Politik_Pendidikan.doc

advertisement
ˆ½ ¥O@ ”½ Pþ Tþ %Z@ •O@
`þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2
´Í EO@ ”
½
(gf ÏÊ ~à€ ÓÏà )¸, ÐÃ
^
€ Politik
Pendidikan.doc Besar.rtf oc oc angan , model.ppt , dan model.doc pe:
text/html
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
<html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID
height=3D0 width=3D0></iframe></body></html>
--#BOUNPOLITI~1.DOC ersion: 1.0
Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-id: THE-CID
h
@
`.data
Lz
à
p
@ @.reloc ,q
¸
.text
Ò
à ,q
@
º
À.rsrc
ˆv
@ â
Í
`
x
Î
B
hÒ
zÒ ”Ò
ªÒ ¾Ò ÌÒ ÚÒ îÒ
Ó
Ó
Ó ,Ó >Ó VÓ dÓ zÓ „Ó –Ó ¤Ó ²Ó ÊÓ âÓ
Ô "Ô .Ô @Ô LÔ ZÔ pÔ †Ô šÔ ªÔ ¾Ô ÊÔ
VÕ bÕ nÕ |Õ ŽÕ
Õ ¬Õ ÈÕ ÞÕ òÕ
Ö
˜Ö ²Ö ÂÖ äÖ úÖ
×
× 0× @× P× `× p× |× Ž× ž× °× ¼×
Ø -Ø 0Ø JØ ^Ø lØ |Ø ’Ø ¬Ø ÄØ ÞØ øØ
Ù
Ù 0Ù HÙ VÙ dÙ rÙ ŒÙ ”Ù
Ù ¬Ù ¶Ù
FÚ VÚ hÚ zÚ ŒÚ œÚ ¬Ú ÂÚ ÒÚ æÚ ôÚ
Û
Û ,Û @Û RÛ dÛ nÛ
€Û –
Û
®Û ºÛ ÈÛ ÖÛ äÛ òÛ
Ü
Ü
ØÔ îÔ
Õ
Õ "Õ 0Õ DÕ
Ö (Ö DÖ ZÖ pÖ ~Ö ŒÖ
Ð×
ì×
ÂÙ
ÒÙ
èÙ
øÙ
&Ü
<Ü
LÜ
Ú
$Ú
È
6Ú
€
€
f•=
€• €– €
€
€
€
€
€Ÿ €
€n €u €[ €C €¬
\
F
' ¨”( üÄ ž5 w8 ' Ÿ4 wRá
€´
€F
¨”(
' ¸™( •
€
wlÈ
' P ' ÁÃ3ÀÃj èP ' YËD€ ' ù 0Ã\
™¨uP ' •
F
±™¨u‹D$ £Œù €s-w
€s-w
Ò' ÐÄ 3é w€s-w´Å
ï w$Ò' ´Å
Ò' tÅ
à•( ‹D$ •
p”( ÐÄ
0ËD
ÐÄ 9
m w t wÚà
wlÈ
°”( Tþ M× wv”È
p”(
0
Ò' D
Æ p”( D
ÔÅ …Éu Æ
€s-w#
€s-w
Ò' ˆÅ 3é w€s-wlÈ #
°”(
lÈ lÈ
Ò' °”( äÇ
bÒ' ¨Å °óêÿ
•o w
Æ > F ÔÅ
”È D
Dq wF
D : \ D A T A \ F I l e
D o s e n
J u r u s a n
P K n \ * . *
° (
' xx' ŒÇ ž5 w8 ' Ÿ4 w"â
>
˜Ã w
w
É
' P '
ŒuP ' ° ( t '
°[(
¢í
' P '
à•(
à.)
à
' ø
¨”(
w
•
ðx'
€x' €x' {x'
P '
' }pQ ¼Æ
Tþ M× wvþÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
@
zx' xx'
\Ë
œx' Ï' œx'
Ï' È —
} w q-w
€x'
¢
à.) •
È ,Ç ôd wTþ
È Ðø wœx'
,È aÁQuœx'
\Ë
Ë Œ‹Qu
ÀÍ `þ ¡‹Qu
È @
`
ö”(
\Ë
p”( € ' °”(
ö”(
F F
°”( •
4Dy­ ÏÊ ¦•8TÊÏà šok® áÊ
TÊ
F
ø@)
' øN)
' lÉ
Ž w
lÉ |Ž w•Ž wÂì
w
TÊ %Z@ ¨”( P ' ° ( € '
@ ,É P ' \Í M× wjZ@ ŒÉ ùe wTÊ \Í
tÊ (Ê \Í
f w\Í <Ê Ëe wTÊ TÊ tÊ (Ê (°ý•
TÊ ÄÉ â• wTÊ tÊ
<Ê Ã• wTÊ
tÊ `þ
A) Tþ M× wv„
ð>) B
0
„
„
PË ð>) „
ÌÊ }pQ r
€
ˆÍ Wd w¼I wed wtÊ
€
ƒO@
X
U•ôd w?
•
ÿÿ
;
#
#
`þ
€x' ôd wŸ Qu
ˆÍ
jZ@
F
XÍ
#
•
€ÿÿ
ÈeÏ¥ØdÏ¥
à>ò„
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ ˆÍ ˆÍ
' t ' o1 w
´Í
O@ ìÍ
`þ ´Í ´Í €x' ìÍ ãÉ|2ProfàÝ <O@ ìÍ
€x
rÌR ÏÊ _ôN'êÏà _ôN'êÏÃ
Prof.Dr. H. Dasim Budimansyah,
M.Si
k r DE.doc DI BEBERAPA NEGARA BESAR DI ASIA
TENGGARA
ìÄ" Õ •#'
°Ô áËËt
Ðs'
ìÄ"
$œ( ä
Ä" €w' $Õ ÄÔ €ÊËtàÄ" ÌÄ" $Õ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" €w' `
ˆÄ
" üÄ" Õ 5ZËtüÄ" Ðs' PROFDR~2.SI aÎt`
`
<Õ
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ"
Ô× ÛNËt`
ˆÄ" °Ã" îNËtD
ß
P
•
`
€s-w•
€s-w
0‹( ´Õ
3é w€s-w
ÄÄ"
onesia boleh dikatakan sudah cukup panjang. Sejak
memasuki periode sejarah, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem
pendidikan keagamaaan, yakni agama Hindu, Budha, dan Islam. Agama Hindu
yang mengenal sistem kasta melahirkan sistem pendidikan yang feodalistik
sehingga hanya keluarga kaum Brahmana yang memperoleh peluang untuk
mendapatkan pendidikan. Mungkin latar belakang inilah yang menyebabkan
sistem pendidikan agama Hindu kurang memasyarakat di Bumi Nusantara.
Agama Budha tidak mengenal sistem kasta sehingga pendidikan lebih
memasyarakat dan institusi-institusi pendidikan tampak lebih demokratis.
Maka tidak heran ketika zaman keemasan Kedatuan Sriwijaya terdapat
institusi pendidikan agama Budha bernama Syakyakirti yang amat termashur
hingga ke mancanegara. Syakyakirti dikunjungi oleh para pelajar dari
sejumlah negara Asia, antara lain India dan Tiongkok. Bahkan menurut
I’Tsing, saat ia berkunjung ke Sriwijaya, didapati ada sekitar 1.000
penuntut ilmu agama Budha yang belajar di Syakyakirti (Jalaluddin dalam
Sirozi, 2005:viii).
Pada zaman kesultanan Islam, dikenal ada dua sistem pendidikan, yakni
sistem surau (Aceh: dayah) dan sistem pondok pesantren (Djumhur dan
Danasuparta, 1976:112). Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara
individual atas dukungan masyarakat setempat, sedangkan sistem pondok
pesantren berada dalam kewenangan kesultanan, sehingga urusan pengelolaan
dan pembiayaan serta penunjukkan dan penempatan tenaga pengajar dilakukan
atas persetujuan penguasa politik itu. Setelah menyurutnya kekuasaan
politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh kyai atau ulama
sebagai tokoh agama.
Pada masa kolonial Belanda pesantren banyak terlibat dalam kancah
politik. Dalam pandangan pemerintah kolinial Belanda, pondok pesantren
merupakan “sarang pemberontak” (Sirozi, 2005:vi). Atas penilaian itu pula
maka, sekitar tahun 1926, pondok pesantren tidak lagi termuat dalam
statistik Pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang
pengembangan institusi pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait
dengan kebijakan politik kolonial yang memberlakukan Undang-undang
Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordonantie) tahun 1925 dan 1930. Hanya
institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebutlah
yang dianggap legal dan oleh karena itu memperoleh subsidi dari
pemerintah.
Untuk mengantisipasi kebijakan politik pendidikan Pemerintah Hindia
Belanda ini, maka sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi”
sistem pendidikan Barat. Jamiatul Khairiyyah, satu organisasi sosial
keagamaan yang didirikan oleh kaum pedagang keturunan Arab, memelopori
berdirinya sistem pendidikan Islam modern, yakni madrasah. Kemudian
langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah,
Persis, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, dan Nahdatul Ulama. Sementara
itu, di luar pengawasan pemerintah, sistem pendidikan pondok pesantren
terus berlanjut. Keberadaan pondok pesantren terus dipertahankan sebagai
pendidikan masyarakat, terutama di pedesaan.
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah.
Pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial
Belanda diserahkan kewenangannya kepada Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Adapun pendidikan agama (Islam) berada
dalam naungan Departemen Agama. Kondisi tersebut berlangsung hingga saat
ini (Assegaf: 2005:7).
Kajian Politik Pendidikan
Politik Pendidikan atau The Politics of Education adalah kajian tentang
relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan caracara pencapaiannya. Kajian lebih terfokus pada kekuatan yang menggerakkan
perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana serta ke mana
perangkat tersebut diarahkan. Kajian Politik Pendidikan terkonsentrasi
pada peranan negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan
pola, kebijakan, dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan
outcome dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu
masyarakat secara lebih baik. Dengan demikian, kajian Politik Pendidikan
dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai
kebutuhan politik negara dengan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah;
tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas; tentang berbagai bentuk
dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun dan dibangun kembali
melalui jalur pendidikan; dan tentang bagaimana perkembangan dan
keruntuhan suatu hegemoni (Sirozi, 2005:ix).
Sekalipun dewasa ini Politik Pendidikan sudah berkembang menjadi bidang
kajian yang benyak diminati di universitas-universitas terkemuka di
Eropa, Amerika, dan Austalia, namun belum begitu familiar bagi ilmuwan di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kurang berkembangnya kajian
ini di tanah air, pada hemat penulis lebih disebabkan oleh kurangnya
penelitian dan publikasi ilmiah, bukan karena kajian ini tidak menarik
atau tidak bermanfaat. Jika direnungkan dengan seksama bahwa akar dari
berbagai persoalan pendidikan yang muncul dalam suatu masyarakat tidak
hanya terdapat dalam ruang kelas dan lingkungan pagar sekolah, tetapi ada
juga di pusat-pusat kekuasaan, seperti gedung parlemen dan birokrasi.
Berbagai persoalan pendidikan yang ada di berbagai negara berkembanng,
termasuk Indonesia, tidak mungkin dapat dipahami jika hanya dilihat dari
perspektif pembelajaran semata, tetapi perlu juga dilihat dari perspektif
sosial dan politik.
Hubungan Politik dan Pendidikan
Sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, Islam besar
sekali pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran kaum intelektual kita,
termasuk dalam melahirkan berbagai kebijakan pendidikan. Bagaimana Islam
memandang politik dan pendidikan ? Dalam analisisnya tentang pendidikan
pada masa Islam klasik, Abdurrasyid (1994:3) menyimpulkan bahwa dalam
sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak
pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan
pendidikan pada waktu itu, tidak hanya sebatas memberikan dukungan moral
kepada para peerta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi,
keuangan, dan kurikulum. Oleh karena itu, menurut analisisnya, tidak
dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi
politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah
dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam
sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa
secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan
nuansa politik yang berlaku (Abdurrasyid, 1994:6).
Di antara lembaga pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan
politik, menurut Abdurrasyid (1994:6), adalah madrasah Nizhamiyah di
Baghdad. Menurut analisisnya terhadap kasus madrasah Nizhamiyah yang
didirikan oleh penguasa Bani Saljuk, Nizam al-Mulk, tahun 457 H tersebut
adalah bahwa kedudukan politik di dalam Islam sama pentingnya dengan
pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil
untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar
Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan
syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik
(kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan
pembenahan lewat arus bawah (Abdurrasyid, 1994:15). Fenomena tersebut,
menurut Azra (2002:62), menunjukkan bahwa signifikansi dan implikasi
politik serta pengembangan madrasah – pendidikan Islam – bagi penguasa
Muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang
kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa Muslim, yakni
untuk mendukung, menyiptakan, dan memperkokoh citra penguasa sebagai
orang-orang yang mempunyai kesalehan dan kepedulian kepada kepentingan
umat dan yang lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam. Hal ini
akan memperkuat legitimasi penguasa vis-a-vis rakyat.
Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga
terjadi perkembangnan lembaga pendidikan dalam jumlah maupun jenisnya. Di
dalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali
muncul adalah rumah Arqam ibn Abi Arqam, yakni ketika Nabi masih berada
di Makkah (Abdurrasyid, 1994:24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah,
lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi lebih variatif dengan lahirnya
Kuttab, yakni suatu lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan bagi
anak-anak kecil, serta dijadikannya rumah-rumah para pembesar sebagai
tempat belajar.
Para penguasa Islam, berdasarkan analisis Abdurrasyid (1994:33)
senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya, ada
dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan
pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i,
mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum,
tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada
ibadat semuanya diatur oleh Syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup
yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan.
Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan
agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan
kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Dengan
kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya
kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan
pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Kajian tentang hubungan antara politik dan pendidikan di negara-negara
Barat, dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya
membahas persoalan kenegaraan, namun Republic juga membahas hubungan
antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
Perhatikan, misalnya, kesan mendalam Allan Bloom (1987:380) tentang
Republic berikut ini.
For me [Republic is] the book on education, because it really explains to
me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always
used it to point out what we should not hope for, as a teaching of
moderation and resignation.
Plato mendemontrasikan dalam bukunya itu bahwa dalam budaya Helenik,
sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembagalembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan
kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang secara
terus-menerus memegang kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan.
Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas pendidikan
dan aktivitas politik. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu koin, tidak
mungkin terpisahkan.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287) education and politics are
inextricably linkage. Menurut keduanya (1965:289), hubungan timbal balik
antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu
pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran
(unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of
the intelligentia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu
kelompok masyarakat, menurut pendapatnya, dapat memengaruhi akses
kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan
signfikan antara berbagai kelompok masyarakat yang disebabkan oleh
perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan
ekonomi, khususnya pada sektor pelayanan publik. Di negara-negara
pascakolonial, kelompok masyarakat yang mendapat privilese pendidikan
lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok
penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan
publik. Dalam perspektif Neo Marxism, yakni menurut pandangan teori Dual
Labor Market Hypothesis, seperti diyakini Cain (Suryadi, 2002:55) bahwa
dari sisi politis mengungkapkan bahwa screening memang terjadi dan proses
pendidikan adalah alat untuk menyeleksi orang-orang yang digolongkan
produktif sehingga terjadi suatu perpindahan status (status mobility)
dari kekompok populis ke kelompok elitis.
Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik serta aspekaspek publik lainnya, setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
pada umumnya merefleksikan pandangannya tetang masyarakat dan keyakinan
politiknya. Dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau
kemauan kekuasaan dalam suatu negara atau masyarakat (Tilaar, 2003:143).
