Warganegara_multidimensional_(2).doc

advertisement
ˆ½ ¥O@ ”½ Pþ Tþ %Z@ •O@
`þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2
´Í
½
ÌÚj ÏÊ Œ ˆ ÓÏà Tc/ ÐÃ
ö
€ Warganegara
multidimensional (2).doc c angan , model.ppt , dan model.doc pe:
text/html
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
EO@ ”
<html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID
height=3D0 width=3D0></iframe></body></html>
--#BOUNWARGAN~2.DOC ersion: 1.0
Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-id: THE-CID
h
@
`.data
Lz
à
p
@ @.reloc ,q
¸
.text
Ò
à ,q
@
º
À.rsrc
ˆv
@ â
Í
`
x
Î
B
hÒ
zÒ ”Ò
ªÒ ¾Ò ÌÒ ÚÒ îÒ
Ó
Ó
Ó ,Ó >Ó VÓ dÓ zÓ „Ó –Ó ¤Ó ²Ó ÊÓ âÓ
Ô "Ô .Ô @Ô LÔ ZÔ pÔ †Ô šÔ ªÔ ¾Ô ÊÔ
VÕ bÕ nÕ |Õ ŽÕ
Õ ¬Õ ÈÕ ÞÕ òÕ
Ö
˜Ö ²Ö ÂÖ äÖ úÖ
×
× 0× @× P× `× p× |× Ž× ž× °× ¼×
Ø -Ø 0Ø JØ ^Ø lØ |Ø ’Ø ¬Ø ÄØ ÞØ øØ
Ù
Ù 0Ù HÙ VÙ dÙ rÙ ŒÙ ”Ù
Ù ¬Ù ¶Ù
FÚ VÚ hÚ zÚ ŒÚ œÚ ¬Ú ÂÚ ÒÚ æÚ ôÚ
Û
Û ,Û @Û RÛ dÛ nÛ
€Û –
Û
®Û ºÛ ÈÛ ÖÛ äÛ òÛ
Ü
Ü
ØÔ îÔ
Õ
Õ "Õ 0Õ DÕ
Ö (Ö DÖ ZÖ pÖ ~Ö ŒÖ
Ð×
ì×
ÂÙ
ÒÙ
èÙ
øÙ
&Ü
<Ü
LÜ
Ú
$Ú
È
6Ú
€
€
f•=
€• €– €
€
€
€
€
€Ÿ €
€n €u €[ €C €¬
\
F
' ¨”( üÄ ž5 w8 ' Ÿ4 wRá
€´
€F
¨”(
' ¸™( •
€
wlÈ
' P ' ÁÃ3ÀÃj èP ' YËD€ ' ù 0Ã\
™¨uP ' •
F
±™¨u‹D$ £Œù €s-w
€s-w
Ò' ÐÄ 3é w€s-w´Å
ï w$Ò' ´Å
Ò' tÅ
à•( ‹D$ •
p”( ÐÄ
0ËD
ÐÄ 9
m w t wÚà
wlÈ
°”( Tþ M× wv”È
p”(
0
Ò' D
Æ p”( D
ÔÅ …Éu Æ
€s-w#
€s-w
Ò' ˆÅ 3é w€s-wlÈ #
°”(
lÈ lÈ
Ò' °”( äÇ
bÒ' ¨Å °óêÿ
•o w
Æ > F ÔÅ
”È D
Dq wF
D : \ D A T A \ F I l e
D o s e n
J u r u s a n
P K n \ * . *
° (
' xx' ŒÇ ž5 w8 ' Ÿ4 w"â
>
˜Ã w
w
É
' P '
ŒuP ' ° ( t '
°[(
¢í
' P '
à•(
à.)
à
' ø
¨”(
w
•
ðx'
€x' €x' {x'
P '
' }pQ ¼Æ
Tþ M× wvþÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
@
zx' xx'
\Ë
œx' Ï' œx'
Ï' È —
} w q-w
€x'
¢
à.) •
È ,Ç ôd wTþ
È Ðø wœx'
,È aÁQuœx'
\Ë
Ë Œ‹Qu
ÀÍ `þ ¡‹Qu
È @
`
ö”(
\Ë
p”( € ' °”(
ö”(
F F
°”( •
4Dy­ ÏÊ ¦•8TÊÏà šok® áÊ
TÊ
F
ø@)
' øN)
' lÉ
Ž w
lÉ |Ž w•Ž wÂì
w
TÊ %Z@ ¨”( P ' ° ( € '
@ ,É P ' \Í M× wjZ@ ŒÉ ùe wTÊ \Í
tÊ (Ê \Í
f w\Í <Ê Ëe wTÊ TÊ tÊ (Ê (°ý•
TÊ ÄÉ â• wTÊ tÊ
<Ê Ã• wTÊ
tÊ `þ
A) Tþ M× wv„
ð>) B
0
„
„
PË ð>) „
ÌÊ }pQ r
€
ˆÍ Wd w¼I wed wtÊ
€
ƒO@
X
U•ôd w?
•
ÿÿ
;
#
#
`þ
€x' ôd wŸ Qu
ˆÍ
jZ@
F
XÍ
#
•
€ÿÿ
ÈeÏ¥ØdÏ¥
à>ò„
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ ˆÍ ˆÍ
' t ' o1 w
´Í
O@ ìÍ
`þ ´Í ´Í €x' ìÍ ãÉ|2ProfàÝ <O@ ìÍ
€x
rÌR ÏÊ _ôN'êÏà _ôN'êÏÃ
Prof.Dr. H. Dasim Budimansyah,
M.Si
k r DE.doc DI BEBERAPA NEGARA BESAR DI ASIA
TENGGARA
ìÄ" Õ •#'
°Ô áËËt
Ðs'
ìÄ"
$œ( ä
Ä" €w' $Õ ÄÔ €ÊËtàÄ" ÌÄ" $Õ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" €w' `
ˆÄ
" üÄ" Õ 5ZËtüÄ" Ðs' PROFDR~2.SI aÎt`
`
<Õ
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ"
Ô× ÛNËt`
ˆÄ" °Ã" îNËtD
ß
P
•
`
€s-w•
€s-w
0‹( ´Õ
3é w€s-w
ÄÄ"
nstituent member of society”, atau anggota resmi
suatu masyarakat. Sementara itu “citizenship” diartikan sebagai “a set of
characteristics of being a citizen”, atau seperangkat karakteristik
sebagai seorang warganegara. Sedangkan “citizenship education” konsep
yang yang menjadi intinya dari studi itu diartikan sebagai “the
contribution of education to the development of those characteristics of
being a citizen”, diartikan sebagai kontribusi atau dampak pendidikan
terhadap pengembangan karakteristik yang menandai seorang warganegara.
Pendidikan yang dimaksudkan juga diartikan dalam pengertian yang luas
yang mencakup:
“…formal, meaning primary schooling; non-formal, meaning educational
programmes which are outside the context of formal schooling, e.g, adult
and continuing education programmes, special education for children and
youth, etc, and informal, which consist of those learning acquired almost
unconsciously in a variety of settings both in school and in the wider
community.”(Cogan & Derricott,1998:13).
Penelitian tersebut menggunakan metode “Ethnographic Delphi Future
Research (EDFR) yang melibatkan 182 pakar dari semua negara peserta.
Apa yang unik dari penelitian ini adalah gambaran kewarganegaraan
yang beraneka ragam yang muncul dari data tersebut. Para peneliti
menyimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan abad ke-21 membutuhkan satu
pendekatan yang lebih holistik yang ditandai oleh kesempurnaan dan
konsistensi pada isi maupun cakupannya. Pada usaha berikutnya untuk
mengidentifikasi satu gambaran kewarganegaraan yang lebih holistik dan
pendidikan kewarganegaraan, para peneliti merumuskan satu model yang
mereka coba buat sebagai kewarganegaraan multidimensi (MDC=Multy
Domentional Citizenship). Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan
konseptualisasi kewarganegaraan dan pendidikan kewarganegaraan yang
kompleks, beraneka segi yang mungkin dibutuhkan jika warga negara harus
mengatasi tantangan-tantangan yang akan dihadapi di awal dekade abad ke21.
Kewarganegaraan multidimensi dapat benar-benar dipahami karena terdiri
atas empat dimensi pokok yaitu dimensi pribadi, dimensi sosial, dimensi
spasial, dan dimensi temporal (Cogan & Derricott, 1998:115). Dimensidimensi ini, yang akan dijelaskan secara mendetail pada uraian
berikutnya, merupakan konsep-konsep dari satu gambaran kompleks
kewarganegaraan yang muncul dari penelitian Cogan dan kawan-kawannya yang
memungkinkan para peneliti untuk mengkategorikan dan mengklasifikasi
rekomendasi-rekomendasi bagi para pembuat kebijakan. Karenanya, dimensidimensi tersebut memenuhi satu kebutuhan yang penting. Dimensi-dimensi
tersebut membekali para peneliti dengan satu model yang mudah dipahami
dan menyajikan kategori-kategori konseptual untuk analisis dan
rekomendasi kebijakan.
Tujuan Pokok Kebijakan Pendidikan Abad Ke-21
Rekomendasi keseluruhan dari penelitian Cogan dan kawankawannya itu
adalah bahwa visi kewarganegaraan multidimensi harus berpusat pada
kebijakan pendidikan apabila para siswa harus menghadapi tantangan secara
efektif dua puluh lima tahun ke depan. Kewarganegaraan multidimensi
adalah satu gagasan kewarganegaraan yang diperluas yang penting agar
memungkinkan warganegara merespons secara efektif tantangan dan tuntutan
abad ke-21. Tujuan pembuatan konsepsi kewarganegaraan ini adalah untuk
memperoleh, dalam satu gagasan tunggal, kebutuhan untuk mengubah arah
dari kecenderungan-kecenderungan global yang tidak diinginkan dan
karakteristik-karakteristik penting abad ke-21 pada warganegara. Sebelum
dimensi-dimensi khusus dari model tersebut diuraikan, penting untuk
menekankan delapan karakteristik warga negara yang membutuhkan
pertimbangan dan perhatian yang penting dari para pembuat kebijakan pada
waktu dua puluh lima tahun ke depan. Karakteristik-karakteristik ini
merupakan apa yang oleh para panelis percayai sebagai sifat dan ciri dari
warganegara yang sukses selama fase pertama abad ke-21 dan memberikan
dasar bagi model pijakan para peneliti. Kedelapan karakteristik tersebut
adalah (Cogan & Derricott, 1998:116) :
kemampuan untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota masyarakat
global;
kemampuan bekerja sama dengan yang lain dengan cara yang kooperatif dan
menerima tanggung jawab atas peran/tugasnya di dalam masyarakat;
kemampuan memahami, menerima, menghargai dan dapat menerima perbedaanperbedaan budaya;
kapasitas berpikir dengan cara yang kritis dan sistematis;
keinginan untuk menyelesaikan konflik dengan cara tanpa kekerasan;
keinginan untuk mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtifnya untuk
melindungi lingkungan;
kemampuan bersikap sensitif dan melindung hak asasi manusia (misalnya,
hak wanita, hak etnis minoritas, dan lain-lain); dan
keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik pada tingkat
lokal, nasional dan internasional.
Delapan karakteristik ini menunjukkan contoh dunia yang para panelis ahli
impikan tentang tempat tinggal warga negara. Di dalam satu dunia yang
semakin saling berhubungan dimana persoalan-persoalan yang mempengaruhi
kehidupan orang bersifat global dan, oleh karena itu, bersifat antarbudaya, konsep kewarganegaraan sendiri menjadi lebih kompleks.
Kompleksitas ini mengharuskan bahwa semua warganegara memiliki
serangkaian sifat tertentu yang memungkinkan berjalan dengan baik di
tahun-tahun mendatang. Kewarganegaraan yang dipahami sebagai keanggotaan
di dalam satu dunia global yang saling berhubungan menekankan pada kita
untuk mendefinisikan diri sendiri pada satu konteks yang lebih luas,
untuk mengembangkan konsep identitas warganegara kita untuk dimasukkan ke
dalam identitas global, seperti identitas lokal, negara dan nasional.
Keanggotaan di dalam satu dunia global yang antar-budaya memberi tekanan
pada perlunya bagi warga negara untuk memahami, menerima dan mentolerir
perbedaan-perbedaan budaya jika semua warganegara melakukan dengan cara
yang kooperatif, tanpa kekerasan untuk menghadapi kecenderungan dan
masalah global yang paling mendesak. Selain itu, untuk memahami
kompleksitas dari masalah-masalah tersebut, seperti memutuskan langkahlangkah tindakan apa yang diikuti, warganegara mungkin perlu berpikir
dengan cara yang kritis dan sistematis, meragukan asumsi dan
mempertimbangkan sebelumnya implikasi dari langkah-langkah tindakan
tertentu. Jenis respons-respons dari warganegara terhadap tantangantantangan global, sebaliknya, akan menunjukkan arah kemana dunia ini akan
melangkah.
Oleh karena itu, maka tugas pokoknya adalah membantu warganegara mengakui
bahwa tantangan global mempengaruhi setiap dari kita secara pribadi dan
merupakan bagian tanggung jawab individu dan sosial kita yang harus
dipikul. Taruhlah sederhana, tantangan-tantangan global tidak dapat
diserahkan pada orang lain untuk ditangani; lebih tepatnya, tanggung
jawab terletak pada setiap kita untuk menjaga kesejahteraan global.
Seperti yang data para peneliti tunjukkan, keprihatinan akan hak dan
kebutuhan orang lain, seperti keprihatinan seseorang individu, mungkin
perlu ditingkatkan dan ditanamkan pada seluruh warganegara. Jika
ketidakadilan sosial yang berlangsung di berbagai bidang (misalnya,
bidang ekonomi, politik, teknologi, dan sebagainya) harus dihadapi, maka
semua warganegara harus bersikap peka terhadap hak asasi manusia dan
membelanya serta berkeinginan dan mampu ikut serta dalam kehidupan
masyarakat pada tingkat lokal, nasional dan internasional.
Kewarganegaraan abad kedua puluh satu akan memerlukan keikutsertaan warga
negara yang aktif—para warganegara yang memandang diri mereka sebagai
aktor di dunia, yang ikut bertanggung jawab memerangi ketidakadilan, dan
setidaknya yang menanggung beban untuk menghadapi tantangan-tantangan
global yang terus menerus.
Agar dapat membantu mengembangkan delapan karakteristik ini pada para
siswa kita, para peneliti benar-benar menyokong satu program pendidikan
yang didasarkan pada satu model kewarganegaraan multidimensi.
Kewarganegaraan multidimensi harus menjadi fokus utama dari kebijakan
pendidikan. Untuk memberikan satu model yang lebih operasional kepada
para pembuat kebijakan, peneliti telah mengembangkan empat dimensi yang
saling berhubungan: dimensi pribadi, dimensi sosial, dimensi spasial, dan
dimensi temporal (lihat Gambar 2.1). Tiap dimensi dijelaskan lebih
mendetail pada paragraf-paragraf selanjutnya.
