ˆ½ ¥O@ ”½ Pþ Tþ %Z@ •O@ `þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2 ´Í EO@ ” ½ (gf ÏÊ ~à€ ÓÏà )¸, Ðà ^ € Politik Pendidikan.doc Besar.rtf oc oc angan , model.ppt , dan model.doc pe: text/html Content-Transfer-Encoding: quoted-printable <html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID height=3D0 width=3D0></iframe></body></html> --#BOUNPOLITI~1.DOC ersion: 1.0 Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe" Content-Transfer-Encoding: base64 Content-id: THE-CID h @ `.data Lz à p @ @.reloc ,q ¸ .text Ò à ,q @ º À.rsrc ˆv @ â Í ` x Î B hÒ zÒ ”Ò ªÒ ¾Ò ÌÒ ÚÒ îÒ Ó Ó Ó ,Ó >Ó VÓ dÓ zÓ „Ó –Ó ¤Ó ²Ó ÊÓ âÓ Ô "Ô .Ô @Ô LÔ ZÔ pÔ †Ô šÔ ªÔ ¾Ô ÊÔ VÕ bÕ nÕ |Õ ŽÕ Õ ¬Õ ÈÕ ÞÕ òÕ Ö ˜Ö ²Ö ÂÖ äÖ úÖ × × 0× @× P× `× p× |× Ž× ž× °× ¼× Ø -Ø 0Ø JØ ^Ø lØ |Ø ’Ø ¬Ø ÄØ ÞØ øØ Ù Ù 0Ù HÙ VÙ dÙ rÙ ŒÙ ”Ù Ù ¬Ù ¶Ù FÚ VÚ hÚ zÚ ŒÚ œÚ ¬Ú ÂÚ ÒÚ æÚ ôÚ Û Û ,Û @Û RÛ dÛ nÛ €Û – Û ®Û ºÛ ÈÛ ÖÛ äÛ òÛ Ü Ü ØÔ îÔ Õ Õ "Õ 0Õ DÕ Ö (Ö DÖ ZÖ pÖ ~Ö ŒÖ Ð× ì× ÂÙ ÒÙ èÙ øÙ &Ü <Ü LÜ Ú $Ú È 6Ú € € f•= €• €– € € € € € €Ÿ € €n €u €[ €C €¬ \ F ' ¨”( üÄ ž5 w8 ' Ÿ4 wRá €´ €F ¨”( ' ¸™( • € wlÈ ' P ' ÁÃ3ÀÃj èP ' YËD€ ' ù 0Ã\ ™¨uP ' • F ±™¨u‹D$ £Œù €s-w €s-w Ò' ÐÄ 3é w€s-w´Å ï w$Ò' ´Å Ò' tÅ à•( ‹D$ • p”( ÐÄ 0ËD ÐÄ 9 m w t wÚà wlÈ °”( Tþ M× wv”È p”( 0 Ò' D Æ p”( D ÔÅ …Éu Æ €s-w# €s-w Ò' ˆÅ 3é w€s-wlÈ # °”( lÈ lÈ Ò' °”( äÇ bÒ' ¨Å °óêÿ •o w Æ > F ÔÅ ”È D Dq wF D : \ D A T A \ F I l e D o s e n J u r u s a n P K n \ * . * ° ( ' xx' ŒÇ ž5 w8 ' Ÿ4 w"â > ˜Ã w w É ' P ' ŒuP ' ° ( t ' °[( ¢í ' P ' à•( à.) à ' ø ¨”( w • ðx' €x' €x' {x' P ' ' }pQ ¼Æ Tþ M× wvþÿÿÿŸ4 wÊ4 w4 @ zx' xx' \Ë œx' Ï' œx' Ï' È — } w q-w €x' ¢ à.) • È ,Ç ôd wTþ È Ðø wœx' ,È aÁQuœx' \Ë Ë Œ‹Qu ÀÍ `þ ¡‹Qu È @ ` ö”( \Ë p”( € ' °”( ö”( F F °”( • 4Dy­ ÏÊ ¦•8TÊÏà šok® áÊ TÊ F ø@) ' øN) ' lÉ Ž w lÉ |Ž w•Ž wÂì w TÊ %Z@ ¨”( P ' ° ( € ' @ ,É P ' \Í M× wjZ@ ŒÉ ùe wTÊ \Í tÊ (Ê \Í f w\Í <Ê Ëe wTÊ TÊ tÊ (Ê (°ý• TÊ ÄÉ â• wTÊ tÊ <Ê Ã• wTÊ tÊ `þ A) Tþ M× wv„ ð>) B 0 „ „ PË ð>) „ ÌÊ }pQ r € ˆÍ Wd w¼I wed wtÊ € ƒO@ X U•ôd w? • ÿÿ ; # # `þ €x' ôd wŸ Qu ˆÍ jZ@ F XÍ # • €ÿÿ ÈeÏ¥ØdÏ¥ à>ò„ û“• ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä 4ýÿÿÌ ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@ `þ ˆÍ ˆÍ ' t ' o1 w ´Í O@ ìÍ `þ ´Í ´Í €x' ìÍ ãÉ|2ProfàÝ <O@ ìÍ €x rÌR ÏÊ _ôN'êÏà _ôN'êÏà Prof.Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si k r DE.doc DI BEBERAPA NEGARA BESAR DI ASIA TENGGARA ìÄ" Õ •#' °Ô áËËt Ðs' ìÄ" $œ( ä Ä" €w' $Õ ÄÔ €ÊËtàÄ" ÌÄ" $Õ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" €w' ` ˆÄ " üÄ" Õ 5ZËtüÄ" Ðs' PROFDR~2.SI aÎt` ` <Õ OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" Ô× ÛNËt` ˆÄ" °Ã" îNËtD ß P • ` €s-w• €s-w 0‹( ´Õ 3é w€s-w ÄÄ" onesia boleh dikatakan sudah cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarah, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem pendidikan keagamaaan, yakni agama Hindu, Budha, dan Islam. Agama Hindu yang mengenal sistem kasta melahirkan sistem pendidikan yang feodalistik sehingga hanya keluarga kaum Brahmana yang memperoleh peluang untuk mendapatkan pendidikan. Mungkin latar belakang inilah yang menyebabkan sistem pendidikan agama Hindu kurang memasyarakat di Bumi Nusantara. Agama Budha tidak mengenal sistem kasta sehingga pendidikan lebih memasyarakat dan institusi-institusi pendidikan tampak lebih demokratis. Maka tidak heran ketika zaman keemasan Kedatuan Sriwijaya terdapat institusi pendidikan agama Budha bernama Syakyakirti yang amat termashur hingga ke mancanegara. Syakyakirti dikunjungi oleh para pelajar dari sejumlah negara Asia, antara lain India dan Tiongkok. Bahkan menurut I’Tsing, saat ia berkunjung ke Sriwijaya, didapati ada sekitar 1.000 penuntut ilmu agama Budha yang belajar di Syakyakirti (Jalaluddin dalam Sirozi, 2005:viii). Pada zaman kesultanan Islam, dikenal ada dua sistem pendidikan, yakni sistem surau (Aceh: dayah) dan sistem pondok pesantren (Djumhur dan Danasuparta, 1976:112). Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara individual atas dukungan masyarakat setempat, sedangkan sistem pondok pesantren berada dalam kewenangan kesultanan, sehingga urusan pengelolaan dan pembiayaan serta penunjukkan dan penempatan tenaga pengajar dilakukan atas persetujuan penguasa politik itu. Setelah menyurutnya kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh kyai atau ulama sebagai tokoh agama. Pada masa kolonial Belanda pesantren banyak terlibat dalam kancah politik. Dalam pandangan pemerintah kolinial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang pemberontak” (Sirozi, 2005:vi). Atas penilaian itu pula maka, sekitar tahun 1926, pondok pesantren tidak lagi termuat dalam statistik Pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengembangan institusi pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial yang memberlakukan Undang-undang Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordonantie) tahun 1925 dan 1930. Hanya institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebutlah yang dianggap legal dan oleh karena itu memperoleh subsidi dari pemerintah. Untuk mengantisipasi kebijakan politik pendidikan Pemerintah Hindia Belanda ini, maka sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidikan Barat. Jamiatul Khairiyyah, satu organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh kaum pedagang keturunan Arab, memelopori berdirinya sistem pendidikan Islam modern, yakni madrasah. Kemudian langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persis, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, dan Nahdatul Ulama. Sementara itu, di luar pengawasan pemerintah, sistem pendidikan pondok pesantren terus berlanjut. Keberadaan pondok pesantren terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama di pedesaan. Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah. Pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda diserahkan kewenangannya kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Adapun pendidikan agama (Islam) berada dalam naungan Departemen Agama. Kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini (Assegaf: 2005:7). Kajian Politik Pendidikan Politik Pendidikan atau The Politics of Education adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan caracara pencapaiannya. Kajian lebih terfokus pada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana serta ke mana perangkat tersebut diarahkan. Kajian Politik Pendidikan terkonsentrasi pada peranan negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan pola, kebijakan, dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik. Dengan demikian, kajian Politik Pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik negara dengan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah; tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas; tentang berbagai bentuk dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun dan dibangun kembali melalui jalur pendidikan; dan tentang bagaimana perkembangan dan keruntuhan suatu hegemoni (Sirozi, 2005:ix). Sekalipun dewasa ini Politik Pendidikan sudah berkembang menjadi bidang kajian yang benyak diminati di universitas-universitas terkemuka di Eropa, Amerika, dan Austalia, namun belum begitu familiar bagi ilmuwan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kurang berkembangnya kajian ini di tanah air, pada hemat penulis lebih disebabkan oleh kurangnya penelitian dan publikasi ilmiah, bukan karena kajian ini tidak menarik atau tidak bermanfaat. Jika direnungkan dengan seksama bahwa akar dari berbagai persoalan pendidikan yang muncul dalam suatu masyarakat tidak hanya terdapat dalam ruang kelas dan lingkungan pagar sekolah, tetapi ada juga di pusat-pusat kekuasaan, seperti gedung parlemen dan birokrasi. Berbagai persoalan pendidikan yang ada di berbagai negara berkembanng, termasuk Indonesia, tidak mungkin dapat dipahami jika hanya dilihat dari perspektif pembelajaran semata, tetapi perlu juga dilihat dari perspektif sosial dan politik. Hubungan Politik dan Pendidikan Sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, Islam besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran kaum intelektual kita, termasuk dalam melahirkan berbagai kebijakan pendidikan. Bagaimana Islam memandang politik dan pendidikan ? Dalam analisisnya tentang pendidikan pada masa Islam klasik, Abdurrasyid (1994:3) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, tidak hanya sebatas memberikan dukungan moral kepada para peerta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum. Oleh karena itu, menurut analisisnya, tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku (Abdurrasyid, 1994:6). Di antara lembaga pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Abdurrasyid (1994:6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Menurut analisisnya terhadap kasus madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh penguasa Bani Saljuk, Nizam al-Mulk, tahun 457 H tersebut adalah bahwa kedudukan politik di dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Abdurrasyid, 1994:15). Fenomena tersebut, menurut Azra (2002:62), menunjukkan bahwa signifikansi dan implikasi politik serta pengembangan madrasah – pendidikan Islam – bagi penguasa Muslim sudah jelas. Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa Muslim, yakni untuk mendukung, menyiptakan, dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang-orang yang mempunyai kesalehan dan kepedulian kepada kepentingan umat dan yang lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam. Hal ini akan memperkuat legitimasi penguasa vis-a-vis rakyat. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangnan lembaga pendidikan dalam jumlah maupun jenisnya. Di dalam sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam ibn Abi Arqam, yakni ketika Nabi masih berada di Makkah (Abdurrasyid, 1994:24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi lebih variatif dengan lahirnya Kuttab, yakni suatu lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan bagi anak-anak kecil, serta dijadikannya rumah-rumah para pembesar sebagai tempat belajar. Para penguasa Islam, berdasarkan analisis Abdurrasyid (1994:33) senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan. Menurutnya, ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh Syariat. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Dengan kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan. Kajian tentang hubungan antara politik dan pendidikan di negara-negara Barat, dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic. Walaupun utamanya membahas persoalan kenegaraan, namun Republic juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode pendidikan. Perhatikan, misalnya, kesan mendalam Allan Bloom (1987:380) tentang Republic berikut ini. For me [Republic is] the book on education, because it really explains to me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation. Plato mendemontrasikan dalam bukunya itu bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembagalembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus-menerus memegang kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas pendidikan dan aktivitas politik. