\- ¥O@ h- Pþ Tþ %Z@ •O@ `þ \- \[( ”­ ãÉ|2 Ìo ¨ ÏÊ ÊÁ ÓÏà ¶*Ÿô†Ðà € HO 18 PILPRES LANGSUNG.Doc MBALI.doc I SANIT.doc I.DOC doc dan model.doc ' ¬u' ìÄ" ûÄ" ˆ½ EO@ h ìÄ" ¬´ •#' X´ áËËt •u' ìÄ" „u' äÄ" ðx' Ì´ l´ €ÊËtàÄ" ÌÄ" Ì´ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" ðx' ` ˆÄ" üÄ" Ä´ 5ZËtüÄ" •u' HO18PI~1.DOC aÎt` ` ä´ OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" |· ÛNËt ` ˆÄ" °Ã" îNËt> ß G P • ` €s-w• €s-w À– ( \µ 3é w€s-w ÄÄ" ÄÄ" ÄÅ" Å" ª T¸ ÄÄ" •u' / wp ! · ½ wp¼µ · í wp fÃ" wp(· P ! @c€P ! Xr! ! àÏ" * . i P ! l ˆÄ" l ø Ã" p4 wŸ4 wl mèp! ! €Ä" i h† Ä" Ä ! ˜o! H ! €Ä" ÈÅ" p¶ ¿, sx¶ Ķ ®. s lsÅ. s ' èx' ¬¶ •u' `t' ••( 0 ÊjÄFèx' ¨· X ß ß ð Ä ! o! Ã" ! øÃ" l m ! ¨Ã" ¸ “1 w8 ! o1 w²• } |` Ä" Ä ! ˜o! è ! w ! °Ã" ! Ä ! Xr! ! Ä ! Xr! ! P ! Xr! ˜ } P ˜ Ä (Ã" ˜o! Xr! ¸ Xr! èp! } (à " Ä ! ˜ y| À @¸ <· @”( ˆÍ M× w - þÿÿÿo1 whw °Ã" °Ã" и ¨Ã" P¸ p/úu ! °Ã" `¸ fRúu°Ã" °Ã" p¸ CRúu °Ã" €¸ çQúu°Ã" Ô¸ Ôpüu˜m! Ôpüu ˜m! °¸ QSúuÔpüuèº ˜m! ïMûu°¸ °¸ è q¨² – ¬¶ btamail.net.cn w8 o1 w w ² ð u' ‰uQu ø² pW¯u• C¼-GþÿÿÿšuQu • ðx' iZËtP ðx' ð ÊjÄF ¸ M× w - þÿÿÿo1 wh- w ð ' P •u' ø ̳ Ä “ºt P P ÔZËt•u' @ ß Ä • Ä •u' •#' " û• ´ ô©Qu•#' •u' •u' F ' Ò' д ž5 w8 ' Ÿ4 w~‘ w@¸ ' P ' ìÄ" ¬´ P ' F äÄ" ðx' Ì´ €s-w €s-w ( ¤´ 3é w€s-wˆµ p”( ¤´ | ' áËËt P ' F à•( À– ¤´ 9ï wÔ–( ˆµ Ì–( Hµ F m w t wæ• w@¸ Ò' Tþ M× wv- h¸ p”( 0 À– ( † (¶ p”( † ¨µ G &¶ € €s-wD €s-w À–( \µ 3é w€s-w@¸ D Ò' @¸ @¸ Ì– ( Ò' ¸· ˜Ã wT— ( |µ Ô-êÿ •o w (¶ € ˆ ¨µ h¸ † Dq w D : \ D A T A \ F I l e D o s e n J u r u s a n P K n \ D r . P r a y o g a B e s t a r i , S . p d . , M . S i \ * . * ° ( ' èx' `· ž5 w8 ' Ÿ4 wÎ’ w ' P ' Þ¸ ŒuP ' ° ( t ' •u' N’ ' P ' à•( ÿÿÿç ' @ Ò' w • [( ðx' ðx' ëx' þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4 P ' ' }pQ •¶ @ êx' èx' 0» Tþ M× wv- y' @”( y' @”( Ø· — } w q-w ðx' F F Ø· · ôd wTþ ì· Ðø w y' ¸ aÁQu y' 0» ˜Ò' ìº Œ‹Qu 0» & …“ ÏÊ º)º_ÑÏà -RN F @¹ Ž wȹ ”½ p”( | ' `þ Ò' ¡‹Qu ˜Ò' (º @¹ |Ž w•Ž wîœ t¸ @ ˆ ˆ ` Ò' F w (º %Z@ Ò' P ' ° ( | ' @ Hº ü¹ 0½ f w0½ º Ëe w(º (º Hº ü¹ (°ý• Hº `þ Ò' Tþ M× wv® °”( W 0 ® \½ Wd w¼I wed wHº € U•ôd w? • ; # # `þ ¹ P ' 0½ (º ® ðx' ôd wŸ Qu ˜¹ N» ƒO@ ÿÿ \½ M× wjZ@ `¹ â• w(º °”( ® ùe w(º 0½ º Õ w(º Hº º }pQ r € X jZ@ F ,½ # • €ÿÿ ø€ ¢ € ¢ Hˆ … û“• ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä 4ýÿÿÌ ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@ `þ \½ \½ ' t ' o1 w ˆ½ O@ À½ `þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2SILA´Í <O@ À½ âëç¥ ÏÊ Œ¼_ÑÏà †²,ͧÌÊ SILABUS-HO-SAP SISPOLIN RA PKn onesia teknik, model.ppt , dan model.doc pe: text/html Content-Transfer-Encoding: quoted-printable ðx <html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID height=3D0 width=3D0></iframe></body></html> --#BOUNSILABU~2 DOC ersion: 1.0 Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe" Content-Transfer-Encoding: base64 Content-id: THE-CID h @ ngnya pemerintahan Nigeria pada tahun 1983 dan Sudan pada tahun 1989 merupakan contoh yang dapat dijadikan pelajaran. Di Angola, fase transisi menuju demokrasi berakhir dengan pecahnya perang saudara dan berlanjut pada rezim yang otoriter. Demokratisasi adalah proses bertingkat-tingkat dimana terdapat kemungkinan bagi setiap negara-bangsa untuk gagal di setiap tingkatan sepanjang garis kontinum dari otoritarianisme sampai dengan tahap demokrasi yang baru (Casper dan Taylor, 1996). Pengalaman Indonesia di masa lalu, baik di bawah rezim Orde Lama maupun di bawah pemerintahan Orde Baru, merpakan petunjuk betapa sulitnya jalan menuju masyarakat dan negara-bangsa yang demokratis. Jika demikian halnya, mengapa beberapa negara berhasil mencangkok demokrasi setelah runtuhnya rezim otoriter, sementara beberapa negara lainnya gagal? Dan, mengapa proses demokratisasi di beberapa negara berhasil sampai ke tahap mengkristalnya demokrasi baru, sementara yang lainnya mandeg atau bahkan berantakan pada tahap-tahap awal? Setelah membandingkan dengan mengkaji beberapa kasus, Casper dan Taylor berpendapat, bahwa tahap pencangkokan demokrasi baru merupakan separuh dari proses dmeokratisasi. Kita tidak dapat berasumsi bahwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Menurut mereka ada dua alangkah penting yang harus dilakukan agar suatu negara-bangsa dapat sampai pada kehidupan demokratis yang dicitakan. Pertama, langkah jangka pendek yang berkaitan dnegan pencarian jalan keluar bagi kekuatan-kekuatan yang masih mndukung rezim lama; dan, kedua, adalah langkah jangka panjang yang difokuskan pada proses konsolidasi demokrasi baru tersebut. Kerangka tersebut bukanlah resep yang dapat mentransformasi otoritarianisme dan situasi anarkis saat ini menjadi kehidupan yang harmonis dari demokratis dalam sekejap mata, semalam, atau bahkan dalam hitungan bulan. Akan tetapi, melalui temuan Casper dan Taylor (1996) bangsa kita dapat memompa optimisme dari mana usaha harus dimulai agar proses reformasi yang tengah bergulir tidak berakhir dengan kembalinya kekuasaan negara yang begitu besar sehingga warna otoritarianisme atau bahkan fasisme menjadi keadaan nyata sekali lagi di negeri ini. Konstruksi Sosio-Antropolitik di Indonesia Francis Fukuyama (1995) dalam bukunya Trust: the Social Virtues and the Creation of Prosperity pernah men-thesis-kan dua bentuk masyarakat yang berwujud pada aras dunia mondial, pertama, masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi (high trust society) dan, kedua, masyarakat yang bertingkat kepercayaan rendah (low trust society). Menurutnya lebih lanjut bahwa tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibangun melalui social capital yang berbasis pada sifat dan sikap untuk saling percaya baik dalam bentuk relasi horisontal maupun vertikal. Melalui pendekatan pengategorian masyarakat tersebut Fukuyama dapat menganalisis mengenai perkembangan sosial, politik, serta ekonomi di suatu negara. Kemudian bagaimana kabarnya bila kita kaitkan dengan Indonesia? Bila Fukuyama mengatakan ada dua bentuk masyarakat yang dapat membangun lanskap sosial, ekonomi, dan politik, maka penulis perlu menambahkan satu kategori masyarakat lagi untuk menganalisis pembangunan sosial, ekonomi, dan politik tersebut di atas, khususnya untuk kaus di Indonesia, yakni: zero trust society atau distrust society. Kenapa demikian? Jawabannya bisa dirujuk melalui akar sejarah panjang Indonesia, yang dibangun melalui perselisihan, konflik, pertentangan kepentingan, saling tidak percaya, saling sikut satu dengan yang lainnya, dan seterusnya. Pada intinya, tidak ada kepercayaan, zero trust society atau distrust society, diantara warga masyarakatnya. Baik antara kaum perempuan—kaum laki-laki, kelompok sipil—kelompok militer, antarpartai, antarkelompok kepentingan, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu dibahas kiranya mengenai konstruksi sosio-antropolitik masyarakat di Indonesia agar kita dapat mengurai persoalan-persoalan yang telah mengakar pada sikap dan perilaku warga masyarakat bangsa Indonesia. Dan, salah satu langkah yang perlu dibangun dalam menyairkan persoalan bangsa ini ialah dnegan cara membangun trust sebagai wujud bagi “kontrak sosial baru” antara pemerintah baru dengan warga masyarakatnya. Kontrak sosial ini baru dapat terlaksana apabila kepercayaan yang tinggi antara kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya saling bersatu; kepercayaan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terwujud; kepercayaan antara kelompok sipil dan kelompok militer terbangun; kepercayaan antara masyarakat dengan pemerintahnya berdiri; hingga kepercayaan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki mewujud. A. Membangun Kepercayaan dalam Hubungan Sipil-Militer Salah satu persoalan pokok penting guna membangun demokratisasi, khususnya dari rezim yang otoriter atau bahkan totaliter menuju rezim yang demokratis, adalah bagaimana membangun civilian control upon military serta seberapa jauh kontrol sipil tersebut terhadap angkatan bersenjata. Perlu diingat bahwa angkatan bersenjata/militer di Indonesia telah memainkan peran sentral dalam politik semenjak kemerdekaan, hal ini terwujud karena faktor kesejarahan yang tidak dapat dipungkiri oleh seluruh warga masyarakat. Tapi dukungannya terhadap rezim Soeharto menjadikan militer tak populer di mata masyarakat sendiri. Dinamika hubungan sipil-militer yang berkait dengan civilian control secara teoretik dibahas dengan gamblang oleh Huntington, dalam bukunya the Soldier and the State (1956). Katanya, kekuasaan militer dapat dikontrol atau diredam dengan cara memperbesar kekuasaan pihak sipil, seperti mekanisme zero-sum game. Bila hal ini dapat terwujud kekuasaan pihak sipil yang besar, maka yang muncul kemudian adalah: dua kemungkinan kontrol sipil atas militer (dalam perpolitikan negara). Pertama, subjective civilian control, asumsinya: pada saat kelompok sipil berkuasa yang biasanya terdiri atas banyak golongan serta faksi yang berbeda sifat dan kepentingan, dan angkatan bersenjata/militer diperintah oleh banyak “mulut sipil” yang terjadi bukanlah civilian control upon military tapi yang muncul ialah esprit de corps militer dan bahkan dapat memperkuat posisi militer (lagi), bila hal ini yang terjadi maka demokrasi hanyalah kenangan, maka dari itu akhirnya diputuskan kontrol militer hanya dipegang oleh satu kelompok sipil saja. Ini artinya kelompok lain tidak memiliki kontrol terhadap militer karena kontrol telah dimonopoli oleh satu kelompok sipil lainnya demi kepentingan bersama. Dengan demikian upaya kontrol sipil terhadap militer secara subyektif membawa implikasi bahwa kekuasaan berada di satu golongan, yang biasanya dimanfaatkan oleh penguasa sipil (yang mengontrol militer) untuk mematikan gerak kelompokkelompok sipil lainnya dengan memanfaatkan kedekatannya dengan angkatan bersenjata. Menurut Huntington subjective civilian control yang salah atur dapat melahirkan rezim otoriter baru. Oleh karena itu, bila ada ucapan yang selalu mengatakan bahwa militer harus tunduk pada kelompok sipil, yang perlu dipertanyakan lagi adalah: kelompok sipil yang mana? Bila hal ini dicermati dari konsep subjective civilian control. Kedua, objective civilian control. Kontrol sipil terhadap militer secara obyektif bertujuan untuk memaksimalkan profesionalisme militer karena pada konteks ini kelompok sipil saling bekerja sama untuk me-format bentuk ideal dari sifat dan perilaku kelompok militer. Namun perlu diingat, sebuah teori pernah berujar: semakin ketat kontrol sipil terhadap militer, maka semakin besar pula resistensi kelompok militer terhadap kelompok sipil. Bila demikian halnya, maka civilian control upon military tidak dapat berwujud dan mendemokrasikan demokrasi tidak akan pernah terjadi. Alasannya, karena militer “merasa” semakin tidak nyaman atas kontrol sipil yang terlalu besar. Kasus tahun 1950-an hingga tahun 1990-an dibanyak negara, antara lain: di Indonesia, Chili, Nigeria, Guatemala, Pakistan, Thailand, Sudan, dll. di mana kudeta militer berhasil kembali menegakkan rezim milternya sehingga membalikan proses demokratisasi 180 derajat ke arah otoriterianisme baru (Huntington, 1995). Untuk itu, perlu kiranya manajemen publik dalam mewujudkan demokratisasi pada negara yang awalnya bercorak otoriter untuk membatasi kekuatan militer dengan cara meningkatkan profesionalisme angkatan bersenjata. Beberapa langkah sudah dijalankan oleh pemerintah sipil di Indonesia untuk menempatkan militer dalam kontrol sipil, antara lain: penunjukan Menteri Pertahanan (Menhan) dari kelompok sipil, larangan bagi perwira untuk merangkap jabatan di pemerintahan, mengganti secara gradual kepala daerah dan kepala wilayah oleh kelompok sipil, hingga dilepasnya polisi dari kontrol militer. Tapi menariknya, laju reformasi militer justru didorong oleh pihak militer sendiri (Mabes ABRI, 1998), dan bukan oleh pemerintahan sipil. Disini terlihat bagaimana pihak sipil “sebenarnya” takut untuk melakukan perombakan dalam tubuh angkatan bersenjata, mulai dari: pencabutan dwifungsi, perombakan atau bahkan penghapusan fungsi territorial TNI, restrukturisasi dan redoktrinisasi, serta perubahan kultur di dalam tubuh militer. Oleh sebab itu, sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh pemerintah sipil yang berkuasa saat ini. Perubahanperubahan besar lain masih perlu digulirkan untuk memastikan agar militer menjadi kekuatan profesional dan apolitis yang tidak berbaur pada kancah sosial-politik, dengan syarat perubahan-perubahan ini harus dilaksanakan secara gradual (bertahap) dan melalui konsultasi yang intens antara eksekutif, legislatif, dan militer sendiri. Konsultasi yang intens amat perlu dilakukan agar tidak muncul kesalahpahaman antara pihak sipil dan militer. Tindakan seperti menyingkirkan dan memensiunkan perwira-perwira senior secara mendadak, menghukum prajurit dan perwira yang melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) pada masa lalu tanpa toleran, mengganti secara tiba-tiba kepala-kepala daerah dan kepala-kepala wilayah yang awalnya dipegang oleh pihak militer, dikuranginya anggaran belanja militer dengan jumlah besar, dll. dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu terjadi, bila tidak didialogkan secara intens. Karena sekali lagi terori dan sejarah pernah berkata bahwa terlalu banyaknya tekanan dari pihak sipil pada pihak militer bisa berakibat fatal dengan menguatnya kembali posisi perwiraperwira yang tak terlalu bersimpati pada reformasi (khususnya pada kelompok sipil), yang diakhiri oleh kudeta militer. Menurut S.E. Finer (1962) ada beberapa faktor yang menyebabkan kembalinya militer pada kancah sosial-politik, yakni: (1) melemahnya pemerintahan sipil. Ketika pemeritahan sipil menurut mereka telah mengalami pembusukan politik yang disebabkan oleh pertikaian elite, pertentangan kepentingan melalui pelembagaan undang-undang serta kebijakan, dan macam sebagainya, ketika itulah militer masuk dalam kancah politik dengan argumen menjaga persatuan, kesatuan, dan keutuhan bangsa. Hal ini disebut pula dengan istilah “push factor” (push factor theory) atau faktor pendorong masuknya militer pada kancah sosial-politik. Selain sebab di muka, faktor pendorong aneksasi militer pada ranah sosial politik sipil terkait dengan: (2) kebanggaan atas korps, etos mengenai diri sendiri sebagai sekelompok orang pilihan, paling patriotik, paling berdisiplin, paling berjasa untuk mempersatukan seluruh wilayah kedaulatan, dll. sehingga sekali lagi manakala terjadi ketidaksepahaman pada elite sipil, maka yang terjadi adalah keluarnya militer dari barak. Push factor ini dibarengi pula, biasanya, oleh kebiasaan militer yang selalu memandang dan menganggap rendah terhadap kaum sipil; sipil tidak becus, sipil senangnya bertikai terus, sipil tidak pernah memikirkan rakyat, sipil penuh intrik dan kebohongan, dan macam sebagainya. Dan, hal tersebut akan didukung oleh situasi objektif masyarakat saat itu karena tidak akan ada satu pun golongan yang menyatakan bahwa tindakan militer bukan suatu tindakan demi kepentingan militer sendiri. Masyarakat akan selalu mempercayai landasan militer bergerak pada tataran "kepentingan nasional". Militer punya kedudukan istimewa dalam menggunakan landasan ini. Mereka dipercayai berada di luar politik gabungan. Tugas mereka adalah tugas negara, dan keberadaannya memang dimaksudkan khusus untuk membela negara. Lembaga kemiliteran juga disimbolkan sebagai lembaga nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional dan patriotisme. Jadi kalau mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan nasional bukan per kelompok seperti yang dipertontonkan oleh pihak sipi masyarakat luas akan lebih mudah percaya. Jika demikian, terlegimasilah peran militer di ranah sosial-poltik. Motif lainnya masuknya militer ke aras sosial-politik lebih bersifat (3) egoistik. Finer percaya bahwa militer akan selalu menjaga kepentingan mereka sebagai lembaga yang otonom. Bila otonomi itu dirasa terancam, maka mereka (seringkali) akan melakukan intervensi. Dalam bentuk defensif, motif ini menjurus ke semacam sindikalisme militer: sikap bersikukuh bahwa militer, dan hanya militer, yang berhak menentukan besar-kecilnya angkatan perang, kebutuhan perlengkapan militer (terkait dengan anggaran belanja), dan pendaftaran calon serdadu (jumlah angkatan bersenjata). Dalam bentuk yang lebih agresif kekhawatiran tersebut menjurus pada tuntutan agar militer menentukan semua hal yang berdampak pada konstitusi angkatan bersenjatanya, termasuk: penentuan kepala-kepala staf angkatan dan panglima angkatan bersenjata. Yang terakhir, pull factor theory, militer masuk dalam bidang politik karena: (4) ajakan kelompok-kelompok sipil yang tengah bersaing dalam pemerintahan. Atau, ajakan pihak sipil dalam menanggulangi krisis yang multidimensional. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintahan sipil dan bertambahnya harapan pada militer dalam memperbaiki keadaan yang carut-marut, menciptakan kesempatan bagi militer untuk melkukan konsolidasi dan mendongkrak pengaruhnya. Kelak, bila konsolidasi telah rampung, bila kuku pengaruh militer sudah tertancap, pada saatnya beban kesalahan semua kegagalan akan diletakkan di pundak sipil. Variabel terpenting dalam menentukan kemungkinan, intensitas, dan metode intervensi militer pada tatar sosial-politik adalah tingkat kultur politik suatu masyarakat. Semakin tinggi kultur politik, maka kian tipis kemungkinan intervensi militer ke bidang non-militer. Penentuan tinggi, sedang, rendahnya kultur politik pada suatu masyarakat, ujar Finer, terletak pada: (a) adanya konsensus mengenai suksesi kekuasaan; (b) adanya konsensus terhadap pemerintah yang legitimate; serta (c) adanya masyarakat yang peduli "politik" (kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan juga ornop) yang cukup aktif dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Oleh karenanya, prioritas pertama reformasi, dan merupakan langkah tepat yang telah dilakukan oleh pemerintah sipil Republik Indonesia adalah dengan mencabut undang-undang dan keputusan-keputusan yang berkait dengan persoalan Dwifungsi militer. Langkah taktis berikutnya adalah melakukan redoktrinisasi militer dengan cara mengakui secara eksplisit supremasi sipil dan menyatakan bahwa peran angkatan bersenjata adalah untuk melindungi negara dari ancaman eksternal, sedangkan persoalan yang menyangkut tentang ancaman internal adalah merupakan tugas dan tanggungjawab kepolisian. Bila kelompok militer sudah mau dan konsekuen menjalankan langkah penting demokratisasi dengan melarang anggotanya merangkap jabatan di pemerintahan. Maka yang perlu dipikirkan oleh pihak sipil kemudian adalah: bagaimana memperlakukan perwira-perwira yang mendekati masa pensiun. Cara tradisional yang kerap kali dirujuk adalah memberikan jabatan-jabatan sipil pada pensiunan perwira menengah dan perwira tinggi militer sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekecewaan, karena selama ini budayanya perwira-perwira menengah dan perwira-perwira tinggi yang memasuki masa pensiun seringkali diberi “jatah” untuk duduk di jabatan sektor publik (entah itu: kepala daerah, kepala wilayah, Dirjen, Dirut, atau lainnya), sedangkan saat ini justru yang hendak dibangun adalah profesionalisme militer, oleh karenanya, para perwira ini harus diberi kompensasi lain. Merujuk pada negara-negara maju biasanya para pensiunan militer ini kemudian diberikan kompensasi atau sokongan total pada pemeliharaan kesehatan gratis hingga mereka meninggal, gaji pensiun yang tinggi, hingga status serta reputasi dirinya dikalangan masyarakat umum sebagaimana yang mereka persepsikan. Langkah lainnya yang perlu digarap adalah kemampuan pihak sipil dalam memberdayakan dan menguatkan pengadilan sipil. Artinya, pengadilan sipil harus dapat mengadili anggota militer yang melanggar hukum sipil dan undang-undang. Karena hingga kini, militer menjalankan sistem hukumnya sendiri yang kerap dilihat oleh pihak sipil sebagai perlindungan kejahatan yang diperbuat/dilakukan oleh personel militer selama ini, serta masa lalu. Selain itu, kaum sipil harus bisa mengontrol badan-badan usaha milik militer dan membuat kebijakan-kebijakan yang mengatur akan hal tersebut. Militer Indonesia, seperti kita ketahui, sudah terlibat di dalam bisnis sejak pembentukannya, pada mulanya angkatan bersenjata menggunakan pendapatan itu untuk mengatasi masalah kekurangan dana yang seharusnya diperoleh mereka dari pemerintah sipil. Sistem seperti ini bisnis militer terbuka bagi penyalahgunaan dan menimbulkan risiko bahwa pendapatan dari kegiatan bisnis yang tak diumumkan bisa digunakan oleh perwira-perwira untuk tujuan pribadi, yang lebih buruk lagi untuk tujuan politik mereka. Hal ini kelihatannya akan terus berlanjut hingga beberapa dekade ke depan sebab sejauh ini pemerintah sipil belum mampu menutup kekurangan dana keperluan militer tersebut. B. Membangun Kepercayaan dalam Hubungan/Relasi Gender Meski lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, namun mereka hanya memiliki pengaruh kecil dalam pembuatan keputusan dan sering tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya bahkan strategic resources sebagaimana kelompok pria. Ketimpangan ini diperkuat oleh rezim Orde Baru yang melihat perempuan semata-mata di bawah pria, sebagai istri atau ibu yang berfungsi sebagai pembangtu pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, tidak heran bila saat ini kata wanita yang seringkali melekat pada diri seorang istri atau ibu kemudian digugat oleh kelompok-kelompok gerakan perempuan karena konotasinya yang negatif. Wanita diartikan atau dimaknai oleh mereka kebersediaan untuk diatur, yakni sebagai: “wani di toto/tata”, “berani atau bersedia diatur”, oleh sebab itu, kedudukan perempuan (selalu) tergambar inferior. Pemaknaan itu tidak stop sampai di sana. Manakala makna tersebut diejawantahkan dalam bentuk perbuatan maka yang terjadi adalah subordinasi perempuan, stereotype (pencitraan yang buruk) terhadap kaum perempuan, marginalisasi (peminggiran), hingga kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok gerakan perempuan berbondong-bondong untuk menggugat kata kata ‘wanita’ dengan mengubahnya menjadi kata ‘perempuan’ yang lebih netral. Itu langkah awal dari gerakan kesetaraan gender. Di era-reformasi ini memungkinkan penyeimbangan kembali posisi laki-laki dan perempuan dengan tujuan mengurangi ketimpangan yang telah terjadi selama ini. Tujuan ini tidak hendak menggantikan patriarki dengan matriarki, tapi untuk memastikan bahwa masalah perempuan dan laki-laki harus diberi perhatian yang sama oleh negara dan di dalam masyarakat. Upaya ini sudah pasti menghadapi rintangan kultural dan agama sekaligus kepercayaan bahwa demokrasi yang baru tumbuh seperti di Indonesia punya prioritas yang lebih penting ketimbang persoalan gender belaka. Bila kita cermati lebih dalam, maka kepercayaan seperti ini amatlah keliru, sebab ketimpangan gender berada di jantung demokrasi yang sejati. Karena, tidak mungkin ada demokrasi tanpa menyertakan partisipasi dan peran aktif dari kelompok perempuan. Oleh karena itu, konstitusi perlu diamandemen untuk memuat jaminan bagi kesetaraan dan kesamaan gender, termasuk didalamnya mengenai penentangan terhadap diskriminasi, juga proses amandemen itu harus melibatkan peran aktif dari kelompok-kelompok perempuan yang ada. Kendati Indonesia saat ini memiliki presiden perempuan tapi ini saja bukan jaminan bahwa masalah perempuan bakal dipertimbangkan pada saat keputusan diambil oleh pemerintah dan parlemen. Ada banyak langkah konkret yang bisa dijalankan untuk meningkatkan kesadaran terhadap persoalan gender: misalnya, peningkatan jumlah perempuan di parlemen melalui affirmative action, partai-partai politik harus mengadopsi kuota minimum kandidat perempuan dalam pemilu, dipopularkannya dan ditingkatkan peran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai institusi penerima aspirasi kelompok perempuan, dan presiden harus mempunyai penasihat khusus masalah gender. Di aras internasional wacana Women in Development (WID) yang berupaya membangun dan menjalankan proyek-proyek dan program-program untuk atau demi “kepentingan kaum perempuan” atau Gender and Development (GAD) yang berupaya mengintegrasikan kepentingan-kepentingan kelompok perempuan dalam proyek pembangunan nasional suatu negara. Dalam diskursus GAD pengikutsertaan kelompok perempuan dalam proses pembuatan kebijakan (decision making process), dibukanya akses ekonomi dan politik bagi kaum perempuan, hingga kebermanfaatan pembangunan bagi perempuan merupakan suatu hal yang disyaratkan. Berkait dengan persoalan affirmative action dan sistem kuota minimum yang disampaikan di atas perlu kiranya dibahas mengapa persoalan gender dan keterwakilan perempuan amat penting khususnya dalam masyarakat transisional. Dalam masyarakat demokratis, kompetisi yang adil (fairness competition) amat dijunjung tinggi termasuk pula dan seharusnya