HO_25_MASYARAKAT_MADANI.doc

advertisement
\-
¥O@ h&K‚¤ ÏÊ
Pþ
Tþ
%Z@ •O@
`þ
\-
\-
[( ”­
ãÉ|2
ˆ½
EO@ h
Nå ÓÏà g Ûð†ÐÃ
²
€ HO 25 MASYARAKAT
MADANI.doc c oc NDONESIA.docx x DERN.docx dan
model.doc ' ¬u' ìÄ" ûÄ"
ìÄ" ¬´ •#'
X´ áËËt
•u'
ìÄ"
„u' äÄ" ðx' Ì´
l´ €ÊËtàÄ" ÌÄ" Ì´ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" ðx' `
ˆÄ" üÄ" Ä´ 5ZËtüÄ" •u' HO25MA~1.DOC aÎt`
`
ä´
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" |· ÛNËt
`
ˆÄ" °Ã" îNËt>
ß
G
P
•
`
€s-w•
€s-w
À–
( \µ 3é w€s-w
ÄÄ"
ÄÄ" ÄÅ" Å"
ª
T¸ ÄÄ"
•u'
/
wp
!
· ½ wp¼µ
· í wp
fÃ"
wp(·
P ! @c€P ! Xr!
! àÏ" * . i
P ! l
ˆÄ"
l
ø
Ã"
p4 wŸ4 wl mèp!
! ۀ"
i h†
Ä" Ä ! ˜o! H
!
ۀ"
ÈÅ"
p¶ ¿, sx¶ Ķ ®. s
lsÅ. s ' èx'
¬¶ •u' `t' ••( 0
ÊjÄFèx' ¨·
X
ß ß
ð
Ä
! o!
Ã"
! øÃ"
l m ! ¨Ã"
¸ “1 w8 ! o1 w²•
}
|`
Ä" Ä ! ˜o! è
!
w
! °Ã"
! Ä ! Xr!
! Ä ! Xr!
! P !
Xr!
˜
}
P
˜
Ä
(Ã"
˜o!
Xr! ¸
Xr! èp! }
(Ã
" Ä !
˜
y|
À
@¸ <· @”( ˆÍ M× w - þÿÿÿo1 whw
°Ã" °Ã"
и ¨Ã" P¸ p/úu !
°Ã" `¸ fRúu°Ã" °Ã" p¸ CRúu
°Ã" €¸ çQúu°Ã" Ô¸ Ôpüu˜m! Ôpüu
˜m! °¸ QSúuÔpüuèº ˜m!
ïMûu°¸
°¸ è
q¨²
–
¦
btamail.net.cn w8
o1 w
w
²
ð
u'
‰uQu
ø² pW¯u•
C¼-GþÿÿÿšuQu
•
ðx'
iZËtP
ðx' ð
ÊjÄF ¸ M× w - þÿÿÿo1 wh- w
ð
'
P
•u' ø
̳ Ä
Ҽt
P
P
ÔZËt•u' @
ß
Ä
•
Ä
•u' •#' " û•
´
ô©Qu•#' •u'
•u' F
'
Ò' д
ž5 w8 ' Ÿ4 w~‘
w@¸
' P ' ìÄ" ¬´ P '
F
äÄ" ðx' Ì´ €s-w
€s-w
( ¤´ 3é w€s-wˆµ
p”( ¤´
| ' áËËt
P ' F
à•(
À–
¤´ 9ï wÔ–( ˆµ Ì–( Hµ
F
m w t wæ•
w@¸
Ò' Tþ M× wv- h¸
p”(
0
À–
( †
(¶ p”( †
¨µ
G
&¶
€
€s-wD
€s-w
À–( \µ 3é w€s-w@¸ D
Ò'
@¸ @¸ Ì–
( Ò' ¸· ˜Ã wT—
( |µ Ô-êÿ
•o w
(¶ € ˆ ¨µ
h¸ †
Dq w
D : \ D A T A \ F I l e
D o s e n
J u r u s a n
P K n \ D r .
P r a y o g a
B e s t a r i ,
S . p d . ,
M . S i \ * . *
° (
' èx' `· ž5 w8 ' Ÿ4 wÎ’
w
' P ' Þ¸
ŒuP ' ° ( t '
•u'
N’
' P '
à•(
ÿÿÿç
' @
Ò'
w
•
[(
ðx' ðx' ëx'
þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
P '
' }pQ •¶
@
êx' èx'
0»
Tþ
M× wv-
y' @”(
y'
@”( Ø· —
} w q-w
ðx'
F
F
Ø·
·
ôd wTþ
ì·
Ðø w
y'
¸
aÁQu
y'
0»
˜Ò'
ìº
Œ‹Qu
0»
&
…“ ÏÊ º)º_ÑÏÃ -RN
F
@¹
Ž wȹ
”½
p”( | '
`þ
Ò'
¡‹Qu
˜Ò'
(º
@¹
|Ž w•Ž wîœ
t¸
@
ˆ ˆ
`
Ò' F
w
(º %Z@ Ò' P ' ° ( | '
@
Hº ü¹ 0½
f w0½
º Ëe w(º (º Hº ü¹ (°ý•
Hº `þ
Ò' Tþ M× wv´
°”( Z
0
´
\½ Wd w¼I wed wHº
€
U•ôd w?
•
;
#
#
`þ
¹
P ' 0½
(º
´
ðx' ôd wŸ Qu
˜¹
T»
ƒO@
ÿÿ
\½
M× wjZ@ `¹
â• w(º
°”( ´
ùe w(º
0½
º
Õ w(º
Hº
º
}pQ r
€
X
jZ@
F
,½
#
•
€ÿÿ
€Ó|€ € ¢
à- …
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ \½ \½
' t ' o1 w
ˆ½
O@ À½
`þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2SILA´Í <O@ À½
:•þ¡ ÏÊ º)º_ÑÏà PíÈ¥ ÏÊ
SILABUS-HO-SAP ILMU NEGARA
PKn onesia teknik, model.ppt , dan model.doc pe: text/html
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
ðx
<html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID
height=3D0 width=3D0></iframe></body></html>
--#BOUNSILABU~1 DOC ersion: 1.0
Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-id: THE-CID
h
@
im Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam
kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil
society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani
digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government,
menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia
terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan.
Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory,
yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni
thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam
menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada
kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila
tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Qur’an dan Hadits
(Hamim, 2000: 115-127). Civil society yang lahir di Barat diislamkan
menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan
Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang
secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep
civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi,
Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan
perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan
proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan
konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita
menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan
masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin
sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir
di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk
dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap
perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari
hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah
yang lebih baik.
Dialog dialektik Islam dan Barat bersifat aktif, karena sebelumnya Barat
telah melakukan studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika mau
merumuskan civil society. Pada waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman
pemerintahan otoriter, dan menilai sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW
adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil society sudah dijelaskan
C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic Jurisprudence:
An International Perspective, terbitan Macmillan Press
(1988). Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori
kedaulatan (sovereignty) mendapatkan pengaruh dari pemikiran
Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan
disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward
Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke
mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan
individu.
Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh
Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound
opinions, taking care to give unity to his political system, and for as
long as the form of his government endured under the caliphs who
succeeded him, the government was undivided and, to that extent,
good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang
kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak
lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are
many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the
writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).
2. Masyarakat Madani dan Negara
Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti
yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang
terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep
tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu
pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran
yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal
sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).
Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan
civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut
diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia,
sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan
polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI
memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan
dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI
semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk
membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan
otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror
dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi (Hamim, 2000: 113).
Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari
bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan
tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small
stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi,
2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah
sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian
pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai
kekuasaan yang besar.
Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena
perbedaan situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin
dapat belajar dari pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi
negara yang lemah vis-à-vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip
keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun
demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat
yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang
menghendaki diperbolehkannya minuman keras.
Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah
posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan
dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani
ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut
terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara
modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara
absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol
kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun
kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):
…the state as an association between the members of a society rather than
as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association
that is unique among all the associations in civil society because of the
role it plays. Thingking of the state as an association between all
members of a society means ascribing to it supreme authority to make and
enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and
social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is
to be a genuine association between all members of the community, it
follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the
hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which
rulers are related to the ruled.
Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori
negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political
economy, the problem of the relationship of state power to civil
society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua
itu, yaitu:
…how government should ralate to the private, individualist world of
civil society organised around commodity production, individual exchange,
and money; what policies and puposes it should pursue and how the general
interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In
the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to
civil society; in the second, it was seen as a sphere which included but
also transcended civil society and countered its harmful effects. These
different conceptions were later to form one of the major dividing lines
in modern liberalism.
Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari
sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern
didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak
hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti
penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya;
melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi
bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama
Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah
civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan
kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil
society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam
pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu
tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide
demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu:
(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of
expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5)
the right of political leaders to compate for support and votes, (6)
alteernative sources of information (what we would call a free press, (7)
free and fair elections, and (8) institutions for making government
policies depend on votes and other expressions of preference.
Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern,
maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan
masyarakat madani.
Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat
yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas
Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu
tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini
Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule
themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang
dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama
hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.
3.
Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru
karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan
birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya
organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal,
seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasiorganisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin
maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki
kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political
societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan
kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam
menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang
memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan
dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti
Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan
Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk
melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan
tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran
Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih
besar daripada partai-partai politik yang ada.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan
Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah
mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya
selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai
kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998
tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk
merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep
masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang
menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok
lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh
tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan
militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negaranegara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak
Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia
duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu
keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya
pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena
ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan
demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara
dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian
konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi,
akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa
berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak
menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999)
yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu
menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum
berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru
bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap
demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan
pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu,
diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan
politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan
proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi
diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur,
Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong
oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat
madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan
yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering
membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang
buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping
penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh
kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan
“modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa
tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam
negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU
dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat nonnegara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU
begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan
LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun
disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan
momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus
Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya
dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok
Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari
kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU
menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila
berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham
pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS
al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan
Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart
yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal,
yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun
agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah
seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di
Palembang (Ismail, 1999: 17).
Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur
bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi
Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam
dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat
bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah
melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati
tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi
manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal
order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui
terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi
sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat
universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang
tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana
dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah
agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta
benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan
profesi.
Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan
dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan
heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai
keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan
berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid,
1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi
(formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk
mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi
pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif
langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai
penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan
yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha
membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya
didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi
Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu
Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti
(Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung
dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya
suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk
dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur,
seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan
agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya
untuk pengabdian pada sesama.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah
problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang
dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan
penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut
memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana
NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang
telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad
ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus
memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas
negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara,
misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur
harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan
berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai
‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu
Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Etika Politik dan Pemilu 2004
Thomas Koten
Direktur The Justice Advocates Indonesia
Mencermati begitu banyaknya partai yang ingin bersaing
kontestan peserta pemilihan umum (pemilu) 2004, yang tentu saja,
tertutup kemungkinan tercipta persaingan yang tidak sehat, telah
mendorong kita untuk membicarakan kembali perihal etika politik.
fokus lagi, keberadaan multipartai saat ini telah menyentak kita
menjadi
tidak
Lebih
untuk
membicarakan etika politik dalam kaitan dengan pemilu 2004 itu sendiri.
