representasi budaya masyarakat lokal dan politik identitas desa

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa adat sebagai lembaga tradisional otonom, komunitas budaya
tradisional, kesatuan masyarakat hukum adat, dan identitas kolektif masyarakat
Bali, mengalami banyak perubahan fisik dan transformasi sosial budaya dalam
kehidupan masyarakat di dalamnya. Realitas ini diterima dan disadari oleh
komuniti desa adat, dalam hal ini Desa Adat Kuta di Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali, yang terkalahkan dalam kontrol dan proteksi
tata ruang di wilayah ‘otonominya’. Demikian keberadaan Desa Adat Kuta
dalam ruang kulturalnya, termasuk tanah pekarangan tempat tinggal mereka
masing-masing, yang sebagian besar tertutup secara fisik oleh deretan
bangunan komersial berupa toko-toko cinderamata, barang-barang kerajinan
dan seni, produk jasa dan berbagai produk dengan cap dagang yang
mendunia.
Kekalahan ruang budaya ini tampak di sepanjang ruas-ruas jalan di
kawasan industri pariwisata Kuta yang didominasi atau tertutup oleh
bangunan-bangunan komersial dan turistik. Kondisi ini diterima sebagai
sebuah kenyataan hidup dalam bentang kawasan wisata dan merupakan
sebuah pilihan ekonomis, dengan pertimbangan segala konsekuensi sosial,
budaya dan nilai moral, sebagai dampak dan pengaruh langsung kebijakan
yang diberlakukan di kawasan ini. Hubungan desa adat dan kawasan
1
2
industri pariwisata, tampak dilematis, dengan adanya konflik ruang budaya
tersebut di atas.
Dominasi ruang komersial di kawasan wisata ini, bisa diklasifikasikan
dalam tiga
kelompok besar, yaitu
(1)
kelompok bangunan kecil-kecil
komersial berupa tempat outlet atau tempat etalase produk-produk tertentu,
toko-toko
kebutuhan wisatawan sehari-hari
yang dikenal dengan mini
market, tempat-tempat layanan jasa, seperti laundry, money changer dan lainlainnya; (2) kelompok bangunan rekreasi dan hiburan wisata seperti: spa,
karaoke, café dan rumah makan; dan (3) kelompok banguna-bangunan besar
dan luas untuk akomodasi wisata seperti penginapan, hotel-hotel melati, hotel
berbintang hingga terminal perusahaan biro perjalanan wisata (Dispar. Kab.
Badung, 2006).
Perkembangan kawasan Kuta sejak tahun 1969, tahun 1980 hingga
1990-an memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Kuta.
Masyarakat yang mau membuka usaha-usaha dagang untuk penyediaan
kebutuhan wisatawan, seperti toko-toko cinderamata, pakaian jadi, dan lainlainnya, sudah bisa meningkatkan taraf hidupnya masing-masing. Pengembangan
usaha yang lebih besar tentu meraup hasil yang lebih besar. Pada tiga dekade
tersebut, pengaruh pariwisata
sudah sangat
besar
mencetak
kelas-kelas
ekonomi menengah-atas baru di Desa Kuta. Praktik ekonomi sederhana pun
meraup hasil yang berlipat ganda sebagai pengaruh ‘memusatnya’ aktivitas
pariwisata di Kuta sebagai kawasan wisata. Pemerintah Kabupaten Badung
3
mulai melihat adanya sumber pendapatan yang signifikan dari kawasan
pariwisata Kuta.
Prinsip ekonomi tradisional atau pandangan akan nafkah hidup bagi
orang Kuta, terdorong dan berkembang cepat menjadi prinsip-prinsip komersial
dan kapitalistik. Ruang budaya diwarnai dan didominasi oleh ruang ‘gerak’
aktifitas ekonomi kawasan wisata yang established dan legitimit. Pada
kekiniannya Kuta berubah mulai dari wajah depan hingga pelosok-pelosok
terdalam ruang dan tempat tinggal penduduknya. Bangunan kori atau pintu
gerbang rumah tradisional, termasuk tlajakan bahkan tembok pekarangannya
hilang, dan difungsikan sebagai tempat-tempat komersial untuk meraih
pendapatan dari uang penyewaannya atau digunakan untuk tempat usaha
sendiri.
Laporan kependudukan terakhir Kelurahan Kuta pada Bulan Januari
2007, mencatat jumlah penduduk migran yang masuk di wilayah kelurahan
ini sebanyak 11.357 jiwa yang tersebar di dua belas lingkungan banjar.
Keberadaan mereka masing-masing; 106 jiwa dari desa-desa lainnya di
Kabupaten Badung; 991 jiwa dari kabupaten lainnya di wilayah Provinsi
Bali, dan 10.000 jiwa lebih dari luar Provinsi Bali. Penduduk musiman yang
tercatat
di
dalamnya
sebanyak
3.661
jiwa, masih
terdata
tinggal
di
lingkungan banjar. Para pendatang musiman yang belum terdata, diperkirakan
mencapai angka 1000-an, misalnya mereka yang tinggal di bedeng-bedeng di
lingkungan Banjar Jaba Jero atau arah tenggara Kelurahan Kuta, belum
termasuk mereka yang datang ‘mengadu nasib’ di Kuta, dengan tinggal
4
sementara di ruko, gudang perusahaan dan tempat-tempat yang belum
terdata. Kehadiran para pekerja dan pebisnis yang melakukan aktifitasnya di
kawasan Kuta, dan para wisatawan asing atau domestik yang tinggal
sementara, melengkapi intensitas aktifitas kawasan ini sejak pagi, siang
hingga malam harinya berlanjut keesokan harinya tanpa henti.
Citraan dan istilah tourist-resort (baca: kawasan wisata) pun digunakan
oleh para pebisnis dan perusahaan jasa wisata, sebagai penguat pencitraan
ruang komersial, turistik dan citra kemapanan sentralisasi akomodasi dan
atraksi pariwisata. Silang tanda dan pencitraan masing-masing individu
pelaku usaha, perusahaan akomodasi dan penjual jasa, mengkondisikan Kuta
sebagai satu ‘medan tanda’, yang tampak sekilas menarik perhatian dan
menghibur setiap orang yang melewati ruas-ruas jalan di kawasan ini.
Penampilan tanda komersial dan turistik ini, menyampaikan ‘salam’ dan
tawaran kepada setiap pengunjung, terutama ditujukan pada para wisatawan
untuk mencoba dan yakin dengan produk-produknya. Re-presentasi tanda
turistik tersebut menampakkan karakteristik kawasan wisata ini begitu
profan, dengan wajah depannya yang diramaikan oleh kontestasi tanda
promosi komersial-turistik dan bazar tanda pariwisata (Darmadi, 2005).
Kebijakan dalam pandangan mayarakat lokal, khususnya indigenous
people atau warga Desa Adat Kuta, tampak masih ambivalen. Terlebih lagi
dalam sebutan masyarakat awam, baik sebagai penduduk pendatang atau
warga desa adat, kebijakan tampak masih samar dan ‘jauh tinggi’ dari
jangkauan pemikiran dan pengetahuan mereka, kelompok masyarakat awam
5
menerimanya sebagai regulasi mutlak pemerintah yang disebut dengan
‘aturan dari atas’. Perubahan tataruang yang terus berjalan cepat pada
pembangunan fasilitas pariwisata oleh pemerintah, swasta hingga perubahan
tataruang pekarangan rumah, diterima sebagai sebuah pilihan atau langkah
ekonomis dan kenyataan hidup di kawasan wisata.
Berbagai dampak implementasi kebijakan di kawasan ini, diterima
sebagai kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebagai konsekuensi ‘kebijakan
kawasan’ bagi desa adat dan masyarakat lokal kawasan secara umum.
Konfirmasi kewenangan atau otoritas dari Dinas Pariwisata Kabupaten
Badung yang berlokasi di tengah-tengah lingkungan Desa Adat Kuta, masih
menyiratkan adanya ambivalensi. Di mana adanya sistem serta mekanisme
pengawasan, kontrol
dan
otoritas
pengeluaran
perizinan
hanya
sebatas
perizinan untuk usaha rekreasi dan hiburan wisata, penginapan hingga hotel
melati. Keberadaan toko atau kios-kios di seluruh kawasan wisata Kuta,
ditangani
dan
menjadi
wewenang
dinas-dinas
dan
otoritas
lain
di
pemerintahan Kabupaten Badung dan selebihnya untuk perizinan hotel
berbintang tiga ke atas, merupakan otoritas dinas pariwisata provinsi.
Pariwisata budaya
sebagai sektor handalan daerah Bali, sebagai
leading sector di bidang ekonomi, memiliki ‘lintasan orbit’ yang luas
(Darmadi, 2005), melewati dan melampaui sektor-sektor ekonomi lainnya
hingga
bidang-bidang kehidupan
lain.
Merupakan
peluang besar
pengusaha
kecil dan menengah dalam berusaha, bila
pengaruh
tidak
langsung
multiplying-effect
atau
efek
bagi
bisa menangkap
pelipatgandaan
6
pendapatan bagi sumberdaya dan potensi yang digunakan sebagai komoditas
dan pendukung usaha atau industri jasa yang berhubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan pariwisata, yang sangat berpengaruh besar
pada
peningkatan
pendapatan
dan
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat
kawasan. Erawan (1996: 10-16) menemukan efek pelipatganda ini berpengaruh
besar pada industri kecil dan menengah, terlebih lagi bagi para pengrajin
dan pelaku-pelaku usaha jasa dan akomodasi lokal dalam siklus perputaran
uang di kawasan wisata.
Kini, melewati tiga dekade hubungan dan interaksi masyarakat lokal
dengan
aktifitas
pariwisata, segala
keuntungan
dan
kerugiannya
sudah
dipertimbangkan oleh masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kuta. Interaksi
pariwisata dengan tradisi, seni dan budaya, sebagai sektor multidimensional,
dirasakan
pengaruhnya
yang
sangat
besar
bagi
masyarakat.
Sehingga
pariwisata ditolerir atau ‘diiakan’ sebagai legitimasi pemanfaatan sumberdaya
hingga komodifikasi eksotika alam, budaya dan kesenian, yang tidak disadari
menjadi domain baru
budaya turistik dalam kehidupannya.
pariwisata
dibuat
pun
mesti
sebagai
realisasi
agenda
atau
Kebijakan
program
perencanaan dan kontrol pembangunan ekonomi oleh pemerintah daerah
kabupaten. Secara sosiologis, dalam konteks politik dan birokrasi, posisi
masyarakat lokal hingga masyarakat ‘perantau’ atau the others, tampak
intriguing atau semakin menarik perhatian untuk ditelusuri keberadaannya.
Peningkatan
infrastruktur
pariwisata
bersamaan
dengan
realisasi
pembangunan fisik daerah dan nasional, mengkondisikan masyarakat Kuta
7
‘ada’ dan ‘mengada’ dalam pariwisata di atas space and place atau ruang
dan tempat komunitas pendukung budaya setempat atau indigenous people,
yaitu ruang desa adat. Pada masa awalnya, jalan-jalan penepi siring Kuta
atau perkampungan pesisir Kuta, merupakan jalan atau akses tempat-tempat
suci dan fasilitas kegiatan adat, yang harus menerima fungsi baru sebagai
akses atau infrastruktur kawasan industri pariwisata. Perbaikan wajah dan
fisik Desa Adat Kuta menjadi penanda perubahan cepat yang kurang dari
hitungan
dekade
atau
sewindu,
kemudian
perubahan
mendasar
pun
mempengaruhi tataruang perumahan, banjar atau lingkungan dan desa adat.
Realitas perubahan dan konflik ruang yang diterima sebagai keniscayaan
era global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan
pandangan atas relevansi dan berlakunya nilai-nilai lokal atau indigenous
values. Seperti halnya pengakuan Bendesa Adat Kuta dan warga Desa Adat
Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah
terbuka’(sebutan ruang terbuka). Satu ungkapan yang mengandung kesadaran,
kekhawatiran dan resistensi atas konsekwensi keberadaan lingkungannya sebagai
kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan tersedianya banyak akses
jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang begitu dekat, memungkinkan
siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada jam dan tempat yang
mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan selalu menyapa dan
menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan
pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di
8
daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian mengibarkan ‘bendera desa
adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Hal ini
dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan
rezim
penguasa
negara
dalam
waktu
yang
cukup
lama, kemudian
terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang dipelajari sejak lama.
Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan kekuatan
politik desa adat. (Pitana et al, 2000).
Kesiagaan, koordinasi
dan
komunikasi
antardesa
adat, ternyata
kemudian mendapatkan insiden ‘ledakan bom teroris’ pada tanggal 12
Oktober 2002 di depan sebuah café-bar di perbatasan Desa Adat Kuta
dengan desa adat Legian. Musibah yang tidak pernah terbayangkan oleh
masyarakat Kuta bahkan oleh masyarakat Bali, mematri suasana traumatik
yang lama dan akhirnya harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Aksi
teroris bom yang lebih kecil terjadi lagi di sudut Kuta lainnya, tetapi
menambah parah trauma pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal di
lingkungan Desa Adat Kuta, ditambah satu terror bom di lingkungan desa
adat Jimbaran, sekitar 5km arah selatan Kawasan Wisata Kuta, kembali
merobek citra keamanan pariwisata Bali. Kenyataan pahit ini harus diterima
sebagai bentuk ancaman yang bisa terjadi kapan pun di lingkungan desa
adatnya, sebagai konsekuensi kehidupan masyarakat kawasan wisata ke masa
depan. Ancaman ini juga menghantui desa-desa adat yang ada di sekitar
bentang kawasan Kuta
9
Keberadaan monumen tragedi terror bom Kuta tahun 2000, yang
lebih dikenal dengan ground zero, menjadi penanda terbukanya sebuah
kawasan yang harus ditangani bersama semua komponen masyarakat dan
pemerintah. Ingatan traumatik zero ground sebagai penanda ‘zero tourism’
yaitu kekhawatiran akan berakhirnya sebuah kawasan turistik dengan citraancitraannya. Sekarang semuanya diterima sebagai sebuah kenyataan oleh seluruh
komponen sektor pariwisata Bali, dengan dampak sosial-ekonomi yang
berkepanjangan terhadap perekonomian rakyat
dan
pendapatan pemerintah
daerah Kabupaten Badung dan kabupaten lainnya yang mengusahakan obyek
dan daya tarik wisata sesuai potensi daerahnya masing-masing. Dua kali
ledakan dahsyat bom di kawasan wisata Kuta dan Pantai Jimbaran tersebut,
terasa seperti ‘luka yang berangsur sembuh tertoreh kembali’. Dalam situasi
traumatik ini, ada
tiga
reaksi utama (Couteau, 2003)
yang menandai
peristiwa tersebut, yaitu gelombang solidaritas, kecendrungan ke arah ritual
dan ketegangan stabilitas yang mendorong politisasi lembaga adat untuk
memperketat kontrol terhadap arus masuk penduduk pendatang, dan termasuk
penertiban identitas penduduk pendatang asal daerah luar Bali.
Nilai atau kearifan lokal atas ruang dan waktu atau space and time,
berupa konsep dan nilai desa, kala, patra sebagai lokal values yang berlaku
pada ruang dan waktu ‘ada’ dan ‘mengada’ manusia Kuta dengan tradisi
atau adat-istiadatnya, sekarang harus menerima, menyetujui dan melepaskan
ruang-ruang yang ada untuk tempat komersial dan turistik. Di balik itu,
dalam representasi religio-magis mereka, atau ruang niskala yang invisible,
10
Desa Adat Kuta dikelilingi oleh situs-situs magis tempat kekuatan-kekuatan
magis yang dipercaya sebagai pancaran manifestasi Tuhan Yang Maha
Kuasa. Religiusitas dan magisme tradisional ini, masih berpengaruh kuat
dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Adat Kuta, ditengah perubahan
sosial yang begitu cepat, internasionalisasi kawasan wisata dan globalisasi.
Melalui proses internasionalisasi ini, posisi desa adat dalam kawasan
wisata, sebagai masyarakat penerima wisatawan, yaitu sebagai ‘tourism society
dan host community’ (Pitana, 2000), masih menjadi pokok permasalahan,
ketika muncul resistensi masyarakat lokal sebagai indikator ambivalensi dan
rasa ketidakadilan yang menuntut kompensasi atas pemanfaatan segala
potensi keindahan alam dan tradisi secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara itu, wacana pariwisata Bali dalam promosi pariwisata budaya
menutup representasi budaya masyarakat kawasan Kuta, yaitu Kuta sebagai
kawasan turistik yang global bukan sebagai kawasan wisata yang kultural.
Berhentinya pentas-pentas kesenian tradisional di Kuta pada tahun 1980-an
yang disusul dengan bertambahnya tempat hiburan diskotik dan karaoke,
menarik perhatian dalam investigasi ini, untuk dicari sebab-musababnya. Representasi
tataruang
turistik
dan
komersial
Kawasan
Wisata
Kuta,
mengesankan ‘Kuta bukan Kuta yang dulu lagi’ tapi Kuta yang ‘kalahmenyerah’ terhegemoni dalam belengu kawasan turistik, global dan profan.
Retrospeksi kolektif pasca konflik kawasan, (Pitana, et al, 2000: 108110) bahkan kondisi pascadua kali teror ledakan bom, senantiasa mendorong
sikap resisten dan mawas diri. Pembentukan identitas kultural dengan
11
berbagai akar nilai dan tradisi hingga aspek geneologis menguat menjadi
politik identitas. Hal ini memberi pengaruh progresif pada tindakan pengawasan
dan penertiban penduduk pendatang dan kelompok penghuni ‘bedeng’ yang
sering menghindar dari petugas kelurahan dan desa adat untuk didaftar
status domisilinya. Penguatan elemen-elemen desa adat, upaya pelestarian
bangunan dan perangkat ritual hingga atrubut-atribut adat dan religius secara
cultural, untuk menjawab representasi profan-turistik kawasan Kuta selama
ini.
Ungkapan ‘daerah terbuka’ terhadap situasi dan kondisi desa adat
mereka, sangat bermakna mendasar dalam konteks ruang dan waktu mereka
sebagai masyarakat terbuka. Realitas sosial ini merupakan kehidupan kawasan
wisata yang turistik, penuh dengan berbagai aktifitas pelayanan akomodasi,
hiburan dan penjualan produk-produk pariwisata sepanjang hari di tempattempat yang ditata untuk tampil turistik sedemikian rupa sejak pagi hingga
matahari terbit keesokan harinya. Dominasi tempat komersial dalam ruang
desa adat ini, menandakan ambivalensi dalam realitas sosial di mana terjadi
hegemoni kawasan yang tidak disadari oleh warga Desa Adat Kuta.
Pariwisata disadari membawa ancaman keamanan terhadap desa adat, dengan
terjadinya aksi terorisme bom pertama dan kedua yang masih dinilai
sebagai sebuah ironi besar, dan harus ditanggung dan dirasakan oleh warga
desa adat yang turun-temurun hidup di desa ini.
Poskolonialitas sebagai suatu kondisi dan realitas sosial, berpangkal
pada adanya ambivalensi atau kegamangan dalam unconsciousness atau
12
ketidaksadaran masyarakat akan fenomena sosial di lingkungannya. Nalar
pikiran awam atau common sense mengiyakan segala bentuk dominasi,
dengan tidak melihat atau merasakan hegemoni atas kehidupan mereka.
Sehingga identitas ‘keBalian’ mereka secara kolektif dan perorangan sudah
terinjak di desa kelahiran sendiri, yang sesungguhnya memiliki akar kuat
pada kultur dan nilai yang sudah melembaga dalam bentuk desa adat,
dengan tradisi yang menyatu dengan budaya hidup sehari-hari, norma, nilai
dan pandangan hidup yang tersirat dan terukir dalam simbol budaya atau
atribut adat yang bahkan bernuansa magis dan spiritual.
Poskolonialitas dalam Kawasan Industri Pariwisata Kuta, menyatukan
kerangka studi dalam realitas sosial dinamika desa adat dan perkembangan
kawasan wisata, dengan penanda-penanda ‘poskolonialitas’, menarik semua
perhatian pada titik temu polemik nilai, konflik ruang, resistensi lembaga dan
representasi budaya masyarakat lokal, antara tradisional dan modern, spiritual
dan material, sakral dan
pascamodern.
Penanda
profan, bahkan modern dan konteporer
polemik
atau
‘dan’ (baca: frase penghubung) antara
poskolonialitas pariwisata dan politik identitas desa adat, menjadi titik temu
antagonik skenario pariwisata dengan skenario formasi penguatan identitas
kultural desa adat. Investigasi ‘representasi budaya’ pada domain tersembunyi
di dalam realitas, menyatukan arah paradigma cultural studies penelitian
yang emansipatif dan politis dalam pembelaan identitas lokal, budaya dan
pandangan ke-Indonesia-an, atau masyarakat dunia ketiga yang disebut ekskoloni barat atau the others dalam kaca mata barat.
13
Kajian kritis-emansipatif dengan metode kajian budaya atau cultural
studies, terlebih lagi dalam menyikapi local people dari perspektif pariwisata
dalam konteks Bali, akan menemukan masyarakat lokal yang kultural,
multikultural dan global. Posisi dan peran desa adat dalam hal ini, sangat
urgen untuk diperjuangkan dalam kerangka politik cultural studies dan studi
poskolonial
dengan
konsep-konsep
grounded
dan
paradigma
kekajian
budayaan yang emansipatif.
1.2 Rumusan Masalah
Searah dengan latar belakang penelitian, konsekuensi keberlajutan
industri pariwisata di Bali dengan pengembangan tipe pariwisata budaya
secara resmi, dudukung oleh kebijakan dan peraturan pemerintah, akan
disoroti dari keberadaan dan peran masyarakat lokal, serta kebertahanan desa
adat di kawasan industri pariwisata yang secara fisik berkembang paling
pesat di Bali, yaitu Kawasan Pariwisata Kuta. yang berinteraksi dengan Desa
Adat Kuta dan desa adat lainnya. Adapun masalah yang diangkat mencakup
pertanyaan-pertanyaan berikut.
(1) Bagaimana bentuk representasi budaya masyarakat lokal dan
politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan
pariwisata?
(2) Bagaimana proses representasi budaya masyarakat
lokal dan
politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan
pariwisata?
14
(3) Bagaimana makna representasi budaya masyarakat lokal dan
politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan
pariwisata?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus
sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan
menginterpretasi
penelitian
secara
ini
secara
mendalam
umum
atau
depth
untuk
mengetahui
interpretation
dan
terhadap
kehidupan masyarakat lokal dalam poskolonialitas kawasan pariwisata Kuta.
Masyarakat lokal terdiri atas seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah
Kelurahan
Kuta, warga
Desa
Adat
Kuta
termasuk
semua
penduduk
pendatang yang belum terdaftar di kantor kelurahan dan desa adat, hingga
‘pengadu nasib’ yang tinggal tidak menetap atau the others dalam wajah
masyarakat multikultural di kawasan wisata Kuta. Poskolonialitas dalam
konteks ini, merupakan suatu realitas kehidupan masyarakat di kawasan
wisata, yang didominasi oleh ruang, tempat dan citra kehidupan turistik,
komersial dan global.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini untuk investigasi dan pemahaman
permasalahan berikut ini.
15
(1) Untuk mengetahui representasi budaya masyarakat lokal dan politik
identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata.
(2) Untuk
memahami
proses
berlangsungnya
representasi budaya
masyarakat lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam
poskolonialitas kawasan pariwisata.
(3) Untuk menginterpretasi makna
representasi
budaya
masyarakat
lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas
kawasan pariwisata.
1. 4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat penelitian secara teoretis adalah untuk menambah khasanah
pengetahuan yang berkaitan dengan interpretasi kritis terhadap poskolonialitas
sebagai konsep-teori dan realitas dalam representasi budaya kawasan industri
pariwisata, yang diwarnai oleh dominasi dan hegemoni kawasan wisata,
kekalahan ruang budaya tradisional dan ‘terinjaknya’ identitas budaya lokal.
Semuanya itu mendorong menguatnya politik identitas masyarakat lokal.
Penelitian ini menambah studi dan aplikasi metode kajian budaya atau
cultural
studies
terhadap
kehidupan
transformasional
global
kawasan
pariwisata yang memiliki kaitan erat dengan studi pembangunan, kajian
kebijakan (publik) pembangunan, kajian pariwisata dan disiplin ilmu lainnya,
dalam fenomena transisional, perubahan sosial, transformasi kebudayaan, dan
pergeseran konsep ruang dan waktu. Penelitian ini juga menjadi bahan acuan
16
dan masukan dalam
melengkapi kepustakaan kajian budaya, kontribusi
konsepsi dan konstruk teori kajian budaya yang eklektis, multiparadigma dan
emansipatoris, terhadap disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini,
sekaligus aktualisasi paradigma cultural studies sebagai politik emansipatif
intelektual.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
untuk
memberikan
masukan bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan (dari input hingga
outcome)
pengembangan
pariwisata, khususnya
pembangunan
kawasan
pariwisata. Pencerahan atau insight bagi stakeholder dalam mempertimbangkan
masyarakat lokal dengan wajah multikultural Indonesia, terlebih lagi dengan
keberadaan desa adat yang memiliki lembaga tradisional, memiliki nilai dan
pandangan hidup yang menyatu dengan identitas budaya mereka. Bagi
masyarakat lokal kawasan pariwisata, penelitian ini memberikan wawasan
dan pemahaman tentang posisi dan peran mereka dalam proses kebijakan
publik pembangunan dan regulasi kawasan wisata.
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Hubungan antara masyarakat lokal dan kawasan pariwisata, diposisikan
secara normatif dengan interaksi budaya
antara
‘host
and
guest’
atau
hubungan antara pelayan dan tamu atau wisatawan. Nash (Smith, 1989: 2330), melihat hubungan antara budaya masyarakat lokal dengan budaya
wisatawan yang terkait dengan bertemunya ritual tradisional dengan ritual
tourism atau pariwisata yang bersifat modern dan internasional. Nash (idem,
38-51) menyebut pariwisata sebagai bentuk imperialisme baru pada zaman
ini, sebagai bagian dari pergerakan imperium-imperium ekonomi dunia, yang
disebut global empire atau Capra (2004: 145-148) menyebutnya dengan
kapitalisme global.
Cohen dalam Sociology of Tourism (Apostolopoulos, ed., 1996: 51-74)
mencantumkan pendekatan Neo-kolonialisme sebagai pendekatan terakhir dari
delapan
pendekatan
sosiologisnya
terhadap
pariwisata, yaitu;
pariwisata
sebagai commercialized hospitality, pariwisata sebagai democratized travel,
pariwisata sebagai aktifitas modern leisure, dan empat pendekatan lainnya
dalam konteks hubungan etnis, budaya
dan proses akulturatif melalui
pariwisata. Semuanya digunakan untuk mengkaji the intriguing phenomenon
of tourism atau fenomena tourisme yang semakin menarik perhatian untuk
17
18
diteliti. Searah dengan perpektif poskolonial tentang pariwisata, yang melihat
adanya koloni-koloni industri pariwisata di berbagai kawasan destinasi dan
obyek daya tarik wisata, bahkan tidak jarang menggunakan tempat-tempat
dan bangunan kolonial sebagai tempat rekreasi dan daya tarik pariwisata.
Melihat budaya dan tipe wisatawan, The Tourist (1978) karya
monumental Dean MacCanell senantiasa menjadi acuan sekaligus juga mejadi
acuan dalam membahas tentang leisure atau liburan yang merupakan kebutuhan
sekaligus trend kehidupan baru yang berkembang ke arah kapital, di mana
liburan dikemas dalam paket-paket siap bayar. Leisure kemudian menjadi
penanda kelas baru, lengkap dengan segala perlengkapan paketnya, visitcourtesy hingga ritual wisata yang berkembang alami dengan tanda atau
cirikhas gaya pada pakaian, dandanan dan hari-hari atau bulan musimannya.
Signifikasi leisure dalam kelas kemudian merebak melalui komodifikasi dan
periklanan wisata, yang betul-betul menempatkannya sebagai label kelas baru,
hingga penyebutan leisure class. Kebiasaan, gaya dan gerak-gerik mereka di
destinasi wisata pun dipelajari, sebagai bagian dari masyarakat kawasan
wisata atau tourist resort dalam sebuah negara. Masyarakat lokal di satu
kawasan, sebut saja Kuta, tentu sangat dipengaruhi oleh kehadiran wisatawan
mancanegara di lingkungan tempat tinggal mereka setiap hari.
Terkait representasi budaya dalam wacana pariwisata, MacCannell
(1978: 78-83) menangkap adanya representasi budaya lokal atau daerah di
mana sebuah kawasan pariwisata dikembangkan, dan berkembang menjadi
elemen justifikasi dalam istilah harmony and subject matter representasi
19
berbagai asosiasi warisan atau peninggalan seni-budaya, keindahan alam dan
potensi kesenian, tradisi dan budaya yang masih hidup. Representasi dalam
konteks operasional-mekanis ini, disebut dengan istilah ‘re-presentation’.
Proses re-presentasi diawali dari fungsi dan tipe museum, yaitu collections
and re-presentations atau koleksi-koleksi dan re-presentasi, yaitu penyajian
yang intensif dan berulang-ulang. Re-presentasi ini berkembang sebagai
teknik penyajian dan pemajangan produk atau arrangement of objects dalam
rekonstruksi situasi secara total, di mana bisa ditemukan boneka-beneka
pajangan pakaian, perhiasan hingga boneka-boneka binatang yang dipajang
untuk re-presentasi habitat alami binatang seperti hutan artifisial.
Semangat zaman atau zeitgeist yang sangat berpengaruh dalam
membangun cultural studies sangat terasa dalam membaca keberadaan objek
dan fenomena-fenomena yang berkembang, pada objek ‘mengada’ dengan
pengada-pengadanya. Sehingga dalam kondisi masyarakat Indonesia yang
sedang dalam masa transisional, khususnya masyarakat Bali, apa yang disebut
sebagai fase cultural studies modern dan posmodern oleh Piliang, masih
ditemui semuanya dalam satu realitas budaya yang berkembang dengan arah
pergerakan makna yang saling silang. Konsep dan teori cultural studies
baik dalam Barker (2000: 340-370) dan Lewis (2002: 334-376) memandu
pembacaan gejala-gejala ambiguitas dan ambivalensi, yang dimaknai secara
lebih radikal dan politis dalam studi poskolonial. Konsep-konsep kunci
seperti; dominasi, marginalisasi, subaltern, hegemoni dan lain sebagainya, akan
mengelaborasi kajian secara kompleks dan eklektik. Piliang (2005: 1–2)
20
menyebut cultural studies atau kajian budaya sebagai ide yang terus
berkembang
atau
becoming
atau
menjadi, dipetakan
dalam
dua
fase
pemikiran, yaitu modernisme dan posmodernisme.
Pada fase ‘cultural studies modern’ isyu sentral yang diangkat tentang
budaya popular, budaya massa, industrialisasi, kebudayaan dan industri, media
massa, komodifikasi, struktur budaya, kode budaya, ideologi, subjek, hegemoni,
struktur kelas, demokrasi dan kelas, resistensi, subversi dan perlawanan. Pada
fase ‘cultural studies posmodernisme’, isyu-isyu bergeser menjadi subject
matter gerakan posmodernisme sendiri: yaitu isyu-isyu genesis, perubahan,
produktifitas tanda, permainan bebas tanda, permainan
relativitas
pengetahuan,
mesin
hasrat
(desiring
bebas
machine),
interpretasi,
ketaksadaran
(unconsciousness), ekonomi libido, heterogenitas, skizofrenia, nomadisme,
simulasi, hiperrealitas, relasi pengetahuan dan kekuasaan (geneologi), discourse,
pengetahuan lokal dan etnisitas (Piliang, 2005).
