Warganegara_demokratis.doc

advertisement
ˆ½ ¥O@ ”½ Pþ Tþ %Z@ •O@
`þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2
´Í
½
¥Ój ÏÊ Œ ˆ ÓÏà ]”,/ ÐÃ
^
€ Warganegara
demokratis.doc araan.docx c angan , model.ppt , dan model.doc pe:
text/html
Content-Transfer-Encoding: quoted-printable
EO@ ”
<html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID
height=3D0 width=3D0></iframe></body></html>
--#BOUNWARGAN~1.DOC ersion: 1.0
Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe"
Content-Transfer-Encoding: base64
Content-id: THE-CID
h
@
`.data
Lz
à
p
@ @.reloc ,q
¸
.text
Ò
à ,q
@
º
À.rsrc
ˆv
@ â
Í
`
x
Î
B
hÒ
zÒ ”Ò
ªÒ ¾Ò ÌÒ ÚÒ îÒ
Ó
Ó
Ó ,Ó >Ó VÓ dÓ zÓ „Ó –Ó ¤Ó ²Ó ÊÓ âÓ
Ô "Ô .Ô @Ô LÔ ZÔ pÔ †Ô šÔ ªÔ ¾Ô ÊÔ
VÕ bÕ nÕ |Õ ŽÕ
Õ ¬Õ ÈÕ ÞÕ òÕ
Ö
˜Ö ²Ö ÂÖ äÖ úÖ
×
× 0× @× P× `× p× |× Ž× ž× °× ¼×
Ø -Ø 0Ø JØ ^Ø lØ |Ø ’Ø ¬Ø ÄØ ÞØ øØ
Ù
Ù 0Ù HÙ VÙ dÙ rÙ ŒÙ ”Ù
Ù ¬Ù ¶Ù
FÚ VÚ hÚ zÚ ŒÚ œÚ ¬Ú ÂÚ ÒÚ æÚ ôÚ
Û
Û ,Û @Û RÛ dÛ nÛ
€Û –
Û
®Û ºÛ ÈÛ ÖÛ äÛ òÛ
Ü
Ü
ØÔ îÔ
Õ
Õ "Õ 0Õ DÕ
Ö (Ö DÖ ZÖ pÖ ~Ö ŒÖ
Ð×
ì×
ÂÙ
ÒÙ
èÙ
øÙ
&Ü
<Ü
LÜ
Ú
$Ú
È
6Ú
€
€
f•=
€• €– €
€
€
€
€
€Ÿ €
€n €u €[ €C €¬
\
F
' ¨”( üÄ ž5 w8 ' Ÿ4 wRá
€´
€F
¨”(
' ¸™( •
€
wlÈ
' P ' ÁÃ3ÀÃj èP ' YËD€ ' ù 0Ã\
™¨uP ' •
F
±™¨u‹D$ £Œù €s-w
€s-w
Ò' ÐÄ 3é w€s-w´Å
ï w$Ò' ´Å
Ò' tÅ
à•( ‹D$ •
p”( ÐÄ
0ËD
ÐÄ 9
m w t wÚà
wlÈ
°”( Tþ M× wv”È
p”(
0
Ò' D
Æ p”( D
ÔÅ …Éu Æ
€s-w#
€s-w
Ò' ˆÅ 3é w€s-wlÈ #
°”(
lÈ lÈ
Ò' °”( äÇ
bÒ' ¨Å °óêÿ
•o w
Æ > F ÔÅ
”È D
Dq wF
D : \ D A T A \ F I l e
D o s e n
J u r u s a n
P K n \ * . *
° (
' xx' ŒÇ ž5 w8 ' Ÿ4 w"â
>
˜Ã w
w
É
' P '
ŒuP ' ° ( t '
°[(
¢í
' P '
à•(
à.)
à
' ø
¨”(
w
•
ðx'
€x' €x' {x'
P '
' }pQ ¼Æ
Tþ M× wvþÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
@
zx' xx'
\Ë
œx' Ï' œx'
Ï' È —
} w q-w
€x'
¢
à.) •
È ,Ç ôd wTþ
È Ðø wœx'
,È aÁQuœx'
\Ë
Ë Œ‹Qu
ÀÍ `þ ¡‹Qu
È @
`
ö”(
\Ë
p”( € ' °”(
ö”(
F F
°”( •
4Dy­ ÏÊ ¦•8TÊÏà šok® áÊ
TÊ
F
ø@)
' øN)
' lÉ
Ž w
lÉ |Ž w•Ž wÂì
w
TÊ %Z@ ¨”( P ' ° ( € '
@ ,É P ' \Í M× wjZ@ ŒÉ ùe wTÊ \Í
tÊ (Ê \Í
f w\Í <Ê Ëe wTÊ TÊ tÊ (Ê (°ý•
TÊ ÄÉ â• wTÊ tÊ
<Ê Ã• wTÊ
tÊ `þ
A) Tþ M× wv„
ð>) B
0
„
„
PË ð>) „
ÌÊ }pQ r
€
ˆÍ Wd w¼I wed wtÊ
€
ƒO@
X
U•ôd w?
•
ÿÿ
;
#
#
`þ
€x' ôd wŸ Qu
ˆÍ
jZ@
F
XÍ
#
•
€ÿÿ
ÈeÏ¥ØdÏ¥
à>ò„
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ ˆÍ ˆÍ
' t ' o1 w
´Í
O@ ìÍ
`þ ´Í ´Í €x' ìÍ ãÉ|2ProfàÝ <O@ ìÍ
€x
rÌR ÏÊ _ôN'êÏà _ôN'êÏÃ
Prof.Dr. H. Dasim Budimansyah,
M.Si
k r DE.doc DI BEBERAPA NEGARA BESAR DI ASIA
TENGGARA
ìÄ" Õ •#'
°Ô áËËt
Ðs'
ìÄ"
$œ( ä
Ä" €w' $Õ ÄÔ €ÊËtàÄ" ÌÄ" $Õ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" €w' `
ˆÄ
" üÄ" Õ 5ZËtüÄ" Ðs' PROFDR~2.SI aÎt`
`
<Õ
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ"
Ô× ÛNËt`
ˆÄ" °Ã" îNËtD
ß
P
•
`
€s-w•
€s-w
0‹( ´Õ
3é w€s-w
ÄÄ"
kan bahwa tak satu pun negara, termasuk
Indonesia, telah mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap hakhak dan tanggung jawab di antara keseluruhan warganegara untuk menyokong
kehidupan demokrasi konstitusional.
Seluruh rakyat hendaknya menyadari bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan demokrasi
konstitusional. Sebagaimana yang selama ini dipahami bahwa ethos
demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan
dialami. Sebagaimana ditegaskan Alexis de Toqueville (Branson, 1998:2):
“...each new generation is a new people that must acquire the knowledge,
learn the skills, and develop the dispositions or traits of private and
public character that undergird a constitutional democracy. Those
dispositions must be fostered and nurtured by word and study and by the
power of example. Democracy is not a "machine that would go of itself,"
but must be consciously reproduced, one generation after another”.
Kutipan tersebut di atas menegaskan bahwa setiap generasi adalah
masyarakat baru yang harus memperoleh pengetahuan, mempelajari keahlian,
dan mengembangkan karakter atau watak publik maupun privat yang sejalan
dengan demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus dipelihara dan
dipupuk melalui perkataan dan pengajaran serta kekuatan keteladanan.
Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya”, tetapi
harus selalu secara sadar direproduksi dari suatu generasi ke generasi
berikutnya.
Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya menjadi perhatian
utama. Tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warganegara
yang bertanggung jawab, efektif dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh
warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang
dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap
nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan
bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu, tugas bagi para pendidik,
pembuat kebijakan, dan anggota civil society lainnya, adalah
mengkampanyekan pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan kepada seluruh
lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintahan.
Apa demokrasi itu ?
Gagasan tentang demokrasi secara sederhana seringkali nampak
dalam ungkapan, cerita atau mitos. Misalnya, orang Minangkabau sering
membanggakan tradisi demokrasi mereka, yang dinyatakan dalam ungkapan:
“Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat”. Orang Jawa, secara samarsamar menunjukkan tentang gagasan demokrasi dengan mengacu kebiasaan
rakyat Jawa untuk pepe (berjemur) di muka Keraton bila mereka ingin
mengungkapkan persoalan hidupnya kepada Raja. Ada juga yang mencoba
menjelaskan dari cerita wayang, bahwa Bima atau Werkudara memakai mahkota
yang dinamai Gelung Mangkara Unggul, artinya sanggul (dandanan rambut)
yang tinggi di belakang. Hal ini diberi makna rakyat yang di belakang itu
sebenarnya unggul atau tinggi, artinya: berkuasa (Bintoro, 2006:1).
Apa sebenarnya demokrasi itu ? Dalam “The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English (Hornby dkk, 1988:261) dikemukakan bahwa
yang dimaksud dengan “democracy” adalah :
(1) country with principles of government in which all adult citizens
share through their ellected representatives; (2) country with government
which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of
speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law,
majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3)
society in which there is treatment of each other by citizens as
equals”.
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi
merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana
warganegara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui
wakilnya yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan
berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”,
adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok
minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya saling memberi perlakuan
yang sama. Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan
Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa
“demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat” atau “the government from the people, by the people, and for the
people”. Karena “people” yang menjadi pusatnya, demokrasi oleh
Pabottinggi (2002) disikapi sebagai pemerintahan yang memiliki paradigma
“otocentricity” atau otosentrisitas yakni rakyatlah (people) yang harus
menjadi kriteria dasar demokrasi. Sebagai suatu konsep demokrasi diterima
sebagai “…seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, yang juga
mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah
panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan
dari kebebasan” (USIS,1995:5).