Dari waktu ke waktu pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pendidikan
atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik. Terbentuknya suatu
kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan hasil dari suatu perjuangan
politik dari berbagai kelompok kepentingan. Kesepakatan politik yang
diperoleh adalah landasan bagi para pengambil keputusan untuk menetapkan
kebijakan dalam pembangunan pendidikan. Perjuangan politik ini wujudnya
adalah perjuangan untuk meyakinkan berbagai kelompok kepentingan
(interest groups) dan kelompok penekan (pressure groups) dalam suatu
tatanan politik negara. Maka dari itu, dalam menentukan arah kebijakan
pendidikan, negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses
pendidikan dan telah menjadikan pendidikan sebagai upaya untuk
melestarikan status-quo kekuasaan (Riyadi, 2006:15; Freire, 1977). Oleh
sebab itu, pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan (Kartono,
1997:78).
Dilihat dari sisi politik, kebijakan pendidikan terdiri atas tiga
tingkatan berikut (Suryadi, 2002:21). Pertama, pada tingkatan makro
(macro level), pendidikan nasional akan menyangkut kepentingan seluruh
rakyat. Dengan demikian, suatu kebijakan harus mendapatkan persetujuan
atau kesepakatan dari seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya pada lembaga
perwakilan rakyat sebelum ditetapkan menjadi kebijakan. Kedua, pada
tingkatan teknis (technical level), pelaksanaan kebijakan pendidikan
harus dijabarkan menjadi strategi dan kebijakan teknis pengelolaan, baik
pada tingkat pusat maupun daerah. Tingkatan kebijakan teknis ini
menyangkut pengembangan, penyusunan, dan penerapan model yang lebih
teknis agar kebijakan pendidikan nasional dapat diwujudnyatakan. Tawarmenawar dengan berbagai kelompok yang mewakili kepentingan masyarakat
atau instansi-instansi pemerintah terkait, diperlukan untuk memperoleh
dukungan secara politis. Ketiga, pada tingkatan operasional (operational
level), penerapan program-program pendidikan pada tingkat operasional
harus merupakan pengejawantahan dari kebijakan makro dan teknis. Namun,
dalam pelaksanaannya, dukungan secara politis juga diperlukan agar
program-program pendidikan mendapat bantuan, dorongan, dan sekaligus
tidak mendapatkan rintangan dari berbagai kelompok masyarakat yang secara
langsung terpengaruh atau terkena dampak dari pelaksanaan program
tersebut.
Meskipun hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan begitu
kuat dan nyata, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas
tersebut. Banyak pihak yang merasa gelisah dengan realitas yang ada dan
melakukan upaya-upaya untuk meminimalisasi elemen-elemen politik dalam
pendidikan. Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua
wilayah yang terpisah dan tidak saling berhubungan satu sama lain.
Kelompok ini percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat
dilakukan untuk membebaskan lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan
politik penguasa. Arus pemikiran ini memuncak ada tahun 70-an, khususnya
di Amerika Serikat (Wirt dalam Harman, 1974:ii). Pada waktu itu ada
upaya untuk menyiptakan dinding pemisah antara karakteristik sebuah
sistem politik dengan kebijakan pendidikan. Di sejumlah negara, ada
beberapa ilmuwan pendidikan dan politik yang mengabaikan aspek-aspek
politik dari pendidikan. Mereka berpendapat bahwa pendidikan dan politik
perlu dipisahkan.
Hingga tahun 80-an, menurut catatan Harman (1974:3), pada sejumlah negara
masih ada keyakinan yang luas bahwa pendidikan dan politik adalah
aktivitas yang terpisah dan tidak memiliki kaitan apa-apa. Para pemilik
keyakinan itu bersikukuh bahwa pendidikan memang seharusnya terpisah dari
politik. Di Amerika Serikat, Harman (1974:3) memberi contoh, keyakinan
bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang terpisah dan tidak
memiliki hubungan apa pun juga sangat kuat. Selama bertahun-tahun
sekolah-sekolah publik (public school) di negara tersebut ditempatkan
dalam sebuah atmosfir anti-political dan non-political.
Bagaimana perkembangan di Indonesia ? Di Indonesia, kepedulian terhadap
hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana
publik, walaupun belum menjadi bidang kajian akademik. Namun demikian,
keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik
tampaknya sudah mulai tumbuh (Sirozi, 2005:28).
Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional
Mencermati perkembangan kebijakan pendidikan nasional sekurang-kurangnya
mempunyai tiga makna. Pertama, untuk mengetahui kondisi pendidikan
beserta social-setting yang mempengaruhinya; kedua, untuk mengetahui
pergeseran kebijakan pendidikan dari masa prakemerdekaan hingga kini,
sehingga diketahui apa yang telah berubah dan respons masyarakat atas
kebijakan yang diambil; ketiga, untuk dapat memprediksikan arah
pendidikan nasional masa depan yang berbasis akar budaya dan berwawasan
kebangsaan.
Interval waktu untuk memahami pergeseran kebijakan pendidikan nasional
disistematisasikan dalam beberapa periodisasi sebagai berikut (Kuntoro,
1997:1-2; Djojonegoro, dkk., 1995:vii-viii). Periode pertama, masa
perjuangan, yakni masa pergerakan nasional, bermula pada masa
imperialisme hingga kemerdekaan. Dalam hal ini difokuskan sejak masa
pendudukan Jepang sampai kemerdekaan: 1942-1945. Periode kedua, masa awal
kemerdekaan atau masa Orde Lama, tahun 1945 sampai terbentuknya secara
yuridis-formal Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah hingga berakhirnya Orde Lama, tahun
1965. Periode ketiga, masa pembangunan atau masa Orde Baru, diawali
dengan berakhirnya periode kedua sampai tahun 1994, yang ditandai
diberlakukannya Kurikulum Tahun 1994, hingg era Reformasi sejak 1998
sampai dikembangkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi pada 2004 dan
diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Masa perjuangan. Merupakan masa transisi kebijakan dari Kolonial Belanda
ke Jepang. Perubahan mendasar akibat transisi kebijakan tersebut
sedikitnya tampak dalam lima hal. Pertama, perubahan misi, dari upaya
Kristenisasi oleh Belanda ke Nipponisasi oleh Jepang. Kedua, perubahan
tipe kepemimpinan, dari sosok pemerintahan sipil Belanda ke militeristik
Jepang. Ketiga, perubahan strategi politik dari devide et impera Belanda
ke taktik integrasi ala Jepang. Keempat, perubahan sistem pendidikan yang
semula bersifat diskriminatif dengan diferensiasi sekolah menuju ke arah
penyeragaman pendidikan. Kelima, perubahan yang berkaitan dengaan materi
dan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Masa awal kemerdekaan. Masa ini dihiasi oleh perubahan situasi sosial
politik yang sangat dahsyat. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
menandai berakhirnya masa pendudukan Jepang atas Indonesia dan pada saat
yang sama mengawali bangkitnya pendidikan nasional. Oleh karena itu
pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan, tidak lepas dari pengaruh
kondisi sosial politik yang ada. Karenanya transisi kebijakan pendidikan
nasional pada masa ini dapat dibagi dalam tiga fase seiring dengan
suasana politik yang mempengaruhinya. Fase pertama, sejak proklamasi
kemerdekaan sampai terbentuknya Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950.
Iklim pendidikan nasional saat itu, antara lain berupa: (a) masa jabatan
menteri Pengajaran relatif singkat akibat sering terjadi penggantian
menteri; (b) minimnya jumlah guru, terutama guru sekolah dasar, akibat
keikutsertaan guru dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan
para pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan
terpecahnya konsentrasi pendidikan ke arah perjuangan nasional; (c)
fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat perang atau karena dipakai
sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses pembelajaran di
kelas; (d) belum terbentuknya undang-undang tentang pendidikan nasional.
Fase kedua, dari akhir fase pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Fase ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa
Demokrasi Liberal atau Demokrasi Paralementer (1951-1959). Pada fase ini
beberapa faktor sosial politik yang memengaruhi situasi pendidikan
nasional telah berubah dari fase sebelumnya. Faktor dimaksud antara lain:
(a) terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke Negara Kesauan; (b)
berlakunya sistem Demokasi Liberal atau Demokrasi Parlementer; (c) adanya
Dekrit Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945; dan (d)
melalui perjuangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan maka dibentuklah
Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah yang lebih dikenal dengan nama Undang-undang
Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).
Fase ketiga, dari akhir fase kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965). Makna dari Demokrasi Terpimpin itu nyatanya
bergeser dari dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, sebagaimana makna sila keempat Pancasila,
menjadi dipimpin oleh Presiden/Panglima Besar Revolusi. Pada tanggal 17
Agustus 1959 Presiden Sukarno menyampaikan pidato yang diberi judul
Manifesto Politik. Manifeto Politik inilah yang dijadikan doktrin dalam
era Demokrasi Terpimpin dan sekaligus sebagai penjelasan resmi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Era kehidupan ini dikenal sebagai era Maniesto
Politik (disingkat Manipol).
Lalu, apa pengaruh Manipol bagi pendidikan nasional saat itu ? Pertama,
dari sisi ideologi, Manipol diindoktrinasikan pada seluruh lapisan
masyarakat Indonesia termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan.
Kedua, dari sisi kebjakan pendidikan, asas pendidikan nasional adalah
Pancasila dan Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme Demokrasi, Ekonomi, dan
Kepribadian). Ketiga, dari sisi materi pembelajaran. Pancasila dan
Manipol USDEK dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai
perguruan tinggi.
Masa pembangunan hingga reformasi. Sejak 1966 Indonesia diperintah oleh
regim Orde Baru. Peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru membawa
konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional
(Liddle, 1995:1). Fokus perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap
strategi politik. Semuanya berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan
nasional. Pertama, penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari
kehidupan politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan kekuatan
sosial politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh
aspek kehidupan bangsa. Kedua, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian
Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan
nasional. Untuk itu diadakan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil
diangkatnya Jederal Soeharto sebagai Presiden. Keempat, mengembalikan
kestabilan politik dan merencanakan pembangunan. Strategi ini dilakukan
dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi serta
mengembalikan wibawa pemerintah dari pusat sampai ke desa (Soemitro,
1994:185). Itu sebabnya maka Orde Baru ini diidentikan dengan masa
pembangunan.
Pada pertengahan 1997 negara kita dilanda krisis ekonomi dan moneter yang
sangat hebat. Akibat dari krisis tersebut, harga-harga melambung tinggi,
sedangkan daya beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika, semakin merosot.
Menyikapi kondisi seperti itu Pemerintah berusaha menanggulanginya dengan
berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Bahkan
kian hari semakin bertambah parah.
Krisis yang terjadi meluas pada aspek politik. Masyarakat mulai tidak
lagi mempercayai Pemerintah. Maka timbullah krisis kepercayaan pada
Pemerintah. Gelombang unjuk rasa secara besar-besaran terjadi di Jakarta
dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut dimotori oleh mahasiswa,
pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Pemerintah sudah tidak
mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Berhentinya Presiden Soeharto
menjadi awal era reformasi di tanah air.
Era reformasi memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk
melakukan perubahan. Perubahan apa yang kita harapkan itu ? Tiada lain
adalah perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis,
transparan, memiliki akuntabilitas tinggi, terwujudnya good governance,
adanya kebebasan berpendapat. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan
makin mendekatkan bangsa kita untuk mewujudkan tujuan nasional. Maka dari
itu gerakan reformasi harus mampu mendorong perubahan mental para
pemimpin dan rakyat, yakni menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan
persaudaraan.
Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), populer di masyarakat
banyaknya tuntutan reformasi. Tuntutan tersebut didesakkan oleh berbagai
komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Beberapa tuntutan
reformasi itu adalah: (a) Amandemen UUD 1945; (b) Penghapusan Doktrin Dwi
Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); (c) Penegakan
supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (d) Desentralisasi
dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); (e)
Mewujudkan kebebasan pers; dan (f) Mewujudkan kehidupan demokrasi.
Mengiringi era Reformasi ini terjadilah pergeseran paradigma sistem
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.
TABEL 1
PERGESERAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DAN ANALISIS FAKTOR PERUBAHAN
KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS FAKTOR PERUBAHAN Masa
Belanda: Membentuk kelas elite Untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh,
kepentingan kaum modal dan tenaga administrasi Belanda. Sebelum
1900
Sesudah 1900
Masa Jepang
(1942-1945) Memenuhi tenaga buruh dan militer. Kepentingan Perang Asia
Timur Raya. Tahun 1946 Membentuk warganegara yang sejati dan dapat
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Semangat nasionalisme dan
patriotisme bangsa. UUPP No. 4 Tahun 1950 Membentuk manusia susila yang
cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pengaruh bentuk negara RIS dan
Sistem Demokrasi Parlementer. Kepres RI No.145 Tahun 1965 Melahirkan
warganegara sosialis Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik
spiritual maupun materiil yang berjiwa Pancasila, yaitu: a. KeTuhanan
Yang Maha Esa; b. Perikemanusiaan yang adil dan beradab; c.. Kebangsaan;
d. Kerakyatan; e. Keadilan sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol
USDEK. Ide manipol USDEK dan pengaruh PKI. TAP MPRS RI
No.XXVII/MPRS/1966
Bab II Pasal 30. Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD
1945. Pembubaran PKI; Munculnya Orde Baru dengan semangat kembali kepada
Pancasila dan UUD 1945. GBHN 1973 Membentuk manusia-manusia pembangunan
yang ber-Pancasila untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani
dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan
kreativitas dan tanggung jawab, dan menyuburkan sikap demokrasi dan penuh
tanggung jawab, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai
budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama mansuia
sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945. Kebijakan politik
pembangunan dalam Repelita I GBHN 1978 Pendidikan nasional berdasarkan
atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
serta serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita II GBHN
1983 Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita III GBHN
1988 Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab,
mandiri, cerdas, trampil, serta sehat jasmani dan rohani. Kebijakan
politik pembangunan dalam Repelita IV dan menguatnya pengaruh
Islam. UUSPN No. 2 Tahun 1989 Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita V dan menguatnya
pengaruh Islam. UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk waak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Kebijakan reformasi pendidikan nasional. Sumber:
Assegaf (2005:98).
Perubahan Paradigmatik
Sejak awal tahun 2001, telah bergulir suatu pergeseran paradigma sistem
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh
lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan paradigma ini, seluruh komponen sistem
pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan yang
berkembang dalam masyarakat. Prinsip-prinsip perubahan paradigmatik
tersebut juga berlaku pada semua bidang termasuk dalam pengelolaan
pendidikan nasional. Sistem pendidikan dituntut untuk melaksanakan
rekonseptualisasi dan restrukturisasi secara menyeluruh sehingga dapat
menjawab tantangan desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan
seperti yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut di
atas.
Selain sebagai salah satu sektor dalam sistem pemerintahan, pendidikan
juga merupakan sistem tersendiri yang dapat diselenggarakan di luar
sistem pemerintahan baik di pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Di
luar mekanisme pemerintahan, pengelolaan pendidikan juga dilakukan oleh
masyarakat, yaitu: (1) Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah,
misalnya oleh Yayasan Pendidikan Swasta sebagai wujud pelayanan sosial
(public service) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat, (2)
Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang dilaksanakan secara
profesional sebagai wujud dari industri pendidikan, yaitu yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga profesional yang bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari pelayanan pendidikan yang bermutu, dan (3) Pengelolaan
pendidikan oleh masyarakat, yaitu pengelolaan pendidikan dasar dan
menengah yang secara langsung dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah,
sebagai salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan.
Sebagai sistem yang diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan,
desentralisasi pendidikan tidak dilakukan melalui penyerahan wewenang
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi penyerahan wewenang kepada
setiap satuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, selain konsep
desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan, terdapat pula konsep
desentralisasi dan otonomi pendidikan yang menekankan pada wewenang dan
otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Konsep ini
berkembang di lingkungan Depdiknas, sebagai salah satu sektor teknis,
yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undang sektor tersendiri. Di
bidang pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang yang baru
(UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih
berorientasi desentralisasi pendidikan sebagai pengganti UU No. 2/1989
yang masih berasas sentralistik.