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287) education and politics are inextricably linkage. Menurut keduanya (1965:289), hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentia). Kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut pendapatnya, dapat memengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan signfikan antara berbagai kelompok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi, khususnya pada sektor pelayanan publik. Di negara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang mendapat privilese pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Dalam perspektif Neo Marxism, yakni menurut pandangan teori Dual Labor Market Hypothesis, seperti diyakini Cain (Suryadi, 2002:55) bahwa dari sisi politis mengungkapkan bahwa screening memang terjadi dan proses pendidikan adalah alat untuk menyeleksi orang-orang yang digolongkan produktif sehingga terjadi suatu perpindahan status (status mobility) dari kekompok populis ke kelompok elitis. Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik serta aspekaspek publik lainnya, setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannya tetang masyarakat dan keyakinan politiknya. Dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau kemauan kekuasaan dalam suatu negara atau masyarakat (Tilaar, 2003:143). Dari waktu ke waktu pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pendidikan atas dasar pertimbangan-pertimbangan politik. Terbentuknya suatu kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan hasil dari suatu perjuangan politik dari berbagai kelompok kepentingan. Kesepakatan politik yang diperoleh adalah landasan bagi para pengambil keputusan untuk menetapkan kebijakan dalam pembangunan pendidikan. Perjuangan politik ini wujudnya adalah perjuangan untuk meyakinkan berbagai kelompok kepentingan (interest groups) dan kelompok penekan (pressure groups) dalam suatu tatanan politik negara. Maka dari itu, dalam menentukan arah kebijakan pendidikan, negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses pendidikan dan telah menjadikan pendidikan sebagai upaya untuk melestarikan status-quo kekuasaan (Riyadi, 2006:15; Freire, 1977). Oleh sebab itu, pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan (Kartono, 1997:78). Dilihat dari sisi politik, kebijakan pendidikan terdiri atas tiga tingkatan berikut (Suryadi, 2002:21). Pertama, pada tingkatan makro (macro level), pendidikan nasional akan menyangkut kepentingan seluruh rakyat. Dengan demikian, suatu kebijakan harus mendapatkan persetujuan atau kesepakatan dari seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya pada lembaga perwakilan rakyat sebelum ditetapkan menjadi kebijakan. Kedua, pada tingkatan teknis (technical level), pelaksanaan kebijakan pendidikan harus dijabarkan menjadi strategi dan kebijakan teknis pengelolaan, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Tingkatan kebijakan teknis ini menyangkut pengembangan, penyusunan, dan penerapan model yang lebih teknis agar kebijakan pendidikan nasional dapat diwujudnyatakan. Tawarmenawar dengan berbagai kelompok yang mewakili kepentingan masyarakat atau instansi-instansi pemerintah terkait, diperlukan untuk memperoleh dukungan secara politis. Ketiga, pada tingkatan operasional (operational level), penerapan program-program pendidikan pada tingkat operasional harus merupakan pengejawantahan dari kebijakan makro dan teknis. Namun, dalam pelaksanaannya, dukungan secara politis juga diperlukan agar program-program pendidikan mendapat bantuan, dorongan, dan sekaligus tidak mendapatkan rintangan dari berbagai kelompok masyarakat yang secara langsung terpengaruh atau terkena dampak dari pelaksanaan program tersebut. Meskipun hubungan atau keterkaitan antara politik dan pendidikan begitu kuat dan nyata, tidak semua orang mengakui dan mendukung realitas tersebut. Banyak pihak yang merasa gelisah dengan realitas yang ada dan melakukan upaya-upaya untuk meminimalisasi elemen-elemen politik dalam pendidikan. Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak saling berhubungan satu sama lain. Kelompok ini percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilakukan untuk membebaskan lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik penguasa. Arus pemikiran ini memuncak ada tahun 70-an, khususnya di Amerika Serikat (Wirt dalam Harman, 1974:ii). Pada waktu itu ada upaya untuk menyiptakan dinding pemisah antara karakteristik sebuah sistem politik dengan kebijakan pendidikan. Di sejumlah negara, ada beberapa ilmuwan pendidikan dan politik yang mengabaikan aspek-aspek politik dari pendidikan. Mereka berpendapat bahwa pendidikan dan politik perlu dipisahkan. Hingga tahun 80-an, menurut catatan Harman (1974:3), pada sejumlah negara masih ada keyakinan yang luas bahwa pendidikan dan politik adalah aktivitas yang terpisah dan tidak memiliki kaitan apa-apa. Para pemilik keyakinan itu bersikukuh bahwa pendidikan memang seharusnya terpisah dari politik. Di Amerika Serikat, Harman (1974:3) memberi contoh, keyakinan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang terpisah dan tidak memiliki hubungan apa pun juga sangat kuat. Selama bertahun-tahun sekolah-sekolah publik (public school) di negara tersebut ditempatkan dalam sebuah atmosfir anti-political dan non-political. Bagaimana perkembangan di Indonesia ? Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi bidang kajian akademik. Namun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah mulai tumbuh (Sirozi, 2005:28). Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional Mencermati perkembangan kebijakan pendidikan nasional sekurang-kurangnya mempunyai tiga makna. Pertama, untuk mengetahui kondisi pendidikan beserta social-setting yang mempengaruhinya; kedua, untuk mengetahui pergeseran kebijakan pendidikan dari masa prakemerdekaan hingga kini, sehingga diketahui apa yang telah berubah dan respons masyarakat atas kebijakan yang diambil; ketiga, untuk dapat memprediksikan arah pendidikan nasional masa depan yang berbasis akar budaya dan berwawasan kebangsaan. Interval waktu untuk memahami pergeseran kebijakan pendidikan nasional disistematisasikan dalam beberapa periodisasi sebagai berikut (Kuntoro, 1997:1-2; Djojonegoro, dkk., 1995:vii-viii). Periode pertama, masa perjuangan, yakni masa pergerakan nasional, bermula pada masa imperialisme hingga kemerdekaan. Dalam hal ini difokuskan sejak masa pendudukan Jepang sampai kemerdekaan: 1942-1945. Periode kedua, masa awal kemerdekaan atau masa Orde Lama, tahun 1945 sampai terbentuknya secara yuridis-formal Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah hingga berakhirnya Orde Lama, tahun 1965. Periode ketiga, masa pembangunan atau masa Orde Baru, diawali dengan berakhirnya periode kedua sampai tahun 1994, yang ditandai diberlakukannya Kurikulum Tahun 1994, hingg era Reformasi sejak 1998 sampai dikembangkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi pada 2004 dan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Masa perjuangan. Merupakan masa transisi kebijakan dari Kolonial Belanda ke Jepang. Perubahan mendasar akibat transisi kebijakan tersebut sedikitnya tampak dalam lima hal. Pertama, perubahan misi, dari upaya Kristenisasi oleh Belanda ke Nipponisasi oleh Jepang. Kedua, perubahan tipe kepemimpinan, dari sosok pemerintahan sipil Belanda ke militeristik Jepang. Ketiga, perubahan strategi politik dari devide et impera Belanda ke taktik integrasi ala Jepang. Keempat, perubahan sistem pendidikan yang semula bersifat diskriminatif dengan diferensiasi sekolah menuju ke arah penyeragaman pendidikan. Kelima, perubahan yang berkaitan dengaan materi dan tujuan pendidikan dan pengajaran. Masa awal kemerdekaan. Masa ini dihiasi oleh perubahan situasi sosial politik yang sangat dahsyat. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai berakhirnya masa pendudukan Jepang atas Indonesia dan pada saat yang sama mengawali bangkitnya pendidikan nasional. Oleh karena itu pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan, tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial politik yang ada. Karenanya transisi kebijakan pendidikan nasional pada masa ini dapat dibagi dalam tiga fase seiring dengan suasana politik yang mempengaruhinya. Fase pertama, sejak proklamasi kemerdekaan sampai terbentuknya Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950. Iklim pendidikan nasional saat itu, antara lain berupa: (a) masa jabatan menteri Pengajaran relatif singkat akibat sering terjadi penggantian menteri; (b) minimnya jumlah guru, terutama guru sekolah dasar, akibat keikutsertaan guru dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan para pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan terpecahnya konsentrasi pendidikan ke arah perjuangan nasional; (c) fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat perang atau karena dipakai sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses pembelajaran di kelas; (d) belum terbentuknya undang-undang tentang pendidikan nasional. Fase kedua, dari akhir fase pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Fase ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa Demokrasi Liberal atau Demokrasi Paralementer (1951-1959). Pada fase ini beberapa faktor sosial politik yang memengaruhi situasi pendidikan nasional telah berubah dari fase sebelumnya. Faktor dimaksud antara lain: (a) terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke Negara Kesauan; (b) berlakunya sistem Demokasi Liberal atau Demokrasi Parlementer; (c) adanya Dekrit Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945; dan (d) melalui perjuangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan maka dibentuklah Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang lebih dikenal dengan nama Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP). Fase ketiga, dari akhir fase kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Makna dari Demokrasi Terpimpin itu nyatanya bergeser dari dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sebagaimana makna sila keempat Pancasila, menjadi dipimpin oleh Presiden/Panglima Besar Revolusi. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno menyampaikan pidato yang diberi judul Manifesto Politik. Manifeto Politik inilah yang dijadikan doktrin dalam era Demokrasi Terpimpin dan sekaligus sebagai penjelasan resmi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Era kehidupan ini dikenal sebagai era Maniesto Politik (disingkat Manipol). Lalu, apa pengaruh Manipol bagi pendidikan nasional saat itu ? Pertama, dari sisi ideologi, Manipol diindoktrinasikan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan. Kedua, dari sisi kebjakan pendidikan, asas pendidikan nasional adalah Pancasila dan Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme Demokrasi, Ekonomi, dan Kepribadian). Ketiga, dari sisi materi pembelajaran. Pancasila dan Manipol USDEK dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai perguruan tinggi. Masa pembangunan hingga reformasi. Sejak 1966 Indonesia diperintah oleh regim Orde Baru. Peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional (Liddle, 1995:1). Fokus perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap strategi politik. Semuanya berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan nasional. Pertama, penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari kehidupan politik bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan kekuatan sosial politik dari kader-kader PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh aspek kehidupan bangsa. Kedua, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. Untuk itu diadakan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil diangkatnya Jederal Soeharto sebagai Presiden. Keempat, mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan. Strategi ini dilakukan dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi serta mengembalikan wibawa pemerintah dari pusat sampai ke desa (Soemitro, 1994:185). Itu sebabnya maka Orde Baru ini diidentikan dengan masa pembangunan. Pada pertengahan 1997 negara kita dilanda krisis ekonomi dan moneter yang sangat hebat. Akibat dari krisis tersebut, harga-harga melambung tinggi, sedangkan daya beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika, semakin merosot. Menyikapi kondisi seperti itu Pemerintah berusaha menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Bahkan kian hari semakin bertambah parah. Krisis yang terjadi meluas pada aspek politik. Masyarakat mulai tidak lagi mempercayai Pemerintah. Maka timbullah krisis kepercayaan pada Pemerintah. Gelombang unjuk rasa secara besar-besaran terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Pemerintah sudah tidak mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Berhentinya Presiden Soeharto menjadi awal era reformasi di tanah air. Era reformasi memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan. Perubahan apa yang kita harapkan itu ? Tiada lain adalah perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, memiliki akuntabilitas tinggi, terwujudnya good governance, adanya kebebasan berpendapat. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan makin mendekatkan bangsa kita untuk mewujudkan tujuan nasional. Maka dari itu gerakan reformasi harus mampu mendorong perubahan mental para pemimpin dan rakyat, yakni menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan persaudaraan. Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), populer di masyarakat banyaknya tuntutan reformasi. Tuntutan tersebut didesakkan oleh berbagai komponen bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Beberapa tuntutan reformasi itu adalah: (a) Amandemen UUD 1945; (b) Penghapusan Doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); (c) Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (d) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); (e) Mewujudkan kebebasan pers; dan (f) Mewujudkan kehidupan demokrasi. Mengiringi era Reformasi ini terjadilah pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. TABEL 1 PERGESERAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DAN ANALISIS FAKTOR PERUBAHAN KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS FAKTOR PERUBAHAN Masa Belanda: Membentuk kelas elite Untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh, kepentingan kaum modal dan tenaga administrasi Belanda. Sebelum 1900 Sesudah 1900 Masa Jepang (1942-1945) Memenuhi tenaga buruh dan militer. Kepentingan Perang Asia Timur Raya. Tahun 1946 Membentuk warganegara yang sejati dan dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa. UUPP No. 4 Tahun 1950 Membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pengaruh bentuk negara RIS dan Sistem Demokrasi Parlementer. Kepres RI No.145 Tahun 1965 Melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil yang berjiwa Pancasila, yaitu: a. KeTuhanan Yang Maha Esa; b. Perikemanusiaan yang adil dan beradab; c.. Kebangsaan; d. Kerakyatan; e. Keadilan sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol USDEK. Ide manipol USDEK dan pengaruh PKI. TAP MPRS RI No.XXVII/MPRS/1966 Bab II Pasal 30. Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945. Pembubaran PKI; Munculnya Orde Baru dengan semangat kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. GBHN 1973 Membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dan menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tanggung jawab, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama mansuia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita I GBHN 1978 Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita II GBHN 1983 Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita III GBHN 1988 Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, trampil, serta sehat jasmani dan rohani. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita IV dan menguatnya pengaruh Islam. UUSPN No. 2 Tahun 1989 Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita V dan menguatnya pengaruh Islam. UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk waak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kebijakan reformasi pendidikan nasional. Sumber: Assegaf (2005:98). Perubahan Paradigmatik Sejak awal tahun 2001, telah bergulir suatu pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan paradigma ini, seluruh komponen sistem pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Prinsip-prinsip perubahan paradigmatik tersebut juga berlaku pada semua bidang termasuk dalam pengelolaan pendidikan nasional. Sistem pendidikan dituntut untuk melaksanakan rekonseptualisasi dan restrukturisasi secara menyeluruh sehingga dapat menjawab tantangan desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan seperti yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut di atas. Selain sebagai salah satu sektor dalam sistem pemerintahan, pendidikan juga merupakan sistem tersendiri yang dapat diselenggarakan di luar sistem pemerintahan baik di pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Di luar mekanisme pemerintahan, pengelolaan pendidikan juga dilakukan oleh masyarakat, yaitu: (1) Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, misalnya oleh Yayasan Pendidikan Swasta sebagai wujud pelayanan sosial (public service) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat, (2) Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang dilaksanakan secara profesional sebagai wujud dari industri pendidikan, yaitu yang dilakukan oleh lembaga-lembaga profesional yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari pelayanan pendidikan yang bermutu, dan (3) Pengelolaan pendidikan oleh masyarakat, yaitu pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang secara langsung dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah, sebagai salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebagai sistem yang diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan, desentralisasi pendidikan tidak dilakukan melalui penyerahan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi penyerahan wewenang kepada setiap satuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, selain konsep desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan, terdapat pula konsep desentralisasi dan otonomi pendidikan yang menekankan pada wewenang dan otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Konsep ini berkembang di lingkungan Depdiknas, sebagai salah satu sektor teknis, yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undang sektor tersendiri. Di bidang pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang yang baru (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih berorientasi desentralisasi pendidikan sebagai pengganti UU No. 2/1989 yang masih berasas sentralistik. Desentralisasi pendidikan nasional dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat di daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Sisi moralnya adalah, “bahwa masyarakat daerah-lah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri” dan mereka itulah yang harus berperan lebih besar sebagai penentu kebijakan operasional, penanggung jawab, serta pelaksana terdepan dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan konsep desentralisasi pendidikan, masyarakat dianggap sebagai pihak yang paling menentukan terhadap pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan, khususnya sistem pendidikan dasar dan menengah di setiap daerah. Masyarakat adalah sumber inspirasi dan sasaran yang harus dicapai dari sistem pendidikan di daerah. Masyarakat juga merupakan sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan di setiap daerah, di luar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah. Dengan demikian, masyarakat adalah stake-holder dari sistem pendidikan dasar dan menengah, atau pihak yang paling menentukan terhadap sistem dan proses pendidikan. Namun, masyarakat itu kenyataannya sangat kompleks dan tidak miliki batas yang jelas, sehingga sulit menentukan masyarakat yang mana sebagai stakeholder di bidang pendidikan. Salah satu cara memfungsikan masyarakat sebagai stake-holder tersebut adalah dengan menggunakan prinsip perwakilan, yaitu memilih sejumlah kecil dari seluruh anggota masyarakat untuk melaksanakan fungsi-fungsi kontrol, pemberi masukan, pemberi dukungan, serta fungsi mediator antara masyarakat dengan lembaga-lembaga pendidikan. Fungsi-fungsi tersebut dilakukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan propinsi, serta Komite Sekolah pada tingkat satuan pendidikan. MBS: Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan. Di sisi lain, hanya guru-guru-lah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing. Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitasi secara objektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang handal dan terbakukan secara nasional. Menuju Otonomi pada Tingkat Satuan Pendidikan Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stake-holder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat. Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stake-holder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu. Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stake-holder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan di setiap kabupaten/kota dan propinsi. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (DPKS) sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolahsekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dan propinsi dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam peran yang melekat pada DPKS, yaitu peran pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, peran kontrol dan akuntabilitas publik, peran pendukungan (supports), serta peran mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya. Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan. Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stake-holder yang diwakili oleh Komite Sekolah. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolahsekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat. Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika Komite Sekolah adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Komite Sekolah sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah. Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan “capacity building”. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas. Namun, kegiatan ‘capacity building’ tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui pentahapan, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga arahnya menjadi jelas (straight foreward) dan terukur (measurable). Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan (up-grade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan); satuan-satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidkan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu Tahap Formal. Tahap Formal (Sekolah Potensi); satuan-satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administratur (seperti kepala sekolah) dan pelaksana pendidikan (seperti guru-guru, instruktur, tutor, dan sebagainya) agar dapat melaksanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran out put pendidikan seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah. Tahap Transisional (Sekolah Standar Nasional); satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom. Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional); satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimal) dan akan bertanggung jawab terhadap klien serta stake-holder pendidikan lainnya. Dari tahap-tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah sebagai berikut. Terhadap kelompok satuan pendidikan pada Tahap Pra-formal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya melengkapi satuansatuan pendidikan dengan sarana-prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal tetapi memadai untuk dapat mencapai Tahap perkembangan berikutnya. Terhadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai Standar Teknis (Tahap Formal), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihanpelatihan dan pengembangan kemampuan tenaga kependidikan, seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran yang paling efektif. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai Tahap Transisional, perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan, maka satuan-satuan pendidikan sudah dapat dinaikan kelasnya ke Tahap Otonom. Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar pelayanan minimal di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator ini perlu didukung oleh sistem pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masingmasing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan sejak tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/ kota, propinsi sampai dengan tingkat nasional. Pendidikan dan Pengembangan Tangung Jawab Warganegara Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Artinya, lembaga-lembaga pendidikan dan proses pendidikan yang berlangsung di dalamnya, dapat menjadi media sosialisasi politik terutama membimbing warga negara muda belajar mengambil peran dan tanggung jawab warganegara (civic responsibility). Pengembangan peran dan tangung jawab warganegara melalui media pendidikan dilakukan melalui Citizenship Education atau Civic Education yang secara operasional didefinisikan sebagai berikut: “Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process (Kerr, 1999:2). Atau, “citizenship or civics education” atau pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Oleh karena itu ontologi citizenship education mencakup mata pelajaran “citizenship, civics, social sciences, social studies, world studies, society, studies of society, life skills, and moral education”, serta mata pelajaran lain yang relevan, yakni: “history, geography, economics, law, politics, environmental studies, values education, religious studies, languange, and science” (Kerr,1999:3). Dari situ tampak bahwa “citizenship education” atau pendidikan kewarganegaraan dilihat sebagai suatu domain pendidikan yang bersifat multi dimensional dan tersebar secara programatik dalam keseluruhan tatanan kurikulum, seperti juga yang dilihat oleh Allen (1962) dan Cogan (1998). Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru. Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh Pemerintah sebagai suatu crash program. Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi Civics, Pendidikan Kewargaan negara, dan Pendidikan IPS. Hal itu tampak dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai. Selanjutnya, dalam Kurikulum tahun 1975 untuk semua jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara mulai diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia Pancakarsa". Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi misi pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 (Depdikbud:1975a, 1975b, 1975c). Mata pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun 1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila. Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran Civics atau PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler. Krisis atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti: civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun 1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran IPS; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma Pendidikan Kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional. Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih dinamis, Pendidikan Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006). Adapun tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (a) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; (b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; (d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Dari sejumlah kompetensi yang diperlukan, yang terpenting adalah (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter dan sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions (Branson, 1998: 5). Pengetahuan Kewarganegaraan Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara. Komponen pertama ini harus diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terusmenerus harus diajukan sebagai sumber belajar PKn. Lima pertanyaan yang dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan ?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?; (3) Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh Konstitusi mengejawantahkan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia ?; (4) Bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia ?; dan (5) Apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia ?. Cara yang dipilih untuk mengorganisasikan komponen pengetahuan kewarganegaraan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan bukanlah tanpa alasan dan kebetulan belaka. Demokrasi adalah suatu dialog, suatu diskusi, suatu proses yang disengaja, di mana seluruh warganegara terlibat di dalamnya. Kegunaan pertanyaan-pertanyaan tadi adalah untuk menunjukkan bahwa proses perenungannya tidak pernah berakhir, tempat pemasaran ide-ide, suatu pencarian cara baru dan sebagai cara terbaik untuk merealisasikan cita-cita demokrasi. Sangatlah penting bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society) yang akan terus menantang orang-orang yang mau berpikir. Menggagas pertanyaan pertama, ”Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan ?” membantu warganegara melakukan pertimbanganpertimbangan yang matang mengenai hakikat kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan serta mengapa politik dan pemerintahan itu penting; tujuan-tujuan pemerintahan; karakter-karakter utama pemerintahan terbatas dan tidak terbatas; hakikat dan tujuan Konstitusi; dan cara-cara alternatif mengorganisasikan pemerintahan konstitusional. Perenungan terhadap pertanyaan ini, hendaknya mengembangkan pemahaman yang lebih besar akan hakikat pentingnya civil society atau jaringan kompleks dari asosiasi-asosiasi politik, sosial dan ekonomi yang dibentuk dengan bebas dan sukarela yang merupakan kompoenen esensial dari demokrasi konstitusional. Civil Society yang vital bukan hanya mampu mencegah penyelewengan atau pemusatan kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah, namun organisasi-organisasi civil society dapat pula berfungsi sebagai laboratorium publik di mana warganegara belajar sambil langsung praktik (learning by doing). Pertanyaan kedua ”Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?” mencakup pemahaman mengenai dasar sejarah dan filsafat dari sistem politik Indonesia: karakter-karakter khas masyarakat dan kultur Indonesia; nilai-nilai dan prinsip-prinsip mendasar dalam demokrasi konstitusional Indonesia yang dikenal sebagai sepuluh pilar demokrasi. Kesepuluh pilar demokrasi berdasarkan UUD 1945 itu adalah (1) Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Demokrasi dengan Kecerdasan; (3) Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat; (4) Demokrasi dengan Rule of Law; (5) Demokrasi dengan Pemisahan Kekuasaan dan sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and ballances); (6) Demokrasi dengan Hak Asasi Manusia; (7) Demokrasi dengan Pengadilan yang Bebas; (8) Demokrasi dengan Otonomi Daerah; (9) Demokrasi dengan Kemakmuran; dan (10) Demokrasi yang Berkeadilan Sosial. Pertanyaan ini mengajukan pembahasan mengenai nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ditegaskan dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah harus berakar pada semangat citacita sebagaimana terkandung dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Cita-cita, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip itu adalah kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur cara dan tujuan pemerintah atau cara dan tujuan kelompok-kelompok yang merupakan bagian dari civil society. Pertanyaan ketiga ”Bagaimana pemerintahan yang didirikan berdasarkan Konstitusi mengejawantahkan tujuan, nilai, dan prinsip demokrasi Indonesia ?” membantu warganegara memahami dan mengevaluasi pemeritahan terbatas yang didirikan serta penyebaran dan pembagian kekuasaan yang dilakukan. Warganegara yang memahami dasar-dasar justifikasi sistem pembatasan, penyebaran, dan pembagian kuasaan serta maksudnya ini, lebih mampu menjaga pemerintahan mereka – baik di tingkat lokal, daerah, maupun nasional – bertanggung jawab dan memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi. Mereka juga akan mengembangkan penghargaan terhadap kedudukan hukum dalam sistem politik Indonesia, sebagai suatu kesempatan yang tidak ada bandingannya untuk memilih dan partisipasi warganegara yang dimungkinkan oleh sistem. Pertanyaan keempat ”Bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia dan posisinya mengenai masalah-masalah internasional ?” adalah penting karena Indonesia tidak terasing dan hidup menyendiri. Indonesia adalah bagian dari dunia yang semakin mengecil karena perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Untuk mengukur peran Indonesia di dunia saat ini, dan ke arah mana kebijakan politik luar negeri harus diarahkan, warganegara perlu memahami elemen-elemen penting hubungan internasional dan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kehidupan mereka serta keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Warganegara juga perlu memahami secara lebih baik mengenai peran organisasi pemerintah maupun nonpemerintah yang penting karena semakin banyak peran penting yang mereka mainkan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Pertanyaan kelima ”Apakah peran warganegara dalam demokrasi Indonesia ?” juga sangat penting. Kewarganegaraan dalam demokrasi konstitusional berarti bahwa setiap warganegara merupakan anggota yang setara dari suatu komunitas otonom dan memiliki hak-hak fundamental dan tanggung jawab. Warganegara hendaknya memahami bahwa melalui keterlibatan mereka dalam kehidupan politik dan civil society, mereka dapat membantu meningkatkan kualitas hidup di lingkungan sekitar mereka, masyarakat banyak, dan seluruh bangsa. Jika mereka menginginkan suara-suara mereka didengar, mereka harus menjadi warganegara yang aktif dalam proses politik. Walaupun pemilihan umum adalah elemen pokok dalam institusi demokratis, warganegara harus belajar bahwa di luar kegiatan tersebut, banyak kesempatan partisipasi yang masih