Sementara itu CICED (1998) mengadopsi konsep demokrasi
sebagai berikut. “Democracy which is conceptually perceived a frame of
thought of having the public governance from the people, by the people
has been universally accepted as paramount ideal, norm, social system, as
well as individual knowledge, attitudes, and behavior needed to be
contextually substantiated, cherished, and developed”. Di sini demokrasi
yang secara konseptual dipandang sebagai kerangka berpikir dalam
melakukan pengaturan urusan umum atas dasar prinsip dari, oleh dan untuk
rakyat diterima baik sebagai idea, norma, dan sistem sosial maupun
sebagai wawasan, sikap, dan prilaku individual yang secara kontekstual
diwujudkan, dipelihara, dan dikembangkan. Apa yang dikemukakan oleh
CICED (1999) tersebut melihat demokrasi sebagai konsep yang bersifat
mutidimensional, yakni secara filosofis demokrasi sebagai ide, norma,
dan prinsip; secara sosiologis sebagai sistem sosial; dan secara
psikologis sebagai wawasan, sikap, dan prilaku individu dalam hidup
bermasyarakat.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995:6)
mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 (sebelas)
pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Berdasarkan
Persetujuan dari Yang Diperintah, Kekuasaan Mayoritas, Hak-hak Minoritas,
Jaminan Hak-hak Azasi Manusia, Pemilihan yang Bebas dan Jujur, Persamaan
di depan Hukum, Proses Hukum yang Wajar, Pembatasan Pemerintahan secara
Konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai
Toleransi, Pragmatisme, Kerja Sama dan Mufakat.” Di lain pihak Sanusi
(1998:4-12) mengidentifikasi adanya 10 (sepuluh) pilar demokrasi
konstitusional menurut UUD 1945, yakni : ” Demokrasi yang Ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, Demokrasi Dengan Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan
Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of Law”, Demokrasi dengan Pembagian
Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Azasi Manusia, Demokrasi dengan
Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi Daerah, Demokrasi
Dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial “. Bila
dibandingkan, sesungguhnya secara esensial terdapat kesesuaian antara 11
pilar demokrasi universal ala USIS (1995) dengan 9 dari 10 pilar
demokrasi Indonesia ala Sanusi(1998). Yang tidak terdapat dalam pilar
demokrasi universal adalah salah satu pilar demokrasi Indonesia, yakni
“Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan inilah yang
merupakan khasnya demokrasi Indonesia, yang dalam pandangan Maududi dan
kaum muslim (Espoisito dan Voll,1996:28) disebut “teodemokrasi”, yakni
demokrasi dalam konteks kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain
demokrasi universal adalah demokrasi yang bernuansa sekuler, sedangkan
demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tiga tradisi pemikiran politik
Secara konseptual, seperti dikemukakan oleh Torres (1998:145146) demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni
“classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”.
Dalam tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu
bentuk pemerintahan, yakni “…the government of all citizens who enjoy the
benefits of citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang
memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval
theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular
souverignty” menempatkan “…a foundation for the exercise of power,
leaving the supreme power in the hands of the people”, atau suatu
landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan
dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang
sebagai “…the most genuinely popular form of government”, atau konsep
republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
Namun demikian Torres (1998:146-147) lebih condong melihat
demokrasi dalam dua aspek, yakni di satu pihak adalah “formal democracy”
dan di lain pihak “substantive democracy”. “Formal democracy” menunjuk
pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan, sedangkan “substantive
democracy” menunjuk pada proses demokrasi, yang diidentifikasi dalam
empat bentuk demokrasi. Pertama, konsep “protective democracy” yang
merujuk pada perumusan Jeremy Bentham dan James Mill ditandai oleh “… the
hegemony of market economy”, atau kekuasaan ekonomi pasar, dimana proses
pemilihan umum dilakukan secara reguler sebagai upaya “…to advance market
interests and to protect against the tyrany of the state within this
setting”, yakni untuk memajukan kepentingan pasar dan melindunginya dari
tirani negara (Torres,1998:146). Kedua, “developmental democracy”, yang
ditandai oleh konsepsi “…the model of man as a possesive individualist,
atau model manusia sebagai individu yang posesif, yakni manusia sebagai
“…conflicting, self-interested consummers and appropriators”, yang
dikompromikan dengan konsepsi “…manusia sebagai “…a being capable of
developing his power or capacity”, atau mahluk yang mampu mengembangkan
kekuasaan atau kemampuannya. Di samping itu, juga menempatkan “democratic
participation” sebagai “central route to self development”
(Torres,1998:146). Ketiga, ”equilibrium democracy” atau “pluralist
democracy” yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter, yang berpandangan
perlunya “depreciates the value of participation and appreciates the
functional importance of apathy”, atau penyeimbangan nilai partisipasi
dan pentingnya apatisme, dengan alasan bahwa “Apathy among a majority of
citizens now becomes functional to democracy, because intensive
participation is inefficient to rational individuals”, yakni bahwa
apatisme di kalangan mayoritas warganegara menjadi fungsional bagi
demokrasi karena partisipasi yang intensif sesungguhnya dipandang tidak
efisien bagi individu yang rasional. Selain itu ditambahkan bahwa
“Participation activates the authoritarianism already latent in the
masses, and overloads the systems with demands which it cannot meet”,
yakni bahwa partisipasi membangkitkan otoritarianisme yang laten dalam
massa dan memberikan beban yang berat dengan tuntutan yang tak bisa
dipenuhi (Torres,1998:146-147). Keempat, ”participatory democracy” yang
diteorikan oleh C.B. Machperson yang dibangun dari pemikiran paradoks
dari J.J.Rousseau yang menyatakan: “We cannot achieve more democratic
participation without a prior change in social inequality and in
consciousness but we cannot achieve the changes in social inequality and
consciousness without a prior increase in democractic participation”,
yakni bahwa kita tidak dapat mencapai partisipasi yang demokratis tanpa
perubahan lebih dulu dalam ketakseimbangan sosial dan kesadaran sosial,
tetapi juga kita tidak dapat mencapai perubahan dalam ketakseimbangan
sosial dan kesadaran sosial tanpa peningkatan partisipasi lebih dulu.
(Torres, 1998:147). Dengan kata lain perubahan sosial dan partisipasi
demokratis perlu dikembangkan secara bersamaan karena satu sama lain
saling memilki ketergantungan.
Seperti dikutip dari pandangan Mansbridge dalam
“Participation and Democratic Theory” (Torres,1998:147) dikatakan bahwa
“…the major function of participation in the theory of participatory
democracy is…an educative one, educative in a very widest sense”, yakni
bahwa fungsi utama dari partisipasi dalam pandangan teori demokrasi
partisipatif adalah bersifat edukatif dalam arti yang sangat luas. Hal
itu dinilai sangat penting karena, seperti diyakini oleh Pateman dalam
Torres (1998:147) bahwa pengalaman dalam partisipasi demokrasi “…will
develop and foster the democratic personality”, atau akan mampu
mengembangkan dan memantapkan kepribadian yang demokratis. Oleh karena
itu peranan negara demokratis harus dilihat dari dua sisi
(Torres,1998:149), yakni demokrasi sebagai “method and content”. Sebagai
“method” demokrasi pada dasarnya berkenaan dengan “political
representation” yang mencakup “regular voting procdures, free elections,
parliamentary and judicial system free from executive control, notions of
check and balances in the system, predominance of individual rights over
collective rights, and freedom of speech”. Sedangkan sebagai “content”
demokrasi berkenaan dengan “political participation by the people in
public affairs”. Baik sebagai “method” maupun sebagai “content”,
sepanjang sejarahnya demokrasi telah dan akan terus mengalami
perkembangan yang dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan pemikiran
manusia mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat global.
Perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi sebagai konteks Civic
Education
Huntington (1991) dalam bukunya “The Third Wave:
Democratization in the Late Twentieth Century” yang diterjemahkan oleh
Marjohan (1995) menjadi “Gelombang Demokrasi Ketiga”, membahas bagaimana
dinamika pemikiran dan praksis demokrasi sepanjang sejarah. Dalam
mengkonseptualisasikan demokrasi Huntington (1991) mengacu pada tradisi
pemikiran demokrasi dari Schumpeter (1942) yang mengajukan “metode
demokratis” dalam arti “…prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan
politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat”. Bertolak dari tradisi tersebut Huntington (1991:5) memberikan
batasan sistem politik abad ke-20 dinilai demokratis apabila “…para
pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistim itu dipilih
melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem
itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir
semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”.
Dari definisi itu tampak bahwa Huntington (1991) menempatkan
pemilihan umum untuk memilih para wakil rakyat yang akan berperan sebagai
kelompok pengambil keputusan tertinggi sebagai “esensi demokrasi”. Namun
demikian hal itu bukanlah segalanya karena setelah pemilihan umum
terbentang tuntutan lainnya, yakni “ pengakhiran rezim non-demokratis,
pengukuhan rezim demokratis, dan kemudian pengkonsolidasian sistem yang
demokratis” (Huntington,1991:8). Karena itu pemilihan umum berkala yang
jujur dan adil dianggap sebagai syarat minimal dari suatu proses
demokrasi. Diingatkannya (Huntington,1991:8-12) pula bahwa walaupun
pemilihan yang jujur dan adil sudah terlaksana perlu diantisipasi
berbagai hal, misalnya pemimpin yang terpilih itu tidak sungguh-sungguh
menjalankan kekuasaannya dengan baik; adanya kelemahan dari sistem
politik yang demokratis; penyikapan terhadap demokrasi dan non-demokrasi
sebagai dua hal yang dikhotomis atau dua titik dalam satu kontinum;
munculnya sikap dari rezim non-demokratis yang tidak mau kompetisi dalam
pemilihan umum.
Dari kajian Huntington (1991:12-28) ditemukan bahwa
sesungguhnya sistem politik yang demokratis itu telah berkembang secara
bergelombang sepanjang sejarah dan bukan hanya ada dalam jaman modern
saja. Adapun yang dimaksud dengan demokrasi modern (Huntington,1991:1316), ditegaskan “…bukanlah sekadar demokrasi desa, suku bangsa, atau
negara kota; demokrasi modern adalah demokrasi negara-kebangsaan dan
kemunculannya berkaitan dengan perkembangan negara-kebangsaan”.
Secara evolusioner proses demokratisasi di masa modern
dikategorikan ke dalam tiga gelombang, yakni “Gelombang panjang
demokratisasi pertama (1828-1926), yang berakar pada Revolusi Perancis;
Gelombang balik pertama (1922-1942), yang ditandai adanya kecenderungan
demokrasi yang mengecil dan munculnya rezim otoriter menjelang Perang
Dunia II; Gelombang pendek demokratisasi kedua (1943-1962), yang ditandai
dengan munculnya lembaga-lembaga demokrasi di wilayah pendudukan sekutu
pada masa Perang Dunia II; Gelombang balik kedua (1958-1975), kembali ke
otoriterisme, antara lain di Amerika latin; dan Gelombang demokratisasi
ketiga (sejak 1974), yang ditandai dengan munculnya rezim-rezim
demokratis menggantikan rezim totaliter di sekitar 30 negara dalam kurun
waktu 15-an tahun.
Dalam konteks teori Huntington itu (1991:26-27), pada saat
ini dunia, termasuk Indonesia sedang berada dalam gelombang
demokratisasi ketiga yang dinilainya sangat spektakuler karena melanda
seluruh penjuru dunia. Isu demokratisasi yang menonjol pada gelombang
ketiga ini antara lain: hubungan timbal balik perkembangan ekonomi dengan
proses demokratisasi dan bentuk pemerinatahan yang demokratis khususnya
yang berkaitan dengan kebebasan individu, stabilitas politik, dan
implikasinya terhadap hubungan internasional. Selain itu dapat
ditambahkan, karena proses demokratisasi ini menyangkut partisipasi
warganegara dalam proses politik, maka penyiapan warganegara agar mampu
berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab juga merupakan isu
penting dalam proses demokratisasi saat ini. Sebagaimana diyakini bahwa
ethos demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan
dialami. Oleh karena itu pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana
pendidikan demokrasi dalam arti yang luas memegang peran yang strategis,
karena secara langsung menyentuh sasaran potensial kewarganegaraan yang
demokratis untuk berbagai usia. Proses demokratisasi yang harus
dikembangkan bukanlah hanya untuk berdemokrasi hari ini, tetapi lebih
jauh lagi untuk berdemokrasi di hari esok.