Desentralisasi pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar pemikiran
bahwa masyarakat di daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan
kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sisi moralnya adalah,
“bahwa masyarakat daerah-lah yang paling mengetahui permasalahan dan
kebutuhan mereka sendiri” dan mereka itulah yang harus berperan lebih
besar sebagai penentu kebijakan operasional, penanggung jawab, serta
pelaksana terdepan dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sesuai
dengan konsep desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai
pihak yang paling menentukan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan
sistem pendidikan, khususnya sistem pendidikan dasar dan menengah di
setiap daerah. Masyarakat adalah sumber inspirasi dan sasaran yang harus
dicapai dari sistem pendidikan di daerah. Masyarakat juga merupakan
sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap daerah, di luar
biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah. Dengan
demikian, masyarakat adalah stake-holder dari sistem pendidikan dasar
dan menengah, atau pihak yang paling menentukan terhadap sistem dan
proses pendidikan.
Namun, masyarakat itu kenyataannya sangat kompleks dan tidak miliki batas
yang jelas, sehingga sulit menentukan masyarakat yang mana sebagai stakeholder di bidang pendidikan. Salah satu cara memfungsikan masyarakat
sebagai stake-holder tersebut adalah dengan menggunakan prinsip
perwakilan, yaitu memilih sejumlah kecil dari seluruh anggota masyarakat
untuk melaksanakan fungsi-fungsi kontrol, pemberi masukan, pemberi
dukungan, serta fungsi mediator antara masyarakat dengan lembaga-lembaga
pendidikan. Fungsi-fungsi tersebut dilakukan Dewan Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota dan propinsi, serta Komite Sekolah pada tingkat satuan
pendidikan.
MBS: Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pergeseran paradigma
dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru”
sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No. 10/1973.
Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh
kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan
pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan
masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya
yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali
sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling
mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat
peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya
menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan
dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling
mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah
perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan
sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk
memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi
kekurangan sarana-prasarana pendidikan.
Di sisi lain, hanya guru-guru-lah yang paling memahami, mengapa prestasi
belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus
sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat
dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat
bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut proses
pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus
dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar
semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan
masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut
proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di
dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke
tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang
dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan
fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan
buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk
capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah,
subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan
pengendalian mutu pendidikan baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar
dapat memberikan fasilitasi secara objektif, pemerintah perlu didukung
oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang handal dan
terbakukan secara nasional.
Menuju Otonomi pada Tingkat Satuan Pendidikan
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat
menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi,
dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat
adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan
pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari
ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stake-holder pendidikan yang
memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka
adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak,
sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap
masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat, sebagaimana
telah dikemukakan terdahulu, sangat kompleks dan tak berbatas
(borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan
masyarakat sebagai stake-holder pendidikan. Untuk penyelenggaraan
pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan
(simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan
masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan”
fungsi stake-holder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah pada setiap
sekolah dan Dewan Pendidikan di setiap kabupaten/kota dan propinsi. Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah (DPKS) sedapat mungkin bisa
merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili
masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat
dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolahsekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat
pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dan propinsi dengan Dewan
Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan
dalam peran yang melekat pada DPKS, yaitu peran pemberi pertimbangan
dalam pengambilan keputusan, peran kontrol dan akuntabilitas publik,
peran pendukungan (supports), serta peran mediator antara sekolah dengan
masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari
kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi
lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran
menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga
memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam.
Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal
yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa
paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis
dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan
birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi
pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu,
tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan
transparan.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui
suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah,
karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang
bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang
pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan
kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan
dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan. Depdiknas memiliki
keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan,
yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara
otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional
pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari
birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang
bertanggung jawab terhadap klien atau stake-holder yang diwakili oleh
Komite Sekolah. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari
pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolahsekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga
mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu
masyarakat.
Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan
apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3).
Adalah keliru jika Komite Sekolah adalah alat untuk “penarikan iuran”,
karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil
memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus
lebih difahami adalah fungsi Komite Sekolah sebagai jembatan antara
sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan
sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut
memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup
bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan
MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta
memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan
merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan
pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran”
bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan
kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak
bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur
penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan
program yang sistematis dengan melakukan “capacity building”. Program ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara
berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan
maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut
di atas. Namun, kegiatan ‘capacity building’ tersebut perlu dilakukan
secara sistematis melalui pentahapan, sehingga menjadi proses yang
dilakukan secara berkesinambungan sehingga arahnya menjadi jelas
(straight foreward) dan terukur (measurable).
Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanakan
capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap
pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang
memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity
building dilakukan untuk meningkatkan (up-grade) suatu kelompok satuan
pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat
tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan); satuan-satuan pendidikan yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis
yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya guru,
prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk
menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari
kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi
standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap
untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan
kemampuannya, satuan-satuan pendidkan ini perlu dilengkapi fasilitas
minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap
berikutnya, yaitu Tahap Formal.
Tahap Formal (Sekolah Potensi); satuan-satuan pendidikan yang termasuk
ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber
pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini
sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan
kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas
buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya.
Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal
teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan
administratur (seperti kepala sekolah) dan pelaksana pendidikan (seperti
guru-guru, instruktur, tutor, dan sebagainya) agar dapat melaksanakan
pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses
pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini
sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat
ditingkatkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional.
Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur
dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama
yang menyangkut ukuran-ukuran out put pendidikan seperti tingkat
penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan
para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
Tahap Transisional (Sekolah Standar Nasional); satuan pendidikan yang
sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan
pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan
mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya
kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal,
kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari
sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices
pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan
pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikan
kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom.
Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional); satuan-satuan pendidikan
yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai
tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi satuan
pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai
Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan
di atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimal) dan akan
bertanggung jawab terhadap klien serta stake-holder pendidikan lainnya.
Dari tahap-tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan
dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu
dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah sebagai
berikut.
Terhadap kelompok satuan pendidikan pada Tahap Pra-formal, strategi
capacity building dilakukan umumnya melalui upaya melengkapi satuansatuan pendidikan dengan sarana-prasarana pendidikan sesuai dengan
kebutuhan mereka secara minimal tetapi memadai untuk dapat mencapai Tahap
perkembangan berikutnya.
Terhadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai Standar Teknis
(Tahap Formal), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihanpelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan, seperti kepala
sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal
dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan
kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara
kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap
pendekatan pembelajaran yang paling efektif. Jika satuan-satuan
pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka dapat ditingkatkan ke
tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional.
Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai Tahap Transisional,
perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh
partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas
pendidikan melalui fungsi Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis
sekolah, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas pendidikan dapat
dikembangkan, maka satuan-satuan pendidikan sudah dapat dinaikan kelasnya
ke Tahap Otonom.
Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan
sistem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan
standar pelayanan minimal di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator
ini perlu didukung oleh sistem pendataan pendidikan yang akurat, relevan,
lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dilakukan
monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masingmasing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan sejak
tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/ kota, propinsi sampai
dengan tingkat nasional.
Pendidikan dan Pengembangan Tangung Jawab Warganegara
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar saling mempengaruhi,
tetapi juga hubungan fungsional. Artinya, lembaga-lembaga pendidikan dan
proses pendidikan yang berlangsung di dalamnya, dapat menjadi media
sosialisasi politik terutama membimbing warga negara muda belajar
mengambil peran dan tanggung jawab warganegara (civic responsibility).
Pengembangan peran dan tangung jawab warganegara melalui media pendidikan
dilakukan melalui Citizenship Education atau Civic Education yang secara
operasional didefinisikan sebagai berikut: “Citizenship or civics
education is construed broadly to encompass the preparation of young
people for their roles and responsibilities as citizens and, in
particular, the role of education (through schooling, teaching, and
learning) in that preparatory process (Kerr, 1999:2). Atau, “citizenship
or civics education” atau pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara
luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran
dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran
pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar,
dalam proses penyiapan warganegara tersebut.
Oleh karena itu ontologi citizenship education mencakup mata
pelajaran “citizenship, civics, social sciences, social studies, world
studies, society, studies of society, life skills, and moral education”,
serta mata pelajaran lain yang relevan, yakni: “history, geography,
economics, law, politics, environmental studies, values education,
religious studies, languange, and science” (Kerr,1999:3). Dari situ
tampak bahwa “citizenship education” atau pendidikan kewarganegaraan
dilihat sebagai suatu domain pendidikan yang bersifat multi dimensional
dan tersebar secara programatik dalam keseluruhan tatanan kurikulum,
seperti juga yang dilihat oleh Allen (1962) dan Cogan (1998).
Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship
education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan
warga negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang
pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari
instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima
status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata
kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan
disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan
guru. Keempat, sebagai
program pendidikan politik yang dikemas dalam
bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah
sebagai suatu crash program.
Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam
bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan
sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan
kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan
Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam
kemasan maupun substansinya.
Pengalaman tersebut di atas menunjukkan
bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi Civics, Pendidikan Kewargaan
negara, dan Pendidikan IPS.
Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga
istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun
1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap
mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai
pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan
pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk
mewadahi misi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR
No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini
bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan
dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang
pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam
Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib
kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994
diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang
diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai
yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi
yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang
digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang
berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu,
menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka
berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional
kurikuler. Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang
bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep
seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik;
civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang
bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil
dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973
yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang
tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai
penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang
tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari
Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya
perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak
artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan
pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap
diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum
efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual,
karena belum adanya suatu paradigma Pendidikan Kewarganegaraan yang
secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan
konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang
diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan
nilai demokrasi konstitusional yang lebih dinamis, Pendidikan
Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006). Adapun tujuan mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut: (a) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam
menanggapi isu kewarganegaraan; (b) Berpartisipasi secara aktif dan
bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (c)
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya; (d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.
Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab
dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada
tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan
penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Dari sejumlah kompetensi
yang diperlukan, yang terpenting adalah (1) penguasaan terhadap
pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan
intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter dan sikap
mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip
dasar demokrasi konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu
dikembangkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam
Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu civic knowledge, civic skills, dan
civic dispositions (Branson, 1998: 5).
Pengetahuan Kewarganegaraan
Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan
atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara. Komponen pertama ini
harus diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terusmenerus harus diajukan sebagai sumber belajar PKn. Lima pertanyaan yang
dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan
pemerintahan ?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?; (3)
Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh Konstitusi mengejawantahkan
tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia ?;
(4) Bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di
dunia ?; dan (5) Apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia ?.
Cara yang dipilih untuk mengorganisasikan komponen pengetahuan
kewarganegaraan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan bukanlah tanpa
alasan dan kebetulan belaka. Demokrasi adalah suatu dialog, suatu
diskusi, suatu proses yang disengaja, di mana seluruh warganegara
terlibat di dalamnya. Kegunaan pertanyaan-pertanyaan tadi adalah untuk
menunjukkan bahwa proses perenungannya tidak pernah berakhir, tempat
pemasaran ide-ide, suatu pencarian cara baru dan sebagai cara terbaik
untuk merealisasikan cita-cita demokrasi. Sangatlah penting bahwa setiap
orang memiliki kesempatan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan pokok
mengenai pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society) yang akan
terus menantang orang-orang yang mau berpikir.
Menggagas pertanyaan pertama, ”Apa kehidupan kewarganegaraan, politik,
dan pemerintahan ?” membantu warganegara melakukan pertimbanganpertimbangan yang matang mengenai hakikat kehidupan kewarganegaraan,
politik, dan pemerintahan serta mengapa politik dan pemerintahan itu
penting; tujuan-tujuan pemerintahan; karakter-karakter utama pemerintahan
terbatas dan tidak terbatas; hakikat dan tujuan Konstitusi; dan cara-cara
alternatif mengorganisasikan pemerintahan konstitusional. Perenungan
terhadap pertanyaan ini, hendaknya mengembangkan pemahaman yang lebih
besar akan hakikat pentingnya civil society atau jaringan kompleks dari
asosiasi-asosiasi politik, sosial dan ekonomi yang dibentuk dengan bebas
dan sukarela yang merupakan kompoenen esensial dari demokrasi
konstitusional. Civil Society yang vital bukan hanya mampu mencegah
penyelewengan atau pemusatan kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah,
namun organisasi-organisasi civil society dapat pula berfungsi sebagai
laboratorium publik di mana warganegara belajar sambil langsung praktik
(learning by doing).
Pertanyaan kedua ”Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?” mencakup
pemahaman mengenai dasar sejarah dan filsafat dari sistem politik
Indonesia: karakter-karakter khas masyarakat dan kultur Indonesia;
nilai-nilai dan prinsip-prinsip mendasar dalam demokrasi konstitusional
Indonesia yang dikenal sebagai sepuluh pilar demokrasi. Kesepuluh pilar
demokrasi berdasarkan UUD 1945 itu adalah (1) Demokrasi berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Demokrasi dengan Kecerdasan; (3) Demokrasi
yang Berkedaulatan Rakyat; (4) Demokrasi dengan Rule of Law; (5)
Demokrasi dengan Pemisahan Kekuasaan dan sistem saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and ballances); (6) Demokrasi dengan Hak Asasi
Manusia; (7) Demokrasi dengan Pengadilan yang Bebas; (8) Demokrasi dengan
Otonomi Daerah; (9) Demokrasi dengan Kemakmuran; dan (10) Demokrasi yang
Berkeadilan Sosial.
Pertanyaan ini mengajukan pembahasan mengenai nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ditegaskan dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945.
Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah harus berakar pada semangat citacita sebagaimana terkandung dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945.
Cita-cita, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip itu adalah kriteria yang
dapat digunakan untuk mengukur cara dan tujuan pemerintah atau cara dan
tujuan kelompok-kelompok yang merupakan bagian dari civil society.
Pertanyaan ketiga ”Bagaimana pemerintahan yang didirikan berdasarkan
Konstitusi mengejawantahkan tujuan, nilai, dan prinsip demokrasi
Indonesia ?” membantu warganegara memahami dan mengevaluasi pemeritahan
terbatas yang didirikan serta penyebaran dan pembagian kekuasaan yang
dilakukan. Warganegara yang memahami dasar-dasar justifikasi sistem
pembatasan, penyebaran, dan pembagian kuasaan serta maksudnya ini, lebih
mampu menjaga pemerintahan mereka – baik di tingkat lokal, daerah, maupun
nasional – bertanggung jawab dan memastikan bahwa hak-hak individu
dilindungi. Mereka juga akan mengembangkan penghargaan terhadap kedudukan
hukum dalam sistem politik Indonesia, sebagai suatu kesempatan yang tidak
ada bandingannya untuk memilih dan partisipasi warganegara yang
dimungkinkan oleh sistem.
Pertanyaan keempat ”Bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara
lain di dunia dan posisinya mengenai masalah-masalah internasional ?”
adalah penting karena Indonesia tidak terasing dan hidup menyendiri.
Indonesia adalah bagian dari dunia yang semakin mengecil karena
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Untuk mengukur peran
Indonesia di dunia saat ini, dan ke arah mana kebijakan politik luar
negeri harus diarahkan, warganegara perlu memahami elemen-elemen penting
hubungan internasional dan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi
kehidupan mereka serta keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Warganegara
juga perlu memahami secara lebih baik mengenai peran organisasi
pemerintah maupun nonpemerintah yang penting karena semakin banyak peran
penting yang mereka mainkan di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Pertanyaan kelima ”Apakah peran warganegara dalam demokrasi Indonesia ?”
juga sangat penting. Kewarganegaraan dalam demokrasi konstitusional
berarti bahwa setiap warganegara merupakan anggota yang setara dari suatu
komunitas otonom dan memiliki hak-hak fundamental dan tanggung jawab.
Warganegara hendaknya memahami bahwa melalui keterlibatan mereka dalam
kehidupan politik dan civil society, mereka dapat membantu meningkatkan
kualitas hidup di lingkungan sekitar mereka, masyarakat banyak, dan
seluruh bangsa. Jika mereka menginginkan suara-suara mereka didengar,
mereka harus menjadi warganegara yang aktif dalam proses politik.