dengan persoalan gender. Hal ini berimplikasi pada tidak perlu ada segregasi keterwakilan politik perempuan dilembaga formal maupun informal. Data Badan Pusat Politik (BPS) menunjukkan bahwa sensus tahun 2000 mengidentifikasi terdapat jumlah perempuan sebanyak 101.625.816 jiwa, atau 51 persen dari seluruh populasi, kendati demikian, jumlah yang besar itu tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga formal termasuk di lembaga-lembaga pembuat atau pengambil keputusan politik di Indonesia, sebagaimana tampak dalam tabel di bawah ini: Tabel: Jumlah Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Formal Negara Lembaga Jumlah Perempuan Jumlah Laki-laki Presentase Jumlah Perempuan MPR 18 177 9,2% DPR 45 455 9% MA 7 40 14,8% BPK 0 7 0% 2 43 4,4% KPU 2 9 18,1% Gubernur 0 30 0% Bupati 5 331 1,5% Sumber: Panduan Parlemen Indonesia, hal. 232. DPA Ada beberapa sebab yang dimunculkan oleh “orang atau kelompok tertentu” agar kaum perempuan ditelantarkan dalam parlemen atau dalam decisionmaking process. Ada sejumlah alasan yang bila tidak kita cermati akan menimbulkan persepsi yang sejalan dengan “orang atau kelompok tertentu” tersebut. Pertama, argumen yang mengatakan bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah dan harus dilindungi(?). Oleh karena lemahnya perempuan maka pekerjaan yang cocok bagi mereka adalah di daerah domestik-rumah tangga, seperti: mengurus anak, menyiapkan makan, membuat air panas, dan macam sebagainya. Sedangkan di sisi lain, pria adalah mahluk yang kuat, yang pantas bekerja di luar. Implikasi dari hal tersebut adalah dikebelakangkannya kepentingan-kepentingan perempuan karena mereka sama sekali tidak akan pernah bersinggungan dengan persoalan kepemerintahan bahkan kenegaraan. Inti pendekatan ini adalah lingkungan dan budayalah yang menyebabkan perempuan ‘terlihat’ lemah dibandingkan dengan pria, pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah nurture theory (Budiman, 1981), yang berakar dari teori struktural-fungsional. Alasan kedua, karena perempuan adalah “mahluk yang tidak lengkap” Caroline Whitback (1976) mengistilahkan dengan ‘jiwa yang tak lengkap’; sedang Freud mengistilahkan dengan penis-envy sehingga manakala mereka diberi pekerjaan yang sama dengan kaum pria, maka mereka tidak akan mampu untuk mengerjakannya. Mulai dari Aristoteles hingga Jacques Lacan penerus Freud mengatakan hal yang sama tentang perempuan, bahwa perempuan memang lebih lemah dibandingkan dengan kaum pria oleh karena ketidaksempurnaan instrumen fisiknya. Oleh sebab itu, perempuan hanya baik dan sukses apabila dia menjalankan fungsinya sebagai pengembang keturunan (bahasa sarkasmenya: pabrik anak), dan bukan dilevel kepemerintahan. Jadi, mereka sama sekali kurang atau bahkan tidak baik untuk bekerja di luar domainnya, sebagai wadah reproduksi. Pendekatan ini dikenal dengan istilah the nature theory. Untuk merevisi kedua mitos tersebut di atas kelihatannya hanya ada satu jalan, yakni: membongkar ideologi yang tersedia tersebut. Karena, mengapa kaum perempuan begitu penting untuk turut serta dalam pembuatan keputusan politik? Sebab, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami (paling baik) oleh perempuan itu sendiri. Kebutuhankebutuhan ini meliputi: (a) isu-isu kesehatan reproduksi, seperti: cara berkontrasepsi yang aman, karena selama ini yang menjadi obyek (penderita) alat kontrasepsi tersebut mayoritas adalah perempuan, sedangkan kelompok pria (kelihatannya) menjadi ‘kelompok penggembira’; (b) isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti: harga sembilan bahan pokok yang semakin tak terjangkau, masalah kesehatan, dan pendidikan anak; (c) isu-isu kekerasan seksual; (c) pencitraan ulang atas stereotype yang ada selama ini, dan lain sebagainya. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik memiliki dua sasaran strategis: pertama, memberi dampak atau gambaran positif kepada institusi-institusi agar lebih bisa memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme (termasuk subordinasi dan marginalisasi) serta seksisme (sexual harassment) dimanapun perempuan berada; kedua, agar institusi-institusi tersebut mampu mencegah terjadinya prasangka (bias) gender dan sukuisme (Ani W. Soetjipto, 2001: 230). Oleh karena itu, agar ketimpangan gender dan representasi perempuan di lembaga politik lebih adil, maka perlu dilakukan gerakan-gerakan demokratis yang lebih nyata salah satunya, adalah: menjalankan affirmative action secara konsekuen dan menerapkan sistem kuota bagi perempuan. Affirmative action adalah gerakan proaktif untuk menghapus diskriminasi yang berbasis gender.Tidak hanya itu, gerakan tersebut juga mengupayakan kemajuan kelompok-kelompok perempuan dalam hal kesetaraan kesempatan, yang lebih bersifat subtantif dan bukan formalitas (Clayton and Crosby, 1994: 3). Sedangkan sistem kuota adalah suatu mekanisme yang menetapkan suatu persentase keterwakilan minimum bagi pria dan perempuan yang bertujuan menjamin tercapainya keseimbangan keberadaan pria dan perempuan di pelbagai bidang, termasuk juga pada posisi decision making. Alasan mendasar penerapan sistem kuota adalah untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan dan ketidaksamaan yang disebabkan oleh hukum dan kultur (nurture theory) di dalam masyarakat (Ani W. Soetjipto, 2001: 230). Sistem kuota ini dilakukan, biasanya, dengan cara mencantumkan dan menyertakan minimal 20 persen calon legislatif perempuan, dan nama kandidat perempuan tersebut dituliskan berselang-seling dengan nama kandidat laki-laki serta menetapkan minimal 30 persen perempuan sebagai calon anggota pengurus partai politik. Hal amat mungkin apabila paradigma yang berkembang selama ini dibongkar. Tapi pertanyaannya selanjutnya, bagaimana melakukan perombakan atau pembongkaran paradigma (cara pandang atau mitos) yang telah mengakar kuat, agar sosialisasi gerakan ini berhasil? Sebelum sampai di sana perlu diperhatikan dulu bahwa undang-undang dan peraturan di Indonesia seringkali keliru mengasumsikan bahwa semua pencari nafkah (breadfinder) dan kepala rumah tangga adalah pria. Persepsi tak akurat ini perlu direvisi. Perencanaan masa depan, keuangan, dan anggaran harus mengakui peran perempuan di dalam sosio-ekonomi formal maupun informal. Rintangan bagi perempuan bekerja harus dicabut, misalnya dengan menerapkan gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama dan menyediakan kredit lunak bagi wiraswastawan perempuan. Tidak itu saja. Kekerasan terhadap perempuan akibat konflik domestik juga harus diakui sebagai kejahatan, meski pendidikan publik diperlukan untuk menangkis “faktor aib” yang menghalangi perempuan dalam melaporkan kejahatan semacam itu. Langkah-langkah konkret lain perlu didukung oleh perubahan cara melihat perempuan di media-massa, yang saat ini kerap klise. Salah satu cara untuk melakukan hal tersebut adalah pemerintah bersama-sama dengan kalangan bisnis dan ornop menjalankan sistem insentif imbalan dan penghargaan terhadap liputan media yang peka gender. Jangan jadikan perempuan hanya sebagai objek kepuasan! Ada beberapa strategi agar affirmative action dan sistem kuota dapat berjalan guna proses demokrasi di Indonesia: (a) mensosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan politik kepada media-massa, lingkungan masyarakat dan keluarga; (b) memberikan nilai atau pandangan kepada lingkungan masyarakat dan keluarga sejak dini tentang pentingnya peran perempuan dalam politik; (c) mendorong perempuan untuk berani mengisi jabatan-jabatan strategis dalam politik; (d) mendukung perempuan yang telah duduk dalam posisi-posisi strategis pembuat keputusan; (e) membuat jaringan kerja sama antara kelompok-kelompok perempuan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional; (f) mendesak pemerintah dan lembaga-lembaga formal negara lainnya untuk mendukung angka strategis untuk perempuan; (g) mendesak partai politik dan lembaga-lembaga/ormas lainnya untuk mendukung dan menerapkan peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga-lembaga politik; dan (h) memilih kandidat perempuan dalam pemilu mendatang untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dalam politik (International IDEA, 2000: 173—199). C. Membangun Kepercayaan dalam Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah Sejak zaman penjajahan terdapat ketegangan antara kecenderungan sentralisasi pemerintahan pusat di Jakarta dengan hasrat daerah-daerah di Indonesia untuk menjalankan sendiri urusan mereka. Rezim yang berkuasa di Indonesia menanggapi pemberontakan di daerah pada tahun 1950-an dengan menciptakan sebuah sistem pemerintahan terpusat yang ketat (JD. Legge, 1961). Legge menganalisis gejala lahirnya “daerahisme” atau latar belakang “otonomi lokal” sebagai suatu manifestasi gumpalan emosi dan rasio yang sedikitnya terdiri atas tiga unsur. Pertama, kebutuhan memproyeksikan identitas etnis daerahnya sebagai manifestasi dari akar kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yang sekaligus juga awal jalan aktualisasi kedaerahan. Kedua, adanya kecemasan akan “imperialisme Jawa”. Penelitian Legge di beberapa daerah menunjukkan adanya keluhan bahwa sejumlah departemen di pemerintahan pusat bahkan juga di daerah didominasi oleh pejabat-pejabat Jawa. Unsur ketiga bersifat lebih rasional, dibeberapa daerah pengekspor, seperti: Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi (juga Irian) memberi sumbangan kepada ekonomi Indonesia yang tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh oleh daerah mereka. Unsurunsur inilah, menurut Legge, yang menjadi dasar kokoh guna lahirnya “daerahisme” atau desentralisasi penyurutan kekuatan pemerintah pusat (sentral) di daerah. Ketimpangan-ketimpangan yang diperoleh masyarakat daerah selama inilah yang memang perlu dikoreksi. Ada kesepakatan umum bahwa sistem yang selama ini (di)berlaku(kan) harus direformasi melalui otonomi daerah yang tidak semu, yang instrumennya ialah Undang Undang (UU) No. 22/1999 dan Undang Undang (UU) No. 25/1999 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Desentralisasi diharapkan akan berdampak sangat besar terhadap sosial ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, readjusment (penyesuaian ulang) perlu dilakukan disegala bidang, termasuk juga bagaimana pemerintah pusat mempertimbangkan pengalihan kekuasaan ke pemerintah daerah secara bertahap, dimulai dari kekuasaan dan fungsi yang bisa dengan mudah dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah. Bila dimasa lalu pemerintah pusat cenderung memberi lebih banyak otonomi kepada daerah pada saat pemeirntah pusat lemah kemudian kembali mencengkeram kekuasaan itu begitu mereka sudah kuat, maka hal ini tidak ada artinya bila mengalihkan wewenang ke daerah jika sebagaimana di masa lalu hanya menimbulkan penyalahgunaan di tingkat daerah. Saat ini pemerintah pusat harus sudah mulai membina aparatur daerah melalui pendidikan berjenjang bagi birokrat-birokrat lokal sehingga yang maju di tingkat daerah bukan lagi orang Jawa (atau dari Jawa) tetapi aparatur setempat. Menurut Osborne dan Gaebler (1996) dan juga Frederickson (1997) dalam masyarakat yang berubah, aparatur negara sejatinya harus merubah perilaku ke arah yang lebih kondusif dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Artinya perampingan, fleksibelitas, responsiveness, dan yang mampu bekerja sama dengan semua pihak menjadi penting adanya. Lebih lanjut ujar Osborne dan Gaebler dan Frederickson, ada sepuluh hal yang perlu direvisi dalam menjalankan birokrasi pada abad mendatang, yaitu:(a) aparatur pemerintah harus mengalihkan caranya bekerja dari melayani ke mengarahkan, steering rather than rowing. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus segera diakhiri atau setidaknya dikurangi, selanjutnya secara gradual diserahkan pada masyarakat sipil. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai pembagian wewenang dan urusan dalam kerangka otonomi daerah saat ini seharusnya tidak hanya berlaku dari tingkat pusat ke daerah tetapi juga mulai memikirkan bagaimana membagi wewenang dari pemerintah daerah ke masyarakatnya sendiri; (b) pemerintah memberikan pemberdayaan dan penguatan (empowering and strengthening) pada masyarakat agar mereka dapat melayani dan menolong dirinya sendiri, bukan sebaliknya, masyarakat terus diladeni atau dicekoki, empowering rather than serving;(c) membangun suasana kompetisi dalam pemberian layanan dalam tubuh pemerintah agar tercipta iklim kondusif yang terlepas dari warna kolusi dan nepotisme, injecting competition into service delivery;(d) jalannya pemerintahan harus lebih banyak digerakkan oleh misi ketimbang oleh aturan, transforming rule– driven organizations;(e) mengalihkan orientasi pemerintah dari input/masukan kepada outcomes/hasil, funding outcomes not input;(f) pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat luas bukan kebutuhannya sendiri, meeting the needs of customer not the bureaucracy;(g) birokrasi harus mulai mengubah cara pandangnya dari birokrasi yang menghamburhamburkan anggranan melalui praktik mark-up ke arah menghasilkan atau bahkan melakukan investasi, earning than spending;(h) aparatur birokrasi ke depan harus bisa menghindari masalah daripada memecahkan masalah, prevention rather than cure;(i) membangun pemerintahan lokal dengan berlandas pada kerjasama dan partisipasi inklusif, bukan berlandas senioritas atau hirarkies, from hierarchy to participation and team work; dan terakhir (j) pemerintah harus diorientasikan ke arah pasar yang mendongkrak perubahan kepada pendekatan insentif daripada pendekatan program, leveraging change through the Market. Jika otonomi diartikan seperti apa yang dithesiskan oleh Osborne dan Gaebler serta Frederickson di atas kelihatannya persoalan manajemen publik dalam era transisi menuju demokrasi akan lebih mudah berwujud. Tapi masalahnya, pada saat yang sama ada celah-celah kemungkinan dalam hukum yang berlaku yang memungkinkan terjadinya pelbagai pembusukan di tingkat daerah. Kalau pada masa Orde Baru masalah korupsi dapat dikatakan terpusat, maka pada era sekarang ini kecenderungan menyebarnya korupsi kelihatannya menjadi kenyataan. Celah-celah ini harus disumbat, karena korupsi adalah hambatan besar dalam otonomi daerah yang bertujuan mengembangkan kehidupan sosio-ekonomi lokal. Mencegahnya berarti mereformasi birokrasi yang juga menghadapi masalah kelebihan staf dan kurangnya motivasi; serta merivisi budaya (buruk) birokrasi di Indoensia. Jalan keluar klise dari permasalahan korupsi adalah setiap pegawai negeri harus dipromosikan berdasarkan prestasi, diberi gaji yang lebih baik dan layak, serta disediakan jalur karir yang jelas sehingga ada insentif bagi staf terbaik untuk tetap bekerja di sektor publik. Persoalan lain dalam tatar praksis otonomi daerah adalah masalah pengaturan perpajakan yang ditetapkan dalam UU No. 22 dan UU No. 25, yang menurut beberapa ahli hanya akan menguntungkan daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) saja. Daerah yang kaya sumber daya alam akan menjadi lebih kaya berdasarkan otonomi daerah ini, tidak seperti pada orde pemerintahan sebelumnya yang menelantarkan daerah kaya demi pensubsidian silang pada daerah miskin. Risiko bahwa daerah yang miskin akan menjadi lebih miskin karena pemerintah pusat hanya punya sedikit uang untuk mensubsidi mereka kelihatannya menjadi kenyataan. Oleh sebab itu, pemerintah harus mencoba memastikan bahwa risiko ini diminimalkan dengan cara merevisi beberapa pasal dalam undang-undang tersebut. Karena asumsi otonomi daerah adalah pengharapan atas perbaikan kesejahteraan masyarakat (menjadi nyata) melalui pemrioritasan pada pertumbuhan demi pertumbuhan itu sendiri. Persoalan penting lainnya dalam konten desentralisasi adalah perbaikan yang meliputi kelompok-kelompok perempuan dan kelompok-kelompok marginal lainnya. Ekonomi yang didominasi oleh elite monopolistis perlu diubah menjadi ekonomi yang memperkuat bisnis kecil dan menengah serta memberikan perhatian lebih banyak kepada sektor-sektor pertanian, perikanan, dan sumber penghidupan lainnya yang dibutuhkan oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Penguatan sektor-sektor tersebut di atas juga dapat memberikan jalan keluar dari krisis tenaga kerja yang tengah berkecamuk. Peran ornop/LSM dalam melakukan advokasi pada masyarakat pada keadaan pemerintahan yang terdesentralisasi amat diperlukan. Bila ornop/LSM bergerak secara massif dan berdiaspora di tingkat lokal, maka negara perlu juga memainkan perannya sebagai penyeimbang di level daerah, sekaligus mengurangi keterlibatannya di dalam ekonomi seraya melindungi kesejahteraan kelompok-kelompok yang rentan dan mempertahankan undangundang yang melindungi hak pekerja dan melarang praktik-praktik bisnis tak adil. Yang dalam bahasa Osborne dan Gaebler: pemerintah harus mampu mendorong dan membangun jasa–jasa yang awalnya dikelola dan dilakukan oleh pemerintah, kini dapat dilakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pemberdayaan dan penguatan peran masyarakat untuk dapat melaksanakan dan memecahkan permasalahan (mereka sendiri) secara lebih efektif dan kreatif di tingkat lokal melalui eliminasi ketergantungan pada pemerintah pusat. Lain dari itu peninjauan ulang pranata sosio-ekonomi dan sosio-politik lokal perlu dilakukan, termasuk melakukan pembentukan dewan pengawas untuk memantau pengangkatan pejabat senior di lokal area serta meninjau ulang kontrak-kontrak di masa lalu yang ditandatangani oleh pemerintah pusat. Dewan pengawas yang dibentuk harus pula mengawasi dan mengurangi keterlibatan militer secara langsung dalam bisnis di daerah. Bila perlu bisnis militer dikontrol oleh pemeirntah daerah setempat. Dewan pengawas juga dapat mengontrol pemungutan pajak di daerah, dalam artian sejauhmana pajak itu memenuhi prinsip-prinsip pengenaan pajak (prinsip kesamaan, prinsip kepastian, prinsip kelayakan serta, prinsip ekonomi) atau tidak, atau dalam konteks lain pemungutan pajak harus dilakukan secara efisien dan jujur. Jangan sampai oleh karena terbius “euphoria otonomi” maka semua hal dijadikan uang oleh pemerintah daerah! Dan yang perlu diingat pula, manakala otonomi diejawantahkan, adalah daerah harus menghindarkan diri menjadi tergantung pada pinjaman asing dalam pembiayaan pembangunannya. Perencanaan anggaran ekonomi guna pembangunan harus menjadi proses yang inklusif, dengan perdebatan terbuka dan mendengarkan pendapat publik (melibatkan partisipasi masyarakat luas). Perencanaan anggaran ekonomi harus pula memperhitungkan (biaya) eksternalitas atas penggunaan sumber daya alam (natural cost), yang meliputi habisnya sumber daya alam itu kelak serta polusi yang dihasilkannya. Karena itu, otonomi daerah harus juga memperhatikan bagaimana pemerintah lokal mampu membangun ecodevelopment (meminjam istilah Bjorne Hettne) di daerahnya, termasuk juga pemeliharaan tradisibudaya yang ada (ethnodevelopment). Oleh sebab itu, peran pemerintah dalam melakukan analisis biaya eksternalitas amat diperlukan karena institusi pasar lemah dalam menilai biaya-biaya dampak pembangunan, baik natural cost, social cost, maupun human cost; misalnya melalui penetapan pajak polusi. Hal lain yang perlu disikapi dalam melakukan manajemen otonomi daerah pada konteks perubahan di Indonesia adalah bagaimana pemerintah lokal maupun pusat memperlakukan kelas pekerja (buruh). Selama ini kelas pekerja di Indonesia mengalami banyak bentuk eksploitasi, mulai dari: upah yang rendah, intimidasi oleh manajemen dan aparat pemerintah/militer, hingga tekanan-tekanan yang bersifat consent. Juga, sekali lagi, perlu ada pemberantasan atas segala bentuk diskriminasi terhadap kelas pekerja perempuan, dan yang paling urgent adalah bagaimana pemerintah daerah mengatur para pekerja anak. Karena asumsinya anak tidak perlu bekerja, yang perlu dilakukan mereka hanyalah menikmati masa kecilnya dengan bermain dan belajar, namun apabila memang amat mendesak maka pemerintah harus membuat kebijakan yang mengatur para pekerja anak tersebut, misalnya: mereka hanya diperbolehkan bekerja setelah jam sekolah selesai dan hanya untuk beberapa jam saja, dengan tingkat upah yang sama dengan pekerja dewasa. Upah bagi kelas pekerja baik pria, perempuan, maupun anak harus mencerminkan kondisi hidup riil pekerja, dan (seharusnya) tidak boleh ditetapkan secara tidak transparan dan sepihak sehingga seringkali upah yang ditetapkan manajemen perusahaan berada pada tingkatan yang tidak realistis. Membangun High-Trust Society Melalui Pelembagaan Pemeilihan Presiden Langsung Demokrasi modern sebagai aplikasi politik mutakhir pascaperang dingin ditandai dengan kuat oleh sistem perwakilan yang relatif kedap dari nilai-nilai tekanan atau dalam bahasa politiknya kita kenal dengan istilah representative democracy. Kenyataan tersebut merupakan konsekuensi logis dari perkembangan dan evolusi entitas negara yang diikuti oleh semakin membesarnya jumlah penduduk --dalam suatu negara--, (relatif) bertambah luasnya wilayah suatu negara, dan semakin kompleksnya persoalan-persoalan yang harus dihadapi oleh entitas negara tersebut. Oleh karena itu, dalam suatu sistem pemerintahan perwakilan tidak semua masyarakat (atau rakyat) dalam suatu negara akan ikut serta secara langsung dalam proses perencanaan, pembuatan, serta pengambilan keputusan. Hanya sebagian kecil dari masyarakat (tepatnya warga negara) yang melakukan peran utama tersebut. Kenyataan ini tentunya menimbulkan pertanyaan mendasar yang selalu menjadi isu sentral dalam kehidupan bernegara, sebenarnya siapa saja yang paling berhak menjadi wakil dari seluruh rakyat yang ada dalam sebuah entitas negara tersebut? Dan, mekanisme atau prosedural seperti apa yang dapat memenuhi kebutuhan keterwakilan (representativeness) tersebut? Persoalan sekaligus pertanyaan di atas dalam sistem politik mutakhir coba dijawab dengan sebuah konsep yang disebut dengan sistem pemilihan umum (general elections). Dalam kerangka demokrasi modern yang tengah berlangsung saat ini ada tiga elemen yang menghubungkan sistem pemilihan umum dengan karangka representativeness tersebut. Elemen pertama sekaligus elemen dasar bagi terwujudnya demokrasi modern adalah competition atau persaingan. Dalam kompetisi atau persaingan secara logic akan memberikan dan membuka peluang bagi setiap orang untuk mencalonkan dirinya ataupun orang lain sebagai wakil dari kelompok, golongan, agama, ras, etnis, atau lainnya. Melalui mekanisme kompetisi inilah kita akan mendapatkan wakil yang benar-benar berkualitas dibidangnya masing-masing, siapa yang terbaik maka dialah yang bakal terpilih menjadi wakil rakyat (natural selection dalam istilah Darwinisme-Sosial). Kedua, peran serta atau partisipasi politik yang memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi dalam menyeleksi calon wakil-wakil rakyat. Terakhir, ketiga, kebebasan untuk mernggunakan hakhak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties) (Raymod D Gastil, 1993). Elemen terkahir, political rigths dan civil liberties, bila kita elaborasi lebih jauh merupakan kondisi yang diperlukan bagi terlaksananya dua pranata (elemen) sebelumnya. Artinya, dapat dikatakan bahwa sistem pemilihan umum tidak sekadar berhubungan langsung dengan sistem pemerintahan tetapi terlebih lagi berhubungan dengan sebuah sistem politik secara keseluruhan, khsusunya dalam membangun pelembagaan masyarakat high-trust. Dalam negara-negara demokrasi modern yang mengedapankan keterwakilan masyarakat, pemilihan umum ternyata tidak sekadar untuk memilih wakil- wakil rakyat yang akan duduk di parlemen atau badan legislatif semata tetapi juga untuk memilih seorang pemimpin yang akan menduduki jabatan tertinggi dalam lembaga eksekutif, yakni presiden. Pada mulanya, hanya sistem presidensil lah yang mengisyaratkan pemilihan umum (pemilihan presiden) langsung bagi pemegang kekuasaan eksekutif (presiden, serta wakil presiden tentunya), namun dalam perkembangannya kemudian beberapa negara yang berbentuk republik dan menganut sistem parlementer mengisyaratkan pula pemilihan langsung bagi seseorang yang ingin duduk pada jabatan presiden, yang kemudian dalam analisis Lijphart (1994) dijadikan karakteristik utama bagi penggolongan negara-negara yang menganut sistem ini, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Sistem SemiPresidensil”, seperti: Prancis, Finlandia, Austria, Irlandia, Islandia, Jerman, dan Portugal. Bahkan dua negara yang menganut sistem parlementer lainnya seperti Belanda dan Israel sempat mempertimbangkan secara serius alternatif pemilihan secara langsung bagi jabatan perdana mentri, dengan alasan utama masalah legitimasi dan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Berlainan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung hanya akan memunculkan satu paket pemenang --presiden dan wakilnya--. Namun demikian hasil yang