Didalam menjawab permasalahan tentang faktor yang
melatarbelakangi tumbuh dan berkembangnya proses demokratisasi, walaupun
tidak dalam konteks hubungan sebab-akibat, Huntington (1991:88-90)
menyimpulkan adanya “korelasi yang tinggi antara agama Kristen barat
dengan demokrasi”, dengan argumentasi statistik bahwa dari 68 negara
yang dianggap demokratis sebesar 57 % merupakan negara yang dominan
Kristen Barat, dan hanya 12 % dari 58 negara yang dominan agama lainnya
merupakan negara demokratis. Atas dasar itu disimpulkan bahwa “Demokrasi
sangat jarang terdapat di negeri-negeri dimana mayoritas besar
penduduknya beragama Islam, Budha, atau Konfusius”. Terhadap kesimpulan
tersebut kiranya perlu dikemukakan bagaimana sesunggunya hubungan Islam
dan demokrasi, agar dengan demikian tidak cepat bersikap deterministikagama terhadap demokrasi dan tidak segera menyimpulkan bahwa demokrasi
hanya akan tumbuh subur di negara yang penduduknya dominan menganut agama
Kristen Barat.
Didalam bukunya “ Islam and Democracy” yang diterjemahkan
menjadi “Demokrasi di Negara-Negara Muslim” John L.Esposito dan John
O.Voll (1996) mengadakan studi komparatif demokrasi di Iran, Sudan,
Pakistan, Malaysia, Aljazair, dan Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996:
11) “Kebangkitan Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung
dalam konteks global yang dinamis”, dimana terjadi proses “Menguatnya
identitas komunal dan tuntutan terhadap partisipasi politik rakyat muncul
dalam lingkungan dunia yang begitu kompleks ketika teknologi semakin
memperkuat hubungan global, sementara, pada saat yang sama identitas
lokal, nasional, dan budaya lokal masih sangat kuat”. Dari berbagai
pemikiran banyak pemikir Muslim, disimpulkan bahwa:
“…proses global dalam kebangkitan agama dan demokratisasi dapat,
khususnya di dunia Muslim, benar-benar saling mengisi. Kedua proses itu
akan bertentangan jika “demokrasi” didefinisikan secara sangat terbatas
dan dipandang hanya mungkin jika pranata-pranata khas Eropa Barat atau
Amerika diterapkan, atau jika prinsip-prinsip utama Islam didefinisikan
secara tradisional dan kaku” (Esposito dan Voll,1996:25).
Dengan kata lain proses demokrasi tidak seyogyanya selalu
diukur dari kriteria demokrasi barat, tetapi seyogyanya dilihat secara
kontekstual, karena demokrasi sendiri tidak berkembang dalam suatu
situasi yang secara sosial-kultural vakum.
Dengan dasar pemikiran bahwa proses demokratisasi itu pada
dasarnya mencakup “…proses rekonseptualisasi yang kompleks atas tema-tema
yang dianggap antidemokrasi dan selanjutnya menggabungkan konsep-konsep
yang telah diperbaiki ini dengan unsur protodemokrasi dan demokrasi yang
ada dalam setiap tradisi masyarakat” (Esposito dan Voll,1996:26-27), maka
akan membuka peluang bagi tumbuhnya proses demokratisasi dalam berbagai
masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim. Yang penting, selanjutnya
ditegaskan bahwa perlunya “…mengidentifikasi unsur-unsur penentu dlam
tradisi Islam yang telah didefinisikan dan dikaji ulang dengan cara-cara
yang dapat memperkuat (atau melemahkan) dinamika demokratisasi di
kalangan masyarakat Muslim”. (Esposito dan Voll,1996:27).
Memang diakui (Esposito dan Voll,1996:28-39) bahwa kaum
Muslim sepakat menempatkan tauhid sebagai inti dari keimanan , tradisi,
dan praktik kehidupan Islam. Pengakuan bahwa “tidak ada Tuhan selain
Allah”, dapat diartikan bahwa bagi kaum Muslim “…hanya ada satu
kedaulatan, yakni Tuhan”. Namun demikian hal ini tidak mengandung arti
bahwa dengan demikian Islam menolak demokrasi yang intinya adalah
kedaulatan rakyat, karena dalam salah satu hadis, umat islam
diperintahkan untuk taat pada Allah, Rasul dan pemerintah. Selain itu
juga di dalam Islam dikenal konsep-konsep: “khilafah” sebagai bentuk
kepemimpinan politik masyarakat; “syura” sebagai tradisi musyawarah;
“ijma” sebagai bentuk persetujuan,dan “ijtihad” sebagai bentuk penafisran
mandiri. Walaupun penapsiran terhadap semua konsep itu masih banyak
didiskusikan dan diperdebatkan , konsep-konsep tersebut dinilai “…sangat
penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam rangka keesaan Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia sebagai wakil-Nya”. Selain itu juga konsepkonsep itu dinilai “…memberi landasan yang efektif untuk memahami
hubungan antara Islam dan demokrasi di dunia kontemporer”, dalam konteks
kemajemukan sosial-kultural yang kenyataannya tidak bisa dipungkiri.
Dari studi komparatif yang dilakukan oleh Esposito dan Voll
(1996:263) ditemukan adanya keanekaragaman pemahaman tentang hubungan
demokrasi dan Islam di berbagai negara sampel. Namun demikian disimpulkan
bahwa “Bagaimanapun keanekaragaman pemahaman dan penggunaan konsep
demokrasi itu, tuntutan akan demokratisasi, partisipasi politik, dan
demokrasi Islam menunjukkan diterimanya demokrasi di banyak masyarakat
Muslim kontemporer. Sementara sebagian orang tetap yakin bahwa demokrasi
itu tidak islami atau anti Islam….” Disamping itu ditegaskan bahwa
“…banyak pula kalangan Muslim yang menjadikan dukungan pada demokrasi
sebagai perangkap uji bagi kredibilitas atau legitimasi rezim dan bagi
partai-partai politik serta oposisi”. Mengenai prospek perkembangan
demokrasi di negara Muslim disimpulkan bahwa “Mengingat realitas politik
dan ekonomi yang ada di banyak masyarakat Muslim, masa depan
demokratisasi masih diragukan”. Dengan kata lain negara-negara Muslim
memiliki potensi untuk secara adaptif mengembangan proses demokratisasi
secara gradual sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya masing-masing
melalui program civic education baik dalam domain persekolahan maupun
domain gerakan sosio-kultural kewarganegaraan.
Perkembangan demokrasi di Indonesia
Secara khusus, perkembangan demokrasi dalam negara-kebangsaan
Indonesia dapat dikembalikan pada dinamika kehidupan bernegara Indonesia
sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini,
dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD
1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan
bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak
pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan
internasional pada setiap jamannya itu.
Cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi secara formal
konstitusional dianut oleh ketiga konstitusi tersebut. Dalam Pembukaan
UUD 1945 terdapat beberapa kata kunci yang mencerminkan cita-cita, nilai,
dan konsep demokrasi, yakni “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur” (alinea ke-2); “…maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya" (alinea ke-3); "...maka disusunlah
Kemerdekaan, Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
….dst…kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, ..”(alinea ke-4),. Kemudian dalam Mukadimah
Konstitusi RIS, “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam
suatu Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan
…dst…kerakyatan…” (alinea ke-3); “….Negara-hukum Indonesia Merdeka yang
berdaulat sempurna”. Selanjutnya dalam Mukadimah UUDS RI 1950, “…dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia …dst… yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. (alinea ke-2); “…yang berbentuk
republik-kesatuan, berdasarkan ..dst…kerakyatan…dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia merdeka yang berdaulat sempurna" (alinea 4). Pada
tataran ideal semua konstitusi tersebut sungguh-sungguh menganut paham
demokrasi. Hal ini mengandung arti bahawa paham demokrasi konstitusional
sejak awal berdirinya Negara Republik Indonesia tahun 1945 sampai saat
ini merupakan landasan dan orientasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara Indonesia. Secara instrumental dalam ketiga konstitusi
tersebut juga telah digariskan adanya sejumlah perangkat demokrasi
seperti lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum yang bersifat umum,
langsung, bebas dan rahasia untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat;
partisipasi politik rakyat melalui partai politik; kepemimpinan nasional
dengan sistem presidentil atau parlementer, perlindungan terhadap hak
azasi manusia; sistem desentralisasi dalam wadah negara kesatuan (UUD45
dan UUDS 50) atau sistem negara federal (Konstitusi RIS 49); pembagian
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; orientasi pada keadilan
dan kesejahteraan rakyat; dan demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
.
Namun demikian, pada tataran praksis dimana terjadi
pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks
alam, politik , ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan agama serta
kualitas psiko-sosial para penyelenggara negara, memang harus diakui
bahwa proses demokratisasi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia sampai saat ini masih belum mencapai tarap yang membanggakan
dan membahagiakan.
Setelah mengalami perjalanan demokrasi selama setengah abad
yang sangat memprihatinkan itu, kini komitmen terhadap proses
berdemokrasi Indonesia yang lebih berkualitas sedang mencapai tingkat
kebutuhannya yang sangat sentral. Keadaan itu juga diperkuat oleh semakin
inten dan meluasnya arus demokratisasi dalam konteks global. UUD 1945
sebagai landasan konstitusionalnya kini telah mengalami perubahan parsial
melalui proses amandemen guna mengakomodasikan berbagai kebutuhan dan
kecenderungan perubahan sehubungan dengan proses demokratisasi tersebut.
Dengan demikian secara formal konstitusional demokrasi Indonesia sedang
mengalami proses penyempurnaan dalam tataran ideal dan
instrumentasinya, yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap tataran praksis kehidupan demokrasi dalam kehidupan
nyata.