Walaupun pemilihan umum adalah elemen pokok dalam institusi demokratis,
warganegara harus belajar bahwa di luar kegiatan tersebut, banyak
kesempatan partisipasi yang masih terbuka. Akhirnya, mereka hendaknya
mulai memahami bahwa pencapaian tujuan individu dan tujuan publik
cenderung seiring dengan partisipasi mereka dalam kehidupan politik dan
civil society. Mereka akan memiliki peluang lebih besar dalam mencapai
tujuan-tujuan pribadi baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara bila mereka adalah warganegara
yang berpengetahuan, efektif, dan bertanggung jawab.
Kecakapan Kewarganegaraan
Komponen esensial kedua Civic Education dalam masyarakat demokratis
adalah kecakapan kewarganegaraan (civic skill). Jika warganegara
mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai
anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai
pengetahuan dasar sebagaimana diwujudkan dalam lima pertanyaan
sebagaimana diuraikan di muka, namun mereka pun perlu memiliki kecakapankecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan.
Kecakapan-kecakapan intelektual kewarganegaraan sekalipun dapat dibedakan
namun satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kecakapan berpikir kritis
tentang isu politik tertentu, misalnya, seseorang harus memahami terlebih
dahulu isu itu, sejarahnya, relevansinya di masa kini, juga serangkaian
alat intelektual atau pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan isu
itu. Kecakapan-kecakapan intelektual yang penting untuk seorang
warganegara yang berpengatuan, efekif, dan bertanggung jawab, disebut
sebagai kemamuan berpikir kritis. The National Standards of Civic and
Government dan The Civic Framework for 1998 National Assessment of
Educational Progress (NAEP) membuat kategori mengenai kecakapan-kecakapan
ini adalah identifying and describing; explaining and analyzing; and
evaluating, taking, and defending positions on public issues (Branson,
1998:8). Civic Education yang bermutu memberdayakan seseorang untuk
mengidentifikasi atau memberi makna yang berarti pada sesuatu yang
berujud seperti bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, monumen
nasional, atau peristiwa-peristiwa politik dan kenegaraan seperti hari
kemerdekaan. Civic Education juga memberdayakan seseorang untuk memberi
makna atau arti penting pada sesuatu yang tidak berujud seperti nilainilai ideal bangsa, cita-cita dan tujuan negara, hak-hak mayoritas dan
minoritas, civil society, dan konstitusionalisme. Kemampuan untuk
mengidentifikasi bahasa dan simbol-simbol emosional juga sangat penting
bagi seorang warga negara. Mereka harus mampu menangkap dengan jelas
maksud-maksud hakiki dari bahasa dan simbol-simbol emosional yang
digunakan.
Kecakapan intelektual lain yang dipupuk oleh Civic Education yang bermutu
adalah kemampuan mendeskripsikan. Kemampuan untuk mendeskripsikan fungsifungsi dan proses-proses seperti sistem checks and balances atau judicial
review menunjukkan adanya pemahaman. Melihat dengan jelas dan
mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan seperti berpartisipasi dalam
kehidupan kewarganegaraan, imigrasi, atau pekerjaan, membantu warga
negara untuk selalu menyesuaikan diri dengan peristiwa-peristiwa yang
sedang aktual dalam pola jangka waktu yang lama.
Civic Education yang bermutu berusaha mengembangkan kompetensi dalam
menjelaskan dan menganalisis. Bila warga negara dapat menjelaskan
bagaimana sesuatu seharusnya berjalan, misalnya sistem pemerintahan
presidensil, sistem checks and balances, dan sistem hukum, maka mereka
akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mencari dan mengoreksi
fungsi-fungsi yang tidak beres. Warga negara juga perlu memiliki
kemampuan untuk menganalisis hal-hal tertentu sebagai komponen-komponen
dan konsekuensi cita-cita, proses-proses sosial, ekonomi, atau politik,
dan lembaga-lembaga. Kemampuan dalam menganalisis ini akan memungkinkan
seseorang untuk membedakan antara fakta dengan opini atau antara cara
dengan tujuan. Hal ini juga membantu warga negara dalam mengklarifikasi
berbagai macam tanggung jawab seperti misalnya antara tanggung jawab
publik dan privat, atau antara tanggung jawab para pejabat – baik yang
dipilih atau diangkat – dengan warga negara biasa.
Dalam masyarakat yang otonom, warga negara adalah pembuat keputusan. Oleh
karena itu, mereka perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan
mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu
sangat penting jika nanti mereka diminta menilai isu-isu yang ada dalam
agenda publik, dan mendiskusikan penilaian mereka dengan orang lain dalam
masalah privat dan publik.
Di samping mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan intelektual, pendidikan
untuk warga negara dan masyarakat demokratis harus difokuskan pada
kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk partisipasi yang bertanggung
jawab, efektif, dan ilmiah, dalam proses politik dan dalam civil society.
Kecakapan-kecakapan tersebut jika meminjam istilah Branson (1998: 9)
dapat dikategorikan sebagai interacting, monitoring, and influencing.
Interaksi (interacting) berkaitan dengan kecakapan-kecakapan warga negara
dalam berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Berinteraksi
adalah menjadi tanggap terhadap warga negara yang lain. Interaksi berarti
bertanya, menjawab, dan berunding dengan santun, demikian juga membangun
koalisi-koalisi dan mengelola konflik dengan cara yang damai dan jujur.
Memonitor (monitoring) sistem politik dan pemerintahan, mengisyaratkan
pada kemampuan yang dibutuhkan warga negara untuk terlibat dalam proses
politik dan pemerintahan. Monitoring juga berarti fungsi pengawasan atau
watchdog warga negara. Akhirnya, kecakapan partisipatoris dalam hal
mempengaruhi, mengisyaratkan pada kemampuan proses-proses politik dan
pemerintahan – baik proses-proses formal maupun informal – dalam
masyarakat.
Adalah sangat penting untuk membangun kecakapan partisipatoris sejak awal
sekolah dan terus berlanjut selama masa sekolah. Murid yang paling muda,
dapat belajar dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok kecil dalam
rangka mengumpulkan informasi, bertukar pikiran, dan menyusun rencanarencana tindakan sesuai dengan taraf kedewasaan mereka. Mereka dapat
belajar untuk menyimak dengan penuh perhatian, bertanya secara efektif,
dan mengelola konflik melalui mediasi, kompromi, atau menjalin konsensus.
Murid-murid yang lebih senior dapat dan seyogyanya mengembangkan
kecakapan-kecakapan memonitor dan mempengaruhi kebijakan publik. Mereka
hendaknya belajar bagaimana meneliti isu-isu publik dengan menggunakan
perangkat-perangkat elektronik, perpustakaan, telepon, kontak personal,
dan media. Menghadiri pertemuan-pertemuan publik mulai dari tingkat
organisasi siswa (OSIS), komite sekolah, dewan pendidikan, dan dengar
pendapat dengan anggota legislatif, sebaiknya juga menjadi bagian
pengalaman pendidikan siswa tingkat sekolah menengah atas. Observasi ke
pengadilan dan mempelajari tata kerja sistem peninjauan ulang hukum
(judicial review) juga hendaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari
kegiatan civic education mereka. Kendati demikian, pengamatan itu sendiri
tidaklah memadai, murid-murid tidak hanya perlu disiapkan untuk
pengalaman-pengalaman seperti itu, yang mereka butuhkan adalah peluangpeluang yang terencana dan terstruktur dengan baik agar dapat
merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka tadi di bawah bimbingan para
pembina yang cakap dan pandai.
Jika menghendaki agar warga negara dapat mempengaruhi jalannya kehidupan
politik dan kebijakan publik, mereka perlu menambah jam terbang mereka
dalam kecakapan-kecakapan partisipatoris itu. Voting tentu merupakan alat
yang penting dalam rangka mempengaruhi; tetapi ia bukanlah merupakan
satu-satunya cara. Warga negara perlu belajar menggunakan cara-cara lain.
Dalam kaitan ini Branson (1998:10) menjelaskan sebagai berikut.
Voting certainly is an important means of exerting influence; but it is
not the only means. Citizens also need to learn to use such means as
petitioning, speaking, or testifying before public bodies, joining ad-hoc
advocacy groups, and forming coalitions.
Selain voting cara lain yang dapat dipergunakan warga negara untuk
mempengaruhi jalannya kehidupan politik sebagaimana dikemukakan Branson
adalah mengajukan petisi, berpidato, atau menunjukkan kebolehan di depan
anggota-anggota badan publik, bergabung dengan kelompok-kelompok advokasi
dan membentuk koalisi-koalisi. Sebagaimana halnya kecakapan-kecakapan
interaksi dan memonitor, kecakapan mempengaruhi dapat dan seyogyanya
dikembangkan secara sistematik.
Watak Kewarganegaraan
Komponen dasar ketiga dari civic education adalah watak kewarganegaraan
(civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun
privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi
konstitusional. Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan
kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang
telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas,
dan organisasi-organisasi civil society. Pengalaman-pengalaman demikian
hendaknya membangkitkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan
adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu.
Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu
adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian
sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law),
berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan
berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi
berjalan sukses.
Secara singkat karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan
sebagai berikut.
Menjadi anggota masyarakat yang independen.
Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari
luar menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang
diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota
masyarakat demokratis.
Memenuhi tanggung jawab personal kewargaanegaraan di bidang ekonomi dan
politik.
Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan
merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti
informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu,
membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan pelayanan
masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu.
Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersikap
sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warganegara,
dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan prinsip mayoritas namun tetap
menghargai hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat.
Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan
bijaksana.
Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan
atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang
santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila
diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan
pribadi seseorang sebagai warganegara harus dikesampingkan demi memenuhi
kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya
atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutan-tuntutan
kewarganegaraan tertentu.
Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.
Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan
publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip
konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembagalembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil
langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini
mengarahkan warganegara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan
legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan
tidak bjaksana.
Pentingnya watak kewarganegaraan ini jarang sekali ditegaskan. Karakter
publik dan privat yang mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin
lebih merupakan dampak dari pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai
warganegara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya di New York pada tahun
1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan dalam kata-kata yang
sekarang menjadi amat populer:
Liberty lies in the hearts of men and women; when it dies there, no
constitution, no law, no court can save it; no constitution, no law, no
court can even do much to help it. While it lies there, it needs no
constitution, no law, no court to save it (Branson, 1998: 12).
Kebebasan terletak pada hati manusia, baik pria maupun wanita. Bila ia
sirna maka tak ada konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat
menyelamatkannya. Bahkan konstitusi, hukum, dan pengadilan tak dapat
berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan lagi
konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid. 1994. Madrasah Nizhamiyah: Studi Tentang Hubungan Pendidikan
Islam dan Politik, Tesis Magister Ilmu Agama Islam, Program Pascasarjana
IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta.
Abernethy, David dan Coombe, Trevor. 1965. “Education and Politics in
Developing Countries”, dalam Harvard Educational Review, Vol. 35, No. 3,
hlm. 287-302.
Assegaf, Abd. Rahman. 2005. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran
Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi,
Yogyakarta: Penerbit Kurnia Kalam.
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Jakarta: Logos.
Bahmueller, C.F. dan Patrick, J.J. 1999. Principles and Practices of
Education for Democratic Citizenship; International Perspectives,
Bloomington: the ERIC Adjunct Clearinghouse for International Civic
education.
Bloom, Allan. 1987. Closing of the American Mind, New York: Simon and
Schuster.
Budimansyah, Dasim. 2007. UUD 1945: Bahan Pengayaan Pendidikan
Kewaraganegaraan, Bogor: CV Regina.
Budimansyah, Dasim dan Syaifullah (ed). 2006. Pendidikan Nilai-Moral
dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Laboratorium PKn UPI.
Cogan, J.J. dan Derricott,R. 1998. Citizenship for the 21st Century; An
International Perspective on Education,London: Kogan Page.
Depdiknas. 2002. Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah,
Jakarta: Bagpro Publikasi dan Sosialisasi Pendidikan Ditjen Dikdasmen.
Departemen P dan K (1968a) Kurikulum Sekolah Dasar, Jakarta
_______ (1968b) Rencana Pendidikan SMP, Jakarta
_______ (1968c) Rencana Pendidikan SMA, Jakarta
_______ (1969) Pedoman Kerja Sekolah Pendidikan Guru, Jakarta
_______ (1975a) Kurikulum Sekolah menengah Atas 1975 : Buku I
Pokok, Jakarta : Balai Pustaka
Ketentuan
_______ (1975b) Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975 : Buku II B Bidang
Studi Pendidikan Moral Pancasila, Jakarta : Balai Pustaka
_______ (1993) Kurikulum 1994 Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah,
Jakarta
_______(1990a) Konsep dan Strategi Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah
Menengah: Suatu Penelitian Kepustakaan, Jakarta: P2LPTK ,Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
_______(1990b) Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di
Sekolah Menengah, Jakarta: P2LPTK, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
_______(2000) Statuta Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung:UPI
Djojonegoro, Wardiman, dkk. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan
Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djumhur, I. dan Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu.
Freire, Paulo. 1999. Politik Pendidika: Kebudayan, Kekuasaan dan
Pembebasan, penerj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harman, G. 1980. “Reassessing Research in the Politics of Education”,
dalam Educational Research and Perspektive (the Governnance of
Education), Departement of Education, University of Western Australia.
Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan
Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Kerr, David. (1999). Citizenship Education: An International Comparrison.
England: nfer, QCA.
---------------. (1999). Citizenship Education in the Curriculum: An
International Review. England: nfer, QCA.
Kuntoro, Sodik A. 1997. Menelusuri Perkembangan Pendidikan Nasional di
Indonesia: Peran Pendidikan Bagi Integritas Bangsa, pidato Pengukuhan
Guru Besar, IKIP Yogyakarta.
Nandika, Dodi. 2007. Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta:
LP3ES.
Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara Kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajawali
Press.
Suryadi, Ace. 2002. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan, Jakarta:
PT Balai Pustaka.
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2003. Pendidikan Nasional Menuju
Masyarakat Indonesia Baru, Bandung: PT Genesindo.
Tilaar, HAR. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang: Indonesiatera.
PAGE
PAGE
23
6
À
Ç
È
M
R
7
8
9
a
b
u
v
w
¿
š
¡
ïçßçÖÊ¿·«·«¡«·’†viZKZ;
h|s" hxXó 6 •CJ OJ QJ aJ
h|s" hTf—
CJ OJ QJ aJ
h|s" hxXó CJ OJ QJ aJ
h À 5 •CJ OJ QJ aJ
h¡^o h¡^o 5 •CJ OJ QJ aJ
h À CJ OJ QJ aJ
hœ c h À CJ O
J QJ aJ
h³[~ 0J OJ QJ
j
h³[~ OJ QJ U
h³[~ OJ
QJ
QJ
h³[~
h³[~ OJ
QJ
h
À
h
À 5 •OJ
QJ
hœ c 5 •OJ
h
À OJ
QJ
hœ c OJ
hœ c h
•
QJ
À 5 •CJ$ OJ
QJ
aJ$
8
w
¦
¿
À
È
ž
Ÿ
®
O
Ÿ
ë
Y
w
÷
ã
¹
x
÷
÷
ã
¹
÷
÷
È
¹
ë
ã
Û
¹
¹
Ó
¹
¹
ã
$
$
$
Ž
„Ð dh
`„Ð a$ gdÀD!
dh
a$ gdÀD!