Kecenderungan ini mengacu pada alasan situasional manusiawi
bahwa dalam keadaan terdesak, secara psikologis, setiap parpol dapat
dikatakan akan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih suara
terbanyak dan memenangkan pemilu lewat kekerasan politik atau politik
uang. Kita masih ingat betapa suara sinis yang sering terdengar pada
setiap pemilu di masa-masa sebelumnya. Bahkan, pemilu pada era
pascareformasi 1999 yang dikatakan yang paling demokratis pun, sebenarnya
etika politik demokrasi tidak mendapat tempat yang sebenarnya.
Dengan terjadinya persaingan yang keras dan tajam, dan tidak
tertutup kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat antarparpol,
maka diyakini akan terlihat berbagai akrobat politik saling menjatuhkan
di antara parpol peserta pemilu yang banyak itu. Bahkan, sebenarnya
politik tidak sehat itu sudah terjadi seperti belum lama ini antara kedua
parpol besar: PDIP dan Golkar. PDIP menghendaki seorang capres harus
bebas dari status terdakwa, yang ditujukan pada Ketua Umum Partai Golkar,
Akbar Tandjung. Sebaliknya, Golkar menghendaki seorang capres harus
seorang sarjana, yang tentu ditujukan kepada Ketua Umum PDIP, Megawati
Soekarnoputri yang merupakan capres dari PDIP yang memang bukan seorang
sarjana.
Untuk itu pula, dapat dikatakan setiap masyarakat politik,
parpol, mempunyai 'musuh' dalam selimut, yakni para warga politik itu
sendiri yang hidup bukan demi masyarakat seluruhnya, melainkan
menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumen-argumen politik demi
keuntungan dirinya dan kelompoknya. Karena itulah dalam politik selalu
terjadi persaingan yang tidak sehat sebagaimana ibarat masyarakat
serigala yang dipaparkan oleh filosof Thomas Hobbes lewat adagiumnya,
homo homini lupus. Atau persaingan dalam masyarakat politik itu masih
seperti layaknya binatang berjuang dan menggunakan instrumen konflik
untuk mempertahankan eksistensinya. Sebagaimana dilukiskan sang naturalis
Charles Darwin.
Darwin yang hidup pada paruh kedua abad XIX, yang merumuskan
tentang seleksi alamiah dan membuka peluang bagi munculnya istilah
survival of the fittest telah membeberkan tesis yang mengerikan tentang
hubungan antarmakhluk hidup yang dibangun atas prinsip persaingan dan
penguasaan, dengan berbagai ragam predatornya yang mengerikan. Dalam hal
mana para politikus senantiasa berprinsip bahwa kekuasaan hanya bisa
dipegang dengan jalan diperagakan show of force.
Dikhawatirkan, bila ideologi kepentingan politik tidak berhasil
dijinakkan, terutama pada saat-saat menjelang pemilu 2004, pada saat
situasi sosial masyarakat bangsa seluruhnya masih begitu rawan konflik,
maka masyarakat politik akan terpecah menjadi masyarakat anarkis, atau
lewat dialektika adu kekuatan politik -- membeku dalam masyarakat yang
tiranik, yang meredam segala perbedaan kepentingan politik.
Anarki adalah revolusi dari insting soliter, dari naluri yang
mau mencari kepuasan diri sendiri melawan segala ikatan, hambatan dan
mediasi sosial. Ia mau kembali pada kepekatan nafsu yang tak mengenal
kalkulasi dan konsekuensi: tidak bisa menunda pemuasan hari ini demi
manfaat hari nanti. Sedangkan, kekuasaan tiranik adalah kekuasaan yang
merajalela dengan mengandalkan penggunaan kekuatan secara lugas, leluasa,
dan represif. Dengan kata lain, kekuatan dan kekerasan menjadi monopoli
'bahasa' penguasa.
Dalam setiap masyarakat politik, khususnya masyarakat warga
parpol yang hidup kekaryaannya penuh persaingan politik, senantiasa
bekerja kekuatan sentrifugal yang mengarah pada anarki, dan kekuatan
sentripetal yang menjurus pada tirani. Politik sebenarnya adalah suatu
usaha untuk dapat keluar dari dilema ini. Politik juga sebenarnya adalah
medan kehidupan politik, dunia bersama, yang mampu menggabungkan manusia
hingga mereka tidak saling menerkam satu sama lain, melainkan bekerja
sama demi kepentingan kesejahateraan umum. Setiap politikus diajak untuk
mencari dan memenuhi kepentingan pribadinya di dalam kerangka kepentingan
umum ini.
Politik berusaha untuk menciptakan sirkuit kehendak,
menjembatani kepentingan individual yang majemuk itu hingga terwujud
suatu 'ruang publik' yang mempertemukan aneka ragam kepentingan serta
kebutuhan individual yang berbeda itu. Ruang publik yang menjadi medan
gerak kehidupan politik parpol atau masyarakat politik lainnya, dijaga
oleh tiga pranata sosial: penguasa yang berwibawa, hukum yang adil, dan
arus komunikasi sebagai ungkapan dari hasrat untuk menjelaskan diri dan
mengerti kedudukan pihak lain.
Menurut Hannah Arendt, setiap kegiatan politik yang berlangsung
di ruang publik itu adalah suatu usaha untuk menyelesaikan segala perkara
melalui kata-kata dan persuasi (argumen untuk meyakinkan pihak lain) dan
bukannya melalui kekuatan kekuasaan dan kekerasan politik. Politik adalah
suatu kegiatan sintetis; mengubah benturan niat dan ambisi pribadi
menjadi langkah kerja sama dengan menunjukkan butir-butir yang saling
menguntungkan bagi berbagai pihak. Di situlah letak seninya.
Menurut E Hocking, politik adalah 'seni yang paling praktis'.
Politik, hakikat dasarnya berurusan dengan 'fakta' yang keras, karena
fakta manakah yang lebih keras daripada fakta kepentingan dan hawa nafsu
manusia? Ego manusia bukanlah suatu gugusan sensasi seperti dibayangkan
oleh filosof David Hume, melainkan suatu gugusan nafsu dan kebutuhan akan
segala hal, yaitu kekuasaan.
Politik sebenarnya lahir untuk melindungi kepentingan
egosentrisme, tetapi dengan memperhitungkan hukum dan tuntutan-tuntuan
sosial masyarakat publik-umumnya. Politik sebagai wahana sosial tempat
orang-orang berjuang agar haknya diakui, suaranya didengar dan
kepentingannya dijamin. Singkatnya, politik adalah suatu taktik dan
teknik untuk menciptakan ekuilibrium sosial yang berusaha membawa harmoni
bagi kekuatan-kekuatan yang antagonistik. Namun, bila tidak dikelola
dengan baik, maka politik dapat menciptakan ruang lebar bagi ambisi dan
egoisme pribadi yang berlebihan, untuk meniti tangga kekuasaan sebagai
puncak dari peraihan keuntungan dan kepentingan pribadi. Ujung daripada
itu, adalah di mana politik berputar-putar dalam labirin kekuasaan yang
sesekali meletup dalam peristiwa berdarah.
Oleh karena politik, apalagi permaian politik situasional
seputar pemilu yang sarat dengan pergulatan kepentingan kekuasaan yang
dapat mengerikan sebagai bias daripada naluri ego dan kebutuhan, meskipun
ia memiliki tingkat seni tinggi, maka tidak dapat dipungkiri perlu adalah
sumbangan atau suntikan etika. Etika yang menyitir bahasa kekuasaan yang
bukan penuh kekerasan, keserakahan dan penuh nafsu, melainkan bahasa
tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai jembatan hidup antarmanusia
sebagai makhluk bersosial, bermasyarakat.
Etika pada hakikatnya adalah fenomena masyarakat, sebagai
resultante hubungan antarindividu serta antara individu dengan
masyarakat. Berfungsinya sebuah masyarakat dalam hal ini masyarakat
politik, sedikit banyak bergantung pada nilai dan norma yang menjadi
pijakan yang terbentuk melalui proses evolusi kehidupan bersama. Nilai
dan norma menjadi acuan bagi seseorang atau kelompok dalam mengambil
keputusan, serta mencegah atau paling tidak menyelesaikan konflik
kepentingan antarindividu.
Keberhasilan pemilu 2004 nantinya tidak banyak diukur dari
siapa capres dan cawapres yang terpilih, melainkan juga dari tercapai
atau tidaknya kebebasan berekspresi mengeluarkan pendapat, di mana
persaingan yang terjadi adalah persaingan sehat serta keadilan dan
kesejahateraan yang dicapai di kemudian hari oleh pengabdian para
pemimpin yang terpilih pada pemilu 2004.
Pemilu akan menjadi sebuah pesta demokrasi yang sesungguhnya
tatkala semuanya berlangsung penuh etika yang bermuatan nilai dan normanorma dalam berdemokrasi. Dalam hal ini, etika merupakan terapi atas
totalisasi yang menjadi biang keladi dari segala kerusuhan yang menyayat
sejarah politik. Persoalannya, apakah etika benar-benar mendapat tempat
di panggung politik, apalagi pada saat-saat seperti pemilu 2004 yang
sangat rawan konflik kerusuhan, kecurangan atau manipulasi, kebohongan
dan lain-lain? Rakyat pasti mendambakan sebuah pemilu yang simpatik,
penuh etika politik yang menawan. Apakah tidak bisa tercipta? Sulit
menjawabnya. Mustahil?
M Selzer, menuturkan, ''The morality of politics is the
morality of power, in which the end justifies the means, and in which the
end must always be the expansion of power. No great country was ever
saved by a good man because good men will not go to the lenghts that may
be necessary''. Moralitas politik adalah moralitas kekuasaan, di mana
tujuan membenarkan cara yang diambil dan di mana tujuan itu pastilah
selalu berupa perluasan kekuasaan. Tiada negara besar yang pernah
diselamatkan oleh seorang yang baik sebab orang yang baik tidak akan
sampai hati untuk melakukan apa saja yang mungkin amat diperlukan.
02 May 2004, 22:59 - Esai & Opini
Politik Blukoh
Pesta demokrasi baru saja usai, terlepas masih banyak
kekurangan dan kelemahan. Rakyat sudah memberikan suara, dan memilih
orang-orang yang ‘pantas’ dipilih. Sekarang, sepertinya seluruh rakyat
Nusantara ini sedang menunggu hasil pemilu legislatif 5 April lalu.
Partai-partai calon pemenang sudah samar-samar diketahui. Tetapi ini
semua tidaklah begitu penting. Ada yang lebih penting lagi: seberapa
besarkah hasil pemilu ini memberikan perubahan sosial politik di Negeri
ini?
