 0# 1# 2# ƒ# „#
‹# •# Ž# •# ‘# —
# ˜# ïÛïÛïÐÂÐïÛïÛïÛï´ïÛïÛïÐÂÐïÛïÛïÛïÐ¥™•‘‰‘‰‘‰‘‰‘•y•
hŠ ƒ 0J
j
hŠ ƒ 0J U
j
h…rÞ U
h…rÞ
j *ð hÄpƒ hŠ ƒ 0J
hŠ - hÒ
CJ OJ QJ aJ
h9 § CJ OJ QJ ^J aJ
hŠ - hŠ
hŠ - hŠ - CJ aJ
& hŠ - hŠ - 6 •CJ OJ QJ ] •^J
hŠ - hŠ - CJ OJ QJ ^J aJ /t- J § õ ˜
:! }!
" /# 0# 1# ƒ# „# †# ‡# ‰# Š# Œ# •# ê
Û
Û
Û
Û
ê
º
ê
²
«
«
«
«
gdQ~•
dà
gd«r›
$ „
à
…#
C
m
‡#
™
ˆ#
š
Š#
hŠ ƒ
- 6 •CJ
aJ
"
Û
] •aJ
—
Ì
«
«
«
„ôü ¤È ^„
`„ôüa$ gdŠ -
„
„ôü ¤È ^„
`„ôügdŠ -
„
„öü ¤È ^„
`„öügdŠ ›# §# ¨#
ý
$
©#
„„ „|ü dh
ª# «# ý
ñ
¤ð ^„„ `„|üa$ gdŠ ý
ñ
è
ý
•#
•#
•#
™#
š#
è
ý
à
dà
gd«r›
„h ]„h gdð3
„øÿ „
&`#$ gdð3
˜# ™# ›# œ# ¢# £#
CJ
OJ
QJ
aJ
¥#
h…rÞ
¦#
§#
©#
h kß 0J
mH
ª#
nH
«#
u
ƒ
hŠ ƒ 0J
5
0 1•h :p kß °Ð/ °à=!°Ü "°¥ #•Ü $•¥ %°
°Ð
°Ð
úöìúìáìúöÝÎ
hŠ j
hÒ
hŠ ƒ 0J
U
hŠ
•Ð
Ò $ $ If
Z !v h 5Ö
9 5Ö
š 5Ö
5Ö
–
l Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
š 5Ö
5Ö
/Ö
ÿ
4Ö
aö Z ü $ $ If
Z !v h 5Ö
9 5Ö
š 5Ö
5Ö
–
l Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
š 5Ö
5Ö
/Ö
–
#v
9 #v
ÿ
–
#v
ÿ
š #v
ÿ
9 #v
#v
ö
š #v
ÿ
6
:V
ö
#v
ö
6
5Ö
:V
ö
5Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
$ $ If
Z !v h 5Ö
–
l Ö0
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
$ $ If
Z !v h 5Ö
–
l Ö0
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
$ $ If
Z !v h 5Ö
–
l Ö0
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
$ $ If
Z !v h 5Ö
–
l Ö0
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
$ $ If
Z !v h 5Ö
–
l Ö0
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
aö Z
–
9 5Ö
ÿ
5Ö
š 5Ö
5Ö
#v
ÿ
ÿ
š 5Ö
5Ö
#v
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
#v
ÿ
ÿ
5Ö
#v
ÿ
ÿ
5Ö
#v
ÿ
ÿ
ÿ
9 #v
š #v
ÿ
#v
ö
6
:V
ö
5Ö
/Ö
aö Z
–
9 5Ö
ÿ
5Ö
9 #v
š #v
ÿ
#v
ö
6
:V
ö
5Ö
/Ö
aö Z
–
9 5Ö
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿ
9 #v
š #v
ÿ
#v
ö
6
:V
ö
5Ö
/Ö
aö Z
–
9 5Ö
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿ
9 #v
š #v
ÿ
#v
ö
6
:V
ö
5Ö
/Ö
aö Z
–
9 5Ö
ÿ
5Ö
š 5Ö
ÿ
/Ö
aö Z
9 #v
š #v
ÿ
#v
ö
6
:V
ö
5Ö
$ $ If
–
Z !v h 5Ö
9 5Ö
š 5Ö
–
l Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
š 5Ö
5Ö
/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
aö Z ü $
Z !v h 5Ö
9 5Ö
š 5Ö
–
l Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
š 5Ö
5Ö
/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö
ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö
5Ö
#v
ÿ
ÿ
$ If
5Ö
–
#v
ÿ
ÿ
aö Z
^
9 #v
š #v
ÿ
9 #v
#v
ö
š #v
ÿ
6
:V
ö
#v
ö
6
5Ö
:V
ö
5Ö
2
0
0
0
0
0
0
0
@
@
@
@
@
@
@
nH
P
P
P
P
P
P
P
`
`
`
`
`
`
`
sH
p
p
p
p
p
p
p
tH
€
€
€
€
€
€
€
•
•
•
•
•
•
•
@
À
À
À
À
À
À
8
`ñÿ
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
X
@
à
à
à
à
à
à
ø
À
ð
ð
ð
ð
ð
ð
2
V
~
Ð
(
à
ð
Ø
è
_H
mH
Q~•
N o r m a l
CJ _H
D A`òÿ¡ D
aJ
mH
sH
tH
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
R i@óÿ³ R
T a b l e
N o r m a l
l 4Ö
aö
( k ôÿÁ (
N o
ö
4Ö
L i s t
F
@
ò F
Q~•
F o o t n o t e
T e x t
CJ
OJ
QJ
aJ
@ &@¢
@
Q~•
F o o t n o t e
R e f e r e n c e
H*
J Z@
J
h £
P l a i n
T e x t
7$ 8$
CJ
OJ
PJ
QJ
aJ
X C@
" X
_
5
B o d y
I n d e n t
T e x t
$ „Ð
dà
`„Ð a$
OJ
QJ
4 @
2 4
ð3
Æ
à À!