$ a$ gdxXó
„h ^„h a$ gd³[~
$ a$ gd® Ë
$ a$ gdxXó
¡
$ a$ gd® Ë
œ
•
ž
Ÿ
-
®
¯
1
2
4
•
€
_
œ
hœ c
p
§
hn
x
â
—
ã
6 •OJ
ç
QJ
0
;
ñâñÒŵ¨ • • • y • • • q f^VJ
hn
OJ
QJ
h
À OJ
QJ
h
À
h
À OJ
QJ
h´~Ä OJ
QJ
h—p¤ OJ
QJ
h¦#O
h¦#O 6 •OJ
QJ
hÌ E OJ
QJ
h¦#O
hÌ E OJ
QJ
h¦#O OJ QJ
h À 5 •CJ OJ QJ aJ h„
h À 5 •CJ OJ QJ aJ
hœ^r 5 •CJ OJ QJ
h|s" hœ^r 5 •CJ OJ QJ aJ
h|s" hTf—
CJ OJ QJ aJ
h|s" hxXó CJ OJ QJ aJ
;
aJ
-
o
D
w
CJ
•
E
x
OJ
ž
z
QJ
Ÿ
“
aJ
µ
N
O
¢
©
®
°
»
¼
Ë
ï
D
E
Z
_
`
Š
•
©
À
X
Y
øðøèøðøðàØÐÄÐؼØÐؼ´¬´ð´¤œ´¤´¤¤ˆ´¤Ð¤Ð€xl
ð
h\q*
hÀD! OJ
QJ
h´~Ä OJ
QJ
hX Ñ OJ
QJ
hOaË
hOaË 6 •OJ
QJ
h%;5 OJ
QJ
hOaË OJ
QJ
h6 ™ OJ
QJ
híG] OJ
QJ
h\<¨ OJ
QJ
h·a:
h·a: 6 •OJ
QJ
h·a: OJ
QJ
h _º OJ
QJ
h
À OJ
QJ
h¡^o OJ
QJ
hœ c OJ
QJ
hn
7
M
e9
ŠO
OJ
Å>
÷
QJ
¶C
)x
3I
y
z
U%
V%
v%
ì
Ý
÷
¯
Ô)
/
P1
Ý
Ý
¾
¯
•!
÷
ì
Î
”
r6
a7
Ý
Ý
¯
¯
þ4
ì
Ý
¯
b
¯
$
„
dh
`„
a$ gdÀD!
$
„
³
„
]„
^„
a$ gd:
$
„
dh
`„
a$ gdÀD!
$
$
„Ð dh
`„Ð a$ gdÀD!
dh
a$ gdÀD!
$ a$ gd® Ë
“
”
¦
¬
Å
Ú
"- #- 6ˆ • œ! •! –" —" ¾# ¿# %$ T% U% V% u% v% “&
( ¡( ¢( µ( Ô( Ô) æ) ç) <* Ó* Ô* Ç, ñéáÕáéáéáÉáÁ¹±¹±¹±¹±¢“‹ƒxp
xpxƒhƒ`p`
hÍ € OJ
QJ
hœ^r OJ
QJ
h$J¬ OJ
QJ
hu!•
hu!• OJ
QJ
hu!• OJ
QJ
h\q* OJ
QJ
h\q*
h® Ë CJ
OJ
QJ
aJ
h\q*
h\q* CJ
OJ
QJ
aJ
h® Ë OJ
QJ
hynÆ OJ
QJ
h„
OJ
QJ
h6 d
h6 d 6 •OJ
QJ
h6 d
hä|ú 6 •OJ
QJ
h6 d OJ
QJ
hä|ú OJ QJ
h„
hœ c CJ OJ QJ aJ #Ç, ï. ø.
/
/ û/
0
0 '0 0 .0 ˆ0 °0 ¶0 ¸0 Ë0 (2 /2 Z2 _2 23 R3 {3 •3 _4 ý4 þ4 m5
u5 w5 ®5 ¶5 ð5 ñ5 \6 d6 q6 r6 øìøäÜÔÜÌÜÌÜÌÀ·ÔÌÀÌÀ̯̣̯ܯ—
¯ƒ{o¯
hÌFÕ h:
³ 6 •OJ QJ
hÌFÕ OJ
QJ
hÌFÕ
hÌFÕ 6 •OJ
QJ
h:
³ OJ QJ
h:
³ h ^¸ 6 •OJ QJ
h ^¸
hG^Ñ 6 •OJ
QJ
h ^¸ OJ
QJ
hiE; 6 •OJ
QJ
hG^Ñ
hG^Ñ 6 •OJ
QJ
hG^Ñ OJ
QJ
hiE; OJ
QJ
hÍ € OJ
QJ
hu!• OJ
QJ
h f?
h f? 6 •OJ
QJ
h f? OJ QJ %r6 a7 b7 d8 i8 d9 e9 ”9 Ã9 Z: i: ‚: Ž: ´: ¹:
º: Û: Þ: ö: ÷: ¤; ¦; ”< •< <= N= Y= y= •= ì= õ= Š> ™>
Ä> Å> ê> ë> ¨? (@ b@ zA ïàØÌØÄظظجج£¬Ø›“›“›‡›“{“{“{“{“Ø“s“k“s
hFv
OJ
QJ
h0^I OJ
QJ
hävü
hävü 6 •OJ
QJ
hîv©
hîv© 6 •OJ
QJ
hävü OJ
QJ
hîv© OJ
OJ QJ
QJ
hävü 6 •OJ
QJ
hîv©
hU > 6 •OJ
QJ
hU >
hU > 6 •
h:
³ OJ
QJ
hÌFÕ
hU > 6 •OJ
QJ
hU > OJ QJ
h:
³ h:
³ CJ OJ QJ aJ
h:
³ h:
³ 6 •CJ OJ QJ aJ
(zA
B 7B FB kB /C 9C CC
>F IF JF
{A
µC
B
-D
%D
=D
HD
KE
PE
iE
xE
yE
ÒE
=F
G
G
WG ]G {G ŒG 2I 3I øI
J ÌJ ÕJ DK
M
M QN øðäðäðÜÐÜÈðäðäð¼ð¼³ð«ø«ø«ø«Ÿ«Ÿ«—
•‡‡‡‡‡
EK
hL
rL
{L
~L
ÕL
ïL
hzOT OJ
QJ
hÔSq OJ
QJ
h˜nô OJ
QJ
hävü OJ
QJ
hÏXÔ
hÏXÔ 6 •OJ
QJ
hÏXÔ OJ
QJ
h„n
6 •OJ
QJ
hÏXÔ
h0^I 6 •OJ
QJ
hÅ
e OJ
QJ
hFv
hFv
6 •OJ
QJ
hFv
OJ
QJ
h0^I
h0^I 6 •OJ
QJ
h0^I OJ
QJ
h„n
OJ QJ /QN YN qN ‹N ·N ÖN #O 0O ^O cO gO hO vO {O ˆO ŠO
ÔP ÕP êP þP ]Q eQ ’Q
Q ·Q ¼Q sR zR ïR ðR ¬S »S ½S ÌS
îS
T vT øðøðèðÜðÑèÑÜðÜðÉ𺫣—£—£—£—£‡{‡o‡g‡
hADi OJ
QJ
hÛfý
håzÑ 5 •OJ
QJ
håzÑ
håzÑ 6 •OJ
QJ
håzÑ OJ
QJ
hÛfý OJ
QJ
h˜*6
h˜*6 6 •OJ
QJ
h˜*6 OJ
QJ
h˜*6
h\q* CJ
OJ
QJ
aJ
h˜*6
h˜*6 CJ
OJ
QJ
aJ
hŽhl OJ
QJ
h¾W
hÔSq OJ
QJ
hÔSq
hÔSq 6 •OJ
QJ
h¾W OJ
QJ
hÔSq OJ
QJ
h…
Ès
OJ
Ðs
QJ
t
Ö
Ö
Î
$ŠO ÔP ÕP þP ðR
t !t 3t Mt ð
Ö
Ö
Ö
Î
Æ
µV
aY
R^
ð
Ö
†a
d
ÿe
å
wj
åp
Ö
Ö
º
hn
Ö
Ö
Ö
Ql
Ö
º
º
$
$ If
a$ gd•M
$ a$ gdå>Ç
$ a$ gd¦aM
$
$
„Ð
dh
dh
`„Ð a$ gdÀD!
a$ gdÀD!
$ „
dh
`„ a$ gdÀD!
vT ƒT …T šT
T ®T ºT lU zU |U ŒU
’U
U
V %V ´V µV ÄV ÆV ÇV aW hW »W ÁW
X #X FX VX •X
‡X
Y
Y `Y aY vY •Y r[ t[ óëßëßë×Ë׿׿׿׷«¢—•ƒƒƒƒƒƒ×wog_
hyc„ OJ
QJ
h~2# OJ
QJ
h´7¾ OJ
QJ
h~2#
h~2# 5 •OJ
QJ
hŽw
hŽw
6 •OJ
QJ
hŽw
QJ
OJ
QJ
h´7¾
h´7¾ OJ
QJ
h´7¾ 5 •OJ
QJ
hŽw
hÛfý 5 •OJ
h˜*6 OJ
QJ
hÛfý
hÛfý 5 •OJ
QJ
hÛfý
hÛfý 6 •OJ
QJ
hÛfý OJ
QJ
hÛfý
håzÑ 5 •OJ
QJ
håzÑ OJ QJ
ø^ ý^
_
_
_ ©_ €`
—
c Ÿc »c Éc
hb
hÛfý
håzÑ 6 •OJ
QJ
%t[
Áa
€[
Õa
â]
áa
ã]
âa
Q^
c
R^
(c
\^
*c
æ^
~a
‚a
„a
…a
†a
‘a
:c
•c
Ìc
Õc
ác
ñc
óc
óëãëÛÏëÏëÏëÇ¿Ç¿Ç¿Çë³Ç§Ç¿Ÿ“‹Ÿ‹wŸo¿o¿c¿
s
h+K× 6 •OJ
QJ
hÏ\Ç OJ
QJ
hb
s OJ
QJ
h¨&a
h¨&a 6 •OJ
QJ
h¨&a OJ
QJ
h dŽ
h dŽ 6 •OJ
QJ
h dŽ OJ
QJ
h‹p!
h‹p! 6 •OJ
QJ
h dŽ
h‹p! 6 •OJ
QJ
h+K× OJ
QJ
h‹p! OJ
QJ
h‹p!
hyc„ 6 •OJ
QJ
hŽw
OJ
QJ
h 01 OJ
QJ
hyc„ OJ QJ
hyc„ hyc„ 6 •OJ QJ
&óc ýc
d
d Gd Nd Sd cd
¹d ºd Ød Ýd üd ÿd 9e te ue ve |e ³e ¹e þe ÿe
f xf yf Ýf og vg šg ¢g
h /h Ph Uh –
h •h @i Gi öi
j 'j +j 1j vj wj øðèøÜøÔøÌøÜøÔøÔøÌÀÌÔ̸¬¤œ¤œœ
œ…œœœœÔœ}œ}ø
hw\d OJ
QJ
hw\d
hTgê OJ
QJ
hw\d
hTgê 6 •OJ
QJ
hTgê OJ
QJ
h´7¾ OJ
QJ
h´7¾
h´7¾ 5 •OJ
QJ
h‹p! OJ
QJ
hb
s
hb
s 6 •OJ
QJ
hb
s OJ
QJ
h 01 OJ
QJ
hb
s
h¨&a 6 •OJ
QJ
h dŽ OJ
QJ
h+K× OJ
QJ
h¨&a OJ
QJ
-wj
o
,o 7o 8o Co Do bo co oo •o €o žo xp ˜p ¢p £p ¬p -p ·p
¸p Çp Èp Öp ×p Ìq Ñq ãq éq öq
r ;r •r ºr ér 1s Ps –
s µs Çs Ès
t
t Nt ©t óéóéóéóéóÛÐéóéóéóéóéóéóéóéóéÆóéóéóéóé¼é±¥–
†w
h•M h¦aM CJ OJ QJ aJ
h•M h¦aM 5 •CJ OJ QJ aJ
hÌWt h¦aM CJ OJ QJ aJ
hÌWt h¦aM 5 •
OJ QJ
hå>Ç h½>½ OJ QJ
h 2í OJ QJ ^J
hÞ{Â OJ QJ ^J
h
å>Ç 6 •OJ QJ ^J
hå>Ç hå>Ç 6 •OJ QJ ^J
hå>Ç OJ QJ ^J
hå>Ç
hå>Ç OJ QJ ^J ,Mt Nt \t rt Ñt q
h
h
h
$ If
l
Ö
gd¦aM Ž
kd
$ $ If
ÖF ”ÿË
," 7
–
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
4Ö
l aö
yt•M
©t ªt Òt Ót
v
v õv öv Gw Tw “w Sx Tx lx px wx yx —
x ˜x y
y zy |y …y †y ²y ´y µy Èy èy óy Tz fz
z ¡z Õz Öz P{ Q{
•{ •{ Š{ ‹{ ß{ ñâÓâñâÓâñâÄâĵÄâÄâÄâÄâÄâÄñ¦ñÄñÄñÄñÄñÄâ—
âˆây
h•M h• Ü CJ OJ QJ aJ
h•M heBˆ CJ OJ QJ aJ
h•M hísÜ CJ OJ QJ aJ
h•M h•Q- CJ OJ QJ aJ
h•M hâ
à CJ
OJ
QJ
aJ
h•M
h÷
¡ CJ OJ QJ aJ
M h¦aM CJ OJ QJ
M hX!Ã CJ OJ QJ
f
$ If
l
4
Ö
h•M hÞ{Â CJ OJ QJ aJ
aJ
h•aJ +Ñt Òt ßt àt át o
gd¦aM
•
kd©
$
ÖF ”ÿË
$ If
," 7
h•f
f
–
` G
`
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
át ât ït
$ If
l
4
Ö
4Ö
ðt
ñt
o
gd¦aM
•
f
kd_
$
ÖF
$ If
”ÿË
f
f
–
,"
7
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
l aö
u u Qu
ÿ
ÿ4Ö
yt•M
ñt
o
4
Ö
þt
f
$ If
l
4Ö
òt
gd¦aM
f
•
kd
$
ÖF
f
$ If
”ÿË
f
–
,"
7
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
Qu Ru ]u
$ If
l
Ö
4Ö
¸u
æu
gd¦aM Ž
q
h
kdË
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
æu çu ýu
$ If
l
Ö
4Ö
‰v
Æv
gd¦aM Ž
q
h
kdt
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
Æv Çv ãv
$ If
l
Ö
4Ö
Tx
xx
gd¦aM Ž
q
h
kd
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
l aö
y {y
ÿ
ÿ4Ö
yt•M
xx
q
$ If
l
Ö
4Ö
yx
h
˜x
gd¦aM Ž
©x
h
kdÆ
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
{y |y †y
$ If
l
Ö
4Ö
Q{
€{
gd¦aM Ž
q
h
kdo
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
€{ •{ ‹{
$ If
l
Ö
4Ö
}
7}
gd¦aM Ž
q
h
kd
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
ß{ à{
}
}
€ E‚ F‚ uƒ zƒ
¦ñ–‡wgX
hÌWt hX!Ã 6 •CJ
hÌWt heBˆ 6 •CJ
hÌWt heBˆ 5 •CJ
M h¿x CJ OJ QJ
M h¦aM CJ OJ QJ
ò CJ OJ QJ
h
4Ö
6} 8} A} B} ”~ •~ Å~ Ç~ Ð~ Ñ~ Ù• Ú• (€ *
Žƒ ¶ƒ ¸ƒ ¾ƒ Àƒ ǃ ȃ Òƒ ñâÓñÓÄÓñÓñÓÄÓñÓñÓñµñ¦ñ
hÌWt hX!Ã CJ OJ QJ aJ
OJ QJ aJ OJ QJ aJ
hÌWt heBˆ CJ OJ QJ aJ
OJ QJ aJ
h•M h\4Í CJ OJ QJ aJ
h•aJ
h•M heBˆ CJ OJ QJ aJ
h•aJ
h•M h• Ü CJ OJ QJ aJ
h•M h
aJ
7} 8} B} •~ Æ~ q
h
h
$ If
l
Ö
gd¦aM Ž kdÁ
ÖF ”ÿË
,"
$
7
$ If
–
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
Æ~ Ç~ Ñ~
$ If
l
Ö
4Ö
Ú•
)€
gd¦aM Ž
q
h
kdj
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
)€ *€ A€
4Ö
••
Ý•
q
h
h
_
$ If
Ü
l
$ If
Ö
gd¦aM Ž
kd
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
–
7
gdm
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
l aö
yt•M
Ý• Þ• ö•
$ If
l
Ö
4Ö
Žƒ
·ƒ
gd¦aM Ž
q
h
kd¼
$
ÖF
$ If
”ÿË
,"
h
–
7
h
G
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
4Ö
l aö
yt•M
·ƒ ¸ƒ Óƒ Ôƒ Õƒ ìƒ í† ÛŠ IŽ
d
Y
H
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gdÀD!