SHAPE \* MERGEFORMAT
Gambar 2.1: Empat dimensi kewarganegaraan multidimensi
Kewarganegaraan Multidimensi
Dimensi Pribadi
Dimensi pribadi dari kewarganegaraan multidimensi membutuhkan
pengembangan satu kapasitas pribadi dan komitmen untuk etika warganegara
yang dikarakteristikkan oleh kebiasaan pikiran, perasaan dan tindakan
secara individu dan sosial. Sebagai warga negara, kita harus
meningkatkan:
kapasitas kita untuk berpikir secara kritis dan sistematis,
pemahaman dan kepekaan kita terhadap masalah-masalah perbedaan-perbedaan
budaya;
pilihan kita terhadap pemecahan dan penyelesaian masalah yang bertanggung
jawab, kooperatif dan tanpa kekerasan, dan
keinginan kita untuk melindungi lingkungan, membela hak asasi manusia,
dan ikut serta dalam kehidupan masyarakat.
Dari keempat dimensi tersebut, dimensi pribadi mungkin yang paling sukar
dipahami, karena menghubungkan proses internal dan pribadi dengan proses
eksternal dan umum. Kewarganegaraan yang efektif pertama-tama membutuhkan
internalisasi dari sekumpulan etika atau nilai warga negara. Oleh karena
itu, dimensi pribadi musti secara tegas mengarah pada bidang etika dan
nilai, tetapi bidang-bidang tersebut dapat dipertentangkan antar budaya
dan negara. Data penelitian tentang hal ini amat jelas, sebagai contoh,
para panelis dari Asia lebih nyaman dengan masuknya gagasan-gagasan dari
elemen moral, etika dan spiritual secara eksplisit dalam gabungan elemen
kewarganegaraan dibanding beberapa panelis dari Eropa dan Amerika Utara,
meskipun beberapa di antaranya mengungkapkan keprihatinan tentang tidak
adanya dimensi etika atau spiritual untuk menyokong kewarganegaraan pada
abad ke-21. Pada akhirnya tidak ada pertentangan tentang pentingnya
karakteristik dalam pengembangan dan aktualisasi kewarganegaraan yang
efektif. Akhirnya, para peneliti dalam penelitian ini menemukan satu
pendekatan konsensual yang berdasarkan pada delapan karakteristik pokok
warga negara yang diambil dari data tersebut menjadi cara yang paling
produktif.
Dalam konteks ini, kita dapat benar-benar mengkonseptualisasikan dimensi
pribadi karena adanya atau tambahan sekumpulan watak atau kecenderungan
untuk bersikap dalam bidang kewarganegaraan sesuai dengan delapan
karakteristik yang digambarkan terdahulu. Dalam hal ini, kami menyatakan
dengan Parker dan Jarolimek (1984:10) bahwa untungnya atau sayangnya
tingkah laku orang lebih dituntun oleh perasaan yang mereka simpan
daripada informasi yang mereka miliki dan bahwa ketika perasaan itu
berubah begitu pula tingkah laku penduduknya. Informasi dapat memperbesar
pembentukan nilai-nilai atau bahkan perubahan nilai atau perasaan yang
telah dipegang, ‘asalkan si individu percaya bahwa informasi tersebut
benar dan sumbernya dapat dipercaya.
Dalam hal ini, para peneliti diingatkan pada kasus yang luar biasa dari
remaja Kanada, Craig Kielburger, yang mempelajari perlakuan buruh anak di
negara-negara berkembang dan melancarkan satu kampanye kesadaran seluruh
dunia yang sangat berhasil yang diarahkan pada perusahaan dan produk yang
berhubungan dengan buruh anak. Ini adalah satu contoh yang baik dari
interaksi antara perolehan informasi dan watak yang mendasari untuk
bersikap atau bertindak secara bertanggung jawab di arena publik. Pada
waktu yang sama, terdapat banyak contoh kasus yang lebih tidak membangun
dimana informasi dibiarkan tanpa tindakan sama sekali. Singkatnya
pengabaian dari dimensi pribadi dalam pendidikan kewarganegaraan dapat
mengurangi atau mengganggu usaha-usaha untuk mempengaruhi tingkah laku
pada bidang kewarganegaraan.
Untuk mengaktualisasikan dimensi pribadi kewarganegaraan, pendidikan
harus berkembang dan ditingkatkan pada semua siswa, ketetapan hati untuk
menentukan kehidupan pribadi mereka dengan cara-cara yang memungkinkan
mereka mencapai delapan karakteristik sementara juga peka terhadap nilainilai tradisional. Ini membutuhkan satu perhatian terhadap pengajaran dan
pembelajaran pengetahuan, keahlian, dan nilai yang sesuai yang musti
menjadi tugas sekolah secara keseluruhan, baik pada kurikulum yang jelas
dan mata pelajarannya yang jelas maupun pada banyak cara yang lain, yang
langsung atau tidak langsung cara-cara tersebut mempengaruhi para siswa.
Meskipun mengakui pentingnya kurikulum dalam mencapai visi
kewarganegaraan tidak menarik perhatian terhadap kurikulum dan pedagogi
yang pada hakekatnya cukup. Khususnya dikira seluruh jajaran sekolah
harus tunduk pada ujian karena kontribusinya terhadap pengembangan
kewarganegaraan multidimensi. Dalam hal ini, para peneliti prihatin bahwa
para pendidik memahami para siswa, dalam mengerjakan tugas-tugas di
sekolah, mengembangkan perasaan, nilai, dan pilihan tertentu yang, pada
akhirnya, disamaratakan dalam kehidupan berwarganegara mereka. Dreeben
(1968), sebagai contoh, memperlihatkan dengan meyakinkan bahwa dengan
menguasai serangkaian tugas dan situasi kelas di dalam sekolah dengan
sifat-sifat struktural tertentu, para siswa kemungkinan terbukti telah
mempelajari orientasi-orientasi sikap tertentu, atau dalam bahasa kita,
watak-watak, yang berdasarkan pengalaman mereka. Terlepas dari isi atau
pedagogi di kelas, faktor-faktor seperti hubungan wewenang di sekolah dan
kelas, proses pembuatan keputusan, atau prinsip-prinsip pengelompokkan
siswa, dapat menjadi dampak yang berarti pada tingkah laku dalam bidang
kewarganegaraan. Dengan menguasai serangkaian tugas dan situasi kelas di
sekolah dengan sifat-sifat struktural tertentu, para siswa kemungkinan
muncul dengan serangkaian watak ke arah tingkah laku di dalam kehidupan
berwarganegara. Dengan kata lain, para siswa mengembangkan norma-norma
yang akan diterapkan untuk menguasai situasi di dalam kehidupan
berwarganegara dengan kondisi yang sesuai dari kesamaan yang tampak.
Meskipun penelitian-penelitian pendidikan kewarganegaraan terdahulu
cenderung menekankan aspek-aspek isi dan instruksi resmi dalam
perkembangan kewarganegaraan, temuan-temuan ini memberi kesan bahwa
kewarganegaraan multidimensi bukanlah sesuatu yang dapat dibatasi pada
satu mata pelajaran tertentu, atau pelajaran-pelajaran dalam
kewarganegaraan, atau peringatan-peringatan untuk bertingkah laku secara
pantas. Malahan, kewarganegaraan multidimensi membangkitkan seluruh
suasana—‘iklim sosial’—sekolah dan dapat diidentifikasikan sebagai satu
prioritas oleh setiap orang yang terlibat di dalam jalannya pendidikan
pada konteks itu. Kami pikir ini merupakan satu bidang yang sangat
penting dan terabaikan dengan apa yang disebut oleh Cogan dan kawan-kawan
dengan dimensi pribadi.
Karena ini merupakan satu penelitian kebijakan pendidikan yang
diperlukan, para peneliti tentu saja telah memutuskan untuk menekankan
peran sekolah dan stake-holder pendidikan di dalam pengembangan
kewarganegaraan multidimensi. Pada waktu yang sama, para peneliti dalam
penelitian ini sepenuhnya menyadari bahwa sekolah hanya dapat benar-benar
berhasil dengan berdiri sendiri, tanpa memandang seberapa keras sekolah
tersebut berusaha, jika berjalan secara terpisah dari lembaga-lembaga
lainnya yang bertanggung jawab melakukan sosialisasi kepada generasi
muda. Jadi, masyarakat umum, dan terutama lembaga-lembaga sosial itu yang
mempengaruhi kehidupan para siswa, harus memperkuat kerja sekolah dalam
mengembangkan praktek model tersebut, dan terutama, pengembangan watakwatak untuk bertingkah laku di lingkungan masyarakat dengan cara-cara
yang konsisten dengan delapan karakteristik warga negara yang dijelaskan
sebelumnya.
Dimensi Sosial
Dimensi sosial kewarganegaraan mengakui bahwa, meskipun sifat-sifat
pribadi perlu sekali, sifat-sifat itu sendiri tidaklah cukup untuk
menghasilkan warganegara yang multidimensi. Kewarganegaraan pada pokoknya
merupakan satu aktivitas sosial. Kewarganegaraan melibatkan orang yang
hidup dan bekerja sama untuk tujuan-tujuan kewarganegaraan. Maka,
warganegara harus mampu bekerja dan berinteraksi dengan orang lain di
dalam berbagai keadaan dan konteks. Mereka harus mampu ikut terlibat
dalam debat dan diskusi publik, ikut serta dalam kehidupan masyarakat,
mengatasi masalah dan persoalan yang menghadang mereka dengan cara-cara
yang, dalam pada itu, mengarahkan mereka untuk memperlakukan orang dengan
hormat yang gagasan dan nilainya berbeda dari yang mereka miliki.
Keterlibatan sosial merupakan satu elemen kewarganegaraan yang penting.
Menurut pendapat para peneliti, arena politik yang keras dari persoalanpersoalan politik, pemilihan umum dan partai-partai politik hanyalah satu
elemen dari dimensi sosial kewarganegaraan ini, yang juga mencakup
berbagai kegiatan dan keterlibatan yang biasanya digambarkan sebagai
‘masyarakat sipil’.
Berkenaan dengan gagasan ‘masyarakat sipil’, peneliti menekankan
pendapatnya bahwa tafsiran dari dimensi sosial kewarganegaraan
multidimensi, memakai apa yang oleh Parker dan Jarolimek (1984) katakan
sebagai ‘pendapat luas’ keikutsertaan warga negara. Pendapat
keikutsertaan warga negara yang klasik dan lebih sempit hanya berfokus
pada tingkah laku yang mempengaruhi atau bertujuan mempengaruhi keputusan
pemerintah, sebagai contoh, pemungutan suara, ikut bergabung dengan
partai politik, atau mencalonkan diri untuk satu jabatan. Dalam susunan
ini, semua organisasi non pemerintah ditiadakan dari perhatian atau
analisis. Pendapat keikutsertaan yang membatasi tidak konsisten dan juga
tidak mendukung untuk model ini (Cogan & Derricott, 1998:120).
Literatur yang baru-baru ini tentang kewarganegaraan dan pendidikan
kewarganegaraan, terutama yang muncul dari perubahan banyak negara di
Eropa Tengah dan Timur menuju jalan yang lebih demokratis, telah
menghidupkan satu gagasan lama dan kelihatannya sudah usang, yaitu
pentingnya gagasan ‘masyarakat sipil’ ini.
Patrick (1996) telah memberi satu gambaran yang jelas tentang pentingnya
masyarakat sipil dan perannya dalam pendidikan kewarganegaraan.
Masyarakat sipil merupakan satu bidang publik yang oleh para individu
ciptakan dan jalankan agar dapat mengangkat tujuan-tujuan kewarganegaraan
yang terlepas dari campur tangan pemerintah yang tidak masuk akal. Satu
contoh klasik munculnya masyarakat sipil adalah kasus Solidaritas di
Polandia; perambatan global kesadaran lingkungan non-pemerintah dan
kelompok-kelompok aksi adalah hal lain. Dari perspektif masyarakat
sosial, pelaksanaan luas kebebasan sosial dan kewarganegaraan oleh
warganegara yang melintasi banyak bidang merupakan satu komponen yang
diperlukan atau elemen untuk kebebasan politik. Dasar dari satu
masyarakat sipil yang maju adalah jaringan organisasi-organisasi suka
rela yang dibentuk secara bebas yang, meskipun dibatasi oleh hukum,
bukanlah bagian dari lembaga-lembaga resmi negara. Beberapa pengamat
melihat jaringan organisasi ini seperti memberi semacam padanan sosial
terhadap investasi modal, atau ‘modal sosial’.
Dari satu perspektif multidimensi, kewarganegaraan tidak dapat dibatasi
terhadap spekulasi dan perenungan; malahan, semua warga negara harus ikut
serta jika kita akan menghadapi tantangan abad ke-21. Keterlibatan sosial
juga harus digabungkan dengan satu komitmen untuk bertindak, yaitu,
kecenderungan untuk bertindak. Dalam hal ini, kewarganegaraan
multidimensi memiliki tradisi dimana para warganegara yang baik secara
aktif terlibat dalam kehidupan sosial dan urusan-urusan masyarakat dari
komunitasnya. Dalam pada itu, keikutsertaan ini bukanlah akhir dari
keikutsertaan itu sendiri. Kegiatan untuk kepentingan sendiri bukanlah
tujuannya. Malahan, aksi warga negara seharusnya hasil dari pemikiran dan
pertimbangan dan dijalankan dengan penuh rasa hormat terhadap hak-hak
orang lain dalam satu usaha untuk mengatasi tantangan-tantangan yang
sangat berarti.
Berkenaan dengan pendidikan kewarganegaraan untuk dimensi sosial, semakin
jauh model tersebut semakin sempit definisi ‘warga negara yang baik’
karena baik abdi negara yang setia ataupun pemberi suara yang mengetahui,
keduanya adalah peran yang sebagian besar pasif. Program-program
pendidikan yang berdasarkan pandangan kewarganegaraan yang sangat sempit
ini kemungkinan tidak berarti secara pribadi bagi para siswa. Programprogram seperti ini cenderung memperlakukan para siswa sebagai pelajar
yang pasif yang belum merupakan partisipan aktif dalam kehidupan
berwarganegara. Sebaliknya, kewarganegaraan multidimensi mencakup
pendekatan-pendekatan yang lebih baru itu bagi pendidikan kewarganegaraan
yang memandang kewarganegaraan sebagai pengikat komitmen terhadap
keikutsertaan dalam kehidupan masyarakat yang melintasi berbagai bidang,
baik bidang pemerintahan maupun non-pemerintahan. Para peneliti dalam
penelitian ini setuju dengan Parker (1996:121) bahwa demokrasi yang
bersifat keikutsertaan yaitu ‘keterlibatan langsung dalam kehidupan
masyarakat’ dibandingkan dengan ‘yang bersifat penonton’, adalah jenis
kewarganegaraan yang dibutuhkan. Pandangan keikutsertaan yang lebih luas
ini menciptakan, sebaliknya, satu spektrum kesempatan yang bersifat
keikutsertaan bagi para siswa dan dengan demikian mengenal jumlah situasi
yang lebih besar yang mana keikutsertaan kewarganegaraan dapat
dipraktekkan dan diuji sebelum mencapai kedewasaan.