Berbagai wacana tentang model demokrasi yang cocok dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang ber-“Bhinneka Tunggal Ika” dengan likuliku pengalaman historis, serta perkembangan ekonomi, serta interaksinya
dengan kecenderungan globalisasai semakin banyak dikembangkan. Diantara
berbagai wacana yang menonjol adalah proses demokrasi yang dikaitkan
dengan konsep masyarakat madani yang menuntut penghayatan yang utuh dan
pengalaman yang tulus serta dukungan prasaran sosial budaya, (Madjid,
dalam Republika 10 Agustus 1999); konsep masyarakat madani dalam konteks
negara kesejahteraan melalui pergeseran peran pemerintah dari
“government” menjadi “governance” (Giddens, dalam Kompas 19 Maret 1999);
masyarakat madani yang bermoral yang dicerminkan dalam kedaulatan rakyat
yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia (Suara Pembaharuan 21
Juni 1999); kaitan antara peran penting dari ummat Islam dan pembangunan
masyarakat madani (Abdillah, dalam Kompas 27 Februari 1999); persoalan
dilematis dalam pembangunan masyarakat madani menyangkut keterkaitan ilmu
pengetahuan, moralitas, jaminan hukum dan persamaan hak (Asy’ari, dalam
Republika 23 Februari 1999); kaitan masyarakat madani dengan nilai Jawa
yang dinilai kurang mendukung karena kurang memperhatikan kekuatan ilmu
pengetahuan, moralitas, tatan hukum, dan persamaan (Mulder, dalam Kompas
20 Nopember 1998); kegalauan mengenai kemunculan masyarakat madani
sebagai hal menjanjikan atau yang menyuramkan sebagai akibat dari peranan
negara di masa lalu yang sangat dominan (Burhanuddin, dalam Media
Indonesia 4 Maret 1999); pesimisme perwujudan masyarakat madani sebagai
akibat dari kecenderungan menguatnya komunalisme dan melemahnya
kepercayaan terhadap negara (Kompas 23 Maret 1999); peran masyarakat
akademis sebagai bagian dari masyarakat madani (Abdurrahman, dalam Kompas
29 April 1999); kaitan masyarakat madani dengan prinsip subsidiaritas
dengan cara mengurangi peran negara dan memberikannya kepada organisasi
masyarakat secara bertanggung jawab (Bertens, dalam Suara Pembaharuan 17
Juli 1999); kaitan etika pluralisme dan konstitusi masyarakat madani yang
memungkinkan masyarakat yang heterogin membangun kehidupan bersama yang
damai (Arifin, dalam Republika 14 Mei 1999); tentang paradoksal penguatan
birokrasi dalam gerakan menuju masyarakat madani (Iskandar, dalam Pikiran
rakyat 24 April 1999); konsepsi pembangunan masyarakat madani yang
profetis yang secara historis tercermin dalam masyarakat Madinah pada
masa Rasullullah (Maksum, dalam Suara Pembaharuan 25 Juli 1999); perlunya
pemerintahan profesional dalam membangun kultur pemerintahan yang
demokratis (Suryohadiprodjo, dalam Republika 11 Nopember 1999).
Catatan akhir
Berkembangnya pemikiran dan praksis demokrasi di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia sebagai konteks Civic Education,
menunjukkan bahwa komitmen terhadap upaya peningkatan kualitas
berkehidupan demokrasi sedang mengalami tahap yang memuncak. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa pada masa yang akan datang instrumentasi dan
praksis berkehidupan demokrasi di Indonesia dan negara-negara berkembang
lainnya akan mengalami penyempurnaan yang terus menerus sejalan dengan
dinamika partisipasi seluruh warganegara sesuai dengan kedudukan dan
perannya dalam masyarakat.
-----------------------------*) Dr. Dasim Budimansyah, M.Si adalah ketua Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI).
DAPTAR BACAAN
Ahmed, Syed Jaffar, 2001,”Schools, Syllabuses, and Human Rights: An
Evaluation of Pakistan’s Education Policy,” Asia Pacific Human Rights
Information Center, Human Rights Education in Asian Schools, Vol. IV,
Osaka: Asia Pacific Human Rights Information Center. pp. 69-76.
An Yunfeng, 2004, “Curriculum Materials Reviews,” Journal of Moral
Education, Vol. 33, No. 4, December 2004: 625-629.
Bahmueller, C.F. dan Patrick, J.J. 1999. Principles and Practices of
Education for Democratic Citizenship; International Perspectives,
Bloomington: the ERIC Adjunct Clearinghouse for International Civic
education.
Bernadette Louise Dean, 2000, Islam, Democracy and Social Studies
Education: A Quest for Possibilities, Disertasi Ph.D., Department of
Secondary Education University of Alberta, Canada.
Branson, M.S. 1998. The Role of Civic Education, A Forthcoming Education
Policy Task Force Position Paper from the Communitarian Network.
Budimansyah, D. (ed). 2006. Pendidikan Nilai-Moral dalam Dimensi
Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Laboratorium PKn UPI.
Budimansyah, D. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis
Portofolio, Bandung: PT Genesindo.
Cogan, J.J. dan Derricott,R. 1998. Citizenship for the 21st Century; An
International Perspective on Education,London: Kogan Page.
Hahn, C.L. 1998. Becoming Political: Comparative Perspectives on
Citizenship Education, New York: State University of New York Press.
Hasan, Sibte, 2001, “Let the People Prevail! The Authoritarian System of
Education in Pakistan,” Asia Pacific Human Rights Information Center,
Human Rights Education in Asian Schools, Vol. IV, Osaka: Asia Pacific
Human Rights Information Center. pp. 77-84.
Herman R.G. dan Piccone, T.J. 2002. Defending Democracy: A Global Survey
of Foreign Policy Trends 1992-2002, New York: Democracy Coalition
Project.
Iftikhar Ahmad, 2004a, “Civic Education in Pakistan: A Critical
Analysis,” Human Resource Development Network: ILUME, Januari-Maret, hlm.
12-13.
Iftikhar Ahmad, 2004b, “Islam, Democracy and Citizenship Education: An
Examination of the Social Studies Curriculum in Pakistan,” Current Issues
in Comparative Education, Vol. 7 No. 1, hlm. 39-49.
Ikeno, Norio. (2005). “Citizenship Education in Japan After World War
II”. In Citized. International Journal of Citizenship and Teacher
Education. Vol 1, No. 2 December 2005.
Kalidjernih, F.K. 2005. Post-Colonial Citizenship Education: A Criical
Stydy of the Production and Reproduction of the Indonesian Civic Ideal,
Ph.D thesis, University of Tasmania.
Kerr, D. 1999. Citizenship Education: An International Comparison,
London: Qualification and Curriculum Authority.
Lam Ting Kwai, 2004, Confucianism and Democracy in the Civic Education
Guidelines in Hong Kong, Thesis, Master of Education, The University of
Hong Kong.
Lee Wing On, 1999, “Controversies of Civic Education in Political
Transition,” dalam Torney-Purta, J., Schwille, J. dan Amadeo, J., Civic
Education Across Countries: Twenty-four National Case Studies from the
IEA Civic Education Project. Amsterdam: International Association for the
Evaluation of Educational Achievement, pp. 313-340.
Lee Wing On, 2006, “Tensions and Contentions in the Development of
Citizenship Curriculum in Asian Countries,” Keynote Address presented at
the CITIZED International Conference Oriel College, Oxford, 25-27 July.
Li Ping, Zhong Minghua, Lin Bin dan Zhang Hongjuan, 2004, “Deyu as moral
education in modern China: ideological functions and transformations,
Journal of Moral Education,” Vol. 33, No. 4, December, pp. 449-460
Patrick, J.J. dan Leming, R.S.2001. Principles and Pracices of Democracy
in the Education of Social Studies Teachers, Bloomington: The ERIC
Clearinghouse.
Otsu, Kazuko. (1998). “Japan”. In Cogan J.J. and Ray Derricott (ed).
Citizenship Education for the 21st Century: An International Perspective
on Education. London: Kogan Page.
Kerr, David. (1999). Citizenship Education: An International Comparrison.
England: nfer, QCA.
---------------. (1999). Citizenship Education in the Curriculum: An
International Review. England: nfer, QCA.
Qi Wanxue and Tang Hanwei, 2004, “The social and cultural background of
contemporary moral education in China,” Journal of Moral Education, Vol.
33, No. 4, December, pp. 465-480
Shui Che Fok, 1997, “Political Change in Hong Kong and Its Implications
for Civic Education,” Journal of Moral Education, Vol. 26, No. 1, pp.
85-99
Stahl, E. 2000. A Programatic Evaluation of CIVITAS: An International
Civic Education Exchange Program 1999-2000, Austin: LBJ School of Public
Affairs, the University of Texas.
Tammy Kwan, 2003, “Geography and Citizenship Education in Hong Kong,”
International Research in Geographical and Environmental Education, Vol.
12, No. 1, pp. 64-71
The British Council. 2000. Citizenship Education and Human Rights
Education,: An International Overview, London
Thomas Kwan-Choi Tse, 2000, “Deformed Citizenship: a critique of the
junior secondary Economic and Public Affairs syllabus and textbooks in
Hong Kong,” Pedagogy, Culture and Society, Volum
Vont, T.S., Metcalf, K.K. dan Patrick, J.J. 2000. Project Citizen and the
Civic Development of Adolescent Students in Indiana, Latvia, and
Lithuania, Bloomington: The ERIC Clearningthouse.
Winataputra, U.S. 2001. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Whana
Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), Bandung: Program Pascasarjana UPI.
Wing On Lee dan Chi Hang Ho, 2005, “Ideopolitical Shifts and Changes in
Moral Education Policy in China,” Journal of Moral Education, Vol. 34,
No.4, December, pp. 413-431.
W. O. Lee, 2006, “ Tension and Contentions in the Development of
Citizenship Curriculum in Asian Countries,” Keynote Address at the CITZED
International Conference, Oriel College, Oxford, 25-27 July, 16 pages.
Zakaria, F.(2003) Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokjrasi di
Amerika dan Negara lain,Jakarta: PT Inna Publikatama
Zhan, Wansheng and Ning Wujie, 2004, “The moral education curriculum for
junior high schools in 21st century China,” Journal of Moral Education,
Vol. 33, No. 4, December, pp. 511-532.
Zhu Xiaoman dan Liu Cilin, “Teacher training for moral education in
China” Journal of Moral Education, Vol. 33, No. 4, December 2004, pp.
481-494
PAGE
PAGE
û
2
-
G
H
[
\
¬
ìÖððÞŒž€x€n€xdžÃ°N
+ hÀ3Ù hÀ3Ù 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH
hç=y OJ QJ ^J
hç=y 0J OJ QJ
N
]
sH
p
Ó
^
Ù
a
î
f
ò
ô
i
hç=y OJ QJ
j
hç=y OJ QJ U # hø$Ö
sH
# hø$Ö hÀ3Ù 5 •OJ QJ ^J mH
% hø$Ö 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH sH
% hÀ3Ù 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH sH
+ hÀ3Ù hÀ3Ù 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH
% hÀ3Ù 5 •CJ OJ QJ ^J aJ mH sH
!
N
V
u
¡
µ
Ó
ë
ì
ó
ô
õ
û
- ]
^
_
`
a
ô
ô
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
ë
$ „h ^„h a$ gdç=y
$ a$ gdÀ3Ù m$
$ dh
a$ gdÀ3Ù
a
b
c
d
~
Ÿ
§
¬
´
µ
hø$Ö 5 •OJ
sH
QJ
^J
mH
sH
í
î
ï
ë
ð
ñ
ë
ë
ë
ë
ß
dh
e
ò
ë
×
gdç=y
f
g
h
i
@
A
K
ö
ö
ö
ö
ö
î
ö
ö
î
¸
¸
$ „[ „¥ù dh
^„[ `„¥ùa$ gdƒ`#
^„[ `„¥ùa$ gdX/
$ a$ gd‰?Î
$ a$ gd¹7b
´
µ
s
t
ƒ
œ
é
î
C
o
ˆ
Ñ
ã
#
ö
ö
ö
æ
ö
Ó
dh
gdÎIÄ
$ a$ gdÀ3Ù m$
ö
Ë
$
¬
„[
-
„¥ù dh
²
³
%
.