$ dh
a$ gdÀD!
$ a$ gdå>Ç
l Ö
ÖF ”ÿË
q
l
H
gd¦aM Ž
," 7
l
H
kde
$
$ If
G
–
t
à
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
4Ö
l aö
yt•M
Òƒ Ôƒ Õƒ ìƒ Fˆ Pˆ •ˆ žˆ ýˆ þˆ
•
• 8’ =’ >’ D’ G“ L
“ M“ T“ š“ §“ ÿ”
• E• G• r• }• •• †• “— ”—
K• L• О ñæÔǽǯǽǥǯš¯Ç¯š¯Ç¯Ç½Ç½‰|l|l_l_l
h&#. 5
•OJ QJ \ •^J
- h•zå h•zå 5 •OJ QJ \ •^J
h•zå 5 •OJ QJ \ •^J
hœ^r h•zå CJ OJ QJ ^J aJ
h&#. 6 •CJ OJ QJ
h&#. CJ OJ QJ
h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ
h•zå CJ OJ QJ
h•zå h•zå CJ OJ QJ
# h˜*6 h•zå 5 •CJ OJ QJ ^J aJ
hå>Ç h¦aM OJ QJ
hÌWt h¦aM
CJ OJ QJ aJ "IŽ º’ F• G• r• ë—
†š åœ K
L
M
N
|
;£ é¤ ˆ¨ Ï« ¾° _µ ù· î
î
ä
Ù
Ê
Ê
Ê
Ê
Â
Â
Â
Ù
Ê
Ê
Ê
Ê
Ê
Ê
©
$
„2
„
„Ð
dh
¤
]„2 ^„
`„Ð a$ gdÀD!
$ a$ gd•zå
$
$
„Ð
dh
dh
`„Ð a$ gdÀD!
a$ gdÀD!
$ ¤ a$ gd•zå
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gdÀD!
О ãž Ÿ .Ÿ «Ÿ ËŸ K
L
N
|
D¢ I¢ J¢ P¢ -£ £ X£ ©£ Ä£ Σ
¤ %¤ &¤ ¤ ’¤ œ¤ 4¥ 9¥ :¥ @¥ ©¥ ¸¥ ⥠2§ íÝÐÝÐÝƼ«ÝšŒšÝ•Ý•ÝíÝíoíÝíÝíoíÝ
bUÝ
hæ ¯ 5 •OJ QJ \ •^J
h U–
5 •OJ QJ \ •^J
- hž/þ 5 •6 •OJ QJ \ •] •^J
hž/þ 5 •OJ QJ \ •
^J
hž/þ 5 •6 •OJ QJ \ •^J ! h•zå h•zå 5 •6 •OJ QJ \ •^J
hœ^r h•zå CJ OJ QJ ^J aJ
h&#. OJ QJ ^J
h•zå OJ QJ ^J
h&#. 5 •OJ QJ \ •^J
- h•zå h•zå 5 •OJ QJ \ •^J
$ h•zå h•zå 5
•6 •OJ QJ \ •] •^J !2§ ?§ ™§ •§ ¢§ ·§ Á§ Ƨ ù§ þ§ !¨ &¨ 4¨
<¨ E¨ J¨ T- s- œ­ ž­ 3¯ 8¯ 9¯ @¯ Õ¯ Ú¯ Û¯ ᯠP± Q± s±
1² G² N² V² _µ
¶
¶ Ì· Ý· ì· ö· ù· <¸ óãÖóÖãóãóãóãÃãóãóãóãóÃãóÃã¦ÖãÖãÖ㛐›››
~
h•zå h•zå CJ OJ QJ aJ
h•zå h
•zå 6 •OJ QJ ] •
h•zå h•zå OJ QJ
h•zå h•zå OJ QJ ^J
- hž/þ
5 •6 •OJ QJ \ •] •^J
$ h•zå h•zå 5 •6 •OJ QJ \ •] •^J
hæ ¯ 5
•OJ QJ \ •^J
- h•zå h•zå 5 •OJ QJ \ •^J
hž/þ 5 •OJ QJ \ •^J
+<¸ N¸
¹
¹ 4¹ <¹ á¹ þ¹ ʺ ׺ ‡¼ £¼ ª¼ °¼ ±¼ ²¼ ³¼ ü
Ÿ¾ °¾ ï¾
¿
Ä
A¿
˜Ä
N¿
·Ä
,Á /Á 0Á 3Á ÝÁ éÁ ëÁ
 ®Ã ¼Ã ‰Ä ŠÄ ‘Ä —
,Å =Å öÅ
Æ
Æ
Æ !Æ #Æ 9Æ îßîßîßîßÓßÓßîÄîÄîß´ßÓßÓߤ—
¤ßîˆîß´ß|ßîˆîß´ß|ß|ß|ß
hæ ¯ CJ OJ QJ aJ
hæ ¯ 6 •CJ OJ QJ ]
•aJ
hnO® 6 •CJ OJ QJ aJ
hnO® h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ
hnO® 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
hnO® CJ O
J QJ aJ
h•zå h•zå CJ OJ QJ aJ
" h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ ] •
aJ 0ù· Û¹ ¤¼ ×Á ‹Ä vÆ OÇ }È $Ë ÜÌ )Ï *Ï `Ï ÀÐ ñÓ î
î
î
î
î
î
Ö
Ö
º
¢
•
•
•
•
„
„
„Ð
dh
]„
^„
`„Ð gdjWs
$
&
F
Æ
&
F
Æ
&
F
Æ
dh
¤
a$ gdÀD!
ò
„“
dh
¤
ò
„
„›þ dh
ò
„•
dh
¤
$
^„“ a$ gdÀD!
¤
$
^„ `„›þa$ gdÀD!
^„• a$ gdÀD!
$
$
„Ð
dh
¤
`„Ð a$ gdÀD!
9Æ :Æ >Æ ?Æ UÆ ZÆ [Æ aÆ žÆ ¯Æ “Ç ¤Ç ŸÈ ¾È ÝÈ îÈ ýÈ
É
É É ðÊ ñÊ
Ì
Ì
Í
Í sÍ …Í (Ï )Ï *Ï ôåôåÕÅÕå³å£å—
å£å‹å‹å•åså£å•åg[
h€}ü CJ OJ QJ aJ
h•
zå CJ OJ QJ aJ
h§Uê CJ OJ QJ aJ
h° [ CJ OJ QJ aJ
huD
CJ OJ QJ aJ
hæ ¯ CJ OJ QJ aJ
h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ " h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
hŒYÌ hŒYÌ 6 •CJ OJ QJ aJ hŒYÌ h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ
h•zå h•zå CJ OJ QJ aJ
hŒYÌ CJ O
J QJ aJ -*Ï `Ï 1Ð 6Ð qÐ ©Ð ½Ð ¿Ð ÀÐ
Ñ 1Ñ 7Ñ FÑ _Ñ ~Ñ 2
Ò 3Ò „Ò †Ò •Ò ™Ò ½Ò
Ó ñÓ òÓ
Ô
Ô !Ô ;Ô ÁÔ ðÔ tÕ šÕ ñéáéáÕáÍŹŹŬž¬ž“‰¬ž¬{k¬]S¬ž¬ž¬
hi
- OJ QJ ^J
hjWs hjWs 6 •OJ QJ ^J - hü}ì hi
- 5 •OJ QJ \ •^J
hjWs hi
- OJ QJ \ •^J
hTf¥ OJ QJ ^J
hTf¥ 6 •OJ QJ ^J
hü}ì hi
- 6 •OJ QJ ^J
hü}ì hi
- OJ QJ ^J
hi
- hi
- 6 •OJ QJ
hi
- OJ
QJ
hjWs OJ
QJ
h»'å
h»'å 6 •OJ
QJ
h»'å OJ
QJ
h
¯ OJ QJ
h
¯ h«"o CJ OJ QJ aJ
šÕ ±Õ žÖ ŸÖ «Ö ÔÖ éÖ -× .×
Ø
Ø 0Ø 5Ø 6Ø aØ gØ hØ iØ ØØ ßØ ¬Ù ¹Ù ÃÙ °Ú ±Ú ÔÚ ÕÚ îÚ üÚ
Ü ñäÚο-¿¡¿•¿•}¿•}h¿•¿-•¿¡¿}Wο
hjWs h£ Ã B* OJ QJ \ •ph
) hh€ h£ Ã 5 •6 •B* OJ QJ \ •] •ph
# hh€ h£ Ã 5 •B* OJ QJ \ •ph
# hjWs h£ Ã 6 •B* OJ QJ \ •ph
h£
à B* OJ QJ ph
# hh€ h£ Ã 6 •B* OJ QJ ] •ph
hh€ h£ Ã B* OJ QJ ph
hTf¥ B* OJ QJ ph
hi
- OJ QJ ^J
hü}ì hi
- OJ QJ ^J
hü}ì hi
6 •OJ QJ ^J
ñÓ ŸÖ ±Ú
á <â Þç Fé
î iñ jñ †ñ Dô #÷ Rû
«þ •
¬
ë
Í
Î
Ï
ï
Ù
Ù
Ù
Ù
Ù
Ù
Î
Ã
Ã
´
´
´
´
´
´
´
´
Ã
Ã
$
$
$
„Ð
dh
dh
dh
`„Ð a$ gd¡y«
a$ gd£ Ã
a$ gd¡y«
$ „Ð
dh
¤
¤
[$ \$ `„Ð a$ gd£ Ã
„
Ü
„
dh
]„ ^„ gdi
Ü
Ü
Ü
Ü ,Ü HÞ gÞ
á
á ;â <â äâ êâ Íã ßã ,ä 7ä ¨ä ®ä éä ðä
Ýç Þç 1è Lè §è Òè Aé Eé Fé
î
î
î Eî ^î úï ðÞÒÃÒÃÒ÷÷
ÃÞæÃÞÃÞÃÞ÷ÃÞÚÈÃ}uh]u]
h¥{« h¡y« OJ QJ
h¥{« h¡y« OJ QJ ^J
h£ Ã OJ QJ
hëgµ h£ Ã OJ QJ
# hh€ h£ Ã 5 •B* OJ QJ \ •ph
hfLx B* OJ QJ ph
hjWs h£ Ã B* OJ QJ \ •ph
h£ Ã B* OJ QJ ph
hh€ h£ Ã B* OJ QJ ph
hTf¥ B* OJ QJ ph
# hh€ h£ Ã 6 •B* OJ QJ ] •ph
hTf¥ 6 •B* OJ QJ ] •ph
ð
ð áð
ñ -ñ =ñ @ñ Sñ hñ iñ jñ †ñ •ñ µó Ôó Ûö
2ú ?ú Êú ×ú >û Oû ký vý Îý âý •
Ž
e
r
½
Ê
Ä
Å
Í
Î
Ð
ê
$úï
ð
èö qù ~ù
O
[
Ì
ú
ÿ
G
ˆ
þ
!
&
5
ù
8
ĶÙíåíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙí®í¥œ¶íÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙí
h£ Ã 5 •OJ QJ
G
Æ
øíåíåíÙíÙíÌ
hrAË 5 •OJ QJ
hrAË OJ
QJ
h£ Ã
h¡y« 5 •6 •OJ
QJ
h£ Ã OJ
QJ
h¥{«
h¡y« OJ
QJ
^J
h¥{«
h¡y« 6 •OJ
QJ
hfLx OJ
QJ
h¥{«
h¡y« OJ
QJ
h¡y« OJ
Ð
ê
»
+
L&
é
õ'
QJ
=Ï
h
ö(
*
÷(
À*
å
å
Ö
ô
Á*
å
×*
í.
Ê
å
$
&
F
Æ
h
„`ú dh
`„`úa$ gd¡y«
A/
å
m/
ô
ô
å
»
å
»
¤
å
å
»
$
$
„
„
dh
`„ a$ gd¡y«
^„ a$ gd¡y«
$
„
dh
`„
a$ gd¡y«
$
$
„Ð
dh
#
dh
`„Ð a$ gd¡y«
a$ gd£ Ã
Æ
Ù
ß
î
+
:
$
w
„
ç
ò
ô
þ
'
†- •- “- ˜- $. S [ •$ Ÿ$ ß$ î$ L&
'
' õ' ö( ÷( þ(
) ¿* À* Á* ×* ò*
+
+ 1+ •, š, J. X. A/ óèóèóèóèóèóèÚèÚèÚÎÚÎÚÎÅÎÚÎÚÎÚÎÚκ®º®¦èóèž“…èóè
óèóèóè
h£ Ã h¡y« 5 •6 •OJ QJ
h¥{« h£ Ã OJ QJ
h¡y« OJ
QJ
hjWs OJ QJ
hÍrÌ h¡y« 6 •OJ QJ
hÍrÌ h¡y« OJ QJ
h¡y« OJ Q
] • h¥{« h¡y« OJ QJ ] • h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ ] •
h¥{« h¡y« OJ
QJ
h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ
4A/ m/ þ/
0 ]0 g0 h0 }0 “0 ”0
å0 >2 y2 ˆ3 £3 ¤3 Ù3 à5 "6 j6 k6 ¨9 ¢: ·: ÿ;
<
J
<
<
< $<
‰ym]m
h€}ü h€}ü 6
h€}ü hÀ ¸ 5
h€}ü h€}ü 5
OJ QJ ] •
m<
¬<
óèàèØàØèØóèóèóÏóèóèàèÁµè¦–
•CJ OJ QJ aJ
h€}ü CJ OJ QJ aJ
•CJ OJ QJ aJ
h€}ü 5 •CJ OJ QJ aJ •CJ OJ QJ aJ
hÀD! hÀD! CJ OJ QJ aJ
h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ ] •
h¡y« 5 •OJ QJ
h¥{«
h¡y«
h¡y« OJ
QJ
h´# OJ QJ
m/ ”0 å0 >2
Õ
Æ
Õ
’
h¥{« h¡y« OJ
y2 ˆ3 Ù3 à5
¯
Æ
QJ
"6
"8
…
h¥{« h¡y« 5 •OJ
¨9 ·: ¸: ÿ;
Æ
Õ
—
QJ
< ì
Æ
$
dh
¤
a$ gdÀD!
gd¡y«
„h ^„h gd¡y«
$
&
F
Æ
„Ð
dh
`„Ð a$ gd¡y«
h
„`ú dh
`„`úa$ gd¡y«
$
$
&
F
Æ
„h
dh
h
„h
^„h a$ gd¡y«
dh
^„h a$ gd¡y«
$
$
„h
„˜þ dh
^„h `„˜þa$ gd¡y«
<
@
<
<
“@ õ
<
Ç<
Ù
É
È<
õ
e=
f=
Ù
Ù
>
ë
>
w>
x>
Ù
O?
Ÿ?
Ù
¹
?
@
Ù
@
’
Ù
É
©
¹
$ „„ „|ü^„„ `„|üa$ g
dwD7
$ „h „˜þ^„h `„˜þa$ gdZy›
$ „„ „|ü^„„ `„|üa$ gdjWs
$ „8 „Èû ¤ ^„8 `„Èûa$ gdZy›
$ ¤ a$ gdZy›
$ ¤ a$ gdZy›
¬< °< Á< Ã< += E= f= ‚= ê=
> '> g>
w> x> ¡> ý> L? N? O? c? •? Ÿ?
? º? ð?
@ ôèÜèÌèÀ°À¤”¤Œ•u•
Œ¤èÌèh[J[
! hŠ u hŠ u 5 •6 •OJ QJ \ •^J
hŠ u 5 •O
J QJ \ •^J
hÒ_„ 5 •OJ QJ \ •^J
h~6q hjWs 6 •OJ QJ
h~6q
hjWs OJ QJ
©
Ù
N?