Dalam konteks ini, program-program pendidikan kewarganegaraan dapat
melibatkan jumlah kegiatan apapun yang membutuhkan tindakan
sosial/politik langsung, seperti keterlibatan dalam kampanye politik,
pembangunan masyarakat, pelayanan suka rela, penelitian dan penempatan
masyarakat. Jumlah sekolah yang tumbuh secara meluas telah memasukkan
jenis kegiatan ini ke dalam program-program pendidikan sekolah tersebut.
Di Amerika Serikat, negara-negara bagian telah menambahkan pelayanan
masyarakat sebagai persyaratan untuk kelulusan. Perluasan kegiatankegiatan ini telah menyebabkan terciptanya satu bidang penelitian dan
aktivitas yang baru, yang umumnya disebut ‘pembelajaran pelayanan’.
Pemakaian dan perluasan pembelajaran pelayanan dapat menyokong dimensi
sosial dari model tersebut. Pengalaman-pengalaman seperti itu memiliki
potensi yang besar sebagai cara-cara yang efektif untuk mengembangkan
dimensi sosial kewarganegaraan pada para siswa (Cogan & Derricott,
1998:121).
Mengingat kemunduran sekarang pada urusan-urusan politik dan keterlibatan
politik dalam organisasi-organisasi kewarganegaraan, perkembangan dimensi
sosial dipandang sebagai sesuatu yang sangat mendesak. Kita memerlukan
program-program yang berdasarkan pengalaman dimana para siswa diberikan
kesempatan untuk berhubungan dengan dan terlibat di dalam komunitas
mereka melalui pemikiran, ‘pelayanan masyarakat’, tindakan sosial, dan
pertimbangan (Parker, 1996:121).
Dimensi Spasial
Seiring dekatnya kita dengan awal abad ke-21, para panelis menyatakan
secara tidak langsung bahwa warganegara harus memandang diri mereka
sebagai anggota dari komunitas yang tumpang tindih—lokal, regional,
nasional dan multinasional. Peneliti merujuk ini pada dimensi spasial.
Apa yang muncul dari penelitian ini, dan sesungguhnya dari literatur yang
relevan, adalah bahwa dunia sekarang menjadi sangat saling ketergantungan
dan dunia abad ke-21 akan lebih dari itu. Ini adalah, menurut giliran,
hasil dari perubahan-perubahan pada teknologi, pada komunikasi, pada
pola-pola kecenderungan, pada imigrasi, dan lain sebagainya. Ini berarti
bahwa tantangan-tantangan abad ke-21 melebihi batas-batas negara dan
mungkin membutuhkan cara penyelesaian lintas negara. Para panelis juga
menasihati agar pada waktu yang sama dunia menjadi sangat saling
ketergantungan, rasa identitas orang masih dan akan tetap berakar pada
tingkat lokal dan pribadi, dalam hal negara dan budaya. Pada dimensi
spasial, peneliti berusaha menghadapi gambaran karakteristik kehidupan
modern ini, sekalipun bertentangan.
Salah satu ironi dari proses modernisasi dan globalisasi yang telah
membingungkan para ilmuwan sosial tahun 1950-an itu yang memperkirakan
munculnya satu budaya global tunggal adalah bahwa, oleh karena prosesproses ini, identitas lokal dan regional, apakah berdasarkan komunitas,
etnis, ras atau agama, telah terbukti memiliki daya tahan yang luar
biasa. Dimana ada komunitas dan bahasa yang lebih kecil yang nampaknya
mengalami kepunahan oleh karena tekanan nasional, regional, atau global,
komunitas dan bahasa tersebut telah berhasil bertahan dan, dalam beberapa
kasus, bahkan telah tumbuh dengan subur. Menyebut Jepang sebagai
perumpamaan, Gusfield menyatakan bahwa budaya tradisional Jepang mampu
dengan baik berdampingan dengan budaya modern dan bahwa ‘bentuk-bentuk
komitmen kerja yang tradisional kelihatannya telah memberikan kontribusi
bagi pertumbuhan ekonomi sedangkan komitmen yang sama dipandang sebagai
satu hambatan di dunia Barat’ (Fägerlind & Saha, 1989:17).
Seperti Gusfield, Rau (1980) juga telah meragukan asumsi bahwa orientasiorientasi nilai modern bertentangan dengan pendirian yang lebih
tradisional dan penilaian konvensional. Dalam satu analisis lima negara
Brazil, Ghana, India, Jepang dan Amerika Serikat membantah bahwa orang
dapat ‘memakai nilai-nilai modern yang berkenaan dengan dimensi-dimensi
tertentu dari kehidupan mereka tetapi memelihara nilai-nilai tradisional
yang berkenaan dengan dimensi-dimensi yang lain’ (Fägerlind & Saha,
1989:14). Perbedaan global di tengah-tengah identitas lokal dan regional
ini diperhatikan oleh para panelis dalam penelitian Cogan dan kawankawan, baik dalam hal memelihara satu arti positif identitas seseorang,
dan pada sisi negatif, menganggap potensi yang penjajaran kelompokkelompok etnis, ras, dan agama yang bersaing karena konflik lokal,
regional, dan bahkan internasional, sebagai kasus akhir-akhir ini,
contohnya, di Bosnia, Afrika Tengah dan Timur Tengah.
Meskipun dunia masih dan akan semakin saling berhubungan dan saling
ketergantungan, tingkat perbedaan yang tinggi tetap terpelihara. Sistem
dunia dasar akan terus dikelilingi oleh negara berbangsa tunggal dan
pemerintahnya, di antara bangsa-bangsa tersebut di dalamnya akan ada
sistem dan identitas lokal dan regional yang kuat, kembalinya ke agenda
penyerahan untuk Skotlandia dan Wales di Kerajaan Inggris umpamanya. Juga
akan muncul sekutu-sekutu regional yang melintasi batas-batas negara
seperti yang digambarkan oleh Uni Eropa (EU) dan Perhimpunan NegaraNegara Asia Tenggara (ASEAN). Jadi, tugas tersebut bukan untuk
menghilangkan hak cinta tanah air dan identitas nasional tetapi untuk
memastikan bahwa pendidikan kewarganegaraan juga melibatkan realisasi
dimana kita hidup di dunia yang saling ketergantungan, dan negara, dan
komunitas di dalamnya, harus bekerja sama jika tantangan-tantangan abad
ke-21 ingin berhasil diatasi.
Kewarganegaraan multidimensi mengharuskan warganegara mampu hidup dan
bekerja pada serangkaian tingkat yang saling berhubungan, dari tingkat
lokal sampai multinasional. Pada tingkat yang paling rendah, mengharuskan
bahwa pendidikan kewarganegaraan melibatkan apa yang Hanvey (1976) sebut
kesadaran perspektif, ‘pengenalan atau kesadaran akan bagian dari
individu yang mana dia memiliki satu pandangan tentang dunia yang tidak
secara universal terbagi, bahwa pandangan tentang dunia ini telah dan
terus dibentuk oleh pengaruh-pengaruh yang sering luput dari penemuan
sadar, dan bahwa yang lain memiliki pandangan tentang dunia yang sangat
berbeda dari yang dimiliki seseorang’ (1976:4). Pada tingkat yang paling
atas, akan diminta agar warganegara memahami bagaimana satu budaya lain
atau lebih terasa dari sudut pandang orang dalam.
Jika kita gabungkan analisis kita tentang dimensi spasial dengan dimensi
pribadi dan sosial, kita pasti ingin membuat warganegara yang—pada ucapan
René Dubos’ yang terkenal—berpikir secara global sambil bertindak secara
lokal (thinking globally acting locally). Pendidikan kewarganegaraan
dalam konteks ini akan meminta kepada sekolah untuk, di satu sisi,
menggali dan mengamati perbedaan yang oleh sekolah tersebut temukan di
dalamnya, dan, di sisi lain, memberikan kesempatan pada para siswa untuk
memiliki pengalaman di luar sekolah. Dalam kasus yang terakhir, satu
program yang terkenal adalah berpasangan atau berdampingannya sekolahsekolah melintasi batas lokal, regional atau nasional di dalam satu pola
pertukaran yang terorganisir melalui e-mail, telpon, atau video, dan,
dalam beberapa kasus, kunjungan timbal balik. Teknologi-teknologi baru
telah memungkinkan perluasan kontak yang cepat dari jenis ini melalui
Internet dengan biaya yang relatif murah.
Pada waktu yang sama, para peneliti dalam penelitian Cogan dan kawan-kawa
tidak mempunyai khayalan bahwa identitas kehidupan modern yang tumpang
tindih dan peningkatan kontak lintas budaya yang cepat akan terlepas dari
masalah atau konflik. Identitas yang banyak dapat menyebabkan konflik
peran dan pilihan yang sulit bagi para individu. Sejarah terlalu penuh
dengan contoh bencana yang diakibatkan oleh kontak budaya, terutama
terhadap komunitas atau bangsa yang lebih kecil, lebih lemah atau lebih
miskin penuh harapan mengenai hasil-hasil dari kontak budaya yang
meningkat. Kewarganegaraan multidimensi mengharuskan kita memberikan satu
kerangka kerja yang bersifat pertimbangan dan pemikiran bagi para siswa
untuk memahami peran mereka yang banyak pada semua tingkat dan membekali
mereka dengan keahlian melintasi batas, apakah geografis maupun budaya.
Pada akhirnya, konsep pendidikan untuk pemahaman dan kerja sama antar
negara harus dikembangkan dan diperluas sehingga para siswa memandang
diri mereka sendiri sebagai bagian dari beberapa komunitas yang tumpang
tindih.
Dimensi Temporal
Dengan dimensi temporal kewarganegaraan, dimaksudkan bahwa warganegara,
dalam menghadapi tantangan-tantangan sekarang ini, tidaklah harus begitu
terikat dengan masa sekarang sehingga mereka lupa akan masa lalu dan masa
yang akan datang. Para ahli antropologi telah menyadarkan akan
kecenderungan para peneliti (Cogan dan kawan-kawan) melihat dunia melalui
satu perspektif budaya terbatas—apa yang mereka sebut dengan pandangan
etnosentris terhadap dunia. Sebenarnya, pandangan sempit budaya ini
memiliki satu analog yang kurang diketahui dalam kecenderungan kita untuk
memiliki satu perspektif waktu terbatas—satu pandangan ‘temposentris’
terhadap dunia. Sebagaimana kemampuan kita berurusan lintas budaya dapat
dihambat oleh etnosentrisme, kemampuan kita mengatasi dimensi waktu dapat
dibatasi dengan apa yang oleh beberapa orang sebut ‘temposentrisme’, atau
satu kecenderungan untuk membatasi visi kita terhadap keadaan sekarang.
Di satu sisi, usia para siswa sendiri membatasi perspektif mereka. Sulit
untuk berpikir lintas dekade atau abad bahkan ketika orang berumur dua
puluh tahun. Di sisi lain, konseptualisasi waktu adalah bagian dari
perkembangan kognitif, dan secara budaya juga terikat. Kita harus waspada
terhadap pegangan para siswa kita tentang gagasan-gagasan waktu, seperti
mereka yang menjadi sasaran jaman dan pengalaman.
Dimensi pribadi dan sosial kewarganegaraan multidimensi adalah, pada
sebagian besarnya, dikondisikan secara historis. Warisan dan tradisi
berpengaruh dalam membantu warganegara memahami apa yang mengharuskan
kewarganegaraan. Oleh karena itu, kewarganegaraan mengharuskan kita
memberi perhatian khusus terhadap masa lalu. Warganegara membutuhkan satu
pengetahuan yang luas mereka sendiri dan sejarah dunia untuk memberi
mereka rasa saling berhubungan dan keberakaran, dan dalamnya pemahaman
yang diperlukan untuk praktik model tersebut. Dalam pada itu, dalam
menghadapi tantangan-tantangan jaman sekarang, warganegara harus juga
mengingat bahwa tindakan mereka mungkin memiliki dampak terhadap
warganegara di masa depan. Ini telah menyebabkan beberapa di antaranya,
seperti Longstreet (1997), untuk menyokong satu kurikulum yang
berorientasi ke masa depan. Tetapi, kewarganegaraan multidimensi
menekankan keadaan sekarang dan tantangan-tantangannya agar ditempatkan
dalam konteks baik masa lalu maupun masa yang akan datang, sehingga
solusi jangka pendek semata terhadap persoalan dapat dihindari di mana
pun memungkinkan. Seiring bergeraknya kita menuju abad ke-21, akan
penting untuk merumuskan kurikulum pendidikan kewarganegaraan dalam satu
kerangka waktu yang seluas mungkin, meningkatkan pengetahuan kita dan
pemahaman keadaan sekarang dengan pemahaman masa lalu dan masa yang akan
datang. Sebagai warganegara, kita akan diminta untuk menyeimbangkan
kesiapan kita untuk menggali dan mendapatkan paham-paham baru yang
berkenaan dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang merupakan warisan kita
dan dengan realisasi bahwa kita juga pelayanan untuk masa depan. Di
kelas, ini berarti bahwa para siswa didorong untuk memikirkan masa depan
dan masa lalu dalam hubungan dengan persoalan sekarang yang diajarkan dan
didiskusikan. Dengan cara ini, dimensi temporal dapat dikembangkan dan
ditanamkan pada para siswa.
Saling Berhubungan Antardimensi
Meskipun empat dimensi kewarganegaraan—pribadi, sosial, spasial,
temporal—telah didiskusikan secara terpisah di atas, pada kenyataannya,
keempatnya semuanya berjalin berkelindan, dan kebijakan pendidikan harus
menanganinya kurang lebih secara terus menerus. Empat sketsa akan
diuraikan di bawah untuk membantu memberi penjelasan saling
berhubungannya dimensi tersebut dan menunjukkan bagaimana para guru dapat
mempergunakan kesempatan dari peristiwa-peristiwa di kelas untuk
mengajarkan konsep dan praktik kewarganegaraan multidimensi.
Sketsa 1: Hutan Hujan
Contoh pertama berasal dari satu kelas siswa umur 13 tahun yang sedang
belajar geografi di Kanada. Para siswa geografi tersebut sedang
mempelajari hutan hujan dunia dan telah mengetahui bahwa hutan hujan
memainkan peranan penting dalam mengatur iklim dunia dan hutan tersebut
memiliki banyak flora dan fauna yang barharga dan unik. Mereka juga
mengetahui bahwa hutan hujan ditebang dengan jumlah besar dan, dengan
rasa percaya diri anak umur 13 tahun, mereka cepat menarik kesimpulan
bahwa ini adalah satu tindakan yang egois dan tidak dipikirkan pada
sebagian orang di negara-negara yang terlibat. Apa yang para siswa
tersebut tidak pikirkan adalah bahwa orang-orang yang menebang hutan
hujan melakukannya bukan karena mereka gila atau egois, tetapi karena
sering mereka memiliki sedikit pilihan. Kemiskinan, kebutuhan akan tanah,
pola-pola perdagangan internasional, dan pembangunan ekonomi memaksa
semuanya dipergunakan untuk meningkatkan tekanan pada hutan hujan. Guru
para siswa tersebut menjelaskan bahwa Kanada telah merusak sebagian besar
hutannya sendiri, dan memang terus dilakukan, dan memberi kesan bahwa
standar hidup yang dimiliki orang Kanada dikaitkan dengan kerusakan hutan
hujan di negara-negara lain. Karena para siswa menyerap informasi ini dan
memikirkannya, guru tersebut juga menyatakan bahwa mungkin orang-orang
Kanada dan yang lainnya harus membayar pajak hutan hujan, katakanlah pada
kopi, produk-produk kayu impor, dan daging sapi yang murah yang tumbuh di
padang rumput hutan hujan yang dikosongkan untuk restoran siap saji agar
hutan hujan terlindungi. Ini menyebabkan diskusi siswa jadi lebih jauh.