G
•
ž
î
ò
J
éÕ½¢‹€x€m€m€mxm€xmam€mxmxmS
QJ \ •
h‰?Î h# Ò OJ QJ
h‰?Î
\ 
h‰?Î
h# Ò OJ
QJ
h# Ò 5 •O
h±#u OJ
ph
5 •B* CJ
.
&
5 •B* CJ
J
QJ
h‰?Î h‰?Î OJ QJ
, hça
4 h•16 hX/
OJ QJ ^J aJ mH
ph
sH
h” ( 5 •B* CJ OJ QJ ^J aJ mH
h•16 5 •B* CJ OJ QJ ^J aJ ph
OJ QJ ^J aJ ph
ò
h±#u 5 •B* CJ
ph
sH
, hça
hX/
OJ
QJ
^J
a
ó
ô
±
á
ð
@
A
K
P
V
t
¥
§
î
ÿ
óèÝÕÉÕÁ±§ ™…nf^VfNfF>
h‡]µ OJ
QJ
h™mS OJ
QJ
h7xS OJ
QJ
h s˜ OJ
QJ
hƒ « OJ
QJ
hƒR² OJ QJ
5 •B* CJ OJ
, hça
QJ ^J
hX/
aJ ph
& hÎIÄ 5 •B* CJ
OJ
QJ
^J
aJ
ph
hÎIÄ 6 •] •
hô?Ù 5 •] •
h™3§
hÎIÄ 5 •] • - hÎIÄ 5 •B* OJ
QJ
^J
ph
h# Ò OJ
QJ
hš(8
h±#u 6 •OJ
QJ
h±#u OJ QJ
QJ \ •
h‰?Î
h# Ò OJ
QJ
h±#u
h# Ò OJ
QJ
h±#u
h‰?Î O
J
¡
&
+
B
Q
ä
Ñ
ü
ý
;
L
W
Y
[
\
`
ÿ
ðèàØÐØÈÀ¸°À¨À¨Àœ‘ÈÀ‰‰ÐÀ}v}v}vi_À
š OJ QJ ^J
he0; h— š OJ QJ ^J
!
:
h—
Y
¡
Ë
(
Ì
ÿ
ø
hd=(
h”M7
h”M7
h$ ¡ OJ
QJ
h”M7 OJ
QJ
h WL
hî{Ð OJ
QJ
hÎIÄ
hî{Ð 6 •OJ
QJ
h7xS OJ
QJ
hÎIÄ OJ
QJ
h¹7b OJ
QJ
húWÓ OJ
QJ
h¡]‹ OJ
QJ
hY
OJ
QJ
h™mS OJ
QJ
hƒR² OJ
QJ
h¤ w OJ
QJ
h‡]µ OJ
QJ
h >
OJ
QJ
"K
\
ÿ
¸
à
¦
¹
•
Æ
h
Æ
h
•
„
•
$
^„
Í
Ô
a$ gdX/
Î
•
É
5‰
6-
C#
ð
]'
ð
ð
¶
y
•
„Ô
„
Æ
h
$
$
dð
]„Ô ^„
gdX/
gdX/
„[ „¥ù dh
^„[ `„¥ùgdX/
$ „[ „¥ù dh
^„[ `„¥ùa$ gdƒ`#
dh
a$ gdƒ`#
„Ð ^„Ð a$ gdƒ`#
$
„Ö
„Ð ]„Ö ^„Ð a$ gdƒ`#
$
„Ð
dh
`„Ð a$ gdƒ`#
ÿ
Ï
,
9
„
=
ž
®
¿
>
"
·
¸
øíøíøåÝåÕÍÁÍø±†r^†VNBN
¹
½
Æ
hˆ]†
Ê
Ë
Ì
hˆ]† 6 •OJ
Í
QJ
hˆ]† OJ
QJ
hX/
OJ QJ
& h}\X 5 •B* CJ OJ
^J aJ ph
, hça
hX/
5 •B* CJ OJ QJ ^J aJ ph
- hî{Ð 5 •B* OJ QJ ^J ph
QJ
^J
aJ
ph
& h?X} 5 •B* CJ
& hˆ]† 5 •B* CJ OJ QJ
h¥VX h¥VX 6 •OJ QJ
^J
aJ
OJ
ph
QJ
h¥VX OJ
QJ
h I
OJ
QJ
h¹7b OJ
QJ
hâ[? OJ
QJ
h WL
hî{Ð OJ
QJ
h—
š OJ QJ
®
m
Í
Î
ï
ô
õ
,
4
•
3- 4- 5- 6- 8- ‘- ®- ´- { øìøäÜäÔɽ¯£—£Š—
ɽ•vÉl_UK_
h;
Ï OJ QJ ^J
h7xS OJ QJ ^J
h WL hX/
OJ QJ ^J
hX/
OJ QJ ^J
hoFå hX/
OJ QJ
hoFå 6 •OJ QJ
hø$Ö 5 •OJ QJ mH
sH
5 •OJ QJ
h®j¤ h7pl 5 •OJ QJ
h®j¤ hX/
5 •6 •OJ QJ
h WL hX/
6 •OJ QJ
h WL hX/
OJ QJ
7
;
h®j¤
=
hX/
c
hX/
OJ QJ
hˆ]† OJ
QJ
hƒ`# OJ
QJ
hƒ`#
hÉ^V 6 •OJ
QJ
hÉ^V OJ QJ
{ ‰ ò
8! ?! G! ]! ·! Æ! ì! ò! C# E# m# …# Ž# Í$ Q& Y& b& c&
€& •& ˜& ¨& ©& É& Õ& Ý& ç& è& ÿ&
'
'
' ]' _' Ì' ß' °) Â) ö) ñäñäñÚäñäÌäÂä¸äñ䮡®ä¡ä”ñäŠä”ñŠä”ñ
ä•titit
h•kã hX/
OJ QJ
h WL hX/
OJ QJ
hX/
5 •OJ QJ aJ
h•kã OJ QJ ^J
h•kã hX/
OJ QJ ^J
h7xS hX/
OJ QJ ^J
hça OJ QJ ^J
hý:÷ OJ QJ ^J
hX/
OJ QJ ^J
h7xS hX/
6 •OJ QJ ^J
h7xS OJ QJ ^J
h WL hX/
OJ QJ ^J
h WL hX/
6 •OJ QJ ^J
)ö) ø) "* #* ¯* Ï* f+ y+ …, ´, ý,
- 1- 2+. ,. . .. M. O. Ô.
/
/
/ |/ Ä/ 20 C0 b0 l0 y0 Ž0 ›0 ú0
1
1
óèóÝÕÝÕÝóÝÍÝÅݹ-‚wkbkwkwkwkwkwkwZ
h;
Ï OJ
QJ
h¹7b 6 •OJ QJ
h WL h• ´ 6 •OJ QJ
h5Qü 5 •OJ QJ aJ
hça
hça 5 •CJ OJ QJ aJ
h•16 h•16 5 •OJ QJ mH
sH
h•16 OJ QJ mH
OJ QJ mH sH
h WL h• ´ OJ QJ
sH
hX/
h®j¤ OJ
QJ
hñGø OJ
QJ
hça OJ QJ
h WL hX/
OJ QJ
hš|( hX/
OJ QJ
h WL hX/
5 •OJ QJ
#]' ,. . .. M.
2 {> nD oD ¼D ®H ÒL «N
`
c Ûg ¥l ¦l Êl Øn ö
í
í
í
í
í
í
í
Ù
Ù
í
í
í
í
Æ
h
»Q
¾V
”Z
}]
ö
_
_
ö
í
í
í
í
í
í
í
í
í
„Ñ
Æ
Æ
„Ð dð
]„Ñ ^„Ð gdüs°
h gd5Qü
h gdX/
1
R1 w1 •1 ‹1 ž1 Ï1
2
2 ‡2 ™2 -2 Å2 Æ2 Ø2 Ú2 ø2
3 33
…3 Œ3 •3 «3 ÷3
4 z4 Ý4 >5 C5 E5 _5 |5 -5 õ5 46 i6
6
'7 J7 ^7 d7 f7 }7 ƒ7 ˜7 Þ7 <8 •8
9 û9 5: 6: „: 0; 7; {> }> Œ> -> Ó> õ> |? “@ É@ †A ›A ¥A
-A ØA òA
B õéõéõéõáõéõéõéõÙõéõÍõéõéõéõÍõéõéõéõéõéõÍõéõéõéõéõéÄéõÍõ
¹±õéõéõéõéõéõéõ
h Gž OJ
QJ
QJ
h5Qü 5 •OJ
QJ
aJ
hXoú 6 •OJ
QJ
h Gž
h• ´ 6 •OJ
h¸9è OJ
QJ
h5Qü OJ QJ
h WL h• ´ 6 •OJ QJ
h WL h• ´ OJ QJ F B êB üB
C "C [C jC rC ‚C ŒC mD nD oD ›D ¬D »D ¼D ¾D öG !H "H ¬
H -H ®H °H ÒL ÔL «N -N
O
O 'Q 1Q »Q ½Q ½V ¾V ÀV óèóèóèóèóèàØÈ»©—•è„xèpè•è•è•èhè`è•èà•
h×^P OJ
QJ
hî{Ð OJ
QJ
hn$¥ OJ
QJ
h WL
h• ´ 5 •OJ
QJ
hn$¥
h• ´ OJ
QJ
h5Qü OJ QJ
OJ QJ aJ
" hÜ4i h•N¡ 5 •6 •CJ OJ QJ
hÜ4i 5 •CJ OJ QJ aJ
hb
aJ
" hÜ4i
hÜ4i 5 •6 •CJ
h•N¡ 5 •CJ
OJ
QJ
aJ
h•N¡ OJ
QJ
h• ´ OJ
QJ
h WL
h• ´ OJ
QJ
h WL
h• ´ 6 •OJ
QJ
%ÀV
Y
Y
Y
`
Y
*a
ÑY \Z ”Z –Z M[ m[ •[ ™[ Ý^ ý^
_
_
_
_
`
Ja Íb íb
c
c
c Fe Pe •e ˆe ¥e «e Ûg Ýg ég
h Ah Bh ói
j
l ?l Nl ¤l ¥l õíåíõÚõÒõÚÊÚõÂõº¯ÒõÒõÊõÊõÒÊõ
£õ£õ£õÒõÊõ›õõˆ|ˆº
hö<3 hö<3 6 •OJ QJ
hö<3 OJ
QJ
h WL
h67' OJ
QJ
hhW
OJ QJ
h WL
h• ´ 6 •OJ
QJ
h WL
h5Qü OJ
QJ
h• ´ OJ
QJ
h$ ¡ OJ
QJ
hñGø OJ
QJ
h5Qü OJ
QJ
hüs°
h• ´ OJ
QJ
h;
Ï OJ
QJ
hÌLu OJ QJ
h WL h• ´ OJ QJ .¥l ¦l Êl Ìl Øn Ún Lo ^o _o
Ëo Ûo &p /p Jp Mp Xp hp up •p —
p šp 4q aq •q Òq ßq âq öq
r kr |r •r ™r ¤r §r Òr Ûr Ür
är ùr
s 8s Hs fs os Šs Žs £s ´s Ès Òs
t -t fw pw
x
x ¼y ¾y û|
Õ¯Õ§Õ¯Õ¯ÕÇÕ¯Õ¯Õ§Õ¯Õ¯Õ¯Õ§ÕàÕàÕàÕ
ý|
l•
øèàÕàÕǻկկէկէէկկէÕÇÕ¯
hñGø OJ QJ
´ 5 •6 •OJ QJ
h WL h• ´ 5 •OJ
h WL h• ´ OJ
QJ
QJ
hüs°
h• ´ 5 •OJ
QJ
hüs°
h•
h5Qü OJ
QJ
h 8Ü
hüs° 5 •CJ
OJ
QJ
aJ
hüs° OJ
‰Š ŠŠ
ö
É
„Ð
QJ
‹Š
=Øn
x ¼y û| €‡ •‡
™Š šŠ «‹ ö
ö
ö
É
É
É
É
Á
„0ý7$ 8$ H$ ^„Ð `„0ýgdIvÑ
•‡
ö
Ò‰
ñ‰
ƒŠ
ö
„Š
…Š
†Š
ê
Ö
É
Á
$ a$ gdIvÑ
‡Š
ˆŠ
ö
ö
É
°
Æ
Æ
h
h
Æ
Æ
h
h
„ ^„ gdp??