Wayne Parson menyatakan, kebijakan pun sebagai penentu mekanis
terhadap hajat hidup orang per orang yang kemudian disebut publik atau
masyarakat. Terkait kebijakan di kawasan wisata, tentunya harus melibatkan
dan memposisikan masyarakat sebagai subjek pembuat kebijakan, melengkapi
konsep kebijakan publik yang harus lahir dari kesepakatan dan konsensus
antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat (Wayne Parson, 2004: 133) tiga
elemen penentu jalannya pembangunan ini merupakan tiga pilar (Perlas,
2000: 266) yang harus mendapatkan perhatian dan pertimbangan dalam
21
pembangunan sektor dan bidang apapun yang menyentuh hak, ruang dan
tempat hidup masyarakat.
Berangkat dari representasi budaya daerah dan re-presentasi kawasan
atau
destinasi
wisata, segala
yang
ada
di
dalamnya, dengan
mudah
dikomoditisasi secara berulang-ulang. Bahkan dengan perspektif global, tidak
mustahil
lagi
bila
Bali
pun
dikomodifikasi
atau
dalam
perpektif
commmodification of destination yang terjadi karena adanya mass production
of certain commodities (Burns, 1995: 105-106). Bila demikian halnya,
kemudian, Bali sudah merupakan sebuah komoditas, dengan nilai image atau
citra Bali; dengan image of Kuta, image of Ubud, image of Tanah Lot,
image of Besakih dan hasil citraan lain di dalamnya. Semua citraan tersebut
dikuatkan dengan alih-alih ‘mitos’ Bali dengan berbagai julukan dalam
tulisan-tulisan
barat
yang
merepresentasikan
keindahan, kedamaian
dan
keunikan seni-budayanya pada sekitar tahun 1920-an hingga 1950-an, seperti
tulisan Mrs. Menc atau Ni Ktut Tantri yang lama tinggal di Kuta hingga
membangun hotel, dalam bukunya Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa
Damai (1964).
Temuan-temuan tentang fenomena pariwisata dari sumber-sumber di
atas, menguatkan
konstruk
teori
posstruktural
penulis
dalam
membaca
fenomena medan tanda budaya massa, silang kontestasi tanda komersial
hingga bazaar tanda dalam pariwisata budaya. Bersamaan dengan fungsi dan
kekuatan mitos yang disebutkan oleh Barthes (2007, 295-297) bahwa mitos
merupakan suatu sistem komunikasi, suatu pesan (mode pertandaan) atau
22
mode of signification. Mitos tidak sama dengan objek atau konsep atau
gagasan. Bisa dihubungkan dalam kontestasi tanda ini, mitos merupakan
mode atau cara penyampaian pesan yang kemudian menyatu dengan
simulasi atau pencitraan. Teori Posstruktural (Piliang, 2005) memberikan
kontribusi metode dan teknik diskursif dalam dekonstruksi yang berperan
menyudahi penelusuran-analitis di atas dengan menyasar langsung pada titik
kekuatan dan kelemahan permainan tanda dan bahasa tersebut.
Ardika (Darma Putra, 2004: 20-31) melihat fenomena pengaruh budaya
turistik ini sebagai sebuah konsekuensi pengembangan pariwisata, yang tentu
dapat dikendalikan dengan regulasi pemerintah, strategi budaya, pemahaman
dan apresiasi budaya seluruh komponen masyarakat Bali. Terkait otonomi
daerah dalam pemerintahan dan pemanfaatan sumberdaya daerah, kebijakan
pemerintah daerah Bali sangat menentukan perjalanan pariwisata ke depan.
Searah dengan potensi budaya
yang
dimiliki oleh daerah Bali dan
kecendrungan pariwisata global yang mempengaruhi kebijakan pemerintah,
nilai sumberdaya manusia, proteksi budaya dan hak cipta hingga konsensus
nasional pun patut diadakan untuk memberlakukan peraturan lokal, nasional,
dan internasional tentang kebudayaan dalam konteks pariwisata. Kegiatan
wisata
seks, kasino
dan
aktifitas
sejenis
yang
tidak
sesuai
dengan
Kebudayaan Bali harus bisa ditekan atau ditertibkan.
Arah politik intelektual poskolonial hingga dekolonisasi metodologi
(Smith, 2006: 88-96) menuju pembebasan representasi diri yang selama ini
diposisikan sebagai objek orientalisme barat. Kritik metodologi barat selalu
23
merujuk signifikansi dan relevansi teori poskolonial dalam kajian budaya
yang senantiasa sarat dengan misi dan isyu-isyu politik intelektual yang
emansipatoris. Poskolonial merupakan ujung tombak dekolonisasi metodologi
logosentris barat yang juga signifikan dalam cultural studies untuk menolak
logosentrisme, oposisi biner
kekuasaan
yang
hegemoni
dan
dan
memenjarakan
dominasi.
koloni-koloni makna, pengetahuan dan
manusia
Poskolonialitas
dalam
akan
sel-sel
oposisi
menyambung
binari,
fenomena
imperialisme dan neo kolonialisme sebagai subjectmatter dan sasaran politik
identitas sebagai konsep, teori dan perjuangan dalam cultural studies.
Indigenisasi metodologis yang sedang hangat-hangatnya diwacanakan menjadi
agenda
permanen
intelektual-poskolonial
untuk
melawan
praktik-praktik
positivisme logis, menisbikan representasi ‘barat dan timur’ yang relevan dan
searah dengan aktualisasi cultural studies sebagai gerakan emansipatorispolitis intelektual, pembelaan terhadap subaltern dan the others.
Studi Poskolonial menguatkan metode cultural studies sebagai politik
intelektual, mengarahkan pada pengembangan kerangka dan peta pikir yang
lebih luas dan mendasar. Arah dan perkembangan studi poskolonial di
Indonesia, menurut Melani Budianta, seperti dipetik oleh Susanto (2003: 270)
dalam buku “ Politik dan Poskolonialitas di Indonesia”, melihat adanya
idealisasi wacana poskolonialisme dalam studi komunitas-komunitas lokal
atau indigenous community di tanah air, ketika menemukan berbagai budaya
dan identitas mereka memiliki lembaga, bahasa, nilai, tradisi atau adat dalam
praktis
kehidupan sehari-hari.
Penggambaran
realitas
sosial pada satu
24
komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan
catatan historis atas segala proses dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan
‘menjadi’ (praktik) poskolonial. Adapun lapangan sasaran studi poskolonial,
menukik pada proses dominasi, ambivalensi, ambiguitas, keterpinggiran atau
marginalisasi hingga hegemoni, menemukan fenomena yang searah pada
fenomena kehidupan desa adat bentang ‘zoning’ kawasan pariwisata, dalam
hal ini desa adat.
Hall, C. Michael & Hazel Tucker dalam Tourism and Post Colonialism
(2004: 1-5), berasumsi bahwa poskolonial lahir untuk menandai tantangan,
yang awalnya berupa tantangan sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary
challenges to the hegemonic power of the centre, yang tentu saja bukan
merupakan fenomena baru pada saat ini. Konsep poskolonialisme pada
tahun 1990-an banyak menyebarkan teorisasi budaya, yang kemudian semakin
meningkat mempengaruhi para intelektual yang berkecimpung pada lapangan
studi pariwisata. di negara-negara berkembang, untuk memperhatikan identitas
dan representasi, konstruk teori terhadap lingkungan, sangat kuat mengarahkan
referensi pada diskursus poskolonial.
Adapun tujuan dan sasaran Hall dan Tucker dalam buku itu, untuk
menguji beberapa jenis alat analisis dalam studi poskolonial yang bisa
memberikan distribusi metode dan kritik pada studi pariwisata. Hall dan
Tucker (2004:1-5) menyatakan bahwa masalah bahasa dalam pendeskripsian
fenomena
dan
masalah, menunda
berbagai
pencatatan
hingga
studi
poskolonial tampak “tidak mungkin” untuk diterangkan dalam membedah
25
fenomena tourisme atau pariwisata. Hall dan Tucker dalam buku ini,
menguji beberapa jenis alat analsis dalam studi poskolonial yang bisa
memberikan distribusi pada studi pariwisata. Selain untuk mencari temuan
bahwa pemikiran poskolonial itu relevan dengan studi pariwisata, tetapi
juga menguji bagaimana turisme itu sendiri bisa memberikan penerangan
perpektif dalam poskolonialisme. (Loomba 1998; Young 2001; Goldberg &
Quayson 2002, dalam Hall & Tucker, 2004)
Studi tentang Kuta dalam kaitan dengan pariwisata, sudah dilakukan
Mudana (2000) terhadap usaha pengembangan BPW di kawasan Kuta.
Semadi (2010) mengangkat warisan dan tradisisi budaya sebagai modal budaya
masyarakat kawasan. Wesna Astara (2010) mengangkat aspek-aspek dinamika
sosial politik Desa Adat Kuta dalam kawasan industri pariwisata global
2.2 Konsep
Sesuai dengan hubungan antar fenomena yang berkembang di Kuta,
baik dalam konteks desa adat maupun dalam konteks kawasan pariwasata
dengan realitas sosial yang terjadi, digunakan konsep masyarakat lokal, desa
adat, kawasan industri pariwisata, dari multiparadigma ke multiteori atau
eklektisisme; ranah budaya, bahasa dan ideologi dengan tekanan perspektif
bentuk, fungsi dan makna, mencairkan wujud dan elemen budaya yang
selama ini bersifat kanonikal, given atau finished, dengan menggunakan
konsep-konsep hegemoni, dominasi, komodifikasi, kapital, kesadaran simulasi
hingga subaltern dan the others.
26
2.2.1 Representasi Budaya
Kehidupan di kawasan pariwisata menarik perhatian pada representasi
kawasan (MacCannell,1978:78-83) sebagai bentang ruang pengembangan
industri jasa pada level ekonomi tersier yang dewasa ini berkembang secara
internasional dan global. Penampilan objek daya tarik turistik-komersial
merupakan pola re-presentasi mekanis untuk memposisikan objek dan tempat
dengan berbagai nuansa dan pencitraan sesuai dengan kelompok audiens
yang disasar atau diinginkan. Re-presentasi pada pola kebiasaan pelaku
dagang, bisnis, dan industri keramah-tamahan, biasa dilakukan dengan polapola pemajangan atau display atau pameran.
Pola pengelolaan yang berkembang maju, mencitrakan objek daya
tarik komersial-turistik dengan mode simulasi yang sudah didorong dan
diwarnai oleh ideologi turisme, kapitalistik dan komodifikatif. Representasi
pada konteks ini, dilakukan secara sadar untuk memberikan energi dan
citraan baru pada sebuah objek atau produk untuk tampil lebih bernuansa
dan bernilai lebih. Sesuai dengan pola representasi yaitu bagaimana sebuah
objek dihadirkan kembali sesuai dengan kepentingan, ide atau ideologi
diBaliknya.
Dalam
hubungan
citraan
kawasan
sebagai
bentang
ruang
pengembangan pariwisata yang penuh dengan tempat-tempat komersial dan
turistik, representasi budaya masyarakat lokal mendapatkan perhatian awal
dalam
studi
ini.
Representasi
budaya
kawasan
turistik, diasumsikan
menyatukan ambivalensi atau kegamangan kawasan bagi masyarakat lokal
dan pihak luar atau outsiders. Secara fisik, dengan pemampatan ruang
27
kawasan ke
dalam
tempat-tempat komersial-turistik,
mendominasi ruang
budaya tradisional warga Desa Adat Kuta. Representasi kehidupan kawasan
akhirnya menutup representasi budaya masyarakat lokal kawasan Kuta dalam
studi ini. Representasi budaya kawasan pariwisata berlangsung sejak pagi,
siang, hingga malam dini hari dan kembali berulang esok harinya.
Representasi Masyarakat Lokal menjadi pusat perhatian utama dalam
studi ini, setelah melihat representasi kawasan pariwisata yang turistikkomersial penuh dengan dominasi tempat-tempat komersial, turistik dan
kapitalistik. Representasi merupakan bagian sekaligus produk proses sosial
yang terkait dengan tanda dan penandaan makna yang ada dalam satu
komunitas.
Sehingga
konsep
ini
sangat
penting
untuk
melihat
dan
menyatukan apa yang selama ini tampak terpisah, antara penanda-penanda
makna yang beragam, ideologi, dan penyikapan keadaan. Representasi budaya
dalam studi ini, merupakan proses sosial untuk menghadirkan dan memosisikan
tanda dalam pola penandaan yang sudah ada untuk menguatkan makna
dalam sikap, wacana, tulisan, aktifitas, penampilan atau postur individu,
kelompok, hingga citra individu, kelas, lembaga dan komunitas (Barker,2004:
226-231) Representasi budaya membuka ruang untuk melihat, menerima, dan
menyikapi re-presentasi sebagai proses mekanis pemosisian tanda dalam
penandaan rekaan (baca: rekayasa penandaan), untuk memosisikan dan
mempekerjakan kembali tanda dalam penandaan yang sesungguhnya dalam
lingkungan sesuai dengan norma dan kesepakatan yang ada.
28
Dinamika hubungan desa adat dan desa dinas melewati beberapa kali
konsensus dan konformitas yang sepakat bersama-sama menyikapi dan
menghadapi fenomena turistik-kapitalistik dan desa global di depan mata.
Terlebih lagi dengan pemekaran Kuta sebagai kelurahan sesuai dengan
kewilayahan Desa Adat Kuta, rasa memiliki dan dedikasi pun menyatu dari
13 (tiga belas) banjar dinas. Masalah ruang menjadi masalah utama untuk
disikapi dalam setiap kesempatan, sebagai bagian utama dari perubahan
sosial Kuta.
Pariwisata baru disikapi sebagai bagian parubahan yang selama ini
dipisahkan dengan perubahan tata guna ruang, yang menarik pengadaan
tempat-tempat akomodasi turistik, komersial turistik, dan tempat kapitalistik
yang dewasa ini sangat sesak dan melebihi daya tampung kelurahan atau
Desa Adat Kuta. Fenomena kepariwisataan ini masih dalam kegamangan
cara melihat masyarakat lokal atau masih kuatnya ambivalensi dalam pola
pikir hingga cara pandang mereka. Ruang Budaya tradisional ditutup oleh
dominasi ruang turisme, sehingga identitas masyarakat tradisional mengalami
pergeseran dalam perubahan sosial dan budaya sejak tahun 1960-an. Para
tokoh masyarakat menginventarisir resistensi dan konflik yang pernah terjadi
selama 5 (lima) dekade. Ruang publik Kuta diposisikan kembali pada
kewilayahan desa adat dan kelurahan, dengan pengawasan terhadap tempattempat akomodasi, komersial, hiburan dan atraksi wisata.
29
2.2.2 Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal atau lokal people dalam pariwisata (Burns, 1995, 99115) menjadi krusial untuk dikedepankan, ketika melihat kuat dan luasnya
representasi budaya dalam wacana turistik kawasan Kuta hingga representasi
Bali sebagai destinasi wisata internasional. Di Balik ‘re-presentasi’ kawasan
wisata, tampak masyarakat kawasan yang multikultural, sebuah desa wisata,
atau desa global yang meliputi komunitas professional, wiraswasta atau
bisnis lokal, nasional dan internasional, dan penduduk yang sangat heterogen
dalam konteks agama, etnis dan kelas sosial. Di Balik itu semua, komunitas
asli atau indigenous people Desa Adat Kuta hidup dengan dinamika budaya
yang transformatif, progresif dan senantiasa menjaga dan merajut identitas,
nilai, pandangan dan tradisi budayanya. Karakter dan kesadaran identitas
kultural
warga
Kuta, dengan
karakter
keindonesiannya, tampak
sebagai
artikulasi yang terus berkembang dengan habitus mereka dalam perubahan
besar dan cepat yang dirasakan selama ini. Perubahan terjadi di semua
bidang, termasuk berubah dan hilangnya sebagian habitat budaya mereka
dalam aspek spiritual dan material. The indigenous people sebagai penduduk
asli masih sangat kuat memiliki lembaga tradisional, nilai budaya dan tradisi
yang melekat dengan identitas dan praktik budaya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Penduduk non Bali yang berdomisili di Kelurahan Kuta, jumlahnya
cukup banyak, sebagian sudah menjadi warga tamyu atau warga tamu di
lingkungan komunitas Desa Adat Kuta. Kehidupan ‘bedeng’ atau kompleks
30
rumah-rumah darurat dan sangat sederhana, merupakan tempat the others
yang dipastikan menjadi tempat tinggal dari ratusan pendatang yang tidak
terdata dalam catatan migrasi kependudukan. Mereka betul-betul menempati
ruang pinggiran yang tidak diperhitungkan oleh warga desa, kecuali sebagai
kantong pendatang musiman, pengadu nasib dan migran tak terdaftar di
kelurahan atau desa adat, karena lama tinggalnya dianggap tidak menentu.
Keberadaan para ‘pengadu nasib’ yang datang di kawasan wisata ini, tepat
disebut wong liyan atau the others di kawasan wisata ini.
Sehingga melihat kehidupan masyarakat lokal di Kawasan Pariwisata
Kuta
sebagai, harus
masyarakat, dalam
menelusuri
konteks
aspek
multikultural
Bali sebagai
dan
heterogenitas
komunitas desa
adat, konteks
Indonesia yang terdiri atas lima agama dan lebih dari 300 suku bangsa.
Kompleksitas tersebut senantiasa mewarnai Kuta sebagai ruang budaya
multikultural, yang
merujuk
pertimbangan
kompleks
untuk
memahami
keberadaan masyarakat lokal di Kuta khususnya dan Bali pada umumnya.
2.2.3 Kawasan Industri Pariwisata
Kawasan secara teknis merupakan bentang wilayah atau ruang
penataan fisik, yaitu pengendalian dan pengaturan pembangunan sarana dan
prasarana atau terwujudnya infrastruktur dan suprastruktur. Ruang dalam
kaitan ini lebih mengacu pada ruang publik atau public sphere (Parson,
2001:45,77) Ruang-ruang individu terlebih lagi ruang budaya tidak mendapatkan
perhatian dalam proyeksi ruang-kawasan, apabila dilihat bagaimana Masterplan
31
Sceto Tahun 1969 mendefinisikan dan menetapkan arah pembangunan dan
penataan kawasan pariwisata.
Kawasan pariwisata sebagai bentang ruang pengembangan pariwisata
dengan
segala
sarana
dan
prasarananya, kembali
menjadi
titik
tolak
pertanyaan atas keberlanjutan pariwisata Bali yang mengusung bendera
‘pariwisata budaya’.
Segala
dampak langsung maupun tidak langsung
pariwisata terhadap masyarakat lokal dengan budaya dan tradisinya, menjadi
antithesis atas keberlanjutan atau sustainability yang sedang dibina dan
dijaga keberhasilannya. Jenis usaha industri jasa atau akomodasi pariwisata
yang ada
Munculnya spacial-problem atau masalah ruang dalam pertumbuhan
kawasan pariwisata menjadi pembuka celah-celah masalah kestabilan ruang
publik atau public sphere. Citra kemapanan ruang publik selama ini
mematikan ruang individu, atau ketika space
diperhitungkan secara teknis
dan komersial, ruang-ruang publik menjadi terkoyak-koyak kemapanan dan
keharmonisannya, demikian halnya ruang-ruang privat yang direlakan hilang
dalam proses itu. Space menjadi potensi, peluang dan sekaligus masalah
dalam penataan kawasan. Space masih dikendalikan oleh masyarakat lokal
pewaris ruang budaya tradisional, tetapi sekaligus di lepas dengan kekalahan
pada desakan kepentingan komersial.
32
2.2.4
Poskolonialitas
Realitas sosial-budaya yang ditangkap sebagai poskolonialitas dalam
penelitian
ini, bertolak
dari
adanya
ambivalensi
realitas
dalam
ruang
kesadaran masyarakat lokal kawasan wisata, khususnya desa adat. Kuatnya
representasi kawasan wisata yang menguatkan citraan dan dominasi ruang
kawasan turistik, menguatkan poskolonialitas kawasan pariwisata. Sehingga
dalam
hal
ini, konsep
poskolonialitas digunakan
untuk merekonstruksi
dominasi kawasan pariwisata dalam berbagai aspek, baik aspek politik,
ekonomi, dan budaya. Representasi kawasan wisata, menunjukkan dimensi
terjadinya dominasi kawasan yang bisa digambarkan secara fisik, citraan dan
psikologis. Hall, C. M.& Hazel Tucker dalam “Tourism and Post Colonialism”
(2004:1-5), cukup kuat mengawali studi poskolonial dalam realitas kawasan
turisme.
Melihat Kuta, baik sebagai desa adat dan destinasi wisata, merupakan
percampuran ruang budaya tradisional dengan ruang budaya popular-turistik
dan kapitalistik yang menutup permukaan ruang budaya tradisional. Di dalamnya
terjadi kontestasi simbol kultural dan komersial, konflik ruang kultural dan
komersial hingga konflik nilai budaya yang sama-sama kuat, membuka
medan kontestasi tanda budaya dan tanda artifisial. Penggambaran realitas
sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas,
memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi
‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktek) poskolonial. Adapun lapangan sasaran studi
poskolonial yang menukik pada proses dominasi, ambivalensi, ambiguitas,
33
keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni yang terjadi. Fenomena
tourism atau pariwisata merupakan realitas berjalannya imperium kapitalistik
atau imperialism. (Nash: Smith, 1998) Masyarakat Indonesia yang merupakan
negara dunia ketiga dan bekas koloni penjajahan Hindia Belanda, tidak bisa
lepas dari ingatan, resepsi dan penyembuhan kesadaran-jajahan. Apa yang
disebut “kesadaran diskursif” dalam teori strukturasi Giddens, atau doxa dan
habitus dalam teori praktik Bourdieu, menyimpan kuat ingatan yang sarat
dengan nilai penjajahan, resepsi hidup di daerah koloni, penyembunyian
identitas yang tertekan dan ambiguitas dan/atau ambivalensi makna-makna
seluruh perikehidupan yang terjajah.
Tourism sebagai realita dan fenomena sangat intriguing atau menarik
perhatian untuk dikaji dan menurut Hall (2004) studi kritis dalam tourism
sangat membantu pemahaman aplikatif-grounded dalam penggunaan teori
pos
kolonial, untuk
menembus
bentuk-bentuk
dominasi, place
and
displacement, kematian identitas dalam fenomena poskolonialitas. Demikian
juga sebaliknya teori pos kolonial akan menguatkan analisis atau kajian
terhadap pariwisata secara menyeluruh dan mendalam. Kajian terhadap
tourism
atau
kepariwisataan
dalam
metode
cultural
studies, senantiasa
menyingkap makna-makna dan permainan tanda dalam pariwisata, dan pos
kolonial memasang ranah tanda sekaligus emansipasif terhadap makna-makna
poskolonial yang ambivalen dan hegemonik. Fenomena pariwisata di dunia
ketiga eks-koloni penjajahan, akan membuka munculnya temuan-temuan pos
kolonial dan fenomena kekajian budayaan.
34
2.2.6
Politik Identitas
Keberadaan ruang budaya direinterpretasi sebagai bagian dari medan
wacana dan kuasa yang memiliki potensi politik dan kekuasaan budaya.
Sehingga publik dan pribadi, mereposisi diri dan mempertimbangkan kembali
peran-peran negara dan komunitas, ideologi negara dalam desa, nilai budaya
dan pandangan desa dalam negara, hingga kekuatan desa adat ‘republik’
otonom masyarakat kultural dalam kancah kehidupan multikultural dan
global. Perbedaan geneologi, posisi dan peran masyarakat sebagai subjek
‘mengada’, membuka makna yang labil dan ketidakstabilan posisi dalam formasi
politik identitas ke arah politik perbedaan atau politics of difference, politik
penamaam atau politics of naming (Lewis, 2002), hingga politik wacana
dalam wacana budaya dan wacana nasional.
Pembentukan politik identitas dalam ranah kognitif dan kesadaran,
dengan
pengaruh
rasionalitas
berpikir
dan
paradigma
kritis, kemudian
melibatkan elit masyarakat dan tokoh intelektual. Hal ini menjadi fenomena
subjektifitas yang searah dengan konsep kognitif Habermas (Hardiman, 2002:
176) dalam teori Tindakan Komunikatif atau The Theory of Communicative
Action, di mana Habermas menekankan kembali “rasionalitas yang bermakna”
melalui
proses
bentukan
kognitif
dan
kesadaran
dari
“rasionalitas
komunikatif” dan “kompetensi komunikatif” yang harus di bangun dan
dimiliki dalam ruang kognitif dan kesadarannya (Lubis, 2006: 5-7).
Dalam dilema kelas ekonomi dan sosial ini, terkait dengan fenomena
masyarakat lokal di kawasan wisata Kuta, politik identitas merupakan
35
konsepsi
atas
keseluruhan
proses
formasi
dan
pembentukan
identitas
masyarakat lokal. Dalam budaya atau praktik kehidupan sehari-hari ini, peran
dan fungsi kesadaran, wacana, habitus, dan praksis menentukan setiap langkah
dalam formasi identitas. Politik identitas sangat jelas direpresentasikan
dengan keterlibatan elit-elit masyarakat, dengan adanya kekuatan dan peran
organisasi dan lembaga, pengaruh fungsi ideologi dan
kekuatan
wacana, hingga
fungsi simbol dan atribut budaya sebagai elemen
intrinsik
sekaligus penguat geneologi identitas.
Kesadaran akan posisi dan peranan sebagai masyarakat lokal dalam
kawasan pariwisata, mendorong munculnya kegelisahan akan dominasi ruang
turistik komersial kapitalistik terhadap ruang budaya desa adat yang disebut
dengan karang desa. Formasi identitas Kuta yang progresif secara individual
dan kolektif, dipengaruhi oleh naturalisasi primordialisme tokoh elit desa
yang mapan secara ekonomi. Pengendapan makna dalam refleksi atas semua
resistensi dan konflik yang pernah terjadi, mendisposisikan urgensi untuk
membangun kekuatan agensi budaya desa adat dengan seluruh ruang dan
elemen desa adat. Ideologi identitas Kuta membangun strategi dan unifikasi
ideologis dalam representaasi politik identitas.
Kesadaran kultural dan nalar awam tokoh elit menyebut politik
identitas sebagai ’politik budaya’. Praktik politik lokal ini memosisikan,
konflik dan
resistensi
berbagai resistensi dalam
dalam
formasi
representasi budaya
identitas, resistensi
dalam
relasi
pariwisata,
politik
dan
kekuasaan, pengetahuan sebagai wujud resistensi, sebagai jejak pembentukan
36
ideologi identitas dan strategi politis. Adanya tantangan dan ancaman,
mendorong pembentukan
identitas
kearah
formasi politik
dan doktrin
pembinaan relasi kekuasaan (bersama) keluarga, kerabat, kelompok atau
organisasi, seperti penguatan wacana lembaga banjar dan desa adat di Bali.
Politik identitas masyarakat lokal dalam konteks ini, merupakan
representasi identitas dalam politik representasi budaya, sebagai reaksi atas
representasi turistik kawasan wisata, representasi komersial dan kapitalistik
industri pariwisata, dan posrepresentasi budaya pariwisata global dalam
media
‘maya’
identitas
teknologi
informasi.
Sehingga
seperti disebutkan, politik
yang terjadi, searah dengan gerakan
kiri baru dan gerakan
intelektual kritis dalam menyikapi bentuk-bentuk (pos)representasi turistik
pariwisata, representasi komersial dan kapitalistik kawasan wisata yang
meniadakan
kelas
sosial
masyarakat
lokal, hingga
alienasi
keberadaan
identitas budaya indigenous people atau penduduk asli.
Penduduk di luar agama Hindu dan Islam pun tidak mau kalah
langkah dalam formasi identitas mereka dengan turut mengusung nilai
‘kebhinekaan’ dalam Pancasila sebagai ideologi negara dan pijakan konsep
masyarakat multikultural bagi kaum intelektual dan tokoh-tokoh mereka.
Sehingga representasi sekaligus resistensi budaya kawasan turistik ini,
merupakan representasi atas representasi masyarakat lokal, representasi desa
adat, dan representasi identitas budaya dalam representasi diri atau pribadi
masing-masing individu. Bisa diasumsikan bahwa kearifan-multikultural akan
mendapatkan energinya dalam self-representation atau representasi diri dalam
37
ruang privat, yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus, dalam
konteks agama, etnis, kepentingan, dan opini.
2.2.3
Desa Adat
Pemahaman tentang indigenous people di Bali, mengharuskan untuk
melihat desa-desa adat di Bali. Keberadaan desa adat di Bali sudah
dipelajari oleh Liefrinct mulai tahun 1878 mulai dari desa-desa tua di Bali
utara. Ketika itu di Bali, berlaku penyebutan desa adat yang berasal dari
istilah karaman atau pakaraman (Parimartha, 2003: 1-10). desa adat sebagai
identitas awal desa adat di Bali, diangkat dan ditetapkan kembali, hingga
pemerintah Provinsi Bali pun mengakomodir dengan Perda. No. 3 Tahun
2001 tentang desa adat. Istilah desa adat secara etimilogis berarti desa
tempat hidupnya komunitas adat yang disebut karaman atau krama. Sejak
awal Keberadaannya, Krama memiliki dasar identitas kolektif dan ikatan
adat-istiadat yang kuat.
Pada awalnya pekraman atau pakaraman (Parimartha, 2004) berawal
dari titik nol catus pata atau perempatan desa, balai agung dan pura desa.
Pada mulanya, ruang pertama ini disebut pekraman. Pura Desa identik
dengan desa adat, sebagai tempat bermusyawarah, mengadakan upacaraupacara besar dan ditempatkannya semua pratima dan pelawatan di Balai
Agung pada rangkaian Hari Raya Nyepi setiap tahun atau pada rangkaian
upacara besar Ngusaba Desa yang dilaksanakan setiap 35 tahun hingga 50
tahun sekali. Pekraman pada masa itu, diartikan secara praktis dengan
38
upakaramaan yaitu ruang yang paling sering digunakan dan mendapatkan
upakara atau sesajian dan ritual. Sehingga dalam perkembangan kulturalnya
pada zaman kerajaan, elemen desa adat terdiri dari: (1) Ulu atau kepalanya
adalah pura khayangan tiga, (2) Jantungnya adalah prajuru desa atau
perangkat pengurus desa adat, (3) Nafasnya adalah kehidupan pekraman, (4)
Badanya adalah karang desa.
Kata desa adat digunakan untuk penyesuaian regulasi pemerintahan,
Kemudian searah dengan berkembangnya wacana pemurnian tradisi dan nilai
budaya dalam desa adat, identitas desa adat pun dikembalikan ke nama desa
adat. Setelah lahirnya perda desa adat, sebagai aktualisasi identitas budaya,
nilai lokal dan budaya, desa adat ditetapkan kembali sebagai nama, penanda
dan tatanan budaya, nilai dan adat-istiadat di masing-masing desa. Dikotomi
desa dinas atau kelurahan dengan desa adat atau desa adat, pernah menjadi
masalah hegemoni dinas dan pemerintah daerah untuk mempersempit ruang
gerak dan peran desa adat dalam wilayahnya yang disebut karang desa.
Satu desa dinas bisa terdiri atas satu desa adat secara utuh, satu desa dinas
bisa terdiri atas dua hingga empat desa adat, atau sebaliknya satu wilayah
desa adat bisa terdiri atas dua desa dinas dan wilayah atau keterikatan
adat-istiadat satu desa adat terhadap krama atau komunitas dan individunya,
bisa melewati wilayah desa dinas dan desa adat lainnya.
Beberapa
kabupaten
tetap
bertahan
untuk
menggunakan
nama
identitas sebagaimana halnya sebelum perda bersangkutan lahir, merupakan
sebuah politik budaya yang melewati penanda, simbol dan makna identita
39
desa
adat.