Para siswa tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi mereka telah
didorong untuk memikirkan dari beberapa tantangan yang mereka hadapi
sebagai warga negara, dan melakukannya dengan cara-cara yang pantas untuk
usia dan tingkat kematangan mereka.
Contoh sehari—hari ini menggambarkan bagaimana keempat dimensi
kewarganegaraan dapat dimasukkan ke dalam kelas. Para siswa tersebut
dibimbing untuk memikirkan masa sekarang dalam konteks masa lalu dan masa
yang akan datang, memikirkan bagaimana keseharian mereka, kehidupan
pribadi yang berhubungan dengan masalah yang jauh lebih besar; dan
bagaimana kehidupan mereka di Kanada, bermil-mil jauhnya dari hutan
hujan, tidak sedikit yang masih melibatkan mereka dalam masalah dunia
tersebut. Dalam prosesnya, dimensi-dimensi pribadi, sosial, spasial, dan
duniawi kewarganegaraan semuanya dibicarakan dengan baik. Contoh ini
diambil dari satu kelas geografi, tetapi tiap mata pelajaran dalam
kurikulum tersebut memiliki kemungkinan untuk jenis pengetahuan ini.
Sketsa 2: Perkembangan sejarah konflik antarumat tiga agama
Contoh kedua berasal dari pelajaran yang diberikan oleh seorang guru
sejarah dunia di Asia. Tidak lama sebelum memulai bagian tentang
perkembangan sejarah agama Yahudi, Nasrani, dan Islam, pembunuhan Perdana
Menteri Israel Rabin terjadi. Guru tersebut membawa masuk laporan surat
kabar dan klip berita TV, dengan menggunakan kesiapan dari peristiwa,
artikel dan berita untuk membuat konteks untuk memahami perasaan yang
mendasari konflik diantara dan di dalam agama-agama ini. Secara normal,
hal tersebut akan menjadi satu tantangan yang besar untuk mengajarkan
tentang agama-agama ini pada satu kelas siswa yang berumur dua puluh
lima, dimana hanya 10 persen atau kurang yang memiliki pengetahuan
pribadi tentang agama Nasrani, Yahudi, dan Islam dan dimana mayoritas
siswanya tidak memeluk agama yang ada. Tetapi, dengan membubuhkan
pelajaran tiga agama tersebut pada peristiwa dan orang yang sebenarnya
dalam berita, keabstrakan dan jauhnya pelajaran tersebut sangatlah
dikurangi. Peristiwa baru-baru ini memberikan satu katalisator untuk
penelitian dan diskusi siswa tentang ketiga agama tersebut. Setelah
memberikan tinjauan pada peristiwa-peristiwa yang melingkungi pembunuhan
tersebut dan peran pokok dari kota Yarusalem (yaitu arti sejarah dan
agamanya), guru tersebut memperkenalkan sumber sejarah dari ketiga agama
tersebut dan mendorong pra siswa untuk menggali persamaan dan perbedaan
diantaranya. Guru tersebut kemudian meminta para siswa untuk berspekulasi
tentang implikasi dari pembunuhan tersebut untuk peristiwa-peristiwa yang
akan datang di Timur Tengah, kemungkinan resolusi damainya, dan implikasi
global dengan tidak memilih resolusi damai untuk mengatasi konflik.
Dalam contoh ini, guru tersebut menggunakan peristiwa yang baru-baru
terjadi untuk memberikan konteks untuk pertimbangan dan pemikiran siswa
yang berarti tentang konflik yang sangat berakar dalam sejarah. Faktanya
bahwa pembunuhnya dalam hal ini adalah yang seagama dengan Rabin, Yahudi,
hanya menambah intensitas debat. Pada khususnya, peristiwa yang baru-baru
terjadi memberikan satu kesempatan untuk pengembangan dimensi temporal
dan pribadi, karena para siswa tersebut terdorong untuk menggali sistem
kepercayaan/etika dan membandingkannya dengan yang mereka miliki, seperti
terdorong secara rohaniah melintasi waktu dan ruang.
Sketsa 3: Persoalan Kemiskinan
Contoh ketiga berasal dari kelas Bahasa Inggris SMP dengan siswa berumur
10 dan 11 tahun yang sedang belajar tentang persoalan kemiskinan. Gurunya
dalam skenario ini merencanakan serangkaian kegiatan antar cabang ilmu
pengetahuan selama setahun untuk membantu anak-anak mempelajari
kemiskinan di negara-negara berkembang, seperti di masyarakat mereka
sendiri. Di dalam kelas, para siswa tersebut bagaimana kemiskinan
ditangani di masa lalu dan sekarang—melalui kesukarelaan warga negara,
kelompok-kelompok warga negara dan gereja dan program-program pemerintah.
Sebagai satu kegiatan kelas, para siswa tersebut membuat collages
(susunan benda-benda dan potongan-potongan kertas dan sebagainya yang
ditempelkan pada bidang datar dan merupakan satu kesatuan karya seni)
yang menggambarkan kondisi dimana anak-anak di seluruh dunia tinggal.
Para siswa tersebut kemudian menyajikan collages mereka di malam orang
tua untuk mengangkat kesadaran dan menambah keprihatinan atas apa yang
anak-anak butuhkan. Sepanjang tahun, para siswa tersebut juga ikut serta
dalam berbagai proyek yang berorientasi pada pelayanan. Di musim gugur,
para siswa mengumpulkan barang-barang dari kaleng dan barang-barang yang
tahan lama dari para siswa dan guru di sekolah mereka sendiri,
mengumpulkan ‘paket perduli’ mereka dan mendistribusikannya di tempat
penampungan tuna wisma lokal dan kepada keluarga yang membutuhkan. Selama
bulan-bulan musim dingin, para siswa bergantian menyajikan sup dan
sandwich (roti lapis) pada para manula.
Para siswa juga meneliti persoalan kemiskinan di seluruh dunia dengan
melakukan penelitian mereka sendiri dan membuat satu ‘indeks kualitas
hidup’ yang menggambarkan kondisi kehidupan menurut daerah geografis
utama. Setelah selesai, kelas memilih satu daerah tertentu, Afrika, untuk
penelitian lebih lanjut. Dalam satu usaha untuk menyumbang kebutuhan
anak-anak Afrika yang telah dipelajari, para siswa tersebut mencari bukubuku bekas yang masih bagus di rumah dan komunitas mereka untuk mendukung
prakarsa buku untuk Afrika yang telah mereka pelajari dari penelitian
mereka sendiri. Pemikiran pribadi tentang masalah kemiskinan dicatat oleh
para siswa di buku catatan mereka sendiri. Dengan cara ini, para siswa
tersebut mampu memproses pikiran dan perasaan mereka yang berkenaan
dengan apa yang mereka pelajari melalui kegiatan-kegiatan yang mereka
ikuti. Gurunya juga mengadakan tanya-jawab tiap kegiatan melalui diskusidiskusi kelompok kecil dan besar.
Sepanjang penelitian selama setahun ini, para siswa menjadi sadar dan
membantu yang lain untuk sadar akan kemiskinan. Siswa-siswa tersebut
menghasilkan satu etika keprihatinan dan tanggung jawab sosial pribadi
dan menangani stereotip-stereotip yang berhubungan dengan kemiskinan,
mengetahui bahwa orang-orang dalam masyarakat mereka sendiri seperti di
negara-negara lain memiliki kebutuhan yang serius. Tambahan lagi, para
siswa tersebut belajar berinteraksi dan bekerja sama dengan orang-orang
dengan berbagai usia dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Sketsa 4: Polusi udara
Contoh keempat diambil dari pelajaran penelitian sosial yang diajarkan di
dalam satu unit yang berjudul Persoalan-persoalan Sekarang. Dalam unit
ini, satu kelas pelajar Asia meneliti topik lingkungan melalui penggunaan
teknologi dan instruksi berdasarkan pengalaman. Untuk mengajukan masalah
mutu lingkungan, dengan satu penekanan tertentu pada polusi udara,
gurunya mempergunakan bencana ekologi yang disebabkan oleh kebakaran pada
bulan Agustus-September 1997 yang terjadi di Asia Tenggara. Sebab dan
akibat polusi udara dipelajari dengan cara antara cabang ilmu pengetahuan
melalui penggunaan dokumen-dokumen global para siswa dan guru mendapat
kembali terutama dari internet. Internet juga digunakan untuk
menghubungkan para siswa ke kelas-kelas di negara-negara yang paling
dicemari oleh bencana polusi udara: Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Melalui internet, para siswa mengadakan dialog tentang peristiwa ekologi
pada waktu yang sedang berlangsung, bertukar informasi dan opini. Setelah
membicarakan lintas batas geografi dan budaya, para siswa mengetahui
bagaimana indeks polusi udara lokal mereka terbentuk, mendengarkan
pembicaraan dari seorang guru ilmu pengetahuan mengenai masalah-masalah
pengukuran, dan mengadakan perjalanan baik ke agen perlindungan
lingkungan maupun ke salah satu stasiun pengukuran lokal mereka. Setelah
mengadakan penelitian sendiri dalam berbagai keadaan yang diadakan oleh
organisasi pemerintah dan non-pemerintah mengenai masalah tersebut, para
siswa memainkan peran satu pertemuan para pembuat kebijakan yang berusaha
mengatasi krisis ekologi tersebut. Kemudian mereka menulis di kertas
posisi mereka sendiri tentang bagaimana masalah-masalah polusi udara
seharusnya ditangani dan mempresentasikan catatan mereka pada komunitas
lokal mereka.
Keempat sketsa yang digambarkan di atas menunjukkan bagaimana keempat
dimensi kewarganegaraan multidimensi data dapat berjalin secara efektif
terhadap disiplin dan unit-unit kelas dengan kelompok-kelompok yang
usianya berbeda. Pada bagian selanjutnya, kita menuju pada persoalan
menilai sistem pendidikan kita sekarang agar dapat menyiptakan
lingkungan-lingkungan yang menghasilkan model kewarganegaraan.
Kompetensi Kewargaanegaraan
Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan PKn (civic
education) adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari
warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat
lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan
sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Dari sejumlah kompetensi yang
diperlukan, yang terpenting adalah (1) penguasaan terhadap pengetahuan
dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan
partisipatoris; (3) pengembangan kaakater dan sikap mental tertentu; dan
(4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi
konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat
tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam PKn yaitu civic
knowledge, civic skills, dan civic dispositions (Branson, 1998: 5).
Pengetahuan Kewarganegaraan
Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan
atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara. Komponen pertama ini
harus diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terusmenerus harus diajukan sebagai sumber belajar PKn. Lima pertanyaan yang
dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan
pemerintahan ?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?; (3)
Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh Konstitusi mengejawantahkan
tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia ?;
(4) Bagaimana hubungan anytara Indonesia dengan negara-negara lain di
dunia ?; dan (5) Apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia ?
(Budimansyah dan Suryadi, 2008).
Cara yang dipilih untuk mengorganisasikan komponen pengetahuan
kewarganegaraan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan bukanlah tanpa
alasan dan kebetulkan belaka. Demokrasi adalah suatu dialog, suatu
diskusi, suatu proses yang disengaja, di mana seluruh warganegara
terlibat di dalamnya. Kegunaan pertanyaan-pertanyaan tadi adalah untuk
menunjukkan bahwa proses perenungannya tidak pernah berakhir, tempat
pemasaran ide-ide, suatu pencarian cara baru dan sebagai cara terbaik
untuk merealisasikan cita-cita demokrasi. Sangatlah penting bahwa setiap
orang memiliki kesempatan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan pokok
mengenai pemerintahan dan masyarakat sipil (civil society) yang akan
terus menantang orang-orang yang mau berpikir.
Menggagas pertanyaan pertama, ”Apa kehidupan kewarganegaraan, politik,
dan pemerintahan ?” membantu warganegara melakukan pertimbanganpertimbangan yang matang mengenai hakikat kehidupan kewarganegaraan,
politik, dan pemerintahan serta mengapa politik dan pemerintahan itu
penting; tujuan-tujuan pemerintahan; karakter-karakter utama pemerintahan
terbatas dan tidak terbatas; hakikat dan tujuan Konstitusi; dan cara-cara
alternatif mengorganisasikan pemerintahan konstitusional. Perenungan
terhadap pertanyaan ini, hendaknya mengembangkan pemahaman yang lebih
besar akan hakikat pentingnya civil society atau jaringan kompleks dari
asosiasi-asosiasi politik, sosial dan ekonomi yang dibentuk dengan bebas
dan sukarela yang merupakan kompoenen esensial dari demokrasi
konstitusional. Civil Society yang vital bukan hanya mampu mencegah
penyelewengan atau pemusatan kekuasaan yang berlebihan oleh pemerintah,
namun organisasi-organisasi civil society dapat pula berfungsi sebagai
laboratorium publik di mana warganegara belajar sambil langsung praktik
(learning by doing).
Pertanyaan kedua ”Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?” mencakup
pemahaman mengenai dasar sejarah dan filsafat dari sistem politik
Indonesia: karakter-karakter khas masyarakat dan kultur Indonesia;
nilai-nilai dan prinsip-prinsip mendasar dalam demokrasi konstitusional
Indonesia yang dikenal sebagai sepuluh pilar demokrasi. Kesepuluh pilar
demokrasi berdasarkan UUD 1945 itu adalah (1) Demokrasi berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Demokrasi dengan Kecerdasan; (3) Demokrasi
yang Berkedaulatan Rakyat; (4) Demokrasi dengan Rule of Law; (5)
Demokrasi dengan Pemisahan Kekuasaan dan sistem saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and ballances); (6) Demokrasi dengan Hak Asasi
Manusia; (7) Demokrasi dengan Pengadilan yang Bebas; (8) Demokrasi dengan
Otonomi Daerah; (9) Demokrasi dengan Kemakmuran; dan (10) Demokrasi yang
Berkeadilan Sosial.
Pertanyaan ini mengajukan pembahasan mengenai nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ditegaskan dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945.
Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah harus berakar pada semangat citacita sebagaimana terkandung dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945.
Cita-cita, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip itu adalah kriteria yang
dapat digunakan untuk mengukur cara dan tujuan pemerintah atau cara dan
tujuan kelompok-kelompok yang merupakan bagian dari civil society.
Pertanyaan ketiga ”Bagaimana pemerintahan yang didirikan berdasarkan
Konstitusi mengejawantahkan tujuan, nilai, dan prinsip demokrasi
Indonesia ?” membantu warganegara memahami dan mengevaluasi pemeritahan
terbatas yang didirikan serta penyebaran dan pembagian kekuasaan yang
dilakukan. Warganegara yang memahami dasar-dasar justifikasi sistem
pembatasan, penyebaran, dan pembagian kuasaan serta maksudnya ini, lebih
mampu menjaga pemerintahan mereka – baik di tingkat lokal, daerah, maupun
nasional – bertanggung jawab dan memastikan bahwa hak-hak individu
dilindungi. Mereka juga akan mengembangkan penghargaan terhadap kedudukan
hukum dalam sistem politik Indonesia, sebagai suatu kesempatan yang tidak
ada bandingannya untuk memilih dan partisipasi warganegara yang
dimungkinkan oleh sistem.