„h „˜þ dð
^„h `„˜þgd 8Ü
dð
gd 8Ü
gd5Qü
l• x•
{•
••
••
€
.€
‡
€‡
•‡
•‡
‘‡
ÿ‡
ˆ
ˆ \ˆ fˆ
‰ 2‰ T‰ q‰ щ Ò‰ ñ‰
Š GŠ ‚Š ƒŠ „Š …Š ‹Š óèÝóÝÕÝÍŵ­¥™¥Ý¥Ý¥
Ý¥ÝÍʼnznzcZQ
ht \ 5 •OJ QJ
hÌLu 5 •OJ QJ
ht \ ht \ OJ
QJ
ht \ CJ OJ QJ aJ
ht \ ht \ CJ OJ QJ aJ
ht \ ht \ 5 •CJ OJ QJ aJ
h± k h± k 6 •OJ QJ
h± k OJ
QJ
h5Qü OJ
QJ
h 8Ü
h± k 5 •CJ
OJ
QJ
aJ
h 8Ü OJ
QJ
h• ´ OJ
QJ
hñGø OJ QJ
h WL h• ´ OJ QJ
•OJ QJ
-‹Š ˜Š šŠ
‹ 8‹ `‹ ª‹ «‹ ¬‹ Þ‹ ø‹
h WL
"Œ
LŒ
h67' OJ
¨Œ
÷Œ
QJ
ùŒ
h WL
h• ´ 6
•
•
D•
G• I• `• •• ³• ´• µ• É• ä• æ• =Ž ?Ž
•• ôæÛÏÁϸۧ“§Û‡ÛÛχÁ‡Ûϸvqgq`\`Û‡Û‡Û‡ h$ ¡
@Ž
\Ž
•Ž
ÓŽ
•
h$ ¡
h$ ¡
h$ ¡
h$ ¡ 6 •\ •
h$ ¡ \ •
h$ ¡ OJ
QJ
\ •
hIvÑ OJ QJ
h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ & h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
h~6q hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
hIvÑ OJ QJ \ • h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ \ •
h~6q hIvÑ OJ QJ
\ • h~6q hIvÑ OJ QJ
h~6q hIvÑ 5 •OJ QJ ^J
hIvÑ 5 •OJ QJ
^J
$«‹ ¬‹ "Œ #Œ ùŒ úŒ ´• µ• ?Ž @Ž ¼Ž ½Ž
• !• ¤• ¥• +• ,• /‘ 0‘ Ä‘ Å‘ V’ W’ î
î
Þ
Þ
Þ
î
î
Í
Í
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
î
Þ
Þ
Þ
î
î
„Ð „0ý7$ 8$ H$ ^„Ð `„0ýgd$ ¡
$ „„ „|ü^„„ `„|üa$ gdIvÑ
„Ð „0ý
7$ 8$ H$ ^„Ð `„0ýgdIvÑ
•• ¢• ¤• ¶• û• *• +• ,• ¼• å• /‘ T‘
›‘ Ñ Ä‘ Å‘
’ 2’ 4’ 9’ U’ V’ Ù’
“
“
“ k“ r“ ä“ Y” •
” ” ó” ô” õ”
• S• •• ••
– ~– ß– à– á– P—
õíõáõíõÕÇÕõáõíõÕÇÕÇÕ¾ÕÇÕ¾õáõáõáõíõ±¡±—±¡±—
±†
h~6q hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
hIvÑ OJ QJ ^J
- h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J
h~6q hIvÑ
OJ QJ ^J
hIvÑ OJ QJ \ • h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ \ •
h~6q hIvÑ O
J QJ \ • h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ
hIvÑ OJ QJ
h~6q hIvÑ OJ
•• à– á– ¶— ·—
‹˜ Œ˜ '™ (™ Ø™ î
Ñ
Ñ
Ñ
½
½
Ñ
œ
QJ
,W’
“
“
î
€”
•”
á
½
½
Ì“
õ”
••
Ñ
½
©
ô”
½
Ñ
Ñ
„„ „|ü^„„ `„|ügdIvÑ
$ „„
„uü7$ 8$ H$ ^„‹ `„uüa$ gdIvÑ
„|ü7$ 8$ H$ ^„„ `„|üa$ gdIvÑ
$ „„ „|ü^„„ `„|üa$ gdIvÑ
$
„‹
„Ð „0ý^„Ð
´— µ— ¶—
H˜ b˜ ‹˜
›š ¥š ¦š
QJ ] •^J
hIvÑ OJ QJ
`„0ýgdIvÑ
„Ð „0ý7$ 8$ H$ ^„Ð `„0ýgdIvÑ
P— Ÿ— ³—
·—
°˜
™ &™ '™ m™ •™ •™ Ä™ ×™ Ø™ î™ #š 7š Pš •š
› 1› ìÛÍÛÍÛÀ°À¥™¥‘¥™ƒ™¥‘¥™¥wiw¥i\L
- h Kº hIvÑ 6 •OJ
h Kº hIvÑ OJ QJ ^J
h~6q hIvÑ 6 •OJ QJ h
h~6q
h
h~6q hIvÑ 6 •H* OJ QJ
hIvÑ OJ QJ
h~6q hIvÑ
6 •OJ QJ ] •^J
h~6q
h~6q hIvÑ OJ QJ
& h~6q hIvÑ 6 •OJ
Ø™ Ù™ 7š ¦š Y›
Ÿ 4Ÿ ÄŸ ò
ò
Î
¾
¾
¾
¾
¾
6 •OJ QJ
h~6q hIvÑ OJ QJ
- h~6q hIvÑ
hIvÑ OJ QJ ^J
hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
^J mH
sH
QJ ] •^J mH
sH
Z› ï› ð› ¡œ ¢œ F• G• ·• ¸• už vž 3
ò
Þ
Þ
¾
¾
ª
¾
•
¾
¾
„„ „|ü^„„ `„|ügdIvÑ
„ „|ü^„„ `„|üa$ gdIvÑ
$ H$ ^„„ `„|üa$ gdIvÑ
$
$
„‹
„‹
„uü7$ 8$ H$ ^„‹ `„uüa$ gdIvÑ
„uü^„‹ `„uüa$ gdIvÑ
$ „„
$ „
„|ü7$ 8
„„ „|ü^„„ `„|ügdIvÑ
1› X› Y› Z› h› n› ¸› Ò› ï› ð› ú› þ›
œ `œ Ÿœ ¡œ ¢œ ¬œ ­œ ®œ ²œ ³œ ´œ èœ *• +• ,• ;• @• F•
G• \• `• b• ®• ¶• ·• ¸• Ε Ô• Pž ož óéóÜéÜÌÜÁ¹Á¹­Á¹Áœˆwœiˆœˆœ
ˆœiœÁ¹Á¹­Á¹Áœiœˆ
hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
& h <+ hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
h <+ hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
hn ô hIvÑ 6 •OJ QJ
hIvÑ OJ QJ
hn ô hIvÑ OJ QJ
- h <+ hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J
h
<+ hIvÑ OJ QJ ^J
hIvÑ OJ QJ ^J
h Kº hIvÑ OJ QJ ^J )ož t
ž už ™ž ¢ž ¦ž ¨ž
Ÿ 4Ÿ FŸ JŸ LŸ “Ÿ —
Ÿ ¢Ÿ Ÿ ÅŸ /
I
p
r
s
à
¡ E¡ X¡ ¡¡ ¾¡ ¿¡ á ïëàØàØ
ÌàØàØÌàØàØ·Ÿ·Žà•q•fZfM•
hn ô hIvÑ OJ QJ ^J
hl ü hIvÑ 6 •OJ
QJ
hl ü hIvÑ OJ QJ
- h† ‚ hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J
h Kº hIvÑ O
J QJ ^J
h Kº hIvÑ OJ QJ ^J mH sH
/ h Kº hIvÑ 6 •B* OJ QJ ] •^J mH ph
sH ) h Kº hIvÑ B* O
J QJ ^J mH ph
sH
hn ô hIvÑ 6 •OJ QJ
hIvÑ OJ QJ
hn ô hIvÑ OJ QJ
sH
ÄŸ ÅŸ r
s
E¡ F¡
hIvÑ
¾¡ ¿¡
h <+ hIvÑ OJ
z¢ {¢
QJ
^J
mH
£
£
£
£
ï
Ê
£
£
£
ï
£
ï
Þ
Å
ï
Ê
Ê
Ê
´
Þ
´
£
Þ
Þ
Þ
$
„e „›þH$ ^„e `„›þa$ gdIvÑ
$ „e „›þH$ ^„e `„›þa$ gdIvÑ
gdIvÑ
$ „„ „|ü7$ 8$ H$ ^„„ `„|üa$ gdIvÑ
„Ð „0ý7$ 8$ H$ ^„Ð `„0ýgdIvÑ
$ „„ „|ü^„„ `„|üa$ gdIvÑ
á Ä¡ 7¢ Q¢ x¢ {¢ Å¢ Æ¢ ࢠÿ¢
£
£
£
£
£
£
£
£
£
£
£
£
£ öéÙéöȺ¦ÈºÈéȦ•{•faYPG
hÌLu 5 •OJ QJ
hÊAw 5 •OJ QJ
h¨a? hIvÑ 5 •
hIvÑ 5 •) h <+ hIvÑ B* OJ QJ ^J mH ph
sH # hIvÑ B* OJ QJ
^J mH ph
sH 1 hIvÑ 5 •B* CJ OJ QJ \ •^J aJ mH ph
sH & h
Kº hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J mH
sH
hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
h Kº hIvÑ OJ QJ ^J mH
sH
- h Kº hIvÑ 6 •OJ QJ ] •^J
h Kº hIvÑ OJ QJ ^J
hIvÑ
OJ QJ ^J
£
£
£
£
£
£
£
£ -£ £ !£ "£ $£ %£ '£ (£ 1£ 2£ 3£ >£ ?£ @£ A£ B£ ò
ò
ò
ò
ò
ò
ò
ð
ð
ð
ð
ð
ð
ð
ð
ä
Û
ð
ä
Û
ð
ð
ò
„h ]„h gd°a
„øÿ „
&`#$ gd°a
Æ
£
h
„ ^„ gdp??