Setidaknya, pertanyaan ini yang hangat dibicarakan oleh
masyarakat. Masyarakat tidak sedikitpun peduli, siapa yang menjadi
pemenang. Karena bagi rakyat, yang penting adalah, bagaimana dapat hidup
tenang, aman dan cukup bahan makanan serta bebas mencari rezeki tanpa
diliputi rasa takut. Tak banyak tokoh politik yang secara jelas memahami
keinginan rakyat ini. Padahal, andai saja elite politik melakukan survey
tentang kehidupan rakyatnya sebelum melaju ke Gedung Rakyat DPRD, sungguh
sangat mulia. Setidaknya, ia mengetahui persoalan yang tengah dialami dan
dihadapi rakyat yang bakal diwakilinya. Andai saja, elite politik (Caleg,
Capres, pejabat, dll) sesekali mengunjungi desa terpencil, tertinggal,
terisolir, terpinggirkan, terbelakang, dll serta tinggal di sana, ngobrol
dengan masyarakat di warung-warung kopi, balai desa, atau di Blukoh akan
sangat banyak masukan yang didapatkan serta dapat diperjuangkan di
parlemen. Tetapi, nampaknya tugas ini tidak banyak dilakukan, di samping
mentalitas elite politik yang tidak merakyat juga ketokohan mereka sama
sekali tidak mengakar dan memiliki basis sosial yang kuat pula. Praktis
bisa ditebak, mengapa berbagai aspirasi rakyat tidak mampu ditangkap dan
diperjuangkan? Jawabannya, karena mereka sama sekali tidak mengetahui,
bagaimana aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
***
Blukoh dalam pengertian sehari-hari berarti tempat berkumpul,
santai, pertemuan informal antar berbagai macam lapisan masyarakat di
desa (kampung) atau kemukiman. Hampir mirip dengan warung kopi (biasanya
di warung kopi masyarakat biasa ngobrol apa saja dari persoalan kegetiran
hidup, panen padi, bisnis ala masyarakat sampai politik—lahir kemudian
istilah politik warung kopi), Blukoh juga sering digunakan oleh
masyarakat untuk membicarakan apa saja. Tidak ditentukan tema, melainkan
lintas topik dan persoalan, tetapi mengandung pesan penting bahwa
masyarakat sedang membicarakan kondisi, nasib dan persoalan yang sedang
dihadapi. Kadang-kadang topiknya bercampur-campur dan tidak karuan, kalau
dihimpun memiliki sebuah tema sentral dan nampak sistematis. Pembicaraan
kadang-kadang dilakukan dalam kondisi sangat santai, akrab dan mendalam
walaupun mereka berbicara sesamanya, kadang-kadang penuh ketegangan dan
tak karuan. Tidak ada tokoh yang khusus diundang untuk membicarakan atau
membahas sesuatu persoalan. Yang banyak mengetahui biasanya lebih
mendominasi pembicaraan.
Jika istilah Politik Keude Kupi sudah cukup populer dan sangat
banyak dibahas, praktis istilah politik Blukoh belum banyak dibicarakan.
Padahal, sama-sama memiliki nilai kekhasan dan keunikan serta memiliki
arti penting untuk memahami masyarakat. Politik Blukoh adalah ciri khas
masyarakat kampung.
Sebenarnya inilah yang disebut pendidikan politik bagi rakyat
secara tidak langsung: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
(masyarakat). Di dalam forum ini, tidak lahir istilah-istilah ilmiah yang
sama sekali tidak dekat dengan masyarakat, tetapi lebih banyak lahir
istilah khas masyarakat yang memiliki sebuah makna filososif yang
mendalam.
Sebelum pecah konflik, di setiap kampung ditemukan balai-balai
istirahat (di Pidie sering dikenal Blukoh atau Bale—penulis tidak tahu
apakah di tempat lain juga sama). Praktis jika kita berkunjung ke
kampung-kampung, sangat banyak ditemukan anggota masyarakat berkumpul di
tempat ini, dari sekedar santai sampai membicarakan sesuatu yang hangat
terjadi. Kehidupan yang penuh keakraban terhidang sangat rapi dan kompak.
Kondisi sekarang mungkin sudah banyak barubah. Jarang ditemui, anggota
masyarakat berkumpul. Jikapun ada mungkin hanya khusus di siang hari.
Tetapi bukan ini yang menjadi tema kajian kita. Melainkan, bagaimana
sebenarnya apresiasi masyarakat kita dalam memandang sebuah persoalan
politik. Tidak berlebihan jika kita katakan, bahwa masyarakat sebenarnya
sudah mengadakan sebuah forum kajian politik secara tidak langsung di
Blukoh ini.
Kalau sekarang sedang hangat-hangatnya pemilu, otomatis tema
pembicaraan rakyat di Blukoh tidak bisa dilepaskan dari Pemilu. Mereka
lebih banyak membicarakan siapa kira-kira calon presiden mendatang.
Masyarakat—khususnya yang sering membaca koran /nonton TV di warung kopi—
mengetahui secara pasti siapa saja yang bakal mencalonkan diri menjadi
presiden. Nama-nama calon, sikap calon, perilaku dan kiprah politik sang
calon sudah cukup terhafal di memori masyarakat. Di samping itu, mereka
juga mampu memetakan kekuatan masing-masing calon, peluang calon dan halhal lain. Sehingga sekilas, pembicaraan ini ibarat obrolan tim sukses,
pakar atau pengamat. Bedanya, rakyat sama sekali tidak menggunakan
analisi ilmiah atau analisis SWOT (Kekuatan, kelemahan, peluang dan
hambatan), walaupun sebenarnya apa yang mereka bicarakan dan perdebatkan
tidak jauh bedanya dengan analisis SWOT. Tetapi beginilah potret
masyarakat kita, pintar secara alami tanpa pernah mengecap pendidikan
tinggi dan gelar macam-macam.
***
Sangat banyak manfaat adanya Blukoh ini. Tidak banyak tokoh
atau pakar pendidikan yang meneliti secara khusus tentang ini. Fungsinya
hampir mirip dengan Meunasah (surau), yang digunakan oleh masyarakat
untuk shalat. Sedangkan Blukoh tidak di gunakan untuk shalat. Tidak
dipungkiri juga, jika ada masyarakat yang menggunakan Blukoh untuk
shalat. Meunasah sering juga digunakan oleh masyarakat untuk mengadakan
pertemuan, rapat, atau membahas berbagai persoalan yang terjadi dalam
masyarakat. Sifat pertemuannya formal karena melibatkan seluruh perangkat
desa dan biasanya secara khusus diundang/dibuat oleh pimpinan desa/mukim
(keuchik atau imum mukim). Sedangkan pertemuan yang berlangsung di Blukoh
tidak formal, hanya pertemuan biasa dan tidak mengenal jadwal/waktu,
kapan saja masyarakat bisa duduk dan ngobrol di sana.
Dalam blukoh ini, rakyat sebenarnya belajar memberdayakan diri.
Di sana mereka belajar menyelesaikan sebuah persoalan lewat diskusi atau
kajian. Artinya, sebuah persoalan dihadapi dengan rapat dan dengan sikap
rasional. Sering, sebuah persoalan yang sulit diselesaikan sebelumnya
menjadi mudah karena proses pemecahan yang akrab dan rasioanal ini. Jika
kita mau jujur, sebenarnya banyak persoalan masyarakat yang bisa mereka
selesaikan sendiri.
Yang ingin kita sampaikan di sini adalah dengan adanya Blukoh
sebenarnya memudahkan bagi elite-elite politik untuk menyerap aspirasi
masyarakat secara langsung. Sesekali berkunjunglah ke kampung dan bergaul
dengan masyarakat biasa. Tak usah bawa pengawal atau seperti kunjungan
dinas, karena jika begini bakal tidak mampu berbicara dengan rakyat
secara langsung. Rakyat sebenarnya sangat ingin berbicara dengan elite
yang mewakilinya untuk menyampaikan keluhan secara langsung. Tapi jarang
ada pejabat yang mau berbicara dan mengunjungi rakyatnya secara
sendirian. Padahal, jika benar ia mewakili rakyat, sudah pasti dia tidak
merasa takut dan malu berjumpa dengan rakyat.
Penyalahgunaan Demokrasi
Dalam negara demokrasi, partai yang berkuasa berusaha mempropagandakan
idealisme partainya melalui sistem pendidikan. Mereka hanya mengulas
‘text book’ yang sejalan dengan idealisme partai mereka. Universitasuniversitas dipaksa untuk tunduk di hadapan pemerintah karena mereka
ketergantungan secara finansial. Gerakan Proutist harus menciptakan
universitas-universitas dan institusi-institusi pendidikan lainnya yang
terbebas dari kekotoran partai politik, jika tidak maka sistem pendidikan
akan berubah-ubah sesuai dengan jatuh-bangunnya pemerintahan partai yang
berbeda-beda. Kewajiban pemerintah adalah membiayai universitas dan tidak
menginterfensi masalah internal mereka. Sistem penyiaran (broadcasting)
juga hendaknya bebas dari kontrol pemerintah.
Agar tercipta masyarakat yang baik dan sehat maka harus setiap warga
negara baik, sehat dan terpelajar. Para politisi tidak mampu memeprbaiki
kelemahan masyarakat sekarang. Jalannya aksi mereka merugikan pertumbuhan
masyarakat yang sehat.
Ada beberapa bentuk struktur pemerintahan, di antaranya struktur
demokrasi sangat dihargai (oleh sejumlah orang). Demokrasi didefinisikan
sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Namun
dalam kenyataannya demokrasi merupakan kekuasaan mayoritas. Oleh karena
itu demokrasi artinya "mobokrasi" karena pemerintahan dalam struktur
demokrasi dituntun oleh psikologi ‘mob’. Mayoritas masyarakat bodoh;
orang bijaksana selalau dalam minoritas. Sehingga akhirnya demokrasi
tidak lain adalah "foolocracy" (pembodohan rakyat).
Dalam kerangka masyarakat demokrasi pemerintah bisa saja sangat teliti
melalui hukum untuk mengecek korupsi, tetapi pemerintah tidak sepadan
(equally) untuk melaksanakan hukum-hukum itu, karena para pemimpin harus
tergantung pada suara yang dikumpulkan melalui media yang terpengaruh
oleh elemen-elemen anti-sosial. Ada tiga metode penting untuk mengecek
korupsi : (1) pendekatan kemanusiaan; (2) kekerasan ; dan (3) hukum yang
ketat; tetapi dalam masyarakat demokrasi kita tidak bisa menemukan butir
ketiga sepenuhnya, dan tidak ada skup bagi butir kedua di dalam struktur
demokrasi.
Bentuk pemerintahan terbaik adalah diktator yang bijaksana (penuh
kebaikan) oleh para sadvipra. Para sadvipra akan memilih suatu badan
diktator, dan badan itu akan memilih para menteri dan kepala-kepala.
Kepala akan menjadi pimpinan konstitusional. Jika kepala tidak bisa
mengemban tugasnya dengan efisien, badan/lembaga akan menggantinya dengan
memilih kepala yang baru. Sebagai prinsip, maka kediktatoran individu
tidak dapat diterima.
Para sadvipra akan memilih orang-orang yang baik untuk mengemban tugastugas eksekutif dalam pemerintahan maupun non pemerintahan. Mereka juga
akan menominasi jabatan-jabatan resmi yang lebih tinggi. Lembaga ini akan
memiliki kekuasaan untuk memberhentikan mereka apabila ternyata mereka
tidak cocok untuk mengemban tanggungjawab yang diberikan. Bagian sintesis
dari pemerintahan bersifat eleksional sedangkan bagian analisis bersifat
seleksional. Bagian sintesis akan memutuskan kebijakan-kebijakan dan
bagian analisis akan menjalankan kebijakan yang sudah diterima. Jadi
struktur sosio-politik-ekonomi kita akan bersifat ‘selecto-electional’.
Para sadvipra akan mengambil-alih kekuasaan baik melalui revolusi
intelektual atau dengan memobilisasi massa. Tugas dari Proutist adalah
membantu para sadvipra agar menjadi berpengaruh/berwibawa dan untuk
menguatkan tangan-tangan mereka melalui mobilisasi massa. Renaissance
Universal akan mengemban tugas propaganda intelektual dan moralitas.