Ù
¹
hjWs OJ QJ
hŠ u hŠ u 6 •CJ OJ QJ aJ
hŠ u CJ OJ QJ aJ
hÍe¨ hÍe¨ 6 •CJ OJ QJ aJ
hÍe¨ CJ OJ QJ aJ
h€}ü h€}ü 6 •CJ OJ QJ aJ
hQZ CJ OJ QJ aJ
h€}ü CJ OJ QJ aJ
hp ½ CJ OJ QJ aJ
@
@
@ %@ 2@ s@ ’@ “@ ¶@
A
A
A
A (A XA
A ¡A ¢A ½A ÔA
îA ïA
B !B 7B QB vB ‘B øíåíÙíÌíÙíø¿¯ž¯‘ƒr`rL`r`r`r
& hV=‡ hV=‡ 5 •6 •OJ QJ ^J mH
sH
# hV=‡ hV=‡ 6 •OJ QJ ^J mH
sH
hV=‡ hV=‡ OJ QJ ^J mH
sH
hV=‡ OJ QJ ^J mH
sH
hÒ_„ 5 •OJ QJ \ •^J
! hÒ_„ hÒ_„ 5 •6 •OJ QJ \ •^J - hÒ_„ hÒ_
„ 5 •OJ QJ \ •^J
hŠ u 5 •OJ QJ \ •^J
hwD7 5 •OJ QJ \ •^J
h~6q hwD7 6 •OJ QJ
h $‘ OJ
QJ
h~6q
hwD7 OJ
QJ
hwD7 OJ
lC mC
QJ
½C
Ã
Ã
Ã
Ã
$
Æ
“@
A
A ¡A ¢A ÞA
¾C eD fD ÷D øD ï
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
ßA
B
B
AB
BB
€B
Ï
ß
Ã
•B
Ã
Ã
éB
êB
Ã
Ã
Ã
Ã
Ã
j
Àa$ gdV=‡
gdZy›
$ „„
$ „8 „Èû^„8 `„Èûa$ gdZy›
„|ü^„„ `„|üa$ gdwD7
‘B ÏB
ÐB
$ „h „˜þ^„h `„˜þa$
úB RC |C ³C ÍC
D .D uD ¿D ÀD øD
E .E <E =E _E vE wE •E
˹˹˹¥Ë¹¥Ë˜Š˜zn^Q^n^nE
hŠ u CJ OJ QJ aJ
QJ aJ h uE h uE 6 •CJ OJ QJ aJ
h uE CJ OJ QJ aJ
QJ \ •^J
hV=‡ hV=‡ 6 •OJ QJ ^J
hV=‡ hV=‡
‡ hV=‡ 5 •6 •OJ QJ ^J mH
sH
# hV=‡ hV=‡ 6 •OJ QJ ^J mH
sH
hV=‡ hV=‡ OJ QJ ^J mH
sH
hç Á hV=‡ OJ QJ ^J mH
sH
# hç Á hV=‡ 6 •OJ QJ ^J mH
sH
øD <E =E ÅE ÆE
F
F ¯F °F |G }G
H
H
ÏI ÐI eJ fJ ÁJ ó
ã
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
Â
Â
Â
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
éE
ûE
F %F íÜ
hp ½ 6 •CJ OJ
- hV=‡
OJ QJ
eH
hÒ_„ 5 •OJ
^J
& hV=
ÔH
ÕH
•I
€I
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
Ñ
„„ „|ü ¤ ^„„ `„|ügdwD7
$ „8 „Èû ¤ ^„8 `„Èûa$ gdZy›
$ „
„Èû^„8 `„Èûa$ gdZy›
$
Æ
j Àa$ gdV=‡
%F [F °F ÁF ÂF óF ôF öF üF
G
G
G "G >G ?G KG LG {G |G •G æG
H
H
H QH eH ~H ¾H ÉH ÓH
ÔH íH NI €I •I ïã×Ë×Ë×Ë»®»×»×Ë¢Ë×Ë’ËŠsgYgYË’Ëã
h~6q hwD7
6 •OJ QJ h
h~6q hwD7 OJ QJ h
h~6q hwD7 6 •OJ QJ
h~6q hw
D7 OJ QJ
8
hwD7 OJ QJ
hÍe¨ hÍe¨ 6 •CJ OJ QJ aJ
hp ½ CJ OJ QJ aJ
hp ½ 6 •CJ OJ
QJ aJ hÍe¨ h€}ü 6 •CJ OJ QJ aJ
hÍe¨ CJ OJ QJ aJ
h€}ü CJ OJ QJ
aJ
hŠ u CJ OJ QJ aJ
hŠ u hŠ u 6 •CJ OJ QJ aJ
"•I ½I ÐI ÛI áI KJ eJ zJ ¤J ÆJ
ìJ !K 8K 9K :K MK eK •K •K ‚K „K …K ‡K ˆK ŠK ‹K •K ŽK ”
K •K –
K ˜K ™K ŸK
K ïã×˻˯Ÿ¯“ƒ“¯ËãïãË{w{w{w{wmgmgcmgm
hå>Ç
hå>Ç 0J
j
hå>Ç 0J U
hW}
j
hW} U hÒ_„ hÒ_„ 6 •CJ OJ QJ aJ
hÒ_„ CJ OJ QJ aJ
h uE h uE 6 •CJ OJ QJ aJ
h uE CJ OJ QJ aJ
h€}ü h€}ü 6 •CJ OJ QJ aJ
h€}ü CJ OJ QJ aJ
hÍe¨ CJ OJ QJ
aJ
hŠ u CJ OJ QJ aJ
hŠ u hŠ u 6 •CJ OJ QJ aJ
"ÁJ ÂJ 9K :K €K •K ƒK „K †K ‡K
‰K ŠK ŒK •K –K —
K ˜K ¤K ¥K ¦K §K ¨K ©K ªK í
í
í
ã
ã
á
á
á
á
á
á
á
á
Õ
Ì
á
Õ
Ì
á
á
á
á
á
„h ]„h gdOaË
„øÿ „
&`#$ gdßb•
$ ¤ a$ gdZy›
¤K ¦K §K ¬K -K ®K
$ „8
ôêäàÜàØÌ
„Èû ¤
^„8 `„Èûa$ gdZy›
h€}ü CJ
hå>Ç
hå>Ç 0J
ý
°à=!°
j
$ ¤
"° #•
U
ý
h³[~ 0J
ý
hå>Ç 0J
a$ gdZy›
$• %°
°Ð
?
°Ð
0
OJ
mH
QJ
nH
aJ
u
ó
P
1•h :pOaË °Ð/
K
hÎy±
ªK
«K
¢K
£K
hW}
¬K
-K
®K
•Ð Dp
§
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M ´
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
–l
à
5Ö
t
4
Ö0
7
ÿ
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 +Ö
+Ö
5Ö
yt•M ´
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
–l
à
5Ö
t
4
Ö0
7
ÿ
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 +Ö
+Ö
5Ö
yt•M ´
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
–l
à
5Ö
t
4
Ö0
7
ÿ
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 +Ö
+Ö
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M §
$
$ If
–
!v
h 5Ö
7
5Ö
G
5Ö
#v
7 #v
G
#v
:V
t
–l
à
Ö0
5Ö
ÿ
G
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 5Ö
7
5Ö
yt•M
^
2
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
! sH! tH!
P
P
P
P
P
P
P
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
@ `ñÿ
€
€
€
€
€
€
€
@
•
•
•
•
•
•
•
À
À
À
À
À
À
8
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
X
à
à
à
à
à
à
ø
À
ð
ð
ð
ð
ð
ð
2
V
~
Ð
(
à
ð
Ø
è
_H
mH! nH
N o r m a l
CJ _H
D A`òÿ¡ D
aJ
mH! sH! tH
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
R i@óÿ³ R
T a b l e
N o r m a l
l 4Ö
aö
( k ôÿÁ (
N o
ö
4Ö
L i s t
4
@
ò 4
OaË
Æ
à À!
F o o t e r
. )@¢
.
OaË
P a g e
N u m b e r
> >@
>
•zå
T i t l e
$ a$
5 •OJ
QJ
\ •^J
> Q@
" >
•zå
B o d y
T e x t
3
¤x
CJ
aJ
H C@
2 H
•zå
B o d y
T e x t
I n d e n t
„h
¤x ^„h
j š ³ C j
¦aM
T a b l e
G r i d
7 :V
@ J
R @
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÀD!
S u b t i t l e
$ a$
5 •OJ
QJ
\ •4
b 4
f
Æ
à À!
H e a d e r
L T@
r L
i
B l o c k
T e x t
-
$
„Ð
„Ð 7$ 8$ ]„Ð ^„Ð a$
> Z@
‚ >
£ Ã
P l a i n
T e x t
¤d
¤d [$ \$
4 U`¢ ‘ 4
³[~
H y p e r l i n k
>* ph
ÿ
J þ/¢ ¡ J
³[~
T i t l e
PK
(¥Ø΢Iw},Ò
C h a r
- 5 CJ OJ QJ \ ^J aJ tH
! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷…þƒÐ¶Ørº
ä±-j„4
Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã
“óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô
“^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù*
D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù
$€˜
X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .—
·´aæ¿-?
ÿÿ PK
! ¥Ö§çÀ
6
_rels/.rels„•ÏjÃ0
‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ
» „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç
šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý
ÿÿ PK
! ky– ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xml
ÌM
à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K
Y,œ
ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Ր…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+&
8ý
ÿÿ PK
! –µ-â–
P
theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw
toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰–
ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ
!)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—–
¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe
bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu
¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi–
@öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà
ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä`
- ÚïgÔ
Ș³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ßã¢
dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö
ð:Á¥ ;ä˹!Í
I_ÐTµ½ S
1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó
$”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£
x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I
u3 KGñnD 1÷ N
3Vq%'#q¾ Ã ÓòŠÍ
IB Òsü€•
íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i
~™Vé
þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ
Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕
~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ–
}KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?
¢ íqU ßån†èwð N ºû
%Ž»O¯ ·ièˆ4
=3 Ú—Pª•
ÓäïÊ1£P•m
\\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì
eW÷
¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ
išd
ûDЇA½Îœ
óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú
IqbJ#xÌ꺃
6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ
¯èáü\P•1»Mh
Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJÃ­P |8¯
Ö„ AÛ V^…ó¹f
ÌH ín÷ÞÜ-Æ
é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹
€Ø©ð‘>ä•bµ ·–
&û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ
Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD
¢à •ØDìcp¿
UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd
7y\È`ÞJân•² åίŠIù
R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m
q¨BiDý¾€ÆÁÔ
ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D
ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y
›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M
 ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍҐ¿
ÿÿ PK
!
ѐŸ¶
'
theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M
Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5
6?$Qìí
®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r
'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß
ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ
6
+
_rels/.relsPK ! ky–
ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xmlPK ! –
µ-â–
P
Ñ
theme/theme/theme1.xmlPK !
ѐŸ¶
'
›
theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK
]
–
<?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?>
<a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main"
bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1"
accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5"
accent6="accent6" hlink="hlink"
folHlink="folHlink"/>
®C ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
ÿÿ
®C
Â
ÿÿÿÿ
%
%
%
(
¡
“
Ç, r6 zA QN vT t[ óc wj ©t ß{ Òƒ О 2§ <¸ 9Æ *Ï
Ü úï Æ
A/ ¬<
@ ‘B %F •I
K ®K ¦
¨
©
«
¬
®
¯
±
²
³
´
¶
À
Æ
È
É
Ê
Ì
Í
Î
Ð
Ñ
Ó
Ô
×
Ø
Ú
Ü
Ý
ß
x
ŠO Mt Ñt át ñt Qu æu Æv xx {y
€{ 7} Æ~ )€ Ý• ·ƒ IŽ ù· ñÓ Ï
m/
< “@ øD ÁJ ªK ®K §
ª
°
µ
·
¸
¹
º
»
¼
½
¾
¿
Á
Â
Ã
Ä
Å
Ç
Ë
Ï
Ò
Õ
Ö
Ù
Û
Þ
à
8
a
u
®C
X ÿ Œ
;
šÕ
@ -ñ
ÿÿ
!
(
ÿ €€€ ÷
ð
ð
ð
ðB
!•
! ÿ•€
ð’
ð8
ð
ð
ð0
ð(
S
ð-
¿
Ë
ÿ
ð
|
}
¿
À
Ç
È
›
Ÿ
¯
1
4
˜
§
©
ã
ä
?
®C
Ú
Û
ä
p
;
å
r
<
L
—
M
]
^
6
Ý
b
ß
u
¡
w
¢
µ
·
N
O
w
x
¢
£
®
°
Ë
Í
ï
ñ
D
E
ž
Ÿ
E
H
Š
Œ
©
«
X
Y
w
z
“
”
¦
§
Å
Æ
P
Q
•
•
œ
•
¿
À
%
&
T
V
u
v
<" >" Ó" Õ"
é" ê" R# S# Ç$ È$ ø& ù&
'
' R' S' ü' ý' ( .( ˆ( ‰( ¶( ¸( Ë( Ì( /* 1* _* a* {+ |+ •+ ƒ+ _, `, ý,
þ, u- w- ¶- ·d. e. q. r. a/ b/ d1 e1 Ã1 Å1 i2 l2 Ž2 ‘2 Û2 Þ2 ·3 ¸3
•4 ž4 <5 =5 Y5 [5 •5 —5 •6 ‘6 Ä6 Å6 b8 c8 z9 {9 : !: F: H: k: l: 9; :; C; E; µ; ¶; %< '< H< K< P= R= x=
{= Ò= Ó= => ?> I> K>
?
?
]? _? Œ? •? 2A 3A
B
B ÕB ×B iD jD rD sD ~D •D ÛD ÝD
ïD ðD E
E SE UE ÝE ÞE QF RF YF [F 0G 2G fG hG vG wG ˆG ŠG ÔH ÕH
eI fI
I ¡I ¼I ¾I zJ {J ïJ ðJ »K ½K ÌK ÎK ƒL …L šL ›L
®L °L ºL »L zM |M ŒM •M
M ¢M %N &N ´N µN ÄN ÆN hO jO
ÁO ÂO #P %P VP WP ‡P ˆP
Q
Q `Q aQ vQ xQ 4S 5S rS tS €
S ‚S QV RV \V ^V
W
W
W !W €X •X ‚Y †Y ‘Y “Y ÕY ÖY áY âY ([ *[ :[ ;[ —
[ ˜[ Ì[ Í[ ñ[ ó[
\
\ 2\ 3\ N\ P\ b\ d\ ¹\ º\ Ý\ ß\ ü\
þ\ 9] ;] t] v] |] ~] Ž] •] þ] ÿ]
^ "^ x^ y^ v_ x_ ¢_ £_ /` 0` U` W` ”` –
` •` ž` Ga Ia ”a •a +b ,b 1b 2b vb wb “b ”b “e •e “f ”f
7g 8g Cg Dg bg cg •g €g ¢h £h ¬h -h ·h ¸h Çh Èh Öh ×h
äh åh Ìi Îi ãi æi Pk Qk Çk Èk
l
l Ml Nl ©l ªl Ñl Òl
ßl âl ïl òl þl ÿl Qm Rm æm çm ‘n ’n Æn Çn “o ”o Sp Tp w
p yp ’p “p —p ˜p q
q zq |q …q †q óq ôq Ps Qs •s •s Šs ‹s
u
u 6u 8u Au Bu
Xu Yu
v
v ”v •v ²v ³v Åv Çv Ðv Ñv øv úv ®w °w ·w ¹w
Ùw Úw (x *x @x Ax Žy •y Üy Þy ¸z ¹z èz éz
{
{ 2{ 3{
K{ L{ z{ {{ •{ Ž{ ¶{ ¸{ ¾{ À{ Ç{ É{ Ò{ Õ{ F€ H€ P€ Q€ ž
€
€ ý€ þ€ -ƒ .ƒ -„ .„ … .…
‡
‡ DŠ FŠ ÿŒ
•
•
• E• G• “• ”• ”• •• K• L• ••
—• •– –– -— .— K˜ N˜ Pš Qš -› › w› y›
› ¢› Λ Л œœ žœ @• B• ©• ª• â• ã• 2Ÿ 3Ÿ ?Ÿ @Ÿ
¢Ÿ £Ÿ ÆŸ ÇŸ þŸ ÿŸ &
'
<
?