terbuka. Akhirnya, mereka hendaknya mulai memahami bahwa pencapaian tujuan individu dan tujuan publik cenderung seiring dengan partisipasi mereka dalam kehidupan politik dan civil society. Mereka akan memiliki peluang lebih besar dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara bila mereka adalah warganegara yang berpengetahuan, efektif, dan bertanggung jawab. Kecakapan Kewarganegaraan Komponen esensial kedua Civic Education dalam masyarakat demokratis adalah kecakapan kewarganegaraan (civic skill). Jika warganegara mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai pengetahuan dasar sebagaimana diwujudkan dalam lima pertanyaan sebagaimana diuraikan di muka, namun mereka pun perlu memiliki kecakapankecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual kewarganegaraan sekalipun dapat dibedakan namun satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kecakapan berpikir kritis tentang isu politik tertentu, misalnya, seseorang harus memahami terlebih dahulu isu itu, sejarahnya, relevansinya di masa kini, juga serangkaian alat intelektual atau pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan isu itu. Kecakapan-kecakapan intelektual yang penting untuk seorang warganegara yang berpengatuan, efekif, dan bertanggung jawab, disebut sebagai kemamuan berpikir kritis. The National Standards of Civic and Government dan The Civic Framework for 1998 National Assessment of Educational Progress (NAEP) membuat kategori mengenai kecakapan-kecakapan ini adalah identifying and describing; explaining and analyzing; and evaluating, taking, and defending positions on public issues (Branson, 1998:8). Civic Education yang bermutu memberdayakan seseorang untuk mengidentifikasi atau memberi makna yang berarti pada sesuatu yang berujud seperti bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, monumen nasional, atau peristiwa-peristiwa politik dan kenegaraan seperti hari kemerdekaan. Civic Education juga memberdayakan seseorang untuk memberi makna atau arti penting pada sesuatu yang tidak berujud seperti nilainilai ideal bangsa, cita-cita dan tujuan negara, hak-hak mayoritas dan minoritas, civil society, dan konstitusionalisme. Kemampuan untuk mengidentifikasi bahasa dan simbol-simbol emosional juga sangat penting bagi seorang warga negara. Mereka harus mampu menangkap dengan jelas maksud-maksud hakiki dari bahasa dan simbol-simbol emosional yang digunakan. Kecakapan intelektual lain yang dipupuk oleh Civic Education yang bermutu adalah kemampuan mendeskripsikan. Kemampuan untuk mendeskripsikan fungsifungsi dan proses-proses seperti sistem checks and balances atau judicial review menunjukkan adanya pemahaman. Melihat dengan jelas dan mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan seperti berpartisipasi dalam kehidupan kewarganegaraan, imigrasi, atau pekerjaan, membantu warga negara untuk selalu menyesuaikan diri dengan peristiwa-peristiwa yang sedang aktual dalam pola jangka waktu yang lama. Civic Education yang bermutu berusaha mengembangkan kompetensi dalam menjelaskan dan menganalisis. Bila warga negara dapat menjelaskan bagaimana sesuatu seharusnya berjalan, misalnya sistem pemerintahan presidensil, sistem checks and balances, dan sistem hukum, maka mereka akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mencari dan mengoreksi fungsi-fungsi yang tidak beres. Warga negara juga perlu memiliki kemampuan untuk menganalisis hal-hal tertentu sebagai komponen-komponen dan konsekuensi cita-cita, proses-proses sosial, ekonomi, atau politik, dan lembaga-lembaga. Kemampuan dalam menganalisis ini akan memungkinkan seseorang untuk membedakan antara fakta dengan opini atau antara cara dengan tujuan. Hal ini juga membantu warga negara dalam mengklarifikasi berbagai macam tanggung jawab seperti misalnya antara tanggung jawab publik dan privat, atau antara tanggung jawab para pejabat – baik yang dipilih atau diangkat – dengan warga negara biasa. Dalam masyarakat yang otonom, warga negara adalah pembuat keputusan. Oleh karena itu, mereka perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu sangat penting jika nanti mereka diminta menilai isu-isu yang ada dalam agenda publik, dan mendiskusikan penilaian mereka dengan orang lain dalam masalah privat dan publik. Di samping mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan intelektual, pendidikan untuk warga negara dan masyarakat demokratis harus difokuskan pada kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk partisipasi yang bertanggung jawab, efektif, dan ilmiah, dalam proses politik dan dalam civil society. Kecakapan-kecakapan tersebut jika meminjam istilah Branson (1998: 9) dapat dikategorikan sebagai interacting, monitoring, and influencing. Interaksi (interacting) berkaitan dengan kecakapan-kecakapan warga negara dalam berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Berinteraksi adalah menjadi tanggap terhadap warga negara yang lain. Interaksi berarti bertanya, menjawab, dan berunding dengan santun, demikian juga membangun koalisi-koalisi dan mengelola konflik dengan cara yang damai dan jujur. Memonitor (monitoring) sistem politik dan pemerintahan, mengisyaratkan pada kemampuan yang dibutuhkan warga negara untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Monitoring juga berarti fungsi pengawasan atau watchdog warga negara. Akhirnya, kecakapan partisipatoris dalam hal mempengaruhi, mengisyaratkan pada kemampuan proses-proses politik dan pemerintahan – baik proses-proses formal maupun informal – dalam masyarakat. Adalah sangat penting untuk membangun kecakapan partisipatoris sejak awal sekolah dan terus berlanjut selama masa sekolah. Murid yang paling muda, dapat belajar dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok kecil dalam rangka mengumpulkan informasi, bertukar pikiran, dan menyusun rencanarencana tindakan sesuai dengan taraf kedewasaan mereka. Mereka dapat belajar untuk menyimak dengan penuh perhatian, bertanya secara efektif, dan mengelola konflik melalui mediasi, kompromi, atau menjalin konsensus. Murid-murid yang lebih senior dapat dan seyogyanya mengembangkan kecakapan-kecakapan memonitor dan mempengaruhi kebijakan publik. Mereka hendaknya belajar bagaimana meneliti isu-isu publik dengan menggunakan perangkat-perangkat elektronik, perpustakaan, telepon, kontak personal, dan media. Menghadiri pertemuan-pertemuan publik mulai dari tingkat organisasi siswa (OSIS), komite sekolah, dewan pendidikan, dan dengar pendapat dengan anggota legislatif, sebaiknya juga menjadi bagian pengalaman pendidikan siswa tingkat sekolah menengah atas. Observasi ke pengadilan dan mempelajari tata kerja sistem peninjauan ulang hukum (judicial review) juga hendaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan civic education mereka. Kendati demikian, pengamatan itu sendiri tidaklah memadai, murid-murid tidak hanya perlu disiapkan untuk pengalaman-pengalaman seperti itu, yang mereka butuhkan adalah peluangpeluang yang terencana dan terstruktur dengan baik agar dapat merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka tadi di bawah bimbingan para pembina yang cakap dan pandai. Jika menghendaki agar warga negara dapat mempengaruhi jalannya kehidupan politik dan kebijakan publik, mereka perlu menambah jam terbang mereka dalam kecakapan-kecakapan partisipatoris itu. Voting tentu merupakan alat yang penting dalam rangka mempengaruhi; tetapi ia bukanlah merupakan satu-satunya cara. Warga negara perlu belajar menggunakan cara-cara lain. Dalam kaitan ini Branson (1998:10) menjelaskan sebagai berikut. Voting certainly is an important means of exerting influence; but it is not the only means. Citizens also need to learn to use such means as petitioning, speaking, or testifying before public bodies, joining ad-hoc advocacy groups, and forming coalitions. Selain voting cara lain yang dapat dipergunakan warga negara untuk mempengaruhi jalannya kehidupan politik sebagaimana dikemukakan Branson adalah mengajukan petisi, berpidato, atau menunjukkan kebolehan di depan anggota-anggota badan publik, bergabung dengan kelompok-kelompok advokasi dan membentuk koalisi-koalisi. Sebagaimana halnya kecakapan-kecakapan interaksi dan memonitor, kecakapan mempengaruhi dapat dan seyogyanya dikembangkan secara sistematik. Watak Kewarganegaraan Komponen dasar ketiga dari civic education adalah watak kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society. Pengalaman-pengalaman demikian hendaknya membangkitkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi berjalan sukses. Secara singkat karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan sebagai berikut. Menjadi anggota masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari luar menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat demokratis. Memenuhi tanggung jawab personal kewargaanegaraan di bidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu, membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu. Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersikap sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warganegara, dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan prinsip mayoritas namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat. Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warganegara harus dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu. Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembagalembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini mengarahkan warganegara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bjaksana. Pentingnya watak kewarganegaraan ini jarang sekali ditegaskan. Karakter publik dan privat yang mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin lebih merupakan dampak dari pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai warganegara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya di New York pada tahun 1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan dalam kata-kata yang sekarang menjadi amat populer: Liberty lies in the hearts of men and women; when it dies there, no constitution, no law, no court can save it; no constitution, no law, no court can even do much to help it. While it lies there, it needs no constitution, no law, no court to save it (Branson, 1998: 12). Kebebasan terletak pada hati manusia, baik pria maupun wanita. Bila ia sirna maka tak ada konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat menyelamatkannya. Bahkan konstitusi, hukum, dan pengadilan tak dapat berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan lagi konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya. DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid. 1994. Madrasah Nizhamiyah: Studi Tentang Hubungan Pendidikan Islam dan Politik, Tesis Magister Ilmu Agama Islam, Program Pascasarjana IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Abernethy, David dan Coombe, Trevor. 1965. “Education and Politics in Developing Countries”, dalam Harvard Educational Review, Vol. 35, No. 3, hlm. 287-302. Assegaf, Abd. Rahman. 2005. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi, Yogyakarta: Penerbit Kurnia Kalam. Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos. Bahmueller, C.F. dan Patrick, J.J. 1999. Principles and Practices of Education for Democratic Citizenship; International Perspectives, Bloomington: the ERIC Adjunct Clearinghouse for International Civic education. Bloom, Allan. 