H e a d e r
. )@¢ A .
ð3
P a g e
N u m b e r
< P@
R <
Š B o d y
T e x t
2
dà
¤x
PK
…þƒÐ¶Ørº(¥Ø΢Iw},Ò
! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷
ä±-j„4 Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã
“óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô
“^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù*
D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù
$€˜
X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .—
·´aæ¿-?
ÿÿ PK
! ¥Ö§çÀ
6
_rels/.rels„•ÏjÃ0
‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ
» „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç
šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý
ÿÿ PK
! ky– ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xml
ÌM
à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K
Y,œ
ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Õ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+&
8ý
ÿÿ PK
! –µ-â–
P
theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw
toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰–
ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ
!)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—–
¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe
bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu
¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi–
@öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà
ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä`
- ÚïgÔ
Ș³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ßã¢
dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö
ð:Á¥ ;ä˹!Í
I_ÐTµ½ S
1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó
$”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£
x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I
u3 KGñnD 1÷ N
3Vq%'#q¾ Ã ÓòŠÍ
IB Òsü€•
íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i
~™Vé
þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ
Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕
~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ–
}KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?
¢ íqU ßån†èwð N ºû
%Ž»O¯ ·ièˆ4
=3 Ú—Pª•
ÓäïÊ1£P•m
\\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì
eW÷
¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ
išd
ûDЇA½Îœ
óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú
IqbJ#xÌ꺃
6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ
¯èáü\P•1»Mh
Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJíP |8¯
Ö„ AÛ V^…ó¹f
ÌH ín÷ÞÜ-Æ
é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹
€Ø©ð‘>ä•bµ ·–
&û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ
Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD
¢à •ØDìcp¿
UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd
7y\È`ÞJân•² åίŠIù
R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m
q¨BiDý¾€ÆÁÔ
ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D
ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y
›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M
 ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍÒ¿
ÿÿ PK
!
ÑŸ¶
'
theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M
Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5
6?$Qìí
®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r
'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß
ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ
6
+
_rels/.relsPK ! ky–
ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xmlPK ! –
µ-â–
P
Ñ
theme/theme/theme1.xmlPK !
Ñ•Ÿ¶
'
›
theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK
]
–
<?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?>
<a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main"
bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1"
accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5"
accent6="accent6" hlink="hlink"
folHlink="folHlink"/>e
«
R
U
«
`
ÿÿÿÿ
%
¢^
£
Çi
T,
™
´i
¢
¤
%
u
¥
»|
¨
%
NŠ
¦
÷Ì
ª
%
$²
§
ÿ
-
%
ž¿
©
t®
(
¿ê
«
•#
~
ì
¬
«#
t
•
˜#
z
«#
¯
“
B
˜
š
’
”
•
–
—
Âh Zi ii xi „i
›
œ
•
ž
Ÿ
“i
¢i
¡
@ -ñ
ÿÿ
!
(
ÿ €€€ ÷
ð
ð
ð
ðB
!•
! ÿ•€
ð’
ð8
ð
ð
ð0
ð(
S
ð-
¿
Ë
?
ÿ
ð
ÿÿ°
E «
Ì*$
F «
´†d
G «
<7$
H «
ìW
I «
ÌIc
J «
4db
K «
f
L «
ӣb
M «
\Ô$
N «
ü«$
O «
ab
P «
<œd
Q «
Ib
R «
ü´b
S «
„gb
T «
t $
U «
J$
V «
” b
W «
Ô¬$
X «
Gc
Y «
œLc
Z «
ü©$
[ «
¤û$
\ «
l b
] «
` «
ÄÕ$
lD$
^ «
a «
TË#
Ü+$
_ «
b «
œ
l c
c «
„¬$
d «
b
e «
ôð#
f «
ÄÇb
g «
lÏb
h «
€d
i «
4Ä$
j «
{b
k «
üwb
l «
ì™d
m «
\„d
n «
o «
>
Ti
p «
ì¼
q «
dÆ$
r «
Ô²$
s «
Oc
t «
d`b
u «
´eb
v «
Äab
w «
«
È$
,Ï$
x «
} «
Ìë#
ô•d
y «
¤À$
z «
Œ[
{ «
\Z
|
~ «
lcb
• «
4 d
€ «
ƒ «
,G
ü7-
• «
„ «
;
üv
‚ «
… «
9
ü4
† «
|-
‡ «
d¦b
ˆ «
äÙ$
‰ «
Lzb
Š «
äy!