Cita-cita sosio-ekonomi bisa dibangun melalui dua metode :
revolusi intelektual
revolusi fisik
Revolusi intelektual maksudnya mempropagandakan hal-hal ideal,
tetapi untuk mewujudkan cita-cita ini memerlukan waktu yang sangat
panjang. Masyarakat yang sedang menderita tidak bisa menunggu ini.
Revolusi intelektual hanya mungkin secara teori saja.
Apabila harapan dan inspirasi sekelompok orang – mayoritas atau
minoritas – tidak terpenuhi dalam kerangka demokrasi–revolusi berdarah
(sanguinary revolution) pasti terjadi. Revolusi seperti itu, walaupun tak
diinginkan, namun tak dapat dihindari dan tak dapat dicegah.
Revolusi fisik berarti perang melawan semua komponen yang menentang
prinsip-prinsip kesejahteraan masyarakat. Para Proutist akan memelopori
era baru revolusi melawan semua bentuk kecenderungan memecahbelah dan
kejahatan sosial. Jika hukum suatu negara tidak begitu kuat untuk
memperbaiki tingkah laku orang-orang tak bermoral, maka Proutist harus
melakukan sesuatu yang nyata.
Landasan berdirinya suatu bangsa tergantung pada faktor-faktor berikut :
sejarah umum
tradisi umum
wilayah umum
ras
kepercayaan umum
bahasa umum
sentimen umum
aspirasi umum
Di antara faktor-faktor tersebut yang nomor 1 – 7 adalah faktor-faktor
relatif dan hanya bersifat sementara secara wajar. Dalam hal item nonor 8
bisa merupakan campuran antara mutlak dan relativitas.
Pilkada dan Masa Depan Daerah
Oleh Umar Zunaidi Hasibuan
TANGGAL 27 Juni 2005 merupakan era baru kehidupan berdemokrasi,
khususnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada masa Orde Baru
dan sebelumnya Pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh Lembaga Legislatif
yang merupakan representasi dari pilihan rakyat yang dijatuhkan pada
partai politik ataupun golongan di masa itu. Saat ini, hampir di seluruh
penjuru nusantara disibukkan dengan demam Pilkada, sehingga hampir saja
kasus demam berdarah, polio ataupun busung lapar tidak menjadi topik yang
menarik.
Genderang kampanye mulai ditabuh, meskipun waktu kampanye belum
tiba, sebagian elemen masyarakat mulai terkooptasi dengan tim sukses
masing-masing pilihan, jagoan dan spanduk bertebaran mendukung dan
mempromosikan para calon. Kantor KPU dan Panwaslu dibikin repot dengan
protes dan sanggahan yang tidak jarang berakhir dengan keributan. Namun
itulah demokrasi yang harus kita lalui.
Bagi masyarakat desa, pemilihan pemimpin secara demokratis
sebenarnya sudah lama mereka laksanakan. Mulai dari zaman dahulu
Pemilihan Kepada Desa selalu dilaksanakan secara demokratis. Masingmasing calon yang maju disimbolkan dengan tanaman yang bermanfaat, misal
kelapa, jagung, pisang, padi dan lain sebagainya. Spanduk juga ada, namun
jumlahnya sedikit demikian juga dengan tim sukses.
Pemilihan ini secara kumulatif hampir dapat dikatakan
berlangsung mulus, tanpa ada konflik pada tingkat grass root. Semua
berjalan aman dan damai meskipun kita mengetahui yang berkompetisi
hanyalah tokoh tingkat desa dengan sumber daya dan sumber dana yang
terbatas. Sudah sewajarnya para peserta Pilkada menoleh ke belakang
sejenak, menjadikan proses Pilkades sebagai satu referensi dalam
berdemokrasi secara tertib dan damai.
MenentukanPembangunanDaerah
Sesuai dengan Amanat Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang
sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dijelaskan bahwa Pemilihan Kepala
Negara/Kepala Daerah sebagai suatu proses politik, pada saat melakukan
pemilihan, rakyat memilih Kepala Negara/Kepala Daerah didasarkan kepada
program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon pada masa
kampanye. Sehingga secara jelas dinyatakan dalam Undang-Undang No.25
Tahun 2004 penjabaran dari agenda pembangunan yang ditawarkan pada masa
kampanye oleh calon terpilih.
Merujuk kepada Undang-Undang N0.25 Tahun 2004 maka calon kepala
daerah penyampaian visi, misi, strategi, program serta sasaran yang ingin
dibangun oleh peserta Pilkada. Mestinya di sosialisasikan kepada
masyarakat pemilih sehingga masyarakat dapat menilai dan memahami akan ke
mana arah pembangunan daerah mereka pada 5 (lima) tahun ke depan dibawa
oleh Kepala Daerahnya. Masyarakat juga dapat melihat nantinya apakah
janji yang ditawarkan memang merupakan komitmen yang dipenuhi atau hanya
Lips Service.
ProblemaMasyarakat
Dari sisi masyarakat kita melihat bahwa problema yang dihadapi
masyarakat cukup banyak dan sifatnya kompleks ditinjau dari segi ekonomi,
jumlah masyarakat miskin cukup banyak, krisis ekonomi yang belum teratasi
dengan baik menyebabkan jumlah masyarakat miskin di perkotaan dan
perdesaan meningkat.
Antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah angkatan kerja yang ada
tidak sebanding sebagai akibatnya munculnya pengangguran baru atau
pengangguran terselubung yang bertambah setiap tahun. Kualitas pendidikan
dan kesehatan juga belum menggembirakan, karena dari pendapatan yang
minim biaya untuk sektor ini dianggap masih sebagai barang mahal.
Fasilitas prasarana dasar masih dinilai barang langka, listrik,
air, jalan dan drainase masih di tingkat kota apalagi telepon dan gas.
Ekses dari semua ini maka tidak heran bila muncul kerawanan sosial. Hal
yang perlu dicermati oleh peserta Pilkada karena pada akhirnya dapat
mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban di daerah.
HarapanMasyarakat
Bagi masyarakat awam siapa pun figur yang terpilih bukanlah
menjadi bahan yang perlu diperdebatkan, namun yang penting bagaimana
nasib mereka dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk dapat berubah
diperlukan suatu konsep dari calon Kepala Daerah yang benar-benar
berpihak kepada masyarakat bawah.
Konsep ekonomi kerakyatan harus menjadi pilihan utama dengan
melakukan pembangunan perdesaan atau daerah pinggiran, melalui konsep
pembangunan sumber daya masyarakat (Community Resources Development).
Dengan, menjadikan pedesaan ataupun daerah pinggiran sebagai basis
perekonomian maka akan dapat menumbuhkan Out Put dan meningkatnya
pendapatan lokal, terciptanya lapangan pekerjaan, adanya peningkatan
distribusi pendapatan, perbaikan kualitas hidup, pemberdayaan masyarakat
serta mencegah urbanisasi ke perkotaan. Untuk itu perlu dilakukan
pemberdayaan masyarakat (People Empowerment) sesuai culture dan potensi
yang dimiliki dan melakukan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan.
(Sustainable Community Development)
ANALISIS
I. Masyarakat Madani
Dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau
SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih
belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat
madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap
sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian
kekuasaan, bukan pada aturan main.
Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18
dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari
pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika,
dimana negara mempunyai posisi yang lemah. Hal itu bertentangan dengan
prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan
Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang
demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi
harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak
karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara
modern.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga
keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat
juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak
bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota
masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan
demokrasi.
Pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau
melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman
dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi
hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah
distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian
kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan
pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di
samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses
pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
II. Masyarakat Politik
Setiap masyarakat politik, parpol, mempunyai 'musuh' dalam selimut,
yakni para warga politik itu sendiri yang hidup bukan demi masyarakat
seluruhnya, melainkan menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumenargumen politik demi keuntungan dirinya dan kelompoknya. Karena itulah
dalam politik selalu terjadi persaingan yang tidak sehat sebagaimana
ibarat masyarakat serigala yang dipaparkan oleh filosof Thomas Hobbes
lewat adagiumnya, homo homini lupus. Atau persaingan dalam masyarakat
politik itu masih seperti layaknya binatang berjuang dan menggunakan
instrumen konflik untuk mempertahankan eksistensinya.
Politik juga sebenarnya adalah medan kehidupan politik, dunia
bersama, yang mampu menggabungkan manusia hingga mereka tidak saling
menerkam satu sama lain, melainkan bekerja sama demi kepentingan
kesejahateraan umum.
Agar tercipta masyarakat yang baik dan sehat maka
harus setiap warga negara baik, sehat dan terpelajar.
Demokrasi didefinisikan sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat". Namun dalam kenyataannya demokrasi merupakan kekuasaan
mayoritas. Oleh karena itu demokrasi artinya "mobokrasi" karena
pemerintahan dalam struktur demokrasi dituntun oleh psikologi ‘mob’.
Mayoritas masyarakat bodoh; orang bijaksana selalau dalam minoritas.
Sehingga akhirnya demokrasi tidak lain adalah "foolocracy" (pembodohan
rakyat).
PAGE
PAGE
1
<
@
M
e
=
>
L
M
O
X
t
#
,
~
•
”
œ
®
»
)
8
ë
6
|
y
†
e
o
¶
Ã
û
f
x
¨
µ
©
Å
•
š
?