£
£
"£ #£ %£ &£ (£ )£ /£
B£ óëçëçëçëçÝ×Ý×ÓÝ×ÝÈÝ×Óçó
hô?Ù 0J
QJ
C
j
0
P
hç=y 0J mH
hô?Ù 0J U
&P 1•h :pb
£
0£
£
1£
nH u
hË w
3£
4£
:£
;£
hô?Ù
j
hË w U
<£
=£
h WL
>£
@£
A£
hÌLu 5 •OJ
°Ð/ °à=!°
"°
#•
$•
%°
°Ð
°Ð
•Ð Dp
^
2
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
0
@
! sH! tH!
P
P
P
P
P
P
P
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
`
p
@ `ñÿ
€
€
€
€
€
€
€
@
•
•
•
•
•
•
•
À
À
À
À
À
À
8
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
X
à
à
à
à
à
à
ø
À
ð
ð
ð
ð
ð
ð
2
V
~
Ð
(
à
ð
Ø
è
_H
mH! nH
yiÒ
N o r m a l
CJ
_H
aJ
mH! sH! tH
8
8
• ´
H e a d i n g
1
$ @&
aJ
H
H
• ´
2
$
H e a d i n g
$ dh
@& a$
5 •aJ
V
V
$ ¡
3
$
H e a d i n g
¤ð ¤< @&
5 •CJ
OJ
QJ
\ •^J
aJ
>
>
• ´
H e a d i n g
5
$
$ @& a$
aJ
D A`òÿ¡ D
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
R i óÿ³ R
T a b l e
N o r m a l
l 4Ö
aö
( k ôÿÁ (
N o
ö
4Ö
L i s t
L C@
ò L
• ´
B o d y
T e x t
I n d e n t
$
dh
a$
aJ
L T
L
_Ù
B l o c k
T e x t
-
$
„Ð
„Ð 7$ 8$ ]„Ð ^„Ð a$
6 U@¢
6
_Ù
H y p e r l i n k
>* B* ph
ÿ 2 B@
" 2
)
ò
B o d y
T e x t
¤x
4
@
2 4
°a
Æ
à À!
F o o t e r
. )@¢ A .
°a
P a g e
N u m b e r
J ^
R J
”M7
N o r m a l
( W e b )
¤d
¤d [$ \$
mH
sH
> Z
b >
# Ò
P l a i n
T e x t
¤d
¤d [$ \$
4
r 4
ø$Ö
Æ
H •$
H e a d e r
> þ ¢ • >
ø$Ö
H e a d e r
C h a r
CJ
aJ
mH! sH! > >`
’ >
ç=y
T i t l e
$ a$
5 •OJ
QJ
\ •^J
J þ/¢ ¡ J
ç=y
T i t l e
PK
(¥Ø΢Iw},Ò
C h a r
- 5 CJ OJ QJ \ ^J aJ tH
! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷…þƒÐ¶Ørº
ä±-j„4
Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã
“óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô
“^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù*
D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù
$€˜
X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .—
·´aæ¿-?
ÿÿ PK
! ¥Ö§çÀ
6
_rels/.rels„•ÏjÃ0
‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ
» „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç
šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý
ÿÿ PK
! ky– ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xml
ÌM
à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K
Y,œ
ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Ձ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+&
8ý
ÿÿ PK
! –µ-â–
P
theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw
toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰–
ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ
!)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—–
¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe
bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu
¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi–
@öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà
ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä`
- ÚïgÔ
Ș³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ßã¢
dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö
ð:Á¥ ;ä˹!Í
I_ÐTµ½ S
1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó
$”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£
x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I
u3 KGñnD 1÷ N
3Vq%'#q¾ Ã ÓòŠÍ
IB Òsü€•
íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i
~™Vé
þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ
Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕
~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ–
}KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?
¢ íqU ßån†èwð N ºû
%Ž»O¯ ·ièˆ4
=3 Ú—Pª•
ÓäïÊ1£P•m
\\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì
eW÷
¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ
išd
ûDЇA½Îœ
óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú
IqbJ#xÌ꺃
6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ
¯èáü\P•1»Mh
Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJÃ­P |8¯
Ö„ AÛ V^…ó¹f
ÌH ín÷ÞÜ-Æ
é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹
€Ø©ð‘>ä•bµ ·–
&û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ
Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD
¢à •ØDìcp¿
UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd
7y\È`ÞJân•² åίŠIù
R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m
q¨BiDý¾€ÆÁÔ
ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D
ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y
›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M
 ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· Íҁ¿
ÿÿ PK
!
сŸ¶
'
theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M
Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5
6?$Qìí
®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r
'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß
ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ
6
+
_rels/.relsPK ! ky–
ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xmlPK ! –
µ-â–
P
Ñ
theme/theme/theme1.xmlPK !
сŸ¶
'
›
theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK
]
–
<?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?>
<a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main"
bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1"
accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5"
accent6="accent6" hlink="hlink" folHlink="folHlink"/>
B›
à
ÿÿÿÿ
$
$
$
'
¬
ò
ÿ
®
{
ö)
1
B
1›
d
ÀV ¥l l• ‹Š •• P—
ož á
£ B£ R
U
V
f
h
j
k
m
o
W
Y
a K
Z
[
\
^
_
`
a
c
]'
-
Øn
G
«‹
[
W’
B›
Ø™ ÄŸ
X ÿ Œ
£
B£
S
T
X
]
b
e
g
i
l
n
'
€€€ ÷
!•
! ÿ•€
ð’
ð
ð
ð
ðB
ð8
ð
ð
@ -ñ
ð0
ð(
ÿÿ
ÿ
S
ð-
¿
Ë
ÿ
?
ð
ÿÿ
«‘
«‘
«‘
«‘
¤„É
ä„É
d‚É
«‘
¤ƒÉ
«‘
¤‚É
äƒÉ
«‘
«‘
ä‚É
$„É
«‘
«‘
$ă
d„É
«‘
dă
«‘
«‘
$…É
d…É
«‘
¤…É î%
C›
î%
â=
â=
*F
*F
y•
‡•
’•
˜•
¡•
¡•
Ü”
D–
÷%
C›
÷%
ì=
ì=
.F
.F
†•
‘•
—•
Ÿ•
§•
§•
å”
M–
8
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags €City €=
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
€PlaceName €=
*€urn:schemas-microsoftcom:office:smarttags
€PlaceType €B
*€urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags
€country-region €9
*€urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags €place €
øcÉ
N
˜
ï
U
¡
-
ã
æ
V
¬
^
#
a
g
$
b
´
g
b
g
½
¬
c
q
Â
ž
t
Ã
µ
Ÿ
z
Æ
î
‰
Ï
ò
•
Ò
±
’
Ø
²
“
á
J
–
â
K
ê
œ
õ
ž
ù
î
@
Ë
X
Y
`
L
M
ÿ
A
V
Ì
W
Ñ
&
'
Ò
+
ü
,
Q
þ
S
W
Ð
Ñ
:
;
„
…
>
c
?
d
"
m
•
n
‚
Í
3
#
Ð
·
ô
¹
ú
Æ
Ç
Ê
,
‰
Ï
4
Š
J
7
ò
K
9
ó
=
;
?
?
=
®
D
¯
P
8
´
µ
{
|
@
G
H
]
_
·
¸
Æ
Ç
ò
ô
Ð
Ñ
C
E
Ž
•
Í
Ï
b- c- •‘- ¨- ª- Ô- Ö- ç- è- ý- ÿ] _ ß àÂ! Ã! ö! ø! #" $" f# h# y# {# …$ †$ ´$ ¶$
%
% 2% 3%
+& .& L& O& Ô& Õ&
'
' |' ~' Ä' Å' 2( 3( C( D( M( N(
b( c( l( n( y( z( Ž( •( ›( •( ú( ü( R) S) w) x) •) €) ‹
) Œ) ž)
) Ï) Ð)
*
* ‡* ˆ* ™* š* -* ®* Å* Ç* Ø* Ù*
+
+ Œ+ Ž+ •+ –+ «+ ¬+
,
, z, |, Ó, Ô, Ý, Þ, C- F- _`- |- ~- õ- ÷i. k.
. ¡. '/ (/ J/ L/ d/ g/ }/ ~/ ƒ/ „/ ˜/ ™/ Þ/ ß/
1
!1 û1 ü1 „2 …2 73 :3 G3 H3 {6 }6 Œ6 •6 -6 ®6 Ó6 Ô6 õ6
÷6 “8 •8 É8 Ê8 †9 ‡9 ›9 œ9 ¥9 ¦9 -9 ®9 Ø9 Ù9 ò9 ó9
:
: ü: ý:
;
; [; ]; j; k; r; s; ‚; ƒ; Œ; •; m< o< ›<
œ< £< ¤< »< ¾< ó= ô= !@ #@ ¬@ °@ óB ôB ÒD ÔD «F -F
G
G óG ôG 1I 4I »I ½I ½N ÀN
Q
Q
X
\R
GY
]R
HY
”R
êZ
–R }U •U
W
W SW TW
X
ëZ
[
[
[
[ F] G] P] Q] •] ‚] ˆ] ‰] ¥] ¦] «] ¬] S^ T^
Û_ Ý_
b
b
d
d Nd Od Sd Td ¤d ¦d Êd Ìd Øf Úf ^g _g Û
g Üg /h 1h hh ih ai bi Òi Øi
j
j |j ~j ™j •j Ûj Üj äj
çj
k
k Hk Jk ok qk ƒk „k Šk ‹k ´k ¶k Òk Ók -l !l cn
dn co eo
p
p ¼q ¾q mr nr ût ýt lw mw xw yw •w ‚w •w
•w •• •• •• ‘•
€
ƒ
€ l€ m€ Ñ• Ò• ð• ô• ‚‚ ‹‚ ˜‚ š‚
ƒ
`ƒ aƒ ªƒ ¯ƒ ¶ƒ #„ K„ L„ ¨„ ª„ ÷„ ú„ `… b… ³… µ… ¼… ¾…
Á… Â… ä… æ… =† @† ¼† ½†
‡
‡
‡ !‡ •‡ •‡ ¢‡ ¥‡ û‡ ý‡ *ˆ ,ˆ /‰ 0‰ ›‰ •‰ É ʼn 2Š 4Š 9Š
;Š UŠ WŠ ƒŠ „Š
‹
‹
‹
‹ r‹ t‹ YŒ [Œ €Œ •Œ ÂŒ ÄŒ óŒ
õŒ S• U• •• •• ߎ ·• b• e• ‚• ƒ• ‹• Œ• ®• °•
‘
‘ &‘
(‘ ‚‘ ƒ‘ •‘ •‘ ב Ù‘ •’ ’’ ¥’ ¦’ 1“ 3“ X“ Z“ n“ o“ Ò“ Ô
“ ï“ ð“ þ“
” `” b” Ÿ” G• `• b• •• ‚• ®• °• ¶• Ä• È• É•
Ì• o– t– v– •– ‚– ¦– ¨–
—
—
3— 4— J— L—
I˜ K˜ p˜ s˜
Šš •š ”š
›
“—
™
•— — Å—
™ E™ F™ ¾™
¿™
Ù
Å™
Qš
Sš
xš
š
†š
‡š
›
›
›
!›
›
"›
›
$›
-›
%›
-›
'›
› (› 0›
\
g
h
¬
³
3›
=›
@›
C›
?