‹ «
¼Éb
Œ «
üŽ
• «
”
b
Ž «
¤Ê$
• «
¤Mb
• «
¼Cb
‘ «
,Œd
’ «
«
$H
ì $
“ «
˜ «
dH
” «
ìÁ$
™ «
Ü$$
• «
,Â$
š «
%$
´¢d
– «
¬ $
—
› «
ô¢d
œ «
ϫ
• «
Ü´
ž «
ä
b
Ÿ «
$ b
«
T£d
¡ «
ӣd
¢ «
ì®b
£ «
,¯b
¤ «
¨ «
- «
43
¥ «
43$
© «
$¦$
® «
t3
¦ «
t3$
ª «
ÜJ$
¯ «
\D
§ «
´3$
« «
K$
° «
œD
¤¥$
¬ «
\K$
± «
ä¥$
Ö#
² «
· «
LÖ#
³ «
Ì"$
¸ «
΅#
´ «
ÄÑ#
µ «
Ò#
¶ «
DÒ#
#$
¹ «
L#$
º «
Äsb
» «
tb
¼ «
Dtb
½ «
ôƒb
¾ «
4„b
¿ «
t„b
À «
«
”1$
t$
Á «
Æ «
Tt$
Ì•
 «
Ç «
”t$
à «
1$
Ä «
T1$
Å
‘
È «
L‘
É «
4ó$
Ê «
tó$
Ë «
´ó$
Ì «
|#b
Í «
¼#b
Î «
ü#b
Ï «
(b
Ð «
D(b
Ñ «
„(b
Ò «
«
œ¯$
Ú «
ß «
«
ô|
ì•#
Ó «
,Ž#
Ô «
lŽ#
Õ «
Ø «
ܯ$
Ù «
Ü.
Û «
\.
Ü «
œ.
Ý «
I$
à «
DI$
á «
4|
â «
å «
ô¯d
¯$
t|
Ö «
„H$
Þ «
ã «
\¯$
×
ÄH$
´|
ä
æ «
4°d
ç «
t°d
è «
´°d
é «
<Àb
ê «
|Àb
ë «
¼Àb
ì «
üÀb
í «
ò «
'
k
¤q
¬Ö
î «
ó «
äq
ìÖ
ï «
ô «
$r
,× !
ð «
!
“
dr
“
"
ñ «
"
lÖ'
k
v
v
¬
¬
·
·
^
^
ö
ö
˜
˜
…
…
•
•
B' B' I' R' R' ]' ]' g' g' q' q'
(
( 4) 4) »B »B •K
•K xN xN ³Q ³Q _U _U ¼W ¼W êa êa
b
b žb žb ƒu ƒu Åu Å
u
•
• s• s• -• -• •‚ ž‚ ®‚ å‚ å‚ °œ °œ ÿ¨ ÿ¨ y© y© M½
M½ ê ê ùÆ ùÆ aË aË pÍ pÍ MÏ MÏ gÏ gÏ -Ð -Ð ÕÐ ÕÐ CÕ
CÕ ÎÖ ÎÖ ëÖ ëÖ .Ø .Ø ëí ëí ýû ýû Õÿ Õÿ =
=
µ
µ
—
—
û
û
¼
¼
Ê
Ê
e
e
v
Ñ
v
Ñ
ö
'
ß
ö
l
ß
í
Œ
l
L
Œ
‡
L
”
‡
õ
â
â
õ
V
V
o
o
×
×
¬
!
.
:
F
R
"
#
/
;
0
<
G
S
^
w
ƒ
‘
*
0
q
y
…
•
š
¥
œ
,
›
§
,
2
>
J
(
)
3
4
@
5
A
6
B
L
‡
“
‰
”
•
ž
ª
–
Ÿ
«
7
˜
¬
8
9
E
Q
]
i
t
€
•
‹
,
D
P
\
h
g
s
~
Š
+
C
O
[
f
r
}
ˆ
*
N
Z
e
q
p
|
•
©
M
Y
X
d
o
{
œ
¨
0
'
W
c
n
z
†
’
&
?