M
‘
Ä
0
;
îÞÖËÖÁº¶
Ö¦˜Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•
h nÕ 6 •B* ] •ph
h nÕ B* OJ QJ ^J ph
- h nÕ >* B* OJ QJ ^J ph
h nÕ
‚
•
h nÕ 5 •\ •
h nÕ 0J B* ph
h nÕ B* CJ OJ QJ ^J ph
=
M
õ
f#
¼
U%
“
k'
É
ô
Ï)
ˆ
õ
æ
£
¤d [$ \$ `„Å a$
¤d ¤d [$ \$ `„Ð a$
"-
h nÕ 5 •B* \ •ph
" h nÕ >* B* CJ OJ QJ
õ
æ
É
æ
Ü
É
£
£
É
£
$
$
-
P-
É
¶
h nÕ B* ph
^J ph
7
„Ð dh
$ dh
¤
¤
¤
a$
[$ \$ `„Ð a$
£
„Å dh
¤d
$ „Ð dh
$ dh
¤d ¤d [$ \$ a$
$ dh
¤ a$
;
—
¦
õ
Ú
J
`
a
b
¡
- "- B- É Ð e
r
Ó
á
µ# Â# 6$ E$ :& D& ž( «( •) Ž) Ï) ½, 4- A- D- —- ¬- ¹æ?0 ®0 »0 ¼0 ½0 k2 x2 ð2 ý2 X3 f3
4 £5 ½7 é7 ¸8 Û8 (;
;; ‡A ”A %B 3B &E /E #J 1J €K ŽK
L &L ÐL ÞL
O +O bO
wO ’O ¨O ÏO ÕO
S
S ‘T ÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷â÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷
ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷Ò÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ h nÕ B* CJ OJ QJ aJ ph
h nÕ 0J B* ph
h nÕ 6 •B* ] •ph
h nÕ B* ph
SÏ) ¾, À, æA0 $2
4 ¤5 ¦5 D6 ¶8 ¸8 Û8 ì
Ý
Ê
Ý
·
¤
•
Ý
z
Ý
z
k
$ dh
¤
¤ [$ \$ a$
$ „Ð dh
¤
„- „´ÿ dh
¤
¤ [$ \$ ^„`„´ÿa$
$ „Ð dh
¤d ¤d [$ \$ `„Ð a$
\$ `„Å a$
$ „Å dh
¤
¤ [$ \$ `„Å a$
¤
$
[$ \$ `„Ð a$
„Å
dh
¤d
$
¤d [$
$
dh
¤
¤
[$ \$ a$
$
„Å
dh
¤
¤
[$ \$ ^„Å a$
Û8
î:
ð:
>
á
¬
>
ÂA
öD
¿
$
[$ \$ `„Ð a$
øD
¨G ªG
á
¬
™
¤
ÄA
Î
ð
„Ð
dh
J
J
²L
ð
¤
ð
¤
ÞP
àP
Î
™
[$ \$ `„Ð a$
•S
¿
™
$
V
ð
ð
„Ð
dh
¤
ð
$
dh
¤
¤
[$ \$ a$
$
„Ð
dh
¤
¤
[$ \$ `„Ð a$
$
dh
¤
¤
[$ \$ a$
$ dh
¤
¤ [$ \$ a$
Ÿj ¶j Ýk êk !r "r å|
‘T
æ|
¦T
´X
ºX
^
*^
\`
z`
†`
/i
@i
ƒ
…
ª
§¼
h
„ \… ]… c… d… †… ”… —
â Ê¢ 㢠9§ B§ ø§
¨ è
„« Œ« é¬ ñ¬ n¯ v¯
°
°
•¼•¼•¼•¼•¼•¼•¼ ¼ ¼ ¼ ¼ ¼
nÕ 0J
h nÕ 0J 5 •CJ \ •
Ϩ
µ²
Vª
ʲ
lª
·´
rª {ª †ª –
ôìôìôìßÔìôìôìôìÊìÊìôìÀ¼¶¼-
h nÕ 6 •] •
h nÕ CJ
h nÕ 5 •CJ \ •
h nÕ CJ
h nÕ
h nÕ B* CJ ph
h nÕ >* B* ph
h nÕ 5 •B* \
•ph
h nÕ 5 •B* CJ
\ •ph
h nÕ B* ph
h nÕ 6 •B* ] •ph
5 V
V K\ M\ H` I`
J` K` L` M` N` O` P` Q` R` S` T` U` V` W` X` Y` Z` [`
\` ð
Ý
ð
Ý
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
Î
$
dh
¤
¤
[$ \$ a$
$
„Ð
dh
¤
¤
[$ \$ `„Ð a$
$ dh
¤
¤ [$ \$ a$
b… c… d… †… –… —
… Ä¢ ð
ä
¼
º
º
®
$
$
¤
¤
¤
¤
[$ \$ a$
[$ \$ a$
\`
z`
°`
±`
ä
\…
]…
^…
Ø
º
¥
¤
[…
¤ [$ \$
$ a$
`…
a…
Ð
º
™
_…
Á
º
™
—
Æ
$ dh
$
„
dh
dh
¤
¤
¤
[$ \$ a$
a$
¤ [$ \$
$
dh
a$
$ dh
¤
¤ [$ \$ a$
.« ä¬ i¯ Á° ý°
± #±
÷
÷
é
é
ä
Ò
·
ä
$ „h dh
`„h a$
Ģ Ţ Ƣ
)² ;³ ·´
÷
é
Ò
Ǣ Ȣ
µ ÷
É¢
Ê¢
ã¢
÷
õ
é
Ǧ
é
é
Ã
Ø¥
é
·
å¨
÷
$
&
F
dh
dh
$ „Ð
¤d
¤d
dh
¤d [$ \$ a$
¤d [$ \$ a$
`„Ð a$
$
$ a$
$ dh
a$
·´
×´
µ
µ
µ
µ
µ
µ (µ *µ /µ ?µ Aµ Lµ Nµ [µ ]µ jµ lµ 7¶ :¶ X¶ ]¶ r¶ I½ d½ ~Á •Á
}Å ŽÅ ŸÉ
É ¢É ÀÉ «Ë ¹Ë ØÑ ÚÑ òÑ ©Ó ºÓ XÔ 1Õ 2Õ ›Õ ¤Õ
ZÖ eÖ %× 1× H× I× J× ÷ó÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ìóæÓ˾˳˳˳˩óìËžËó”ËžËóæó
ŽóŽóŽóæ†
j
h nÕ U
h nÕ 0J
h nÕ B* CJ ph
h nÕ 6 •B* ] •ph
h nÕ B* CJ ph
ÿ
h nÕ 5 •B* \ •ph
h nÕ 5 •B* CJ \ •ph
h nÕ B* ph
% h nÕ 0J
5 •B* CJ OJ QJ \ •ph
h nÕ CJ
h nÕ 5 •\ •
h nÕ
h nÕ 0J
5 •\ •4 µ
µ
µ
ÆÂ
í
*µ /µ
%Ä í
Aµ
Nµ
]µ
í
í
Ó
$
$
$
dh
„Ð
¤
„h
7¶
:¶
¤d [$ \$ a$
X¶
s¶ w¸
í
á
dh
a$
’»
I½
$
z¿
Õ
Ã
Ã
·
a$
dh
$
%Ä
}Å
ÂÆ
ŸÉ
É
¡É
¢É
~Á
í
Ã
Ã
$
º
Õ
Ã
Ã
dh
`„Ð a$
¤ [$ \$ a$
dh
`„h a$
¤d
9¶
í
í
Ë
Ã
&
F
lµ
«É
ÀÉ
‘Ë
“Ë
Î
Î
{Ï
ØÑ
ò
Í
ÚÑ
ð
ñÑ
XÔ
Ù
¯
›Õ
ð
G×
÷
÷
Í
¯
÷
î
ì
Ù
¯
Ù
Ù
Ù
¾
$
dh
¤
¤
[$ \$ a$
$
$
dh
¤
$ a$
_× `×
â
â
¤
¤ [$ \$ a$
[$ \$ a$
$ „Ð dh
$ dh
a$
G× H× I×
k× l× m× n× o× ó
â
â
â
Ù
×
â
ä
¤
„üÿ „
¤
K×
&`#$
â
¤
L×
ä
[$ \$ `„Ð a$
N× O× Q× R× T× U× ^×
â
â
â
â
Ù
×
×
$ dh
¤
$ „Ð dh
a× g× h×
¤ [$ \$ a$
`„Ð a$
J× L× M× O× P× R× S× U× V×
i× j× k× n× o× üôüôüôüêäêäüêäêÙêäüÓ
h nÕ CJ
hÏ?™ 0J mH nH u
h nÕ 0J
j
h nÕ 0J U
°ÈA!°Ü "°¥ #•Ü $•¥ %°
°Ð °Ð
j
h nÕ U
h nÕ
0 &P
\×
]×
^×
1•h °ƒ.
`
•Ð
6
6
6
>
6
6
6
H
6
6
6
6
6
6
6
6
6
ð
0
0
0
0
0
0
0
6
6
6
6
6
6
6
6
˜
v
6
6
6
6
6
6
v
6
6
¸
6
6
6
v
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
@
@
@
@
@
@
@
nH
P
P
P
P
P
P
P
`
`
`
`
`
`
`
p
p
p
p
p
p
p
tH
sH
^
˜
˜
˜
v
6
6
6
6
6
˜
v
6
6
6
6
6
˜
v
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
€
€
€
€
€
€
€
•
•
•
•
•
•
•
@
À
À
À
À
À
À
8
`ñÿ
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
X
@
ž
v
ž
v
6
¨
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
à
à
à
à
à
à
ø
ð
ð
ð
ð
ð
ð
ž
v
6
6
6
6
6
6
°
6
6
V
6
6
6
6
6
6
6
6
~
(
6
6
6
6
6
6
6
2
2
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
h
6
6
6
À
6
Ð
Ø
è
_H
mH
6
à
N o r m a l
CJ
_H
aJ
mH
sH
tH
P
@
P
H e a d i n g
1
¤ð @&
5 •>* KH$ OJ
QJ
\ •^J
D
D
H e a d i n g
2
$
$
dh
@& a$
CJ
D
@
D
H e a d i n g
3
$
$
dh
@& a$
CJ
\
@
\
B* CJ
ph
H e a d i n g
V @ R V
4
"
$
$
dh
¤d
¤d @& [$ \$ a$
5
¤d
H e a d i n g
¤d @& [$ \$
5 •CJ
OJ
QJ
\ •aJ
b
@
b
6
"
òÿ¡ D
$
H e a d i n g
$ dh
¤d ¤d @& [$ \$ a$
5 •B* CJ
\ •ph
D A`
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
V i óÿ³ V
0
T a b l e
N o r m a l
ö
4Ö
4Ö
l aö
( k ôÿÁ (
0
N o
L i s t
:V
< & ¢ ñ <
F o o t n o t e
R e f e r e n c e
* W@¢
*
S t r o n g
5 •\ •< B@
<
B o d y
T e x t
¤d
¤d [$ \$
D
@
" D
F o o t n o t e
T e x t
¤d
¤d [$ \$
J C@
2 J
B o d y
I n d e n t
T e x t
¤d ¤d [$ \$
> Z@
B >
P l a i n
T e x t
¤d
¤d [$ \$
> þO¢ Q >
j 1 1
5 •CJ
OJ
QJ
\ •aJ
o( phÌ 3
B ^@
b B
N o r m a l
( W e b )
¤d
¤d [$ \$
4
@
r 4
F o o t e r
Æ
à À!
. )@¢ • .
P a g e
N u m b e r
> P@
’ >
B o d y
T e x t
2
$ dh
a$
PK
E÷…þƒÐ¶Ørº(¥Ø΢Iw},Ò
ä±-j„4
! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xml¬‘ËjÃ0
Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã
“óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô
“^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù*
D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù
$€˜
X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .—
·´aæ¿-?
ÿÿ PK
! ¥Ö§çÀ
6
_rels/.rels„•ÏjÃ0
‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ
» „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç
šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½•¨eªÔ-е¸ùÖý
ÿÿ PK
! ky– ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xml
ÌM
à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K
Y,œ
ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Տ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+&
8ý
ÿÿ PK
! –µ-â–
P
theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw
toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰–
ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ
!)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—–
¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe
bÖö€OÀ•†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu
¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi–
@öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà
ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä`
- ÚïgÔ
Ș³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ßã¢
dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö
ð:Á¥ ;ä˹!Í
I_ÐTµ½ S
1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó
$”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£
x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I
u3 KGñnD 1÷ N
3Vq%'#q¾ Ã ÓòŠÍ
IB Òsü€•
íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i
~™Vé
þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ
Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕
~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ–
}KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?
¢ íqU ßån†èwð N ºû
%Ž»O¯ ·ièˆ4
=3 Ú—Pª•
ÓäïÊ1£P•m
\\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì
eW÷
¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ
išd
ûDЇA½Îœ
óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú
IqbJ#xÌ꺃
6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m•‡&]ÙcaS l=•XíòÀ
¯èáü\P•1»Mh
Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJÃ­P |8¯
Ö„ AÛ V^…ó¹f
ÌH ín÷ÞÜ-Æ
é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹
€Ø©ð‘>ä•bµ ·–
&û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ
Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD
¢à •ØDìcp¿
UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd
7y\È`ÞJân•² åίŠIù
R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m
q¨BiDý¾€ÆÁÔ
ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D
ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y
›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M
 ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· Íҏ¿
ÿÿ PK
!
яŸ¶
'
theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M
Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5
6?$Qìí
®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r
'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß
ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ
6
+
_rels/.relsPK ! ky–
ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xmlPK ! –
µ-â–
P
Ñ
theme/theme/theme1.xmlPK !