‘Pematokan’
ruang
desa
adat
seperti
sedia
kala
dengan
kelembagaan, tradisi, aturan tak tertulis ‘awig-awig’, perangkat organisasi
hingga
hak dan kewajiban seluruh warga desa adat maupun warga
pendatang, dipertahankan untuk menahan perubahan besar pada tata ruang,
tempat tinggal, alih fungsi lahan dan kepemilikannya. Desa Adat Kuta sama
halnya dengan desa-desa adat se-Kabupaten Badung, tetap menggunakan
nama desa adat.
2.3 Landasan Teori
Pendekatan multidisipliner dalam multiparadigma cultural studies
untuk melihat fungsi dan urgensi penggunaan teori dari keunggulannya,
dalam melihat dan membedah objek permasalahan, menjadi cirikhas eklektisitas
metode cultural studies dan poskolonial. Dalam hal ini, penempatan teori
tindakan komunikatif, strukturasi dan kebijakan publik dalam kebutuhan
untuk pisau analisis, masih bernuansa tradisional dan modern, terkait pada
masalah fungsi kesadaran atau consciousness, bahkan falseconsciousness dalam
transisi budaya atau transformasi masyarakat Indonesia, disamping untuk
menyesuaikan tradisi dan nilai budaya tradisional yang sedang menempuh
perubahan transformatif dan revolusioner.
Permasalahan
pariwisata
sebagai
industri
modern
yang
masih
memegang dan menguatkan nilai budaya tradisional, tentu akan menguatkan
representasi tradisional atas masyarakat di dalamnya sebagai objek dan
pelayan atau host. Konteks-konteks sosial dan budaya hidup sehari-hari,
40
dengan
tekanan
metphora
dan
diskursus, menarik
alur
analisis
pada
penerapan teori-tepri kajian budaya dan Teori Poskolonial. Pluralitas makna
dalam konstruksi-konstruksi sosial dan fenomena yang sedang dihadapi,
membutuhkan acuan interdisipliner khususnya dalam kajian kebijakan secara
interpretif, diskursif dan teknis. Tekanan politik intelektual cultural studies
yang emansipatif dan tidak bebas nilai, memprasyaratkan kearifan ontologis
untuk tidak memperkosa subjek, hingga akhirnya harus memasang konstruk
teori-teori secara multiteori dan eklektis.
2.3.1 Teori Tindakan Komunikatif
Habermas
mengemukakan
Teori
Tindakan
Komunikatif
dengan
tekanan pada kesadaran subjek dan kompetensi komunikatif, yang jelas-jelas
akan membawa mainstream kajian pada bagaimana berfungsinya kapasitas
kognitif manusia yang harus berperan sebagai subjek nantinya sampai pada
penyikapan.
Satu
versi teori kritis Habermas(Agger, 2003: 189)
yang
melewati batas teori-teori lain dari Mashab Frankfurt asli, yang belum
membedakan kerangka filsafat Yunani, Idealisme Jerman dan bahkan konsep
Marx tentang hubungan subjek(orang) dengan objek (orang lain dan alam).
Habermas
mengemukakan
perubahan
dari
“paradigma
kesadaran”, yang
menyetujui dualitas barat atas subjek dan objek, ke “paradigma komunikasi”.
Paradigma komunikasi ini mengkonseptualisasikan pengetahuan dan praktik
sosial bukan dalam hal dualitas antara subjek dan objek, tetapi
melalui
rekonseptualisasi
Subjek
subjek
sebagai
intersubjektif
yang
inheren.
41
intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi komunikasi, bukan hanya
kapasitas kerja.
Teori Tindakan Komunikatif yang dikemukakan oleh Habermas,
secara komprehensif memperkenalkan pijakan dasar eklektisisme aplikasi
teori-teori sosial yang harus bisa menangkap dan membedah permasalahan
secara kritis, reflektif, grounded dan emansipatoris. Berangkat dari Teori
Kritis, Habermas menyadari masih tersisanya ruang dan fenomena yang
belum bisa diselesaikan oleh Teori Kritis. Fenomena modernitas yang dilihat
secara emik belum bisa dimengerti dan diikuti oleh masyarakat dan
individu-individu
yang
diharapkan
mampu
sebagai
subjek
didalamnya.
Sehingga dikatakan Modernisasi belum selesai. Dalam usaha perjuangan
emansipatoris, Habermas mengkonstruksi ulang Teori Tindakan, Fenomenologi,
dan Hermeneutika, menjadi Teori Tindakan Komunikatif. Teori Kritis baik
sebagai teori maupun sebagai filsafat dan mainstream studi kognitif dan
kesadaran, dilibatkan didalamnya, dengan menilik kembali “rasionalitas” yang
banyak menuai kritikan, terlebih lagi penolakan Lyotard (Lubis, 2006: 221)
terhadap “rasionalitas universal” yang justru menutup pemikiran kritis,
bahkan disensus dan ketidaksepakatan radikal yang tidak bisa dipungkiri
adanya.
Dengan
Teori
Tindakan
Komunikatif
atau
The
Theory
of
Communicative Action, Habermas menekankan kembali “rasionalitas yang
bermakna” melalui proses bentukan kognitif dan kesadaran dari “rasionalitas
komunikatif” dan “kompetensi komunikatif” (Habermas dalam Hardiman,
2002: 176 dan Lubis, 2006).
42
Teori Tindakan Komunikatif sebagai rekonstruksi dan sintesa dari
Fenomenologi, Teori
Komunikasi, Teori
mensyaratkan
eklektisisme
subjek-subjek
yang
dan
emansipasi
terpinggirkan, tertindas
Tindakan, dan
Hermeneutika
perjuangan
intelektual
bagi
dan
berdaya’
tanpa
‘tak
kompetensi komunikasi. Posisi subjek harus lebih mendapatkan perhatian
dalam masalah kapitalisme akhir, Kata Habermas (Agger, 2003) di mana
sistem ‘menjajah’ dunia kehidupan berjalan sedemikian rupa, sehingga orang
terhambat
untuk
mengembangkan
makna
budaya
bersama
komunitas
berdasarkan pengalaman hidup sehari-sehari dan bahasa. Upaya perjuangan
membangun
kapasitas
komunikatif
masyarakat
untuk
mengikuti
atau
menggelar diskusi rasional yang merupakan dasar demokrasi. Upaya-upaya
ini
dapat
muncul
sebagai
satu
gerakan
sosial
baru, termasuk
environmentalisme, feminisme dan pascakolonialisme, berdasarkan prinsif etis
komunikasi rasional yang tak terdistorsi untuk membangun ‘subjek-kolektif’
transformatif.
2.3.2 Teori Strukturasi
Dengan teori strukturasi, Giddens menyerang atau mengkritisi sistem
melalui fungsi-fungsi struktur dan aktor di dalamnya (Capra, 2004: 16), dia
memastikan kemampuan individu untuk berperan dalam masyarakat atau
komunitas budayanya, yang masih kuat dipengaruhi oleh struktur sosial
masyarakat yang membentuk paham strukturalisme sosial dan budaya dalam
praktik sosial dan budaya dalam kehidupannya sehari-hari. Paradigma atau
43
asumsi-asumsi dasar teori strukturasi, melihat posisi dan peran manusia di
dalam struktur dilihat dari kemampuan manusia sebagai aktor hingga
kemampuan agensinya di dalam dan/atau terhadap struktur tersebut. Giddens
(1990: 5) berangkat dari teori subjek atau theory of the subject (Giddens,
1986: 22-38), memandang posisi dan peran manusia di dalam struktur,
bersyarat dan bertolak dari kemampuan agensinya, di mana tindakan sosial
adalah hasil bentukan struktur, demikian juga struktur sendiri merupakan
bentukan agen. Di sini terlihat letak adanya dualitas struktur, yaitu struktur
merupakan medium dan agensi sekaligus pada saat yang sama merupakan
outcome agensi.
Teori strukturasi menekankan beberapa hal pada hubungan manusia
dengan struktur atau agency and structure, dan pertimbangan ruang dan
waktu dalam perubahan sosial atau konsep time, space and sosial change.
Pertama, hubungan pelaku (agency) dan struktur merupakan dualitas dan
bukan dualisme, yaitu adanya hubungan dualitas-timbal balik agen dan
struktur, didalamnya terdapat hubungan tindakan aktor dan struktur yang
saling mengandaikan dan mempengaruhi. Kedua, sentralitas pengaruh ruang
dan waktu, di mana ruang (space) dan waktu (time) bukan arena tindakan
melainkan unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian masyarakat,
hingga perubahan sosial yang terjadi. Sehingga space, time and sosial
change
dinyatakan
berbengaruh
secara
menyeluruh
terhadap
segala
perubahan dan keberlanjutan, kemampuan actor hingga reproduksi struktur
44
dan sosialisasi agensi dengan pertimbangan ideologi dan kesadaran (Giddens,
1989: 49, 98, 167, 198-201).
Dalam konteks nilai budaya Bali di Kuta, konfirmasi di mana dan
kapan manusia ‘ada’ melakukan sesuatu, menemui ‘bilamana’ manusia
bertindak, dalam nilai desa, kala, patra, yaitu; ruang, waktu, dan kondisi. Jadi
konsep-teori Giddens dalam
konteks ruang dan waktu
mempengaruhi
tindakan aktor dan/atau agen dalam mencapai tujuannya, akan menemui
prakondisi dan kondisi ‘bilamana’ manusia bertindak. Kondisi bertalian
dengan
syarat
dan
situasi
dalam
pertimbangan
nilai
kultural, yang
menyebabkan selalu adanya pergeseran, transisi, dan pertimbangan ‘tawarmenawar’ posisi ruang dan waktu dalam kearifan budaya tradisional dan
budaya modern.
Sehingga searah dengan perkembangan teorinya (Giddens, 2004: 56,
80), Giddens menyatakan bahwa aktifitas manusia bersifat rekursif, yaitu
aktifitas
yang
dilakukannya
tidak
selalu
terbawa
dalam
arus
setting
lingkungan sosialnya, tetapi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan
secara terus menerus dan dibentuk kembali dalam/oleh aktifitas manusia
melalui
pengertian
yang
kemudian
diekspresikan
sendiri
oleh
agen.
Dijelaskannya, bagaimana berpartisipasi atau bagaimana bertindak dalam
konteks kehidupan sosial, mencakup bagaimana mematuhi aturan(rule) dalam
struktur sosial. Sehingga peraturan merupakan haluan dalam media(struktur)
sekaligus tolak-ukur dan stimulator dilakukannya berbagai tindakan dan
praktek sosial. Sehingga menguatkan asumsi atas hubungan dan saling
45
ketergantungan antara struktur dan aktor/individu, struktur dengan tindakan
dan agensi, di mana struktur memungkinkan adanya tindakan, sebagai media
dan pada saat yang sama struktur merupakan outcome reproduksi tindakan
(Giddens, 1989:
96-112), demikian
halnya
berlanjut
pada
praktek
dan
aktifitas sosial di mana aturan (rule) sebagai alat dan bahkan struktur sendiri
menjadi sarana dilakukannya aktifitas sosial.
2.3.3 Teori Praktik
Bourdieu (Ritzer & Goodman, 2003: 518) sebagai seorang sosiolog
posmodernis-konstruktivis-kontemporer, menggunakan
pendekatan
yang
inovatif dengan model kajian yang transdisipliner.
Ia menggabungkan
konsep-konsep sosiologi, linguistik, dan filsafat dari Bachelar, Weber, Marx,
Mauss, dan Durkheim, menjadi proyek intelektual yang kreatif dan produktif
menurut Bourdieu (Lubis, 2006: 58, 163-164). Pendekatan Bourdieu ini disebut
sebagai sosiologi refleksif, untuk menunjukkan bahwa teorinya bukan hanya
merefleksikan masyarakat, akan tetapi juga
status obyektif dan status
subyektif dalam suatu kerangka diskursif dan sosial.
Dengan
pendekatan-pendekatan
dan
konsep
yang
transdisipliner
tersebut, teori dan metode Bourdieu disebut beraliran konstruktivisme genetis,
yaitu adanya pertimbangan historis dan ruang sosial pada kerja struktur mental
individu (Ritzer & Goodman, 2003:518-520) dan
karena
sifatnya
kritis,
metodenya sering disebut Sosiologi Kritis. Peta gagasan-pemikiran Bourdieu
ini mewariskan konsep-konsep penting yang sering dipinjam dalam tradisi
46
ilmu-ilmu sosial hingga cultural studies, seperti: habitus, ranah perjuangan,
kekuasaan simbolik, dan modal budaya yang kemudian mempengaruhi teori
sumberdaya
dan
komoditas.
Dalam
pertalian
konsep-konsep
tersebut,
Bourdieu menawarkan formulasi-generatif (Harker, et al , 2005: xxi, 9-22)
dengan rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini digunakan
untuk menyingkap intensitas dan orientasi individu untuk melakukan praktikpraktik sosial. Rumus ini menggantikan relasi sederhana antara individu dan
struktur melalui relasi habitus, modal dan ranah.
Dengan Sosiologi refleksif, Piere Felix Bourdieu (Ritzer & Goodman,
2003, 518-520) menawarkan sebuah pendekatan untuk memahami praktek
intelektual pada sosiologi, ilmu alam, dan pendidikan. Sasaran epistemik bagi
peneliti, menurut Bourdieu (Lubis, 2006: 163-164) adalah untuk menggali
‘ketidaksadaran epistemologi dari disiplin ilmunya’ masing-masing. Sasaran
utamanya adalah: (1) menggali ketidaksadaran intelektual dan sosial yang
tertanam dalam perangkat dan cara kerja analitik, (2) memastikan adanya
tindakan
dan
tanggung
jawab
kolektif
atau
individual, jadi
tekanan
refleksivitas bukan untuk melemahkan, tetapi untuk memperkuat epistemologi
suatu disiplin ilmu
Relasi
kesadaran, bahasa
dalam
komunikasi, persepsi
hingga
penyusupan ideologi kepentingan untuk melakukan tindakan, menunjukkan
urgensi penggunaan teori praktis dengan konsep-konsep budaya hidup
sehari-hari yang sangat dekat dengan paradigma kajian budaya. Untuk
meneliksik tindakan dan ideologi, Bourdieu mengemukakan konsep habitus,
47
doxa dan disposisi yang selalu berhubungan erat dengan referensi dan
inferensi individu di dalam otak atau perangkat berpikir dalam ruangkognitifnya.
Sehingga
ideologi
pun
digantikan
dengan
doxa, untuk
menghindari bias ide, distorsi dan ketidaksadaran. Inilah yang menjadi titiktitik perhatian dan acuan dalam diagnose Bourdieu untuk membedah praktik
dan budaya
manusia
sehari-hari.
Berangkat dari asumsi-asumsi dalam
sosiologi pendidikan (Ritzer&Goodman, 2004:518-520, 534) yang merupakan
bidang awal dan permanennya, hingga
sekarang dia
disebut beraliran
Sosiologi refleksif-kritis-konstruktivis-posmodern-kontemporer (Lubis, 2006).
Bourdieu menekankan praktik sebagai konsep dan teori untuk menengahi
silang paradigma positivisme dan verstehen atau fenomenologis.
Paradigma teori praksis melihat kebudayaan dari sudut pandang
konstruktivisme yang diartikan secara umum sebagai segala sesuatu yang
dilakukan oleh manusia dengan memperhatikan perilaku-perilaku tertentu
mereka di Balik aktifitas dan peran individu bersangkutan. Dalam An
Outline of a Theory of Practice (Harker, 2005: 24), disebutkan prinsipprinsip dasar teori praksis yaitu: (a) perubahan selalu tersirat dalam proses
sosial, tidak ada sistem sosial yang statis; (b) satuan analisa pendekatan
menekankan hubungan dialektis antara praktek-praktek sosial para individu
dan struktur obyektif masyarakat manusia; (c) tindakan sosial adalah
perwujudan dari nilai-nilai budaya (satu arah) yang jadi pedoman bagi
pelaku. Praxis bukan hanya nilai-nilai budaya tetapi
juga berbagai
kepentingan pribadi sehingga dapat mengubah sistem kebudayaan yang
48
bersangkutan; (d) practice berkaitan dengan maksud, intensitas dan orientasi
pelaku, apa yang mendorong pelaku untuk melakukan praktik tertentu adalah
apa yang menurut pelaku dianggap pantas atau appropriate dan bernilai
secara budaya yang sedang berlaku dan sesuai ukuran pribadi.
Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan
terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal.
Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu
ranahsenantiasa menjadi titik perhatian karena adanya pengaruh doxa dan
disposisi untuk menentukan habitus untuk bertindak dalam praktik. Referensi
yang tersimpan pun disesuaikan dengan inferensi yang dimiliki untuk
mempertimbangkan disposisi yang dipengaruhi oleh doxa. Sehingga habitus
menjadi demikian kuatnya mempengaruhi praktis dan tindakan seseorang
dalam habitat atau lapangan yang berbeda pula. Terbentuk dan tersimpannya
habitus sangat dipengaruhi oleh habitat dalam proses historis di lingkungan
atau komunitasnya (Harker, 2005: 80-87)
2.3.4 Teori Posstruktural
Konsep kunci cultural studies, bila dilihat dari konsepsi Barker
(2004), Lubis (2006) menakar dan meneliksik makna pada sudut-sudut ruang
dan sisi-sisi terpinggir ranah kehidupan dengan budaya kesehariannya.
Dalam kaitan tulisan ini, digunakan konsep-konsep kunci Dominasi, Hegemony,
Theothers, Articulation, Resistensi, Representasi, Posrepresentasi, Poskolonial,
Politics of Identity, Space, place and displacement, dan Counter Hegemony
49
yang harus menggandeng posmodernisme dan posstrukturalisme. Sehingga
Cultural Studies yang diterjemahkan secara halus dengan Kajian Budaya,
dalam
tulisan
ini, digunakan
secara
konseptual
dan
teoritis
dalam
penyingkapan makna-makna fenomenal masyarakat adat dalam ruang budaya
di
mana
mereka
sudah
lama
hidup
kultural, kemudian
menghadapai
perkembangan industri keramahtamahan, akomodasi dan wisata yang tumbuh
semakin progresif dan kapitalistik sebagai kawasan industri pariwisata.
Piliang (2005: 1-13) menyatakan bahwa cultural studies sebagai idepemikiran yang terus berkembang, melalaui proses histories, dipengaruhi dan
dibangun oleh dua ‘semangat jaman’ (zeitgeist) yaitu modernisme dan
posmodernisme. Pada fase cultural studies modern,
isyu sentral yang
diangkat tentang budaya populer, budaya massa, industrialisasi, komodifikasi,
media massa, struktur
budaya, kode
budaya, ideology, subyek, hegemoni,
resistensi, dan lain-lain. Pada fase postmodern, isyu-isyu yang diangkat
bergeser ke arah isyu yang menjadi subject matter gerakan posmodernisme
sendiri:
yaitu
permainan
isyu-isyu
bebas
tentang
genesis, perubahan, produktifitas
tanda, ekonomi
libido, mesin
tanda,
hasrat, ketaksadaran,
heterogenitas, skizofrenia, nomadis, simulasi, hiperrealitas, geneologi atau relasi
pengetahuan dan kekuasaan, pengetahuan lokal dan etnisitas. Para pemikirnya
adalah Foucault, Deleuze, Guattari, Lyotard dan Baudrillard, yang banyak
dipengaruhi oleh kelompok posstrukturalis seperti Derrida, Barthes dan
Kristeva. Dua fase cultural studies dengan isyu-isyu dan subject matter-nya
tersebut, sangat dekat dengan fenomena sosial di Kuta sebagai kawasan
50
industri
pariwisata
dengan
berbagai
gejala
turistifikasi, komodifikasi,
pencitraan, simulasi dan hiperrealitas mitos dan budaya pariwisata yang
menyatu dengan atmosfir kawasan turistik internasional.
Posstrukturalisme menantang paham modernitas, di mana ‘logos’ bagi
post-strukturalis tidak lebih dari justifikasi dan legitimasi hasrat ‘kehendak
untuk berkuasa’ yang tidak disadari, sehingga standar-logos menjadi absurd.
Demikian juga dalam paham modernitas, memandang kekuasaan terstruktur
dan tertutup, kekuasaan yang memusat memiliki otoritas sebagai standartkebenaran, legitimasi kebenaran atau kebenaran kekuasaan. Dalam wacana
pengetahuan/kekuasaan menurut Foucoult (Barker, 2004: 82-82), menyatakan
bahwa kekuasaan bersifat menyebar dalam jaring-jaring relasi sosial yang
saling ketergantungan yang kompleks dan kontekstual, bukan terstruktur rapi
secara hirarkis sehingga diperlukan standart-nilai yang bersifat pluralistikkontekstual, bukan standart nilai universal yang bersumber pada pemikiran.
Ideologi dalam hal ini disebut dengan diskursus oleh Foucoult, karena lahir
dan bergerak sangat cepat dan mencair ketika menemukan kembali mediamedia diskursif atau bahasa.
Dalam ranah wacana yang melibatkan tanda dan reproduksi makna
dalam permainan bahasa sebagai istilah Witgenstein dan Derrida (Barker,
2004:90-93) secara
konseptual
merayakan
kehadiran
perbedaan
atau
difference. Perbedaan sama pentingnya dengan persamaan atau kemiripan
sehingga disinilah pengetahuan lokal atau pluralitas mendapatkan advokasi
pemaknaan sosial. Perbedaan bagi Derrida justru tampil amat obyektif
51
sehingga nilai standart dan standart kebenaran menjadi sesuatu yang
bersifat relatif
(Vattimo, 2003:29, 217, 219). Kepercayaan
akan adanya
kebenaran yang obyektif dan universal terlepas dari konteks dan motif-motif
kekuasaan mulai diragukan. Bahkan bahasa dalam pandangan Derrida sarat
akan permainan dan ‘kelihaian’ bahasa dalam penandaan dan reproduksi
ungkapan dengan makna-makna politis, emotif, persuasif atau provokatif.
Sehingga tepat bila dikatakan bahasa memiliki posisi labil dalam produksi
makna dan bukanlah ‘cermin’ utuh di mana bisa dilihat adanya keterkaitan
representasional dengan realitas dunia, tetapi
senantiasa
berkembang
dalam
proses
‘cermin retak’ di mana makna
reproduksi
makna, petanda
yang
bertambah jumlahnya dari satu penanda, atau hilangnya penanda. Maknamakna tersembunyi akan semakin banyak, baik makna tertunda, makna labil
atau lenyapnya makna asali dalam konsep ambivalensi poskolonial. Sehingga
harus mencetuskan penundaan atas perbedaan dengan DifferEnce/DifferAnce
atau perbedaan/penundaan terhadap makna tertunda/tersembunyi yang disebut
dengan ‘metafisika kehadiran’ oleh Heidegger, tercermin dalam teks sebagai
jejak logika ‘adalah, jika’ (as/if). Signifikasi dalam wacana, ketika tanda lahir
baik dalam bahasa tulis atau lisan, ‘peristiwa’ yang mendahuluinya sudah
mati atau hilang, ‘situasi’ bahasa dan ‘kehadiran’ pun bisa dihilangkan
dengan dimatikannya ‘peristiwa’ terlebih dalam realita komunikasi-maya
global yang sesungguhnya merupakan hiperrealitas yang jauh dari realita
sebenarnya. Dalam fenomena post-strukturalitas, sangat dibutuhkan metode
52
dan strategi dekonstruktif untuk menelusuri jejak atau trace peristiwa di
mana digunakannya teks, baik dalam tindakan komunikatif lisan atau tertulis.
2.3.5 Teori Poskolonial
Studi Poskolonial menguatkan metode cultural studies sebagai politik
intelektual, yang mengarahkan pada pengembangan kerangka dan peta pikir
yang lebih luas dan membumi. Arah dan perkembangan studi poskolonial di
Indonesia, menurut Budianta, seperti dipetik oleh Susanto (2003: 270) dalam
buku “Politik dan Poskolonialitas di Indonesia”, melihat adanya idealisasi
wacana poskolonialisme dalam studi komunitas-komunitas lokal atau indigenous
community di tanah air, ketika secara sadar menemukan berbagai budaya
dan identitas mereka memiliki lembaga, bahasa, nilai, tradisi atau adat dalam
praktis kehidupan sehari-hari.
Penggambaran realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat
disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses
dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial.
Adapun lapangan sasaran studi poskolonial, menukik pada proses dominasi,
ambivalensi, ambiguitas, keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni
budaya dan kekuasaan dalam wacana atau representasi pihak luar atau
penguasa terhadap komunitas. Poskolonialitas akan menyambung fenomena
imperialisme dan neo kolonialisme sebagai subjectmatter dan sasaran politik
identitas sebagai konsep, teori dan perjuangan dalam cultural studies.
Indigenisasi metodologis yang sedang hangat-hangatnya diwacanakan menjadi
53
agenda
permanen
intelektual-poskolonial
untuk
melawan
praktik-praktik
positivisme logis, menisbikan representasi ‘barat dan timur’ yang relevan dan
searah dengan aktualisasi cultural studies sebagai gerakan emansipatorispolitis intelektual, pembelaan terhadap subaltern dan the others.
Michel Foucault (Lubis, 2006: 224-227) menyingkap secara terbuka
bahwa
pemikiran
barat
yang
selalu
mendengung-dengungkan
ilmu
pengetahuan murni dan bebas dari nilai dan pengaruh kekuasaan adalah
suatu kebohongan besar. Foucault dan Derrida menganjurkan agar pemikir
barat menganalisis ulang dan mereinterpretasi pemikiran
yang mereka
hasilkan atau ilmu pengetahuan barat sebenarnya melahirkan pemahaman
spesifik atas dominasi barat, dominasi kuasa dan pengetahuan barat.
Teori pascakolonial sering disebut kritik pascakolonial (post-colonial
criticism) atau kajian wacana kolonial (colonial discourse) yang berkembang
di dunia ilmiah setelah kemerdekaan India tahun 1947 dan juga sebagai
reorientasi gerakan kiri di dunia ketiga. Buku Frantz Fanon “The Wrecthed
ot The Earth” (1961), dijadikan sebagai sumber utama inspirasi teori kritik
pascakolonial. Fanon, dalam bukunya, menyerang pembedaan keturunan kulit
hitam Afrika dengan kulit putih, sebagai wajah dari rasialisasi dan dinamika
kolonialisme
dan
merupakan
politik
metafisika
(Selden:
Lubis, 2006)
Serangan Thomas Kuhn, Polanyi, Habermas dan Foucault terhadap paradigma
positivisme, khususnya terhadap prinsip bebas nilai dan universalitas ilmu
sosial-budaya, juga
menjadi
landasan
poskolonialisme
yang
sama-sama
membongkar rasionalisme barat. Derrida dan Foucault menyebut rasionalitas
54
barat yang begitu terstruktur adalah rasionalitas rasis dan imperialis. Jelas
mereka
berdua
menentang
keras kebenaran universal kebudayaan dan
epistemologi barat. Pemikiran Derrida dan Foucault menjadi sumber energi
bagi teori poskolonial dalam merumuskan gagasan-gagasannya.(Lubis, 2006:
220)
Hall, C.
Michael & Hazel Tucker
dalam
“Tourism
and
Post
Colonialism” (2004: 1-5), dengan asumsi bahwa poskolonial lahir untuk
menandai tantangan, yang awalnya berupa tantangan sastra terhadap pusat
kekuasaan atau literary challenges to the hegemonic power of the centre,
yang tentu saja bukan merupakan fenomena baru pada saat ini. Konsep
poskolonialisme pada tahun 1990-an sudah banyak menyebarkan teorisasi
budaya, yang kemudian semakin meningkat mempengaruhi para intelektual
yang
berkecimpung
pada
lapangan
studi pariwisata.
di
negara-negara
berkembang, untuk memperhatikan identitas dan representasi, konstruk teori
terhadap lingkungan, sangat kuat mengarahkan referensi pada diskursus
poskolonial. Adapun tujuan dan sasaran Hall dan Tucker dalam buku itu,
untuk menguji beberapa jenis alat analisis dalam studi poskolonial yang
bisa memberikan distribusi metode dan kritik pada studi pariwisata.
2.3.6 Teori Kebijakan Publik
Kebijakan sebagai bagian permasalahan dan subject matter yang
sangat signifikan dalam tulisan ini, terkait bagaimana pariwisata ‘mengada’
dalam ruang budaya tradisional, dan bagaimana masyarakat lokal ‘mengada’
dalam ruang kawasan industri pariwisata, menempatkan kebijakan sebagai
55
masalah krusial dalam penelitian ini. Dalam kerangka teori eklektis kajian
budaya, untuk mempertemukan dan menginvestigasi isyu-isyu pariwisata yang
terkait dengan sirkulasi kekuasaan dan reproduksi wacana dan relasi kuasa
politik
kebijakan
bagaimana
pariwisata
atau
sebuah
kawasan
wisata
dikembangkan. Terbukanya realitas ini, membuka jalan untuk investigasi
terhadap
berkembangnya
gejala-gejala
adanya
hegemoni, dominasi,
marginalisasi, permainan bebas tanda komersial, komodifikasi, simulasi dan
fenomena lainnya yang menguatkan isyu dan fenomena poskolonialitas yang
sedang dihadapi. Penempatan Teori Kebijakan Publik, sangatlah strategis
untuk menggambarkan dan membedah sirkulasi kekuatan sektor pariwisata
di kawasan wisata Kuta, serta untuk menetralisir kekuatan wacana dan
kekuasaan pemerintah dan pengusaha di Balik kehidupan kawasan wisata, di
atas posisi diam dan commonsense masyarakat lokal khususnya desa adat.
Wayne Parson (2001) dalam bukunya “Public Policy: An Introduction
to the Theory and Practice of Policy Analysis”, atau dalam terjemahan
Kencana Prenada Media (2005) “Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik
Analisis Kebijakan”, berangkat dari dan/atau menuju konsep dan kerangka
kerja
‘kajian analisis kebijakan’
filosofis, sosiologis, politis, dan
dengan landasan dan latar belakang
ekonomi
di
Balik
perkembangan
teori
kebijakan publik. Konteks dan diskursus, wacana dan isyu, respon, apresiasi,
dan tindakan, mendapatkan perhatian krusial bagi Parson (2001: 70-75)
untuk mengkaji analisis kebijakan.
56
Dengan rekomendasi dan rujukan pada konsep-konsep diskursus
Habermas dan Foucoult, yang menunjukkan multiparadigma dan sikap
akademis yang kritis, berangkat dari wacana Thomas Kuhn tentang kritik
terhadap positivisme yang tidak memahami fakta sebagai bentuk-bentuk
nilai, Parson berasumsi bahwa kebijakan publik untuk khalayak dalam ruang
publik, harus melibatkan publik atau masyarakat dari pembuatan kebijakan
hingga evaluasi implementasi dan dampak kebijakan tersebut. Karena dalam
posisi dan peran strategis seperti itu, masyarakat benar-benar menempati
posisi dan peran sebagai subjek dan bersama-sama dengan pemerintah
sebagai pembuat kebijakan yang menyangkut kehidupan dan masa depannya.
Parson (2005: 1-4) menyebut ide “kebijakan publik” dan menelaah arti dari
gagasan tentang ruang publik (public sphere) dan privat yang senantiasa
berubah itu senantiasa membentuk suatu kebijakan publik. Ide kebijakan
publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam
kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik
bersama atau milik umum.
Cultural policy atau kebijakan budaya dalam konsep cultural studies
(Lewis, 2002: 217) menekankan dan memproyeksikan future culture dalam
menakar pemetaan budaya masa depan, yang dipandang krusial sebagai salah
satu agenda politik cultural studies oleh Lewis (2003: 217) dengan
menyasar pada kebijakan yang berfungsi mekanis dan strategis melintasi
domain politik kebudayaan. Sustainability dalam kebijakan pembangunan
pariwisata, tidak sebatas sustainable community, economy, politic, culture and
57
environment, tetapi
keberlanjutan dari buah pemikiran bersama antara
pemerintah, masyarakat dan pengusaha sebagai stakeholder pembangunan.