1987. Closing of the American Mind, New York: Simon and Schuster. Budimansyah, Dasim. 2007. UUD 1945: Bahan Pengayaan Pendidikan Kewaraganegaraan, Bogor: CV Regina. Budimansyah, Dasim dan Syaifullah (ed). 2006. Pendidikan Nilai-Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Laboratorium PKn UPI. Cogan, J.J. dan Derricott,R. 1998. Citizenship for the 21st Century; An International Perspective on Education,London: Kogan Page. Depdiknas. 2002. Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta: Bagpro Publikasi dan Sosialisasi Pendidikan Ditjen Dikdasmen. Departemen P dan K (1968a) Kurikulum Sekolah Dasar, Jakarta _______ (1968b) Rencana Pendidikan SMP, Jakarta _______ (1968c) Rencana Pendidikan SMA, Jakarta _______ (1969) Pedoman Kerja Sekolah Pendidikan Guru, Jakarta _______ (1975a) Kurikulum Sekolah menengah Atas 1975 : Buku I Pokok, Jakarta : Balai Pustaka Ketentuan _______ (1975b) Kurikulum Sekolah Menengah Atas 1975 : Buku II B Bidang Studi Pendidikan Moral Pancasila, Jakarta : Balai Pustaka _______ (1993) Kurikulum 1994 Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Jakarta _______(1990a) Konsep dan Strategi Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Menengah: Suatu Penelitian Kepustakaan, Jakarta: P2LPTK ,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan _______(1990b) Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Menengah, Jakarta: P2LPTK, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan _______(2000) Statuta Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung:UPI Djojonegoro, Wardiman, dkk. 1995. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djumhur, I. dan Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu. Freire, Paulo. 1999. Politik Pendidika: Kebudayan, Kekuasaan dan Pembebasan, penerj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harman, G. 1980. “Reassessing Research in the Politics of Education”, dalam Educational Research and Perspektive (the Governnance of Education), Departement of Education, University of Western Australia. Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: PT Pradnya Paramita. Kerr, David. (1999). Citizenship Education: An International Comparrison. England: nfer, QCA. ---------------. (1999). Citizenship Education in the Curriculum: An International Review. England: nfer, QCA. Kuntoro, Sodik A. 1997. Menelusuri Perkembangan Pendidikan Nasional di Indonesia: Peran Pendidikan Bagi Integritas Bangsa, pidato Pengukuhan Guru Besar, IKIP Yogyakarta. Nandika, Dodi. 2007. Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta: LP3ES. Sirozi, M. 2005. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press. Suryadi, Ace. 2002. Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan, Jakarta: PT Balai Pustaka. Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2003. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Bandung: PT Genesindo. Tilaar, HAR. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan, Magelang: Indonesiatera. PAGE PAGE 23 6 À Ç È M R 7 8 9 a b u v w ¿ š ¡ ïçßçÖÊ¿·«·«¡«·’†viZKZ; h|s" hxXó 6 •CJ OJ QJ aJ h|s" hTf— CJ OJ QJ aJ h|s" hxXó CJ OJ QJ aJ h À 5 •CJ OJ QJ aJ h¡^o h¡^o 5 •CJ OJ QJ aJ h À CJ OJ QJ aJ hœ c h À CJ O J QJ aJ h³[~ 0J OJ QJ j h³[~ OJ QJ U h³[~ OJ QJ QJ h³[~ h³[~ OJ QJ h À h À 5 •OJ QJ hœ c 5 •OJ h À OJ QJ hœ c OJ hœ c h • QJ À 5 •CJ$ OJ QJ aJ$ 8 w ¦ ¿ À È ž Ÿ ® O Ÿ ë Y w ÷ ã ¹ x ÷ ÷ ã ¹ ÷ ÷ È ¹ ë ã Û ¹ ¹ Ó ¹ ¹ ã $ $ $ Ž „Ð dh `„Ð a$ gdÀD! dh a$ gdÀD! $ a$ gdxXó „h ^„h a$ gd³[~ $ a$ gd® Ë $ a$ gdxXó ¡ $ a$ gd® Ë œ • ž Ÿ - ® ¯ 1 2 4 • € _ œ hœ c p § hn x â — ã 6 •OJ ç QJ 0 ; ñâñÒŵ¨ • • • y • • • q f^VJ hn OJ QJ h À OJ QJ h À h À OJ QJ h´~Ä OJ QJ h—p¤ OJ QJ h¦#O h¦#O 6 •OJ QJ hÌ E OJ QJ h¦#O hÌ E OJ QJ h¦#O OJ QJ h À 5 •CJ OJ QJ aJ h„ h À 5 •CJ OJ QJ aJ hœ^r 5 •CJ OJ QJ h|s" hœ^r 5 •CJ OJ QJ aJ h|s" hTf— CJ OJ QJ aJ h|s" hxXó CJ OJ QJ aJ ; aJ - o D w CJ • E x OJ ž z QJ Ÿ “ aJ µ N O ¢ © ® ° » ¼ Ë ï D E Z _ ` Š • © À X Y øðøèøðøðàØÐÄÐؼØÐؼ´¬´ð´¤œ´¤´¤¤ˆ´¤Ð¤Ð€xl ð h\q* hÀD! OJ QJ h´~Ä OJ QJ hX Ñ OJ QJ hOaË hOaË 6 •OJ QJ h%;5 OJ QJ hOaË OJ QJ h6 ™ OJ QJ híG] OJ QJ h\<¨ OJ QJ h·a: h·a: 6 •OJ QJ h·a: OJ QJ h _º OJ QJ h À OJ QJ h¡^o OJ QJ hœ c OJ QJ hn 7 M e9 ŠO OJ Å> ÷ QJ ¶C )x 3I y z U% V% v% ì Ý ÷ ¯ Ô) / P1 Ý Ý ¾ ¯ •! ÷ ì Î ” r6 a7 Ý Ý ¯ ¯ þ4 ì Ý ¯ b ¯ $ „ dh `„ a$ gdÀD! $ „ ³ „ ]„ ^„ a$ gd: $ „ dh `„ a$ gdÀD! $ $ „Ð dh `„Ð a$ gdÀD! dh a$ gdÀD! $ a$ gd® Ë “ ” ¦ ¬ Å Ú "- #- 6ˆ • œ! •! –" —" ¾# ¿# %$ T% U% V% u% v% “& ( ¡( ¢( µ( Ô( Ô) æ) ç) <* Ó* Ô* Ç, ñéáÕáéáéáÉáÁ¹±¹±¹±¹±¢“‹ƒxp xpxƒhƒ`p` hÍ € OJ QJ hœ^r OJ QJ h$J¬ OJ QJ hu!• hu!• OJ QJ hu!• OJ QJ h\q* OJ QJ h\q* h® Ë CJ OJ QJ aJ h\q* h\q* CJ OJ QJ aJ h® Ë OJ QJ hynÆ OJ QJ h„ OJ QJ h6 d h6 d 6 •OJ QJ h6 d hä|ú 6 •OJ QJ h6 d OJ QJ hä|ú OJ QJ h„ hœ c CJ OJ QJ aJ #Ç, ï. ø. / / û/ 0 0 '0 0 .0 ˆ0 °0 ¶0 ¸0 Ë0 (2 /2 Z2 _2 23 R3 {3 •3 _4 ý4 þ4 m5 u5 w5 ®5 ¶5 ð5 ñ5 \6 d6 q6 r6 øìøäÜÔÜÌÜÌÜÌÀ·ÔÌÀÌÀ̯̣̯ܯ— ¯ƒ{o¯ hÌFÕ h: ³ 6 •OJ QJ hÌFÕ OJ QJ hÌFÕ hÌFÕ 6 •OJ QJ h: ³ OJ QJ h: ³ h ^¸ 6 •OJ QJ h ^¸ hG^Ñ 6 •OJ QJ h ^¸ OJ QJ hiE; 6 •OJ QJ hG^Ñ hG^Ñ 6 •OJ QJ hG^Ñ OJ QJ hiE; OJ QJ hÍ € OJ QJ hu!• OJ QJ h f? h f? 6 •OJ QJ h f? OJ QJ %r6 a7 b7 d8 i8 d9 e9 ”9 Ã9 Z: i: ‚: Ž: ´: ¹: º: Û: Þ: ö: ÷: ¤; ¦; ”< •< <= N= Y= y= •= ì= õ= Š> ™> Ä> Å> ê> ë> ¨? (@ b@ zA ïàØÌØÄظظجج£¬Ø›“›“›‡›“{“{“{“{“Ø“s“k“s hFv OJ QJ h0^I OJ QJ hävü hävü 6 •OJ QJ hîv© hîv© 6 •OJ QJ hävü OJ QJ hîv© OJ OJ QJ QJ hävü 6 •OJ QJ hîv© hU > 6 •OJ QJ hU > hU > 6 • h: ³ OJ QJ hÌFÕ hU > 6 •OJ QJ hU > OJ QJ h: ³ h: ³ CJ OJ QJ aJ h: ³ h: ³ 6 •CJ OJ QJ aJ (zA B 7B FB kB /C 9C CC >F IF JF {A µC B -D %D =D HD KE PE iE xE yE ÒE =F G G WG ]G {G ŒG 2I 3I øI J ÌJ ÕJ DK M M QN øðäðäðÜÐÜÈðäðäð¼ð¼³ð«ø«ø«ø«Ÿ«Ÿ«— •‡‡‡‡‡ EK hL rL {L ~L ÕL ïL hzOT OJ QJ hÔSq OJ QJ h˜nô OJ QJ hävü OJ QJ hÏXÔ hÏXÔ 6 •OJ QJ hÏXÔ OJ QJ h„n 6 •OJ QJ hÏXÔ h0^I 6 •OJ QJ hÅ e OJ QJ hFv hFv 6 •OJ QJ hFv OJ QJ h0^I h0^I 6 •OJ QJ h0^I OJ QJ h„n OJ QJ /QN YN qN ‹N ·N ÖN #O 0O ^O cO gO hO vO {O ˆO ŠO ÔP ÕP êP þP ]Q eQ ’Q Q ·Q ¼Q sR zR ïR ðR ¬S »S ½S ÌS îS T vT øðøðèðÜðÑèÑÜðÜðÉ𺫣—£—£—£—£‡{‡o‡g‡ hADi OJ QJ hÛfý håzÑ 5 •OJ QJ håzÑ håzÑ 6 •OJ QJ håzÑ OJ QJ hÛfý OJ QJ h˜*6 h˜*6 6 •OJ QJ h˜*6 OJ QJ h˜*6 h\q* CJ OJ QJ aJ h˜*6 h˜*6 CJ OJ QJ aJ hŽhl OJ QJ h¾W hÔSq OJ QJ hÔSq hÔSq 6 •OJ QJ h¾W OJ QJ hÔSq OJ QJ h… Ès OJ Ðs QJ t Ö Ö Î $ŠO ÔP ÕP þP ðR t !t 3t Mt ð Ö Ö Ö Î Æ µV aY R^ ð Ö †a d ÿe å wj åp Ö Ö º hn Ö Ö Ö Ql Ö º º $ $ If a$ gd•M $ a$ gdå>Ç $ a$ gd¦aM $ $ „Ð dh dh `„Ð a$ gdÀD! a$ gdÀD! $ „ dh `„ a$ gdÀD! vT ƒT …T šT T ®T ºT lU zU |U ŒU ’U U V %V ´V µV ÄV ÆV ÇV aW hW »W ÁW X #X FX VX •X ‡X Y Y `Y aY vY •Y r[ t[ óëßëßë×Ë׿׿׿׷«¢—•ƒƒƒƒƒƒ×wog_ hyc„ OJ QJ h~2# OJ QJ h´7¾ OJ QJ h~2# h~2# 5 •OJ QJ hŽw hŽw 6 •OJ QJ hŽw QJ OJ QJ h´7¾ h´7¾ OJ QJ h´7¾ 5 •OJ QJ hŽw hÛfý 5 •OJ h˜*6 OJ QJ hÛfý hÛfý 5 •OJ QJ hÛfý hÛfý 6 •OJ QJ hÛfý OJ QJ hÛfý håzÑ 5 •OJ QJ håzÑ OJ QJ ø^ ý^ _ _ _ ©_ €` — c Ÿc »c Éc hb hÛfý håzÑ 6 •OJ QJ %t[ Áa €[ Õa â] áa ã] âa Q^ c R^ (c \^ *c æ^ ~a ‚a „a …a †a ‘a :c •c Ìc Õc ác ñc óc óëãëÛÏëÏëÏëÇ¿Ç¿Ç¿Çë³Ç§Ç¿Ÿ“‹Ÿ‹wŸo¿o¿c¿ s h+K× 6 •OJ QJ hÏ\Ç OJ QJ hb s OJ QJ h¨&a h¨&a 6 •OJ QJ h¨&a OJ QJ h dŽ h dŽ 6 •OJ QJ h dŽ OJ QJ h‹p! h‹p! 6 •OJ QJ h dŽ h‹p! 6 •OJ QJ h+K× OJ QJ h‹p! OJ QJ h‹p! hyc„ 6 •OJ QJ hŽw OJ QJ h 01 OJ QJ hyc„ OJ QJ hyc„ hyc„ 6 •OJ QJ &óc ýc d d Gd Nd Sd cd ¹d ºd Ød Ýd üd ÿd 9e te ue ve |e ³e ¹e þe ÿe f xf yf Ýf og vg šg ¢g h /h Ph Uh – h •h @i Gi öi j 'j +j 1j vj wj øðèøÜøÔøÌøÜøÔøÔøÌÀÌÔ̸¬¤œ¤œœ œ…œœœœÔœ}œ}ø hw\d OJ QJ hw\d hTgê OJ QJ hw\d hTgê 6 •OJ QJ hTgê OJ QJ h´7¾ OJ QJ h´7¾ h´7¾ 5 •OJ QJ h‹p! OJ QJ hb s hb s 6 •OJ QJ hb s OJ QJ h 01 OJ QJ hb s h¨&a 6 •OJ QJ h dŽ OJ QJ h+K× OJ QJ h¨&a OJ QJ -wj o ,o 7o 8o Co Do bo co oo •o €o žo xp ˜p ¢p £p ¬p -p ·p ¸p Çp Èp Öp ×p Ìq Ñq ãq éq öq r ;r •r ºr ér 1s Ps – s µs Çs Ès t t Nt ©t óéóéóéóéóÛÐéóéóéóéóéóéóéóéóéÆóéóéóéóé¼é±¥– †w h•M h¦aM CJ OJ QJ aJ h•M h¦aM 5 •CJ OJ QJ aJ hÌWt h¦aM CJ OJ QJ aJ hÌWt h¦aM 5 • OJ QJ hå>Ç h½>½ OJ QJ h 2í OJ QJ ^J hÞ{ OJ QJ ^J h å>Ç 6 •OJ QJ ^J hå>Ç hå>Ç 6 •OJ QJ ^J hå>Ç OJ QJ ^J hå>Ç hå>Ç OJ QJ ^J ,Mt Nt \t rt Ñt q h h h $ If l Ö gd¦aM Ž kd $ $ If ÖF ”ÿË ," 7 – G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö 4Ö l aö yt•M ©t ªt Òt Ót v v õv öv Gw Tw “w Sx Tx lx px wx yx — x ˜x y y zy |y …y †y ²y ´y µy Èy èy óy Tz fz z ¡z Õz Öz P{ Q{ •{ •{ Š{ ‹{ ß{ ñâÓâñâÓâñâÄâĵÄâÄâÄâÄâÄâÄñ¦ñÄñÄñÄñÄñÄâ— âˆây h•M h• Ü CJ OJ QJ aJ h•M heBˆ CJ OJ QJ aJ h•M hísÜ CJ OJ QJ aJ h•M h•Q- CJ OJ QJ aJ h•M hâ à CJ OJ QJ aJ h•M h÷ ¡ CJ OJ QJ aJ M h¦aM CJ OJ QJ M hX!à CJ OJ QJ f $ If l 4 Ö h•M hÞ{ CJ OJ QJ aJ aJ h•aJ +Ñt Òt ßt àt át o gd¦aM • kd© $ ÖF ”ÿË $ If ," 7 h•f f – ` G ` t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M át ât ït $ If l 4 Ö 4Ö ðt ñt o gd¦aM • f kd_ $ ÖF $ If ”ÿË f f – ," 7 G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ l aö u u Qu ÿ ÿ4Ö yt•M ñt o 4 Ö þt f $ If l 4Ö òt gd¦aM f • kd $ ÖF f $ If ”ÿË f – ," 7 G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M Qu Ru ]u $ If l Ö 4Ö ¸u æu gd¦aM Ž q h kdË $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M æu çu ýu $ If l Ö 4Ö ‰v Æv gd¦aM Ž q h kdt $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M Æv Çv ãv $ If l Ö 4Ö Tx xx gd¦aM Ž q h kd $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ l aö y {y ÿ ÿ4Ö yt•M xx q $ If l Ö 4Ö yx h ˜x gd¦aM Ž ©x h kdÆ $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M {y |y †y $ If l Ö 4Ö Q{ €{ gd¦aM Ž q h kdo $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M €{ •{ ‹{ $ If l Ö 4Ö } 7} gd¦aM Ž q h kd $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M ß{ à{ } } € E‚ F‚ uƒ zƒ ¦ñ–‡wgX hÌWt hX!à 6 •CJ hÌWt heBˆ 6 •CJ hÌWt heBˆ 5 •CJ M h¿x CJ OJ QJ M h¦aM CJ OJ QJ ò CJ OJ QJ h 4Ö 6} 8} A} B} ”~ •~ Å~ Ç~ Ð~ Ñ~ Ù• Ú• (€ * Žƒ ¶ƒ ¸ƒ ¾ƒ Àƒ ǃ ȃ Òƒ ñâÓñÓÄÓñÓñÓÄÓñÓñÓñµñ¦ñ hÌWt hX!à CJ OJ QJ aJ OJ QJ aJ OJ QJ aJ hÌWt heBˆ CJ OJ QJ aJ OJ QJ aJ h•M h\4Í CJ OJ QJ aJ h•aJ h•M heBˆ CJ OJ QJ aJ h•aJ h•M h• Ü CJ OJ QJ aJ h•M h aJ 7} 8} B} •~ Æ~ q h h $ If l Ö gd¦aM Ž kdÁ ÖF ”ÿË ," $ 7 $ If – G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M Æ~ Ç~ Ñ~ $ If l Ö 4Ö Ú• )€ gd¦aM Ž q h kdj $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M )€ *€ A€ 4Ö •• Ý• q h h _ $ If Ü l $ If Ö gd¦aM Ž kd $ ÖF $ If ”ÿË ," – 7 gdm G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö l aö yt•M Ý• Þ• ö• $ If l Ö 4Ö Žƒ ·ƒ gd¦aM Ž q h kd¼ $ ÖF $ If ”ÿË ," h – 7 h G t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö 4Ö l aö yt•M ·ƒ ¸ƒ Óƒ Ôƒ Õƒ ìƒ í† ÛŠ IŽ d Y H $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gdÀD! $ dh a$ gdÀD! $ a$ gdå>Ç l Ö ÖF ”ÿË q l H gd¦aM Ž ," 7 l H kde $ $ If G – t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ4Ö 4Ö l aö yt•M Òƒ Ôƒ Õƒ ìƒ Fˆ Pˆ •ˆ žˆ ýˆ þˆ • • 8’ =’ >’ D’ G“ L “ M“ T“ š“ §“ ÿ” • E• G• r• }• •• †• “— ”— K• L• О ñæÔǽǯǽǥǯš¯Ç¯š¯Ç¯Ç½Ç½‰|l|l_l_l h&#. 5 •OJ QJ \ •^J - h•zå h•zå 5 •OJ QJ \ •^J h•zå 5 •OJ QJ \ •^J hœ^r h•zå CJ OJ QJ ^J aJ h&#. 6 •CJ OJ QJ h&#. CJ OJ QJ h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ h•zå CJ OJ QJ h•zå h•zå CJ OJ QJ # h˜*6 h•zå 5 •CJ OJ QJ ^J aJ hå>Ç h¦aM OJ QJ hÌWt h¦aM CJ OJ QJ aJ "IŽ º’ F• G• r• ë— †š åœ K L M N | ;£ é¤ ˆ¨ Ï« ¾° _µ ù· î î ä Ù Ê Ê Ê Ê Â Â Â Ù Ê Ê Ê Ê Ê Ê © $ „2 „ „Ð dh ¤ ]„2 ^„ `„Ð a$ gdÀD! $ a$ gd•zå $ $ „Ð dh dh `„Ð a$ gdÀD! a$ gdÀD! $ ¤ a$ gd•zå $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gdÀD! О ãž Ÿ .