A
h
H
\
µ
J
t
K
u
—
[
þ
ÿ
·
¹
Ì
Ï
Í
Ð
€
•
4
8
B
E
\ _+& .& L& O&
*
* z6 }6 m< o< »< ¾< -@ °@ ÑD ÔD ªF -F
ºI ½I ½N ÀN “R –R |U }U
W
W
X
X
[
[ Ú_ Ý_ ¤d ¦d Éd Ìd ×f Úf
p
p »q ¾q út ýt •• ••
Ž• ‘• Ñ• Ò• ð• ñ• ‚‚ ‹‚ ˜‚ š‚ ªƒ ¬ƒ ®ƒ #„ ø„ ú„ ³… µ… >
† @† »† ½† ‡ !‡ £‡ ¥‡ *ˆ ,ˆ .‰ 0‰ É ʼn UŠ WŠ
‹
‹ Ë‹ Ì‹ Œ •Œ óŒ
õŒ Ž• •• ߎ ©• «• ·• Š• Œ• &‘ (‘ ב Ù‘ 6’ 7’ ¥’ ¦’ X“
Z“ î“ ð“
” G• ¶• v– 2— 4— × Å—
q˜ s˜ D™ F™ ½™ ¿™ yš
›
› -› -› › › !› "› $› %› '› (› @› C›
3
3
3
3
&
›
›
!›
›
"›
›
$›
-›
%›
&
›
›
!›
›
"›
›
$›
-›
%›
~)A
L
› (› @› C›
L
¬
-› › '› (› @› C›
-
¬
²
³
;
³
;
=
+&
-
-›
'›
Š•øËÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
æI
²
Š•øËÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
..
=
+&
-
)œÈR¢ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
²GÜ3¸5®ºÿ
ÿ
ß l=
ÿ
ÒZ·D
¼ˆœÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
=IâS:ÖÄÖÿ ÿ
„´
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
„Lÿ Æ
Ø
„Lÿ Æ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
´ ^„´ `„Lÿo( ‡h
„
„˜þ Æ
^„
p
^„p `„Lÿ‡h
ˆH
`„˜þOJ
ˆH
.
@
ˆH
.
•
Ø
.
QJ
o( ‡h
•
¥Z!6
ý{Ï@
“=(Q
Ø
Ø
vð
ˆH
Ø
’
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„´
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þ‡h
„
ˆH
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„Lÿ Æ
Ø
„Lÿ Æ
à
°
€
P
´
„
p
.
’
Ø
^„à `„Lÿ‡h
ˆH
.
^„° `„˜þ‡h
ˆH
.
^„€ `„˜þ‡h
ˆH
.
^„P `„Lÿ‡h
ˆH
.
^„´ `„Lÿo( ‡h
ˆH
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ
^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
@
ˆH
.
Ø
•
•
’
.
QJ
o( ‡h
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
vð
ˆH
Ø
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„ì
„¼
„Œ
„Lÿ Æ
^„Œ
`„Lÿ‡h
„\
„˜þ Æ
^„\
`„˜þ‡h
„,
„ü
„Ì
„œ
„l
„
„p
„@
„˜þ Æ
^„@
`„˜þOJ
ˆH
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
à
°
€
P
ì
¼
.
^„à
^„°
^„€
^„P
^„ì
^„¼
Ø
`„Lÿ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
`„Lÿ‡h
ˆH
`„˜þo( ‡h
ˆH
`„˜þ‡h
ˆH
.
.
.
.
Ø
Ø
Ø
h
.
•
h
.
’
h
.
.
.
.
.
’
•
•
’
h
h
h
h
h
Œ
ˆH
.
•
h
\
ˆH
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
„Lÿ Æ
„˜þ Æ
„˜þ Æ
.
^„,
^„ü
^„Ì
^„œ
^„l
^„
p ^„p
,
ü
Ì
œ
l
•
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
`„˜þo( ‡h
`„˜þo( ‡h
h
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
h
h
•
@
QJ
o( ‡h
ˆH
§ð
•
h
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ
^„à `„˜þOJ
Æ
° ^„°
„˜þ Æ
€
„P „˜þ Æ
„
`„˜þOJ QJ
^„h `„˜þ
o( ‡h
ˆH
·ð
•
h
QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
h
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
^„€ `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
P ^„P `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
„˜þ Æ
^„
o( ‡h
ˆH
§ð
.
„h „˜þ Æ
„h „˜þ Æ
h ^„h `„˜þOJ
„˜þ Æ
h ^„h `„˜þ
.
Ð `„˜þ5 o( ‡h
ˆH
.
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ‡h
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ‡h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
QJ
o(
„à
h
h
h
„h „˜þ Æ
^„h `„˜þ
·ð
.
.
‚
€
à
„˜þ
„€
h
•
„Ð
€
ˆH
ˆH
„˜þ Æ
„°
„˜þ Æ
Ð
h
.
„h
^„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ‡h
ˆH
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ‡h
ˆH
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ‡h
ˆH
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ‡h
ˆH
Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þOJ QJ o( ‡h
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þOJ QJ ^J
„p „˜þ Æ
p ^„p `„˜þOJ
h
„@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
.
€
.
€
.
‚
.
ˆH
·ð
o( ‡h
ˆH
QJ o( ‡h
h
h
•
o
ˆH
„
h
•
§ð
„
h
•
„˜þ Æ
^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
à ^„à `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
Æ
° ^„° `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
„P „˜þ Æ
P ^„P `„˜þOJ QJ o( ‡h
²GÜ3
ÒZ·D
ý{Ï@
¥Z!6
ß l=
h
„à
h
•
o
ˆH
h
•
§ð
~)A
..
„˜þ Æ
„° „˜þ
„€
h
)
=IâS
æI
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿ
ª FÌ
“=(Q
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
& Æì
\• Þ& Æì
h†èÇ
9p›
•
å
”
ça
°a
b
>
'
X/
Šm
hW
ŠL
Y
V(
I
1
%r
S`
žC
b
ì,- „P- ƒ`# 67' ” ( š|( šr)
â[? »zC µfG »
1 ö<3 XA3 ÀG4 •16 ”M7 “(8 š(8 > :
v< p??
K WL
N ×^P pP
R ™mS 7xS É^V ¥VX }\X • Y û.Z t \
^ ¹7b õ[c × d `,d c/f 7Pf
-
g Ü4i ± k v l 7pl ´ s Y>s ±#u NBu ÌLu ¤ w Ë w ÊAw ç=y s
z ¬oz ²T} ?X} -o}
• _{€ ‘;‚ Ùz‚ J(† ˆ]† ¡]‹ Tn’ s˜ —
š Gž L Ÿ ¤/ $ ¡ !¡ •N¡ ¿ ¤ ®j¤ n$¥ ‡*¥ ™3§ 7G§ •\© ƒ « üs° ƒR² • ´ ‡]
µ l¶ d ¼ : ½ °Y¾ ÎIÄ wÄ kSÌ ‰?Î àbÎ ;
Ï î{Ð IvÑ # Ò yiÒ úWÓ ø$Ö ýZÖ À3Ù ô?Ù _Ù û.Ú 8Ü ± Þ (Oá •kã "ä oFå Ò|ç
Ž7è ¸9è Þoè bJí seï )
ò Â ó aJô ý:÷ ×r÷ ñGø d ù Xoú 5Qü `(þ
H
@ ÿÿ
U n k n o w n ÿÿ
ÿ
G-•
ï* àAx À
R o m a n
5-•
›
-›
ÿÿ
ÿ
ÿ* àCx À
ÿ
A r i a l
K-•
P a l a t i n o
L i n o t y p e
5.•
ÿ* á[` À)
ÿ
T a h o m a
ÿ@
B›
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿ
T i m e s
N e w
€
S y m b o l
3.•
‡
;
à
@
Ÿ
•
ÿ* àCx À
N e w
A-•
ï
M a t h
"
1 ˆ ðÐ
h
öƒ
O
! ð
€
W i n g d i n g s
?=•
ÿ
C o u r i e r
ë B
Ÿ
C a m b r i a
dhÒ¦x‚ãFgiÒ¦ "
&
öƒ
O
´ ´ •• 4
š
Íš
&
d
Í
2ƒq ð
ÿý
HP
ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•yiÒ
2
!
x
x
B
V I I
! P r o f .
D r .
U d i n
S .
W i n a t a p u t r a ,
M A
S O N Y
ðÿ
?
ä
ÿÿ
B A
4
þÿ
à…ŸòùOh «‘
´
P
\
À
ì
ø
+'³Ù0
˜
$
0
h
t
€
ˆ
•
˜
ä
-
BAB VII
$
MA
Microsoft Office
Word
@
Lï¿
@
Z¡²b•É @
öƒ
Prof. Dr. Udin S. Winataputra,
Normal SONY
èEÀ@•É @
?5´ÄÊ
7
&
þÿ
ÕÍÕœ.
“—
+,ù®D
ÕÍÕœ.
“—
+,ù®4
ð
h
œ
¼
p
¤
|
¬
„
´
Œ
”
Ñ
ä
-
O
Íš
-
BAB VII
-
Title
¸
8
@
_PID_HLINKS
ä
A
p
_ z
m a i l t o : b u d i m a n s y a h @ u p i . e d u
>
-
!
.
@
R
"
/
A
T
f
$
1
C
U
g
%
2
D
V
h
&
3
E
W
'
4
F
X
(
5
G
Y
)
6
H
Z
*
7
I
[
+
8
J
i
j
|
k
}
l
~
m
•
\
n
,
9
K
]
o
:
L
^
p
;
M
<
N
=
O
a
>
P
b
?
Q
c
_
`
þÿÿÿr
s
t
u
v
w
x
y
z
{
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
ˆ
‰
Š
‹
Œ
•
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
—
þÿÿÿ™
š
›
œ
•
ž
Ÿ
þÿÿÿ¡
¢
£
¤
¥
¦
§
þÿÿÿýÿ
ÿÿýÿÿÿ«
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
F|W´ÄÊ €
1 T a b l e
d
S
e
#
0
B
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
q
hM
W o r d D
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
Eà
S u m m a r y I n f o r m
a t i o n
(
ÿÿÿÿ
˜
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
t i o n
8
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
y
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F'
Microsoft Office Word 97-2003 Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download