Hal ini searah dengan konsep Nicanor Perlas (2001: 197) dalam kerangka
three folding of society dan tiga pilar pembangunan (Mudana, 2005) yang
ideal dalam kehidupan global.
Konsep
Tiga
Pilar
(negara, masyrakat
dan
pengusaha)
yang
dikemukakan oleh Perlas, sering tidak berjalan dan berfungsi dalam realitas
sesungguhnya. Hal ini terkait dengan postulat Althusser (2004, 18-27)
tentang Ideological State Appratus (ISA) dan Represive State Apparatus
(RSA), di mana pemerintah dalam konteks pengendalian kawasan Kuta,
merupakan
simbol
negara, dari
kelurahan
hingga
kabupaten, sehingga
senantiasa ada jarak antara masyarakat dan pemerintah, hingga lahirnya
keputusan-keputusan
politis
individu
pejabat
penentu
kebijakan
selaku
stakeholder kunci.
2.4 Model Penelitian
Penelitian
kualitatif
dengan
metode
kajian
budaya
ini
akan
menyingkap makna-makna cultural studies dalam eksplorasi bentuk, fungsi
dan makna representasi budaya masyarakat lokal Kawasan Wisata Kuta dalam
poskolonialitas kawasan turistik dan politik identitas desa adat. Eklektisisme
teoritis dan indigenisasi metodologi tercermin dalam model penelitian berikut,
sebagai peta pikir analitik dalam penelitian dan analisis dalam studi tesis ini.
58
2. 4 Model Penelitian
PEMERINTAH
KEBUDAYAAN
PARIWISATA
GLOBAL
BALI
KEBIJAKAN
DI
PENGUATAN
KAWASAN PARIWISATA
NILAI
PENGUATAN
SISTEM
IDENTITAS
PARIWISATA
BUDAYA
BALI
REPRESENTASI BUDAYA
MASYARAKAT LOKAL DAN
RESISTENSI,
DOMINASI,
POLITIK IDENTITAS
STRATEGI
HEGEMONI
DESA ADAT KUTA
BUDAYA
PARIWISATA
DLM POSKOLONIALITAS
LOKAL
KAWASAN PARIWISATA
BENTUK
PROSES
MAKNA
Keterangan Model Penelitian:
: menunjukkan adanya relasi, representasi dan pengaruh nilai,
budaya, wacana, dan kekuasaan.
: menunjukkan adanya hubungan dan pengaruh timbal-Balik antara
dua domain atau ranah yang berbeda.
Kuta sebagai desa adat dan Kawasan Industri Pariwisata, dalam
kekiniannya, diliputi fenomena turistik yang digerakkan oleh komersialisasi
59
dan kapitalisasi produk yang mengatasnamakan pariwisata. Sehingga dalam
alir analisis sampai hasil studi di kawasan wisata Kuta ini, fenomena turistik
dilihat searah dan identik dengan aktifitas komersial dan kapitalistik global
atau mendunia. Citraan kapitalistik semakin menguat dan mendominasi
penempatan ruang secara nyata dengan representasi turistik. Komodifikasi
membuka (re)produksi budaya turistik dengan cangkokan makna-makna
budaya artifisial dengan silang-kontestasi tanda komersial-turistik. Dalam
kontestasi tanda turistik komersial kapitalistik global ini, berbagai mode
simulasi
dan
komodifikasi, dominasi
dan
hegemoni
tampak
semakin
ambivalen bagi masyarakat lokal yang heterogen, dalam representasi global
dan
multikultural
dengan
menipisnya
karakter
keindonesiaan
sebagai
masyarakat kawasan wisata. Menguatnya kesadaran publik Kuta sejalan
dengan gerak politik identitas, yang menguatkan posisi hubungan antara
masyarakat, pengusaha dan pemerintah sebagai tiga pilar negara (Perlas,
2004) yang harus dikuatkan dalam kehidupan global.
60
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan kerangka kerja
interpretative cultural studies atau kajian budaya, teori-teori yang menjadi
landasan penelitian atau acuan analisis, dikonstruk secara eklektis sesuai
dengan konsepsi penelitian yang multidisipliner. Obyek penelitian ini adalah
realitas sosial yang mencakup gerak individu dan lembaga di dalamnya,
dengan identitas, nilai, budaya, tradisi, masyarakat lokal di kawasan wisata.
Realitas sosial dalam hal ini searah dengan tekanan poskolonialitas dalam
kawasan pariwisata.
Data deskriptif yang dihasilkan dalam penelitian, baik dalam bentuk
data lisan, tertulis, atau dokumen-dokumen dari sumber berkompeten dan
para informan (kunci dan ahli) akan dikumpulkan dengan menggunakan
teknik dan metode penelitian eksploratif kualitatif. Peneliti sebagai instrumen
turun langsung ke lapangan dengan pengamatan terlibat atau partisipatoris
untuk mengadakan pengamatan, pencatatan, dan pengambilan dokumentasi
foto, rekaman suara dan lain sebagainya selama proses-proses signifikan
berlangsung. Teknik penelitian eksploratif ini dilakukan untuk mendapatkan
data berupa keterangan deskriptif yang rinci mengenai makna suatu benda,
tindakan, interaksi dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini, peneliti mengeksplorasi sisi subjek, dari pola
60
61
pikir, sikap dan praksis dalam tindakan budaya sekaligus tindakan ekonomi
masyarakat lokal dalam dinamika kawasan pariwisata.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi
Penelitian
ini
adalah
wilayah
Desa
Adat
Kuta
yang
posisinya berada dalam bentang ‘zoning’ kawasan industri pariwisata Kuta
sebagai bagian ikonik dari Bali sebagai world tourism destination atau
tujuan kunjungan pariwisata dunia di Indonesia. Pemilihan lokasi penelitian
didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Desa Adat Kuta merupakan desa adat yang memiliki kontak dan
interaksi langsung dengan aktifitas industri pariwisata.
2. Kawasan Pariwisata Kuta merupakan kawasan turistik dengan
perkembangan
yang paling pesat secara fisik, komersial dan
global, yang
menjadi ikon Bali sebagai destinasi wisata dunia.
Hal ini menarik perhatian untuk meneliti keberadaan ‘masyarakat
lokal’ atau lokal people yang terdiri atas warga Desa Adat Kuta,
penduduk yang berdomisili di Kelurahan Kuta dan penduduk
pendatang yang tidak terdaftar atau the others.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan untuk penyusunan tesis ini adalah data
kualitatif. Dalam penelitian ini, data akan dikumpulkan dari sumber primer
dan sekunder, yaitu data primer yang didapatkan langsung dari informan di
62
lapangan, serta
data
sekunder
yang
diperoleh
dari
dokumen-dokumen,
tulisan/artikel, laporan hasil penelitian, dan buku-buku literatur dari sumber
yang berkompeten, terkait erat dengan kehidupan desa adat dalam dinamika
kawasan pariwisata di Bali dan khususnya di kawasan wisata Kuta. Data
sekunder dikumpulkan dari sumber-sumber, data statistik provinsi, kabupaten,
kecamatan
dan
desa/kelurahan, dan
tulisan
berkompeten, yang
memuat
dinamika kepariwisataan, penataan kawasan pariwisata, posisi dan peranserta
desa adat dalam pariwisata.
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen dengan
menggunakan
alat
Bantu;
notebook, anecdote, tape-recorder, kamera
dan
video-recorder, disamping pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan
yang disebut interview guide. Nawawi (1992: 69, 74) menegaskan bahwa
pengumpulan data harus dilakukan dengan menggunakan instrumen yang
tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian
dapat dikumpulkan secara lengkap. Ditegaskannya (Nawawi, idem) dalam
melakukan penelitian, mulai dari tahap observasi harus mencatat dengan
telitidan seksama semua gejala-gejala dalam fenomena di sekeliling objek
penelitian.
Dari semua fenomena
yang diamati, harus bisa
hubungan antar fenomena yang berkembang.
ditemukan
63
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Hubungan interaksional sikap dan perilaku seseorang, kelompok dan
masyarakat, merupakan fokus analisis dalam studi eksploratif ini, dengan
fokus perhatian pada wacana, dialog atau ungkapan yang muncul dalam
setiap interaksi atau komunikasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti sebagai
instrumen penelitian, yang menempatkan setiap individu atau informan
sebagai subjek penelitian (Faisal: Bungin, 2006: 9-16). Sehingga penerapan
triangulasi sangat penting (Mantra, I.B., 2004: 79-89) dengan mengadakan
‘crosscheck’ antar sumber data, domain, sequence atau runutan makna dan
hubungan antar fenomena, sesuai keterkaitan metode dan hubungan antar
teori hingga pendekatan, untuk mengukur sejauh mana validitas temuan
penelitian dengan pembuktian atau klarifikasi dari berbagai sisi yang
berbeda. Demikian pengumpulan data dengan triangulasi pada temuantemuan dari sumber-sumber data yang ada dengan memakai empat tehnik
pengumpulan
data
dari
beberapa
tehnik
yang
ada
yaitu;
observasi,
wawancara, focus group discussion, dan studi dokumentasi.
3.5.1 Wawancara
Dilakukan dengan informan yaitu orang yang dekat dengan Sumber
masalah; para ahli di bidang terkait yang tidak terikat dengan tempat
domisili dan informan insidental yaitu orang ditemukan secara tidak sengaja
di lokasi penelitian yang bisa memberikan informasi secara jelas.
64
3.5.2 Pengamatan Langsung
Dalam
penelitian
kualitatif
ini, peneliti
mempergunakan
teknik
observasi langsung, yaitu kegiatan pengamatan, pengindraan dan pencatatan
fenomena atau hubungan antar fenomena yang terjadi di Desa Adat Kuta
dengan komunitas budaya, lembaga, tradisi dan nilai yang melekat dengan
identitasnya, dalam dinamika kawasan pariwisata Kuta dengan aspek turistik,
komersial, kapitalistik, terbuka dan global yang
menyatu dengan image
atau citranya sebagai satu kawasan Kuta yang lebih luas dan lebih besar
dari wilayah Desa Adat Kuta. Sehingga dalam dalam intensitas tertentu,
observasi terhadap Kuta sebagai desa adat dan kawasan industri pariwisata,
mesti penulis lakukan selama 24 jam lebih, sesuai dengan Nawawi (94:
1995) menyebutkan bahwa metode observasi adalah cara pengumpulan data
yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang
tampak pada objek penelitian yang pelaksanaanya langsung pada tempat di
mana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi.
3.5.3 Dokumentasi
Studi dokumentasi yaitu pengumpulan data dari bahan-bahan tertulis
seperti Bali dalam Angka, Badung Dalam Angka, Profil Kelurahan Kuta,
perda, surat keputusan, Laporan Penelitian BUIP dan dokumentasi lainnya
yang terkait dengan masalah penelitian ini. Cara ini dilakukan dengan
mencari, memahami dan langsung mencatat data-data yang relevan dengan
65
masalah penelitian disamping temuan data dari survey awal, observasi dan
wawancara.
3.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif, dengan metode dan
kerangka studi kajian budaya atau cultural studies. Pendekatan analisis
ethnografis (Bungin, 2006: 168-184), dalam satu analisis kualitatif (Bungin,
2006: 83-93), dalam
hal
ini menggunakan teknik analisis content (isi)
analysis, analisis domain dan analisis taksonomik pada beberapa domain
yang siginifikan. Teknik triangulasi (Moleong, 2001: 178) dilakukan untuk
mendapatkan data yang valid, setelah data lapangan terkumpul.
3.7 Teknik Penyajian Hasil
Hasil penelitian ini akan disajikan secara deskriptif-kualitatif dalam bentuk
laporan ilmiah, yaitu secara formal disusun dengan kata-kata yang tercakup
dalam satu bentuk tesis, dan secara informal didukung dengan table, grafik,
foto dan gambar.
66
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1
Profil Kawasan Pariwisata Kuta
Pariwisata
yang
sudah
dilembagakan
di
Indonesia, memberikan
wacana dan sirkulasi formal tentang sektor ekonomi tersier. Label industri
jasa
yang digerakkan oleh mesin ekonomi pariwisata, sudah menarik,
melibatkan dan mendorong banyak pihak (baca: stakeholder) untuk menaruh
perhatian besar dan investasi di dalamnya. Dinamika Bali pada kekiniannya,
menarik perhatian untuk melihat lebih dalam dank e belakang pada jejakjejak transformasi dan perkembangan masyarakatnya di Balik citra destinasi
wisata internasional. Kuta sebagai lokasi penelitian tesis ini, tidak pernah
selesai untuk diamati dan dikaji secara cultural studies atau kekajianbudayaan.
Kawasan pariwisata Kuta memiliki luas wilayah sebesar 15.521 has,
yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Kuta. Kedudukan Kawasan Kuta
secara geografis terletak pada posisi 080 36’20” -080 50’ 80” Lintang
Selatan (LS) dan 115 0 5’ 0”- 1150 14’ 30” Bujur Timur (BT), dengan
batas-batas fisik wilayah sebagai berikut: di sebelah utara di sebelah timur
adalah Kodya Denpasar di bagian utara dan Selat Badung di bagian
selatannya Selat Badung, sebelah selatan dan barat adalah samudra Indonesia
dan sebelah utara berbatasan dengan Kota Denpasar dan Desa Kerobokan
(Kuta Utara). Kelurahan Kuta sebelum tahun 2000, mencakup Desa Adat
66
67
Legian dan Desa Adat Seminyak yang merupakan wilayah dengan tingkat
perkembangan paling tinggi sehingga tidak berlebihan kalau daerah ini
dikatakan sebagai pusat pengembangan kawasan wisata ini. Wilayah yang
merupakan fokus wilayah studi ini, yaitu Desa Adat Kuta
dengan tiga
belas banjar adat dan dua belas banjar dinas atau lingkungan dalam
kewilayahan Kelurahan Kuta sebagai pusat Kecamatan Kuta.
Pulau Bali sebagai tujuan wisata internasional, sudah berkembang
secara fisik dengan banyak perubahan tata ruang. Hal ini searah dengan
pengaruh pertambahan jumlah dan mobilitas penduduk di masing-masing
kota kabupaten, kota, dan provinsi secara umum. Pusat-pusat perekonomian
tentunya membuka dan menarik mobilitas penduduk. Kawasan pariwisata
tentunya memberikan pengaruh yang searah dengan kota sebagai pusat
perekonomiankabupaten. Aktifitas jasa kepariwisataan yang
dikembangkan
sejak tahun 1920-an, mengkondisikan titik-titik pusat daya tarik wisata, objek
turistik, kawasan akomodasi, sentra seni dan kerajinan, dan tempat-tempat jasa
pelengkap
pariwisata
hingga
pertokoan dan pasar
seni, kerajinan
dan
cinderamata.
Sesuai dengan permasalahan dan konsep metodologi tesis ini, yang
memilih Desa Adat Kuta sebagai tempat lokasi penelitian, karena latar
belakang tersebut yang masih berkembang kuat sebagai fenomena pariwisata
dan ekonomi global. Kuta mengawali cairnya turisme pelancong asing
dengan turisme ‘jiwa dagang’ masyarakat lokal. Pemanfaatan sumber daya
seni dan potensi ekonomi untuk kepariwisataan sudah dilakukan sejak
68
sekitar tahun 1968. Ketika Bali masih sepi dan diliputi trauma pecahnya
suasana revolusi dalam masa penumpasan PKI dan ormas-ormasnya. Masa
transisi pemerintahan orde lama ke orde baru juga memberikan suasana
mengambang di daerah. Kedatangan para hippies di Kuta, membuka kesan baru
bagi masyarakat lokal.
Masyarakat lokal kawasan Kuta (baca: sebutan mekanis sekarang)
pada masa itu, sedang diliputi masa sulit pangan, sandang, dan perumahan.
Terlebih lagi pendidikan belum dirasakan sebagai kebutuhan bagi sebagian
besar warga, sehingga tamat SMP sudah cukup bagi warga Kuta, dengan
penghasilan di berternak, bertani di sawah atau tegalan. Adatasi ekonomi
sederhana yang dilakukan oleh warga Kuta terhadap kedatangan, kebutuhan,
dan keinginan para pelancong (baca: wisatawan sekarang), menjadikan sebagian
warga Kuta menduduki posisi kelas ekonomi baru, namun sebaliknya ada
yang tetap hingga sekarang menjadi peternak, pedagang kecil, nelayan dan
pemulung.
Pengaruh baik dan buruknya harus diterima dan memang diiakan
dalam keterdesakan dan posisi kekalahan warga Kuta. Semangat untuk
mengenyam pendidikan tinggi, mencari terobosan potensi komersial atau
perekonomian. Sebaliknya minuman keras juga menjadi hal biasa bagi
generasi muda Kuta. “Siapa yang tidak bisa minum (alkohol) di Kuta?”,
demikian tungkas beberapa pemuda yang ditemui oleh penulis. Mangku
Urip mengkonfirmasi efek pariwisata bagi masyarakat lokal, dalam konteks
moral, ”pengaruhnya sesuai dengan tingkat intelektual kita masing-masing”.
69
Pengaruh citraan kawasan pada ruang kesadaran, sesuai daya
nalar individu
di dalamnya, yang akan mendorong sikap dan representasi mereka masingmasing dalam komunitas.
Kebijakan pembangunan pariwisata Bali yang dikembangkan adalah
Pariwisata budaya sesuai dengan Perda Propinsi Tk. I Bali nomor 3 tahun
1991. Kelahiran bentuk pariwisata budaya sendiri sebenarnya melalui suatu
proses yang panjang sejak tahun 1970-an. Istilah pariwisata budaya mulai
mendapat tanggapan serius sejak dilaksanakannya seminar pariwisata budaya
daerah Bali, tanggal 15-17 Okteober 1971. Bila mengacu pada Perda
Tingkat I Bali nomor 3 tahun1991, maka yang dimaksud dengan Pariwisata
Budaya
adalah
jenis
kepariwisataan
yang
dalam
perkembangan
dan
pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh
agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan Nasional
Wacana di atas berkembang kini dengan wacana keselarasan adat, seni,
dan budaya yang saling mendukung dengan pariwisata budaya. Sehingga konsep
learning and experience dalam pariwisata menjadi penanda bahwa semua
pihak atau
stakeholder harus senantiasa menyikapi dan belajar
pada
perkembangan dan dinamika pariwisata sebagai industri global. Kebijakan
yang akan dilakukan pun harus bercermin pada fenomena, dinamika dan
kebutuhan masyarakat lokal.
Sesuai dengan Keputusan gubernur Kepala Daerah tingkat I Bali
nomor, 528 Tahun 1993, Bali memiliki 21 kawasan wisata. Dari 21 kawasan
yang ditetapkan ini, maka pada tahun 1999 ditinjau kembali dan kemudian
70
ditetapkan menjadi hanya 15 kawasan wisata. Khusus kabupaten Badung
memiliki 3 kawasan wisata yang meliputi kawasan wisata Nusa Dua, Kuta
dan Tuban. Berdasarkan ketetapan gubernur Bali nomor 528 tahun1993,
kawasan wisata Kuta meliputi Kelurahan Kuta (992 Ha), desa Kerobokan (1,
598 Ha) dan desa Canggu (1, 173 Ha), dengan luas keseluruhan adalah 3,
763 Ha.
Berdasarkan
kebijakan
dari
Pemerintah
pusat
melalui
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun1979, sudah dilakukan penyerahan sebagian
urusan pemerintah dalam bidang kepariwisataan kepada daerah Tk.1 menjadi
urusan otonomi Daerah. Urusan yang dieserahkan meliputi 12 yaitu :
Urusan Objek Wisata, menurut peraturan perundang-undangan yang
akan berlaku tidak menjadi urusan pusat yaitu:
1. Urusan Pramuwisata.
2. Urusan Losmen dan Hotel Melati.
3. Urusan Penginapan Remaja.
4. Urusan Pondok Wisata.
5. Urusan Perkemahan.
6. Urusan rumah Makan.
7. Urusan Bar.
8. Urusan Mandala Wisata.
9. Urusan Kawasan Wisata.
10. Urusan Rekreasi
11. Urusan Hiburan Umum.
71
12. Urusan Promosi Pariwisata Daerah.
Lebih
lanjut
Pemerintah daerah
Tk. 1
Bali
mengembangkan
pembangunan kepariwisataan di seluruh Daerah Tk. II atau kabupaten sesuai
dengan potensi dan sarana prasarana yang ada. Oleh karenanya pemerintah
daerah Tk.1 Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 1989,
tentang penyerahan sebagian urusan Pemerintah daerah Tk.1 di bidang
kepariwisataan kepada kabupaten daerah Tk.II. urusan yang diserahkan itu
meliputi urusan objek wisata, sepanjang menurut peraturan perundangundangan yang berlaku atau akan berlaku tidak menjadi urusan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah provinsi, yaitu:
1. Urusan Perkemahan.
2. Urusan mandala Wisata.
3. Urusan Rekreasi dan Hiburan Umum, kecuali disko dan rekreasi air.
4. Urusan promosi di wilayahnya.
Sementara itu dari data sebaran investasi baik dengan fasilitas dari
Penananan Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri
(PMDN) pada sektor pariwisata dan perhubungan di masing-masing Daerah
Tk.II atau kabupaten di Bali, secara kumulatif dari tahun 1961 sampai 1991
konsentrasi investasinya terbanyak ada di kabupaten Badung, yaitu mencapai
95, 63%
(BKMD
Provinsi
Bali, 1992).
Kondisi
ini
memperlihatkan
pertumbuhan yang kurang merata dan akan berdampak kurang baik, sebagai
suatu
kesenjangan
dan
ketimpangan
sosial
antar
daerah
dan
dalam
kehidupan masyarakat. Akibatnya akan dapat pula mendorong terjadinya
72
urbanisasi ke Kabupaten Badung (khususnya Kuta dan sekitarnya), serta
mengakibatkan kerawanan keamanan dan kenyamanan dan mudah terjadinya
konflik sosial.
Berdasarkan pengalaman ini, dan dengan adanya penyerahan sebagian
urusan
kepariwisataan
pelaksanaan
otonomi
ke
kabupaten-kabupaten, dengan
daerah, maka
kini mulai
dimantapkannya
diupayakan
sebaran
memeratakan penanaman investasi dalam pengembangan kepariwisataan di
seluruh Bali. Dalam bidang akomodasi misalnya dari 32.865 jumlah kamar
yang ada di Bali tahun 2000, sekitar 21.007 kamar yang ada di Kabupaten
Badung, atau sekitar 63, 92%. Sedangkan di Kabupaten Karangasem hanya
ada 1.356 kamar (4, 13%). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan sarana pariwisata berupa akomodasi masih kurang seimbang.
Pertumbuhan
hotel bintang di Kabupaten Badung
menunjukkan
tingkat perkembangan yang paling tinggi di Bali. Tahun 1995 dan 1996 di
Kabupaten Badung terdapat 57 hotel berbintang dengan jumlah kamar
sekitar 11.128 kamar, kemudian bertambah lagi pada tahun 1998 menjadi 69
hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 12.967 kamar. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa kabupaten Badung dengan tiga kawasan wisata
yang dimiliki yakni : Nusa Dua, Kuta dan Tuban adalah merupakan daerag
hunian/ tourist resort yang paling banyak diminati, mengingat jaraknya yang
tidak begitu jauh dari Bandara Internaasional Ngurah Rai (3-5 Km) dari
ketiga wilayah kawasan wisata yang ada. Demikian juga posisi strategis
Kuta, Tuban dan Nusa Dua sangat dekat dengan Ibu Kota Provinsi Bali,
73
Denpasar dan sekitarnya yang lebih kurang jaraknya sekitar 8 Km ke Kuta
dan jarak terjauh ke Nusa Dua sekitar 15 Km.
Jika
dihubungkan
wisatawan nusantara
dengan
kunjungan
wisatawan
maupun mancanegara, selama
ke
Bali
baik
lima tahun terakhir
(1996-1999) adalah sebagai berikut: 4.048.755 (tahun 1966), 4.506.471 (1997),
4.066.150 (tahun 1998) dan 4.041.017 (tahun 1999). Terlihat adanya
fluktuasi kunjungan wisatawan ke Bali, sedangkan jumlah kamar hotel yang
ada meningkat terus sehingga ada kecenderungan terjadi “over supply” di
samping akan terjadinya persaingan usaha yang semakin ketat dan bebas,
sehingga cenderung muncul persaingan yang kurang sehat. Perkembangan
pariwisata
yang
tampak
pesat
ini, juga
diimbangi
dengan
adanya
pertumbuhan dalam bidang jasa entertainment yakni makin banyaknya pusatpusat
perbelanjaan
yang
terkait
dengan
kebutuhan
untuk
pariwisata.
Demikian juga kian banyak berkembang rumah makan atau restaurant dan
kafe yang kini lagi sedang banyak diminati tidak hanya oleh wisatawan dan
juga masyarakat lokal.
Perkembangan
kepariwisataan
Bali
sebenarnnya
juga
tidak
bisa
dilepaskan dari peranan Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang ada dan
dengan gencarnya membuat serta menjual paket wisata atau tour packages
sehingga wisatawan tertarik dan mau dibawa ke Bali. Keberadaan BPW dan
beberapa travel Agent yang berjumlah 178 buah merupakan ujung tombak
dari pemasok
utama
wisatawan
mancanegara
ke
Bali.
Perkembangan
kepariwisataan yang kini merabah ke seluruh daerah di Bali sudah dirasakan
74
manfaatnya dengan semakin terbukanya peluang kesempatan kerja. Terkait
partisipasi masyarakat dalam pariwisata dalam pertumbuhan awal destinasi
Bali dengan mengemas pariwisata budaya sebagai modal budaya sekaligus
penanda pariwisata sebagai sektor handalan, sangat menarik untuk melihat
kembali dalam perkembangan sektor pariwisata pada dekade 1990-an.
Pesatnya tingkat perkembangan kepariwisataan Bali dalam ruang
resepsi budaya
masyarakat lokal kawasan
dan masyarakat Bali pada
umumnya. Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dan bergelut dalam
profesi dan usaha yang langsung maupun tidak langsung kontak dengan
pariwisata. Demikian juga terjadi indikasi seBaliknnya pada sektor pertanian
yang cenderung menurun dalam serapan tenaga kerja. Keadaan seperti ini
juga dapat dipahami mengingat pengembangan pariwisata
menghabiskan
banyak lahan pertanian menjadi daerah kawasan dan demikian juga banyak
merobah
peruntukannya
sebagai
sarana
prasarana
kepariwisataan
yang
diperlukan seperti: akomodasi, pertokoan/art shop, reataurant, kafe, pub dan
atraksi
wisata.
Banyaknya
terjadi
pengalihan
fungsi
lahan
untuk
pengembangan pariwisata oleh masyarakat Bali, dilakukan juga di Kuta
dengan hilangnya sekitar 40an hektar
Abianbase yang identik dengan sebutan
persawahan di lingkungan Banjar
persawahan ’Abian Baase’ yang
artinya tempat produksi beras atau ladang beras.
75
4.2
Sejarah dan Perkembangan Kepariwisataan Kuta
Sejarah Kuta menjadi sebuah petit histoir atau sejarah kecil yang
menarik bila dilanjutkan dengan lahirnya turisme di pantai putih yang indah
pada masa 1960-an. Kisah Miss Menk atau Ayu Poppies yang romantik,
menjadi
penanda-penanda
turisme
dan
semangat
glokalisme
dalam
kekiniannya. Kuta begitu akrab dan terkenal. Hampir di seluruh masyarakat
dunia mengenal nama Kuta. Demikian desa Kuta yang sudah sejak ratusan
tahun lalu, dihuni oleh beragam etnik. Mereka datang dari Jawaa, bersama
bala tentara Kerajaan Majapahit dalam politik ekspedisi Gajah Mada dalam
kurun waktu 1343-1846. Kedatangan penduduk Jawa lainnya dalam masa
zaman Samparangan sekitar tahun 1350-an sebagai pengikut Dalem ketut Sri
kresna Kepakisan, kemudian muncul pula orang-orang Cina pedagang. Hal ni
bisa dibuktikan dengan adanya kelenteng yang diperkirakan berumur lebih
dari dua ratus tahun (lihat Monografi Kec. Kuta, 1991/92 dan 1997).
Secara historis, ada empat tahapan waktu yang dapat dikemukakan
dalam pengembangan wilayah tersebut sebagai daerah wisata yang masingmasing memperlihatkan kondisi yang khas dan memberikan gambaran
bahwa sebagai daerah waisata, desa Kuta mempunyai potensi-potensi yang
khusus pula sesuai tahapan perkembangannya.
4.2.1 Kuta sebelum Kemerdekaan
Kuta menjadi penanda historis Bali selatan sejak zaman kerajaan.
Pertama, Kuta merupakan sebuah desa magis yang dijadikan pelabuhan kuno
76
yang disebut Kuta dalam kaitan nama tempat di antara Tuban dan Canggu
sebagai representasi bekas ekspansi Kerajaan Majapahit sejak abad ke 13,
kemudian dihuni oleh pendatang dari Jawa, Bugis dan orang-orang buangan
pada masa pemerintahan Kerajaan Bali yang berpusat di Gelgel pada sekitar
abad ke 15 sampai abad ke 16.
Kedua, Kuta sebagai wanua atau desa adat baru di bawah Kerajaan
Mengwi pada abad ke 17, merupakan hutan pesisir yang sangat indah yang
disebut Kuta Mimba. Pemetaan tradisional pada masa ini, masih dalam bentang
wilayah kerajaan tradisional Mengwi, sebagai desa pesisir.
Ketiga, Kuta identik dengan kota (baca: kota dalam lafal Bali), di
bawah kekuasaan Kerajaan Badung, yaitu kota kecil pelabuhan yang memiliki
dua sisi dermaga alami yaitu sisi barat di Pantai Kuta dan sisi timur di
Sungai Mati. Cerita turun-temurun tentang Tuan Lange, terkait dengan
situasi pada masa ini, dimana Mads J. Lange mendapat kepercayaan dari
Kerajaan Badung untuk memegang posisi syah bandar sekaligus Perbekel
Kuta dengan julukan ’Tuan Made Lange Tua”. Wajah multikultural Kuta,
terbentuk sejak sebelum abad ke 17, yang tercatat dalam kedatangan warga
Tionghua di Kuta sekarang.
Keempat, Kuta merupakan desa pesisir penghubung perbukitan selatan
kaki Pulau Bali dan Badung (baca: Denpasar sekarang), yang nihil aktifitas
ekonomi berskala makro. Kondisi ini merupakan keadaan yang tidak banyak
diketahui orang, baik dari mulut ke mulut maupun bahan-bahan tertulis
lainnya. Sebagaimana dengan desa-desa lainnya, penduduk desa Kuta terdiri
77
atas penduduk Bali yang hidup dan mata pencaharian sebagai petani dan
nelayan. Pekerjaan ini cukup lama digeluti walaupun sarana transportasi
belum lancar.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, pada sekitar tahun 1930
sampai 1940-an, Kuta mendapatkan perhatian dari seorang wanita asing
berkulit putih berkebangsaan Amerika datnag dan kemudian tinggal di Bali
”Nyonya Manx (Bahasa Bali diucapkan, Meng)” adalah sebutan yang
diberikan oleh penduduk Kuta kepada wanita asing tersebut. Hal ini
mungkin sebuah kelakar saja dari rambut wanita asing yang pirang itu
seperti warna kucing (dalam bahasa Bali ”meng”). Nama Nyonya Manx,
sesungguhnya adalah merupakan nama fam atau keturunannya dari ayahnya
bangsa manx, di Skotlandia. Orang-orang manx sangat percaya tahyul, sihir
dan orang kerdil dan masalah-masalah gaib serta sebagai rakyat yang ulet,
mempunyai daya tahan yang aneh dalam menghadapi cobaan hidup. Dan
ketika tahun 1932 menurut nyonya Manx, dalam buku revolt in paradisenya yang dialih bahasa oleh Abdul Bar Salim, (1964) mula pertama adalah
berawal dari ia menonton film The Last Paradise atau ”Bali Sorga
Terakhir” di sebuah bioskop di Hollywood menggugah hatinya untuk datang
ke Bali sebagai tempat yang selama ini diinginkannya (K’tut Tantri, 1964,
33-36). Bali dengan pantai Kuta, religiusnya dan ketenangannya dan keadaan
hidup yang damai dalam suasana yang penuh kasih sayang dalam film
tersebut akhirnya menggugah hatinya untuk segera mengunjunginya.