яŸ¶
'
›
theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK
]
–
<?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?>
<a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main"
bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1"
accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5"
accent6="accent6" hlink="hlink" folHlink="folHlink"/>
oÏ
ô
ÿÿÿÿ
Û8
$
V
$
\`
$
Ä¢
'
µ
%Ä
;
G×
‘T ·´ J× o× l
o× m
o
p
r
n
s
q
t
u
v
y
w
Ï)
x
'
€€€ ÷
!•
!Tÿ•€
ð’
ð
ð
ð
ðB
ð8
ð
ð
@ -ñ
ð0
ð(
ÿÿ
ÿ
S
ð-
¿
!
v
u
»
Ë
¼
ÿ
$
‚
Æ
%
ƒ
Ç
?
/
‹
Í
0
Œ
Î
2
•
Ö
ð
>
•
×
D
™
Þ
E
š
ß
L
¡
ä
O
¢
å
V
¬
ë
X
¯
ù
b
±
ÿ
c
²
i
¶
o
·
.
|
Ñ
!
9
‡
8
†
Õ
Ö
"
<
Œ
Ú
&
=
Ž
á
'
C
”
ç
D
•
è
I
¢
ð
R
£
ü
\
§
]
¨
c
®
d
Â
j
Ç
k
È
s
Ê
t
Ë
{
Ð
%
1
…
¡
÷
$
‰
î
ï
&
,
-
2
–
¢
7
8
?
J
Q
S
X
Y
_
`
j
p
w
x
~
•
ª
«
³
´
À
Á
É
Ê
Ñ
Ò
Ù
Ú
Þ
ß
é
ì
+
Š
2
”
3
š
:
¤
d
j
Á
k
Ä
u
Ê
v
Ë
ó
ô
ø
=
¥
A
©
H
·
U
¹
º
|
Ô
~
Õ
ƒ
Þ
„
ê
|
ž
ú
•
Ÿ
û
‚
§
ÿ
!
}
'
ƒ
(
„
'
Œ
¨
5
–
-
/
‡
0
ˆ
=
>
G
H
N
\
b
c
m
n
t
u
{
®
´
µ
º
»
È
É
Ï
Þ
æ
ç
ò
ó
:
;
?
N
[
\
c
i
m
n
s
t
{
•
•
˜
™
œ
•
¥
¦
®
µ
À
Å
Æ
Í
Î
×
Ø
à
á
æ
ç
í
ô
ú
û
ÿ
&
+
:
A
B
E
F
S
T
X
Y
_
e
l
n
t
{
ˆ
‰
•
•
›
œ
¡
£
ª
«
¯
°
·
¸
»
¼
Å
Ì
Ð
Û
â
ê
ð
n
²
v
u
·
½
"
}
Ã
.
~
5
…
Ë
Ä
#
j
Ï
k
Ð
t
Ô
}
Õ
†
Ù
9
‡
Ì
$
‡
â
?
Ž
Ð
/
’
è
@
•
Ñ
0
“
é
G
“
Ø
6
™
ó
ô
H
”
ä
7
L
œ
é
=
¦
ú
M
Ÿ
ê
>
§
û
V
¥
ó
C
-
X
¦
õ
D
Á
c
¬
þ
W
Æ
d
ÿ
X
Ç
h
±
^
É
e
Ê
Y
«
ê
$
*
4
6
;
?
D
E
J
K
Q
U
Z
[
c
d
j
n
s
t
|
•
„
…
Š
‹
•
–
œ
•
¡
¢
¦
§
¯
°
¸
¹
¾
¿
Å
Æ
Í
_
¬
j
¸
k
¼
(
q
Å
:
|
Æ
F
„
Ì
G
…
Í
O
Š
×
P
‹
Ø
T
‘
Þ
U
¨
ß
Î
Ò
Ó
Û
á
é
ê
ï
ð
ø
ù
)
*
.
/
5
6
:
;
A
B
J
N
T
U
X
Y
_
a
f
Œ
‘
’
”
•
š
›
¥
¦
®
¸
¹
¿
Á
Æ
Ç
Ì
Í
×
Ø
Ü
Ý
ä
å
í
î
ò
-
$
,
8
>
?
I
J
O
P
\
]
c
d
n
u
z
{
•
“
™
š
£
¤
¯
°
³
´
¹
º
Å
Æ
Ë
Ì
Î
Ï
Ó
Ô
Ø
à
é
ê
ó
ô
ù
ú
)
*
/
1
4
5
7
8
<
C
M
N
R
S
Z
[
d
p
z
•
‡
“
—
˜
§
¨
®
¯
µ
Æ
Í
Î
Ö
×
á
â
ç
è
ì
í
ú
!
#
)
*
3
4
>
?
F
G
I
J
O
P
T
b
e
f
o
p
x
y
•
€
Š
‹
‘
’
¡
¢
§
»
À
Á
Ã
Ä
É
Ì
Ò
Ó
Û
Ý
ã
ä
î
ï
õ
ö
ÿ
g
n
˜
û
t
•
x
ž
%
‚
y
¨
Å
'
ƒ
Ê
,
ˆ
Ë
0
‰
Ñ
>
’
Ò
E
“
Ø
M
N
Z
[
`
a
f
—
Ù
Û
Ü
à
æ
ë
ì
ð
S
-
_
²
`
³
g
f
¹
º
#
p
¿
ö
n
o
r
v
‚
%
w
À
ƒ
+
}
Ë
"
ˆ
,
~
Ì
#
‰
6
•
Ø
'
•
7
‚
Ù
*
Æ
<
Œ
á
2
Î
=
•
ã
9
è
B
¡
æ
>
ò
C
¢
ç
M
ô
L
§
î
R
ý
M
¨
ï
S
R
«
õ
]
c
~
ž
â
4
§
ä
‡
Ÿ
ê
<
ª
é
(
‹
)
Œ
o
œ
ß
w
£
ä
L
R
˜
ö
•
¥
ñ
M
«
ê
#
•
¦
ó
T
¯
ò
$
–
±
û
U
°
õ
3
—
&
x
¤
å
4
˜
0
•
¬
ë
9
Ÿ
1
‚
ì
S
œ
þ
[
•
ÿ
\
¦
H
I
Q
R
V
³
¶
·
¼
½
Å
Æ
ü
ü
c
¶
Þ
:
Ò
ç
>
7
8
•
°
ð
}
~
/
†
l
»
n
¼
è
`
Ï
Ð
$
o
u
v
}
×
Ø
Û
Ü
-
q
À
r
Á
ô
{
É
û
|
Ò
ü
„
Ø
‘
Ù
–
Ü
Ý
ã
ó
?
I
b
g
h
m
n
r
s
{
„
;
<
B
P
V
W
a
b
h
i
n
º
À
Á
Ä
É
Î
Ï
Ó
Ô
Þ
Ø
‡
c
W
#
a
µ
§
%
•
=
³
ñ
d
°
–
¹
÷
ø
"
#
+
,
.
/
7
:
@
A
K
i
j
u
{
•
‚
‰
Š
‘
’
—
¶
¾
¿
È
Ñ
×
Ø
à
á
è
î
õ
0
6
7
?
@
G
H
R
S
X
Z
d
‡
‹
Œ
•
•
¥
¦
¯
°
´
µ
º
»
Ã
Ä
Ò
á
ã
ï
ö
÷
þ
ÿ
!
"
%
&
+
,
3
4
7
8
>
?
A
R
\
]
d
e
h
i
o
q
w
}
‡
ˆ
“
”
™
š
¡
¢
¯
°
¿
À
É
Ë
Õ
×
Ú
Û
ä
ç
í
î
ó
ô
ú
û
x
#
€
.
!
v
¼
)
z
È
G
Î
H
Å
*
{
Ô
Q
Ç
.
€
?
‰
Ø
Õ
S
È
6
•
X
Ï
k
Ð
@
Š
Ù
v
Ù
H
•
á
~
Ú
N
•
ä
U
š
é
V
›
ê
[
¡
î
\
§
ï
b
ó
c
®
ô
i
¶
ù
j
·
ÿ
u
»
"
#
&
'
1
2
:
;
?
@
ˆ
‰
•
‘
˜
™
§
«
¬
´
à
á
ç
è
ð
ñ
ô
õ
ú
û
ÿ
!
g
™
&
r
ª
'
s
±
.
x
²
/
z
¸
5
•
<
•
¹
E
–
Â
H
M
N
T
U
Y
Z
_
`
f
Î
Ð
Ò
Ý
ã
ä
ë
ì
ö
÷
—
Å
j
°
õ
-
k
±
ö
r
¸
-
"
z
s
¹
-
½
-
#
•
¾
-
(
„
Ã
)
…
Ä
,
Š
Ê
5
‹
Ë
>
“
Ó
?
”
Û
H
š
â
N
›
ã
S
¤
è
Z
¥
é
_
¬
ð
`
ñ
- !- '- (- .- 4- 9- D- N- W- d- e- l- my- z- •- €- †- ‡- Œ- •- –- ™- ž- Ÿ- ¥- ¦- «- °- ¸- ºÀ- Á- Ç- È- Í- Î- Ó- Ô- Ú- Û- á- â- ë- ì- ö- ü-
{
á
>
”
ý
!
|
ä
•
ê
?
•
þ
‚
ë
F
•
!
' ( - . 7 = H I Y Z a b g
Œ • — ˜ ž Ÿ ¤ ¥ ° ± · ¸ Á  É
÷ ø þ ÿ
$
%
G
K
^
g
h
n
q
v
w
|
}
¬
µ
¶
¼
½
Ã
Ä
Ê
Ø
á
ã
!
k
Ï
,
…
ê
p q v
Ö × Ù
7
†
•
ì
ñ
wÚ8
Ž
ò
!
!
! !! "! '! (! ,! 3! 5! 6! ;! >! C!
_! `! f! i! m! n! s! t! w! y! €! •! —
! ˜!
! ¡! ¦! §! ®! ¯! ¶! º" Ã" À$ Æ$ Ç$
í$ ù$ ú$ ÿ$
%
%
%
E!
J!
K!
U!
V!
Ñ$
Ò$
Ô$
Õ$
Ù$
%
%
%
%
%
% !% %% &% .% 3% A% D% š% £% ¥% «% º% ¿% À% Ç% È% Î% Ï% Ó% Ô% Ù%
Ú% Ý% ß% ä% æ% ê% ë% õ% ö% ü% ý%
& 9& B& ’& ™& G( J(
g( p( q( w( •( „( …( ‰( Š( ‘( ’( š( ›( Ÿ(
( -( ½( Ã(
Ä( Ê( Ò( Û( Ü( à( á( æ( ç( ð( ñ( ö( ÷( ü( ý(
)
)
)
)
)
)
)
)
)
) $) %) )) *) /) 0) 8) 9) ?) @) E) F)
N) O) V) X) _) `) h) i) o) p) u) {) •) ‚) Š) ‹) •) ‘)
™) š) ¦) ¨) ±) ²) ») ¼) Â) Ã) Ç) È) Î) Ï) Õ) ×) Ý) Þ)
ã) ä) í) î) ó) ô) ø) ù)
*
*
*
*
*
*
*
* "* 3*
ƒ* „* Š* ‹* ”* –
* ›* œ* ¡* ¢* «* ¬*
ç* è* ï* þ*
+
+
+
8*
G*
S*
T*
W*
X*
b*
c*
j*
y*
}*
~*
·*
¹*
Ã*
Å*
Ì*
Í*
Ñ*
Ò*
Û*
Ü*
ã*
ä*
+
+
.
.
.