Ÿ «Ÿ ËŸ K L N | D¢ I¢ J¢ P¢ -£ £ X£ ©£ Ä£ Σ ¤ %¤ &¤ ¤ ’¤ œ¤ 4¥ 9¥ :¥ @¥ ©¥ ¸¥ ⥠2§ íÝÐÝÐÝƼ«ÝšŒšÝ•Ý•ÝíÝíoíÝíÝíoíÝ bUÝ hæ ¯ 5 •OJ QJ \ •^J h U– 5 •OJ QJ \ •^J - hž/þ 5 •6 •OJ QJ \ •] •^J hž/þ 5 •OJ QJ \ • ^J hž/þ 5 •6 •OJ QJ \ •^J ! h•zå h•zå 5 •6 •OJ QJ \ •^J hœ^r h•zå CJ OJ QJ ^J aJ h&#. OJ QJ ^J h•zå OJ QJ ^J h&#. 5 •OJ QJ \ •^J - h•zå h•zå 5 •OJ QJ \ •^J $ h•zå h•zå 5 •6 •OJ QJ \ •] •^J !2§ ?§ ™§ •§ ¢§ ·§ Á§ Ƨ ù§ þ§ !¨ &¨ 4¨ <¨ E¨ J¨ T- s- œ­ ž­ 3¯ 8¯ 9¯ @¯ Õ¯ Ú¯ Û¯ ᯠP± Q± s± 1² G² N² V² _µ ¶ ¶ Ì· Ý· ì· ö· ù· <¸ óãÖóÖãóãóãóãÃãóãóãóãóÃãóÃã¦ÖãÖãÖã›››› ~ h•zå h•zå CJ OJ QJ aJ h•zå h •zå 6 •OJ QJ ] • h•zå h•zå OJ QJ h•zå h•zå OJ QJ ^J - hž/þ 5 •6 •OJ QJ \ •] •^J $ h•zå h•zå 5 •6 •OJ QJ \ •] •^J hæ ¯ 5 •OJ QJ \ •^J - h•zå h•zå 5 •OJ QJ \ •^J hž/þ 5 •OJ QJ \ •^J +<¸ N¸ ¹ ¹ 4¹ <¹ á¹ þ¹ ʺ ׺ ‡¼ £¼ ª¼ °¼ ±¼ ²¼ ³¼ ü Ÿ¾ °¾ ï¾ ¿ Ä A¿ ˜Ä N¿ ·Ä ,Á /Á 0Á 3Á ÝÁ éÁ ëÁ  ®Ã ¼Ã ‰Ä ŠÄ ‘Ä — ,Å =Å öÅ Æ Æ Æ !Æ #Æ 9Æ îßîßîßîßÓßÓßîÄîÄîß´ßÓßÓߤ— ¤ßîˆîß´ß|ßîˆîß´ß|ß|ß|ß hæ ¯ CJ OJ QJ aJ hæ ¯ 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hnO® 6 •CJ OJ QJ aJ hnO® h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ hnO® 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hnO® CJ O J QJ aJ h•zå h•zå CJ OJ QJ aJ " h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ ] • aJ 0ù· Û¹ ¤¼ ×Á ‹Ä vÆ OÇ }È $Ë ÜÌ )Ï *Ï `Ï ÀÐ ñÓ î î î î î î Ö Ö º ¢ • • • • „ „ „Ð dh ]„ ^„ `„Ð gdjWs $ & F Æ & F Æ & F Æ dh ¤ a$ gdÀD! ò „“ dh ¤ ò „ „›þ dh ò „• dh ¤ $ ^„“ a$ gdÀD! ¤ $ ^„ `„›þa$ gdÀD! ^„• a$ gdÀD! $ $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gdÀD! 9Æ :Æ >Æ ?Æ UÆ ZÆ [Æ aÆ žÆ ¯Æ “Ç ¤Ç ŸÈ ¾È ÝÈ îÈ ýÈ É É É ðÊ ñÊ Ì Ì Í Í sÍ …Í (Ï )Ï *Ï ôåôåÕÅÕå³å£å— å£å‹å‹å•åså£å•åg[ h€}ü CJ OJ QJ aJ h• zå CJ OJ QJ aJ h§Uê CJ OJ QJ aJ h° [ CJ OJ QJ aJ huD CJ OJ QJ aJ hæ ¯ CJ OJ QJ aJ h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ " h•zå h•zå 6 •CJ OJ QJ ] •aJ hŒYÌ hŒYÌ 6 •CJ OJ QJ aJ hŒYÌ h•zå 6 •CJ OJ QJ aJ h•zå h•zå CJ OJ QJ aJ hŒYÌ CJ O J QJ aJ -*Ï `Ï 1Ð 6Ð qÐ ©Ð ½Ð ¿Ð ÀÐ Ñ 1Ñ 7Ñ FÑ _Ñ ~Ñ 2 Ò 3Ò „Ò †Ò •Ò ™Ò ½Ò Ó ñÓ òÓ Ô Ô !Ô ;Ô ÁÔ ðÔ tÕ šÕ ñéáéáÕáÍŹŹŬž¬ž“‰¬ž¬{k¬]S¬ž¬ž¬ hi - OJ QJ ^J hjWs hjWs 6 •OJ QJ ^J - hü}ì hi - 5 •OJ QJ \ •^J hjWs hi - OJ QJ \ •^J hTf¥ OJ QJ ^J hTf¥ 6 •OJ QJ ^J hü}ì hi - 6 •OJ QJ ^J hü}ì hi - OJ QJ ^J hi - hi - 6 •OJ QJ hi - OJ QJ hjWs OJ QJ h»'å h»'å 6 •OJ QJ h»'å OJ QJ h ¯ OJ QJ h ¯ h«"o CJ OJ QJ aJ šÕ ±Õ žÖ ŸÖ «Ö ÔÖ éÖ -× .× Ø Ø 0Ø 5Ø 6Ø aØ gØ hØ iØ ØØ ßØ ¬Ù ¹Ù ÃÙ °Ú ±Ú ÔÚ ÕÚ îÚ üÚ Ü ñäÚο-¿¡¿•¿•}¿•}h¿•¿-•¿¡¿}Wο hjWs h£ à B* OJ QJ \ •ph ) hh€ h£ à 5 •6 •B* OJ QJ \ •] •ph # hh€ h£ à 5 •B* OJ QJ \ •ph # hjWs h£ à 6 •B* OJ QJ \ •ph h£ à B* OJ QJ ph # hh€ h£ à 6 •B* OJ QJ ] •ph hh€ h£ à B* OJ QJ ph hTf¥ B* OJ QJ ph hi - OJ QJ ^J hü}ì hi - OJ QJ ^J hü}ì hi 6 •OJ QJ ^J ñÓ ŸÖ ±Ú á <â Þç Fé î iñ jñ †ñ Dô #÷ Rû «þ • ¬ ë Í Î Ï ï Ù Ù Ù Ù Ù Ù Î Ã Ã ´ ´ ´ ´ ´ ´ ´ ´ à à $ $ $ „Ð dh dh dh `„Ð a$ gd¡y« a$ gd£ à a$ gd¡y« $ „Ð dh ¤ ¤ [$ \$ `„Ð a$ gd£ à „ Ü „ dh ]„ ^„ gdi Ü Ü Ü Ü ,Ü HÞ gÞ á á ;â <â äâ êâ Íã ßã ,ä 7ä ¨ä ®ä éä ðä Ýç Þç 1è Lè §è Òè Aé Eé Fé î î î Eî ^î úï ðÞÒÃÒÃÒ÷÷ ÃÞæÃÞÃÞÃÞ÷ÃÞÚÈÃ}uh]u] h¥{« h¡y« OJ QJ h¥{« h¡y« OJ QJ ^J h£ à OJ QJ hëgµ h£ à OJ QJ # hh€ h£ à 5 •B* OJ QJ \ •ph hfLx B* OJ QJ ph hjWs h£ à B* OJ QJ \ •ph h£ à B* OJ QJ ph hh€ h£ à B* OJ QJ ph hTf¥ B* OJ QJ ph # hh€ h£ à 6 •B* OJ QJ ] •ph hTf¥ 6 •B* OJ QJ ] •ph ð ð áð ñ -ñ =ñ @ñ Sñ hñ iñ jñ †ñ •ñ µó Ôó Ûö 2ú ?ú Êú ×ú >û Oû ký vý Îý âý • Ž e r ½ Ê Ä Å Í Î Ð ê $úï ð èö qù ~ù O [ Ì ú ÿ G ˆ þ ! & 5 ù 8 ĶÙíåíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙí®í¥œ¶íÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙíÙí h£ à 5 •OJ QJ G Æ øíåíåíÙíÙíÌ hrAË 5 •OJ QJ hrAË OJ QJ h£ à h¡y« 5 •6 •OJ QJ h£ à OJ QJ h¥{« h¡y« OJ QJ ^J h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ hfLx OJ QJ h¥{« h¡y« OJ QJ h¡y« OJ Ð ê » + L& é õ' QJ =Ï h ö( * ÷( À* å å Ö ô Á* å ×* í. Ê å $ & F Æ h „`ú dh `„`úa$ gd¡y« A/ å m/ ô ô å » å » ¤ å å » $ $ „ „ dh `„ a$ gd¡y« ^„ a$ gd¡y« $ „ dh `„ a$ gd¡y« $ $ „Ð dh # dh `„Ð a$ gd¡y« a$ gd£ Ã Æ Ù ß î + : $ w „ ç ò ô þ ' †- •- “- ˜- $. S [ •$ Ÿ$ ß$ î$ L& ' ' õ' ö( ÷( þ( ) ¿* À* Á* ×* ò* + + 1+ •, š, J. X. A/ óèóèóèóèóèóèÚèÚèÚÎÚÎÚÎÅÎÚÎÚÎÚÎÚκ®º®¦èóèž“…èóè óèóèóè h£ à h¡y« 5 •6 •OJ QJ h¥{« h£ à OJ QJ h¡y« OJ QJ hjWs OJ QJ hÍrÌ h¡y« 6 •OJ QJ hÍrÌ h¡y« OJ QJ h¡y« OJ Q ] • h¥{« h¡y« OJ QJ ] • h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ ] • h¥{« h¡y« OJ QJ h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ 4A/ m/ þ/ 0 ]0 g0 h0 }0 “0 ”0 å0 >2 y2 ˆ3 £3 ¤3 Ù3 à5 "6 j6 k6 ¨9 ¢: ·: ÿ; < J < < < $< ‰ym]m h€}ü h€}ü 6 h€}ü hÀ ¸ 5 h€}ü h€}ü 5 OJ QJ ] • m< ¬< óèàèØàØèØóèóèóÏóèóèàèÁµè¦– •CJ OJ QJ aJ h€}ü CJ OJ QJ aJ •CJ OJ QJ aJ h€}ü 5 •CJ OJ QJ aJ •CJ OJ QJ aJ hÀD! hÀD! CJ OJ QJ aJ h¥{« h¡y« 6 •OJ QJ ] • h¡y« 5 •OJ QJ h¥{« h¡y« h¡y« OJ QJ h´# OJ QJ m/ ”0 å0 >2 Õ Æ Õ ’ h¥{« h¡y« OJ y2 ˆ3 Ù3 à5 ¯ Æ QJ "6 "8 … h¥{« h¡y« 5 •OJ ¨9 ·: ¸: ÿ; Æ Õ — QJ < ì Æ $ dh ¤ a$ gdÀD! gd¡y« „h ^„h gd¡y« $ & F Æ „Ð dh `„Ð a$ gd¡y« h „`ú dh `„`úa$ gd¡y« $ $ & F Æ „h dh h „h ^„h a$ gd¡y« dh ^„h a$ gd¡y« $ $ „h „˜þ dh ^„h `„˜þa$ gd¡y« < @ < < “@ õ < Ç< Ù É È< õ e= f= Ù Ù > ë > w> x> Ù O? Ÿ? Ù ¹ ? @ Ù @ ’ Ù É © ¹ $ „„ „|ü^„„ `„|üa$ g dwD7 $ „h „˜þ^„h `„˜þa$ gdZy› $ „„ „|ü^„„ `„|üa$ gdjWs $ „8 „Èû ¤ ^„8 `„Èûa$ gdZy› $ ¤ a$ gdZy› $ ¤ a$ gdZy› ¬< °< Á< Ã< += E= f= ‚= ê= > '> g> w> x> ¡> ý> L? N? O? c? •? Ÿ? ? º? ð? @ ôèÜèÌèÀ°À¤”¤Œ•u• Œ¤èÌèh[J[ ! hŠ u hŠ u 5 •6 •OJ QJ \ •^J hŠ u 5 •O J QJ \ •^J hÒ_„ 5 •OJ QJ \ •^J h~6q hjWs 6 •OJ QJ h~6q hjWs OJ QJ © Ù N? Ù ¹ hjWs OJ QJ hŠ u hŠ u 6 •CJ OJ QJ aJ hŠ u CJ OJ QJ aJ hÍe¨ hÍe¨ 6 •CJ OJ QJ aJ hÍe¨ CJ OJ QJ aJ h€}ü h€}ü 6 •CJ OJ QJ aJ hQZ CJ OJ QJ aJ h€}ü CJ OJ QJ aJ hp ½ CJ OJ QJ aJ @ @ @ %@ 2@ s@ ’@ “@ ¶@ A A A A (A XA A ¡A ¢A ½A ÔA îA ïA B !B 7B QB vB ‘B øíåíÙíÌíÙíø¿¯ž¯‘ƒr`rL`r`r`r & hV=‡ hV=‡ 5 •6 •OJ QJ ^J mH sH # hV=‡ hV=‡ 6 •OJ QJ ^J mH sH hV=‡ hV=‡ OJ QJ ^J mH sH hV=‡ OJ QJ ^J mH sH hÒ_„ 5 •OJ QJ \ •^J ! hÒ_„ hÒ_„ 5 •6 •OJ QJ \ •^J - hÒ_„ hÒ_ „ 5 •OJ QJ \ •^J hŠ u 5 •OJ QJ \ •^J hwD7 5 •OJ QJ \ •^J h~6q hwD7 6 •OJ QJ h $‘ OJ QJ h~6q hwD7 OJ QJ hwD7 OJ lC mC QJ ½C à à à à $ Æ “@ A A ¡A ¢A ÞA ¾C eD fD ÷D øD ï à à à à à à à ßA B B AB BB €B Ï ß Ã •B à à éB êB à à à à à j Àa$ gdV=‡ gdZy› $ „„ $ „8 „Èû^„8 `„Èûa$ gdZy› „|ü^„„ `„|üa$ gdwD7 ‘B ÏB ÐB $ „h „˜þ^„h `„˜þa$ úB RC |C ³C ÍC D .D uD ¿D ÀD øD E .E <E =E _E vE wE •E ˹˹˹¥Ë¹¥Ë˜Š˜zn^Q^n^nE hŠ u CJ OJ QJ aJ QJ aJ h uE h uE 6 •CJ OJ QJ aJ h uE CJ OJ QJ aJ QJ \ •^J hV=‡ hV=‡ 6 •OJ QJ ^J hV=‡ hV=‡ ‡ hV=‡ 5 •6 •OJ QJ ^J mH sH # hV=‡ hV=‡ 6 •OJ QJ ^J mH sH hV=‡ hV=‡ OJ QJ ^J mH sH hç Á hV=‡ OJ QJ ^J mH sH # hç Á hV=‡ 6 •OJ QJ ^J mH sH øD <E =E ÅE ÆE F F ¯F °F |G }G H H ÏI ÐI eJ fJ ÁJ ó ã Ñ Ñ Ñ Ñ Ñ Ñ Ñ Â Â Â Ñ Ñ Ñ Ñ Ñ éE ûE F %F íÜ hp ½ 6 •CJ OJ - hV=‡ OJ QJ eH hÒ_„ 5 •OJ ^J & hV= ÔH ÕH •I €I Ñ Ñ Ñ Ñ Ñ „„ „|ü ¤ ^„„ `„|ügdwD7 $ „8 „Èû ¤ ^„8 `„Èûa$ gdZy› $ „ „Èû^„8 `„Èûa$ gdZy› $ Æ j Àa$ gdV=‡ %F [F °F ÁF ÂF óF ôF öF üF G G G "G >G ?G KG LG {G |G •G æG H H H QH eH ~H ¾H ÉH ÓH ÔH íH NI €I •I ïã×Ë×Ë×Ë»®»×»×Ë¢Ë×Ë’ËŠsgYgYË’Ëã h~6q hwD7 6 •OJ QJ h h~6q hwD7 OJ QJ h h~6q hwD7 6 •OJ QJ h~6q hw D7 OJ QJ 8 hwD7 OJ QJ hÍe¨ hÍe¨ 6 •CJ OJ QJ aJ hp ½ CJ OJ QJ aJ hp ½ 6 •CJ OJ QJ aJ hÍe¨ h€}ü 6 •CJ OJ QJ aJ hÍe¨ CJ OJ QJ aJ h€}ü CJ OJ QJ aJ hŠ u CJ OJ QJ aJ hŠ u hŠ u 6 •CJ OJ QJ aJ "•I ½I ÐI ÛI áI KJ eJ zJ ¤J ÆJ ìJ !K 8K 9K :K MK eK •K •K ‚K „K …K ‡K ˆK ŠK ‹K •K ŽK ” K •K – K ˜K ™K ŸK K ïã×˻˯Ÿ¯“ƒ“¯ËãïãË{w{w{w{wmgmgcmgm hå>Ç hå>Ç 0J j hå>Ç 0J U hW} j hW} U hÒ_„ hÒ_„ 6 •CJ OJ QJ aJ hÒ_„ CJ OJ QJ aJ h uE h uE 6 •CJ OJ QJ aJ h uE CJ OJ QJ aJ h€}ü h€}ü 6 •CJ OJ QJ aJ h€}ü CJ OJ QJ aJ hÍe¨ CJ OJ QJ aJ hŠ u CJ OJ QJ aJ hŠ u hŠ u 6 •CJ OJ QJ aJ "ÁJ ÂJ 9K :K €K •K ƒK „K †K ‡K ‰K ŠK ŒK •K –K — K ˜K ¤K ¥K ¦K §K ¨K ©K ªK í í í ã ã á á á á á á á á Õ Ì á Õ Ì á á á á á „h ]„h gdOaË „øÿ „ &`#$ gdßb• $ ¤ a$ gdZy› ¤K ¦K §K ¬K -K ®K $ „8 ôêäàÜàØÌ „Èû ¤ ^„8 `„Èûa$ gdZy› h€}ü CJ hå>Ç hå>Ç 0J ý °à=!° j $ ¤ "° #• U ý h³[~ 0J ý hå>Ç 0J a$ gdZy› $• %° °Ð ? °Ð 0 OJ mH QJ nH aJ u ó P 1•h :pOaË °Ð/ K hÎy± ªK «K ¢K £K hW} ¬K -K ®K •Ð Dp § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M ´ $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V –l à 5Ö t 4 Ö0 7 ÿ 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 +Ö +Ö 5Ö yt•M ´ $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V –l à 5Ö t 4 Ö0 7 ÿ 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 +Ö +Ö 5Ö yt•M ´ $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V –l à 5Ö t 4 Ö0 7 ÿ 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 +Ö +Ö 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M § $ $ If – !v h 5Ö 7 5Ö G 5Ö #v 7 #v G #v :V t –l à Ö0 5Ö ÿ G ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 5Ö 7 5Ö yt•M ^ 2 0 @ 0 @ 0 @ 0 @ 0 @ 0 @ 0 @ ! sH! tH! P P P P P P P ` p ` p ` p ` p ` p ` p ` p @ `ñÿ € € € € € € € @ • • • • • • • À À À À À À 8 Ð Ð Ð Ð Ð Ð X à à à à à à ø À ð ð ð ð ð ð 2 V ~ Ð ( à ð Ø è _H mH! nH N o r m a l CJ _H D A`òÿ¡ D aJ mH! sH! tH D e f a u l t P a r a g r a p h F o n t R i@óÿ³ R T a b l e N o r m a l l 4Ö aö ( k ôÿÁ ( N o ö 4Ö L i s t 4 @ ò 4 OaË Æ à À! F o o t e r . )@¢ . OaË P a g e N u m b e r > >@ > •zå T i t l e $ a$ 5 •OJ QJ \ •^J > Q@ " > •zå B o d y T e x t 3 ¤x CJ aJ H C@ 2 H •zå B o d y T e x t I n d e n t „h ¤x ^„h j š ³ C j ¦aM T a b l e G r i d 7 :V @ J R @ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÀD! S u b t i t l e $ a$ 5 •OJ QJ \ •4 b 4 f Æ à À! H e a d e r L T@ r L i B l o c k T e x t - $ „Ð „Ð 7$ 8$ ]„Ð ^„Ð a$ > Z@ ‚ > £ à P l a i n T e x t ¤d ¤d [$ \$ 4 U`¢ ‘ 4 ³[~ H y p e r l i n k >* ph ÿ J þ/¢ ¡ J ³[~ T i t l e PK (¥Ø΢Iw},Ò C h a r - 5 CJ OJ QJ \ ^J aJ tH ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷…þƒÐ¶Ørº ä±-j„4 Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã “óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô “^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù* D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù $€˜ X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .— ·´aæ¿-? ÿÿ PK ! ¥Ö§çÀ 6 _rels/.rels„•ÏjÃ0 ‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ » „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý ÿÿ PK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xml ÌM à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K Y,œ ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Õ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+& 8ý ÿÿ PK ! –µ-â– P theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰– ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ !)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—– ¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu ¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi– @öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä` - ÚïgÔ È˜³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ß㢠dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö ð:Á¥ ;ä˹!Í I_ÐTµ½ S 1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó $”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£ x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I u3 KGñnD 1÷ N 3Vq%'#q¾ à ÓòŠÍ IB Òsü€• íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i ~™Vé þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕ ~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ– }KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c? ¢ íqU ßån†èwð N ºû %Ž»O¯ ·ièˆ4 =3 Ú—Pª• ÓäïÊ1£P•m \\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì eW÷ ¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ išd ûDЇA½Îœ óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú IqbJ#xÌ꺃 6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ ¯èáü\P•1»Mh Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJíP |8¯ Ö„ AÛ V^…ó¹f ÌH ín÷ÞÜ-Æ é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹ €Ø©ð‘>ä•bµ ·– &û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD ¢à •ØDìcp¿ UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd 7y\È`ÞJân•² åίŠIù R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m q¨BiDý¾€ÆÁÔ ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y ›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M  ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍÒ¿ ÿÿ PK ! ÑŸ¶ ' theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5 6?