78
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kemasyuran Bali sebagai
daerah wisata ke manca negara sudah mulai dikenal jauh sebelum tahun
1932. ketika sudah di Bali Nyonya Menx selanjutnya diangkat anak oleh
raja Bangli, dan diberi nama, K’tut Tantri. Semenjak diangkat anak anak,
maka ia semakin diterima di tengah-tengah masyarakat Bali dan banyak
dapat kemudahan ketika ia mendirikan sebuah hotel di Kuta yang bernama
hotel Suara samudera. Hotel yang begitu terkenal dengan gaya arsitektur
campuran antara Bali tradisional, puri dan Eropa, dikerjakan oleh Wayan dan
arsitek Bagus, serta bantuan yang banyak dari putra raja yang bernama
Anak Agung Ngurah (K’tut tantri, 1964, 139-161). Mungkin inilah salah satu
hotel yang pertama berdiri di Kuta dan menjadi terkenal sebagai tempat
yang unik dan memperoleh sukses.
Semangat persahabatan sangat terasa, sehingga tamu konon sampai
keluar masuk dapur untuk ikut belajar bagaimana membuat masakan
Bali/Indonesia. Kata orang bahwa hotel suara samudera adalah tempat di
mana tamu menunggu pelayan, bukan pelayan menunggu tamu. Hal ini tidak
berlangsung lama, akrena polisi kolonial Belanda berusaha menutup dan
menangkap para pelayan hotel, dengan alasan bahwa hotel ini tempat cabul
dan prostitusi. Kolonial Belanda melaui Gubernur Jendralnya memerintahkan
membersihkan semua homo-seksual, sebagai dalih agar dapat melakukan
penangkapan pada orang-orang yang tidak berdosa dan bersalah yang
mungkin
dicurigai.
Kekhawatiran
para
controllir
Belanda
ini
tampak
membatasi pergaulan antara orang lokal dengan bangsa berkulit putih, dan
79
senantiasa membodohi masyarakat lokal. Bila hotel Suara Samudera terus
berkembang dan interaksi antara masyarakat lokal makin intensif, maka
dikhawatirkan akan terjadi banyak perlawanan yang menyulitkan kedudukan
pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia dan Bali khususnya. Apapun
persoalan itu yang jelas berdasarkan hal ini, Hotel Suara Samudera dan
K’tut Tantri di Pantai Kuta sebagai awal dari sejarah pantai Kuta sebagai
tempat wisata yang terkenal ke manca negara.
Selanjutnya
pada
masa
pendudukan
Jepang
yang
mengalahkan
Belanda, hotel Suara Samudera ini dicurigai sebagai tempat berkumpulnya
para opsir-opsir Belanda, dan terutama dicurigai sebagai tempat bertemunya
para pejuang Pergerakan Kemerdekaan Republik dalam melawan upaya
merencanakan
dan
melawan
Jepanjg.
Oleh
karenanya
tentara
Jepang
akhirnya menghancurkan hotel Suara Samudera tersebut. Lenyaplah semua
kebanggaan
Nyonya
Menx
alias
K’tut
tantri
bersama
hotelnya
dan
keiKutannya dalam pergerakan kemerdekaan maka ia pun akhirnya sempat
dipenjarakan. Tidak berarti ketenaran dan keindahan pantai Kuta lantas menjadi
tenggelam, ternyata jumlah kunjungan masyarakat sekitar dan Denpasar serta
wisatawan mancanegara semakin banyak yang datang menikmati keindahan
pantai dan alamnya sebagai daerah wisata yang terus berkembang.
4.2.2
Tumbuhnya Turisme Kuta setelah Masa Kemerdekaan
Memasuki masa
kemerdekaan
Indonesia
hingga
tahun 1970-an.
Turisme tumbuh dari embrio hasil interaksi yang semakin lama antara
80
warga desa dan pelancong asing. Dengan referensi artikel dan informasi di
negaranya, para wisatawan menemukan sendiri pantai Kuta dengan datang
sebagai pelancong (baca: sebutan turis pada masa ini) yang datang ke Bali
dan khususnya menyenangi pantai Kuta. Keadaan ini dapat digambarkan
melaui perkembangan kepariwisataan Kuta yang cepat dan tanggapnya para
wisatawan usia muda (young traveller) terutama yang berasal dari Australia
yang datang ke Kuta semakin ramai pada masa-masa akhir dasa warsa 60an.
Pada awal tahun 70-an, pantai Kuta diramaikan oleh pengunjung yang
pada masa itu, disebut hippies yang pergi tanpa suatu program perjalanan
tertentu, lebih senang mengurus diri sendiri daripada terikat dan ditangani
oleh agen wisata atau biro perjalanan umum. Mereka kebanyakan pergi
dengan berpasang-pasangan dan sangat jarang berkelompok/bergroup. Demikian
juga pada mulanya mereka
penduduk, makan
di
ini lebih senang tinggal di rumah-rumah
warung-warung
penduduk
dengan
apa
adanya,
berkendaraan sepeda motor dengan berpakaian sederhana seperti layaknya
petani dan nelayan dipantai Kuta. Para wisatawan jenis ini tampak lebih
berkualitas dan belum menunjukkan adanya ugly tourist. Mereka masih
sopan, senang melihat budaya dan bahkan karena tinggal di rumah penduduk
sehingga
tidak
sedikit
yang
ikut
mau
berpartisipasi
dalam
aktivitas
masyarakat dalam kehidupannya berumah tangga sehari-hari.
Kedatangan yang terus meningkat ini, maka oleh masyarakat Kuta
berupaya memanfaatkan kehadiran para wisatawan itu dengan membuka
81
usaha
penyewaan
rummah
penginapan, penyewaan
sepeda
motor, serta
membuka warung-warung makan serta cenderamata (souvenir), dan jasa
lainnya yang sesuai dengan kebutuhan para wisatawan. Oleh karenanya pada
masa tahun 1970-an Kuta marak dengan model penginapan dan tempat
makan seperti : home stay, pondok wisata, pension, inn, bar, dan beberapa agen
perjalanan wisata. Sejak masa inilah, masyarakat Kuta semakin banyak yang
terlihat dalam kegiatan kepariwisataan, dengan berbagai pertarungan antara
berpandangan positif dan negatif terhadap hubungan yang dekat dengan
wisatawan (bule) dengan adanya upaya-upaya
komersialisasi adat dan
budaya yang ada semata-mata untuk wisatawan.
Perkembangan selanjutnya menjadi semakin merobah bentuk Kuta, di
mana tidak hanya masyarakat Kuta saja yang terlihat dalam kegiatan
pariwisata, melainkan juga masyarakat Bali lainnya, dan bahkan orang dari
luar Bali yang banyak datang mencari pekerjaan di Kuta. Sedangkan dari
kemajuan yang ada maka terlihat juga bahwa home stay pun semakin
berkembang menjadi beberapa hotel, warung berubah menjadi restaurant, dan
demikian mulai dibangun beberapa art shop, serta dipinggir pantai mulai ada
penyewaan papan selancar dengan banyaknya muncul berbagai pedagang
acung.
Rasa tanggap masyarakat Kuta akan keperluan dan kebutuhan para
wisata atau wisatawan, sehingga benar-benar sebagai salah satu peluang
untuk berusaha membuka berbagai jasaa pelayanan yang sebaik-baiknya. Hal
ini
merupakan
ciri
khas
dari
kondisi
tahap
kedua
dalam
sejarah
82
perkembangan kepariwisataan Kuta. Jadi ciri khas dari masa pertumbuhan
awal ini menjadi semacam pusat tempat pengembangan kepariwisataan
daerah pesisir pantai dan berbagai macam bentuk adanya home stay yang
tidak dimiliki oleh daerah wisata lainnya. Adanya home stay sebagai
tonggak
awal
dari
sistem
perkembangan
kepariwisataan
Kuta, yang
selanjutnya terkait erat dengan sub-sub sistem lainnya dalam pemenuhan
kebutuhan kepada wisatawan, selain potensi pantai yang cocok untuk olah
raga air seperti selancar (surfing) didukung oleh keindahan alam dan sinar
matahari seharian sangat menggoda, menyengat dan menantang dalam mandi
matahari atau sunbathing yang sudah tidak asing bagi masyarakat lokal.
Tourist sangat menikmati aktifitas berjemur seharian di sepanjang pantai.
4.2.3
Masa Pengembangan Kawasan Turistik Kuta
Masa pengembangan fisik kawasan secara fisik dan kebijkan pada
masa ini, membuka perkembangan daerah (baca: sebutan kawasan pada masa
ini) wisata Kuta yang komersial dalam dasa warsa 80-an sampai 90-an.
Selama kurang lebih sepuluh tahun dari perkembangan home stay sebagai
pusat sistem dan sub sistem berkembang dalam memenuhi kebutuhan
wisatawan, semakin memperlihatkan suatu keadaan bahwa pariwisata dapat
dipandang sebagai suatu agent dari perubahan Kuta. Perkembangan sebagai
suatu perubahan yang positif dari kondisi kedua, ternyata
melebar dan
meluas dari Desa Adat Kuta, mempengaruhi desa adat tetangga seperti :
desa adat Legian, Seminyak, Tuban, Jimbaran dan Kerobokan. Sepanjang jalur
83
pantai mulai berdiri hotel-hotel besar hingga bintang lima, kemudian art
shop, restaurant, bar, pub, diskotek, money
changer, yang
berjejer
dan
berhimpit sampai pada gang-gang kecil di lorong-lorong Kelurahan Kuta. Di
beberapa
tempat
bahkan
berdiri
pusat-pusat
pelayanan
informasi
kepariwisataan, serta menjamurnya traver egent, biro-biro perjalanan wisata,
dan
transport
semakin
berkompetisi, bersaing
menawarkan
berbagai
keunggulan produk yang dimilikinya.
Walaupun
dari
karakteristik
wisatawan
yang
menyukai
Kuta
umumnya adalah berusia muda, dari Australia, jepang, dan juga dri benoa
Eropa, tetapi dalam perjalanan wisatanya juga cukup banyak yang bepergian
secara bersama-sama untuk menekan biaya perjalanan tersebut. Ramainya
kunjungan wisatawan manca negara yang sengaja berjemur dan melakukan
olah raga air, surfing di pantai Kuta, juga menjadi daya tarik utama kepada
wisatawan domestik untuk datang ke pantai Kuta guna melihat dari dekat
aktivitas wisatawan mancanegara, yang terkenal dengan sebutan bule-bule itu
ketika saat
berjemur di sepanjang pantai
Kuta.
Mereka
ingin lebih
mengetahui karakteristik wisatawan, kemudian senang bisa berfoto bersama
di samping ikut bersama-sama menikmati keindahan alam dan pantai Kuta.
4.2.4 Perkembangan Kuta ke Arah kapitalistik
Perubahan fisik dan ruang Kuta berjalan cepat sejak tahun 1990-an
hingga tahun 2000 dalam perspektif pembangunan, dalam perkembangan
kepariwisataan Kuta, tercatat ada dua pengaruh besar
kebijakan pemerintah
84
terhadap kehidupan kawasan, yakni : (1) bahwa akibat adanya kemudahan dan
terbukanya intervensi para investor asing yang boleh mendirikan hotel-hotel
bintang lima di Kuta. Kebijakan ini bagai pedang bermata dua yang satu
sisi menguntungkan pemerintah pusat untuk pajak dan pendapatan serta bagi
masyarakat lokal Bali (bukan hanya Kuta) yang dapat menikmati terbukanya
peluang kerja. Bagi masyarakat Kuta sendiri cukup berdampak negatif, yang
mengakibatkan penginapan lokal atau home stay yang ada sebelumnya
semakin
sulit
bersaing
dalam
mendapatkan
tamu, termasuk
semakin
meluasnya dominasi ruang turistik komersial dan kapitalistik terhadap
karang desa atau ruang budaya lokal.
Demikian juga terjadi cukup banyak pelanggaran terhadap kebijakan
lain seperti masalah lingkungan, sepadan pantai dan terutama dari segi
peruntukan
wilayah.
Terhadap
persoalan
ini
maka
upaya
mengatasi
penekanan terhadap pemilik home stay, maka tahun 1999 ada upaya
penggabungan (merger) ini dimungkinkan dengan adanya bantuan kredit
bank, di mana para pemilik mulai meningkatkan kualitas fasilitas kamar
setara dengan pemenuhan terhadap kebutuhan wisatawan sebagai mana
hotel-hotel besar yang bertaraf internasional, dengan bergerak bersama dalam
managemen
dan
pemasarannya.
Pada
kondisi
ini
semua
home
stay
sesungguhnya masih tetap ingin dipertahankan walaupun dalam jumlah yang
kecil adanya tetapi akan memberikan dampak dan citra yang tinggi dalam
pola pariwisata budaya. (2) Adanya kebijakan pemerintah yang membuka
lebar-lebar pintu bandara Ngurah Rai sebagai bandara internasional dan
85
diberlakukannya kebijakan pemerintah ”bebas visa” sejak 17 Agustus 1992,
maka terjadi peningkatan jumlah penerbangan asing dari berbagai negara
yang langsung ke Bali tanpa harus melalui jakarta. Kebijakan penerbangan
ini terwujud juga atas desakan para invenstor yang
menanamkan
modalnya di dalam bentuk hotel berbintang lima di Kawasan Pariwisata
Kuta dan sekitarnya.
Kenyataan ini dapat dibuktikan berdasarkan distribusi prosentase
PDRB Bali atas harga yang berlaku dari tahun 1994-1999 pada sektor
pariwisata (perdagangan, hotel dan restaurant) memberikan masukan yang
paling banyak dan jauh meninggalkan sektor pertanian yang memberikan
sumbangan maksimal 23, 31% tahun 1998. sedangkan sumbangan sektor
pariwisata terus meningkat setiap tahunnya yakni 30, 11% tahun 1994; 30,
51% tahun 1995; 30, 78% tahun 1996; 30, 50% tahun 1997 (awal krisis);
30, 49% tahun 1998 (puncak krisis) dan menjadi 31, 26% tahun 1999
(PDRB) Prop. Bali 1994-1999: 20). Sejak saat itu maka perkembangan
kepariwisataan Kuta melaju dengan pesatnya.
Semakin ramainya dan padatnya pengunjung ke pantai Kuta, pada
kondisi keempat ini mulai sekitar tahun 1997 semakin terjadi kerawanan
terhadap
kebersihan, keamanan
dan
kenyamanan, ketertiban
penggunaan
pantai, kesemrawutan para pedagang acung dan sebagainya. Oleh karena itu
keberadaan pantai Kuta perlu dikelola dengan baik dan terarah agar
senantiasa tampak asri, bersih, aman, nyaman dan lestarindengan fungsinya
yang masih digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah agama Hindu,
86
seperti : melasti, nganyut, mekiis dan sebagainya. Atas dasar pertimbangan
ini maka
pemerintah
daerah
kabupaten Badung melakukan
kerjasama
pengelolaan pantai Kuta dengan puskopad Kodan IX Udayana. Kerjasama
ini secara tegas mengatur hak dan kewajiban sebagai pengelola dan dengan
mengindahkan kaidah-kaidah sosial budaya masyarakat lokal khususnya Desa
Adat Kuta. Demikian dalam pelaksanaan Puskopad Kodam IX Udayana
sebagai pengelola pantai Kuta, ternyata mampu menata dan mengikat serta
melindungi para pedagang acung dan kaki lima yang berjualan di wilayah
Kelurahan Kuta.
4.2.5 Konflik Ruang dan Resistensi Kawasan Wisata
Penertiban
dan
penghimpunan
terhadap
pedagang
acung
yang
berjualan di sepanjang pantai Kuta tampak semakin bertambah dan tidak
terkontrol didominasi penduduk pendatang. Memang ada kontribusi dengan
pemungutan
retribusi
masuk
ke
pantai.
Demikian
akhirnya
semakin
membludak bertebaran cafe dan tenda di sepanjang pantai yang penuh
sesak, sehingga bermasalah ketika ada upacara melasti/mekiyis menyucikan
simbul-simbul keagamaan sebelum upacara dimulai dan tiga hari menjelang
Nyepi, masyarakat Desa Adat Kuta yang akan melakukan upacara merasa
kesulitan mendapat tempat untuk pelaksanaan upacara. Permasalahan lain
pada menjelang tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan,
wisatawan sepi, sedangkan para pedagang acung semakin banyak dan
berkeliaran di jalan-jalan, gang-gang, di depan-depan warung, restaurant, art
87
shop yang mulai dirasakan saingan sangat mengancam keberadaan para
pengusaha kepariwisataan.
Akhirnya terjadilah resistensi kawasan dan situasi ketegangan sampai
terjadi bentrok fisik antara antara pedagang toko, art shop dengan pedagang
acung, hingga jatuh korban di pihak pedagang acung. Demikian ulah
pedagang acung yang sewmakin berani melawan dan sering berbuat nakal
terhadap wisatawan, dengan maraknya pencopetan, jambret, pencurian, maka
sejak tahun 1999 kerja Puskopad Kodam IX udayana dievaluasi dan oleh
Desa Adat Kuta memohon agar pengelolaan Pantai Kuta diserahkan kepada
Desa Adat Kuta saja. Atas dasar itu maka mulai 1 Juni 1999 secara resmi
hingga sampai saat ini maka pengelolaan sepanjang pantai Kuta sesuai
dengan batas Desa Adat Kuta menjadi tanggung jawab penuh oleh Desa
Adat Kuta.
4.3
Pertumbuhan Kuta sebagai Kawasan Wisata Global
Semenjak pengelolaan ini maka tidak ada lagi istilah pedagang acung
yang boleh berjualan berpindah-pindah dengan menjajakan barang dagangannya.
Mereka kini berjualan dengan menetap di tempat yang ditentukan. Demikian
juga seluruh bentuk cafe yang di bangun permanen semua dibongkar dan
tidak ada lagi yang boleh mendirikan cafe permanen di pinggir pantai,
kecuali toilet dan tempat ganti atau pembilasan mandi. Seluruh jumlah
pedagang yang kini dikelola oleh Desa Adat Kuta berjumlah 1.192
pedagang. Dari jumlah ini sebanyak 313 yang berasal dari warga Desa
88
Adat Kuta dan sisanya 862 pedagang berasal dari luar wilayah Desa Adat
Kuta seperti daerah lain yang ada di Bali (terutama dari Kintamani,
Buleleng), Jawa dan Madura, serta banyak juga yang dari Lombok.
Secara rinci, jenis dagangan yang ada di sepanjang pantai Kuta dapat
dilihat pada tabel berikut ;
Tabel 4.1
Jumlah dan Jenis Pedagang Sepanjang Pantai Kuta
Wilayah Pantai Kuta
Jenis Dagangan
No.
Utara
Tengah
Selatan
Jumlah
1
Massage
87
37
49
173
2
Papan surfing
55
12
-
67
3
Soft drink
67
13
-
80
4
Kain
90
43
75
208
5
Patung
69
28
33
130
6
Kutek kuku
60
34
45
139
7
Perak
32
26
11
69
8
Makanan
26
15
-
41
9
Buah/manisan dll
31
-
-
31
10
Sumpitan
-
33
-
33
11
Jam
-
28
23
51
12
Tato
-
43
-
43
13
Gambaran
-
14
-
14
14
Layangan
-
7
-
7
15
Sandal
-
4
-
4
16
Kaca mata
-
21
-
21
17
Kreditan barang Keliling
-
9
-
9
18
Kerang
-
-
16
16
19
Rokok
-
-
19
19
Tikar dan Payung
-
-
37
37
517
367 308
J u m l a h
1.192
Sumber : data diolah dari unit Pengelola Pantai Kuta Desa Adat Kuta, 2007
89
Posisi Desa Adat Kuta kini semakin dikuatkan dan diakui sebagai
lembaga tradisional yang memiliki otonomi penuh dalam mengatur segala
aktivitas di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan rencana pemberdayaan
masyarakat
dalam
pemerintah
Tingkat
konsep
I
pariwisata
Bali.
budaya
sebagai
ini
bersamaan
Keadaan
arah
kebijakan
pula
dengan
menggelindingnya format reformasi dalam era keterbukaan. Sehingga dengan
demikian
maka
segala
perencanaan
dan
pembangunan
dalam
bidang
kepariwisataan maka keterlibatan masyarakat melalui lembaga Banjar dan
desa adat sebagai perwakilan selalu dilibatkan secara aktif. Pertimbanganpertimbangan secara adat dan sosial budaya yang terkait dengan agama
Hindu semuanya diputuskan melalui musyawarah Desa Adat Kuta. Demikian
pada kondisi keempat sampai dengan sekarang dalam sejarah perkembangan
kepariwisataan Kuta menempatkan dan memantapkan posisi Desa Adat Kuta
sebagai salah satu komponen yang turut menentukan keputusan dan arah
kebijakan dari pola pengembangan Kuta sebagai tujuan wisata utama Bali
dan bahkan muingkin sebagai ”Desa Internasional”.
4.4 Tata Ruang Kawasan Wisata Kuta
Kuta merupakan sudah berkembang dengan pesat, di mana pola
perkembangannya cenderung cepat dan kompleks. Bagi pemerintah kabupaten,
penataan Kuta harus dilakukan secara integral development dan klasifikasi
pengembangannya berlangsung secara organic dan induced (baca: melibatkan
seluruh stakeholder dan mendasar). Kedua pola perkembangan ini dikenalkan
90
oleh para antropolog dan sosiolog yang menyatakan bahwa perkembangan
integrated development, adalah pembangunan tourist resoprt atau tempat
tinggal menginap wisatawan di tengah-tengah tempat pemukiman masyarakat
lokal. Sedangkan klasifikasi perkembangan secara organicn dimaksudkan
adalah di mana perkembangan pantai Kuta yang terjadi secara spontan yang
dimulai tanpa adanya suatu perencanaan (master plan), dan kemudian
dengan munculnya berbagai persoalan dikemudian hari, maka terjadi induced,
yakni intervensi Pemerintah Daerah Tk. I Bali dan Daerah Tingkat II
Kabupaten Badung, yang semakin peduli dengan adanya perkembangan
kepariwisataan Kuta, dan membuat berbagai perencanaan sebagai master plan
yang digodok dengan matang dari berbagai pertimbangan dan dari berbagai
komponen yang terkait dan terlibat termasuk dari masyarakat.
Pola perkembangan daerah Wisata Kuta yang lebih bersifat organik
dapat dilihat pada kondisi awal dari sejarah perkembangan kepariwisataan
Kuta. Pantai Kuta yang indah, dengan deburan ombak dan arusnnya yang
kuat, serta pasir putih dengan rindangnya pohoh-pohon kelapa yang ada
disepanjang pantai mewujudkan sebuah perpaduan keindahan alam manakala
matahari terbenam yang lebih dikenal dengan indahnya Sun Set Beach
demikian mempesona. Semua ini merupakan faktor yang menarik dan sangat
penting dalam perkembangan wisata Kuta. Sebuah ilustrasi kecil dari cerita
yang tersebar, bahwa pada pertengahan tahun 1968, Dokter Made Mandara
membenahi rumahnya di Kuta untuk bisa menampung temannya yang akan
mengadakan penelitian. Ketika itu jalan masuk ke desa Kuta seperti
91
kubangan kerbau. Pada malam hari gelap, keadaan pantai kotor, dan perahu
nelayan berhamburan tidak beraturan. Para peneliti kesehatan/medis ini
sering kedapatan mandi di pantai sambil bercengkerama dengan para
nelayan. Ketika para peneliti meninggalkan Kuta, muncul lagi penelitipeneliti di bidang lainnya. Demikian setiap tamu yang datang selalu
diterima dengan baik oleh tuan rumah.
4.4.1 Penataan Fisik Daerah Tujuan Wisata Kuta
Pantai Kuta mulai dikenal orang-orang kota, juga tamu-tamu dari luar
negeri. Kebanyakan tamu yang datang berasal dari Australia. Mereka datang
dan tahu hanya dari informasi mulut-ke mulut, bahwa pantai Kuta indah
dengan ombaknya yang besar dan sangat cocok untuk berselancar. Hal ini
menginat
kegiatan berselancar
merupakan salah satu
kesenangan dari
wisatawan. Sebagai pengaruh dari promosi dan informasi yang mereka bawa
secara oral ini ternyata membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
jumlah kunjungan wisatawan asing yang datang ke Kuta. Kedatangan
mereka ternyata sudah barang tentu membutuhkan tempat menginap, dan
kebutuhan sehari-hari lainnya. Ternyata cara Bapak Mandara yang menjamu
di rumahnya menjadi inspirasi penduduk Kuta dalam menanggapi arus
wisatawan
yang
datang
sementara.
Kamar-kamar
wisatawan
asing
ke
tidur
berkantong
Kuta, yang
di
tipis.
membutuhkan
rumahnya
Penduduk
mulai
yang
tempat
tinggal
disewakan
untuk
mulanya
hanya
menyewakan kamar-kamar, tanpa fasilitas lainnya. Pada malam harinya
92
hanya disediakan lampu minyak tanah karena belum ada listrik. Tahun
1970-an, listrik masuk ke Kuta sehingga situasi pantai semakin ramai dengan
turis-turis, dan kemudian masyarakat Kuta beramai-ramai membangun home
stay. Sebuah kamar mandi dan WC. Sewa penginapan rata-rata terdiri atas
empat kamar, sebuah kamar mandi dan WC. Sewa penginapan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya fasilitas yang disediakan, seperti
misalnya sarapan. Harga sewa kamar yang beragam disesuaikan dengan
fasilitas yang disesuaikan oleh pemilik kamar.
Peningkatan
arus
segi
pariwisata
dampak
terhadap
kehidupan
dampak
pembangunan, baik
tahun-tahun
terakhir
ini
masyarakat, diantaranya
pembangunan
sarana
maupun
membawa
adalah
pada
non-sarana
pariwisata. Pembangunan sarana dan prasarana kepatiwisataan kebanyakan
ditangani oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan juga pihak swasta.
Masuknya para investor dari luar Bali mempercepat pembangunan fisik di
Kuta. Mereka menanam investasi uangnya untuk membangun hotel-hotel
berbintang, restaurant, home stay, pub, discotic, dan sarana lainnya yang
dibutuhkan oleh para wisatawan. Kuta semakin padat dengan munculnya
banyak warung-warung, kios-kios cendramata/kerajinan, pakaian, kain batik
dan endek khas Bali, topi, tas yang semua bercorak Bali. Tukang jahit yang
memproduksi mode yang disenengi wisatawan juga semakin menjamur.
Usaha penyewaan sepeda motor, mobil dan surf board juga berkembang.
Demikian juga beberapa Biro Wisata, Travel Agent, mulai terbuka dan
93
berkembang dengan berbagai tawaran kemudahan dan produk wisatanya
menarik.
Dalam Rancangan Undang-Undang Tata Ruang (RUTR) Kabupaten
Badung, Kuta ditetapkan sebagai kawasan pariwisata karena Kuta merupakan
embrio berkembangnya industri jasa pariwisata di Kabupaten Badung.
Perkembangan pembangunan fasilitas sarana prasarana kepariwisataan seperti
penataan jalan, listrik, telpon dan zona peruntukan wilayah dan sebagainya,
ternyata kalah cepat dibandingkan dengan pembangunan fasilitas akomodasi,
transportasi, restaurant dan kini berkembang departement store, duty free dan
banyak lagi yang lainnya. Para investor tampak berlomba-lomba dan tidak
sabar untuk membangun, sehingga akibatnya kini pembangunan gedunggedung hotel, restaurant, toko, warung/art shop, atraksi wisata dengan rumahrumah penduduk saling menghimpit satu dengan yang lainnya.
Pembangunan hotel dengan kualitas bintang lima yang pertama kali
dan penduduk tidak kuasa untuk membendungnya adalah munculnya Hotel
Kartika Plaza. Hotel ini adalah diprakarsai oleh Kodam IX Udayana beserta
investor dengan alasan sebagai tempat untuk menerima kunjungan tamutamu negara dan kedinasan lainnya. Masyarakat yang semula terikat dalam
aturan desa adat pun lunak dan lemah, sehingga harus membebaskan tanah
milik mereka semata demi kepentingan pemerintah. Sejak itu belakangan
diikuti oelh tempat lain bagaikan wabah menjamur munculnya pembebasan
dan penjualan tanah untuk pembangunan hotel-hotel yang berbintang lima
yang semuanya hampir berupaya menjarah dan mendekat ke pantai Kuta.
94
Syukur dalam hal ini pemerintah melalui kabupaten Badung dan aparat
Desa Kuta cukup tanggap, sehingga keberadaan sepadan pantai Kuta dan
jalan sepanjang pantai tetap dapat dipertahankan, sehingga tidak mengganggu
aktivitas adat dan keagamaan serta kepentingan umum. Keterlibatan Desa
Adat Kuta dalam pengelolaan beberapa usaha wisata yang ada di Kuta
antara lain adalah :
Pengelolaan pasar seni Kuta
Pengelolaan Pertokoan
Pengelolaan pantai dan pedagang di sepanjang pantai Kuta
Pengelolaan parkir
Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
Pengelolaan Keamanan wilayah
Pengelolaan sampah/kebersihan.
Berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukan oleh Tim Peneliti
Politeknik Negeri Bali, (2000, : 79-85) yang menyatakan dalam temuannya
bahwa secara umum di Bali keterlibatan-keterlibatan desa adat masih kurang
banyak
dirasakan.
Dari
280
responden
yang
diwawancarai
diperoleh
sebanyak 55, 7% (156) menyatakan tidak pernah dilibatkan. Lebih lanjut
juga dinyatakan bahwa posisi tawar (bargainning power) oleh desa adat
dalam memperjuangkan masyarakat, karena dalam proses perencanaan dan
perijinan, lembaga
sehingga
dan masyarakat desa adat tidak pernah dilibatkan,
masyarakat
setempat
hanya
dapat
menerima
setiap
kegiatan
kepariwisataan berlangsung di daerahnya. Semua proses perijinan hanya
95
melaqlui dinas, disamping dalam Peraturan Daerah yang akan dipakai
sebagai pedoman/acuan dalam kegiatan kepariwisataan masyarakat desa adat
tidaklah
mempunyai
kesempatan
untuk
mengoreksi, seandainya
suatu
pembangunan fasilitas kepaiwisataan akan berlangsung di wilayah desa adatnya.