K
V
b
a
m
x
„
•
™
¦
œ
1
U
`
l
%
=
I
H
T
_
k
j
$
Œ
u
•
•
v
‚
Ž
—
¡
-
£
®
¢
¯
¤
*
q
|
|
²
²
½
½
f
š
š
G' P' P' [' ['
=) ÄB ÄB ŠK ŠK •N •N ·Q ·Q
b ‡u ‡u Îu Îu
•
• |• |• '• '• œ‚ ¨‚ ¶‚
S½ óÂ óÂ
Ç
Ç jË jË yÍ yÍ
Õ ÒÖ ÒÖ ôÖ ôÖ 7Ø 7Ø ôí ôí
¿
¿
f
ÿ
ÿ
¡
¡
Ž
Ž
e' e' o' o' v' v'
(
hU hU ÅW ÅW óa óa
b
( =)
b ¡b ¡
î‚ î‚ ¹œ ¹œ
©
© ‚© ‚© S½
VÏ VÏ jÏ jÏ ¶Ð ¶Ð ÙÐ ÙÐ LÕ L
ü
ü Þÿ Þÿ F
F
¾
¾
Ó
Ó
l
à
l
à
Ù
Ù
é
õ
~
&
õ
~
1
U
þ
1
U
þ
r
þ
“
r
þ
ž
Ž
ž
Ž
é
é
_
-
_
-
x
¬
x
!
.
@
R
d
"
/
A
S
e
#
0
B
T
f
$
1
C
U
g
%
2
D
V
h
&
3
E
W
i
'
4
F
X
j
|
(
5
G
Y
k
}
)
6
H
Z
l
~
*
7
I
[
m
•
+
8
J
\
n
,
9
K
]
o
:
L
^
p
;
M
_
q
<
N
`
r
=
O
a
>
P
b
s
t
u
w
x
y
z
{
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
ˆ
Š
‹
Œ
•
Ž
•
‘
•
’
“
”
•
–
˜
—
™
š
›
œ
•
ž
Ÿ
¡
£
¢
¤
¦
¥
§
¨
©
«
¬
®
¯
8
¬
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €City €=
&
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
€PlaceName €=
'
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
€PlaceType €9
)
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €State €B
°
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
?
Q
c
v
‰
ª
€country-region €9
¯
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €place €
8eb
°
¯
¯
¯
°
°
¬
¯
¯
°
¯
¯
°
¯
'
.
•
+
‰
Ù
0
•
Ú
<
’
â
=
¢
ã
F
§
é
)
¯
°
¯
¬
¯
¯
&
¬
&
¯
¯
¬
&
¯
¯
'
°
¬
¬
G
¨
ê
¯
'
¯
¯
°
°
¯
¯
¬
°
°
°
¯
¯
°
°
¬
&
¯
¬
¯
¯
¯
¬
¯
)
¯
°
°
°
¯
&
¯
°
¯
¯
¯
¯
°
'
¯
)
¬
¬
¬
°
¯
¯
)
¯
¯
¯
¯
°
°
¯
¯
¯
°
¬
¬
°
¯
¯
°
°
¯
°
¯
¯
¯
¯
°
°
¯
¯
¬
¯
°
¬
°
¯
°
°
¯
°
¯
¯
¯
¯
°
¯
¯
°
°
°
°
°
¬
¬
¯
¬
¯
¯
¯
¯
°
°
¯
¯
¬
¯
¬
¬
¯
¯
¯
°
¯
°
¯
¯
¬
¯
¬
¯
°
°
°
¯
¯
¯
¬
¯
¯
¯
¯
°
Ó
°
¬
°
O
°
ò
P
±
ó
X
µ
÷
]
¶
ø
e
»
h
¼
s
Ã
t
Ä
}
Ë
~
Ì
ˆ
Ò
"
V
¢
ã
.
€
˜
Ø
(
$
^
£
ä
5
‰
ž
Û
,
y
s
×
%
d
¨
í
6
•
Ÿ
Ü
2
z
å
)
h
©
ó
;
—
¢
ä
7
„
ë
*
i
ù
J
®
3
w
¶
S
4
Z
`
a
g
i
F
–
Í
p
²
¸
¹
¾
¿
Æ
}
·
T
¬
ð
;
‹
ô
0
n
;
<
ˆ
Å
‡
À
Á
C
Ž
Æ
D
•
Ì
ú
£
ç
8
…
ì
.
m
ñ
<
Œ
ö
Y
±
ø
?
•
ù
@
£
P
©
Q
¬
Y
´
Z
µ
_
½
G
K
L
S
Õ
Ö
Ý
Þ
r
x
y
•
Ç
Î
Ð
—
-
`
¾
g
Ç
h
È
Ö
'
r
Ñ
Ò
.