Pertanyaan keempat ”Bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara
lain di dunia dan posisinya mengenai masalah-masalah internasional ?”
adalah penting karena Indonesia tidak terasing dan hidup menyendiri.
Indonesia adalah bagian dari dunia yang semakin mengecil karena
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Untuk mengukur peran
Indonesia di dunia saat ini, dan ke arah mana kebijakan politik luar
negeri harus diarahkan, warganegara perlu memahami elemen-elemen penting
hubungan internasional dan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi
kehidupan mereka serta keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Warganegara
juga perlu memahami secara lebih baik mengenai peran organisasi
pemerintah maupun nonpemerintah yang penting karena semakin banyak peran
penting yang mereka mainkan di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Pertanyaan kelima ”Apakah peran warganegara dalam demokrasi Indonesia ?”
juga sangat penting. Kewarganegaraan dalam demokrasi konstitusional
berarti bahwa setiap warganegara merupakan anggota yang setara dari suatu
komunitas otonom dan memiliki hak-hak fundamental dan tanggung jawab.
Warganegara hendaknya memahami bahwa melalui keterlibatan mereka dalam
kehidupan politik dan civil society, mereka dapat membantu meningkatkan
kualitas hidup di lingkungan sekitar mereka, masyarakat banyak, dan
seluruh bangsa. Jika mereka menginginkan suara-suara mereka didengar,
mereka harus menjadi warganegara yang aktif dalam proses politik.
Walaupun pemilihan umum adalah elemen pokok dalam institusi demokratis,
warganegara harus belajar bahwa di luar kegiatan tersebut, banyak
kesempatan partisipasi yang masih terbuka. Akhirnya, mereka hendaknya
mulai memahami bahwa pencapaian tujuan individu dan tujuan publik
cenderung seiring dengan partisipasi mereka dalam kehidupan politik dan
civil society. Mereka akan memiliki peluang lebih besar dalam mencapai
tujuan-tujuan pribadi baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara bila mereka adalah warganegara
yang berpengetahuan, efektif, dan bertanggung jawab.
Kecakapan Kewarganegaraan
Komponen esensial kedua Civic Education dalam masyarakat demokratis
adalah kecakapan kewarganegaraan (civic skill). Jika warganegara
mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai
anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai
pengetahuan dasar sebagaimana diwujudkan dalam lima pertanyaan
sebagaimana diuraikan di muka, namun mereka pun perlu memiliki kecakapankecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan.
Kecakapan-kecakapan intelektual kewarganegaraan sekalipun dapat dibedakan
namun satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kecakapan berpikir kritis
tentang isu politik tertentu, misalnya, seseorang harus memahami terlebih
dahulu isu itu, sejarahnya, relevansinya di masa kini, juga serangkaian
alat intelektual atau pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan isu
itu. Kecakapan-kecakapan intelektual yang penting untuk seorang
warganegara yang berpengatuan, efekif, dan bertanggung jawab, disebut
sebagai kemamuan berpikir kritis. The National Standards of Civic and
Government dan The Civic Framework for 1998 National Assessment of
Educational Progress (NAEP) membuat kategori mengenai kecakapan-kecakapan
ini adalah identifying and describing; explaining and analyzing; and
evaluating, taking, and defending positions on public issues (Branson,
1998:8). Civic Education yang bermutu memberdayakan seseorang untuk
mengidentifikasi atau memberi makna yang berarti pada sesuatu yang
berujud seperti bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, monumen
nasional, atau peristiwa-peristiwa politik dan kenegaraan seperti hari
kemerdekaan. Civic Education juga memberdayakan seseorang untuk memberi
makna atau arti penting pada sesuatu yang tidak berujud seperti nilainilai ideal bangsa, cita-cita dan tujuan negara, hak-hak mayoritas dan
minoritas, civil society, dan konstitusionalisme. Kemampuan untuk
mengidentifikasi bahasa dan simbol-simbol emosional juga sangat penting
bagi seorang warga negara. Mereka harus mampu menangkap dengan jelas
maksud-maksud hakiki dari bahasa dan simbol-simbol emosional yang
digunakan.
Kecakapan intelektual lain yang dipupuk oleh Civic Education yang bermutu
adalah kemampuan mendeskripsikan. Kemampuan untuk mendeskripsikan fungsifungsi dan proses-proses seperti sistem checks and balances atau judicial
review menunjukkan adanya pemahaman. Melihat dengan jelas dan
mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan seperti berpartisipasi dalam
kehidupan kewarganegaraan, imigrasi, atau pekerjaan, membantu warga
negara untuk selalu menyesuaikan diri dengan peristiwa-peristiwa yang
sedang aktual dalam pola jangka waktu yang lama.
Civic Education yang bermutu berusaha mengembangkan kompetensi dalam
menjelaskan dan menganalisis. Bila warga negara dapat menjelaskan
bagaimana sesuatu seharusnya berjalan, misalnya sistem pemerintahan
presidensil, sistem checks and balances, dan sistem hukum, maka mereka
akan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mencari dan mengoreksi
fungsi-fungsi yang tidak beres. Warga negara juga perlu memiliki
kemampuan untuk menganalisis hal-hal tertentu sebagai komponen-komponen
dan konsekuensi cita-cita, proses-proses sosial, ekonomi, atau politik,
dan lembaga-lembaga. Kemampuan dalam menganalisis ini akan memungkinkan
seseorang untuk membedakan antara fakta dengan opini atau antara cara
dengan tujuan. Hal ini juga membantu warga negara dalam mengklarifikasi
berbagai macam tanggung jawab seperti misalnya antara tanggung jawab
publik dan privat, atau antara tanggung jawab para pejabat – baik yang
dipilih atau diangkat – dengan warga negara biasa.
Dalam masyarakat yang otonom, warga negara adalah pembuat keputusan. Oleh
karena itu, mereka perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan
mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu
sangat penting jika nanti mereka diminta menilai isu-isu yang ada dalam
agenda publik, dan mendiskusikan penilaian mereka dengan orang lain dalam
masalah privat dan publik.
Di samping mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan intelektual, pendidikan
untuk warga negara dan masyarakat demokratis harus difokuskan pada
kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk partisipasi yang bertanggung
jawab, efektif, dan ilmiah, dalam proses politik dan dalam civil society.
Kecakapan-kecakapan tersebut jika meminjam istilah Branson (1998: 9)
dapat dikategorikan sebagai interacting, monitoring, and influencing.
Interaksi (interacting) berkaitan dengan kecakapan-kecakapan warga negara
dalam berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain. Berinteraksi
adalah menjadi tanggap terhadap warga negara yang lain. Interaksi berarti
bertanya, menjawab, dan berunding dengan santun, demikian juga membangun
koalisi-koalisi dan mengelola konflik dengan cara yang damai dan jujur.
Memonitor (monitoring) sistem politik dan pemerintahan, mengisyaratkan
pada kemampuan yang dibutuhkan warga negara untuk terlibat dalam proses
politik dan pemerintahan. Monitoring juga berarti fungsi pengawasan atau
watchdog warga negara. Akhirnya, kecakapan partisipatoris dalam hal
mempengaruhi, mengisyaratkan pada kemampuan proses-proses politik dan
pemerintahan – baik proses-proses formal maupun informal – dalam
masyarakat.
Adalah sangat penting untuk membangun kecakapan partisipatoris sejak awal
sekolah dan terus berlanjut selama masa sekolah. Murid yang paling muda,
dapat belajar dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok kecil dalam
rangka mengumpulkan informasi, bertukar pikiran, dan menyusun rencanarencana tindakan sesuai dengan taraf kedewasaan mereka. Mereka dapat
belajar untuk menyimak dengan penuh perhatian, bertanya secara efektif,
dan mengelola konflik melalui mediasi, kompromi, atau menjalin konsensus.
Murid-murid yang lebih senior dapat dan seyogyanya mengembangkan
kecakapan-kecakapan memonitor dan mempengaruhi kebijakan publik. Mereka
hendaknya belajar bagaimana meneliti isu-isu publik dengan menggunakan
perangkat-perangkat elektronik, perpustakaan, telepon, kontak personal,
dan media. Menghadiri pertemuan-pertemuan publik mulai dari tingkat
organisasi siswa (OSIS), komite sekolah, dewan pendidikan, dan dengar
pendapat dengan anggota legislatif, sebaiknya juga menjadi bagian
pengalaman pendidikan siswa tingkat sekolah menengah atas. Observasi ke
pengadilan dan mempelajari tata kerja sistem peninjauan ulang hukum
(judicial review) juga hendaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari
kegiatan civic education mereka. Kendati demikian, pengamatan itu sendiri
tidaklah memadai, murid-murid tidak hanya perlu disiapkan untuk
pengalaman-pengalaman seperti itu, yang mereka butuhkan adalah peluangpeluang yang terencana dan terstruktur dengan baik agar dapat
merefleksikan pengalaman-pengalaman mereka tadi di bawah bimbingan para
pembina yang cakap dan pandai.
Jika menghendaki agar warga negara dapat mempengaruhi jalannya kehidupan
politik dan kebijakan publik, mereka perlu menambah jam terbang mereka
dalam kecakapan-kecakapan partisipatoris itu. Voting tentu merupakan alat
yang penting dalam rangka mempengaruhi; tetapi ia bukanlah merupakan
satu-satunya cara. Warga negara perlu belajar menggunakan cara-cara lain.
Dalam kaitan ini Branson (1998:10) menjelaskan sebagai berikut.
Voting certainly is an important means of exerting influence; but it is
not the only means. Citizens also need to learn to use such means as
petitioning, speaking, or testifying before public bodies, joining ad-hoc
advocacy groups, and forming coalitions.
Selain voting cara lain yang dapat dipergunakan warga negara untuk
mempengaruhi jalannya kehidupan politik sebagaimana dikemukakan Branson
adalah mengajukan petisi, berpidato, atau menunjukkan kebolehan di depan
anggota-anggota badan publik, bergabung dengan kelompok-kelompok advokasi
dan membentuk koalisi-koalisi. Sebagaimana halnya kecakapan-kecakapan
interaksi dan memonitor, kecakapan mempengaruhi dapat dan seyogyanya
dikembangkan secara sistematik.
Watak Kewarganegaraan
Komponen dasar ketiga dari civic education adalah watak kewarganegaraan
(civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun
privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi
konstitusional. Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan
kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang
telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas,
dan organisasi-organisasi civil society. Pengalaman-pengalaman demikian
hendaknya membangkitkan pemahaman bahwasanya demokrasi mensyaratkan
adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari tiap individu.
Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu
adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian
sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law),
berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan
berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi
berjalan sukses.
Secara singkat karakter publik dan privat itu dapat dideskripsikan
sebagai berikut.
Menjadi anggota masyarakat yang independen.
Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari
luar menerima tanggung jawab akan nkonsekuensi dari tindakan yang
diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan egal sebagai anggota
masyarakat demokratis.
Memenuhi tanggung jawab personal kewargaanegaraan di bidang ekonomi dan
politik.
Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan
merawat keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti
informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu,
membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan pelayanan
masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu.
Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersikap
sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warganegara,
dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan prinsip mayoritas namun tetap
menghargai hak-hak minoritas untuk berbeda pendapat.
Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan
bijaksana.
Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menentukan pilihan
atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang
santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila
diperlukan. Juga membuat evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan
pribadi seseorang sebagai warganegara harus dikesampingkan demi memenuhi
kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya
atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutan-tuntutan
kewarganegaraan tertentu.
Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.
Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusan-urusa
publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip
konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembagalembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil
langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangannya. Karakter ini
mengarahkan warganegara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan
legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan
tidak bjaksana.
Penutup
Pentingnya watak kewarganegaraan ini jarang sekali ditegaskan. Karakter
publik dan privat yang mendasari demokrasi, dalam jangka panjang, mungkin
lebih merupakan dampak dari pengetahuan atau kecakapan yang dikuasai
warganegara. Hakim Learned Hand dalam pidatonya di New York pada tahun
1994 mengungkapkan pentingnya watak kewarganegaraan dalam kata-kata yang
sekarang menjadi amat populer:
Liberty lies in the hearts of men and women; when it dies there, no
constitution, no law, no court can save it; no constitution, no law, no
court can even do much to help it. While it lies there, it needs no
constitution, no law, no court to save it (Branson, 1998: 12).
Kebebasan terletak pada hati manusia, baik pria maupun wanita. Bila ia
sirna maka tak ada konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat
menyelamatkannya. Bahkan konstitusi, hukum, dan pengadilan tak dapat
berbuat apa-apa. Namun bila ia masih di sana, maka tak diperlukan lagi
konstitusi, hukum, dan pengadilan untuk menjaganya.
-------------------------*) Dr. Dasim Budimansyah, M.Si. adalah Ketua Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung dan Ketua Penyunting Acta Civicus: Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Branson, M. S. (1998) The Role of Civic Education, Calabasas : CCE
Budimansyah, D. dan Karim Suryadi. (2008). PKn dan Masyarakat
Multikultural, Bandung: Program Studi PKn SPS UPI.
Cogan, J.J. dan Derricott,R. (1998). Citizenship for the 21st Century: An
International Perspective on Education, London: Kogan Page.
Dreeben, R. (1968). On What is Learned in School, Massachusetts: AddisonWessley, Reading.
Fägerlind, I and Saha, L J. (1989). Education and National Development: A
Comparative perspective (2nd edn), New York: Pergamon Press.
Gusfield, J R. (1987). “Tradition and Modernity: Misplaced Polarities in
the Study of Social Change”, American Journal of Sociology, 72 (4), 351362.
Parker, W. (1996). “Advanced Ideas about Democracy: Toward a Pluralist
Conception of Citizenship Education”, Teachers College Record, 98 (1),
104-125.
Parker, W and Jarolimek, J. (1984). Citizenship and the Critical Role of
the Social Studies, Washingthon DC: Nationa Council for the Social
Studies.
Patrick, J. (1996). “Civil Society in Democrac’s Third Wave: Implications
for Civic Education”, Social Education, 60 (7), 414-417.
Rau, WC. (1980). “The Tacit Conventions of the Modernity School: An
Analysis of Key Assumptions”, American Sociological Review, 45 (2), 244260.
Winataputra, U.S. dan Dasim Budimansyah. (2007). Civic Education:
Landasan, Konteks, Bahan Ajar dan Kuktur Kelas, Bandung: Program StudiPKn
SPS UPI.
PAGE
PAGE
7
Dimensi 1:
Dimensi
Pribadi
Dimensi 3:
Dimensi
Spasial
Dimensi 2:
Dimensi
Sosial
Dimensi 4:
Dimensi
Temporal
2
3
4
9
:
X
Y
•
‚
•
—
˜
¡
Á
Ã
!