Pesatnya pembangunan fisik merubah suasana Kuta dari tenang sepi,
ketika tahun 1968 sebagai mana awalnya beberapa wisatawan yang datang
sebagai peneliti. Pada tahun 1970-an semakin bertambahnya kunjungan
wisatawan
adventure
yang
ingin
menikmati
pantai
Kuta
sehingga
masyarakatpun tanggap dan demikian juga para investor dalam dan luar
negeri. Untuk itu maka sesuai dengan empat tahapan kondisi dari sejarah
perkembangan Kuta sesuai sub bab 4.2 di atas, maka keadaan pembangunan
fisik untuk fasilitas resaturant dan akomodasi sampai saat ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Tabel 4.2
Jumlah Rumah Makan, Restaurant dan Bar di Kuta
No
Nama Fasilitas
Jumlah
Rumah Makan
133
7.352
Reastaurant
61
10.647
Bar
52
-
J u m l a h
246
17.999
Sumber : diolah dari data Diparda Tk.II Badung
Jumlah Seat
96
Tabel 4.3
Jumlah Pondok Wisata Hotel Melati dan Berbintang di Kuta
No
Jenis Hotel
Klasifikasi
Jumlah
Jumlah
Hotel
Kamar
Pondok Wisata
-
99
471
Hotel Melati
Melati I
100
1.139
Melati II
70
1.775
Melati III
95
3.278
Sumber : diolah dari data Diparda Tk.II Badung
Selain
fasilitas
kebutuhan
akan
penginapan
dan
makan
yang
dikembangkan dan dibangun di Kuta, juga dilakukan penataan kawasan
pantai objek dan daya tarik wisata yang ada sesuai dengan Surat Keputusan
Bupati Badung Nomor 2028 tahun 1994. Pembangunan dan penyempurnaan
ini terus diupayakan secara terpadu dari pemerintah kabupaten Badung,
bersama dengan pihak swasta dan masyarakat Kuta. Peningkatan ini terus
dilakukan
sehingga
para
wisatawan
merasa
puas
senang
dan
selalu
merasakan kenyamanan dan keamanan di pantai Kuta.
Guna melengkapi dan memenuhi kebutuhan wisatawan akan aktifitas
hiburan dan permainan lainnya, maka di Kuta juga terdapat beberapa atraksi
kepariwisataan seperti: waterboom park, Bali Bungy, Bungy Jumping, Pub,
Karaoke dan discotic, seperti : Gado-gado, Double Six, Taj Mahal, Planet
Hollywood, Hard Rock Cafe dan lain sbagainya. Secara rinci jjenis dan
jumlah atraksi dan hiburan untuk wisatawan yuang ada di Kuta, dapat di
lihatdalam tabel berikut :
97
Tabel 4.4
Jenis Rekreasi dan Hiburan Umum yang ada Di Kuta
Yang Berijin Resmi
No
Jenis Usaha
Jumlah
Beberapa Contoh Nama
Usaha
1.
Discotique
1
Bounty, paddys, dll
2.
Panggung Tertutup
15
Musro, Hard Rock, (lainnya
terlampir)
3.
Karaoke
10
Ayu Komang, Kuta Timur
4.
Bilyard/Rumah Bola
20
Karaoke, (alainnya terlampir)
5.
Botak(BolaKetangkasan)
8
Kuta Billyar, Citra Billyar,
6.
Gelanggang
Permainan 28
dan Ketangkasan
dll
Millenium UD.88, rembulan,
dll
Permainan
anak-anak
Rajawali, Matahari
Time
Zone (Lainnya Terlampir).
J u m l a h
82
Sumber : Diolah dari Data Diparda Tk.II Badung
Upaya pemuasan terhadap kebutuhan wisatawan tampak tidak pernah
ada hentinya dilakukan. Untuk itu maka dalam pemenuhan akan acsescibility
atau diupayakan berbagai kemudahan dalam mendapatkan souvenir/cenderamata
kini semakin menarik dalam penyajian di toko, art shop dan demikian juga
dibangun beberapa swlayan shopping centre yang lengkap dan menarik
seperti Kuta Square Shopping Centre, Gelael Shopping Centre dan lainnya.
Semua pengembangan pembangunan fisik yang terjadi di Kuta tampak
penuh dengan model arsitektur dari berbagai daerah dan bahkan dari
98
berbagai negara lainnya, semata-mata hanya untuk pemoles nilai seni dan
menjadi ciri khas yang mampu memberikan daa tarik kepada wisatawan.
4.4.2
Perubahan Fisik Kuta sebagai Kawasan Wisata
Tumbuh dan berkembangnya pariwisata di Kuta, tentunya tidak lepas
dari peran masyarakat setempat. Peran tersebut terwujud dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari yang menilai tinggi sistem ekonomi bisnis untuk
peningkatan income atau pendapatan, sehingga pada akhirnya memberi
dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Sejauhmana
kegiatan pariwisata mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi dan sosial
budaya masyarakat Kuta, dan bagaimana sebaliknya yang terjadi aktifitas
ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kuta dalam kegiatan kepariwisataan.
Penggunaan tanah di Desa Pakraman Kuta sebagian besar digunakan
untuk pertokoan. Di pinggir jalan, dari jalan utama sampai jalan kecil-kecil
nampak penuh dengan pertokoan. Warga masyarakat banyak membuat
pertokoan
dan
pembangunan
perumahan
untuk
dikontrakkan
kepada
pengontrak. Di gang-gang kecil juga penuh dengan rumah dengan jumlah
kamar antara 5-20 kamar. Kamar-kamar tersebut dikontrakkan, ada yang
dikontrakkan bulanan serta tahunan. Pemilik toko dan kios-kios kebanyakan
dimiliki oleh masyarakat setempat (anggota Desa Pakraman Kuta). Pemilik
kemudian mengontrakkannya kepada anggota masyarakat lainnya, baik dari
Desa Pakraman Kuta maupun kepada masyarakat yang bukan merupakan
anggota Desa Pakraman Kuta. Pengontrakkan kamar, rumah pertokoan,
99
maupun tanah, terjadi sangat pesat. Hal ini mungkin disebabkan karena sejak
tahun 1993, ada himbauan dari
Bendesa
adat Desa Pakraman Kuta I
Made Wendra agar masyarakat tidak menjual tanahnya. Ini dimaksudkan
untuk menghindari agar kepemilikan tanah tidak dimiliki oleh bukan warga
Desa Pakraman Kuta.
Walaupun ada himbauan dari
I
Made
Wendra, alih
fungsi
Bendesa
lahan
di
Adat Desa Pakraman Kuta
Kelurahan
Kuta
tidak
dapat
dihindarkan. Pembangunan pertokoan mengalami perkembangan yang sangat
pesat pada tahun terakhir ini. Dari luas lahan 723 Ha, digunakan untuk
bangunan pertokoan 199, 3 Ha (27, 57%) pada tahun 2000 dan pada tahun
2001 berkembang menjadi 289, 3 Ha(40, 91%) atau ada alih fungsi lahan 90
Ha
(13, 34%).
Pembangunan
pemukiman
juga
sangat
pesat.
Terjadi
perubahan lahan dari 65 Ha (8, 99%) untuk penggunaan pemukiman pada
tahun
2000, menjadi
175
Ha
(24, 20%)
tahun
2001
atau
terjadi
perkembangan pemukiman 110 Ha (15, 21). Tanah yang digunakan untuk
pemukiman dan pertokoan kebanyakan tanah tegalan. Perubahan penggunaan
tanah di wilayah Desa Pakraman Kuta secara rinci dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.5
Perubahan Penggunaan Tanah di Wilayah Desa Pakraman Kuta Tahun
2000-2001
No
Penggunaan
Tanah
Pemukiman
a. KPR BTN
b. Umum
Untuk bangunan
Tahun
2001
Tahun
2002
1, 5
65
1, 5
175
Perubahan
lahan
0
110
100
a. Perkantoran
125
1, 5
135
1, 5
10
0
199, 3
0, 5
2
289, 3
0, 5
2
90
0
0
2
13, 7
2
13, 7
0
0
174
1, 5
137
723 Ha
36
1, 5
65
723 Ha
b. Sekolah
c. Pertokoan
d. Pasar
e. Terminal
f.
Kuburan
g. Jalan
Ladang
Tempat Rekreasi
Lain-lain
J u m l a h
-138
0
-72
Sumber : Monografi Kelurahan Kuta (2001)
Melihat tabel diatas, nampak bahwa tata ruang Desa Pakraman
Kuta sebagian besar untuk bangunan yakni 600, 8 Ha (83, 10%), dari 723
Ha tanah, 102, 5 Ha (14, 18%) untuk tegalan dan penggunaan lain-lain serta
sisanya 19, 7Ha (2, 72%) untuk fasilitas umum. Bukan hanya di Kuta, tetapi
hal ini terjadi dimana-mana di Bali.
Pengalihan tata guna ini menurut Young (1973) merupakan salah
satu dampak negatif dari perkembangan pariwisata karena banyak tanah
pertanian digunakan untuk sarana pariwisata seperti hotel, restaurant dan
sarana pariwisata lainnya. Bahkan seperti dikemukakan diatas, di Desa
Pakraman Kuta, ladang/tegalan hanya tersisa 36 Ha tahun 2001. Hal ini
sangat mengkhawatirkan, karena dengan tidak adanya lahan pertanian, maka
pertanian
sebagai
penopang
kemungkinan akan hilang.
budaya
agraris
pada
masyarakat
Kuta
101
4.5
Profil Geografis Kelurahan Kuta
Perkembangan
desa
Kuta
sebagai
wilayah
wisata
tidak
dapat
dipisahkan dari perkembangan daerah tersebut sebagai tempat pemukiman
penduduk secara umum. Desa Kuta, sebagai halnya desa-desa lainnya di
Bali yang terdiri atas desa adat dan kesatuan administratif (desa Dinas)
yang juga memiliki pola pengembangan yang sama, hanya saja dalam
perkembangan sewlanjutnya sebagai daerah wisata, desa Kuta berkembang
sangat pesat dan cepat.
Kelurahan Kuta adalah merupakan salah satu desa/kelurahan di
kecamatan Kuta, kabupaten Daerah Tingkat II badung, Provinsi Daerah
Tingkat I Bali. Kecamatan Kuta yang dengan luas wilayah 152.21 Km2
pada tahun 1997 memiliki jumlah penduduk mencapai 103.038 jiwa, dengan
penyebaran penduduk merata dengan rata-rata 500 jiwa/Km2 (Monografi
Kecamatan Kuta, 1997). Berdasarkan hal ini maka pada bulan Juli 1999
Kecamatan
Kuta
masing-masing
akhirnya
Kecamatan
dimekarkan
Kuta
menjadi
tiga
utara, Kecamatan
kecamatan
Kuta
Tengah
yakni
dan
Kecamatan Kuta Selatan. Dalam pemekaran itu, kecamatan Kuta Utara
membawahi 6 desa/kelurahan, yaitu : (1) canggu, (2) Kerobokan, (3) Kerobokan
Utara, (4) Kerobokan Selatan, (5)Canggu, (6) Dalung. Kecamatan Kuta Tengah,
meliputi 6 Desa/Kelurahan, yaitu : (1) Seminyak, (2) Kedonganan, (3) Legian,
(4) Tuban, (5) Kuta dan (6) Jimbaran. Kecamatan Kuta Selatan terdiri atas 4
Desa/Kelurahan, yaitu : (1) Pecatu, (2) Benoa, (3) Tanjung Benoa dan (4)
102
Ungasan. Pemekaran ini diresmikan oleh Gubernur Bali, Dewa Made Beratha
di Wantilan Kantor Lurah Kuta.
Sebelum menjadi kelurahan seperti saat ini, Kelurahan Kuta bernama
desa Kuta, yang mewilayahi Desa Adat Kuta, Desa Adat Legian, Desa Adat
Seminyak. Masing-masing desa adat tersebut memiliki beberapa banjar
Dinas. Desa Adat Kuta terdiri atas 7 banjar dinas, yaitu : (1) Jaba Kuta, (2)
buni Kuta, (3) tegal Kuta, (4) Pande Kuta, (5) Pengabetan Kuta, (6) Temacun
Kuta dan (7) Pelasa Kuta. Sedangkan desa adat Legian terdiri atas 3 banjar
dinas, yaitu : (1) Legian Kelod, (2) Legian Tengah dan (3) Legian Kaja.,
Desa Adat Seminyak terdiri atas dua banjar dinas, yaitu : (1) Seminyak dan
(2) Basangkasa.
Dalam perkembangannya, Desa Kuta dimekarkan menjadi tiga desa/
kelurahan pada tahun 1998 masing-masing terpisah, yakni : (1)Kelurahan
Kuta, (2) Kelurahan Legian, dan (3) Kelurahan Seminyak. Atas pemekaran
ini, maka luas Kelurahan Kuta dari sebelumnya 1.293 Hektar berkurang
menjadi hanya seluas 723 hektar, dengan batas-batas kelurahan sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Kelurahan Legian Kecamatan Kuta
Sebelah Selatan: Kelurahan Tuban Kecamatan Kuta
Sebelah barat : Samudera Indonesia
Sebelah Timur: Kelurahan Pemogan Kecamatan Denpasar Selatan.
Secara Topografi Kelurahan Kuta yang membentang di pinggir pantai
bagian Barat kaki pulau Bali, dengan ombak yang besar dan arus yang
103
sangat kuat dari pengaruh Samudera Indonesia, seluruhnya berbentuk dataran.
Kondisi geografis berada kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, dan
kesuburan tanahnya terolong subur dan sedang. Untuk saat ini Kelurahan
Kuta tidak memiliki lahan kritis, lahan terlantar, gambut, lahan pasang surut
dan juga padang ilalang. Keadaan ini sebagai dampak dari penyempitan
lahan dan berubahnya peruntukan lahan sebagai akibat dari perkembangan
kepariwisataan.
Berdasarkan Daftar Isian Profil Kelurahan Kuta tahun 2000, maka
jumlah penduduk yang tercatat adalah 10, 043 jiwa, dengan jumlah kepala
keluarga (KK) sebanyak 2.199 KK. Dari jumlah tersebut terdapat 21 jiwa
dari warga negara keturunan (asing), dengan perincian 7 laki-laki dan 14
perempuan. Dalam hubungan ini orang asing yang terdaftar itu bukanlah
wisatawan. Secara rinci berdasarkan jenis kelamin penduduk Kelurahan Kuta
adalah : sebanyak 5.071 jiwa laki-laki, sebanyak 4.942 jiwa perempuan,
dengan kepadatan penduduk mencapai 13, 7 per Km
4.6
Kewilayahan Desa Adat Kuta
Desa Adat Kuta, wilayahnya hampir sama dengan Kelurahan Kuta.
Covarubias (1972) merumuskan pengertian desa adat sebagai kesatuan
masyarakat di mana rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh
wilayah tertentu (karang desa) dengan batas-batas yang jelas dan terikat
pula
oleh
satu
sistem
tempat
persembahyangan
yang
disebut
Pura
Kahyangan Tiga yang terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem.
104
Desa Adat Kuta merupakan daerah Pariwisata memlki luas wilayah 723 ha,
dengan batas utara Kelurahan Legian, timur desa Pemogan, selatan desa
Tuban
dan
barat
berbatasan
dengan
samudra
Indonesia.
Daerah
ini
merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan pantai. Ketinggian ratarata di bawah 100 meter dari permukaan air laut, dengan kemiringan ratarata 0-3%. Desa apakraman Kuta memiliki 13 banjar adat, serta tergabung
ke dalam banjar dinas dan 5 banjar persiapan. Nama-nama banjar dinas dan
banjar adat tersebut disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.6
Nama Banjar dinas dan Banjar Adat di Desa Adat Kuta tahun 2001
No
Nama Banjar Dinas
Nama Banjar Adat
1
Pelasa
Pelasa
2
Pengabetan
Pengabetan
3
Pering
Pering
4
Pemamoran
Pemamoran
5
Temacun
Temacun
6
Pande Mas
Pande Mas
7
Buni
Buni
8
Tegal
Tegal
9
Tebasari
10
Jabajero
Jabajero
11
Abianbase
Mertajati
12
Anyar
Anyar
13
Segara
Segara
Sumber :
Kuta (2001)
Bendesa
adat Desa Adat Kuta dan Statistik Kelurahan
105
Lokasi Desa Adat Kuta sangat strategis sebagai daerah pariwisata.
Memiki pantai
yang berpasir putih, dan berhadapan langsung dengan
matahari terbenam (sun set), sehingga para wisatawan dapat langsung
menikmati keindahan ini. Letaknya tidak jauh dari pusat Kota Denpasar,
hanya 12 Km dan 11 km. dari kota propinsi serta pusat perkantoran.
Gambar 4.1
Peta Wilayah Desa Adat Kuta. Sumber: Dok. Desa Adat Kuta
Posisi Kuta yang memiliki pantai di sisi barat dan sisi timur desa
inilah yang menjadikan Kuta sebagai pusat perdagangan sejak zaman
kerajaan, sebagai Bandar pelabuhan yang hingga kini terkenal Mad J. Lange
sebagai syah Bandar
sekaligus pernah sebagai kepala
desanya.
Kuta
memiliki keadaan musim yang tidak berbeda dengan daerah lainnya di Bali,
yakni musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan turun pada bulan
106
Oktober sampai Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan April sampai
dengan Oktober. Akhir-akhir ini bila musim hujan sering kebanjiran. Hal ini
mungkin disebabkan karena konstruksi dari drenaise kurang baik, walaupun
sebenarnya ada sungai yang menampung air hujan untuk mengalirkannya ke
laut. Ada beberapa sungai yang mengalir di daerah Kuta dengan debit air
yang kecil, tetapi sungai cukup besar yang mengaliri Kuta aalah Tukad Mati
bermuara ke wilayah Timur.
Penggunaan tanah di Desa Adat Kuta sebagian besar digunakan
untuk pertokoan. Di pinggir jalan, dari jalan utama sampai jalan kecil-kecil
nampak penuh dengan pertokoan. Warga masyarakat banyak membuat
pertokoan
dan
pembangunan
perumahan
untuk
dikontrakkan
kepada
pengontrak. Di gang-gang kecil juga penuh dengan rumah dengan jumlah
kamar antara 5-20 kamar. Kamar-kamar tersebut dikontrakkan, ada yang
dikontrakkan bulanan serta tahunan. Pemilik toko dan kios-kios kebanyakan
dimiliki oleh masyarakat setempat (krama Desa Adat Kuta). Pemilik
kemudian mengontrakkannya kepada anggota masyarakat lainnya, baik dari
Desa Adat Kuta maupun kepada masyarakat yang bukan merupakan krama
Desa Adat Kuta. Pengontrakkan kamar, rumah pertokoan, maupun tanah,
terjadi sangat pesat. Hal ini mungkin disebabkan karena sejak tahun 1993,
ada himbauan dari
tidak
menjual
Bendesa
tanahnya.
Adat Kuta I Made Wendra agar masyarakat
Ini
dimaksudkan
untuk
menghindari
kepemilikan tanah tidak dimiliki oleh bukan warga Desa Adat Kuta.
agar
107
Walaupun ada himbauan dari
Bendesa
adat Desa Adat Kuta I
Made Wendra, alih fungsi lahan di Kelurahan Kuta tidak dapat dihindarkan.
Pembangunan pertokoan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada
tahun terakhir ini. Dari luas lahan 723 Ha, digunakan untuk bangunan
pertokoan 199, 3 Ha (27, 57%) pada tahun 2000 dan pada tahun 2001
berkembang menjadi 289, 3 Ha(40, 91%) atau ada alih fungsi lahan 90 Ha
(13, 34%). Pembangunan pemukiman juga sangat pesat. Terjadi perubahan
lahan dari 65 Ha (8, 99%) untuk penggunaan pemukiman pada tahun 2000,
menjadi
175
Ha
(24, 20%)
tahun
2001
atau
terjadi
perkembangan
pemukiman 110 Ha (15, 21). Tanah yang digunakan untuk pemukiman dan
pertokoan kebanyakan tanah tegalan.
Perubahan penggunaan tanah di
wilayah Desa Adat Kuta secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
No
Tabel 4.7
Perubahan Penggunaan Tanah di Wilayah Desa Adat Kuta Tahun
2000-2001
Penggunaan
Tahun 2001 Tahun 2002
Perubahan
Tanah
Lahan
Pemukiman
KPR BTN
Umum
Perkantoran
Sekolah
Pertokoan
Pasar
Terminal
Kuburan
Jalan
Ladang
Rekreasi
Lain-lain
1, 5
65
125
1, 5
199, 3
0, 5
2
2
13, 7
174
1, 5
137
1, 5
175
135
1, 5
289, 3
0, 5
2
2
13, 7
36
1, 5
65
J u m l a h
723 Ha
723 Ha
Sumber : Monografi Kelurahan Kuta (2001)
0
110
10
0
90
0
0
0
0
-138
0
-72
108
Melihat tabel di atas, nampak bahwa tata ruang Desa Adat Kuta
sebagian besar untuk bangunan yakni 600, 8 Ha (83, 10%), dari 723 Ha
tanah, 102, 5 Ha (14, 18%) untuk tegalan dan penggunaan lain-lain serta
sisanya 19, 7Ha (2, 72%) untuk fasilitas umum. Bukan hanya di Kuta, tetapi
hal ini terjadi di mana -mana di Bali.
Pengalihan tata guna ini merupakan salah satu dampak negatif dari
perkembangan pariwisata karena banyak tanah pertanian digunakan untuk
sarana pariwisata seperti hotel, restaurant dan sarana pariwisata lainnya.
Bahkan seperti dikemukakan di atas, di Desa Adat Kuta, ladang/tegalan
hanya tersisa 36 Ha tahun 2001. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena
dengan tidak adanya lahan pertanian, maka pertanian sebagai penopang
budaya agraris pada masyarakat Kuta kemungkinan akan hilang.
4.7
Hubungan Sosial-Geografi Kelurahan dan Desa Adat Kuta
Hubungan Kelurahan dan Desa Adat Kuta, secara historis merupakan
pengaruh kerajaan dan penjajahan kolonial Belanda, yang mewarisi hubungan
desa adat dan desa dinas hingga berstatus kelurahan sekarang. Sebelum
tahun 1998, ketika Kelurahan Kuta mewilayahi tiga desa adat, yaitu; Desa
Adat Kuta, Desa Adat Legian, dan Desa Adat Seminyak, nampak kedudukan
desa dinas atau kelurahan hanya sebagai lembaga formal yang mengurus
domisili dan administrasi penduduk. Setelah pemekaran Kuta menjadi tiga
kelurahan sesuai wilayah desa adat, posisinya menjadi lebih dinamis dan
aspiratif
walaupun
Lurah
ditempatkan
secara
dinas
oleh
Pemerintah
109
Kabupaten Badung. Kelurahan Kuta, Kelurahan
Seminyak
identik
dengan
nama
dan
Legian
wilayah
dan
desa
Kelurahan
adat, dengan
masyarakatnya.
Pitana (1994, 2000) menyebutkan bahwa ciri-ciri sebuah desa adat,
mempunyai wilayah dengan bayas-batas wilayah yang jelas. Batas ini dapat
berupa sungai, hutan, jurang, pantai ataupun batas-batas buatan seperti tembok
penyengker dan lain-lain. Mempunyai anggota (krama) yang jelas dengan
persyaratan tertentu, sebagian besar anggota berdomisili di desa adat yang
bersangkutan dan anggota desa adat memiliki ikatan yang sangat kuat
terhadap Desa adatnya. Keberadaan Pura Khayangan Tiga atau kahyangan
desa sangat mutlak. Kahyangan tiga biasanya terdiri atas Pura Puseh, Pura
Desa, Bale agung dan Pura Dalem. Tapi di desa adat tertentu menyesuaikan
karena untuk di daerah pantai, ada yang menggarap Pura Segara sebagai
Pura Desa.
Desa adat mempunyai otonomi baik keluar maupn ke dalam.
Otonomi ke dalam berarti kebebasab atau kekuasaan dalam mengatur rumah
tangganya sendiri, dan otonomi keluar diartikan sebagai kebebasan untuk
mengadakan kontak langsung dengan institusi di luar desa adatnya sendiri.
Sebagai satu kesatuan wilayah hukum adat, desa adat memiliki satu
pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat) sendiri berlandaskan
pada peraturan-peraturan sendiri (awig-awig) baik tertulis maupun tidak
tertulis. Dikatakan pula bahwa desa adat merupakan salah satu monumen
yang menajdi ciri kehidupan sosial budaya religius dalam masyarakat Bali.
110
Monumen tradisional ini berperan dalam pembangunan masyarakat Bali
dalam berbagai aspek seperti sosial, budaya, ekonomi, religius, politik dan
keamanan. Secara umum semua orang Bali (Hindu) adalah bagian dari Desa
adat, karena hampir semua manusia Bali menjadi salah satu atau lebih
anggota Desa adat. Adapun pengempon masing-masing pura di Desa Adat
Kuta dapat dilihat pada tabel berikut ;
Tabel 4.8
Nama Pura, Banjar Pengempon dan Anggota Pemaksan Pura
No
Nama pura
Banjar Pengempon
Jumlah
Odalan
Anggota
Puseh
Pelasa, Br.Anyar
351
Paing
Galungan
Dalem
Pande Mas
365
Anggar
Pengabetan
Kasih
Medangsia
Pura
Desa/ Pering, Pemamoran,
221
Pemacekan
Baleagung
Temacun
Agung
Pura Segara
Teba Sari, Segara
300
Buda
Cemeng
Kelau
Penataran
Jaba Jero, Jaba jati
202
Anggar
Kasih
Medangsia
Penyarikan
Buni, Tegal
250
Buda
Cemeng
Langkir
Jumlah
1689 KK
Sumber : Statistik Desa Adat Kuta 2001
4.7.1
Kehidupan Sosial Ekonomi Kuta
Pembangunan perekonomian Bali dan Kuta khususnya kini tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa pariwisata adalah sebagai leading sector yang
memberikan
berbagai
peluang
bagi
masyarakat
untuk
berkiprah
atau
111
beraktivitas pada bidang tersebut. Beberapa tolok ukur riil yang biasanya
digunakan dalam suatu studi untuk mengukur keberhasilan pembangunan
ekonomi
dalam
Peningkatan
kehidupan
pendapatan
masyarakat
per kapita, atau
yang
terutama
dalam
mengukur
adalah :
(1)
kemakmuran
wilayah maka yang digunakan adalah produk Domestik regional Bruto
(PDRB); (2) tingkat kepemilikan tempat tinggal yang layak; (3) kepemilikan
barang-barang mewah di luar kebutuhan primer; dan (4) kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan dan perjalanan wisata/tour,
serta (5) tingkat pemenuhan dalam masalah-masalah sosial budaya lainnya.
Pertumbuhan pariwisata yang demikian pesat ini hingga sekarang
memberikan peningkatan perekonomian masyarakat Kuta yang berarti juga
secara otomatis merupakan peningkatan pendapatan masyarakat di atas ratarata. Perkembangan kepariwisataan memberikan corak mata pencaharian
masyarakat Kuta yang benar-benar berbeda dengan kehidupan sebelumnya.
Pada tahap pertama perkembangan home stay, masyarakat beramai-ramai
beralih dari petani dan nelayan menjadi pengusaha home stay. Untuk
pengembangan home stay dibutuhkan lahan yang cukup banyak, maka
ladang dan kebunpun menjadi home stay. Dalam hal ini banyak petani
penggarap kehilangan pekerjaannya, karena pemilik tanah ada yang menjual
tanahnya untuk membangun hotel dan gedung-gedung lainnya. Demikian
juga berdiri banyak warung, toko dan sejenis art shop, yang menjual
berbagai kebutuhan wisatawan. Muncul pula jasa transportasi, pemandu
112
wisata (guide), dan lainnya yang merupakan sebuah multiplying effect atau
efek penggandaan modal dalam pariwisata.
4.7.2
Mata Pencaharian Masyarakat Lokal Kuta
Dari informasi masyarakat setempat diketahui bahwa pada awalnya
penduduk di daerah Kuta bermatapencaharian sebagai petani, sebagian lagi
bekerja sebagai nelayan dan sebagian lagi bekerja sebagai pedagang serta
bekerja pada kerajinan emas dan perak. Setelah Kuta diperkenalkan sebagai
salah satu daerah yang layak dikunjungi dengan pantainya yang indah serta
sun setnya yang indah, maka lambat laun daerah Kuta berkembang sangat
pesat menjadi daerah pariwisata. Para petani yang mula-mula menggarap
lahannya di sawah, kini beralih menjadi pedagang, pengusaha penginapan,
pengusaha rumah makan, beberapa anggota masyarakat yang pada mulanya
sebagai nelayan, kini dengan berkembangnya pariwisata beralih menjadi
pengusaha jukung untuk mengantar wisatawan ke laut berwisata. Jumlahnya
dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 4.9
Jumlah Penduduk Kuta Menurut Mata Pencaharian
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Orang)
1
Petani
-
2
Nelayan
-
3
Pedagang
608
4
ABRI danb PNS
397
113
5
Tukang
285
6
Buruh
468
7
Pegawai/lain-lain
1227
Jumlah
2984
Sumber : Monografi Kelurahan Kuta Tahun 2009
4.7.3
Aktivitas Sosial Budaya
Aktivitas sosial budaya untuk masyarakat Kelurahan Kuta hampir
sama dengan desa-desa/kelurahan lainnya yang ada di Bali. Penggerak
utama seluruh aktivitas sosial budaya yang tercermin dalam adat dan agama
Hindu di lakukan oleh lembaga yang tidak asing lagi di Bali yang di sebut
dengan desa adat, yang dipimpin oleh seorang
bendesa
adat. Pada tingkat
yang paling bawah dari desa adat, disebut Banjar Adat, yang dipimpin oleh
kelihan Adat. Baik desa adat maupun banjar adat masing-masing memiliki
lingkup kesatuan yaitu desa/banjar adat dan dinas. desa adat dan banjar
adat membatasi lingkup keasatuannya berdasarkan adat dan kesatuan secara
genealogis, sedangkan desa/banjar dinas membatasi lingkup kesatuannya
secara administratif.
Dengan
berkembangnya
kepariwisataan
di
Kuta
maka
banyak
penduduk dari luar desa dan luar Bali mencari ekerjaan dan tinggal
menetap di Kuta. Berdasarkan pembatasan yang tesebut di atas, maka bentuk
dan wujud dari organisasi banjar dan Desa Adat Kuta akan tetap berbeda
dengan struktur dari organisasi banjar dan desa dinas akan mengalami
perubahan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan sosial
114
dan kemasyarakatan di Kelurahan Kuta juga dibedakan atas adat dan dinas.
Penduduk asli Kuta termasuk dalam kedua keanggotaan baik adat maupun
dinas. Sedangkan bagi penduduk pendatang hanya sebatas administratif
kedinasan. Pembedaan ini karena pada penduduk asli memiliki kegiatan
sosial budaya dan tanggung jawab religius terhadap keterikatan-keterikatan
sebagai warga desa asli.
Muncul juga beberapa organisasi sosial lainnya yang membantu dan
melengkapi
sistem
kepemudaan, wanita
organisais
dan
yang
organisasi
sudah
lainnya
ada, seperti
di
bidang
:
organisasi
kepariwisataan,
misalnya Unit Pengelolaan Pantai Desa Adat Kuta, Unit Pengelolaan Pasar
Seni
Desa
Adat
Pantai/Balawista
Kuta, Persatuan
Badung, Sekeha
Peselancar, Organisasi
Kesenian, dan
secara
Penyelamat
menyeluruh
dikoordinasikan oleh Lembaga Pemberdayaa Masyarakat (LPM) Kuta, sampai
pada pengelolaan retribusi lokal Kuta yang
diserahkan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung.
4.7.4
Kehidupan Tradisi dan Keagamaan
Sebagai salah satu daya tarik dari kunjungan wisatawan ke Bali
adalah mereka ingin melihat keunikan tradisi dan agama Hindu yang ada di
Bali. Terjadi hubungan yang kausal jika antara perkembangan kepariwisataan
dikaitkan dengan pelestarian dan peningkatan pelaksanaan kehidupan tradisi
dan keagamaan tersebut. Kenyataan inilah yang menyiratkan bahwa Bali
115
memang tepat menetapkan model kepariwisataan yang berdasarkan dan
berjiwakan kebudayaan.