{
½
6
€
Ã
8
•
Ä
#
<
†
;
…
É
Ê
$
F
Ž
Ñ
G
•
Ò
R
˜
Ö
S
™
×
U
Ÿ
á
V
¢
ç
[
©
ð
\
ª
ñ
f
°
ú
g
±
û
n
¸
o
¹
u
¼
5
b
?
b
E
b
K
L
R
S
Y
`
-`
#`
%`
+`
,`
áa
éa
õa
øa
b
b
b
b #b $b (b *b /b 0b 4b 5b =b >b Fb Mb Qb Rb [b \b
ib jb ob pb xb yb }b ~b ƒb žb ¡b ¢b ªb «b ±b ·b »b ¼b
Áb Âb Æb Çb Îb Ïb Ób Ôb ßb àb èb îb õb öb üb þb
c
c
c
c
c
c
c
c $c 'c .c 0c 7c =c Gc Hc Mc Nc Wc Xc
^c _c ec kc pc qc tc uc zc {c …c ‹c •c •c –c —
c Ÿc
c ©c ªc ®c ¯c ¸c ¾c Ãc Äc Èc Éc Ïc Ðc Öc ×c Ùc Úc
àc ác ïc ðc öc øc ÿc
d d
d
d
d
d
"d
id
d ˜d
öd
e
e
be
e •e
íe
d
)d
od
™d
÷d
e
de
¨e
õe
d
.d
pd
•d
ýd
e
he
©e
öe
3d 5d 8d 9d >d ?d Id Ld Ud Vd Xd Yd
vd |d €d ‡d •d Žd •d –
Ÿd ¨d ©d -d ®d ±d ²d ºd »d Ád Âd Ôd
þd
e
e
e
e
e
e "e #e 0e 1e 7e 8e Ae Be Pe
ie se te we xe ~e •e ‰e Še •e Že —
²e ´e ¼e ¾e Ãe Äe Ðe Ñe ×e Øe Üe Þe
ýe þe
f
f
]d
dd
hd
Õd
ìd
íd
Qe
We
Xe
èe
ée
ìe
f
f $f 2f 9f :f
{f •f ƒf ‰f •f
Üf ãf æf ìf óf
g 3g 4g =g Cg Gg
pg qg vg wg |g
g ˜g £g ¤g ªg ³g
óg øg ùg
h
h
h
h
h
h
h "h
[h \h dh fh jh
•h –
h •h žh ¡h ¢h -h
ðh ñh õh øh ûh
i
i
i -i
i &i 'i +i ,i 2i
^i _i ai bi fi
i ˜i ›i œi £i ¤i
êi ìi íi ñi òi
j
>f
”f
g
Hg
}g
¸g
h
#h
kh
®h
üh
?f Df Ef Zf \f bf cf hf jf pf qf zf
•f œf §f ¯f ·f Åf Æf Ìf Îf Òf Øf Ûf
g
g
g
g
g %g &g ,g Ng Og Sg Tg Xg Zg ^g _g eg fg kg lg
‹g •g ’g “g —
¹g Àg Çg Ñg Òg Õg Ûg ßg àg çg èg ñg
)h *h .h /h 3h 4h 8h 9h ?h @h Qh Rh
ph qh th vh •h €h …h †h Šh ‹h Žh •h
·h
i
¸h ¿h
i i
Àh
Êh
Ëh
Ôh
Öh
Üh
Ýh
èh
êh
3i 9i :i >i ?i Ei Fi Ki Li Pi
gi pi ri yi zi •i €i Ši •i —
ªi «i ²i Æi Ëi Ìi Ôi Õi Úi Ûi
þi ÿi
j
j
j
j
Qi
Vi
Wi
ài
ái
éi
j
j
j
j
j &j 'j /j 5j =j >j Fj Hj Nj Pj Wj
fj gj mj nj uj vj {j |j •j ‚j ‡j ˆj •j Žj —
j ˜j ¡j ¢j ©j «j °j ²j »j ¼j Äj Åj Øj Ùj ßj åj
ñj ùj
k
k
k
Xj
\j
]j
êj
ëj
ðj
k
k
k
k
k
k "k $k 7k 8k ;k <k
ok qk uk vk „k Šk Žk •k –k —
k •k žk ¡k §k ®k ¯k ´k ¶k ¿k Ák
ëk ìk õk ÷k
l
l
l
l
Dk
Jk
Qk
Rk
[k
\k
fk
hk
Åk
Æk
Ñk
Òk
Úk
Ûk
äk
åk
l
l
l -l %l 'l /l 0l ;l Cl Jl Kl Xl Yl al cl jl ll ql
rl zl {l €l •l †l Œl “l ”l —
l ˜l ¢l ¤l «l ¬l µl ·l ºl »l Ål Æl Êl Ñl Øl Ùl âl ãl êl
ñl ûl ül
m
m
m
m
m
m !m "m %m 'm *m 0m :m >m Km