diperoleh dari pemilihan presiden secara langsung tidak menyediakan ruang bagi terciptanya kondisi mayoritas dan minoritas pendukung sebagaimana layaknya pemilihan anggota legislatif. Maksudnya, setiap pemenang suara terbanyak bukan berarti dia pasti akan terpilih lagi dalam pemilihan umum yang akan datang layaknya pemilihan umum sebelumnya karena kredibilitas pemenang pemilihan umum saat ini tidak memberikan nilai mutlak bagi dirinya. Stabilitas, kemajuan ekonomi, serta terbukanya lapangan kerja yang luas adalah sebagaian dari banyak indikator yang dapat dijadikan penilaian kinerja presiden. Bila demikian adanya, padahal kekuasaan yang diberikan kepada presiden dan wakil presiden (pemenang pemilihan) dibandingkan dengan kekuasaan yang diberikan pada gabungan seluruh anggota parlemen relatif sama besar. Ini artinya, desain dan mekanisme sistem pemilihan presiden dan wakil presiden juga memiliki kriteria yang berbeda dengan desain dan mekanisme dalam sistem pemilihan anggota legislatif –yang dalam konteks Indonesia menjadi anggota DPR dan MPR--. Secara teoretik dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sistem pemilihan presiden (eksekutif) merupakan salah satu prinsip pokok yang membedakan sistem presidensil dengan sistem parlementer. Sistem pemilihan presiden langsung tentu berkorelasi erat dengan tujuan pokok dari sistem presidensil yakni pemilihan presiden secara langsung oleh masyarakatnya (direct popular vote). Dalam kerangka sistem pemilihan presiden langsung terkandung makna subtansial penting, diantaranya adalah: Penciptaan equilibrium (keseimbangan) legitimasi sekaligus checks and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, Pertanggungjawaban presiden terpilih secara langsung kepada kostituen pemilihnya (direct responsible to the people) yang diharapkan mampu menciptakan kondisi yang diperlukan bagi pemerintahan yang legitimate, dan Penyelenggaraan pemerintahan yang stabil karena kontrol dan legitimasi. A. Sistem Pemilihan Presiden Berdasar UUD 1945 dan Kritik Terhadapnya Sistem pemilihan presiden di Indonesia telah diatur dalam dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 6, yang menyatakan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan suara terbanyak.” Untuk memahami pernyataan di atas, maka perlu kita membalik lembaran sejarah yang berkenaan dengan latar belakang sosio-historis dari pemikiran sistem pemilihan presiden dan wakil presiden tersebut. Pemahaman kita –tentunya-- akan semakin baik apabila didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang mengkristal pada saat pembahasan materi UUD yang terjadi dalam sidang BPUPK [I] pada tahun 1945. Dalam penjelasan Prof. Soepomo yang bertindak sebagai ketua panitia kecil penyusunan UUD RI, pemilihan presiden dan wakil presiden didasarkan atas pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berpaham kekeluargaan (integralistik) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah badan yang menyelenggarakan paham tersebut secara kelembagaan, karena ia merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat, seluruh golongan, dan seluruh daerah di Indonesia. Oleh karenanya, majelis inilah yang memiliki kewenangan akhir dalam mewujudkan kedaulatan rakyat Indonesia sepenuhnya dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Konsekuensi logis dari pemikiran seperti itu kemudian pasti berhubungan erat dengan fungsi pokok yang dijalankan oleh Majelis, yakni memilih presiden dan wakil presiden setiap lima tahun sekali, memberikan mandat pemerintahan kepada presiden terpilih, dan meminta pertanggungjawaban dari mandataris, baik pada akhir pemerintahan maupun pada saat-saat khusus. Dari persoalan yang diungkap di atas, nyata bahwa konsep sistem pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia didasarkan oleh setidak-tidaknya dua faktor. Pertama, paham integralistik yang diintrodusir oleh Prof. Soepomo, yang dirancang sesuai dengan konteks sosio-politik saat itu sekaligus juga merupakan idealisasi konsep penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Faktor kedua, masih berhubungan dengan faktor yang pertama, adalah persepsi para pembentuk konstitusi saat itu yang berupaya meretas persoalan diseputar keadaan obyektif -realitas sosial-politik-- masyarakat Indonesia pada masa itu. Ada beberapa kritik yang muncul kemudian sesuai dengan bertambahnya pengalaman dan ilmu yang diperoleh masyarakat terhadap sistem pemilihan presiden dan wakil presiden ala UUD 1945. Pertama, pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh MPR merupakan bentuk penyimpangan dari sistem presidensil, yang dianut oleh Indonesia. Ketiadaan suatu konsep yang baku dalam praktek kepolitikan dan ketatanegaraan mengenai hal tersebut menjadikan sistem-sistem Pemilu akan sangat tergantung pada kondisi obyektif suatu negara, termasuk dinamika politik yang ada didalamnya. Di Indonesia misalnya, sistem presidensil juga mengalami modifikasi (baca: penyimpangan), diantaranya ialah: dipilihnya presiden oleh MPR, dan bukan secara langsung oleh rakyat; serta dapat di jatuhkannya presiden oleh MPR secara politis. Namun demikian, pertimbangan dalam sistem kepolitikan dan ketatanegaraan tersebut seharusnya tetap berada dalam koridor demokrasi. Unsur-unsur demokrasi yang terdapat dalam sistem presidensil akhirnya justru menjadi hilang pada saat penyimpangan ini dilakukan. Pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat merupakan unsur yang paling penting dalam sistem presidensil, dan sekaligus juga merupakan kelebihan dari sistem ini dimana rakyat memiliki kontrol secara langsung atas presiden yang dipilihnya. Dengan dipilihnya presiden oleh MPR, maka legitimasi presiden akan sangat bergantung pada MPR bukan pada rakyat pemilih. Di sisi lain dalam sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia, parlemen (baca: MPR) tidak dapat memberikan warna politik secara langsung pada kekuasaan eksekutif, karena ia berbeda dengan sistem parlementer yang kabinetnya merupakan cerminan kekuatan politik dalam parlemen. Kedua --berkaitan dengan kritik yang pertama-- persoalan yang muncul kemudian adalah dari segi keterwakilan. Apakah tepat meletakkan suara kurang lebih 250 (dua ratus lima puluh) juta jiwa rakyat Indonesia (hanya) kepada 700 orang (anggota MPR) untuk memilih mandatarisnya? Pemilihan presiden secara langsung diyakini oleh banyak orang sebagai suatu mekanisme yang paling sesuai dari sudut pandang demokratis. Apalagi dengan ditambahkan argumentasi yang pertama, yaitu bahwa dalam sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia kedudukan legislatif relatif independen terhadap eksekutif. MAksudnya, dipilihnya presiden oleh mayoritas suara di MPR yang tidak memiliki kontrol secara langsung terhadap eksekutif akan menjadi mekanisme yang kontra-produktif dalam upaya mewujudkan mekanisme checks and balances dalam sistem politik dan atau bahakan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Ketiga, sejarah ketatanegaraan dan kepolitikan di Indonesia membuktikan bahwa sistem pemilihan presiden dan wakil presiden ala UUD 1945 membuka peluang yang sangat lebar bagi terjadinya manipulasi kedaulatan rakyat oleh pemegang kekuasaan dominan dalam elite politik (ingat, teori hukum besi oligarki). Contoh yang sangat sering kita dengar adalah membudayanya money politics dalam parlemen. Orang yang berencana (baca: mendambakan) untuk menjadi pemimpin eksekutif akan dengan mudah dan murah mengakali perolehan suara dengan kekuatan uang di parlemen. Bila satu wakil rakyat yang berjumlah tujuh ratus orang, setengahnya plus satu disogok untuk memilih dirinya atau wakilnya, maka secara mayoritas ia dapat menjadi presiden dengan lenggang, walaupun pilihan itu bukan representasi keinginan masyarakat. Kritik ini pula yang mendorong keinginan akademisi, peneliti, LSM, dan pelbagai pihak untuk meminta pemerintah menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung. Karena dengan sistem pemilihan presiden secara langsung inilah penyakit money politics –setidaknya-- dapat diredam. B. Keberatan-keberatan Akan Pemilihan Presiden Langsung Serta Elaborasi Terhadap Hal Tersebut Tanpa mengenyampingkan faktor-faktor obyektif kemasyarakatan yang lebih kompleks untuk menilai secara komprehensif mengenai kekurangankekurangan mekanisme pemilihan presiden secara langsung, dibawah ini ada beberapa keberatan (bila perlu dapat disebut dengan “kekurangan sistem pemilihan presiden secara langsung”) terhadap rencana pelaksanaan sistem pemilihan presiden secara langsung. Pertama, sistem pemilihan presiden secara langsung akan melemahkan kedudukan DPR. Karena diasumsikan dengan legitimasi yang besar dari rakyat pemilihnya, presiden terpilih akan memiliki kedudukan dan legitimasi yang sangat kokoh terhadap lembaga yang lain (termasuk dalam hal ini DPR), yang pada gilirannya akan memperlemah kedudukan DPR terhadap presiden. Pengalaman buruk pada masa orde baru dimana presiden memiliki kekuatan yang sangat besar dibandingkan dengan DPR membuat (sebagian) elite politik kita enggan untuk menerima sistem pemilihan presiden secara langsung. Kedua, sistem pemilihan presiden secara langsung akan memperlemah kedudukan MPR. Dengan pemilihan presiden secara langsung, maka akan muncul pertanyaan, apa tugas utama MPR kemudian? Ketiga, sistem pemilihan presiden secara langsung akan memakan biaya yang sangat besar, karena paling tidak negara atau pemerintah harus melakukan dua pemilihan umum berskala nasional, pertama, pemilihan anggota parlemen (MPR/DPR/DUD –Dewan Utusan Daerah--) dan kedua pemilihan presiden dan wakil presiden (satu paket). Terakhir keempat, (lagi-lagi) rakyat dianggap belum siap untuk melaksanakan pemilihan presiden secara langsung. Bila kita elaborasi secara mendalam mengenai keberatan-keberatan elite politik di Indonesia dalam wacana pemilihan presiden secara langsung, maka penulis berargumentasi sebaliknya, karena bahwasannya keempat alasan itu bisa dipecahkan secara teoretik maupun secara logikarasional. Hal yang pertama, persoalan melemahnya kedudukan DPR. Meningkatnya legitimasi presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih tidak berakibat langsung pada pelemahan posisi/kedudukan DPR. Legitimasi presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem presidensil. Namun bukan berarti DPR akan mejadi lemah, justru ia akan tetap bisa berperan dalam memberikan arahan dan pengawasan terhadap kinerja presiden (karena itulah fungsinya), melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya. Perubahan yang justru akan ditimbulkan dari pemilihan presiden secara langsung justru terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan checks and balances dalam penyelengaraan negara dan pemerintahan, karena DPR semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya. Kedua, mengurangnya peran dan fungsi MPR secara signifikan manakala pemilihan presiden secara langsung digelar. Permasalahan ini berkait dengan perubahan susunan, kedudukan, dan wewenang MPR yang --seharusnya-menjadi lembaga perwakilan rakyat dua kamar (Bikameral), yang juga merupakan perubahan sangat diperlukan dalam perbaikan sistem politik di Indonesia. Dalam sistem pemerintahan presidensil yang menganut sistem perwakilan bikameral, fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan apa yang ada pada konstitusi saat ini. MPR yang terdiri dari dua kamar akan berisi DPR –hasil pemilihan-- dan Dewan Utusan Daerah (DUD) –hasil penunjukkan oleh daerahnya--. Hal ini akan secara lugas mengonsentrasi fungsi legislasi dan fungsi kontrol MPR terhadap presiden. Relasional antara presiden dan MPR yang berlaku selama ini pun (secara politik) harus turut dirubah –bila kita ingin menjalankan sistem dua kamar, tentunya--. Hubungan yang selama ini berdasarkan pada sistem pertanggungjawaban (Tap MPR No. III/ MPR/1978), baik pada Sidang Umum (SU) yang berisi laporan pelaksanaan tugas presiden; serta pertanggungjawaban khusus yang diberikan presiden dalam Sidang Istimewa (SI). Kritik terhadap sistem hubungan pertanggungjawaban presiden kepada MPR yang selama ini dikenal dalam sistem politik di Indonesia dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek efektifitas dan aspek teoretis. Pada aspek efektifitas, pertanggungjawaban presiden sebagai mandataris MPR pada masa akhir jabatan tidak menimbulkan konsekuensi (hukum) apapun terhadap jabatan presiden. Oleh karena itu, dari segi efektifitas sistem pertanggungjawaban