Sampai saat ini tradisi yang masih tetap berkembang dan tumbuh
subur di lingkungan masyarakat Kuta, berupa pelaksanaan tata upacara daur
hidup (life cycle), dengan tata cara upacara keagamaam baik pada pemujaan
keluarga di rumah-rumah tinggal, dan dadia soroh klen, serta pelaksanaan
yang semakin marak dan terarah di pura pemujaan Kahyangan Tiga (Puseh,
Desa, Dalem). Kenyataan yang sangat mudah dipahami, terkait dengan
peningkatan pendapat
masyarakat
sebagai
akibat
dari pariwisata, maka
bangunan tempat ibadah (pura, sanggah/merajan) semakin diperbaiki dengan
gaya arsitektur yang lebih bagus dan kuat, serta kuantitas pelaksanaan
upacara besar semakin banyak dan sering. Semua ini merupakan rasa
syukur masyarakat dan sebagai nilai tabunngan plus yang terkait dengan
hukum ‘karma pahala’ dan konsep ‘yadnya’ atau pengorbanan dengan
menirukan konsep ekonomi, pengorbanan yang sedikit untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya. Begitulah sebuah teori fungsional, dalam
masalah penerapan kehidupan sosial budaya di Bali dan Kuta khususnya,
bahwa tolong menolong sebagai wujud nyatanya, dan lebih abstrak lagi
dalam
konsep
persembahan
yakni
adanya
‘yadnya’
sebagai
korban
persembahan guna mendapatkan berkah yang lebih banyak dari Yang Maha
Kuasa dengan sebutan Ida Sanghyang Widi Wasa.
Desa Adat Kuta memiliki 6 barong yang memiliki pemaksan masingmasing, yakni Barong di banjar Pande Mas, Banjar Tegal, barong di Puri
116
Satria Dalem Kaleran dan satu lagi berupa barong landung (lanang-istri)
yang pemaksannya dari banjar Segara.
Pemaksan ini tidak jumlahnya tidak mesti berasal dsari banjar di
mana barong tersebut berada, tetapi hanyalah berdasarkan kemauan hati.
Tiap-tiap barong memiliki odalan masing-masing. Di samping odalan, semua
barong biasanya ngelaang setiap tahun sekali (sasih keenem, sekitar Bulan
Desember) secara bersama-sama. Hal in merupakan atraksi budaya yang
sangat menarik bagi wisatawan.
Desa Adat Kuta memiliki 4 kuburan (setra) yakni setra kauh
lokasinya di banjar segara, setra kangin berlokasi di banjar tegal, setra alit
(khusus untuk anak-anak sebelum remaja) dan setra khusus keluarga Puri
Satria Dalem Kaleran berlokasi di banjar anyar. Seperti daerah-daerah di
desa adat lainnya di Bali, biasanya di samping setra terdapat Pura Dalem
dan Meraja Pati. Di Desa Adat Kuta hanya memiliki 2 Pura Dalem yakni
dalem Tunon khusus keluarga Puri Satria dalem Kaleran dan Dalem
Kahyangan. Bagi setra yang tidak memiliki pura dalem seperti setra alit
dan setra kauh, biasanya masyarakat hanya bersembanhyang pada pohon
pule yang sudah dianggap keramat yang hidup di areal setra tersebut.
Bagi warga banjar pengempon pura, mempunyai tanggung jawab
penuh terhadap pelaksanaan kegiatan di pura tersebut. Upacara di Pura
dilakukan setiap enam bulan sekali dengan bergilir diantara pengempon
banjar. Misalnya di Pura Segara yang berkewajiban melaksanakan upacara
adalah Banjar Segara dan banjar adat Tebasari. Jika pada piodalan yang
117
sekarang yang mendapat kewajiban adalah banjar segara, maka pada enam
bulan berikutnya adalah yang berkewajiban melaksanakan prosesi upacara
adalah banjar Teba sari. Demikian selanjutnya setiap enam bulan sekali
secara bergiliran. Bagi banjar yang pada saat odalan tidak mendapat giliran,
maka anggota banjar tersebut datang bersembanhyang ke pura hanya pada
saat hari odalan. Demikian juga warga masyarakat lainnya yang ingin
bersembahyang dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap prosesi
upacara, maka mereka juga akan datang pada saat hari upacara. Mereka
datang hanya bersembahyang, setelah sembahyang akan langsung pulang.
Khusus di lokasi pasar seni, ada juga sebuah pura yang disebut pura
melanting. Penyungsungnya adalah semua pedagang yang beragama hindu di
pasar seni tersebut. Setiap hari nampak penuh dengan canang sari karena
para pedagang biasanya setelah membuka kiosnya akan bersembahyang dulu
di pura dan di depan kios tempat mereka berdagang. Pura ini juga
memiliki odalan sendiri dan semua biaya upacara ditanggung sepenuhnya
oleh desa adat.
Disamping pura-pura di atas, masing-masing banjar adat juga memiliki
pura yang ada di bale banjar masing-masing. Yang bertanggung jawab
sepenuhnya
pada
pura
di
masing-masing
banjar
adalah
banjar
yang
bersangkutan. Termasuk juga biaya untk ngodalin (mengadakan upacara)
sepenuhnya merupakan tanggung jawab banjar setempat. Untuk biaya ini
biasanya di ambil dari kas banjar. Kas banjar dikumpulkan dari iuran
masing-masing anggota banjar yang besarnya bervariasi dari Rp 5000, -
118
hingga Rp 15.000, -, tidak ada aturan secara pasti. Hal ini sepenuhnya
dikelola oleh banjar adat setempat.
Di samping upacara odalan, setiap Purnama (bulan penuh) masyarakat
di Desa Adat Kuta selalu melaksanakan upacara yang lebih besar dari
biasanya
yang
dilakukan
di
desa
adat
lainnya
di
Bali.
Ini
sudah
berlangsung sejak tahun 1993. Dari informasi masyarakat setempat bahwa
ada dua alasan dilaksanakannya upacara ini, yakni di samping memang tulus
untuk berbakti mengucapkan terima kasih atas berkah yang didapatkan oleh
Hyang Kuasa kepada umatnya, juga sebagai faktor penarik wisatawan untuk
menikmati atraksi budaya yakni upacara agama Hindu di Bali.
Semua keluarga
yang beragama
Hindu memiliki merajan.
Ada
merajan yang disungsung oleh lebih dari satu keluarga. Disamping merajan,
nampak pula bahwa pada masing-masing rumah memiliki “penunggun
karang” dan Padma sana”.
Geria, sebagai tempat sulinggih ada dua buah yakni Geria dauh
Kutuh dari warga Pasek dan Geria Tegeh yang pendetanya dari warga
Brahmana. Kedua Geria tersebut memiliki banyak tukang banten. Tukang
banten ini biasa melayani warga setempat untuk membuat banten dalam
pelaksanaan upacara. Di samping melayani keluarga-keluarga, juga banyak
permintaan dari pengusaha (bukan beragama Hindu) untuk membuatkan
banten untuk pelaksanaan upacara pada tempat usahanya. Karena banyaknya
permintaan maka nampaknya para tukang banten sangat sibuk, sehingga
dengan bekerja membuat banten, mereka idak sempat lagi mencari pekerjaan
119
lain untuk menambah penghasilan, karena
merupakan
pekerjaan
pokok
sebagai
membuat banten ini sudah
pekerjaan
yang
menghasilkan
pendapatan. Para tukang banten ini lebih sibuk lagi pada hari-hari rainan
besar agama Hindu seperti : Tumpek Landep, Purnama, Tilem, dan Odalan
Rambut Sedana sebagai hari suci untuk Dewa-dewi kemakmuran.
Wilayah Desa Adat Kuta hampir sama dengan Kelurahan Kuta, hanya
satu banjar yakni banjar Abian Base masuk ke lingkungan wilayah desa
adat Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan kota Denpasar. Kelurahan Kuta
memiliki masyarakat yang multi etnik. Bahkan warga atau etnik Tionghoa
diperkirakan sudah menempati daerah tersebut sejak ratusan tahun yang lalu.
Anggota warga Tionghoa ini terdiri atas 64 KK, mengelompokkan diri
menjadi satu kelompok warga yakni kelompok Darma Semadi merupakan
salah satu kelompok banjar yang anggotanya semua warga Tionghoa.
Ada warga negara asing 20 orang dan yang lainnya WNI. WNI ini
sebagian besar warga atau suku Bali yang beragama Hindu yakni 7758
orang. Suku lainnya antar lain : Jawa, Lombok Sumbawa, Flores, Sumatra,
Menado dan lain sebagainya. Dari berbagai suku tersebut, tercatat 1322
orang beragama Islam, 525 orang beragama Kristen, 331 orang beragama
Budha.
Seperti disebutkan di atas bahwa Desa Adat Kuta terdiri atas 13
banjar. Banjar adalah merupakan kesatuan sosial atas dasar ikatan wilayah.
Masing-masing banjar dikepalai oleh seorang kelian banjar. Yang menjadi
anggota di banjar adat ini adalah semua warga yang sudah menikah. Jika
120
mereka baru melaksanakan perkawinan, maka tiga bulan setelah menikah
mereka resmi menjadi anggota banjar adat. Astika (1985) mengatakan
bahwa
di
Bali
ada
yang
menggunakan
pemesuan
atau
ada
yang
menggunakan KK (kepala keluarga). Bagi anggota banjar yang suaminya
sudah meninggal atau sudah menjanda mereka tidak menjadi anggota banjar
penuh. Mereka hanya dikenakan iuran wajib sebagai anggota banjar yang
besarnya bervariasi perbulan yang diambil setiap bulan pada saat sangkepan
banjar. Anggota banjar ini akan dilanjutkan nanti setelah anaknya yang lakilaki menikah. Organisasi yang dikenal dengan nama sekaa juga dijumpai di
Desa pekraman Kuta. Sekaa yang menurut Geertz (1989: 89) secara
harfiahnya berarti “menjadi satu”, adalah suatu kelompok sosial dibentuk
berdasarkan kriteria tunggal dan eksklusif, kriteria keanggotaan dicurahkan
untuk mencari tujuan sosial tertentu dan biasanya agak khusus, misalnya
keagamaan, politik, ekonomi atau apa saja. Sekaa juga diartikan sebagai
suatu kelompok (perkumpulan atau kesatuan sosial yang memiliki tujuantujuan khusus tertentu. Dasar keanggotaannya umumnya sukarela (Astika,
1985).
Berdasarkan penggolongan tersebut, dapat dikemukakan bahwa di
Desa Adat Kuta ada satu sekaa jemaah kuil, yakni pemaksan tapakan
barong. Perkumpulan sukarela yaitu sekaa teruna, sekaa gong, sekaa wayang,
sekaa angklung, sekaa pesantian, sekaa arisan dan PKK. Di Desa Adat Kuta
ada 12 STT. STT merupakan lembaga sosial yang bersifat tradisional
terutama bergerak di bidang adat dan agama. Selain STT, terdapat pula di
121
masing-masing banjar sekaa gong dan sekaa shanti. Di samping sekaa di
masing-masing banjar ada juga sekaa atau kelompok di luar tersebut yakni
sekaa angklung di Br. Jaba Jero dan gender. Sekaa yang berhubungan
dengan pengairan dan pertanian saat penelitian ini sudah tidak ditemukan
lagi. Perubahan ini terjadi skitar tahun 60-70an, setelah berkembangnya
pariwisata di daerah Kuta. Tanah pertanian beralih fungsi menjdi toko-toko,
perumahan hotel dan sejenisnya sehingga saat ini subak sebagai suatu
organisasi tradisional pengelola pengairan tidak ditemukan lagi di Desa Adat
Kuta. Sekaa nelayan yang dulu biasa membawa jukung ke laut mencari
ikan, kini berubah fungsi tidak masih mencari ikan, tetapi digunakan untuk
keperluan wisatawan yang ingin berwisata ke laut dengan menggunakan
jukung.
Ada beberapa anggota masyarakat memiliki gender. Ada 20 gender.
Gender biasanya digunakan untuk menggiring prosesi upacara yaitu ngaben,
mesangih (potong gigi) dan juga kadang-kadang ada yang menggunakan
dalam upacara odalan di hotel-hotel. Gender ini ada yang dimiliki secara
perorangan dan ada juga lebih dari satu orang. Di samping mengiringi
upacara ada juga pemilikan gender hanya sekedar menyalurkan hoby.
Kesenian dalam hubungannya dengan prosesi upacara berkembang
baik. Dalam mengiringi prosesi upacara agama di masing-masing banjar ada
kelompok mesanti yang anggotanya terdiri atas bapak-bapak dan ibu-ibu.
Masing-masing banjar memiliki gong. Gong (gambelan) merupakan syarat
mutlak dalam mengiringi upacara terutama upacara di Pura-pura. Dengan
122
demikian maka masing-mainmg banjar terdapat kelompok (sekaa gong). Di
samping itu, kesenian santi (mekidung) dan ada juga yang dilakukan sendiri
yakni seni gender. Sanggar seni tari juga ditemui di sana. Seni tari lebih
banyak bersifat sosial, karena di samping melengkapi kegiatan upacara juga
dopertunjukkan untuk kegiatan pergaulan, misalnya, ulang tahun banjar, mudamudi dan lain-lain. Mereka tidak mau menari di hotel atau di tempat
wisata dengan alasan di samping honornya kecil, katanya mereka tidak mau
terikat dengan waktu, karena umumnya yang menari tersebut rata-rata sedang
sekolah.
Sekaa topeng ada 1 group. Topeng ini juga biasanya ditarikan dalam
mengiringi upacara di pura. Ada juga digunakan dalam mengiringi kegiatan
upacara manusa yadnya seperti pernikahan, potong gigi dan upacara ngaben.
Jika top[eng dipertunjukkan di Pura sebagai pengiring upacar, maka itu
semua ngaturan ayah (bersifat sosial, tanpa di bayar). Tetapi jika memang
diundang untuk kegiatan manusa yadnya, ada yang dibayar, ada juga hanya
sekedar diberikan tidak menggunakan tarif tertentu.
Ada 3 group wayang dan satu group topeng. Dalang dari 3 group
ini adalah group wayang dari mangku Swera, group wayang dari mangku
Tama dan satu group dari anak agung Aji dari banjar Temacun. Wayang
biasanya dipentaskan saat upacara keagamaan yang dilaksanakan masyarakat
desa adat Temacun. Wayang biasanya dipentaskan saat upacara keagamaan
yang
dilaksanakan
masyarakat
Desa
Adat
Kuta.
Di
samping
untuk
melengkapi prosesiupacara keagamaan, group wayang ini juga dipentaskan
123
dengan secara komersial di lingkungan Desa Adat Kuta juga di luar
lingkungan Desa adat.
Jadi dari uraian di atas, dapat disimpukan Desa Adat Kuta memiliki
potensi kebudayaan yang amat kaya. Sebagian besar melibatkan anggota
banjar laki-laki, kelompok-kelompok kesenian ini dapat berkembang, karena
diklakukan lebih banyak dalam mengikuti dan sebagai pelengkap upacara
keagamaan.
4.7.5
Hubungan Desa Adat, Kelurahan dan Kawasan Wisata
Potensi yang dimiliki Desa Adat Kuta dalam memberdayakan Desa
adatnya adalah pasar seni, pedagang pantai (PPPK) dan lembaga perkreditan
desa (LPD). Pasar seni dikelola langsung oleh Desa Adat Kuta. Letaknya
sangat strategis, yaitu jalan menuju pantai Kuta, tepat langsung berlangsung
atau berbatasan dengan pantai. Hal ini lebih memudahkan para turis yang
mau berbelanja di pasar seni tersebut sambil menikmati keindahan pantai
Kuta. Barang-barang yang dijual disana beraneka ragam kebutuhan para
turis seperti : pakaian renang, pakaian pantai, alas tempat berjemur di pantai,
sandal, kaca mata, hingga barang-barang kerajinan yang lainnya seperti
patung, lukisan, hasil kerajinan perak, hiasan, baju/kain, patung dan lain-lain.
Pasar seni ini di bangun tahun 1994 dan saat ini memiliki 201 kios
yang dikontrakkan semuanya kepada krama Desa Adat Kuta. Dari jumlah
pedagang yang ada, pada awal pembentukannya, semuanya berasal dari
krama Desa Adat Kuta. Dalam perkembangan selanjutnya hingga saat ini
124
yang berjualan di pasar seni 159 (80%) adalah warga Desa Adat Kuta dan
sisanya 42 orang bukan warga Desa Adat Kuta. Perubahan persentase ini
karena ada beberapa anggota desa adat yang memberikan pengelolaan kios
pasar seni kepada warga
yang bukan termasuk Desa adat. Hal ini
disebabkan karena berbagai alasan antara lain karena sibuk mengurus bisnis
yang lain, atau juga ada yang mengatakan mengurangi kesibukannya karena
kegiatan terlalu banyak agar dapat lebih leluasa “menyama braya”.
Sewa kios antara krama Desa Adat Kuta dan bukan anggota desa
adat dibedakan. Hal ini menurut pengelola pasar seni di Desa Adat Kuta, I
Nyoman Subaga (49 tahun) mengatakan tujuannya semata-mata untuk
memberdayakan
desa
adat
agar
kesejahteraan
anggotanya
dapat lebih
meningkat. Sewa kios untuk tahun 2001 adalah Rp 2, 5 juta pertahun untuk
anggota desa adat dan Rp 7, 5 juta pertahun bagi warga yang bukan krama
Desa Adat Kuta. Walaupun ada selisih hingga Rp 5 juta pertahun, sangat
banyak warga yang bukan anggota desa adat yang menginginkan untuk
berjualan di pasar seni, tetapi tidak diijinkan. Di samping kios juga bagi
orang yang berjualan di sekitar pasar seni juga diminta iuran yang
jumlahnya bervariasi tergantung dari besar lkecilnya barang yang dijajakan.
Semua hasil yang diperoleh dari penyewaan kios di pasar seni diserahkan
ke Desa Adat Kuta dan disimpan di LPD Desa Adat Kuta. Tahun 2001
hasil bersih yang diserahkan ke desa adat adalah sebesar Rp 635.806.875, (enam ratus tiga puluh lima juta delapan ratus enam ribu delapan ratus
tujuh puluh lima rupiah). Hasil bersih didapatkan dari hasil seluruh sewa
125
jios dikurangi gaji pegawai dan biaya upacara di pura melanting. Pura
melanting adalah pura yang terdapat diareal pasar seni yang disungsung
oleh semua pedagang di pasar seni tersebut, tetapi
tidak menutup
kemungkinan bagi anggota masyarakat lainnya yang mau bersembahyang di
sana.
Pedagang pantai adalah pedagang yang berjualan di sekitar pantai
Kuta yang secara aktif menjajakan barang dagangannya kepada turis.
Tempatnya berpindah-pindah dari satu tempat ke twmpat yang lainnya tetapi
masih dalam satu areal tertentu di pantai Kuta. Adapun 19 jenis usaha
jasa/barang
yang ditawarkan meliputi pedagang kain/baju, tukang pijat
(massage), tukang
gambar, kaca
kutex
(maniqure), makanan, minuman, layang-layang,
mata, topi/tikar, sandal, surfing, buah-buahan, perak, patung,
sumpitan, rokok, es krim, tato dan jam. Pedagang pantai ini berada di bawah
naungan PPPK (Persatuan Pedagang Pantai Kuta). Semua anggota memiliki
kartu anggota yang ditandatangani oleh
Bendesa
adat setempat yakni I
Gusti Ketut Sudira. Pedagang pantai Kuta ada 1151 orang, 297 diantaranya
krama Desa Adat Kuta dari berbagai banjar. Dari jumlah pedagang pantai
yang 233 (78, 5%) perempuan. Desa Adat Kuta mengelola pedagang pantai
ini sejak tanggal 1 Juni 1999. Sejak saat itu tidak pernah ada penambahan
anggota baru. Hal ini sengaja dilakukan karena jumlah pedagang pantai
sudah dianggap jenuh. Bahkan dari awalnya sudah ada banyak yang
berhenti terutama yang berasal bukan krama Desa Adat Kuta. Sebelumnya
dikelola oleh Puskopad. Setiap anggota PPPK berkewajiban membayar iuran
126
anggota. Besarnya iuran dibedakan antara warga anggota desa adat dengan
bukan krama Desa Adat Kuta. Untuk anggota desa adat dikenakan iuran
sebesar Rp 15.000 per bulan dan yang bukan anggota desa adat dikenakan
iuran Rp 30.000, -. Jika berturut-turut dalam waktu tiga bulan tidak
membayar iuran, maka akan dikenakan teguran dan jika hingga 5 kali maka
anggota tersebut dicabut dari keanggotaannya.
Seperti halnya pasar seni, maka jumlah total iuran yang terkumpul di
PPPK dikelola sepenuhnya oleh Desa Adat Kuta, setelah dikurangi biaya
operasional dan gaji karyawan. Uang ini diserahkan setiap akhir tahun.
Untuk tahun 2001 besarnya hasil retribusi pedagang pantai yang diserahkan
kepada desa adat adalah Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
LPD (lembaga perkreditan Desa) di Desa Adat Kuta didirikan pada
tahun 1997. Keberadaan LPD sebagai wadah ekonomi pedesaan keberadaannya
sudah dituangkan secara formal dalam bentuk peraturan daerah yaitu Perda
Bali No 2 tahun 1988, dengan sumber modalnya berasal dari Pemda
Tingkat 1 Bali Rp 6 Juta, Pemda Tk II Rp 1, 6 Juta, Desa Adat Kuta Rp
25 Juta, simpanan wajib serta tabungan anggota. Hingga omzet LPD Desa
Adat Kuta mencapai 35
milyar
rupiah.
LPD
ini dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Yang boleh
memanfaatkan LPD adalah masyarakat Bali, baik yang berasal dari Desa
Adat Kuta, maupun orang di luar Desa Adat Kuta tetapi memiliki rumah
tinggal di Kuta. Warga di luar desa adat diperkenankan meminjam, tetapi
harus ada rekomendasi dari anggota warga desa adat setempat. Nasabah dari
127
LPD tersebut kebanyakan berasal dari Desa Adat Kuta. Karyawan yang
bekerja di LPD ada 42 orang yang mana semuanya adalah anggota desa
adat setempat. Segala kegiatan LPD selalu dilaporkan kepada prajuru desa
adat guna diteruskan kepada masyarakat.
Semua usaha yang dimiliki desa adat hasilnya dikumpulkan dan
dikelola oleh desa adat. Hasil usaha ini digunakan untuk pemberdayaan
Desa Adat Kuta. Dana ini juga digunakan untuk melestarikan budaya
setempat, seperti pembangunan atau perbaikan pura sebagai sarana untuk
melakukan kegiatan upacara Dewa Yadnya, biaya untuk upacara odalan di
pura di lingkungan Desa Adat Kuta ditanggung sepenuhnya oleh desa adat.
Termasuk juga rangkaian upacara sugihan sampai kuningan dan saraswati.
Sebagai gambaran, untuk kegiatan sugihan sampai kuningan Banjar Adat
anyar diberikan dana Rp 10 Juta. Purnama diberikan dana Rp 1, 5 juta.
Demikian pula nyepi termasuk melasti ditanggung sepenuhnya oleh desa
adat. Kegiatan upacara di masing-masing pura di bale banjar, ditanggung
oleh banjar dengan mengambil iuran dari masing-masing anggota banjar.
Dari uraian di atas, di ketahui bahwa LPD di Desa Adat Kuta sangat
berdaya sebagai lembaga yang sangat berperanan dalam kemajuan di desa
adatnya. Hal ini mendukung penelitian Gunarsa (1990: 30) di daerah
kabupaten Badung, yang menemukan bahwa LPD memberikan sumbangan
yang nyata dalam pembangunan di desa adat, yakni dalam pembentukan
pendapatan masyarakat melalui peranannya sebagai lembaga jasa keuangan
di tingkat desa.
128
Adapun berbagai usaha di sektor pariwisata di Kuta yang dimiliki
penduduk lokal maupun investor dari luar Bali. Jenis usaha industri
pariwista
tersebut
adalah
hotel
(berbintang, jenis
kelas
melati
dan
penginapan), restaurant, rent car, biro perjalanan wisata, money changer dan
atraksi
wisata.
pengelolaannya
Retribusinya
dilakukan
oleh
tidak
dikelola
Kelurahan
oleh
Kuta
desa
adat, tetapi
dipergunakan
untuk
keperluan pembanunan desa/kelurahan. Retribusi ini tidak membedakan
apakah pemilik atau pengusaha itu merupakan krama Desa Adat Kuta atau
tidak. Besarnya retribusi yang dikenakan tergantung jenis dan besarnya
usaha yang dikelola pengusaha tersebut. Untuk hotel bintang 5 dikenakan
Rp 150.000, - per bulan dan kecil seperi pondok wisata hanya dikenakan
Rp 50.000, - per bulan. Besarnya masing-masing retribusi ini diatur dalam
SK no 6 tahun 2001 tentang sumbangan di Kelurahan Kuta.
129
BAB V
BENTUK REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL
DAN POLITIK IDENTITAS DESA ADAT KUTA
DALAM POSKOLONIALITAS KAWASAN PARIWISATA
Dihadirkannya kembali posisi dan peranan masyarakat lokal kawasan
pariwisata dengan permasalahanya sebagai subyek, akan dibahas dalam bab
V ini. Bentuk representasi budaya masyarakat lokal Kuta, dibedakan dalam
bentuk
representasi
tradisional, representasi
modern, dan
representasi
postmodern. Representasi budaya akan searah dengan gerak transformasi
sosial budaya masyarakat dan laju pertumbuhan kawasan turistik sebagai
bagian destinasi turisme global.
5.1 Ketersesakan Daya Tampung Kawasan
Bali menjadi pulau yang sarat kepentingan dan dinamika berparas
global, protokoler, turistik dan hedonis.
Demikian representasi outsiders
melihat Bali dari kesan kesemrawutan tata ruang kawasan wisata Kuta yang
sudah
berwajah
global
village.
Sebuah
novel
pendek
(Panuju, 2007)
berusaha menggugah kesadaran masyarakat lokal kawasan Kuta dengan
sebuah satire yang berjudul “Bali Sorga Para Anjing”. Dengan segala
kekurangannya, novel pendek ini menjadi penanda resistensi turistik dalam
studi
ini.
Representasi
sorga
para
anjing menyambung
keterbatasan
representasi insiders untuk menembus pagar etika dan santun-bahasa di Bali.
Penanda satire Panuju menyasar dominasi ruang turistik dan representasi
barat dalam kepariwisataan Kuta, bahkan menggoyang ikon-ikon pariwisata
129
130
dan penanda regulasi-kebijkan pariwisata yang sangat mendominasi dan
hegemonik, tetapi
penuh konformitas kapital. Keterpinggiran dan kekalahan
masyarakat lokal kawasan wisata, mendapatkan perhatian mendalam dari
outdiser atau pihak luar. Panuju menyerang simbol dan penanda dominasi
kapitalistik di pantai Kuta memalui novel satir, dengan representasi anjing
seperti gambar 5-1 berikut ini.
Gambar 5.1
Satir untuk Dominasi Kapitalistik, Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi
5.1.1 Dilema Turisme Global dalam Lokalitas Desa Adat Kuta
Permasalahan ruang, lingkungan dan tanah dalam resistensi kawasan,
merupakan kesadaran masyarakat lokal atas efek komodifikasi Bali dalam
budaya turistik kawasan wisata. Representasi turisme yang commonsense
berupa (1) tanah berharga emas, ruang adalah uang dan tempat adalah
segala-galanya. (2) deviasi harapan kosong dan harapan utopia pariwisata
131
sebagai ideologi (3) Kemandegan kebijakan publik di kawasan pariwisata,
pernah menjadi referensi resistensi kawasan pada tahun 1998. Melihat
kembali kehidupan Kuta sebagai kampung terbuka global, dengan catatan
kritis dan representasi masyarakat lokal terhadap fenomena di sekitar
lingkungan mereka, menyambung seluruh fenomena kawasan yang dilihat
sebagai ambivalensi kawasan wisata.
Peningkatan
infrastruktur
pariwisata
bersamaan
dengan
realisasi
pembangunan fisik daerah dan nasional, mengkondisikan masyarakat Kuta
‘ada’ dan ‘mengada’ dalam pariwisata di atas space and place atau ruang
dan tempat komunitas pendukung budaya setempat atau indigenous people,
yaitu ruang desa adat. Pada masa awalnya, jalan-jalan penepi siring Kuta
atau perkampungan pesisir Kuta, merupakan jalan atau akses tempat-tempat
suci dan fasilitas kegiatan adat, yang harus menerima fungsi baru sebagai
akses atau infrastruktur kawasan industri pariwisata. Perbaikan wajah dan
fisik Desa Adat Kuta menjadi penanda perubahan cepat yang kurang dari
hitungan
dekade
atau
sewindu, kemudian
perubahan
mendasar
pun
mempengaruhi tataruang perumahan, banjar atau lingkungan dan desa adat.
Realitas perubahan dan konflik ruang yang sudah diterima sebagai
keniscayaan era global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara
berpikir, sikap dan pandangan atas relevansi dan berlakunya nilai-nilai lokal
atau indigenous values. Seperti halnya pengakuan
Bendesa
Adat Kuta dan
warga Desa Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya
sebagai ‘daerah terbuka’ (sebut: ruang terbuka ). Satu ungkapan yang
132
mengandung
kesadaran, kekhawatiran
dan
resistensi
atas
konsekwensi
keberadaan lingkungannya sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka
dengan tersedianya banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara
yang begitu dekat, memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami
pada jam dan tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat
hiburan selalu menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
5.1.2
Trauma Konflik, Resistensi, dan Terrorisme
Sesuai dengan konsep
Kartohadikusumo, Soepomo, Surpha(Windia,
2008:8-14), desa merupakan suatu wilayah, ruang, situasi dan tanah air. Desa
adat sebagai ruang budaya dan wilayah masyarakat hukum adat, merupakan
elemen identitas yang menjadi habitat sekaligus locus formasi identitas
masyarakatnya. Pada masa perubahan situasi sosial politik dari masa
sebelum tahun 1998 ke masa tahun 1999 sampai sekarang, membuka sekatsekat kuasa pemerintah dalam hegemoni sampai di tingkat desa. Perubahan
situasi ini, menjadi catatan ideologis bagi masyarakat Kuta dalam hal
pentaan dan pengelolaan kawasan termasuk apresiasi terhadap kebijakan
pemerintah bagi Kuta.
Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan
pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di
daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian sudah mengibarkan ‘bendera
desa adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Hal ini
dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan
133
rezim
penguasa
negara
dalam
waktu
yang
cukup
terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang
lama, kemudian
dipelajari sejak
lama. Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan
kekuatan politik desa adat. (Pitana et all, 2000)
Resistensi dominasi dan hegemoni di Balik tanggung jawab keramahtamahan dan ketertiban umum, bermetamorfosis dalam agensi-agensi budaya
para elit Kuta, agenda perjuangan politik representasi lokal. Kearifan lokal
Hindu sangat mempengaruhi etika politik para tokoh elit desa adat, sehingga
nilai kearifan budaya berupa; drestha, sima, desa-kala-patra, sad kerthih,
hingga tri hita karana, meredam gejolak anarkis ke dalam representasi
politik budaya. Sebutan politik budaya, menuru Bagiana Karang, merupakan
pengaruh wacana media dan jargon politik LSM. Sehingga dalam himbauan
doktrinernya, dia kerap kali memperkenalkan politik budaya sebagai; (1)
politik yang santun, (2) politik yang berbudaya, (3) politik pada jalan
dharma. Pesan ideologis inilah meluas pada tokoh elit lainnya, menyebar
secara ideologis dengan representasi gaya, jargon, dan pendekatan yang
bervariasi. desa adat sebagai label dan resistensi terhadap perda desa adat
(Wesna, 2010), mendapatkan locus penolakan awal di Kuta dengan dasar
permasalahan kependudukan, dinamika global, dan takanan politik lokal.