Lm Um Vm ]m ^m em fm om pm wm xm €m •m „m …m Œm •m –
m ˜m Ÿm ¡m ¨m ©m ¯m °m ´m µm ½m ¾m Åm Æm Ìm Ím àm æm ëm
ìm ðm ñm ùm úm
n
n
n
n
n
n !n "n )n +n 3n 4n ?n
@n Cn Dn Qn Sn Xn Yn an vn •n €n ‰n Šn •n ’n —
n žn ±n ²n ºn »n Àn Án Én Ên Ôn Õn Þn ín ðn ñn ùn ûn þn
o
o
o
o -o $o %o (o /o :o Bo Eo Fo Ro So \o ]o _o `o go
ho oo po uo vo zo |o €o •o †o ‡o •o ‘o
o ¡o «o ±o ¶o
·o ¼o ½o Âo Ão Êo Ìo Òo Ôo ßo óo ùo úo
p
p
p
p
p
p
p
p p
p $p %p .p Ep Kp Lp Sp Tp \p ]p bp cp lp mp yp •p ‡p ˆp
”p •p šp ›p žp
p §p ¨p °p ±p µp ¶p Âp Ãp Ëp Ìp Ýp Þp
çp èp íp îp ñp òp üp ýp
q
q
q
q
q
q &q 'q *q +q 0q 1q ;q [q dq eq kq lq qq rq
xq yq ~q •q ˆq Žq ˜q ™q žq Ÿq ©q ªq ¶q ¿q Ãq Äq Èq Éq
Ìq Íq Öq Üq åq æq îq ïq úq ûq
r
r
r
r
r
r
r
r
%r &r (r )r 1r 2r 8r :r Br Cr Gr Hr Lr Mr Sr er kr lr t
r ur ~r •r …r †r ‹r Œr ’r “r ˜r ™r ¢r £r ªr «r ºr »r ¾r
¿r Ìr Òr Ür Ýr ár âr çr èr ër ìr òr
s
s
s
s
s
s
s
s
s
)s 7s =s >s Cs Ds Gs Hs Qs Ss [s ]s cs ds hs is us vs
ys zs …s ‘s —
s ˜s •s žs ¨s ©s ²s ´s ·s ¸s ¼s ½s Ås Æs Ïs Ðs Øs Ùs ãs
äs ôs õs ûs üs
t
t
t
t
t
t
t
t $t 0t 6t 7t @t At Ht It Nt Ot Vt Wt _t `t
ft gt nt tt xt yt €t •t ˆt ‰t ’t ˜t ¢t £t ©t ªt -t ®t
·t »t ¿t Àt Ít Ît Ùt Ût ät åt ît ït ùt út þt ÿt
u
u
u
u
u
u #u $u (u )u .u 5u :u ;u Cu Du Hu Ou Zu [u
bu cu fu gu ou qu xu yu •u €u ‚u ƒu ‡u ˆu •u Žu šu ›u
Ÿu
u ¥u ¦u ³u ´u ·u ¸u Áu Âu Äu Ïu Ùu Úu àu áu îu ïu
ôu õu úu ûu
v
v
v
v
v
v
v
v "v #v (v )v /v 0v 6v 7v ;v =v Ev Fv Iv Jv
Pv Qv Tv Uv Zv [v cv ev pv qv uv vv {v }v …v ‡v Šv ‹v
“v ”v ™v šv ¢v £v ¨v ©v ²v ³v µv ¶v »v ¼v Év Ñv ×v âv
ëv ìv ðv ñv úv ûv
w
w
w
w
w
w
w
w !w "w ,w w 1w 7w ;w <w Aw Bw Kw Qw Uw Vw Yw Zw ew fw lw mw rw sw
ww xw …w †w •w ‘w –w —
w šw ›w Ÿw ¢w «w ¬w ´w µw ¾w ¿w Åw Æw Íw Îw Öw ×w Ûw Üw
áw âw èw éw ðw ñw úw üw
x
x
x
x
x
x
x -x $x %x .x 0x 6x 7x :x Ax Lx
yx zx }x •x Žx •x –
x œx ¡x ¢x ªx «x ¯x °x ¹x ºx
æx êx ëx îx ïx ôx õx úx ýx
Mx
Vx
Wx
\x
]x
gx
hx
qx
rx
¾x
y
¿x
y
Æx
y
Çx
y
Ðx
Ñx
Óx
Úx
ßx
y
y
y
z
z
y
y
y
y
!y )y *y 0y 1y ;y <y Hy Iy Oy Py Xy Yy _y `y cy dy iy
jy uy vy |y }y …y †y •y Žy ‘y ’y •y žy ¦y §y ®y ºy ¾y