seperti itu sebenarnya tidak dibutuhkan. Sedangkan pertanggungjawaban presiden ditengah masa jabatan dapat saja dilaksanakan asal presiden memang secara hukum melanggar aturan-aturan kenegaraan. Penentuan pelanggaran presiden, yang kelak dapat dikenakan sangsi impeachment, dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai wasit di negeri ini. Pada aspek teoretis yang perlu diungkapkan pertama-tama adalah bahwa pada dasarnya sistem pertanggungjawaban eksekutif hanya dikenal dalam sistem parlementer atau sistem semi-parlementer, dan tidak dikenal dalam sistem presidensil. Setidak-tidaknya ada dua dasar pemikiran rasional mengapa sistem pertanggungjawaban tidak berlaku dalam sistem presidensial. Pertama, orientasi utama dalam sistem presidensil adalah membentuk pemerintahan yang stabil dalam/untuk jangka waktu tertentu; kedua, sistem pemisahan kekuasaan secara tegas dalam tataran kelembagaan yang berusaha diterapkan oleh sistem presidensil berimplikasi pada tidak terjadinya peleburan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Karenanya, orientasi pemerintahan yang stabil hanya dapat tercapai jika dan hanya jika antara lembaga-lembaga pemegang kekuasaan di dalam negara tidak memiliki wewenang untuk saling menjatuhkan satu sama lainnya. Salah satu konsekuensi logis dari prinsip ini kemudian adalah tidak adanya pertanggungjawaban politik antara satu lembaga kepada lembaga lainnya; yang dalam hal ini pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Ketiga, kebertan akan pemilihan presiden langsung yang memakan biaya sangat besar. Sistem pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan pemilihan presiden tidak langsung. Hal tersebut dikarenakan dalam pemilihan presiden secara langsung yang ideal, waktu pelaksanaan pemilihan umum presiden dan pemilihan umum anggota legislatif dilakukan dalam waktu yang berbeda. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi terjadinya coat-tail effect. Namun, dengan keterbatasan dana yang tersedia seperti di negara kita, kiranya waktu pemilihan presiden dan waktu pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Sehingga pengeluaran biaya dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan kondisi pendanaan yang tebatas seperti sekarang ini seharusnya pemerintah melakukan pendekatan dan kerjasama dengan LSM, partai politik, dan pelbagai kalangan termasuk akademisi untuk memikirkan atau mempertimbangkan mengenai sistem pemilihan umum yang akan digunakan di Indonesia dengan lebih sederhana lebih hemat/irit –satu putaran, misalnya—, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang memadai bagi kandidat yang terpilih. Keempat, asumsi belum siapnya rakyat pemilih untuk melaksanakan pemilihan presiden secara langsung. Argumen ini sebenarnya tidak lagi relevan untuk diangkat pada saat proses demokratisasi dan proses pendewasaan politik masyarakat yang tengah berjalan dengan baik seperti saat ini (masa reformasi). Bila kita lakukan eksperimen atau penelitian kecil mengenai ketidaksiapan rakyat pemilih yang diukur dari kesiapan mental dan intelektualitas (dengan indikatior jenjang pendidikan formal), maka hal itu hanyalah suatu penglihatan yang sangat tidak jernih dan merendahkan kapasitas politik masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kenyataan telah membuktikan bahwa rakyat Indonesia mampu dengan baik melaksanakan pemilihan umum yang bebas pada tahun 1955 dan pemilihan umum yang sama sekali berbeda dengan pemilihan orde baru (khususnya dalam konteks tekanan) pada tahun 1999 yang baru lalu. Selain itu, pengalaman memilih secara langsung –walaupun dengan derajat yang berbeda—telah dimiliki, dilakukan, dan dibuktikan oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di desa-desa, pada saat pelaksanaan pemilihan langsung kepala desa, dan kenyataan membuktikan bahwa lebih dari 80% rakyat Indonesia tinggal di daerah pedesaan, ini artinya masyarakat Indonesia lebih berpengalaman dalam melaksanakan pemilihan secara langsung dibandingkan dengan pemilihan secara tidak langsung. Bila akses informasi yang menjadi parameter ketidaksiapan masyarakat, maka data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 membuktikan sebaliknya. Pada tahun 1997, hasil survey BPS mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia yang berusia sepuluh tahun atau lebih yang mendengarkan radio berjumlah 59,17 persen; yang menonton televisi berjumlah 78,22 persen; dan yang membaca koran/majalah berjumlah 22,38 persen. Persentase tersebut akan bertambah besar apabila yang dihitung hanya orang-orang yang mempunyai hak pilih dalam Pemilu (usia minimal 17 tahun atau telah menikah), dengan asumsi, semakin dewasa usia seseorang maka semakin besar pula kebutuhan akan informasi dan semakin luas pula peluang akses informasinya. Selain fakta di atas, hasil survey BPS juga menunjukkan tingkat literasi yang tinggi terhadap total penduduk Indonesia per tahun 1999, yakni diangka 89,42 persen. Artinya, bila ada tuntutan tingkat melek huruf (literasi) dari rakyat pemilih yang memadai dalam suatu sistem pemilihan presiden secara langsung, maka rakyat Indonesia sudah memenuhi persyaratan tersebut. Dengan pelbagai kenyataan di atas, sebenarnya tidak ada lagi argumen yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa rakyat Indonesia belum siap untuk melaksanakan pemilihan presiden secara langsung. Kalau yang dimaksud dengan belum siapnya masyarakat adalah elite-elite politik, maka hal itu mungkin lebih mendekati kenyataan. Terlalu lama rakyat Indonesia dipinggirkan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh penguasa politik dan pemerintahan, sehingga wajar saja apabila elite politik yang selama ini lebih dekat dengan kekuasaan masih dibayangbayangi oleh pemikiran-pemikiran pesimis terhadap rakyatnya, yang secara konstitusional adalah pemilik kedaulatan yang sah dari republik ini. Penutup Seperti telah diungkapkan di atas, mewujudkan kepemerintahan yang ber-high-trust dalam konteks perubahan pascalengsernya Soeharto di Indonesia, bukanlah hal yang mudah. Sejatinya melakukan perubahan atau revisi menuju iklim yang demokratis di Indonesia bukan hanya kerja birokrat di pemerintahan tetapi tugas seluruh anak bangsa, tetapi mulai: dari militer hingga buruh, dari anak-anak hingga orang tua, dan oleh perempuan maupun pria. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam mendemokrasikan demokrasi di Indonesia, pertama, adanya kesediaan dari semua pihak untuk melakukan sharing, mulai dari membangun kepercayaan diantara warga negara. Ini artinya lupakan dominasi suku, etnis, agama, dan golongan tertentu. Karena apabila hal ini tetap dipupuk, maka yang terjadi adalah pencitraan yang baik bagi suku, etnis, agama, dan golongan tertentu tapi menggambarkan hal-hal buruk pada suku, etnis, agama, dan golongan lain. Termasuk juga menjaga agar gejala atau kecenderungan yang mengganjal jalannya transisi menuju demokrasi, seperti: faksionalisme, perpecahan atau melemahnya kesatuan, baik di legislatif, eksekutif, ataupun di dalam tubuh masyarakat; non-kompromi, kelompok masyarakat atau tokoh sering tersingkir bukan akibat konflik ideologis, tapi karena saling sikut dalam perebutan jabatan. Konflik antarkelompok lalu berkembang menjadi tak suka dan saling menjatuhkan, sehingga ide awal untuk mendemokrasikan demokrasi terlupakan begitu geist non-kompromi muncul; dominasi tokoh. Demokrasi tidak mungkin dapat muncul bila semua orang ingin didengar atau ingin menjadi tokoh. Padahal jiwa demokrasi adalah menghormati perbedaan (pluralitas) dan mengatur pelbagai perbedaan serta kepentingan tersebut melalui mekanisme yang disepakati, check and balances misalnya; dan terakhir, kedaerahan dan kesukuan, demokrasi akan sulit terbentuk bila paham kedaerahan atau kesukuan menyeruak. Kepentingan dan sentimen kedaerahan atau kesukuan sering sangat mewarnai dalam tingkat otonomi yang negatif. Oleh karenanya, empat pengganjal transisi pada era-Reformasi ini perlu disiasati dengan cerdas dan elegan, dengan langkah yang telah diutarakan dalam isi makalah di atas. Hal kedua yang perlu dicermati dalam me-manage proses demokrasi di Indonesia adalah meningkatkan peran serta atau partisipasi warga masyarakat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi luas dari masyarakat akan tumbuh bila mereka sadar akan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Tidak saja kebutuhan dasar tetapi juga kebutuhan akan eksistensi, keberadaan, hingga eksistensi diri. Dan, partisipasi akan meningkat bila elemen-elemen di dalam mayarakat telah kuat. Karenanya, penguatan partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan ornop amat diperlukan dalam mengawal pemerintahan transisional agar tidak kembali ke arah yang lebih buruk. Faktor terakhir lain yang perlu diperhatikan dalam konteks perubahan saat ini adalah menapaki transisi demokrasi dengan sabar. Kesabaran merupakan invisble hand yang mau tidak mau harus dipercaya keberadaannya. Tanpa kesabaran transisi ini bisa berbalik 180 derajat menjadi lebih brutal. Jadi, kesabaran dan kepercayaan bisa dijadikan landasan berpijak utama bagi warga agar setiap individu di dalam ruang-publik-negara mampu mengawalnya dengan sejati. Referensi: Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia). Clayton, Susan D., and Faye J. Crosby. 1994. Justice, Gender, and Affirmative Action (Michigan: The University of Michigan Press). Cohen, Jean L., and Andrew Arato. 1995. Civil Society and Political Theory (Cambridge, Massachussets: the MIT Press). Diamond, Larry, and Marc F. Plattner, (Eds.). 1997. Consolidating the Third Wave Democracies: Regional Challenges, Vol. II, (Baltimore: The Johns Hopkins University Press). Finer, SE. 1962. The Man on Horeseback: The Role of the Military in Politics (New York: Frederick A. Praeger Publisher). Fukuyama, Francis. 1995. Trust: the Social Virtues and the Creation of Prosperity (New York: Free Press). Frederickson, George H. 1997. The Siprit of Public Administration (San Fransisco: Jossey Bass Inc.). Gastil, Raymon D., “The Competitive Survey of Freedom: Experiences and Suggestions” dalam Alex Inkeles (ed.), On Measuring Democracy: Its Consequences and Concomitants (New Brunswick: Transaction Publisher, 1993). Huntington, Samuel P. 1956. The Soldier and the State (Harvard: Harvard University Press). ________________ . 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Grafiti). International Institute for Democracy and Electoral Assitance (IDEA). 2000. Democratization in Indonesia: An Assesment (Stockholm, Swedia: International IDEA). J.D. Legge. 1961. Central Authority and Regional Autonomy in Indonesia: A Study in Local Administration 1950–1960 (Ithaca, New York: Cornell University Press). Keane, John. 1988. Democracy and Civil Society (London: Verso). Lijphart, Arend, Electoral System and Party System: A Study of Twentyseven Democracies 1945—1990 (New York: Oxford University Press, 1994). Osborne, David, dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik (Jakarta: PPM). Soetjipto, Ani Widyani, ”Affirmative Action untuk Perempuan di Parlemen” dalam Yayasan API. API). 2001. Panduan Parlemen Indonesia (Jakarta: Yayasan ( Pengajar di FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untitra), Serang, Banten. PAGE PAGE 32 / G c d – — † ‡ . 