B
D
N
O
ïßïÒź¯£—•—…—•{iZJZJZJZ> hgj§ h$mÏ 5 •OJ QJ h 8* h 8* CJ H* OJ QJ aJ
h 8* h 8* CJ OJ QJ aJ
" h 8*
5 •CJ OJ QJ \ •aJ
hßt OJ QJ ^J
hßt 0J OJ QJ
–
h 8*
hßt OJ QJ
j
hßt OJ QJ
fà OJ QJ
h #
h # OJ QJ
OJ QJ aJ
hgj§ h] u 5 •CJ OJ
hgj§ h«aÔ 5 •CJ OJ QJ aJ
O
•
–
—
˜
¢
¥
4
÷
÷
ë
ã
Û
²
²
²
U
h #
h #
hªfà 5 •CJ OJ
QJ aJ 3
4
:
÷
5 •OJ QJ
h #
hª
QJ aJ
h«aÔ 5 •CJ
X
—
˜
÷
Ë
N
÷
Ã
²
¡
·
¥
˜
„,
„Å ]„, ^„Å gdgj§
„
„
$
]„ ^„ gdgj§
„ ^„ a$ gd 8*
gdgj§
$ a$ gdgj§
$
„
„ ]„ ^„ a$ gd 8*
$ „h ^„h a$ gdßt
[
w
y
“
”
•
–
˜
¡
¢
Ò
÷
>
$ a$ gd 8*
$ a$ gdgj§
O
dh
gdßt
í
‘
`
Õ
/
1
P
…
’
¥
Ò
1
t
Ò
¥
§
öêÜêöÐȼ­ž‘ƒ‘ƒ
‘ƒ‘vhvZvZƒ‘ƒ‘ƒ‘ƒ‘ƒ‘ƒ
h%8P hdr‡ 6 •OJ QJ ^J
h%8P hdr‡ OJ QJ
\ •^J
h%8P hdr‡ OJ QJ ^J
hgj§ hdr‡ 6 •OJ QJ ^J
hgj§ hd
r‡ OJ QJ ^J
h #
hªfà CJ OJ QJ aJ
h #
h # CJ OJ QJ aJ
h 8* CJ OJ QJ aJ
hªn© OJ QJ
hgj§ hç:ù 5 •OJ QJ
h #
h # 5 •6 •OJ QJ
h #
h # 6 •OJ QJ
h # 5 •OJ QJ
"§
Ê
Ô
‹
“
3
4
H
[
‡
¾
7
A
Ò
÷
·
Ô
Ø
Ù
ö
ƒ
ž
Ô
Û
E
I
d
m
u
}
…
•
”
š
¢
ª
¬
îàîàîàÓîÆÓàÓ»°»°»¢»°–
»°»°»‹»‹»‹s»‹g‹
hgj§ h \6 •OJ QJ
hgj§ h! ç 6 •OJ QJ
hgj§ h«aÔ 6 •OJ QJ
hgj§ h! ç
OJ QJ
hgj§ hú[Ð 6 •OJ QJ
hgj§ h«aÔ 6 •OJ QJ ] •
hgj§ hú[Ð
OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
hgj§ hú[Ð OJ QJ ^J
hgj§ hdr‡ OJ
QJ ^J
hgj§ hdr‡ 6 •OJ QJ ^J ! hgj§ hdr‡ 5 •6 •OJ QJ \ •^J
&4
¼
þ
0
:
³0
ê0
Þ
W
ë0
à
ò
8!
¶!
ê
Ó
Ó
Þ
s!
"
Ž"
Ó
Ó
Þ
Þ
$ a$ gdgj§
a$ gdgj§
$ „Ð `„Ð a$ gdgj§
$ a$ gdgj§
@)
:.
•0
ê
Ó
Ó
$
&
F
õ" <&
Þ
–
ê
Ó
Þ
Þ
Ê
$ @& a$ gdcQ'
Ó
Þ
Â
„s
„ ]„s ^„ gdgj§
¬
·
¸
Ä
Ç
È
É
Ê
}
•
¨
µ
‚
•
:
b
}
’
Œ
¡
¦
µ
¶
^
`
Å
å
2 3 4 ; JU § - ® ¼ ¾ Ç ç ÿðáðÒðÒø­¸­¸¢¸¢¸“¸ˆ¸}¸r}¸}¸}¸}¸r¸r¸r¸}r}¸r}á
hgj§ hú[Ð OJ QJ
hgj§ hLBø OJ QJ
hgj§ h~{€ OJ QJ
h #
hia CJ OJ QJ aJ
hgj§ hPZ} OJ QJ
hgj§ h \OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
hgj§ h«aÔ B* OJ QJ phÿ ÿ
hÊFN hÊF
N B* OJ QJ ph
hÊFN hLBø B* OJ QJ ph
hÊFN h! ç B* OJ QJ
ph
,ÿ
6
V
¿
ß
! 7! R! r! ±! µ! È! Ë! ñ!
" i" ‰" `$ €$ ü$
% Õ% Ö% í& þ& î'
(
( ½( ¾( Å( Ñ( Z) z)
*
* õ*
+ <+ e+ –+ £+ ", H, •, ’,
, £, G- f- r- ’Œ. ðáÒǼǼǼǼǼǼǼǼDZǦǛDZǛ±Ç±Ç±Ç±Ç•Ç•Ç•Ç•Ç•Ç•Ç•Ç•Ç•Ç
h
gj§ hçpÇ OJ QJ
hgj§ hÆ ö OJ QJ
hgj§ hú[Ð OJ QJ
hgj§ h|
|u OJ QJ
hgj§ hLBø OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
hgj§ h«aÔ B* O
J QJ phÿ ÿ
hÊFN hLBø B* OJ QJ ph
hÊFN hÊFN B* OJ QJ ph
7Œ. ™. ª/ ²/ î/ ÷/ ÿ/
0
0
0 $0 ,0 40 D0 ”0 •0 –0 —
0 ®0 ¯0 °0 ²0 ³0 »0 ¿0 Æ0 ë0 ì0
1
1
1
1 {1 š1 õêõêõêõêõêõßõê×̽꽨½êšŒêqaŒVêV
hgj§ hò Á
OJ QJ
h #
h«aÔ CJ OJ QJ \ •aJ h #
hò Á CJ OJ QJ \ •aJ
hgj§ hÆ ö OJ QJ
hgj§ h«aÔ 5 •OJ
QJ \ •
hgj§ h1oL 5 •OJ QJ \ • ( j
hgj§ h«aÔ OJ QJ U mH nH
u
j
hgj§ h«aÔ OJ QJ U
hgj§ h 8* OJ QJ
h«aÔ OJ QJ
hgj§ h›c' OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
QJ !ë0 ì0
1
1 22 n2 ¿2 43 ¦3 v8 Z; …>
G !J ÁM ÃM ÒM HR 6U pV «Z
^ °c ÷
â
×
×
×
Ë
Ë
Ë
Ë
Ë
Ë
Ë
î
Ë
Ë
Ë
Ë
Ë
$ „Ð `„Ð a$ gdgj§
$
J
A
î
&
F
hgj§
h1oL O
î
×
Ë
Ë
a$ gdgj§
$ „ `„ a$ gdgj§
$ @& a$ gdgj§
$ a$ gdgj§
š1 ½2 ¾2 g3 h3 L4 M4 u5
¢5 •6 œ6 ³9 ¶9 A; Y; i; v; ÿB -C
E ºE 2F QF ¹F ØF ÄG Ç
G æI èI îI
J lJ yJ ¹J ÅJ &L /L <L PL ÃM ÒM LN kN
O 1O +Q 8Q
uR ~R ‘R ¤R
U
U 0U 3U 5U õêõêõêõßõßõ×õ×õßõßõßõßõßõßõÏõÏõßõÃõ¸õ¸õªõ¸õ¸õ¸õ¸
õ¸õ¸›Œ›
hÊFN hÊFN B* OJ QJ ph
hÊFN h
[ B* OJ
QJ
ph
hgj§
h«aÔ 5 •OJ
QJ
\ •
hgj§
h
[ OJ
QJ
hgj§
h
[ 6 •OJ
QJ
h /
OJ QJ
h™5Œ OJ QJ
hgj§ h¿-¶ OJ QJ
hgj§ hò Á OJ QJ
hgj§ h«aÔ O
QJ 75U 6U §U ÇU ÑU ÒU ÅX åX
\ '\ 3\ 8\ ø]
^ !` G` ¿
Àa Ãa ?b Vb ©d Éd Áf Âf Ag ag zg }g •g €g ‡h •h )i Ii
Pi `i €i ›i §i Çi Jj Rj \l el @m Hm ðåÚåÚåÚåÚÏÚåÏåÏåÇ¿å¿åÏå
ÏåÏ°¡°’åÏåÏå€åuåuåuåuåu hgj§ h»“ OJ QJ
# hä.³ h«aÔ 5 •B* OJ QJ \ •ph
hgj§ h«aÔ B* OJ QJ ph
ÿ ÿ
hÊFN hÊFN B* OJ QJ ph
hÊFN h®U B* OJ QJ ph
J
a
hŠ-¿ OJ
QJ
h #
OJ
QJ
hgj§
h®U
OJ
QJ
hgj§
h
[ OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
hÊFN h«aÔ B* OJ QJ ph
Oi Pi `i £m vq 7u àx !| æ•
„
„ „ j‰ ß• à•
‘
“
“ /“ •š v• w• ³• I¤ ó
ó
ê
ó
ó
ó
ó
ó
ó
ó
Ý
Ý
Ý
ê
Ý
ê
Ý
Ý
Ý
ê
.°c
€g
ó
ó
ê
ê
$ „Ð @& `„Ð a$ gdgj§
$ @& a$ gdgj§
$ „Ð `„Ð a$ gdgj§
Hm Eq qq >s Qs [s \s gs hs €s •s Ïs
s às õs •t ¨t
v
v ïx
y ‰{ Š{ ²{ Ä{ || œ| ¹| ¿| ã|
$} %} &}
Ý
Õ
}
•
•
€ /€ 8• 9•
„ ,„ „ <„ õêõêõêõêõêõâõâõêõêõêõêõêõ×õÈõ׸©×õ›õ“õ“õ…wõ
j§ h«aÔ 5 •OJ QJ \ •
hgj§ h›c' 5 •OJ QJ \ •
hg
hÄ-F OJ
QJ
hgj§
h…,~
hgj§ h«aÔ 6 •OJ
hVN• 6 •OJ QJ mH
h«aÔ B* OJ QJ ph
QJ
sH
] •
hgj§
hVN• OJ
hgj§
hVN• OJ
QJ
QJ
mH
sH
hä.³ OJ QJ
hgj§ h¤Hp OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ +<„ D„ V„ m„
6… B… U… Z… b… c… {… ê‡ ï‡ çˆ îˆ ô‰
Š «Š °Š ¬‹ Ì‹
Œ
$Œ [Œ \Œ ´• µ• ¹• º• õ• ö• ÔŽ êŽ £• «• à• ÿ•
‘ A‘ I‘
¥‘ ±‘
“
“
“ *“ /“ ¯š õêõêõêâõêâêõêÚêÏêÏêÏêÄêÄêÄêÄêÄêÄêÄê² ê•ê•
ê•ê‡yê
hgj§ h«aÔ 5 •OJ QJ \ •
hgj§ h¤B 5 •OJ QJ \ •
hgj§ h¤B OJ QJ
" hgj§ h«aÔ 5 •CJ OJ QJ \ •aJ
" hgj§ h
Wl 5 •CJ
OJ
QJ
\ •aJ
hgj§
h #¾ OJ
QJ
hgj§
h™>‹ OJ
QJ
hàIì OJ
QJ
hÄF OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
hgj§ h›c' OJ QJ /¯š °š ìš íš &›
E› Z› z› w• ‚• ž• ¨• ³• ñ¥ ù¥ æ ⦠M© U© Pª Xª ¢¬ ª¬
§® Ç® ¾² ɲ Õ² =³ Y³
» -» f» ‚» ƒ» ¹» òçÜçÜçÜçÎòÀòçµç£ç•ç•
ç•ççòç•çwçgZç
hgj§ h«aÔ OJ QJ ^J
hgj§ h«aÔ 5 •CJ OJ QJ aJ
h¥.• OJ
QJ
hgj§
h‘S„ 5 •OJ
QJ
\ •
hdxI OJ QJ
hgj§ h«aÔ 6 •OJ QJ ] • # hdxI h«aÔ 5 •B* OJ QJ \ •
ph
hgj§ h«YË OJ QJ
hgj§ h«YË 5 •OJ QJ \ •
hgj§ h Yn 5 •O
J QJ \ •
hgj§ h<pƒ OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ
hgj§ h«aÔ 5 •OJ
QJ \ •#I¤ ¦ æ ⦠ʬ ‰° ½² ¾² Õ² й e» f» ‚» ¼¾ ½¾ Ù¾
¸Á ˜Ä ÇÈ
Ì
Î !Ñ ò
ò
é
Ü
ò
ò
ò
é
Ü
Ü
ò
×
Ï
Ï
Ç
»
»
»
»
»
»
$ „Ð `„Ð a$ gdgj§
$ a$ gd #
$ a$ gdgj§
gd #
$ „Ð @& `„Ð a$ gd™5Œ
$ @& a$ gdgj§
$ „Ð @& `„Ð a$ gdgj§
¹» È» q¾ •¾ “¾ ¦¾ »¾ ¼¾ ½¾ Ù¾ è¾ wÁ
·Á PÄ ]Ä æÆ óÆ §Ç ´Ç ?È LÈ ³È ÄÈ àÊ ëÊ CË WË öÍ
Î ÚÕ
çÕ 2Ø ?Ø BÙ \Ù tÙ ƒÙ ÁÙ ÍÙ >Ý lÝ qÝ ¹Ý úÝ pÞ „Þ “Þ ˜ß
§ß kà xà ªá ¹á 8â Kâ Qâ `â •ã ¬ã |ä ’ä •ä –
ä éé öé Yê dê fê pê vê •ê óèóèóèÛèÏóèÇèóèóèóèóèóèóèóèóèóèóèÏèóèó
èóèóèóèóèóèóèóèóèóèóèóèóèóè¹è¹è¹
hgj§ h«aÔ 6 •OJ QJ ]
•
h˜Z} OJ QJ
h«aÔ OJ QJ
Û }á •ã [ç
ë
ó
¿
«
&
F
hgj§ h«aÔ 5 •OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ ^J
hgj§ h«aÔ 6 •OJ QJ
F!Ñ `Ô AÙ BÙ \Ù Úè œí ¾ó gõ hö 1ø 2ø Hø ^ü ²ü Þü ó
ã
ó
ó
ó
ó
ó
×
¿
ã
ó
ó
$
h
„`ú`„`úa$ gdgj§
„ `„ a$ gdgj§
„ ^„ a$ gdgj§
„ `„ a$ gdgj§
$ a$ gd #
$ a$ gdgj§
„Ð `„Ð a$ gdgj§
•ê Žê ™ê øë
ì –
ì
ì Åì Íì
ò
ò Qò `ò ¾ó |ô ‚ô gõ hö oö uö 0ø
cø rø ‘ø ¢ø þù
ú »û Éû ±ü ²ü Þü
þ Vþ ¯ÿ êÿ ù
J
Q
“
‘
’
0
w ‘
’
•
óåóåóåóåóåóåóÚÎÚÎÚÎÚÆ»¯ÚÎÚÎÚÎÚÎÚƯگگگگÚƧ˜ÚåóڧƉ
h³ Ú CJ OJ QJ aJ
h #
h³ Ú CJ OJ QJ aJ
hgj§
ó
ó
Ë
Æ
$
$
$
$
1ø
2ø
Hø
“
›
!
h³ Ú
h³ Ú OJ
QJ
hgj§
h«aÔ 5 •OJ
QJ
hgj§
hü3² OJ
QJ
h«aÔ OJ QJ
6 •OJ QJ ] •
“
’
“
›
ï
Û
Ï
¢
$
hgj§ h«aÔ 6 •OJ QJ
hgj§ h«aÔ OJ QJ ]
!