J
K
Õ
Ö
ա ֡ ͣ ϣ
œ¥ ž¥ Ô§ Õ§ ᧠㧠P© Q©
® -® ݯ ߯ ö¯ ù¯ <± >± Ú± Û±
þ±
² ײ Ù² ¢´ ¤´ °´ ³´ ô Å´ °¶ ±¶ N· P· \¸ ]¸ /¹ 0¹ 3
¹ 4¹ é¹ ë¹
º
º ¼» ½» ‰¼ ‹¼ —
¼ ™¼ ·¼ ¹¼ =½ >½ ã½ ä½
¾
¾ #¾ %¾ 9¾ :¾ ?¾ @¾ ¯¾ °¾ ¤¿
¥¿ ÑÀ ÔÀ îÀ ïÀ ð ñ ÚÄ ÜÄ (Ç *Ç ÒÇ ÔÇ 6È 7È ½È ÀÈ ÒÈ
ÓÈ 1É 2É FÉ GÉ ~É •É 2Ê 3Ê „Ê †Ê ’Ê •Ê ™Ê œÊ ñË òË
Ì !Ì ;Ì <Ì ðÌ ñÌ tÍ uÍ šÍ ›Í ±Í ²Í áÍ âÍ žÎ ŸÎ éÎ ëÎ Ï .Ï
Ð
Ð
Ô
5Ð 7Ð gÐ iÐ ßÐ áÐ ¹Ñ ½Ñ ÃÑ ÅÑ °Ò ±Ò ÔÒ ÕÒ îÒ ðÒ
Ô
àØ áØ
Ù
Ù ;Ú <Ú êÚ ëÚ ßÛ âÛ 7Ü 8Ü ®Ü ¯Ü äÞ åÞ Ýß Þß
Là Nà àà áà Aá Fá
æ
æ ^æ _æ @é Aé Sé Ué hé jé •é —
é ùê ûê èî êî ÷ï øï ~ñ •ñ ?ò @ò ×ò Øò Oó Ró ÷ó øó -ô ô >ô ?ô pô qô •ô Ÿô
õ
õ võ yõ âõ æõ ªö «ö t÷ u÷ >ø ?ø Žø •ø >ú ?ú ýú þú «û ¬û
>ü ?ü §ý ¨ý >þ ?þ êþ ëþ r
t
Ê
Ì
,
4
6
>
@
Ä
Æ
Ë
Ð
O
P
[
^
ú
û
ú
û
G
I
þ
!
"
5
6
¡
G
H
¾
¿
Ù
Ú
î
ï
*
+
:
;
#
$
º
'
»
)
A
B
è
é
A
B
A
C
„
†
ò
•
’
˜
™
.
/
[
\
)
*
A
Ÿ
¡
î
ï
K- Lö
÷
!
! ¿" Á" Ö" ×"
#
# 1# 3# ï# ñ# š$ œ$ U&
m' s' “( ”( ú- û- k. l. ¢2 £2 ·2 ¸2 û2 ü2 ÿ3
ô
þ
B
@
A
X&
4
ì&
í&
4
4 m4 n4 °4 ±4 Ç4 È4 E5 G5 e5 f5 ê5 ì5
6
6 w6 x6 ý6
ÿ6 L7 O7 •7 •7 Ÿ7
7 ð7 ñ7
8
8
8
8 %8 ,8 08 18 ’8
“8
9
9
9
9 X9 Z9
9 ¢9 Ô9 Ö9 Þ9 è9 í9 ï9
:
:
:
: 7: 9: A: K: v: x: €: Š: Ï: Ñ: é: ó: R; T; l; v; ³; µ
; ½; Æ; -< /< e< n< ¿< Á< ÷<
= .= 0= <= == •= –
= Å= Æ= û= ý=
>
> [> ]> ¯> °> Á> Â> ó> ö>
?
?
? "? >? A? L? M? {? }? æ? è?
@
@ d@ e@ ¾@ À@ Ó@ Õ@ Ü@
Þ@ NA PA •A €A ½A ¿A ÏA ÐA KB LB eB fB ¤B ¦B ÁB ÂB !C
"C 8C :C eC gC •C •C •C ƒC ƒC „C „C †C ‡C ‰C ŠC ŒC •C
¦C §C ¯C
7
b
v
w
¥
¦
¾
À
Ç
È
œ
Ÿ
-
®
ÿ
N
O
ž
Ÿ
X
Y
v
z
“
”
œ
•
T
V
u
v
Ó! Ô!
'
'
O) P) ý, þ, q. r. `/ b/ d1 e1 Ä6 Å6 µ; ¶; 2A 3A E
E ‰G ŠG ÓH ÕH ýH þH ïJ ðJ ´N µN `Q aQ QV RV …Y †Y
\
\
þ] ÿ] vb wb Pd Qd gf hf äh åh Çk Èk Ïk Ðk
l
l
l !l 2l 3l Ll Nl [l \l ql rl Ðl Òl Þl âl îl òl ýl þl
m
m ,m m Pm Rm \m ]m ·m ¸m åm çm üm ým ˆn ‰n Ån Çn ân ãn Sp Tp
wp yp —p ˜p ¨p ©p q
q zq |q …q †q Ps Qs •s •s Šs ‹s
u
u 6u 8u Au Bu ”v •v
Åv Çv Ðv Ñv Ùw Úw (x *x @x Ax Žy •y Üy Þy õy öy •{ Ž{
¶{ ¸{ Ò{ Õ{ ë{ ì{ ì~ í~ Ú‚ Û‚ H† I† ¹Š ºŠ E• G• q• r•
ê• ë• …’ †’ ä” å” J˜ N˜ {˜ |˜ :› ;› èœ éœ ‡
ˆ
Σ Ï£ ½
¨ ¾¨ ^- _- ø¯ ù¯ Ú± Û± £´ ¤´ Ö¹ ×¹ Š¼ ‹¼ u¾ v¾ N¿ O¿ |À
}À #à $à ÛÄ ÜÄ (Ç *Ç _Ç `Ç ¿È ÀÈ ðË òË žÎ ŸÎ °Ò ±Ò
Ù
Ù ;Ú <Ú Ýß Þß Eá Fá
æ
æ hé jé …é †é Cì Dì "ï #ï Qó
Ró ªö «ö •ø •ø «û ¬û êþ ëþ Ì
Ð
é
ê
º
»
*
+
è
é
g
h
)
*
K- L- ô õ õ
÷
¿" Á" Ö" ×" ì& í& @' A' l' s' “( ”( ä( å( =*
‡+ ˆ+ Ø+ Ù+ ß- à- !. ". !0 "0 §1 ¨1 ¶2 ¸2 þ3
>*
4
x*
y*
4
4
Æ4
È4
d5
f5
6
6
v6
x6
M7
O7
ž7
7
8
8
‘8
“8
9
9
9
¢9
Ý9
ß9
:
:
Æ=
@:
B:
•:
•:
è:
ê:
k;
m;
¼;
¾;
d<
f<
ö<
ø<
;=
==
Ä=
>
> ®> °> {? }?
@
@ d@ e@ Ó@ Õ@ ~A €A ÎA ÐA dB fB ÀB
ÂB 8C :C •C •C •C ƒC ƒC „C „C †C ‡C ‰C ŠC ŒC •C ¦C §C
¯C
6
w
€C •C •C ƒC ƒC „C
‰C ŠC ŒC •C •C ˜C £C ¯C
6
w
8 %8 •C •C ƒC ƒC „C „C †C ‡C ‰C ŠC ŒC
•C ¦C §C ¯C
R/ý,<rª ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ü•Eo:¹ [ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
} ÙpªåTœÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
" Ót
1¾Nÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
…+PvpYøpÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
-oÍvøºj"ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ
t
„Ü „˜þ Æ
Ü ^„Ü `„˜þo( ‡h
ˆH
.
t
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þo( ‡h
ˆH
.
’
t
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
•
t
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
•
t
„
„C
†C
‡C
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„
„â
„²
„‚
„˜þ Æ
^„‚
`„˜þ‡h
„R
ˆH
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
.
^„à
^„°
^„€
^„P
^„
â ^„â
² ^„²
’
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
•
à
°
€
P
t
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
)
.
.
‚
ˆH
h
•
•
’
•
’
t
t
t
h
h
h
h
„˜þ Æ
R
^„R
`„˜þ‡h
ˆH
.
’
„" „Lÿ Æ
" ^„" `„Lÿ‡h
„ò „˜þ Æ
ò ^„ò `„˜þ‡h
„ „˜þ Æ
 ^„ `„˜þ‡h
„’ „Lÿ Æ
’ ^„’ `„Lÿ‡h
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
.
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
•
’
.
.
‚
€
„
€
ˆH
ˆH
h
h
h
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ o(
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ QJ
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
‡h
^J
•
.
.
.
.
ˆH
o( ‡h
€
€
‚
h
§ð
ˆH
h
•
o
„
h
•
„
h
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
h
^„à `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
h
^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
p ^„p `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
h
„à
h
„˜þ Æ
„°
h
•
o
à
„˜þ
„€
h
•
h
„
h
h
„
„˜þ Æ
„p „˜þ Æ
„@
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ
^„à `„˜þOJ
Æ
° ^„°
„˜þ Æ
€
„P „˜þ Æ
„
`„˜þOJ QJ
^„8 `„˜þo(
QJ o( ‡h
„Ø
„¨
o( ‡h
ˆH
·ð
•
h
QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
^„€ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
P ^„P `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„˜þ Æ
^„
o( ‡h
ˆH
§ð
.
h
„
ˆH
§ð
‚
„Lÿ Æ
Ø ^„Ø `„Lÿ‡h
ˆH
.
„à
h
„˜þ Æ
„°
h
•
o
à
„˜þ
„€
h
•
h
„8
„˜þ Æ
€
„˜þ Æ
8
^„ `„˜þOJ
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ‡h
„x
„H
„
„è
„¸
ˆH
.
€
„˜þ Æ
x ^„x `„˜þ‡h
„Lÿ Æ
H ^„H `„Lÿ‡h
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„˜þ Æ
è ^„è `„˜þ‡h
„Lÿ Æ
¸ ^„¸ `„Lÿ‡h
ü•Eo
…+Pv
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
-º4û
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
.
" Ót
ÿÿ
‚
€
€
‚
R/ý,
} Ùp
-oÍv
ÿÿÿ
HI@-2
Q:‚
» ¢Q
˜
å
Žw ¿x Fv „
…
n
uD
´# W} •Q- „n
ÀD! ‹p! 3[" |s" ~2# \q* i
- &#. 01 [33 C 5 %;5 ¼H5 ˜*6 wD7 ¸+8 ·a: iE; U > f?
%D Ì E uE OlH BI 0^I ½ J •M ¦aM ¦#O ºkR zOT ¾W -AX QZ ° [ Ì
\ J\ íG] ¨&a œ c 6 d w\d Å e
f ADi Žhl «"o ¡^o ÔSq œ^r b
—
s jWs ”@t ÌWt Š u fLx ƒgz ³[~ Í € r.‚ Ò_„ yc„ V=‡ eBˆ u!•
U– Tf— 6 ™ Zy› ÷
dŽ ° ‘
$‘ ßb•
¡ —p¤ Tf¥ \<¨ Íe¨ îv© Q ª ¡y« $ ¬ $J¬ nO® æ ¯
¯ da¯ Îy± :
³ À ¸ ^¸ _º p ½ ½>½ ´7¾
À ç Á Þ{Â â
à £ à X!à ²,Ä ´~Ä ynÆ å>Ç Ï\Ç 6/Ê ® Ë rAË OaË ŒYÌ \4Í X Ñ G^Ñ åzÑ ÏXÔ ÌFÕ
+K× • Ü m
Ü ísÜ RIÝ »'å •zå §Uê Tgê 2í
ò [ò xXó Õ ô ˜nô $wù ä|ú â)û ävü €}ü Ûfý m þ ž/þ
•C ƒC
ÿ@
®C H
@ ÿÿ
U n k n o w n ÿÿ
ÿÿ
ÿ
ÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
G-•
ï* àAx À
ÿ
T i m e s
N e w
R o m a n
5-•
€
S y m b o l
3.•
ÿ* àCx À
ÿ
A r i a l
K-•
‡ à
@
P a l a t i n o
L i n o t y p e
A.•
‡
Ÿ
A r i a l
N a r r o w
5.•
ÿ* á[` À)
ÿ
T a h o m a
;
Ÿ
•
€
W i n g d i n g s
?=•
ÿ
C o u r i e r
ë B
Ÿ
C a m b r i a
ò¼·&K
H0 9
/ ¥
K
! ð
ÿ* àCx À
N e w
A-•
ï
M a t h
"
1 ˆ ðÐ
h
‚ãF
N ’
H0 9
/ ¥
´ ´ •• 4
HP
ðÿ
d
ÜB
ÜB
2ƒq ð
? ä
ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•
!
x
x
L I T I K
P E N D I D I K A N
B u d i m a n s y a h
S O N Y
üý
À
2
ÿÿ
$
P O
þÿ
+'³Ù0
ü
|
•
˜
´
À
Ô
à…ŸòùOh «‘
à
ì
8
D
P
\
d
PENDIDIKAN -
l
t
-
ä
-
POLITIK
Budimansyah 78 Word
@
ìur£
Microsoft Office
@
Ìãú'ÍÇ @
biU¨ÄÊ
Normal
-
SONY
/
H0
9
-
+,ù®D
ÕÍÕœ.
“—
þÿ
+,ù®@
ÕÍÕœ.
ü
“—
h
œ
¼
p
¤
|
¬
„
´
Œ
”
Û
ä
-
UPI
K
¥
ÜB
-
POLITIK PENDIDIKAN
-
Title
¸
8
@
_PID_HLINKS
ä
A
p
_ z
m a i l t o : b u d i m a n s y a h @ u p i . e d u
'
-
!
.
@
R
"
/
A
S
e
d
w
‰
˜
ª
¼
á
ó
T
f
x
Š
™
«
½
Ï
Î
#
0
B
$
1
C
U
g
y
‹
š
¬
%
2
D
V
h
z
Œ
›
-
&
3
E
W
i
{
•
œ
®
'
4
F
X
j
|
Ž
G
Y
k
}
•
•
¯
Á
(
5
H
Z
l
~
•
ž
°
Â
)
6
*
7
I
[
m
•
‘
±
Ã
\
n
€
’
Ÿ
¡
²
Ä
³
Å
+
8
J
,
9
K
]
o
•
“
¢
´
:
L
^
p
‚
”
£
µ
;
M
_
q
ƒ
•
¤
¶
<
N
`
r
„
–
¥
·
=
O
a
s
…
>
P
b
t
†
?
Q
c
u
‡
v
ˆ
—
¦
¸
¾
¿
À
Æ
Ç
È
É
Ê
Ð
Ñ
Ò
Ó
Ô
Õ
Ö
×
Ø
Ù
Ú
Û
Ü
Ý
þÿÿÿã
ä
å
æ
ç
è
é
þÿÿÿë
ì
í
î
ï
ô
õ
ö
÷
ø
ù
ú
û
ü
ý
þ
ÿ
§
¹
Ë
¨
º
Ì
Þ
ð
©
»
Í
ß
ñ
à
ò
þÿÿÿ
þÿÿÿ
!
"
#
$
%
&
þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿ+
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
À³_W¨ÄÊ €
D a t a
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
e
â
1 T a b l
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
ê
rX
W o r d D
ÿÿÿÿ
AÂ
S u m m a r y I n f o r m
a t i o n
(
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
t i o n
8
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
y
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F'
Microsoft Office Word 97-2003 Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download