Çy Íy Îy Õy Öy ßy ày åy æy íy îy óy ôy üy þy
z
z
z ,z /z 0z 6z 7z <z =z Bz Cz
dz tz …z †z •z ‘z •z žz §z ¨z
Ðz ×z Üz Þz èz éz óz ôz ÷z øz
%{ &{ ,{ { 7{ 8{ B{ C{ F{ G{ O{ P{ U{ V{
}{ ~{ ƒ{ „{ ‹{ ‘{ š{ ›{ ¤{ ¥{
Ó{ Ô{ Ù{ Ú{ á{ ç{ ð{ ñ{ ú{
|
|
Kz Lz Pz Qz Wz Xz az bz
-z ®z ·z ¸z Áz Âz Éz Êz
{
{
{
{
{
{
{
{
Z{ [{ b{ c{ m{ n{ s{ t{
ª{ «{ ±{ ²{ ¹{ º{ É{ Ê{
|
|
|
|
|
| |
)| *| 1| 2| ;| A| H| I| Q| R|
•| €| „| …| ‡| ˆ| •| •| •| —
| Ÿ| ¡| §| ¨| µ| »| Ã| Ä| Î| Ï|
þ| ÿ|
}
}
W|
X|
\|
]|
c|
d|
u|
v|
Ò|
Ó|
â|
ê|
ð|
ñ|
ø|
ù|
}
}
~
}
}
} -} (} .} 6} 7} =} >} E} F} I} J} _} `} g} h} m} n} w} x}
{} |} †} ‡} ’} “} ™} š} £} ¤} ©} ª} ¹} º} Á} Ã} Æ} Ë}
Ò} Ó} Û} Ü} å} æ} ë} ì} ò} ó} ü} ý}
~
~
~
~
“~
~ ˜~
ì~
•
•
a•
• ˜•
é•
€
~
”~
ž~
ø~
•
g•
™•
ï•
$~ %~ *~ +~ 2~ \~ e~ f~
—
Ÿ~ ¤~ ¥~ ª~ «~ µ~ ¶~ ¾~
ù~ þ~ ÿ~
•
•
• %• &• (• 3• 8• 9•
o• p• r• }• ‡• ˆ• •• –
Ÿ•
• ¤• ¥• ª• ³• ¹• º•
ô• ú• ÿ•
€
q~
r~
w~
x~
€~
•~
•~
Ž~
¿~
É~
Ê~
Ð~
Ñ~
Þ~
ß~
ë~
D•
E•
L•
M•
S•
T•
Z•
\•
Å•
Æ•
Ì•
Í•
Ó•
Ô•
à•
á•
€
€
€ !€ "€ *€ ,€ 6€ 8€ <€ =€ B€ C€ K€ M€ T€ U€ Z€ \€
c€ d€ i€ j€ u€ v€ ~€ € „€ …€ ˆ€ ‰€ Ž€ ”€ ž€ Ÿ€ ¦€ §€
«€ ¬€ °€ ±€ ¶€ ¸€ ¿€ Á€ Ê€ Ë€ Ù€ Ú€ ã€ ä€ é€ ê€ ó€ ô€
û€ ü€
•
•
•
•
•
•
•
• (• 9• B• C• G• H• L• M• R• S• ^• _• i• k• p• r• x• y• ‚•
ƒ• ‡• ‰• •• –
• š• •• §• ¨• -•
)
.
/
;
<
A
B
I
J
S
T
X
Y
\
]
c
d
l
m
u
v
•
€
†
‡
Œ
•
˜
™
¢
£
«
¶
¹
º
¿
À
Ã
Ä
É
Ê
Ó
Ô
á
ä
é
ê
ó
ô
ü
ý
a
¢
i
µ
"
r
j
¶
»
#
s
¼
(
x
Ç
2
y
È
6
}
Î
8
~
Ï
A
ƒ
Õ
B
‰
Û
E
•
ä
F
•
æ
Q
˜
í
R
™
ï
V
›
ô
W
œ
þ
`
¡
X
Y
¢
p
i
˜
¥
s
›
n
c
¦
y
¦
$
v
{
¬
%
®
•
/
0
ƒ
0
W
1
„
:
d
3
„
;
’
;
†
B
š
<
†
C
ë
>
‡
H
›
E
‡
I
•
P
‰
O
¢
X
Š
P
¥
]
Œ
R
©
^
•
S
ª
g
•
•
4
³
c
ã
y
:
Æ
·
·
#
_
š
ó
„
÷
-
i
]
m
J
å
ç
ª
¬
¢
Ž
Š
X
Œ
3
0
3
Y
Š
‰
©
'
•
¬
)
•
¿
•
3
3
3
e` Èa ÝÝ
Œ
•
•
•
0
1
Á
›
3
áÝ
Q
¬
3
¦
3
þ
©
ƒ
¬
„
a
c
3
3
˜
„
¥
†
0
3
3
0
†
„
3
1
‡
„
3
„
‡
i.Î
†
3
„
‰
†
‡
3
†
Š
‡
3
†
Œ
‰
3
‡
•
3
‡
•
•
,ž^Eÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
„_ûo(
(
)
€
‚
`„Lÿ
.
€
„q
„Ø
„Lÿ Æ
„
Ø
„˜þ Æ
^„Ø
„¨
„_û Æ
q
^„ `„˜þ
^„q `
.
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ
‚
þ Æ
Lÿ
.
è
.