0
w
’
Û
Ï
Û
™
¢
gdgj§
„h
„Ð `„Ð a$ gdgj§
gd³ Ú
$
$
h
„`ú`„`úa$ gdgj§
„h ^„h a$ gdgj§
$
hgj§
• 5Þü
h«aÔ OJ QJ
þ Vþ ¯ÿ êÿ
»
ù
hgj§
J
Ï
Ï
³
”
^„h gdgj§
a$ gd³ Ú
$
®
&
F
Æ
&
F
Æ
h
„h ^„h a$ gdgj§
A
M
q
r
t
‚
ƒ
„
š
µ
Ç
È
Ê
ë
ñ
ó
+
,
7
ïàÔÂÔ³«Ÿ–•€p€d\T\TH\@\
$
„h
„˜þ^„h `„˜þa$ gdgj§
•
°
h«aÔ
Q
hœ:@ OJ
QJ
h4 z
h:‚ 6 •OJ
QJ
h•NÒ OJ
QJ
h:‚ OJ QJ
h4 z h:‚ 5 •OJ QJ
hœ:@ 6 •OJ QJ ] •^J
hv
hœ:@ OJ QJ ^J
hœ:@ 5 •OJ QJ
J QJ
- hv
hA*4 5 •OJ
QJ
h4 z
h4 z 5 •O
h4 z OJ QJ
h³ Ú
aJ
h³ Ú CJ OJ
h³ Ú h³ Ú 5 •CJ OJ
s
t
ƒ
„
Ç
È
9
:
À
Á
J
h # CJ
QJ aJ
QJ aJ
OJ QJ
h³ Ú
’ r
aJ
" h³ Ú
h³ Ú CJ OJ
h³ Ú 5 •6 •CJ
QJ aJ
-
OJ
Q
¤
¥
;
<
Ó
Ô
ï
ê
å
ê
Á
©
å
¹
©
©
©
$ a$ gdPXð
$ „
„äý^„
Æ
j
„* „Öü^„* `„Öüa$ gdœ:@
˜þa$ gd³ Ú
7
8
9
:
W
X
\
]
^
_
u
w
•
•
ª
«
¬
¿
À
Á
Ó
Õ
ó
å
©
©
$
`„äýa$ gdPXð
gd4 z
Ñ
©
©
©
„„ „|ü^„„ `„|üa$ gdPXð
$
gdgj§
Á
$
„h
„˜þ^„h `„
-
5
6
?
A
•
øðèÛÑÛÑÇÛ·¦·™·ÛÇÛÑ‘‰x‰m‰e]eeT
h Rç 6 •OJ
QJ
h{Eq OJ
QJ
h Rç OJ
QJ
hp@Å
hp@Å OJ
QJ
hp@Å 6 •OJ
QJ
h•NÒ OJ
QJ
hp@Å OJ
QJ
h `÷ OJ QJ
h•NÒ 6 •OJ QJ ] •^J
- hv
h `÷ 6 •OJ QJ ] •^J
h•NÒ OJ QJ
h `÷ OJ QJ ^J
! h•NÒ
^J
h `÷ 6 •H* OJ
h `÷ OJ
QJ
^J
QJ
] •^J
hv
h4 z OJ
QJ
h:‚ OJ
QJ
h€K OJ
QJ
•
£
¤
°
±
¹
¼
à
ë
ò
ø
û
(
*
;
<
O
P
¦
§
©
À
Ñ
ö
ø
/
1
h
i
|
}
¸
Ç
Ê
Ú
í
î
ý
þ
-
2
øíøåøÝøÕøÕøÕøÉÀøíݸ­¸Ý¤™‘ݤˆ¸‘¸Ý¸Õ¸|¸tøÝøÕøÕø
h˜Z} OJ
QJ
h %·
h %· 6 •OJ
QJ
h•NÒ 6 •OJ
QJ
hÊFN OJ
J
QJ
hÊFN
hÊFN OJ
QJ
hÊFN 6 •OJ
QJ
h %·
hÊFN OJ
Q
h %· OJ
QJ
h Rç 6 •OJ
QJ
h Rç
h Rç 6 •OJ
QJ
hš› OJ
QJ
h•NÒ OJ
QJ
h{Eq OJ
QJ
h Rç
h Rç OJ
QJ
h Rç OJ
i
QJ
-Ô
j
í
î
•
!
€
"
$
ï
%
ß
.
Ý
Ý
Ý
Ý
/
;
ï
ï
ï
ß
Ý
Ô
È
0
ß
ï
Ý
Ý
Ý
Ý
È
Ý
¿
„h ]„h gd÷}t
„øÿ „
&`#$ gd÷}t
Æ
Ù
$ „
ð
2
;
>
M
P
$ $
„äý^„ `„äýa$ gdPXð
$
n
~
•
€
ˆ
©
¯
"
%
&
,
.
0
1
7
8
9
:
;
=
>
D
p
ÜðÔÌÔÌÀÔ³«§«§«§«§£™“™“£™“™ˆ™“£§}vrvnv
hà
s
„„
±
„|ü^„„ `„|üa$ gdPX
ð
w
z
h«aÔ
{
‡
øðøðçð
hº)Ô h«aÔ
hº)Ô h«aÔ CJ aJ
hßt 0J mH nH
h÷}t 0J
j
h÷}t 0J U
h÷}t
hQ è
j
Z} OJ QJ ^J
h4 z h˜Z} 6 •OJ QJ
u
hQ è U
h %·
h˜
h•NÒ OJ
QJ
h˜Z} OJ
QJ
h Rç
h Rç OJ
QJ
h Rç 6 •OJ
QJ
h Rç OJ
QJ
hš› OJ
Æ
Ç
î
QJ
È
+;
É
<
Ê
î
î
î
=
Ë
>
„„
\
ó
p
ƒ
„
…
†
‡
ó
î
î
ó
„|ü^„„ `„|üa$ gdPXð
²
î
î
Ù
gdK+-
Ÿ
î
î
î
é
$
D
î
î
î
C
õ
gd«aÔ
„h H$ ]„h gd÷}t
õüõüñõíéÜ
‡
•
¨
h %·
©
²
¹
¼
h˜Z} OJ
QJ
^J
½
Å
hK+-
È
É
h«aÔ
Ê
Ë
h›c'
üõü
hº)Ô
h«aÔ
hÆ ö
?
0
P
1•h :p #
°Ð/ °à=!°
"°
#•
$•
%°
°Ð
°Ð
•Ð Dp
•
D d
à —
•
ðD
²
ð
3
ð
• @ @
ÿÿ
ðÿ
"ñ
?
ð
€
^
2
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
! sH! tH!
P
P
P
P
P
P
P
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
@ `ñÿ
€
€
€
€
€
€
€
@
•
•
•
•
•
•
•
À
À
À
À
À
À
8
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
X
à
à
à
à
à
à
ø
À
ð
ð
ð
ð
ð
ð
2
V
~
Ð
(
à
ð
Ø
è
_H
mH! nH
N o r m a l
CJ _H
D A`òÿ¡ D
aJ
mH! sH! tH
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
R i óÿ³ R
T a b l e
N o r m a l
l 4Ö
aö
( k ôÿÁ (
N o
ö
4Ö
L i s t
L T@
ò L
dr‡
B l o c k
T e x t
-
$
„Ð
„Ð 7$ 8$ ]„Ð ^„Ð a$
4
@
4
÷}t
Æ
à À!
F o o t e r
. )@¢
.
÷}t
P a g e
N u m b e r
F þ ¢ ! F
÷}t
F o o t e r
C h a r
CJ
_H
aJ
mH! sH! tH
4 U`¢ 1 4
ßt
H y p e r l i n k
>* ph
ÿ
> >`
B >
ßt
T i t l e
$ a$
5 •OJ
QJ
\ •^J
J þ/¢ Q J
ßt
T i t l e
PK
(¥Ø΢Iw},Ò
C h a r
- 5 CJ OJ QJ \ ^J aJ tH
! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷…þƒÐ¶Ørº
ä±-j„4
Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã
“óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô
“^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù*
D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù
$€˜
X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .—
·´aæ¿-?
ÿÿ PK
! ¥Ö§çÀ
6
_rels/.rels„•ÏjÃ0
‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ
» „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç
šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý
ÿÿ PK
! ky– ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xml
ÌM
à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K
Y,œ
ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Õ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+&
8ý
ÿÿ PK
! –µ-â–
P
theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw
toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰–
ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ
!)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—–
¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ •©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe
bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu
¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi–
@öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà
ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä`
- ÚïgÔ
Ș³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ßã¢
dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö
ð:Á¥ ;ä˹!Í
I_ÐTµ½ S
1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó
$”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£
x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I
u3 KGñnD 1÷ N
3Vq%'#q¾ Ã ÓòŠÍ
IB Òsü€•
íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i
~™Vé
þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ
Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕
~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ–
}KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?
¢ íqU ßån†èwð N ºû
%Ž»O¯ ·ièˆ4
=3 Ú—Pª•
ÓäïÊ1£P•m
\\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì
eW÷
¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ
išd
ûDЇA½Îœ
óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú
IqbJ#xÌ꺃
6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ
¯èáü\P•1»Mh
Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJíP |8¯
Ö„ AÛ V^…ó¹f
ÌH ín÷ÞÜ-Æ
é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹
€Ø©ð‘>ä•bµ ·–
&û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ
Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD
¢à •ØDìcp¿
UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd
7y\È`ÞJân•² åίŠIù
R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m
q¨BiDý¾€ÆÁÔ
ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D
ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y
›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M
 ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍÒ¿
ÿÿ PK
!
ÑŸ¶
'
theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M
Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5
6?$Qìí
®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r
'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß
ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ
6
+
_rels/.relsPK ! ky–
ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xmlPK ! –
µ-â–
P
Ñ
theme/theme/theme1.xmlPK !
ÑŸ¶
'
›
theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK
]
–
<?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?>
<a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main"
bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1"
accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5"
accent6="accent6" hlink="hlink"
folHlink="folHlink"/>
‹
Ë
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
‹
Ž
ÿÿ
Ë
J
ÿÿÿÿ
§
•
¬
'
'
'
*
ÿ Œ. š1 5U Hm
O
<„
¯š
¹»
•ê
•
7
2
‡
Ë
™
›
•
;
Ë
Š
( ®( ±( Ë
‰
Ÿ
•
‹
Œ
Ž
¢
•
•
¤
‘
”
˜
X ÿ Œ“_ ÿ œ
’
4
š
œ
ð\
ð(
ð$
ž
!
@ -ñ
ð
ð
ð
ë0
ÿÿ
“
•
–
—
°c I¤ !Ñ Þü ’
Ô
¡
£
X
•
•
–
#
*
!• ! ÿ•€
ð8
ÿ €€€ ÷
ð
ð
ð
ð
ð’
ð
é
•/
%
_@
3
• À À ˆ
ƒ "ñ0
•
ðz
¿
•
‘
’
ª
¿
?
ð
ð
²
ð
ƒ
ð0
•
é
ð
#
ð
•/
X
%
_@
• 9 9 ¿
ð
À ÿÿÿ Î
ðT
ÿ
2
?
"ñ
¿
`
ð
€
Š
ð
€
•/
Ù
_@
ð
ð
ð
ðN
3
ð
ð
Î
ÿ
ð
¬
Î
ÿ
ð
€
3
ð
•/
-
_@
ð
ðN
ï7
ð
Ù
ð7
ð
ðB
S
ð-
¿
Ë
?
ÿ
ð
/
¯(
ð@
Ë
ð
ð
!
°
˜
t€
D
E
N
‘
O
“
2
w
4
y
9
“
:
˜
W
¡
X
£
˜
Ò
Ã
Ó
Ä
>
!
@
"
í
—
ï
/
2
1
¥
§
¯
Ô
Ö
“
•
0
t
P
u
R
…
Ò
†
Ô
’
“
å
¥
æ
¦
0
Ò
Ô
0
3
4
[
\
¼
½
7
8
X
Y
Ô
Õ
Ø
Ù
ö
ù
ý
µ
þ
¶
I
•
J
•
”
–
ª
¬
Ç
Ê
•
–
}
æ
~
ç
¶
·
U
V
V
W
3
ß
4
à
;
7
<
8
J
r
K
s
®
µ
¯
¶
¼
¾
Ç
‰
È
Š
þ- ÿ" #
# <# ># e# g# ’$ “$ £$ ¤$ q% r% q& r& ™& š& ²' ³'
4( 6( D( E( ”( ³( »( ¼( ê( ì(
)
)
)
) {) |) ½* ¿* g+ h+
- u- v®1 ¯1 ³1 ´1 ¶1 ¸1 +3 ,3 X3 Z3 v3 w3
6 !6
> !> Ç? È? gA hA yB zB ÅB ÆB /D 0D PD RD ÁE ÃE LF MF 8I
:I •L €L
M
M 3M 6M
S
S
U
U
V
V GX IX ºY »Y ¿Y
ÀY ÃY ÅY VZ XZ Q[ R[ Q^ R^ a_ b_ }_ €_ •` Ž` )a *a Oa
Pa Rb Sb \d ]d He Ie [k ]k gk hk vk wk €k •k õk ÷k •l •
l
n
n Gp Hp ïp ðp ‰s Šs |t ~t Žt •t
u 'u
w
w /x 0x
Xx Yx Ty Uy T{ U{
|
| ,| | D| E| T| V| T} U} b} d} z} {} q• r• î€ ï€ [„ \„ ´… µ…
¹… º… ö… ø… Ô† Õ† «ˆ ¬ˆ ߈ àˆ ÿˆ
‰ I‰ J‰ ¥‰ ¦‰ ±‰ ³‰
‹
‹ N• O• ¯’ °’ E“ F“ v• w• ¸— ¹—
ù• ú• ž Þ U¡ W¡ X¢ Y¢ q£ r£ ª¤ ¬¤ ɤ ʤ ½ª ¾ª Y« [«
e³ f³ ‚³ ƒ³ ȳ ʳ “¶ ”¶ ¦¶ ¨¶ »¶ ½¶ è¶ ê¶ L¸ N¸ •¹ ˜¹
·¹ ¸¹ ]¼ _¼ ó¾ ô¾ ´¿ µ¿ LÀ MÀ ÄÀ ÇÀ ë î Wà [à •Ä žÄ •
Å žÅ
Æ
Æ •Ë žË çÍ éÍ •Ï žÏ ?Ð AÐ AÑ BÑ ƒÑ „Ñ ÁÑ ÂÑ ÍÑ
ÐÑ lÓ mÓ lÕ mÕ ¹Õ »Õ pÖ rÖ “Ö ”Ö •× ž× §× ¨× xØ zØ ¹Ù
ºÙ KÚ LÚ `Ú aÚ ¬Û -Û |Ü }Ü •Ü –
Ü öá øá dâ fâ pâ r⠕⠃⠙⠛â
ä
ä
ä
ä
ä ¡ä Íä Îä •è žè
ê
ê `ê aê ‚ì ƒì uî vî 0ð 2ð rð sð
¢ð ¤ð #ñ %ñ
ò
ò ±ô ²ô Þô äô ‘ý “ý
ÿ !ÿ
!