0 Y e f g h t < 7 U V W X r s › œ ý þ c d p q “ ” ³ ´ 8 9 ä ÷ ? •ª•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ª•ªŽª‡ª€ª€ @ i n ^ ~ óêóÞ˽¹±ª£ªœªœª•ª•ª•ª•ª hV[à h 2g hV[à h^|å hV[à h•t¼ hV[à hë(, hV[à h `Û hV[à h Z¯ hV[à h¨9Ò hV[à h¨9Ò 5 • hQ~• h•&v hQ~• 5 •OJ QJ \ • $ j *ð hÄpƒ hQ~• 0J 5 •OJ QJ \ • h– C hQ~• OJ QJ \ • h Z¯ 5 •CJ aJ h«r› hQ~• 5 •CJ aJ 2 0 Y g h t 5 Þ ß €" ·" -% M, &0 &4 ý5 k9 B ô ô å Ý Ý Î Î Î Ý Ý ¿ ¿ ´ ¿ ¿ ¿ ¿ ¿ ¿ ¿ $ dh a$ gd½C $ „Ð dh `„Ð a$ gd½C $ „Ð $ h ˜ dh j È $ 1 dh `„Ð a$ gd½C a$ gd½C Í Î Ï 3 4 i ~ dh ¤ P Ä P U gd½C é Q n $ dh 7$ 8$ H$ a$ gd½C ê ' o ( ] } ^ ~ ¦ • ¨ € ß ‚ ï ƒ ñ ùòùòùëùëùëùäùäùÝùÝùÝùÝùÖùÎùÖùÎùÇùÇùÇù¿·¿¯ ‘‘ " hV[à hh £ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hV[à hh £ CJ QJ aJ hV[à h† Á CJ OJ QJ aJ hV[à hR h 5 • hV[à hÒ 5 • hV[à h¨9Ò 5 • — • OJ hV[à h%wA hV[à h¨9Ò 6 • hV[à h• U hV[à hu } hV[à hHVü hV[à hËz hV[à h 2g hV[à h¨9Ò -• & 9 H ¢ ç C = ù » T N ½ X ¦ Ä o Å ô ¬ %- º 5- ü D- E- ]- p- t- ‡- ¦- )- z ñâÒâÀâñ°ñâÀâñâÀâ¡âÀâÀâ¡â’â’âÀâÀâƒtƒâƒâƒâƒ hV[à h%wA CJ OJ QJ aJ hV[à h p^ CJ OJ QJ aJ hV[à h b, CJ OJ QJ aJ hV[à hÈI» CJ OJ QJ aJ hV[à hó&• 6 •CJ OJ QJ aJ " hV[à hh £ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hV[à hh £ 6 •CJ OJ QJ aJ hV[à hh £ CJ OJ QJ aJ hV[à hó&• CJ OJ QJ aJ )z { • € Ž ¹! û! 0" C" D" K" |" •" €" ·" j# ‰# R% b% ª% Ã% E& R& ü& ' ' ' ( #( ;( J( + ++ ., I, M, R, T, îÜ;;;¯¾ Í‘•r`r`r`r`r`r` r`r`r`r`r`r " hV[à h%wA 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hV[à h%wA CJ OJ QJ aJ hV[à h%wA 5 •CJ OJ QJ aJ hV[à hÒ CJ OJ QJ aJ hV[à h4k, CJ OJ QJ aJ hV[à hð3 CJ OJ QJ aJ hV[à h p^ CJ OJ QJ aJ hV[à h í CJ OJ QJ aJ " hV[à h í 6 •CJ OJ QJ ] •aJ " hV[à h p^ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ %T, n, - . >. ä9 : o; z; }; •; @< U< •= Š= B ]E oE <H cH ŽI ˜I >J XJ _J ÊQ ÏQ -V UV ”V ™V W ,W ”W ™W 'Z 1Z l\ m\ ¢^ îßîßîßîßîßîßîßîßØÎØÎØÎØßî߻߫œ‰œwœ‰œgœ‰œ hV[à h_ 5 6 •CJ OJ QJ aJ " hV[à h_ 5 6 •CJ OJ QJ ] •aJ $ hV[à h_ 5 CJ OJ QJ aJ nH tH hV[à h_ 5 CJ OJ QJ aJ hV[à h_ 5 5 •CJ •] • OJ QJ aJ $ hV[à h%wA CJ OJ QJ aJ nH tH hV[à h%wA 6 hV[à h%wA hV[à h%wA CJ OJ •aJ ( B NE ¿G >J ƒL 5Q êR mh Žh Âh ð ð á á Ö á Ê ª ª ª QJ -V Ê aJ UV ð " hV[à h%wA 6 •CJ OJ QJ ] €[ q` “d h h -h dh eh á á á á á  ¶ $ $ If a$ gd_ 5 $ „Ð `„Ð a$ gd_ 5 $ a$ gd_ 5 $ $ „Ð `„Ð a$ gd½C dh a$ gd½C $ „Ð dh `„Ð a$ gd½C $ „Ð dh `„Ð a$ gd½C ¢^ £^ a &a bb vb ùb c éc d ¬d ¾d £e ·e h h -h dh eh Ji ÿi j „j ›j •j žj &k 'k .k Šk ‹k Kl Ll n n cn hn o o q q ³q Äq u ñâÐâÐâÐâÐâÐâÐâĵ¦š¦š“ˆzˆoˆozˆoˆoˆzˆzˆzˆzˆzˆ h§n\ hQcC OJ QJ h§n\ h_ 5 6 •OJ QJ ] • h§n\ h_ 5 OJ QJ h_ 5 h_ 5 h_ 5 CJ OJ QJ ^J h_ 5 5 •CJ OJ QJ \ •^J h_ 5 h½C CJ OJ QJ aJ h_ 5 CJ OJ QJ aJ " hV[à h_ 5 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hV[à h_ 5 CJ OJ Zi ó QJ aJ hV[à _ ” kd l Ö Á Ù õÖ0 Ö ÿ ÿ4Ö l aö Z ÿ ÿ ÿ ÿ Ö hº2b CJ ó ÿ OJ ÿ aJ +Âh ó $ $ If Ö\ î ' š ÿ ÿ QJ ÿ ÿ Ö Ii Ji ó Ni Qi Ui ó ÿ ö ÿ 6 ÿ – ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö $ $ If a$ gd_ 5 Zi [i _ _i bi fi ii k _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kdÔ $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z ii ji mi oi ri xi k _ _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kdÒ $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z xi yi }i •i •i „i k _ _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kdÞ $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z „i …i ‰i ‹i Ži “i k _ _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kdê $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z “i ”i ˜i ši œi ¢i k _ _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kdö $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z ¢i £i ¬i ®i ±i ´i k _ _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kd $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z ´i µi ¼i ¾i Âi Çi k _ _ _ _ $ $ If a$ gd_ 5 ” kd $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z Çi Èi ÿi j Æq >u 2x »| k c X P P P P dh gd§n\ $ dà a$ gd_ 5 $ a$ gd_ 5 ” kd $ $ If –l Ö Ö\ î ' Á Ù õÿÿÿÿ ÿÿÿÿ š ÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿ ÿÿÿÿÿ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ö ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿ4Ö l aö Z u u ˜u Ÿu cv tv ’v — v àv äv àw ów 2x Dx Tz cz ôz { »| ~ ~ ¿• Û• û€ ü€ P• Y• ‚ +‚ X† Ÿ† ³‡ º‡ ¸ˆ ¿ˆ k‰ p‰ NŠ òçòçòçòçòçòçòçòçòçØÆسؤسØÆØ”…r…`…`… " h§n\ h)Gõ 6 •CJ OJ QJ ] • aJ $ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ nH tH h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ h§n\ h)Gõ 5 •CJ OJ QJ aJ h§n\ hQcC CJ OJ QJ aJ $ h§n\ h_ 5 CJ OJ QJ aJ nH tH " h§n\ h_ 5 6 •CJ OJ QJ ] •aJ h§n\ h_ 5 CJ OJ QJ aJ h§n\ h_ 5 OJ QJ h§n\ h_ 5 6 •OJ QJ ¬µ úµ Áº ð Æ ] •%»| € X† Ÿ† Á Æ EÉ ÷Ì ð ð ð ð Æ Æ Ü‹ ÎŽ [’ ð ð üš WŸ £ å dh dh dh `„ gd§n\ a$ gd§n\ a$ gd§n\ }¬ Ÿ° ð Ú ð Î Æ «µ ð ð ð Æ dh „ $ $ î¨ gd§n\ $ „Ð dh `„Ð a$ gd§n\ NŠ TŠ ™Œ šŒ ÖŒ ÜŒ ÝŒ âŒ ãŒ èŒ ùŒ ÿŒ • • • • °• »• Ó• Ô• à• ã• ’ ’ F“ a“ • • P• l• ê• ð• ò• – «– ×– 0— W— ‚— ‡— —— Ÿ— §— Á— ˜ J˜ Á˜ Ș þ˜ ™ q™ Œ™ š @š Aš Bš Ôš øš E£ S£ ¦ ¦ š­ •- £- ¦- Q® ]® n® v® ¯ ¯ „¯ ”¯ E° Q° S° ^° g° q° $² îßÌßÌßÌßÌßÌßÌßÌßîßÌßÌßîßîßîßîßîßîß îßîßîßîßîßîßîßîßîßîßîßîßÌßÌßÌßÌßîßÌßîßîßîßîßîß $ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ nH tH h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ " h§n\ h)Gõ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ P$² +² ª² °² ´ ´ Wµ ‰µ •µ ’µ «µ ¬µ ¶µ ȵ ѵ ݵ ù µ úµ ϶ ç¶ £º µº S» d» ò» ¼ ¼ -¼ _¼ j¼ ¤¼ ª¼ ¾ '¾ K¾ P¾ á¾ ç¾ ¿ '¿ >¿ M¿ z¿ Š¿ •¿ ž¿ îßîßÌßÌßÌßÅ·¨·š·Œ•s•s•s•s•s •s•s•s•s•s•s•s•s•s h§n\ h‹1 6 •OJ QJ ] • h§n\ h‹1 OJ QJ h§ n\ h‹1 5 •OJ QJ \ • h§n\ h= ' 5 •OJ QJ \ • h§n\ hQcC 5 •6 •OJ QJ \ • h§n\ hQcC 5 •OJ QJ \ • h§n\ hÒ $ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ nH tH §n\ h)Gõ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ -ž¿ ÙÀ h§n\ h)Gõ CJ OJ QJ aJ " h Á Á tÌ ‡Ì 2Í EÍ ÉÍ éÍ <Î FÎ ”Î ˜Î ±Î »Î ÛÎ ¨Õ ¯Õ ƒÖ ‰Ö Ø Ø -Ø %Ø &Þ +Þ =á Pá ›á ¡á â â ã ã ±å ¿å Ýå áå <æ Ãç Êç ê ê ¿ê õêÞõÐõÐõÐõÐõ´¦´õÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõÐõ˜Š•q•q• h§n\ h6-K 6 •OJ QJ ] • h§n\ h6-K OJ QJ h§n\ h6K 5 •OJ QJ \ • h§n\ hý ™ 5 •OJ QJ \ • h§n\ hÚWÜ 5 •OJ QJ \ • h§n\ h‹1 5 •OJ QJ \ • h§n\ hÑ]$ 5 •OJ QJ \ • h§n\ h‹1 6 •O J QJ ] • h§n\ hÑ]$ 6 •OJ QJ h§n\ hÑ]$ OJ QJ h§n\ h‹1 OJ QJ ,÷Ì wÍ LÎ ”Î ÛÎ ‚Ð Õ f× %Þ ›á Ýå <æ Âç ê ¾ê ÿë pì Ôð Òó }ø àü ¥ ÿ è è è Ü Ü Ô Ü Ü Ü Ô Â Ü Ü Ü Ü Ü Ü Ü Ü Ô Ô Ü „h „˜þ dh ¤ð ^„h `„˜þgd§n\ dh gd§n\ „ dh `„ gd§n\ & F Æ q „ „0ý dh ^„ `„0ýgd§n\ ¿ê Åê xë •ë Åë Êë ì ì •í œí 8ð Kð Õð Úð äù ëù cú hú àü æü Ôþ äþ ¦ , 3 [ b ’ ™ j q — œ ý þ , @ B M W Y u { û K R _ Š # Œ ˜ ± ¶ Ì Ú çòçòçòçòçòçòçòçòçòçòçÜçÜçÜçÜçòçÕÍÆ¿¸¿°¿Æ¦ÆŸÆ¦Æ¦ÆŸÆ¦Æ¦Æ¦Æ¦Æ¦ Ú ì òçò h§n\ hUD h§n\ h. 6 •] • h§n\ h÷6« 6 • h§n\ h c© h§n\ h÷6« h§n\ h. h§n\ h9 § 5 • h§n\ h6-K K 6 •OJ QJ ý þ h§n\ ] •>ÿ hý ™ OJ A QJ h§n\ h6-K OJ QJ h§n\ h6- - † t- Ù Ú Û ó Ù ´ æ y þ ó Î ´ v è & ¡ è à ¢ è à ´ ´ „ è ´ ´ „ôü dð ¤È ^„ `„ôügdŠ - „ „öü ¤È ^„ `„öügdŠ $ dà a$ gd)Gõ $ dà a$ gd. $ $ „ „Ð dh `„Ð a$ gd§n\ dh a$ gd§n\ dh `„ gd§n\ ì ‹ • ¯ µ £ ° ã ä 0 R s „ • › ¢ ¶ Ä Î Ø Ù Ú Û æ þ c ¨ Ï ( J ¬ é 9 t ùïùèùïùïùáùÒÀÒ±Ò±Ò±Ò±Ò± Ò±Ò¡š–Œ{g{g{g{g{g & hŠ - hŠ - 6 •CJ OJ QJ ] •^J aJ hŠ - hŠ - CJ OJ QJ ^J aJ hŠ - hŠ - 5 •>* hŠ - h. hŠ 5 •CJ 6 •CJ h§n\ h. OJ QJ aJ h§n\ h'[ CJ OJ QJ ] •aJ h§n\ h. OJ QJ CJ aJ OJ " h§n\ QJ aJ h. h§n\ h'[ h§n\ hUD h§n\ h. 6 •] • h§n\ ¬ ! O! h. (t ¼ ô -- P- t- â- J h •  j! }! Ž! Ý! " 2" …" °" Â" û" # /# 0# 1# 2# ƒ# „# ‹# •# Ž# •# ‘# — # ˜# ïÛïÛïÐÂÐïÛïÛïÛï´ïÛïÛïÐÂÐïÛïÛïÛïÐ¥™•‘‰‘‰‘‰‘‰‘•y• hŠ ƒ 0J j hŠ ƒ 0J U j h…rÞ U h…rÞ j *ð hÄpƒ hŠ ƒ 0J hŠ - hÒ CJ OJ QJ aJ h9 § CJ OJ QJ ^J aJ hŠ - hŠ hŠ - hŠ - CJ aJ & hŠ - hŠ - 6 •CJ OJ QJ ] •^J hŠ - hŠ - CJ OJ QJ ^J aJ /t- J § õ ˜ :! }! " /# 0# 1# ƒ# „# †# ‡# ‰# Š# Œ# •# ê Û Û Û Û ê º ê ² « « « « gdQ~• dà gd«r› $ „ à …# C m ‡# ™ ˆ# š Š# hŠ ƒ - 6 •CJ aJ " Û ] •aJ — Ì « « « „ôü ¤È ^„ `„ôüa$ gdŠ - „ „ôü ¤È ^„ `„ôügdŠ - „ „öü ¤È ^„ `„öügdŠ ›# §# ¨# ý $ ©# „„ „|ü dh ª# «# ý ñ ¤ð ^„„ `„|üa$ gdŠ ý ñ è ý •# •# •# ™# š# è ý à dà gd«r› „h ]„h gdð3 „øÿ „ &`#$ gdð3 ˜# ™# ›# œ# ¢# £# CJ OJ QJ aJ ¥# h…rÞ ¦# §# ©# h kß 0J mH ª# nH «# u ƒ hŠ ƒ 0J 5 0 1•h :p kß °Ð/ °à=!°Ü "°¥ #•Ü $•¥ %° °Ð °Ð úöìúìáìúöÝÎ hŠ j hÒ hŠ ƒ 0J U hŠ •Ð Ò $ $ If Z !v h 5Ö 9 5Ö š 5Ö 5Ö – l Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ 5Ö š 5Ö 5Ö /Ö ÿ 4Ö aö Z ü $ $ If Z !v h 5Ö 9 5Ö š 5Ö 5Ö – l Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ 5Ö š 5Ö 5Ö /Ö – #v 9 #v ÿ – #v ÿ š #v ÿ 9 #v #v ö š #v ÿ 6 :V ö #v ö 6 5Ö :V ö 5Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö $ $ If Z !v h 5Ö – l Ö0 ÿ 5Ö š 5Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö $ $ If Z !v h 5Ö – l Ö0 ÿ 5Ö š 5Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö $ $ If Z !v h 5Ö – l Ö0 ÿ 5Ö š 5Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö $ $ If Z !v h 5Ö – l Ö0 ÿ 5Ö š 5Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö $ $ If Z !v h 5Ö – l Ö0 ÿ 5Ö š 5Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö aö Z – 9 5Ö ÿ 5Ö š 5Ö 5Ö #v ÿ ÿ š 5Ö 5Ö #v ÿ ÿ ÿ 5Ö #v ÿ ÿ 5Ö #v ÿ ÿ 5Ö #v ÿ ÿ ÿ 9 #v š #v ÿ #v ö 6 :V ö 5Ö /Ö aö Z – 9 5Ö ÿ 5Ö 9 #v š #v ÿ #v ö 6 :V ö 5Ö /Ö aö Z – 9 5Ö ÿ 5Ö š 5Ö ÿ 9 #v š #v ÿ #v ö 6 :V ö 5Ö /Ö aö Z – 9 5Ö ÿ 5Ö š 5Ö ÿ 9 #v š #v ÿ #v ö 6 :V ö 5Ö /Ö aö Z – 9 5Ö ÿ 5Ö š 5Ö ÿ /Ö aö Z 9 #v š #v ÿ #v ö 6 :V ö 5Ö $ $ If – Z !v h 5Ö 9 5Ö š 5Ö – l Ö0 ÿ ÿ ÿ 5Ö š 5Ö 5Ö /Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö aö Z ü $ Z !v h 5Ö 9 5Ö š 5Ö – l Ö0 ÿ ÿ ÿ 5Ö š 5Ö 5Ö /Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ/Ö ÿÿÿÿÿÿÿÿ4Ö 5Ö #v ÿ ÿ $ If 5Ö – #v ÿ ÿ aö Z ^ 9 #v š #v ÿ 9 #v #v ö š #v ÿ 6 :V ö #v ö 6 5Ö :V ö 5Ö 2 0 0 0 0 0 0 0 @ @ @ @ @ @ @ nH P P P P P P P ` ` ` ` ` ` ` sH p p p p p p p tH € € € € € € € • • • • • • • @ À À À À À À 8 `ñÿ Ð Ð Ð Ð Ð Ð X @ à à à à à à ø À ð ð ð ð ð ð 2 V ~ Ð ( à ð Ø è _H mH Q~• N o r m a l CJ _H D A`òÿ¡ D aJ mH sH tH D e f a u l t P a r a g r a p h F o n t R i@óÿ³ R T a b l e N o r m a l l 4Ö aö ( k ôÿÁ ( N o ö 4Ö L i s t F @ ò F Q~• F o o t n o t e T e x t CJ OJ QJ aJ @ &@¢ @ Q~• F o o t n o t e R e f e r e n c e H* J Z@ J h £ P l a i n T e x t 7$ 8$ CJ OJ PJ QJ aJ X C@ " X _ 5 B o d y I n d e n t T e x t $ „Ð dà `„Ð a$ OJ QJ 4 @ 2 4 ð3 Æ à À! H e a d e r . )@¢ A . ð3 P a g e N u m b e r < P@ R < Š B o d y T e x t 2 dà ¤x PK …þƒÐ¶Ørº(¥Ø΢Iw},Ò ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷ ä±-j„4 Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã “óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô “^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù* D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù $€˜ X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .— ·´aæ¿-? ÿÿ PK ! ¥Ö§çÀ 6 _rels/.rels„•ÏjÃ0 ‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ » „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý ÿÿ PK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xml ÌM à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K Y,œ ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Õ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+& 8ý ÿÿ PK ! –µ-â– P theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰– ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ !)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—– ¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu ¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi– @öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä` - ÚïgÔ È˜³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ß㢠dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö ð:Á¥ ;ä˹!Í I_ÐTµ½ S 1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó $”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£ x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I u3 KGñnD 1÷ N 3Vq%'#q¾ à ÓòŠÍ IB Òsü€• íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i ~™Vé þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕ ~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ– }KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c? ¢ íqU ßån†èwð N ºû %Ž»O¯ ·ièˆ4 =3 Ú—Pª• ÓäïÊ1£P•m \\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì eW÷ ¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ išd ûDЇA½Îœ óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú IqbJ#xÌ꺃 6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ ¯èáü\P•1»Mh Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJíP |8¯ Ö„ AÛ V^…ó¹f ÌH ín÷ÞÜ-Æ é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹ €Ø©ð‘>ä•bµ ·– &û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD ¢à •ØDìcp¿ UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd 7y\È`ÞJân•² åίŠIù R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m q¨BiDý¾€ÆÁÔ ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y ›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M  ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍÒ¿ ÿÿ PK ! ÑŸ¶ ' theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5 6?$Qìí ®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r 'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ 6 + _rels/.relsPK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xmlPK ! – µ-â– P Ñ theme/theme/theme1.xmlPK ! Ñ•Ÿ¶ ' › theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK ] – <?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?> <a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main" bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1" accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5" accent6="accent6" hlink="hlink" folHlink="folHlink"/>e « R U « ` ÿÿÿÿ % ¢^ £ Çi T, ™ ´i ¢ ¤ % u ¥ »| ¨ % NŠ ¦ ÷Ì ª % $² § ÿ - % ž¿ © t® ( ¿ê « •# ~ ì ¬ «# t • ˜# z «# ¯ “ B ˜ š ’ ” • – — Âh Zi ii xi „i › œ • ž Ÿ “i ¢i ¡ @ -ñ ÿÿ ! ( ÿ €€€ ÷ ð ð ð ðB !