€
„
„˜þ Æ
^„è `„˜þ
i.Î
„H
^„
.
„Lÿ Æ
`„˜þ
‚
H
.
„x „˜þ Æ
^„H `„Lÿ
€
x
.
„¸
^„x `„˜þ
€
„Lÿ Æ
.
¸
„è „˜
^„¸ `„
ÿÿÿÿÿÿ
?
ˆf
ÿÿ
å
>m-´
>
ð3
½C
õ?
.
Ò
‹1
'[
Ëz
UD
Š - Ñ]$ = ' ë(,
b, 4k, £ 1 _
5 %wA QcC 6-K g?O •
U ãXX §n\ p^ º2b 2g R
h u } Q~• î:€ Š ƒ *‡ ý ™ «r› ó&• h £ 9 § _¨
c© ÷6« ò ® Z¯ Ês¯ 5^± ÈI» Å!¼ •t¼ ÆFÀ † Á ¨9Ò ÓI× `Û ÚWÜ …rÞ -Wß
kß V[à ^|å
í )Gõ HVü
1
3
ÿ@ €
`‡
«
P
@ ÿÿ
U n k n o w n ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
G-•
‡*
€
ÿ
T i m e s
N e w
R o m a n
5-•
€
S y m b o l
3.•
‡*
€
ÿ
A r i a
‡
Ÿ
A r i a
N a r r o w
C •
B o l d
7.•
‡
Ÿ
V e r d a n a
9-•
G a r a m o n d
?=•
€
ÿ
C o u r i e r
N e
¿
ûüÇh
Ÿ
M S
l
l
A.•
G a r a m o n d -
‡
‡*
w
G5 €
M i n c h o
Ÿ
-ÿ3ÿ
f g A-•
M a t h
•
•
"
ï
1 ˆ ðÐ
D* íð
Y ð
ë
h
B
Ÿ
bÒâ¦cÒ⦅å‡f
C a m b r i a
D* íð
Ü Ü x ´ •‚ 4
Q ð
ÿý
ÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÆFÀ
HX
2
x
x
ÿÿ
S o s i o - A n t r o p o l i t i k
ðÿ
?
ä
d
¡
¡
2ƒ
ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿ
!
d i
/ A r s i t e k t u r
I n d o n e s i a
d a n
L e o
A g u s t i n o
U s e r X p
þÿ
à…ŸòùOh «‘
@
Œ
˜
+'³Ù0
P
Ü
˜
`
Ø
l
ä
ü
¤
°
¼
Ä
Ì
Ô
Antropolitik di Indonesia dan
Agustino
0
Bandung Normal Office Word
@
FÃ#
@
D*
íð
ä
0
Arsitektur SosioLeo
Dikirim untuk Jurnal CIVICUS FPIPS UPI
UserXp 3
Microsoft
6š@´tÄ @
'Œ¶Ê @
bËJŒ¶Ê
þÿ
+,ù®0
ÕÍÕœ.
“—
h
p
¨
À
€
°
ˆ
¸
•
˜
ü
ä
-
Untirta
•
¡
-
0
Arsitektur Sosio-Antropolitik di Indonesia dan
-
Title
!
.
@
R
"
/
A
S
e
d
w
‰
˜
ª
#
0
B
T
f
x
Š
™
«
$
1
C
U
g
y
‹
š
¬
%
2
D
V
h
z
Œ
›
-
&
3
E
W
i
{
•
œ
®
'
4
F
X
j
|
G
Y
k
}
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
•
H
Z
l
~
•
•
)
6
*
7
I
[
m
•
+
8
J
\
n
€
,
9
K
]
o
•
“
¢
´
:
L
^
p
‚
”
£
µ
;
M
_
q
ƒ
•
¤
¶
<
N
`
r
„
–
¥
·
=
O
a
s
…
>
P
b
t
†
?
Q
c
u
‡
v
ˆ
‘
’
—
Ÿ
¡
¦
§
¨
©
¯
°
þÿÿÿ²
³
¸
þÿÿÿº
»
¼
½
¾
¿
À
Á
Â
Ã
Ä
Å
Æ
Ç
È
É
Ê
Ë
Ì
Í
Î
Ï
Ð
Ñ
Ò
Ó
Ô
Õ
Ö
×
Ø
Ù
Ú
Û
Ü
Ý
Þ
ß
à
á
â
ã
ä
å
æ
ç
è
é
ê
ë
ì
í
î
ï
ð
ñ
ò
ó
þÿÿÿõ
ö
÷
ø
ù
ú
û
þÿÿÿý
þ
ÿ
þÿÿ
ÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿ
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
póuNŒ¶Ê
€
D a t a
e
Ž
(
5
ž
±
1 T a b l
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
a t i o n
ô
t i o n
8
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
¹
ôt
W o r d D
ÿÿÿÿ
7`
S u m m a r y I n f o r m
(
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ü
y
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F'
Microsoft Office Word 97-2003 Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download