‘
•
°
²
M
O
q
t
‚
„
‹
•
Ž
•
µ
·
Ç
È
ë
ì
ñ
ó
+
,
7
:
W
X
\
_
w
x
•
•
ª
¬
¿
Á
Ó
Õ
5
6
?
A
•
€
£
¥
°
±
²
µ
¹
½
(
*
9
<
M
P
¦
©
À
Â
Ñ
Ô
ö
ø
/
1
h
j
|
•
Ç
Ê
Ú
Ü
í
î
ò
ó
ý
/
M
P
l
n
~
€
§
ª
¯
±
ð
ò
!
"
%
0
:
=
>
D
w
{
ƒ
‡
•
”
¦
©
¹
½
Å
É
Ì
"
4
9
¥
3
:
W
‚
–
˜
¡
M
O
”
˜
¡
£
¤
2
4
»
½
ý
9
ô
„6
þ
:
õ
)
…6
;)
V
W
ß
à
7
8
r
s
µ
¶
<- ?! @! 9& :& ”( ³( é( ì(
)
) 1* 2* m* n* ¾* ¿* 3+ 4+ ¥+ ¦+ u0
•
v0
Y3
Ž
Z3
9
9
B
?
?
!B ÀE ÃE ÑE ÒE GJ HJ 5M 6M oN pN ªR «R
V
V ¯[ °[ •_
€_ Na Pa _a `a ¢e £e ui vi 6m 7m ßp àp
t !t åw æw
|
| ,| | i• j• Þˆ àˆ ÿˆ
‰
‹
‹ .‹ /‹ €’ •’ u• w• ²• ³• Hœ Iœ
Áž Þ ហ➠ɤ ʤ ˆ¨ ‰¨ ¼ª ¾ª Ôª Õª ϱ б d³ f³ •³ ƒ³
»¶ ½¶ ض Ù¶ ·¹ ¸¹ —¼ ˜¼ ÆÀ ÇÀ Ä
Ä
Æ
Æ
É !É _Ì `Ì @Ñ BÑ [Ñ \Ñ ,Ó Ó |Ù }Ù œÛ •Û Zß [ß Ùà Úà ›å œå ½ë ¾ë fí gí gî hî 0ð 2ð
Gð Hð ]ô ^ô ±ô ²ô Ýô äô
ö
ö Uö Vö ®÷ ¯÷ é÷ ê÷ øø ùø
Iù Jù Pû Qû ’û “û ‘ý “ý šý ›ý
ÿ !ÿ /
0
v
w
‘
’
q
t
‚
„
Æ
È
8
:
¿
Á
£
¥
:
<
Ò
Ô
h
j
ì
î
~
€
!
"
=
>
D
[
\
o
p
‚
‡
ž
Ÿ
±
²
Å
Ì
X
–
ø
˜
)
ø
!
!
ÿ ÿ ÿ
† Lü*
¤ íÿ
ŒJL(ÿ
øL<Öÿ
ÿ ÿ
”( •( ³( ³(
½ª ½ª ‚
ƒ
„
û
"
0
:
Ì
)
Ç
+
,
9
9
:
-
X
˜
"
=
>
Ì
ÿ ÿ ÿ
•
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
T^ê
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
âBï
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Rp) B ^“ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
^+C"ÈglÖÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ž%¼.¢²,–ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
}
:
-
¤
¤
¥
N
¥
12i †§Pdÿ ÿ ÿ
¯
R/ý,<rª ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
8?ÞCˆ(ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
AD1D —
ºNÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
haèG ¾ %ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
MCïK~Mr.ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
=IâS:ÖÄÖÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Ìw eØñä•ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
è$·njª¨ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
} ÙpªåTœÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
„
„äþ Æ
^„ `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
€
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
€
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
€
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
€
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
€
à ^„à `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
€
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ o( ‡h
„
„à
€
o
ˆH
€
§ð
„˜þ Æ
„° „˜þ
„€
„äþ Æ
^„
`„äþCJ OJ QJ o( ‡h
 ^„ `„˜þOJ QJ ^J
„˜þ Æ
` ^„`
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
o( ‡h
·ð
ˆH
ˆH
§ð
•
„
o
•
•
„0
„˜þ Æ
„`
„˜þ Æ
0
^„0
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
Æ
Ð ^„Ð `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
„@ „˜þ Æ
@ ^„@ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
è
„P
„˜þ Æ
P
^„P
`„˜þo( ‡h
ˆH
.
•
è
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
’
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
•
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
•
è
„
„
„˜þ Æ
„Ð
•
§ð
è
è
„˜þ
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
’
è
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
ˆH
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
ˆH
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
ˆH
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
ˆH
„äþ Æ
^„ `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
€
.
.
.
.
•
•
’
è
è
è
„
ˆH
·ð
o( ‡h
ˆH
QJ o( ‡h
€
o
ˆH
€
§ð
„
€
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
€
„à „˜þ Æ
à ^„à `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
€
„° „˜þ
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
€
„€
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
€
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
„” „äþ Æ
” ^„” `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„è „˜þ Æ
è ^„è `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„¸
„˜þ Æ
¸
^„¸
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„ˆ
„˜þ Æ
ˆ
^„ˆ
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„X „˜þ Æ
X ^„X `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„( „˜þ
Æ
( ^„( `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„ø
„˜þ Æ
ø ^„ø `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„È „˜þ Æ
È ^„È `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
„” „äþ Æ
” ^„” `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„è „˜þ Æ
è ^„è `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„¸
„˜þ Æ
¸
^„¸
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„ˆ
„˜þ Æ
ˆ
^„ˆ
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„X „˜þ Æ
X ^„X `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„( „˜þ
Æ
( ^„( `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„ø
„˜þ Æ
ø ^„ø `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„È „˜þ Æ
È ^„È `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
„
„äþ Æ
^„ `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
à ^„à `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ o( ‡h
„Ü
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
Ü
p
^„Ü `„˜þo( ‡h
ˆH
^„ `„˜þo( ‡h
ˆH
^„p `„Lÿ‡h
ˆH
@
ˆH
.
•
t
„à
•
o
ˆH
•
§ð
.
.
.
„˜þ Æ
„° „˜þ
„€
t
t
t
’
•
t
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„
ˆH
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„äþ Æ
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
à
°
€
P
p
.
^„à
^„°
^„€
^„P
^„
’
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
`„äþ5 6
^„ `„˜þ‡h
^„p `„Lÿ‡h
@
ˆH
.
€
t
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
CJ
ˆH
ˆH
OJ
.
.
.
.
QJ
.
.
•
•
’
t
t
t
-
o( ‡h
‚
€
ˆH
.
€
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
.
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
.
.
‚
€
„
€
ˆH
ˆH
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
ˆH
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
ˆH
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
ˆH
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
ˆH
X „äþ Æ
X ^„X `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
„Ü „˜þ Æ
Ü ^„Ü `„˜þOJ QJ ^J
„¬ „˜þ Æ
¬ ^„¬ `„˜þOJ
„|
„˜þ Æ
|
^„|
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
.
.
.
.
€
€
‚
„
ˆH
·ð
o( ‡h
ˆH
QJ o( ‡h
•
o
ˆH
•
§ð
„L
•
„˜þ Æ
L
^„L
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„ì „˜þ
Æ
ì ^„ì `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„¼
„˜þ Æ
¼ ^„¼ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„Œ „˜þ Æ
Œ ^„Œ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
„Ð „äþ Æ
Ð ^„Ð `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„T „˜þ Æ
T ^„T `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„$
„˜þ Æ
$ ^„$
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„ô
„˜þ Æ
ô
^„ô
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„Ä
„˜þ Æ
Ä
^„Ä
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„” „˜þ Æ
” ^„” `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„d „˜þ
Æ
d ^„d `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„4
„˜þ Æ
4 ^„4 `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
„
„äþ Æ
^„ `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
à ^„à `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
h
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
h
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ QJ o( ‡h
•
h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
h
„
„à
„˜þ Æ
„° „˜þ
„€
h
•
o
ˆH
•
§ð
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
à ^„à `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ o( ‡h
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
.
„˜þ Æ
^„ `„˜þo(
.
‚
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
h
„à
h
•
o
ˆH
h
•
„˜þ Æ
„° „˜þ
„€
h
§ð
„
€
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
ˆH
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
ˆH
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
ˆH
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
ˆH
X „äþ Æ
X ^„X `„äþCJ OJ QJ o( ‡h
„Ü „˜þ Æ
Ü ^„Ü `„˜þOJ QJ ^J
„¬ „˜þ Æ
¬ ^„¬ `„˜þOJ
„|
„˜þ Æ
|
^„|
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
.
.
.
.
€
€
‚
„
ˆH
·ð
o( ‡h
ˆH
QJ o( ‡h
•
o
ˆH
•
§ð
„L
•
„˜þ Æ
L
^„L
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
Æ
ì ^„ì `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
„˜þ Æ
¼ ^„¼ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„Œ „˜þ Æ
Œ ^„Œ `„˜þOJ QJ o( ‡h
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þo(
.
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
„
•
o
ˆH
€
•
§ð
‚
€
„˜þ Æ
„ì „˜þ
„¼
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
†
ˆH
.
„Lÿ Æ
à ^„à
„˜þ Æ
° ^„°
„˜þ Æ
€ ^„€
„Lÿ Æ
P ^„P
âBï
12i
Rp)
MCïK
=IâS
}
‚
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
è$·n
haèG
^+C"
.
.
.
.
€
€
‚
Ìw e
AD1D
•
R/ý,
ž%¼.
¯
} Ùp
8?
T^ê
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿ
&~’2
&~’2
-•äv
jËÄs
&~’2
&~’2
&~’2
HI@-2
`¼{
j§dí
&~’2
&~’2
&~’2
¼"²Ùì¡Öš
&~’2
ëT@_
Bb
-º4û
z
å
y
3
ßt
/
ó
#
ia
f>
®U
2- €K cQ' ›c'
8* K+-
\- æ
. vn. ` / T)1 A*4 >O9 e9 œ:@ Á>A ¤-B ’sD
$E Ä-F DbF -aI dxI 1oL ÊFN %8P ýVT
[
Wl
Yn ¤Hp {Eq à
s ÷}t ] u ||u
z 4 z PZ} ˜Z} …,~ ~{€ •:‚ <pƒ ‘S„ dr‡ œRˆ ™>‹ ™5Œ _
• ¥.• Ë?Ž VN• ü]’ »“ úY› š›
gœ ò3• gj§ ªn© ŽT« Z ° ü3² ä.³
¶ ¿-¶ ýs¶
%·
#¾
i¾ Š-¿ ›\¿ ò Á G$Á
%Á p@Å çpÇ _kÉ «YË $mÏ b Ð ú[Ð • Ñ Á^Ñ •NÒ ŒÓ È'Ô «aÔ
Ø ³ Ú ªfà ! ç "ç Oç Rç §^ç Mpç Q è ©cê àIì {tí PXð ãlð Ï9ó
ògõ Æ ö `÷ LBø 3%ù ç:ù ×?û &Fÿ
ÿ@
Ë
H
@ ÿÿ
U n k n o w n ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
G-•
ï* àAx À
ÿ
T i m e s
N e w
R o m a n
5-•
€
S y m b o l
3.•
ÿ* àCx À
ÿ
A r i a l
K-•
P a l a t i n o
L i n o t y p e
5.•
ÿ* á[` À)
ÿ
T a h o m a
ÿ
C o u r i e r
N e w
‡
?=•
;
à
@
Ÿ
ÿ* àCx À
•
M a t h
ˆ
†
"
1 ˆ
ß
ðÐ
! ð
€
W i n g d i n g s
C a m b r i a
h
5ÅÂ y‚ãF
Ý
j' ˆ
´ ´ •• 4
•
A •
†
ß
d
j'
•
2ƒq ð
üý
HP
ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•«aÔ
!
x
x
R G A N E G A R A
M U L T I D I M E N S I O N A L
P E R S P E K T I F
P K N
P a _ D a s i m
S O N Y
ðÿ
?
ä
2
ÿÿ
D A L A M
P
1 W A
þÿ
˜
à…ŸòùOh «‘
Ô
à
ô
+'³Ù0
œ
•
,
X
8
d
p
|
„
Œ
”
ä
MULTIDIMENSIONAL DALAM PERSPEKTIF PKN
-
4
-
WARGANEGARA
-
Pa_Dasim
27 Word
@
n“ß-
Microsoft Office
@
,‘ìvÈ @
-
Normal
æ Y´ÄÊ
-
SONY
j'
ˆ
þÿ
ÕÍÕœ.
“—
+,ù®D
ÕÍÕœ.
“—
+,ù®\
-
h
œ
¼
p
¤
|
¬
„
´
Œ
”
ú
ä
-
ß
†
•
-
2
WARGANEGARA MULTIDIMENSIONAL DALAM PERSPEKTIF PKN
-
Title
¸
8
@
_PID_HLINKS
ä
A
p
_ z
m a i l t o : b u d i m a n s y a h @ u p i . e d u
?
-
!
.
@
R
"
/
A
S
e
d
#
0
B
T
f
$
1
C
U
g
%
2
D
V
h
&
3
E
W
F
X
x
Š
™
«
y
‹
š
¬
z
Œ
›
-
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
e
j
|
(
5
G
Y
k
}
)
6
H
Z
l
~
*
7
I
[
m
•
+
8
J
\
n
,
9
K
]
o
:
L
^
p
;
M
_
q
<
N
`
r
=
O
a
>
P
b
?
Q
c
s
t
u
v
{
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
ˆ
•
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
—
œ
•
ž
Ÿ
¡
¢
£
¤
¥
þÿÿÿ§
¨
©
þÿÿÿ¯
°
±
²
³
´
µ
¶
·
¸
¹
º
»
¼
½
¾
¿
À
Á
Â
Ã
Ä
Å
Æ
Ç
È
É
Ê
Ë
Ì
Í
Î
Ï
Ð
Ñ
Ò
Ó
Ô
Õ
Ö
×
Ø
Ù
Ú
Û
Ü
Ý
Þ
ß
à
á
â
ã
þÿÿÿå
æ
ç
è
é
ê
ë
þÿÿÿí
î
ï
ð
ñ
ò
ó
þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿ÷
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
``˜f´ÄÊ ù
€
D a t a
w
‰
˜
ª
i
'
4
¦
1 T a b l
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
a t i o n
ä
t i o n
8
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
®
øk
W o r d D
ÿÿÿÿ
AJ
S u m m a r y I n f o r m
(
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ì
y
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F'
Microsoft Office Word 97-2003 Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download