+
+
+
+
!+ &+ '+ *+ ++ 6+ 9+ >+ ?+ I+ O+ V+ f+ o+ p+ w+ x+ ‚+
ƒ+ ˆ+ ‰+ •+ Ž+ ™+ š+ ¥+ ¦+ ©+ ª+ ³+ »+ À+ Á+ Ë+ Ì+ Ï+
Ð+ Ù+ ß+ è+ é+ ð+ ñ+ þ+
,
, ³, º, Ö, â, ¦- ª- «- ²³- À- Á- Ê- Ð- Ù- Ú- ß- à- æ- ï- ó- ô- ø- ù- ý- þ.
.
.
.
.
.
!. .. /. 9. :.
~. †. Œ. –. —
. ›. œ. ¡. ¢. ¥.
ý. þ.
/
/
@.
F.
P.
Q.
X.
^.
c.
d.
m.
n.
t.
u.
}.
¦.
±.
³.
º.
».
Ã.
Ä.
Í.
Ö.
Û.
Ü.
å.
õ.
/
/
/
Ý0
1
1
1
/
ç0
/
è0
/
î0
%/ &/ // 0/ 3/ 4/
ï0 ô0 õ0 û0 ü0 ÿ0
=/
1
¶0
¼0
Æ0
Ç0
Í0
Î0
Ð0
1
1
1
1
1
1 1
1 &1 '1 .1 :1 ;1 D1 E1 L1 M1 Y1 Z1 ]1 ^1 k1 l1 n1 o1 u1 v1 }1
~1 ƒ1 „1 •1 •1 —
1 ˜1 ¤1 ¥1 º1 »1 É1 Ê1 Í1 Î1 Õ1 Ö1 Û1 Ü1 á1 â1 é1 ë1 ò1
2
2
2
2
2 52 62 >2 ?2 D2 E2 M2 N2 Y2 î2 ð2 ù2 ú2 ý2 þ2
3
3
3
3
3
3 -3 3 &3 >3 F3 G3 T3 U3 \3 a3 f3 g3 n3 o3 x3 y3 €3 •3 ‰3 Š3
”3 •3 ˜3 ™3 ¦3 §3 °3 ±3 ¶3 ·3 Ã3 Ä3 Ì3 Í3 Ó3 Ö3 Û3 Ü3
ä3 å3 ï3 ð3 ù3 ÿ3
4
4
4
4
4
4
4 $4 %4 .4 94 :4 =4 >4 F4 G4 L4 M4 ]4 ^4 b4 c4 j4 k4 p4 q4 u4
v4 €4 •4 ‡4 ‰4 •4 ‘4 š4 ›4
4 «4 ³4 ´4 ¸4 ¼4 Ç4 È4 Í4
Î4 Ñ4 Ò4 Þ4 ß4 å4
6
6 %6 +6 36 46 96 :6 B6 O6 R6 S6
^6 _6 d6 e6 m6 n6 u6 v6 }6 ~6 †6 ‡6 Œ6 •6 ‘6 ’6 š6 ›6
6 ¡6 ®6 ¯6 µ6 ¶6 À6 Á6 Ç6 È6 Î6 Ï6 ×6 Ø6 ß6 à6 ê6 ë6 ñ6
ò6 ý6 þ6
7
7
7
7
7
7
7
7 7
7 (7 )7 37 67 <7 >7 E7 F7 R7 S7 Z7 b7 g7 m7 t7 x7 €7 †7
‹7 Œ7 •7 –
7 ›7 œ7 £7 ¤7 ª7 «7 °7 ±7 ¶7 ·7 Á7 Â7 Å7 Æ7 ×7 Ø7 Þ7 ß7
é7 ê7 ð7 ñ7 ô7 ÷7 ý7 þ7
8
8
8
8
8
8 "8 Ä9 Ì9 Í9 Ô9 Õ9 Ý9 Þ9 æ9 ç9 ë9 ò9
ø9 ù9
:
:
: -: $: 4: 8: 9: A: I: O: P: R: S: X: Y: `
: a: f: g: n: q: }: ƒ: Œ: •: ’: “: Ÿ:
: ¤: «: °: ±: º:
»: Ä: Å: Ë: Ì: Ö: ×: á: â: è: é: î: ï: ÷: þ:
;
;
;
;
;
;
; -; ; "; #; ,; 4; :; @; A; F; G; M; N; V; Y; _; `; h; j; v; w; }; ~;
ˆ; ‰; •; •; ™; š; Ÿ;
; ¤; ¥; ©; ª; ®; ¯; ·; ½; Â; Ã;
Ê; Ë; Ó; Ô; Ù; Ú; à; è; ð; ñ; ÷; ø;
<
< <
<
<
<
<
<
< !< %< &< *< +< 3< 5< >< @< H< J< M< T< Y< Z< `< a< g<
h< m< n< t< u< ƒ< „< ‰< Š< —
< ˜< Ÿ<
< ©< ¯< µ< ¶< À< Á< Ð< Ñ< Ú< Ü< å< ö< ø<
=
=
=
=
=
=
=
= $= &= /= 3= 8= ?= D= E= J= K= W= X= b= c= i=
j= p= q= u= v= ~= •= Š= ‹= •= •= œ= •= ¦= ¨= -= ®= ²=
³= ½= Ã= È= É= Ö= ×= Ü= Ý= é= ë= ÷= ø=
>
>
>
>
>
>
>
>
> -> &> '> /> 0> 9> :> @> A> G> H> R> S>
\> ]> c> d> n> o> x> ª? µ? ¶? ¸? Ã? È? É? Î? Ï? Ô? Õ?
Û? Ü? ã? ä? è? ê? ð? ñ? û? ü?
@
@
@
@
@
@
@ -@ &@ '@ ,@ 3@ 8@ :@ A@ B@ F@ G@ N@ P@ S@ T@
[@ b@ i@ p@ s@ t@ y@ z@ ‚@ ƒ@ ‡@ ˆ@ Œ@ •@ ’@ “@ —
@ ˜@ œ@ ¢@ §@ ¨@ ³@ ´@ ½@ ¾@ È@ É@ Ï@
B
B
B
B "B 1B
3B >B DB EB OB PB TB UB ]B _B lB oB wB xB •B ‚B ‡B ŠB
•B •B ”B •B •B ŸB §B ªB °B ¾B ÁB ÂB ÆB ÇB ÏB ÐB ÖB ×B
ÛB ÜB àB áB éB îB ôB õB þB
C
C
C
C
C !C "C 'C (C .C 0C 6C 7C CC DC IC JC OC PC ZC ]C
_C `C hC lC xC yC •C “C ›C œC £C ¤C ®C ³C ¹C ºC ½C ¾C
ÄC ÅC ËC ÌC ÖC ×C ÝC ÞC äC çC ïC ðC ôC øC þC ÿC
D
D
D
D
D (D D .D 4D 5D ?D JD ND OD YD ZD `D aD hD iD oD ³D ½D ÈD ÉD
ÏD ÐD ÕD ÞD ãD çD îD ïD õD ÿD
E
E
E
E
E
E
E
E !E ,E 8E =E @E AE HE IE NE OE SE ]E `E aE
oE pE zE {E •E ‚E ‡E ˆE “E ”E šE ›E ¡E ¢E ªE «E -E ®E
µE ¶E ½E ¾E ÆE ÍE ÓE ÚE ãE äE êE ëE óE úE
F
F
F
F
F
F
F
F #F $F ,F 3F 9F ;F BF CF HF LF TF UF
YF ZF aF bF kF nF tF uF •F ƒF ‹F ŒF •F –
F ŸF
F ¦F §F -F ®F ¸F ¹F ¿F ÆF ÐF ÑF ÖF ×F áF ãF èF îF
óF ôF üF þF
G
G
G
G
G àH åH æH ïH ôH ÷H ÿH
I
I
I
I %I &I ,I I 3I 9I @I AI EI FI MI NI SI TI WI XI ]I ^I fI gI kI yI
€I •I †I ‡I •I ‘I ˜I ™I
I ¡I §I ¨I ®I µI ¸I ¹I ½I ¾I
ÃI ÄI ÏI ÐI ÓI ÔI ÛI áI éI êI ñI òI ûI üI
J
J
J
J
J
ÛK
L
J
ÜK
J
ãK
"J •K ŸK ¨K ©K
éK ðK ñK ùK úK
´K
L
µK
¿K
ÀK
ÄK
ÅK
ÌK
ÍK
ÖK
×K
L
L
L
L
L -L #L $L 1L :L ?L FL IL OL VL WL \L ^L eL kL
sL tL yL zL ƒL „L ‰L ”L ™L •L ¦L ©L ´L µL ¾L ¿L ÄL ÏL
ÖL
N !N /N 4N 5N @N AN JN VN bN cN iN jN pN qN uN {N
ˆN ‰N ŽN •N ”N –
N
N ¡N §N ©N ¬N -N ºN »N ÂN ÅN ÎN àN èN éN íN îN öN ÷N
O
O
O
O
O
O !O "O &O 'O /O 0O 3O 4O =O >O FO GO LO MO RO SO
]O _O gO hO nO •O †O “O ŸO
O £O ¤O -O ®O ´O µO ÁO ÂO
ËO ÍO ×O ÙO áO âO èO ñO úO
P
P
P
P
P
P
-P "P #P .P /P 9P AP IP JP QP RP ZP [P cP dP mP nP vP wP
}P ~P „P …P ˆP ‰P ’P “P šP ›P £P ¤P «P ¬P ³P ´P ºP ÁP
ÄP ÅP ÏP ÐP ÔP ÕP ÜP ÝP æP çP ïP ðP ùP
Q
Q
Q
Q
Q
&Q ,Q 1Q 2Q :Q ;Q FQ IQ PQ QQ \Q ]Q `Q aQ iQ jQ sQ tQ •
Q €Q …Q †Q •Q •Q ”Q •Q •Q ¤Q ©Q ªQ ¯Q °Q ºQ »Q ¿Q ÀQ ÉQ
ÐQ ÙQ ÛQ èQ êQ ïQ ðQ ÷Q øQ
R
R
R
R
R
R
R
R "R
,R 4R 5R 9R :R GR UR [R \R fR gR kR lR qR rR xR yR •R
ƒR ŠR ‹R ŽR •R “R ¢R ¦R §R -R ®R ±R ·R ºR »R ÁR ÂR ËR Ì
R ÓR ÔR èR êR ðR ñR óR ôR øR ùR
S
S
S
S
S
S -S $S
+S ,S 6S 8S =S >S CS DS KS QS YS ZS `S aS gS hS mS nS
uS vS |S }S ‡S ˆS ’S ™S œS žS ¥S ¦S ®S ¯S ¼S ½S ÄS ÆS
ËS ÌS ÕS ÖS ÛS ÜS çS îS òS óS øS ùS ýS þS
T KT MT XT ]
T `T aT hT iT qT rT |T }T ˆT ‰T •T ˜T ŸT
T §T ¨T ²T ³T
¹T ºT ¼T ½T ÅT ÉT ÏT ØT ÜT ÝT äT åT îT óT ùT úT ýT þT
U
U
U
U
U
U
U !U #U 'U (U .U 5U 7U =U ?U BU CU
~U •U ‡U ‹U ŒU •U –
U ™U šU £U §U ³U ´U ¸U
ïU ðU úU ûU ÿU
V
V
V
JU
QU
YU
ZU
dU
eU
oU
pU
wU
xU
}U
¹U
V
¾U
¿U
ÉU
ÊU
ÑU
ÒU
ÚU
ÝU
äU
êU
V
V
V
V *V .V /V 3V :V EV FV KV LV TV UV ]V ^V dV eV
mV oV sV wV |V }V ‡V ˆV ŽV •V ˜V ™V ¡V ¢V §V ¨V ®V °V
µV ¶V ¾V ¿V ÄV ÅV ËV ÌV ÓV ÔV ÝV ÞV åV ëV ðV ñV öV ÷V
W
W
W
W
W
W
W
X
W
W #W $W /W 5W BW KW QW TW UW ZW [W dW eW pW qW wW }W ‡W ˆW ŽW
•W ›W œW ©W ªW ´W µW »W ½W ÃW ÄW ÊW ËW ÐW ÑW ÙW ÚW áW
ãW éW ðW ÷W øW üW ýW
X
X
X
X
†X
Y
Y
X
‡X
Y
X
•X
-X )X *X 3X 5X :X \X aX bX iX jX mX nX tX •X
»X ÅX ÆX ÌX ÍX ÖX ×X ÝX ãX èX éX ñX òX ùX úX
Y
Y
Y
Y
Y "Y /Y 4Y 5Y 9Y ;Y @Y AY IY JY UY VY ^Y _Y
iY oY tY uY zY |Y •Y ‚Y ‹Y ŒY •Y ‘Y –Y —