• ! ÿ•€ ð’ ð8 ð ð ð0 ð( S ð- ¿ Ë ? ÿ ð ÿÿ° E « Ì*$ F « ´†d G « <7$ H « ìW I « ÌIc J « 4db K « f L « ”£b M « \Ô$ N « ü«$ O « ab P « <œd Q « Ib R « ü´b S « „gb T « t $ U « J$ V « ” b W « Ô¬$ X « Gc Y « œLc Z « ü©$ [ « ¤û$ \ « l b ] « ` « ÄÕ$ lD$ ^ « a « TË# Ü+$ _ « b « œ l c c « „¬$ d « b e « ôð# f « ÄÇb g « lÏb h « €d i « 4Ä$ j « {b k « üwb l « ì™d m « \„d n « o « > Ti p « ì¼ q « dÆ$ r « Ô²$ s « Oc t « d`b u « ´eb v « Äab w « « È$ ,Ï$ x « } « Ìë# ô•d y « ¤À$ z « Œ[ { « \Z | ~ « lcb • « 4 d € « ƒ « ,G ü7- • « „ « ; üv ‚ « … « 9 ü4 † « |- ‡ « d¦b ˆ « äÙ$ ‰ « Lzb Š « äy! ‹ « ¼Éb Œ « üŽ • « ” b Ž « ¤Ê$ • « ¤Mb • « ¼Cb ‘ « ,Œd ’ « « $H ì $ “ « ˜ « dH ” « ìÁ$ ™ « Ü$$ • « ,Â$ š « %$ ´¢d – « ¬ $ — › « ô¢d œ « œ´ • « Ü´ ž « ä b Ÿ « $ b « T£d ¡ « ”£d ¢ « ì®b £ « ,¯b ¤ « ¨ « - « 43 ¥ « 43$ © « $¦$ ® « t3 ¦ « t3$ ª « ÜJ$ ¯ « \D § « ´3$ « « K$ ° « œD ¤¥$ ¬ « \K$ ± « ä¥$ Ö# ² « · « LÖ# ³ « Ì"$ ¸ « ŒÖ# ´ « ÄÑ# µ « Ò# ¶ « DÒ# #$ ¹ « L#$ º « Äsb » « tb ¼ « Dtb ½ « ôƒb ¾ « 4„b ¿ « t„b À « « ”1$ t$ Á « Æ « Tt$ Ì•  « Ç « ”t$ à « 1$ Ä « T1$ Å ‘ È « L‘ É « 4ó$ Ê « tó$ Ë « ´ó$ Ì « |#b Í « ¼#b Î « ü#b Ï « (b Ð « D(b Ñ « „(b Ò « « œ¯$ Ú « ß « « ô| ì•# Ó « ,Ž# Ô « lŽ# Õ « Ø « ܯ$ Ù « Ü. Û « \. Ü « œ. Ý « I$ à « DI$ á « 4| â « å « ô¯d ¯$ t| Ö « „H$ Þ « ã « \¯$ × ÄH$ ´| ä æ « 4°d ç « t°d è « ´°d é « <Àb ê « |Àb ë « ¼Àb ì « üÀb í « ò « ' k ¤q ¬Ö î « ó « äq ìÖ ï « ô « $r ,× ! ð « ! “ dr “ " ñ « " lÖ' k v v ¬ ¬ · · ^ ^ ö ö ˜ ˜ … … • • B' B' I' R' R' ]' ]' g' g' q' q' ( ( 4) 4) »B »B •K •K xN xN ³Q ³Q _U _U ¼W ¼W êa êa b b žb žb ƒu ƒu Åu Å u • • s• s• -• -• •‚ ž‚ ®‚ å‚ å‚ °œ °œ ÿ¨ ÿ¨ y© y© M½ M½ ê ê ùÆ ùÆ aË aË pÍ pÍ MÏ MÏ gÏ gÏ -Ð -Ð ÕÐ ÕÐ CÕ CÕ ÎÖ ÎÖ ëÖ ëÖ .Ø .Ø ëí ëí ýû ýû Õÿ Õÿ = = µ µ — — û û ¼ ¼ Ê Ê e e v Ñ v Ñ ö ' ß ö l ß í Œ l L Œ ‡ L ” ‡ õ â â õ V V o o × × ¬ ! . : F R " # / ; 0 < G S ^ w ƒ ‘ * 0 q y … • š ¥ œ , › § , 2 > J ( ) 3 4 @ 5 A 6 B L ‡ “ ‰ ” • ž ª – Ÿ « 7 ˜ ¬ 8 9 E Q ] i t € • ‹ , D P \ h g s ~ Š + C O [ f r } ˆ * N Z e q p | • © M Y X d o { œ ¨ 0 ' W c n z † ’ & ? K V b a m x „ • ™ ¦ œ 1 U ` l % = I H T _ k j $ Œ u • • v ‚ Ž — ¡ - £ ® ¢ ¯ ¤ * q | | ² ² ½ ½ f š š G' P' P' [' [' =) ÄB ÄB ŠK ŠK •N •N ·Q ·Q b ‡u ‡u Îu Îu • • |• |• '• '• œ‚ ¨‚ ¶‚ S½ ó óÂ Ç Ç jË jË yÍ yÍ Õ ÒÖ ÒÖ ôÖ ôÖ 7Ø 7Ø ôí ôí ¿ ¿ f ÿ ÿ ¡ ¡ Ž Ž e' e' o' o' v' v' ( hU hU ÅW ÅW óa óa b ( =) b ¡b ¡ î‚ î‚ ¹œ ¹œ © © ‚© ‚© S½ VÏ VÏ jÏ jÏ ¶Ð ¶Ð ÙÐ ÙÐ LÕ L ü ü Þÿ Þÿ F F ¾ ¾ Ó Ó l à l à Ù Ù é õ ~ & õ ~ 1 U þ 1 U þ r þ “ r þ ž Ž ž Ž é é _ - _ - x ¬ x ! . @ R d " / A S e # 0 B T f $ 1 C U g % 2 D V h & 3 E W i ' 4 F X j | ( 5 G Y k } ) 6 H Z l ~ * 7 I [ m • + 8 J \ n , 9 K ] o : L ^ p ; M _ q < N ` r = O a > P b s t u w x y z { € • ‚ ƒ „ … † ‡ ˆ Š ‹ Œ • Ž • ‘ • ’ “ ” • – ˜ — ™ š › œ • ž Ÿ ¡ £ ¢ ¤ ¦ ¥ § ¨ © « ¬ ® ¯ 8 ¬ *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €City €= & *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €PlaceName €= ' *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €PlaceType €9 ) *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €State €B ° *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags ? Q c v ‰ ª €country-region €9 ¯ *€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €place € 8eb ° ¯ ¯ ¯ ° ° ¬ ¯ ¯ ° ¯ ¯ ° ¯ ' . • + ‰ Ù 0 • Ú < ’ â = ¢ ã F § é ) ¯ ° ¯ ¬ ¯ ¯ & ¬ & ¯ ¯ ¬ & ¯ ¯ ' ° ¬ ¬ G ¨ ê ¯ ' ¯ ¯ ° ° ¯ ¯ ¬ ° ° ° ¯ ¯ ° ° ¬ & ¯ ¬ ¯ ¯ ¯ ¬ ¯ ) ¯ ° ° ° ¯ & ¯ ° ¯ ¯ ¯ ¯ ° ' ¯ ) ¬ ¬ ¬ ° ¯ ¯ ) ¯ ¯ ¯ ¯ ° ° ¯ ¯ ¯ ° ¬ ¬ ° ¯ ¯ ° ° ¯ ° ¯ ¯ ¯ ¯ ° ° ¯ ¯ ¬ ¯ ° ¬ ° ¯ ° ° ¯ ° ¯ ¯ ¯ ¯ ° ¯ ¯ ° ° ° ° ° ¬ ¬ ¯ ¬ ¯ ¯ ¯ ¯ ° ° ¯ ¯ ¬ ¯ ¬ ¬ ¯ ¯ ¯ ° ¯ ° ¯ ¯ ¬ ¯ ¬ ¯ ° ° ° ¯ ¯ ¯ ¬ ¯ ¯ ¯ ¯ ° Ó ° ¬ ° O ° ò P ± ó X µ ÷ ] ¶ ø e » h ¼ s à t Ä } Ë ~ Ì ˆ Ò " V ¢ ã . € ˜ Ø ( $ ^ £ ä 5 ‰ ž Û , y s × % d ¨ í 6 • Ÿ Ü 2 z å ) h © ó ; — ¢ ä 7 „ ë * i ù J ® 3 w ¶ S 4 Z ` a g i F – Í p ² ¸ ¹ ¾ ¿ Æ } · T ¬ ð ; ‹ ô 0 n ; < ˆ Å ‡ À Á C Ž Æ D • Ì ú £ ç 8 … ì . m ñ < Œ ö Y ± ø ? • ù @ £ P © Q ¬ Y ´ Z µ _ ½ G K L S Õ Ö Ý Þ r x y • Ç Î Ð — - ` ¾ g Ç h È Ö ' r Ñ Ò . { ½ 6 € à 8 • Ä # < † ; … É Ê $ F Ž Ñ G • Ò R ˜ Ö S ™ × U Ÿ á V ¢ ç [ © ð \ ª ñ f ° ú g ± û n ¸ o ¹ u ¼ 5 b ? b E b K L R S Y ` -` #` %` +` ,` áa éa õa øa b b b b #b $b (b *b /b 0b 4b 5b =b >b Fb Mb Qb Rb [b \b ib jb ob pb xb yb }b ~b ƒb žb ¡b ¢b ªb «b ±b ·b »b ¼b Áb Âb Æb Çb Îb Ïb Ób Ôb ßb àb èb îb õb öb üb þb c c c c c c c c $c 'c .c 0c 7c =c Gc Hc Mc Nc Wc Xc ^c _c ec kc pc qc tc uc zc {c …c ‹c •c •c –c — c Ÿc c ©c ªc ®c ¯c ¸c ¾c Ãc Äc Èc Éc Ïc Ðc Öc ×c Ùc Úc àc ác ïc ðc öc øc ÿc d d d d d d "d id d ˜d öd e e be e •e íe d )d od ™d ÷d e de ¨e õe d .d pd •d ýd e he ©e öe 3d 5d 8d 9d >d ?d Id Ld Ud Vd Xd Yd vd |d €d ‡d •d Žd •d – Ÿd ¨d ©d -d ®d ±d ²d ºd »d Ád Âd Ôd þd e e e e e e "e #e 0e 1e 7e 8e Ae Be Pe ie se te we xe ~e •e ‰e Še •e Že — ²e ´e ¼e ¾e Ãe Äe Ðe Ñe ×e Øe Üe Þe ýe þe f f ]d dd hd Õd ìd íd Qe We Xe èe ée ìe f f $f 2f 9f :f {f •f ƒf ‰f •f Üf ãf æf ìf óf g 3g 4g =g Cg Gg pg qg vg wg |g g ˜g £g ¤g ªg ³g óg øg ùg h h h h h h h "h [h \h dh fh jh •h – h •h žh ¡h ¢h -h ðh ñh õh øh ûh i i i -i i &i 'i +i ,i 2i ^i _i ai bi fi i ˜i ›i œi £i ¤i êi ìi íi ñi òi j >f ”f g Hg }g ¸g h #h kh ®h üh ?f Df Ef Zf \f bf cf hf jf pf qf zf •f œf §f ¯f ·f Åf Æf Ìf Îf Òf Øf Ûf g g g g g %g &g ,g Ng Og Sg Tg Xg Zg ^g _g eg fg kg lg ‹g •g ’g “g — ¹g Àg Çg Ñg Òg Õg Ûg ßg àg çg èg ñg )h *h .h /h 3h 4h 8h 9h ?h @h Qh Rh ph qh th vh •h €h …h †h Šh ‹h Žh •h ·h i ¸h ¿h i i Àh Êh Ëh Ôh Öh Üh Ýh èh êh 3i 9i :i >i ?i Ei Fi Ki Li Pi gi pi ri yi zi •i €i Ši •i — ªi «i ²i Æi Ëi Ìi Ôi Õi Úi Ûi þi ÿi j j j j Qi Vi Wi ài ái éi j j j j j &j 'j /j 5j =j >j Fj Hj Nj Pj Wj fj gj mj nj uj vj {j |j •j ‚j ‡j ˆj •j Žj — j ˜j ¡j ¢j ©j «j °j ²j »j ¼j Äj Åj Øj Ùj ßj åj ñj ùj k k k Xj \j ]j êj ëj ðj k k k k k k "k $k 7k 8k ;k <k ok qk uk vk „k Šk Žk •k –k — k •k žk ¡k §k ®k ¯k ´k ¶k ¿k Ák ëk ìk õk ÷k l l l l Dk Jk Qk Rk [k \k fk hk Åk Æk Ñk Òk Úk Ûk äk åk l l l -l %l 'l /l 0l ;l Cl Jl Kl Xl Yl al cl jl ll ql rl zl {l €l •l †l Œl “l ”l — l ˜l ¢l ¤l «l ¬l µl ·l ºl »l Ål Æl Êl Ñl Øl Ùl âl ãl êl ñl ûl ül m m m m m m !m "m %m 'm *m 0m :m >m Km Lm Um Vm ]m ^m em fm om pm wm xm €m •m „m …m Œm •m – m ˜m Ÿm ¡m ¨m ©m ¯m °m ´m µm ½m ¾m Åm Æm Ìm Ím àm æm ëm ìm ðm ñm ùm úm n n n n n n !n "n )n +n 3n 4n ?n @n Cn Dn Qn Sn Xn Yn an vn •n €n ‰n Šn •n ’n — n žn ±n ²n ºn »n Àn Án Én Ên Ôn Õn Þn ín ðn ñn ùn ûn þn o o o o -o $o %o (o /o :o Bo Eo Fo Ro So \o ]o _o `o go ho oo po uo vo zo |o €o •o †o ‡o •o ‘o o ¡o «o ±o ¶o ·o ¼o ½o Âo Ão Êo Ìo Òo Ôo ßo óo ùo úo p p p p p p p p p p $p %p .p Ep Kp Lp Sp Tp \p ]p bp cp lp mp yp •p ‡p ˆp ”p •p šp ›p žp p §p ¨p °p ±p µp ¶p Âp Ãp Ëp Ìp Ýp Þp çp èp íp îp ñp òp üp ýp q q q q q q &q 'q *q +q 0q 1q ;q [q dq eq kq lq qq rq xq yq ~q •q ˆq Žq ˜q ™q žq Ÿq ©q ªq ¶q ¿q Ãq Äq Èq Éq Ìq Íq Öq Üq åq æq îq ïq úq ûq r r r r r r r r %r &r (r )r 1r 2r 8r :r Br Cr Gr Hr Lr Mr Sr er kr lr t r ur ~r •r …r †r ‹r Œr ’r “r ˜r ™r ¢r £r ªr «r ºr »r ¾r ¿r Ìr Òr Ür Ýr ár âr çr èr ër ìr òr s s s s s s s s s )s 7s =s >s Cs Ds Gs Hs Qs Ss [s ]s cs ds hs is us vs ys zs …s ‘s — s ˜s •s žs ¨s ©s ²s ´s ·s ¸s ¼s ½s Ås Æs Ïs Ðs Øs Ùs ãs äs ôs õs ûs üs t t t t t t t t $t 0t 6t 7t @t At Ht It Nt Ot Vt Wt _t `t ft gt nt tt xt yt €t •t ˆt ‰t ’t ˜t ¢t £t ©t ªt -t ®t ·t »t ¿t Àt Ít Ît Ùt Ût ät åt ît ït ùt út þt ÿt u u u u u u #u $u (u )u .u 5u :u ;u Cu Du Hu Ou Zu [u bu cu fu gu ou qu xu yu •u €u ‚u ƒu ‡u ˆu •u Žu šu ›u Ÿu u ¥u ¦u ³u ´u ·u ¸u Áu Âu Äu Ïu Ùu Úu àu áu îu ïu ôu õu úu ûu v v v v v v v v "v #v (v )v /v 0v 6v 7v ;v =v Ev Fv Iv Jv Pv Qv Tv Uv Zv [v cv ev pv qv uv vv {v }v …v ‡v Šv ‹v “v ”v ™v šv ¢v £v ¨v ©v ²v ³v µv ¶v »v ¼v Év Ñv ×v âv ëv ìv ðv ñv úv ûv w w w w w w w w !w "w ,w w 1w 7w ;w <w Aw Bw Kw Qw Uw Vw Yw Zw ew fw lw mw rw sw ww xw …w †w •w ‘w –w — w šw ›w Ÿw ¢w «w ¬w ´w µw ¾w ¿w Åw Æw Íw Îw Öw ×w Ûw Üw áw âw èw éw ðw ñw úw üw x x x x x x x -x $x %x .x 0x 6x 7x :x Ax Lx yx zx }x •x Žx •x – x œx ¡x ¢x ªx «x ¯x °x ¹x ºx æx êx ëx îx ïx ôx õx úx ýx Mx Vx Wx \x ]x gx hx qx rx ¾x y ¿x y Æx y Çx y Ðx Ñx Óx Úx ßx y y y z z y y y y !y )y *y 0y 1y ;y <y Hy Iy Oy Py Xy Yy _y `y cy dy iy jy uy vy |y }y …y †y •y Žy ‘y ’y •y žy ¦y §y ®y ºy ¾y Çy Íy Îy Õy Öy ßy ày åy æy íy îy óy ôy üy þy z z z ,z /z 0z 6z 7z <z =z Bz Cz dz tz …z †z •z ‘z •z žz §z ¨z Ðz ×z Üz Þz èz éz óz ôz ÷z øz %{ &{ ,{ { 7{ 8{ B{ C{ F{ G{ O{ P{ U{ V{ }{ ~{ ƒ{ „{ ‹{ ‘{ š{ ›{ ¤{ ¥{ Ó{ Ô{ Ù{ Ú{ á{ ç{ ð{ ñ{ ú{ | | Kz Lz Pz Qz Wz Xz az bz -z ®z ·z ¸z Áz Âz Éz Êz { { { { { { { { Z{ [{ b{ c{ m{ n{ s{ t{ ª{ «{ ±{ ²{ ¹{ º{ É{ Ê{ | | | | | | | )| *| 1| 2| ;| A| H| I| Q| R| •| €| „| …| ‡| ˆ| •| •| •| — | Ÿ| ¡| §| ¨| µ| »| Ã| Ä| Î| Ï| þ| ÿ| } } W| X| \| ]| c| d| u| v| Ò| Ó| â| ê| ð| ñ| ø| ù| } } ~ } } } -} (} .} 6} 7} =} >} E} F} I} J} _} `} g} h} m} n} w} x} {} |} †} ‡} ’} “} ™} š} £} ¤} ©} ª} ¹} º} Á} Ã} Æ} Ë} Ò} Ó} Û} Ü} å} æ} ë} ì} ò} ó} ü} ý} ~ ~ ~ ~ “~ ~ ˜~ ì~ • • a• • ˜• é• € ~ ”~ ž~ ø~ • g• ™• ï• $~ %~ *~ +~ 2~ \~ e~ f~ — Ÿ~ ¤~ ¥~ ª~ «~ µ~ ¶~ ¾~ ù~ þ~ ÿ~ • • • %• &• (• 3• 8• 9• o• p• r• }• ‡• ˆ• •• – Ÿ• • ¤• ¥• ª• ³• ¹• º• ô• ú• ÿ• € q~ r~ w~ x~ €~ •~ •~ Ž~ ¿~ É~ Ê~ Ð~ Ñ~ Þ~ ß~ ë~ D• E• L• M• S• T• Z• \• Å• Æ• Ì• Í• Ó• Ô• à• á• € € € !€ "€ *€ ,€ 6€ 8€ <€ =€ B€ C€ K€ M€ T€ U€ Z€ \€ c€ d€ i€ j€ u€ v€ ~€ € „€ …€ ˆ€ ‰€ Ž€ ”€ ž€ Ÿ€ ¦€ §€ «€ ¬€ °€ ±€ ¶€ ¸€ ¿€ Á€ Ê€ Ë€ Ù€ Ú€ ã€ ä€ é€ ê€ ó€ ô€ û€ ü€ • • • • • • • • (• 9• B• C• G• H• L• M• R• S• ^• _• i• k• p• r• x• y• ‚• ƒ• ‡• ‰• •• – • š• •• §• ¨• -• ) . / ; < A B I J S T X Y \ ] c d l m u v • € † ‡ Œ • ˜ ™ ¢ £ « ¶ ¹ º ¿ À Ã Ä É Ê Ó Ô á ä é ê ó ô ü ý a ¢ i µ " r j ¶ » # s ¼ ( x Ç 2 y È 6 } Î 8 ~ Ï A ƒ Õ B ‰ Û E • ä F • æ Q ˜ í R ™ ï V › ô W œ þ ` ¡ X Y ¢ p i ˜ ¥ s › n c ¦ y ¦ $ v { ¬ % ® • / 0 ƒ 0 W 1 „ : d 3 „ ; ’ ; † B š < † C ë > ‡ H › E ‡ I • P ‰ O ¢ X Š P ¥ ] Œ R © ^ • S ª g • • 4 ³ c ã y : Æ · · # _ š ó „ ÷ - i ] m J å ç ª ¬ ¢ Ž Š X Œ 3 0 3 Y Š ‰ © ' • ¬ ) • ¿ • 3 3 3 e` Èa ÝÝ Œ • • • 0 1 Á › 3 áÝ Q ¬ 3 ¦ 3 þ © ƒ ¬ „ a c 3 3 ˜ „ ¥ † 0 3 3 0 † „ 3 1 ‡ „ 3 „ ‡ i.Î † 3 „ ‰ † ‡ 3 † Š ‡ 3 † Œ ‰ 3 ‡ • 3 ‡ • • ,ž^Eÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ „_ûo( ( ) € ‚ `„Lÿ . € „q „Ø „Lÿ Æ „ Ø „˜þ Æ ^„Ø „¨ „_û Æ q ^„ `„˜þ ^„q ` . „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ ‚ þ Æ Lÿ . è . € „ „˜þ Æ ^„è `„˜þ i.Î „H ^„ . „Lÿ Æ `„˜þ ‚ H . „x „˜þ Æ ^„H `„Lÿ € x . „¸ ^„x `„˜þ € „Lÿ Æ . ¸ „è „˜ ^„¸ `„ ÿÿÿÿÿÿ ? ˆf ÿÿ å >m-´ > ð3 ½C õ? . Ò ‹1 '[ Ëz UD Š - Ñ]$ = ' ë(, b, 4k, £ 1 _ 5 %wA QcC 6-K g?O • U ãXX §n\ p^ º2b 2g R h u } Q~• î:€ Š ƒ *‡ ý ™ «r› ó&• h £ 9 § _¨ c© ÷6« ò ® Z¯ Ês¯ 5^± ÈI» Å!¼ •t¼ ÆFÀ † Á ¨9Ò ÓI× `Û ÚWÜ …rÞ -Wß kß V[à ^|å í )Gõ HVü 1 3 ÿ@ € `‡ « P @ ÿÿ U n k n o w n ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ G-• ‡* € ÿ T i m e s N e w R o m a n 5-• € S y m b o l 3.• ‡* € ÿ A r i a ‡ Ÿ A r i a N a r r o w C • B o l d 7.• ‡ Ÿ V e r d a n a 9-• G a r a m o n d ?=• € ÿ C o u r i e r N e ¿ ûüÇh Ÿ M S l l A.• G a r a m o n d - ‡ ‡* w G5 € M i n c h o Ÿ -ÿ3ÿ f g A-• M a t h • • " ï 1 ˆ ðÐ D* íð Y ð ë h B Ÿ bÒâ¦cÒ⦅å‡f C a m b r i a D* íð Ü Ü x ´ •‚ 4 Q ð ÿý ÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÆFÀ HX 2 x x ÿÿ S o s i o - A n t r o p o l i t i k ðÿ ? ä d ¡ ¡ 2ƒ ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿ ! d i / A r s i t e k t u r I n d o n e s i a d a n L e o A g u s t i n o U s e r X p þÿ à…ŸòùOh «‘ @ Œ ˜ +'³Ù0 P Ü ˜ ` Ø l ä ü ¤ ° ¼ Ä Ì Ô Antropolitik di Indonesia dan Agustino 0 Bandung Normal Office Word @ FÃ# @ D* íð ä 0 Arsitektur SosioLeo Dikirim untuk Jurnal CIVICUS FPIPS UPI UserXp 3 Microsoft 6š@´tÄ @ 'Œ¶Ê @ bËJŒ¶Ê þÿ +,ù®0 ÕÍÕœ. “— h p ¨ À € ° ˆ ¸ • ˜ ü ä - Untirta • ¡ - 0 Arsitektur Sosio-Antropolitik di Indonesia dan - Title ! . @ R " / A S e d w ‰ ˜ ª # 0 B T f x Š ™ « $ 1 C U g y ‹ š ¬ % 2 D V h z Œ › - & 3 E W i { • œ ® ' 4 F X j | G Y k } ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ • H Z l ~ • • ) 6 * 7 I [ m • + 8 J \ n € , 9 K ] o • “ ¢ ´ : L ^ p ‚ ” £ µ ; M _ q ƒ • ¤ ¶ < N ` r „ – ¥ · = O a s … > P b t † ? Q c u ‡ v ˆ ‘ ’ — Ÿ ¡ ¦ § ¨ © ¯ ° þÿÿÿ² ³ ¸ þÿÿÿº » ¼ ½ ¾ ¿ À Á Â Ã Ä Å Æ Ç È É Ê Ë Ì Í Î Ï Ð Ñ Ò Ó Ô Õ Ö × Ø Ù Ú Û Ü Ý Þ ß à á â ã ä å æ ç è é ê ë ì í î ï ð ñ ò ó þÿÿÿõ ö ÷ ø ù ú û þÿÿÿý þ ÿ þÿÿ ÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿ þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t E n t r y ÿÿÿÿÿÿÿÿ À F póuNŒ¶Ê € D a t a e Ž ( 5 ž ± 1 T a b l ÿÿÿÿ o c u m e n t a t i o n ô t i o n 8 C o m p O b j ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ¹ ôt W o r d D ÿÿÿÿ 7` S u m m a r y I n f o r m ( ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a ÿÿÿÿÿÿÿÿ ü y ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ ÿÿÿÿ À F' Microsoft Office Word 97-2003 Document MSWordDoc Word.Document.8 ô9²q