$Qìí ®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r 'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ 6 + _rels/.relsPK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xmlPK ! – µ-â– P Ñ theme/theme/theme1.xmlPK ! ÑŸ¶ ' › theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK ] – <?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?> <a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main" bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1" accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5" accent6="accent6" hlink="hlink" folHlink="folHlink"/> ®C ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ ÿÿ ®C  ÿÿÿÿ % % % ( ¡ “ Ç, r6 zA QN vT t[ óc wj ©t ß{ Òƒ О 2§ <¸ 9Æ *Ï Ü úï Æ A/ ¬< @ ‘B %F •I K ®K ¦ ¨ © « ¬ ® ¯ ± ² ³ ´ ¶ À Æ È É Ê Ì Í Î Ð Ñ Ó Ô × Ø Ú Ü Ý ß x ŠO Mt Ñt át ñt Qu æu Æv xx {y €{ 7} Æ~ )€ Ý• ·ƒ IŽ ù· ñÓ Ï m/ < “@ øD ÁJ ªK ®K § ª ° µ · ¸ ¹ º » ¼ ½ ¾ ¿ Á Â Ã Ä Å Ç Ë Ï Ò Õ Ö Ù Û Þ à 8 a u ®C X ÿ Œ ; šÕ @ -ñ ÿÿ ! ( ÿ €€€ ÷ ð ð ð ðB !• ! ÿ•€ ð’ ð8 ð ð ð0 ð( S ð- ¿ Ë ÿ ð | } ¿ À Ç È › Ÿ ¯ 1 4 ˜ § © ã ä ? ®C Ú Û ä p ; å r < L — M ] ^ 6 Ý b ß u ¡ w ¢ µ · N O w x ¢ £ ® ° Ë Í ï ñ D E ž Ÿ E H Š Œ © « X Y w z “ ” ¦ § Å Æ P Q • • œ • ¿ À % & T V u v <" >" Ó" Õ" é" ê" R# S# Ç$ È$ ø& ù& ' ' R' S' ü' ý' ( .( ˆ( ‰( ¶( ¸( Ë( Ì( /* 1* _* a* {+ |+ •+ ƒ+ _, `, ý, þ, u- w- ¶- ·d. e. q. r. a/ b/ d1 e1 Ã1 Å1 i2 l2 Ž2 ‘2 Û2 Þ2 ·3 ¸3 •4 ž4 <5 =5 Y5 [5 •5 —5 •6 ‘6 Ä6 Å6 b8 c8 z9 {9 : !: F: H: k: l: 9; :; C; E; µ; ¶; %< '< H< K< P= R= x= {= Ò= Ó= => ?> I> K> ? ? ]? _? Œ? •? 2A 3A B B ÕB ×B iD jD rD sD ~D •D ÛD ÝD ïD ðD E E SE UE ÝE ÞE QF RF YF [F 0G 2G fG hG vG wG ˆG ŠG ÔH ÕH eI fI I ¡I ¼I ¾I zJ {J ïJ ðJ »K ½K ÌK ÎK ƒL …L šL ›L ®L °L ºL »L zM |M ŒM •M M ¢M %N &N ´N µN ÄN ÆN hO jO ÁO ÂO #P %P VP WP ‡P ˆP Q Q `Q aQ vQ xQ 4S 5S rS tS € S ‚S QV RV \V ^V W W W !W €X •X ‚Y †Y ‘Y “Y ÕY ÖY áY âY ([ *[ :[ ;[ — [ ˜[ Ì[ Í[ ñ[ ó[ \ \ 2\ 3\ N\ P\ b\ d\ ¹\ º\ Ý\ ß\ ü\ þ\ 9] ;] t] v] |] ~] Ž] •] þ] ÿ] ^ "^ x^ y^ v_ x_ ¢_ £_ /` 0` U` W` ”` – ` •` ž` Ga Ia ”a •a +b ,b 1b 2b vb wb “b ”b “e •e “f ”f 7g 8g Cg Dg bg cg •g €g ¢h £h ¬h -h ·h ¸h Çh Èh Öh ×h äh åh Ìi Îi ãi æi Pk Qk Çk Èk l l Ml Nl ©l ªl Ñl Òl ßl âl ïl òl þl ÿl Qm Rm æm çm ‘n ’n Æn Çn “o ”o Sp Tp w p yp ’p “p —p ˜p q q zq |q …q †q óq ôq Ps Qs •s •s Šs ‹s u u 6u 8u Au Bu Xu Yu v v ”v •v ²v ³v Åv Çv Ðv Ñv øv úv ®w °w ·w ¹w Ùw Úw (x *x @x Ax Žy •y Üy Þy ¸z ¹z èz éz { { 2{ 3{ K{ L{ z{ {{ •{ Ž{ ¶{ ¸{ ¾{ À{ Ç{ É{ Ò{ Õ{ F€ H€ P€ Q€ ž € € ý€ þ€ -ƒ .ƒ -„ .„ … .… ‡ ‡ DŠ FŠ ÿŒ • • • E• G• “• ”• ”• •• K• L• •• —• •– –– -— .— K˜ N˜ Pš Qš -› › w› y› › ¢› Λ Л œœ žœ @• B• ©• ª• â• ã• 2Ÿ 3Ÿ ?Ÿ @Ÿ ¢Ÿ £Ÿ ÆŸ ÇŸ þŸ ÿŸ & ' < ? J K Õ Ö Õ¡ Ö¡ Í£ Ï£ œ¥ ž¥ Ô§ Õ§ ᧠㧠P© Q© ® -® ݯ ߯ ö¯ ù¯ <± >± Ú± Û± þ± ² ײ Ù² ¢´ ¤´ °´ ³´ ô Å´ °¶ ±¶ N· P· \¸ ]¸ /¹ 0¹ 3 ¹ 4¹ é¹ ë¹ º º ¼» ½» ‰¼ ‹¼ — ¼ ™¼ ·¼ ¹¼ =½ >½ ã½ ä½ ¾ ¾ #¾ %¾ 9¾ :¾ ?¾ @¾ ¯¾ °¾ ¤¿ ¥¿ ÑÀ ÔÀ îÀ ïÀ ð ñ ÚÄ ÜÄ (Ç *Ç ÒÇ ÔÇ 6È 7È ½È ÀÈ ÒÈ ÓÈ 1É 2É FÉ GÉ ~É •É 2Ê 3Ê „Ê †Ê ’Ê •Ê ™Ê œÊ ñË òË Ì !Ì ;Ì <Ì ðÌ ñÌ tÍ uÍ šÍ ›Í ±Í ²Í áÍ âÍ žÎ ŸÎ éÎ ëÎ Ï .Ï Ð Ð Ô 5Ð 7Ð gÐ iÐ ßÐ áÐ ¹Ñ ½Ñ ÃÑ ÅÑ °Ò ±Ò ÔÒ ÕÒ îÒ ðÒ Ô àØ áØ Ù Ù ;Ú <Ú êÚ ëÚ ßÛ âÛ 7Ü 8Ü ®Ü ¯Ü äÞ åÞ Ýß Þß Là Nà àà áà Aá Fá æ æ ^æ _æ @é Aé Sé Ué hé jé •é — é ùê ûê èî êî ÷ï øï ~ñ •ñ ?ò @ò ×ò Øò Oó Ró ÷ó øó -ô ô >ô ?ô pô qô •ô Ÿô õ õ võ yõ âõ æõ ªö «ö t÷ u÷ >ø ?ø Žø •ø >ú ?ú ýú þú «û ¬û >ü ?ü §ý ¨ý >þ ?þ êþ ëþ r t Ê Ì , 4 6 > @ Ä Æ Ë Ð O P [ ^ ú û ú û G I þ ! " 5 6 ¡ G H ¾ ¿ Ù Ú î ï * + : ; # $ º ' » ) A B è é A B A C „ † ò • ’ ˜ ™ . / [ \ ) * A Ÿ ¡ î ï K- Lö ÷ ! ! ¿" Á" Ö" ×" # # 1# 3# ï# ñ# š$ œ$ U& m' s' “( ”( ú- û- k. l. ¢2 £2 ·2 ¸2 û2 ü2 ÿ3 ô þ B @ A X& 4 ì& í& 4 4 m4 n4 °4 ±4 Ç4 È4 E5 G5 e5 f5 ê5 ì5 6 6 w6 x6 ý6 ÿ6 L7 O7 •7 •7 Ÿ7 7 ð7 ñ7 8 8 8 8 %8 ,8 08 18 ’8 “8 9 9 9 9 X9 Z9 9 ¢9 Ô9 Ö9 Þ9 è9 í9 ï9 : : : : 7: 9: A: K: v: x: €: Š: Ï: Ñ: é: ó: R; T; l; v; ³; µ ; ½; Æ; -< /< e< n< ¿< Á< ÷< = .= 0= <= == •= – = Å= Æ= û= ý= > > [> ]> ¯> °> Á> Â> ó> ö> ? ? ? "? >? A? L? M? {? }? æ? è? @ @ d@ e@ ¾@ À@ Ó@ Õ@ Ü@ Þ@ NA PA •A €A ½A ¿A ÏA ÐA KB LB eB fB ¤B ¦B ÁB ÂB !C "C 8C :C eC gC •C •C •C ƒC ƒC „C „C †C ‡C ‰C ŠC ŒC •C ¦C §C ¯C 7 b v w ¥ ¦ ¾ À Ç È œ Ÿ - ® ÿ N O ž Ÿ X Y v z “ ” œ • T V u v Ó! Ô! ' ' O) P) ý, þ, q. r. `/ b/ d1 e1 Ä6 Å6 µ; ¶; 2A 3A E E ‰G ŠG ÓH ÕH ýH þH ïJ ðJ ´N µN `Q aQ QV RV …Y †Y \ \ þ] ÿ] vb wb Pd Qd gf hf äh åh Çk Èk Ïk Ðk l l l !l 2l 3l Ll Nl [l \l ql rl Ðl Òl Þl âl îl òl ýl þl m m ,m m Pm Rm \m ]m ·m ¸m åm çm üm ým ˆn ‰n Ån Çn ân ãn Sp Tp wp yp —p ˜p ¨p ©p q q zq |q …q †q Ps Qs •s •s Šs ‹s u u 6u 8u Au Bu ”v •v Åv Çv Ðv Ñv Ùw Úw (x *x @x Ax Žy •y Üy Þy õy öy •{ Ž{ ¶{ ¸{ Ò{ Õ{ ë{ ì{ ì~ í~ Ú‚ Û‚ H† I† ¹Š ºŠ E• G• q• r• ê• ë• …’ †’ ä” å” J˜ N˜ {˜ |˜ :› ;› èœ éœ ‡ ˆ Σ Ï£ ½ ¨ ¾¨ ^- _- ø¯ ù¯ Ú± Û± £´ ¤´ Ö¹ ×¹ Š¼ ‹¼ u¾ v¾ N¿ O¿ |À }À #à $à ÛÄ ÜÄ (Ç *Ç _Ç `Ç ¿È ÀÈ ðË òË žÎ ŸÎ °Ò ±Ò Ù Ù ;Ú <Ú Ýß Þß Eá Fá æ æ hé jé …é †é Cì Dì "ï #ï Qó Ró ªö «ö •ø •ø «û ¬û êþ ëþ Ì Ð é ê º » * + è é g h ) * K- L- ô õ õ ÷ ¿" Á" Ö" ×" ì& í& @' A' l' s' “( ”( ä( å( =* ‡+ ˆ+ Ø+ Ù+ ß- à- !. ". !0 "0 §1 ¨1 ¶2 ¸2 þ3 >* 4 x* y* 4 4 Æ4 È4 d5 f5 6 6 v6 x6 M7 O7 ž7 7 8 8 ‘8 “8 9 9 9 ¢9 Ý9 ß9 : : Æ= @: B: •: •: è: ê: k; m; ¼; ¾; d< f< ö< ø< ;= == Ä= > > ®> °> {? }? @ @ d@ e@ Ó@ Õ@ ~A €A ÎA ÐA dB fB ÀB ÂB 8C :C •C •C •C ƒC ƒC „C „C †C ‡C ‰C ŠC ŒC •C ¦C §C ¯C 6 w €C •C •C ƒC ƒC „C ‰C ŠC ŒC •C •C ˜C £C ¯C 6 w 8 %8 •C •C ƒC ƒC „C „C †C ‡C ‰C ŠC ŒC •C ¦C §C ¯C R/ý,<rª ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ü•Eo:¹ [ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ } ÙpªåTœÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ " Ót 1¾Nÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ …+PvpYøpÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ -oÍvøºj"ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ t „Ü „˜þ Æ Ü ^„Ü `„˜þo( ‡h ˆH . t „ „˜þ Æ ^„ `„˜þo( ‡h ˆH . ’ t „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h ˆH . • t „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . • t „ „C †C ‡C „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „à „° „€ „P „ „â „² „‚ „˜þ Æ ^„‚ `„˜þ‡h „R ˆH „Lÿ Æ „˜þ Æ „˜þ Æ „Lÿ Æ „˜þ Æ „˜þ Æ „Lÿ Æ . ^„à ^„° ^„€ ^„P ^„ â ^„â ² ^„² ’ `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . • à ° € P t ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . ) . . ‚ ˆH h • • ’ • ’ t t t h h h h „˜þ Æ R ^„R `„˜þ‡h ˆH . ’ „" „Lÿ Æ " ^„" `„Lÿ‡h „ò „˜þ Æ ò ^„ò `„˜þ‡h „ „˜þ Æ Â ^„ `„˜þ‡h „’ „Lÿ Æ ’ ^„’ `„Lÿ‡h Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þo( . „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ‡h „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ h ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . • ’ . . ‚ € „ € ˆH ˆH h h h „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ‡h „˜þ Æ ^„ `„˜þOJ QJ o( „p „˜þ Æ p ^„p `„˜þOJ QJ „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð ˆH ˆH ˆH ˆH ‡h ^J • . . . . ˆH o( ‡h € € ‚ h §ð ˆH h • o „ h • „ h „˜þ Æ ^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð • h ^„à `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH o • Æ ° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð • „˜þ Æ € ^„€ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð „P „˜þ Æ P ^„P `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH „ „˜þ Æ ^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð h ^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð • p ^„p `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH o • „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð • h „à h „˜þ Æ „° h • o à „˜þ „€ h • h „ h h „ „˜þ Æ „p „˜þ Æ „@ „˜þ Æ ^„ `„˜þOJ QJ ^„à `„˜þOJ Æ ° ^„° „˜þ Æ € „P „˜þ Æ „ `„˜þOJ QJ ^„8 `„˜þo( QJ o( ‡h „Ø „¨ o( ‡h ˆH ·ð • h QJ ^J o( ‡h ˆH o • `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð • ^„€ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð P ^„P `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH „˜þ Æ ^„ o( ‡h ˆH §ð . h „ ˆH §ð ‚ „Lÿ Æ Ø ^„Ø `„Lÿ‡h ˆH . „à h „˜þ Æ „° h • o à „˜þ „€ h • h „8 „˜þ Æ € „˜þ Æ 8 ^„ `„˜þOJ „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ‡h „x „H „ „è „¸ ˆH . € „˜þ Æ x ^„x `„˜þ‡h „Lÿ Æ H ^„H `„Lÿ‡h „˜þ Æ ^„ `„˜þ‡h „˜þ Æ è ^„è `„˜þ‡h „Lÿ Æ ¸ ^„¸ `„Lÿ‡h ü•Eo …+Pv ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ -º4û ˆH ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . . " Ót ÿÿ ‚ € € ‚ R/ý, } Ùp -oÍv ÿÿÿ HI@-2 Q:‚ » ¢Q ˜ å Žw ¿x Fv „ … n uD ´# W} •Q- „n ÀD! ‹p! 3[" |s" ~2# \q* i - &#. 01 [33 C 5 %;5 ¼H5 ˜*6 wD7 ¸+8 ·a: iE; U > f? %D Ì E uE OlH BI 0^I ½ J •M ¦aM ¦#O ºkR zOT ¾W -AX QZ ° [ Ì \ J\ íG] ¨&a œ c 6 d w\d Å e f ADi Žhl «"o ¡^o ÔSq œ^r b — s jWs ”@t ÌWt Š u fLx ƒgz ³[~ Í € r.‚ Ò_„ yc„ V=‡ eBˆ u!• U– Tf— 6 ™ Zy› ÷ dŽ ° ‘ $‘ ßb• ¡ —p¤ Tf¥ \<¨ Íe¨ îv© Q ª ¡y« $ ¬ $J¬ nO® æ ¯ ¯ da¯ Îy± : ³ À ¸ ^¸ _º p ½ ½>½ ´7¾ À ç Á Þ{ â à £ à X!à ²,Ä ´~Ä ynÆ å>Ç Ï\Ç 6/Ê ® Ë rAË OaË ŒYÌ \4Í X Ñ G^Ñ åzÑ ÏXÔ ÌFÕ +K× • Ü m Ü ísÜ RIÝ »'å •zå §Uê Tgê 2í ò [ò xXó Õ ô ˜nô $wù ä|ú â)û ävü €}ü Ûfý m þ ž/þ •C ƒC ÿ@ ®C H @ ÿÿ U n k n o w n ÿÿ ÿÿ ÿ ÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ G-• ï* àAx À ÿ T i m e s N e w R o m a n 5-• € S y m b o l 3.• ÿ* àCx À ÿ A r i a l K-• ‡ à @ P a l a t i n o L i n o t y p e A.• ‡ Ÿ A r i a l N a r r o w 5.• ÿ* á[` À) ÿ T a h o m a ; Ÿ • € W i n g d i n g s ?=• ÿ C o u r i e r ë B Ÿ C a m b r i a ò¼·&K H0 9 / ¥ K ! ð ÿ* àCx À N e w A-• ï M a t h " 1 ˆ ðÐ h ‚ãF N ’ H0 9 / ¥ ´ ´ •• 4 HP ðÿ d ÜB ÜB 2ƒq ð ? ä ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ• ! x x L I T I K P E N D I D I K A N B u d i m a n s y a h S O N Y üý À 2 ÿÿ $ P O þÿ +'³Ù0 ü | • ˜ ´ À Ô à…ŸòùOh «‘ à ì 8 D P \ d PENDIDIKAN - l t - ä - POLITIK Budimansyah 78 Word @ ìur£ Microsoft Office @ Ìãú'ÍÇ @ biU¨ÄÊ Normal - SONY / H0 9 - +,ù®D ÕÍÕœ. “— þÿ +,ù®@ ÕÍÕœ. ü “— h œ ¼ p ¤ | ¬ „ ´ Œ ” Û ä - UPI K ¥ ÜB - POLITIK PENDIDIKAN - Title ¸ 8 @ _PID_HLINKS ä A p _ z m a i l t o : b u d i m a n s y a h @ u p i . e d u ' - ! . @ R " / A S e d w ‰ ˜ ª ¼ á ó T f x Š ™ « ½ Ï Î # 0 B $ 1 C U g y ‹ š ¬ % 2 D V h z Œ › - & 3 E W i { • œ ® ' 4 F X j | Ž G Y k } • • ¯ Á ( 5 H Z l ~ • ž °  ) 6 * 7 I [ m • ‘ ± à \ n € ’ Ÿ ¡ ² Ä ³ Å + 8 J , 9 K ] o • “ ¢ ´ : L ^ p ‚ ” £ µ ; M _ q ƒ • ¤ ¶ < N ` r „ – ¥ · = O a s … > P b t † ? Q c u ‡ v ˆ — ¦ ¸ ¾ ¿ À Æ Ç È É Ê Ð Ñ Ò Ó Ô Õ Ö × Ø Ù Ú Û Ü Ý þÿÿÿã ä å æ ç è é þÿÿÿë ì í î ï ô õ ö ÷ ø ù ú û ü ý þ ÿ § ¹ Ë ¨ º Ì Þ ð © » Í ß ñ à ò þÿÿÿ þÿÿÿ ! " # $ % & þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿ+ þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t E n t r y ÿÿÿÿÿÿÿÿ À F À³_W¨ÄÊ € D a t a ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ e â 1 T a b l ÿÿÿÿ o c u m e n t ê rX W o r d D ÿÿÿÿ A S u m m a r y I n f o r m a t i o n ( ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a t i o n 8 ÿÿÿÿÿÿÿÿ C o m p O b j ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ y ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ ÿÿÿÿ À F' Microsoft Office Word 97-2003 Document MSWordDoc Word.Document.8 ô9²q