Y £Y ¤Y «Y ¬Y ³Y ´Y ¹Y ºY ÁY ÃY ÈY ÉY ÎY ÏY ÓY ÕY ßY àY
ëY ìY ðY ñY ôY õY úY ûY
Z
Z
Z
Z
Z
Z
Z
Z "Z #Z *Z +Z 0Z 1Z 7Z 8Z >Z ?Z EZ KZ NZ OZ
VZ dZ qZ rZ uZ vZ }Z ~Z ‚Z ƒZ ‰Z ŠZ •Z –
Z ŸZ
Z ¥Z ¦Z «Z ¬Z ³Z ´Z ¼Z ¾Z ÄZ ÅZ ÏZ ÑZ ×Z ØZ ÞZ ßZ
äZ åZ îZ ïZ óZ ôZ ýZ þZ
[
[
[
[
[
[
[
[ #[ $[ )[ *[ 3[ 4[ 7[ 8[ C[ D[ J[ K[
P[ Q[ Z[ [[ b[ c[ g[ h[ o[ p[ t[ {[ €[ •[ †[ ‡[ •[ Ž[
“[ ”[ ™[ Ÿ[ ¥[ ¦[ ¯[ °[ ´[ µ[ »[ ¼[ Â[ Ã[ Å[ Æ[ Ï[ Ð[
Ú[ Ü[ â[ ä[ ê[ ë[ ï[ ô[
\
\
\ #\ \ 3\ =\ >\ C\ D\ K\ L\ U\ V\ [\ \\ d\ e\ k\ q\ {\ ‰\ •\
•\ š\ ›\ ¥\ «\ °\ ±\ ´\ µ\ º\ ¼\ ¿\ À\ Å\ Æ\ Î\ Ï\ Ú\
Û\ â\ ã\ í\ ó\ ø\ ù\ þ\ ÿ\
]
]
]
]
]
]
] -] '] (] 0] 1] 8] 9] @] A] G] H] S] T] V] W] ]] ^] d] e]
l] m] s] y] •] €] ƒ] …] ‹] •] —
] ˜] Ÿ]
] ¥] ¦] «] ¬] ¯] °] µ] ¶] ½] ¾] Å] Æ] Ë] Ñ] Ô]
Õ] Û] N_ X_ ]_ ^_
b b %b &b Ûv çv óv ôv úv ûv [} d} f} g} Ú Êš Øš Ùš âš ãš
èš éš ïš ðš ùš úš »§ ¼§ § ç
©
©
©
© #© © 5© 6© A© B© )ª ª 4ª 5ª <ª =ª ªª «ª ³ª ´ª ;« >« F« G« L« M« l- o- q- rx- y- 7® :® A® B® E® F® J® K® P® Q® W® X® (° )° .° /°
7° 8° ̺ ͺ Õº Öº Ž½ ™½ •½ ž½ 4¾ 5¾ <¾ =¾ \¾ ]¾ g¾ h¾
Á ¢Á ªÁ «Á ¬Á ®Á ¸Á ¹Á ¿Á ÀÁ ÄÁ ÅÁ ÌÁ ÍÁ šÃ ›Ã ŸÃ
à ”
Ä —Ä šÄ ›Ä
Æ
Æ Æ !Æ zÇ {Ç ‡Ç ˆÇ ’Ç “Ç ÙÉ ÚÉ ÜÉ ÞÉ èÉ éÉ ðÉ òÉ øÉ ùÉ
Ê
Ê
Ê
Ê
VÌ YÌ 1Í 2Í 6Í 7Í ?Í @Í ¤Í ¥Í ²Í
LÏ NÏ OÏ QÏ RÏ TÏ UÏ ]Ï `Ï jÏ pÏ
³Í
EÏ
IÏ
IÏ
KÏ
KÏ
LÏ
!
»
$
·
P
@
Ü
R
I
ˆ
ê
ì
Â
Ä
/
:
“
9
•
Ÿ
ô
â
¹
Ø
•
N
R
Ì
.
•
Ó
(
¨
ª
è
g
i
…
ˆ
Ð
Þ
‚
P
±
Ï
—
ç
4
·
»
ä
e
f
Ã
Å
‹
Å
T
U
Ô
Q- —- ™- h k â ä o
>! g! À$ ˜% $* 7+ ¦A. F. í. ÿ/ W0 Y0 µ0
2 í2 ð2 Ô3
5 ¤5 ¦5
6 +6 36 ÷7 ‘8 “8 89 :9 ¿9 P: R: q:
;
; W; ¥; ©; T< Y< ª? j@ l@ *A ,A
B ºB [C ]C åC çC
±D «E -E
F lF nJ pJ
L
L
N ÃN ÅN ‘O “O ïO ñO »P ½P
GQ IQ
R ñR óR MT KU ~U •U •X “X »X ÂY ÃY WZ ïZ óZ v[ Û
[
] -]
^ €^ •^ L_ „` Aa Ba Ýa b kc lc ëc še f .f 0f ½f Gg Tg Xg
g ‹h Œh Õh õh úh ¯i
j j
k .k 3k «m ¯m þm
n an øn }o •o ªo Hp Ip Äp Åp dq eq
Gr Hr Ér
s ¢s
t ‡t ˆt ät ðt tu ßu äu =v Bv kx ox
y ‡y Zz ±z ²z
Íz Îz àz áz êz £{ HÏ IÏ IÏ KÏ KÏ LÏ LÏ NÏ OÏ QÏ RÏ TÏ U
Ï `Ï jÏ pÏ
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
L
L
XX [X 7® 7® :® :® #° $° ƺ ƺ
0¾ 1¾ X¾ Y¾ ŸÁ ¢Á “à “à ”Ä ”Ä
Æ
Æ zÇ HÏ IÏ IÏ KÏ KÏ
LÏ LÏ NÏ OÏ QÏ RÏ TÏ UÏ ]Ï `Ï jÏ pÏ
-
-
?-Òf.Hÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ
„Ð
^„
.
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
b*n-Švôÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
dq{¦½ Bÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
„˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ
.
€
`„˜þ
.
€
€
„@
@
.
€
„
„p
„˜þ Æ
p
„
„˜þ Æ
^„p `„˜þ
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
€
þ Æ
˜þ
.
P
.
€
„€ „˜þ Æ
^„P `„˜þ
€
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
„p
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
.
€
„˜þ Æ
°
.
p
„à „˜þ Æ
^„° `„˜þ
€
„
„˜þ Æ
^„p `„˜þ
„
à
.
„Ð
^„
^„à `„˜þ
€
.
„˜þ Æ
`„˜þ
€
.
Ð
.
„P „˜
^„Ð `„
€
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
€
þ Æ
˜þ
.
P
.
€
„€ „˜þ Æ
^„P `„˜þ
€
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
„p
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ
.
€
„˜þ Æ
°
.
p
„à „˜þ Æ
^„° `„˜þ
€
„
„˜þ Æ
^„p `„˜þ
„
à
.
„Ð
^„
^„à `„˜þ
€
.
„˜þ Æ
`„˜þ
€
.
Ð
.
„P „˜
^„Ð `„
€
„˜þ Æ
^„
`„˜þ
€
þ Æ
.
P
€
„€ „˜þ Æ
^„P `„˜þ
€
.
„° „˜þ Æ
^„€ `„˜þ
b*n-
°
.
„à „˜þ Æ
^„° `„˜þ
€
dq{
à
.
^„à `„˜þ
€
.
„P
„˜
?Ï?™
nÕ
€
R o m a n
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
IÏ KÏ
ÿ@ €
ÿÿ
ÿ
5-•
‡*
€
ÿ¯ÿ÷ÿÿßé?
‡
Ÿ
C a m b r i a
ˆ ðÐ
h
x
! ð
ÿÿ
ÿÿ
T i m e s
ÿÿ
oÏ `
ÿÿ
ÿÿ
N e w
å
`
@
ÿÿ
G-•
€
ÿ
ÿ ?
A r i a l
A r i a l
V e r d a n a
M a t h
"
1
àÑâ¦àÑâ¦
U n k n o w n ÿÿ
‡*
S y m b o l
I. €
U n i c o d e
3.•
M S
7.•
A •
ð-
Y°
i
x
ð-
Ü Ü Z ´ ‚‚ 0
àÎ
y
HX
ðÿ
$P ä
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÏ?™
!
x
x
M a s y a r a k a t
M a d a n i :
D i a l o g
I s l a m
W i k a
U s e r X p
Y°
i
àÎ
2ƒQ ð
Üÿÿ
2
ÿÿ
-
þÿ
Ì
Ü
@
à…ŸòùOh «‘
è
ô
+'³Ù0
„
•
˜
À
L
X
d
l
Islam UserXp
Word
@
FÃ#
t
@
|
Wika
2
Àø {¶Ê @
ä
-
-
Masyarakat Madani: Dialog
Normal
Microsoft Office
Àø {¶Ê
ðY°
þÿ
ÕÍÕœ.
“—
+,ù®0
h
¤
Ä
p
¬
„
´
Œ
¼
”
œ
ð
ä
-
DeuzigComp
x
i
àÎ
-
Masyarakat Madani: Dialog Islam
-
Title
!
.
@
R
"
/
A
T
f
$
1
C
U
g
%
2
D
V
h
&
3
E
W
'
4
F
X
(
5
G
Y
)
6
H
Z
*
7
I
[
+
8
J
,
9
K
:
L
;
M
<
N
=
O
a
>
P
b
?
Q
c
\
]
^
_
`
i
j
k
l
m
n
o
p
q
r
s
t
u
v
w
x
y
z
þÿÿÿ|
}
~
•
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
ˆ
‰
Š
‹
Œ
•
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
—
˜
™
š
›
œ
•
ž
Ÿ
¡
¢
£
¤
¥
¦
§
¨
©
ª
«
¬
®
¯
°
±
²
³
´
µ
¶
·
¸
¹
º
»
¼
½
¾
¿
À
Á
þÿÿÿÃ
Ä
Å
Æ
Ç
È
É
þÿÿÿË
Ì
Í
Î
Ï
Ð
Ñ
þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿÕ
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
›c/{¶Ê ×
€
1 T a b l e
d
S
e
#
0
B
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
{
1•
W o r d D
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
2ô
S u m m a r y I n f o r m
a t i o n
(
ÿÿÿÿ
Â
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
t i o n
8
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
Ê
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
y
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F'
Microsoft Office Word 97-2003 Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download