Kesiagaan, koordinasi
dan
komunikasi
antar
desa
adat, ternyata
kemudian mendapatkan insiden ‘ledakan bom teroris’ pada tanggal 12
Oktober 2002 di depan sebuah café-bar di perbatasan Desa Adat Kuta
dengan desa adat Legian. Musibah yang tidak pernah terbayangkan oleh
134
masyarakat Kuta bahkan oleh masyarakat Bali, mematri suasana traumatik
yang lama dan akhirnya harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Aksi
teroris bom yang lebih kecil terjadi lagi di sudut Kuta lainnya, tetapi
menambah parah trauma pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal di
lingkungan Desa Adat Kuta, ditambah satu terror bom di lingkungan desa
adat Jimbaran, sekitar 5km arah selatan Kawasan Wisata Kuta, kembali
merobek citra keamanan pariwisata Bali. Kenyataan pahit ini harus diterima
sebagai bentuk ancaman yang bisa terjadi kapan pun di lingkungan desa
adatnya, sebagai konsekuensii kehidupan masyarakat kawasan wisata ke masa
depan. Ancaman ini juga menghantui desa-desa adat yang ada di sekitar
bentang kawasan Kuta
5.2 Representasi Budaya dalam Ambivalensi Kehidupan Kawasan
Bentuk representasi budaya masyarakat lokal Kuta, dibedakan antara
representasi tradisional, representasi modern, dan representasi postmodern.
Representasi tradisional meliputi; (1) Representasi desa atau ruang, (1)
Representasi kala atau waktu, dan (3) Representasi patra atau kondisi.
Representasi modern meliputi; (1) Representasi diri atau individu, (2)
Representasi kolektif atau komunitas. Representasi Posmodern meliputi; (1)
Representasi subyek, (2) Representasi posisi, (3) Representasi Obyek. Peranan
dan Fungsi diasosiasikan dalam keberadaan subyek mawujud. Dinamika
merupakan kluster wacana perubahan positif dan dilemma merupakan kluster
wacana adaptasi subyek atau antar subyek. Obyek merupakan permasahalan
135
Kuta yang baru sebagian bisa diartikulasikan pada domain hubungan
pengusaha di Kuta dan domain kebijakan publik pemerintah khususnya
Pemerintah Kabupaten Badung.
Hubungan antara komunitas lokal dengan pariwisata yang hingga
sekarang berkembang menjadi industri global, menunjukkan masih adanya
jarak budaya antara ‘host and guest’ atau hubungan antara pelayan dan
tamu (sebut: wisatawan). Seperti halnya Nash (Smith, 1989: 23-30), melihat
hubungan antara budaya masyarakat lokal dengan budaya wisatawan yang
terkait dengan bertemunya ritual tradisional dengan ritual tourism atau
pariwisata yang bersifat modern dan internasional. Nash menyebut pariwisata
sebagai bentuk baru imperialisme pada zaman ini, bagian dari pergerakan
imperium-imperium ekonomi dunia, yang disebut global empire atau Capra
(2004: 145-148) menyebutnya dengan kapitalisme global.
Meminjam
konsep
Cohen
dalam
“Sociology
of
Tourism”
(Apostolopoulos, Ed.1996: 51-74) yang mencantumkan pendekatan Neokolonialisme
sebagai
pendekatan
terakhir
dari
delapan
pendekatan
sosiologisnya terhadap pariwisata, yaitu; pariwisata sebagai commercialized
hospitality, pariwisata sebagai democratized travel, pariwisata sebagai aktifitas
modern leisure, dan empat pendekatan lainnya dalam konteks hubungan
etnis, budaya dan proses akulturatif melalui pariwisata. Semuanya digunakan
untuk mengkaji the intriguing phenomenon of tourism atau fenomena
tourisme yang semakin menarik perhatian untuk diteliti. Searah dengan
perpektif poskolonial tentang pariwisata, yang melihat adanya koloni-koloni
136
industri pariwisata di berbagai kawasan destinasi dan obyek daya tarik
wisata, bahkan tidak jarang menggunakan tempat-tempat dan bangunan
kolonial sebagai tempat rekreasi dan daya tarik pariwisata.
Melihat budaya dan tipe wisatawan, leisure atau liburan yang
merupakan kebutuhan sekaligus trend kehidupan baru yang berkembang ke
arah kapital, di mana liburan dikemas dalam paket-paket siap bayar. Leisure
kemudian menjadi penanda kelas baru, lengkap dengan segala perlengkapan
paketnya, visit-courtesy hingga ritual wisata yang berkembang alami dengan
tanda atau cirikhas gaya pada pakaian, dandanan dan hari-hari atau bulan
musimannya. Signifikasi leisure dalam kelas kemudian merebak melalui
komodifikasi
dan
periklanan
wisata, yang
betul-betul
menempatkannya
sebagai label kelas baru, hingga penyebutan leisure class. Kebiasaan, gaya
dan gerak-gerik mereka di destinasi wisata pun dipelajari, sebagai bagian
dari masyarakat kawasan wisata atau tourist resort dalam sebuah negara.
Masyarakat lokal di satu kawasan, sebut saja Kuta, tentu sangat dipengaruhi
oleh kehadiran wisatawan mancanegara di lingkungan tempat tinggal mereka
setiap hari.
Terkait representasi budaya dalam wacana pariwisata, MacCannell
(1978:78-83) menangkap adanya representasi budaya lokal atau daerah di
mana sebuah kawasan pariwisata dikembangkan, dan berkembang menjadi
elemen justifikasi dalam istilah harmony and subject matter representasi
berbagai asosiasi warisan atau peninggalan seni-budaya, keindahan alam dan
potensi kesenian, tradisi dan budaya yang masih hidup. Representasi dalam
137
konteks operasional-mekanis ini, disebut dengan istilah ‘re-presentation’.
Proses re-presentasi diawali dari fungsi dan tipe museum, yaitu collections
and re-presentations atau koleksi-koleksi dan re-presentasi, yaitu penyajian
yang intensif dan berulang-ulang. Re-presentasi ini berkembang sebagai
teknik penyajian dan pemajangan produk atau arrangement of objects dalam
rekonstruksi situasi secara total, di mana bisa ditemukan boneka-beneka
pajangan pakaian, perhiasan hingga boneka-boneka binatang yang dipajang
untuk re-presentasi habitat alami binatang seperti hutan artifisial.
Temuan fenomena pariwisata dari sumber-sumber di atas, menguatkan
konstruk teori posstruktural penulis dalam membaca pola pikir (baca:
representasi) masyarakat lokal fenomena medan tanda budaya massa, silang
kontestasi tanda komersial, komodifikasi, pencitraan Kuta, hingga bazaar tanda
dalam pariwisata budaya, yang masih ambivalen atau sangat gamang bagi
sebagian besar masyarakat lokal Kuta. Bersamaan dengan fungsi dan
kekuatan mitos Turisme, seperti istilah teori Barthes (2007, 295-297) bahwa
mitos merupakan suatu sistem komunikasi, suatu pesan (mode pertandaan)
atau mode of signification. Mitos tidak sama dengan objek atau konsep
atau gagasan. Bisa dihubungkan dalam kontestasi tanda ini, mitos merupakan
mode atau cara penyampaian pesan yang kemudian menyatu dengan
simulasi
atau
pencitraan.
Dalam
krisis
ontologis
inilah, konsep-teori
Posstruktural (Piliang, 2005) memberikan kontribusi metode dan teknik
diskursif dalam dekonstruksi objek yang berperan menetralisir posisi dan
hubungan objek dan subjek.
138
Ardika (Darma Putra, 2004: 20-31) melihat fenomena pengaruh
budaya turistik ini sebagai sebuah konsekuensi pengembangan pariwisata,
yang tentu dapat dikendalikan dengan regulasi pemerintah, strategi budaya,
pemahaman dan apresiasi budaya seluruh komponen masyarakat Bali.
Terkait otonomi daerah dalam pemerintahan dan pemanfaatan sumberdaya
daerah, kebijakan pemerintah daerah Bali sangat menentukan perjalanan
pariwisata ke depan. Searah dengan potensi budaya yang dimiliki oleh
daerah Bali dan kecendrungan
pariwisata
global
yang mempengaruhi
kebijakan pemerintah, nilai sumberdaya manusia, proteksi budaya dan hak
cipta hingga konsensus nasional pun patut diadakan untuk memberlakukan
peraturan lokal, nasional, dan internasional tentang kebudayaan dalam konteks
pariwisata. Kegiatan wisata seks, kasino, dan aktivitas sejenis yang tidak
sesuai dengan Kebudayaan Bali harus bisa ditekan atau ditertibkan. Kuta
sudah berbenah untuk urusan abu-abu ini, sehingga menjadi referensi gerakan
penyadaran dan praksis ekonomi politik nantinya.
5.3 Representasi Politik Identitas dalam Keterjajahan Masyarakat Lokal
Kuatnya ambivalensi kawasan turistik Kuta, yang sementara ini
disebut dengan kegamangan situasi oleh tokoh elit masyarakat, mendorong
representasi budaya dalam pengembalian jatidiri Kuta. Gambar 5-2 di
bawah, memperlihatkan prosesi ritual sebagai elemn identitas budaya. Penulis
mengikuti prosesi Ngerehang ini di Pura Dalem Tunon selama 24 jam
lebih. Representasi identitas kultural dari keluarga Puri Satria Dalem
139
menjadi penanda energi politik identitas Kuta dalam kawasan turistik
global
Gambar 5.2
Iringan Rangda dan Barong Singa menyusuri pantai Kuta. Sumber:
Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Pola kehidupan tradisional seperti pedesaan masih ada di kampung
turistik Kuta, di Balik make up kawasan yang sensual dan menggoda.
Angka kemiskinan (baca: masyarakat ekonomi lemah) masih ada di tiap-tiap
banjar. Nyoman Parna mantan Kepala Lingkungan Segara menyebutkan
masih ada 122 orang kepala keluarga (KK) miskin di kelurahan Kuta.
Mangku
Urip
dan Made
Sumer
yang duduk sebagai Ketua
DPRD
Kabupaten Badung, mengakui adanya 122 KK miskin di Kelurahan Kuta.
”Mungkin mereka ini bisa kita sebut orang-orang yang tidak mampu
secara ekonomi dalam melihat peluang atau mengembangkan potensi
yang mereka miliki” demikian tungkas Bapak Sumer terkait
keberadaan penduduk miskin atau warga tidak mampu di Kuta.
140
Pertumbuhan kawasan Kuta dalam tiga dekade ini, belum mengubah pola
hidup mereka, bahkan semakin tidak mungkin untuk berubah dalam himpitan
peluang ekonomi dan nihil kemampuan. Ingatan kultural mereka tentang
habitat di masa desa pesisir Kuta masih nihil pariwisata, justru menguatkan
resepsi ruang dan diskursus pariwisata pada kekiniannya. Bourdieu (Harker,
2005:43, 87, 88, 97) menyebut habitus seseorang sangat menentukan
kemampuannya dalam menempuh atau melewati habitat-habitat baru dengan
segala perbedaan budaya hidup dan sirkulasi budaya, termasuk pemosisian modal
dalam budaya dan ekonominya. Sebut saja Kari dan Sari yang sekarang hidup
dengan mata pencaharian
yang belum berubah sejak tahun 1970-an,
memberikan referensi dan penanda budaya masyarakat bawah di Kuta, dari
kondisi
sosial
beberapa
orang
lainnya
dengan
mimikri-penampilan
masyarakat lokal kawasan wisata.
Representasi masyarakat ekonomi lemah ini tentang Kuta, semakin
menguatkan
poskolonialitas
kawasan
pariwisata, dan
menjadi
penanda
signifikan dalam investigasi dominasi ruang turistik-komersial atar ruang
budaya tradisional. Orientasi mereka terhadap Kuta, masih kuat dipengaruhi
oleh habitat tanah kelahiran. Sebut saja, banjar, pura, dan pasar sudah
dipinggirkan oleh orientasi ruang kawasan dengan penyebutan alamat; jalan,
perusahaan, hotel, restoran, artshop, dan perkantoran. Bahkan beberapa sudah
hilang, seperti lingkungan persawahan, tegalan, sungai, hingga padang ilalang
yang tak terurus pada sekitar tahun 1960-an ke belakang.
141
‘Ayam mati di lumbung padi’, demikian halnya kekalahan masyarakat
lokal dalam kawasan turistik-komersial. Ungkapan ini sering muncul di
media massa yang mengkritisi perkembangan kapitalistik Kuta. Fenomena
global village menguat dengan pertubuhannya sendiri. Kuta
berkembang
sebagai
kenyamanan
kawasan
pasar
turistik
yang
sangat
menjanjikan
akomodasi dan ‘saku’ tourist. Komodifikasi realitas (baca: komodifikasi
segala hal) dalam pariwisata budaya, semakin kuat dilihat dalam fenomena
bazaar tanda turistik yang senyatanya menjadi hal biasa bagi masyarakat
lokal, sebagai pasar turistik yang memang memiliki makna searah, sehingga
fenomena ini membuka posisi mitos sang turisme yang justru
dengan
posisi
ideologisnya
pariwisata
dalam
lebih kuat
signifikansi
kebijakan
pemerintah daerah dan ekonomi politik PAD. Pariwisata budaya memang
senyatanya sebagai modal budaya yang sudah mengadopsi dan mengadatasi
agensi
budaya, transformasi
budaya
dan
praksis
kultural
dalam
pengembangan sistem pengembangan sang leading sector pariwisata budaya.
Barker
melihat
bahwa
etnisitas, ras, dan
nasionalitas
merupakan
konstruksi diskursif atau discursive-performative construction yang tidak
mengacu pada sesuatu yang nyata. Mereka lebih pada contingent cultural
strategies daripada fakta biologis. Etnisitas sebagai sebuah konsep mengacu
pada formasi dan pembertahanan keberadaan budaya yang memiliki stressing
advantage manfaat penekanan sejarah, budaya, dan bahasa. Jadi kekalahan
dalam ambivalensi kawasan wisata ini, tidak ada kaitannya dengan nilai
budaya dan pandangan hidup masyarakat Desa Adat Kuta. Pariwisata
142
disadari sebagai usaha dan aktifitas ekonomi turistik dan komersial yang
didasari oleh kewirausahaan dan modal.
Barker(2004: 226-231) menandaskan, bahwa hubungan representasional
etnisitas, ras, dan nasionalitas adalah konstruksi performatif diskursif yang
tidak mengacu pada ‘hal’ yang sudah ada sejak lama. Jadi, mereka lebih
merupakan kategori budaya yang relatif ketimbang sebagai ‘fakta’ biologis
dan universal. Etnisitas sebagai suatu konsep mengacu pada pembentukan
dan pemeliharaan sekat-sekat budaya dan memiliki keuntungan berupa
penekanan pada sejarah, kebudayaan, dan bahasa. Ras adalah suatu ide
problematik karena asosiasinya dengan diskursus biologi tentang superioritas
(darah keturunan) dan subordinasi yang bersifat intrinsik dan tak terelakkan.
Ide tentang rasialisasi atau pembentukkan ras memiliki keuntungan berupa
penekanan
kepada
kekuasaan, kontrol
dan
dominasi, karena
seperti
dikemukakan oleh Jordan dan Weedon (Barker, 2004:226-231) kendati
rasisme benar-benar merupakan suatu diskursus tentang perbedaan. Ia juga
hampir diyakini sebagai diskursus tentang brutalitas dan anarkisme.
Dapat dicatat adanya titik temu antara ras, etnisitas, bangsa, kelas,
umur, dan gender, sehingga identitas budaya harus dipahami dalam hal
artikulasi diskursus yang saling berkelindan ini. Gagasan tentang ras,
etnisitas, dan
bangsa
antarmereka, contohnya
harus
dalam
dieksplorasi
kemurnian
dalam
hal
etnis
bangsa
ketergantungan
sebagaimana
dikemukakan dalam diskursus nasionalis dan peran yang menjelaskan
143
permainan metafora dalam konstruksi bangsa, yaitu gtanah air, ibu pertiwi,
dan lain-lain.
5.4
Resepsi Turisme dalam Kekalahan Masyarakat Lokal
Dominasi ruang turistik dengan budaya turisme global, menguatkan
posisi kekalahan masyarakat lokal secara simbolik, ekonomi dan budaya.
Resepsi turisme global yang searah dengan wacana orientalisme barat
terhadap timur, sudah melekat dalam representasi pribumi (baca: masyarakat
lokal.
Gambar 5.3
Suasana kawasan Kuta pada pukul 03:00 pagi. Sumber: Dok. IGNA Eka
Darmadi, 2009.
Turisme disikapi dengan representasi ideologis dan simbolik dalam
praksis-praksis
radikalisme
budaya
dalam
kesenian, arsitektur
rumah,
’pemuliaan’ prosesi ritual atau upacara di ruang terbuka, pemaknaan kembali
simbol-simbol agama yang disebut niasa, dan pemuliaan arsitektur bangunan
144
suci dan bangunan adat. Muatan satir klasik dalam dialog pemain dramatari
Arja atau Calonarang, selalu memfragmentasikan modus ideologi turisme dan
mengingatkan warga desa adat untuk menjaga identitas dan budaya. Suastika
(1992) sudah membedah secara intertekstual makna Calon Arang dalam tradisi
Bali, telah mengalami akulturasi budaya secara tekstual, religio magis dan
kultural. Calon Arang sebagai pentas tradisional yang lazim dengan sebutan
Calonarang, sudah menjadi bagian penta sakral di Bali. Dalam praktik
representasional dan politik identitas, Calonarang mendapatkan posisi simbolis
representasi kultural dan identitas dalam dinamika kultural masyarakat lokal Kuta,
baik warga desa adat maupun warga non Hindu telah merasakan dan memahami
makna seram dan magis dalam pentas sakral Calonarang di Kuta.
Setting
kehidupan
masyarakat
kecil
sering
mewarnai
dialog
punakawan dalam pentas teatrikal Calonarang dalam durasi rata-rata 5 lima jam,
seperti dialog berikut;
”Buin mani, pules-pules cai tusing tau teken umah caine suba asah
tanah”, demikian kata Penasar, yang artinya ”Besok pagi, tidur-tidur
kamu tidak sadar pada rumahmu yang sudah rata tanah”. Tungkas
Kartala, ”Yehh, dadi keto Bli?”(artinya: Wah, kenapa begitu Kak?”).
Penasar menjawab setelah menari memutar sambil menyanyikan
Sinom Uwug Payangan, ”Lacure hidup mejajah buin tusing
nyidayang mayah pajeg umah lan pekarangan”, artinya ”Sengsaranya
hidup dijajah tidak bisa membayar pajak bangunan dan tanah
pekarangan”
Ungkapan resisten yang sarat pesan penyadaran ini, sering ditemukan dalam
pentas kesenian teater tradisional pada saat upacara-upacara adat yang besar,
seperti; Arja, Calonarang, Wayang Kulit, dan yang paling sering tari Topeng
Bondres. Sebelum pentas, para penari diberikan masukkan untuk memberikan
145
sindiran dan penyadaran akan budaya dan adat dalam situasi kehidupan
dalam kawasan pariwisata global. Habermas (Lubis, 2006: 6-7) memosisikan
rasionalitas instrumental sebagai produk positivisme yang disebut melahirkan
manusia picik oleh Marcuse, sehingga Habermas mengajukan rasionalitas
komunikatif sebagai jalan keluar untuk mencapai situasi pembicaraan yang ideal
dalam melihat realitas.
Perkara politik ingatan terprovokasi dalam dilema HAM. Semuanya
menguatkan friksi wacana kebijakan yang analog dengan kebangsaan dalam
republik, berseberangan dengan menguatnya resepsi turisme yang analog
dengan kawasan dalam republik destinasi, atau friksi citraan destination dan
nation dalam dominasi citraan ruang global. Arah dan perkembangan studi
poskolonial di Indonesia, menurut Melani Budianta, seperti dipetik oleh
Susanto (2003: 270) dalam buku “Politik dan Poskolonialitas di Indonesia”,
melihat adanya idealisasi wacana poskolonialisme dalam studi komunitaskomunitas lokal atau indigenous community di tanah air, ketika menemukan
berbagai budaya
dan identitas.
Studi Poskolonial menguatkan metode
cultural studies sebagai politik intelektual, mengarahkan pada pengembangan
kerangka dan peta pikir yang lebih luas dan mendasar. Arah politik
intelektual poskolonial hingga dekolonisasi metodologi (Smith, 2006: 88-96),
menuju pembebasan representasi diri yang selama ini diposisikan sebagai
objek orientalisme barat. Kritik metodologi barat selalu merujuk signifikansi
dan relevansi teori poskolonial dalam kajian budaya yang senantiasa sarat
dengan misi dan isyu-isyu politik intelektual yang emansipatoris.
146
Representasi keterjajahan dalam praktis tradisi dan kehidupan seharihari, menembus solidaritas masyarakat lokal dan pemberdayaan desa adat
dalam menghadapi kehidupan global. Seperti konsep Smith (2006: 88-96)
Poskolonial merupakan ujung tombak dekolonisasi metodologi logosentris
barat
yang
juga
signifikan
logosentrisme, oposisi biner
kekuasaan
yang
hegemoni
dan
dalam
dan
memenjarakan
dominasi.
cultural
studies
untuk
menolak
koloni-koloni makna, pengetahuan dan
manusia
Poskolonialitas
dalam
akan
sel-sel
oposisi
menyambung
binari,
fenomena
imperialisme dan neokolonialisme sebagai subjectmatter dan sasaran politik
identitas sebagai konsep, teori dan perjuangan dalam cultural studies.
Indigenisasi metodologis yang sedang hangat-hangatnya diwacanakan menjadi
agenda
permanen
intelektual-poskolonial
untuk
melawan
praktik-praktik
positivisme logis, menisbikan representasi ‘barat dan timur’ yang relevan dan
searah dengan aktualisasi cultural studies sebagai gerakan mereka memiliki
lembaga, bahasa, nilai, tradisi atau adat dalam praktis kehidupan sehari-hari.
Penggambaran realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut
sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan
‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial.
Hall, C. Michael & Hazel Tucker dalam “Tourism and Post Colonialism”
(2004: 1-5), menandai tantangan teori poskolonial awalnya berupa tantangan
sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary challenges to the hegemonik
power of the centre, yang tentu saja searah dengan kearifan lokal dewasa ini.
Konsep poskolonialisme pada tahun 1990-an banyak menyebarkan teorisasi
147
budaya
yang semakin meningkat, mempengaruhi para
intelektual
yang
berkecimpung pada lapangan studi pariwisata. di negara-negara berkembang,
untuk memperhatikan identitas dan representasi, konstruk teori terhadap
lingkungan, sangat kuat mengarahkan referensi pada diskursus poskolonial.
Ethnografi beberapa tokoh adat Kuta membantu analisis poskolonial
membedah fenomena turisme atau pariwisata. Sehingga dengan emamnsipasi
masyarakat lokal kawasan pariwisata, bisa memberikan distribusi pada studi
pariwisata. Selain untuk mencari temuan bahwa pemikiran poskolonial itu
relevan dengan studi pariwisata, tetapi
sendiri
bisa
memberikan
penerangan
juga menguji bagaimana turisme itu
perpektif
dalam
poskolonialisme.
(Loomba 1998; Young 2001; Goldberg & Quayson 2002, dalam Hall &
Tucker, 2004)
5.4.1 Representasi Budaya Turistik dan Komersial
Wawancara
dengan
beberapa pengelola
hotel dan restoran,
mengungkapkan adanya pengaruh kuat pantai pada posisi tempat usaha mereka
yang tidk pernah sepi pengunjung. Satu diantaranya, Ida Bagus Made sangat
bersemangat dengan kiat-kiat dan strategi grilya untuk menembus pasar
turistik Kuta. Rosso Vivo (merah berani) demikian semboyan tempat makan
dan hotel ini, selalu siaga dalam kompetisi selama 24 jam melayani
pengunjung di pantai Kuta.
148
Gambar 5.4
Sunset Pantai Kuta. Sumber : Dok. IGNA Eka Darmadi, 2011
Perkembangan kawasan Kuta sejak tahun 1969, tahun 1980 hingga
1990an memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Kuta.
Bagi mereka yang mau membuka usaha-usaha dagang untuk penyediaan
kebutuhan wisatawan, seperti toko-toko cinderamata, pakaian jadi, dan lainlainnya, sudah
bisa
meningkatkan
taraf
hidupnya
masing-masing.
Pengembangan usaha yang lebih besar tentu meraup hasil yang lebih besar.
Dalam
tiga
dekade
tersebut, pengaruh
pariwisata
sudah
sangat
besar
mencetak kelas-kelas ekonomi menengah-atas baru di Desa Kuta. Praktik
ekonomi sederhana pun meraup hasil yang berlipat ganda sebagai pengaruh
‘memusatnya’
Pemerintah
aktivitas
Kabupaten
pariwisata
Badung
di
Kuta
sebagai
kawasan
wisata.
pun
mulai
melihat
adanya
sumber
pendapatan yang signifikan dari kawasan pariwisata Kuta.
149
5.4.1.1 Dominasi Ruang Turistik Komersial
Dominasi ruang turistik
komersial di kawasan wisata
ini, bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) kelompok bangunan
kecil-kecil komersial berupa tempat outlet atau tempat etalase produk-produk
tertentu, toko-toko kebutuhan wisatawan sehari-hari yang dikenal dengan
mini market, tempat-tempat layanan jasa, seperti laundry, money changer dan
lain-lainnya. (2) kelompok bangunan rekreasi dan hiburan wisata seperti:
spa, karaoke, café dan rumah makan, dan (3) kelompok banguna-bangunan
besar dan luas untuk akomodasi wisata seperti penginapan, hotelhotel melati, hotel berbintang hingga terminal perusahaan biro perjalanan
wisata (Dispar. Kab.Badung, 2006)
Gambar 5.5
Dominasi ruang pariwisata dalam sebuah peta project. Sumber: Dok. Bappeda
Kabupaten Badung, 2007
150
Berbagai cerita pengalaman warga Kuta tentang situasi tahun 1970an,
pada tahun awal terbukanya kawasan Kuta, talanjang atau sedikit telanjang
menjadi bagian hidup orang Bali. Resepsi budaya ini tentunya memiliki
hubungan erat dengan banyak ritual dan budaya Bali, seperti kebisaaan
mandi bersama juga merupakan hal biasa bagi masyarakat agraris atau
masyarakat nelayan yang masih lugu dengan kepolosan libido dan sikap
tradisionalnya. Telanjang sudah diiakan sebagai sikap dasar bagaimana
manusia lahir dan meninggal nantinya. Seperti ritual ngaben di Bali tidak
ada bedanya dengan tradisi yang masih dipegang oleh masyarakat adat
Kuta. Mulai dengan bunyi kentongan banjar tentang kematian seorang
warga, pengurusan, dan ritual jenazah sudah menjadi tanggung jawab desa
adat melalui pembagian kerja adat di banjar bersangkutan. Bagi orang
asing, proses pemandian jenazah mungkin dipandang sadis atau barbar,
dengan pemandian bersama dan ditutup dengan banyak ikatan tali bambu
yang sangat kuat, semuanya memiliki makna ritual dan filosofis.
Bourdieu menggarisbawahi histori habitus (Ritzer&Goodman, 2003:522524) terkait dengan adanya kesenjangan praktik dalam kekiniannya, terlebih lagi
dengan berbagai ketidakstabilan realitas dalam habitat kekiniannya. Dari
informasi dan pandangan para tokoh adat termasuk rohaniawan di Kuta,
fenomena telanjang dengan bikini atau secabik kain penutup genital pun,
dilihat pada ruang dan dimensi yang berbeda, seperti representasi dalam
ungkapan berikut;
“Siapa, kapan, dan di mana dulu telanjangnya? Kalau telanjang di
jalan dan mal, ya, repot dan merepotkan. Bikini di pantai, ya, wajar.
151
Apalagi semua tahu kalau pantai Kuta adalah objek wisata
internasional. Gaya dan mode bikini apa yang tidak bisa diintip.
Yang lokal, kalau mau ngintip atau makai bikini di sana, ya,
silakan.”
Ruang-waktu, struktur dan subjek sangat didominasi oleh representasi turisme
Kuta. Ikon bikini telah menisbikan telanjang sebagai penanda pariwisata ada.
Ungkapan
ini
pun
searah
dengan
respons
mereka
terhadap
isu
diberlakukannya Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi oleh DPR
dan pemerintah pusat. Bagi mereka, masalahnya adalah ruang dan waktu
pornografi dan pornoaksi itu dilakukan. Kalau objek wisata pantai sudah
pasti sama halnya dengan budaya wisata pantai di negara-negara lainnya
karena pariwisata itu industri internasional.
5.4.1.2 Dominasi Turisme dan Ruang Komersial Kapitalistik
Citraan kawasan dan istilah tourist-resort (baca: kawasan wisata) pun
digunakan oleh para pebisnis dan perusahaan jasa wisata, sebagai penguat
pencitraan ruang komersial, turistik dan citra kemapanan pemusatan kawasan
atau sentralisasi akomodasi pariwisata di kawasan kuta. Realitas komodifikasi
Kuta yang dipenuhi dengan perang bebas tanda kapitalistik dalam hutan
simulakrum turistik kuta, mengkondisikan pemakaian ’tandaan’ dalam studi ini,
yang digunakan sebagai pengganti istilah ’tanda artifisial’ di kawasan Kuta,
terkesan tendensius, yang membedakannya dengan tanda budaya yang nyata,
152
Gambar 5.6
Tempat-tempat turistik komersial di jalan Pantai Kuta. Sumber: Dok. IGNA
Eka Darmadi, 2009
bermakna, dan memiliki kodifikasi konvensional lokal. Silang tanda dan
pencitraan masing-masing individu pelaku usaha, perusahaan akomodasi dan
penjual jasa, mengkondisikan Kuta sebagai satu ‘medan tanda’, yang tampak
sekilas menarik perhatian dan menghibur setiap orang yang melewati ruasruas jalan di kawasan ini. Penampilan tanda komersial dan turistik ini,
menyampaikan ‘salam’ dan tawaran kepada setiap pengunjung, terutama
ditujukan pada para wisatawan untuk mencoba dan yakin dengan produkproduknya. Re-presentasi tanda turistik tersebut menampakkan karakteristik
kawasan wisata ini begitu profan, dengan wajah depannya yang diramaikan
oleh kontestasi tanda promosi komersial-turistik dan bazar tanda pariwisata
(Darmadi, 2005).
Marker
turistik
berkembang
mengikuti
kecanggihan
teknologi
informatika multimedia. Sign dan ikon-ikon turistik tampak hidup di
153
sepanjang jalan-jalan utama kawasan hingga jalan masuk lingkungan rumah
warga desa adat yang semuanya merupakan jalan-jalan desa Kuta pada
awalnya. Penanda artifisial yang selama ini dipastikan tanpa petanda atau
referensi tidak real tetapi
sangat jelas basis interest dan kapitalnya. Marker
turistik-komersial
meramaikan
yang
kontestasi
tanda
turistik
ini,
merepresentasikan kawasan wisata sebagai touristic village, place of sight,
place of attraction dan bazar tanda turistik yang tidak pernah berhenti
sepanjang hari dalam kehidupan kawasan wisata atau touristic resort.
Ideologi pariwisata diiakan oleh fenomena global turistik marker,
bazar turistik, hingga pasar turistik, yang menginterpelasi orang-orang awam
untuk mengiakan pariwisata sebagai emerging global field yang berkembang
dengan lintas ’ orbit’ yang luas. Pada domain kebijakan sudah cair dengan
wacana pariwisata walau pun masih kuat ditemukan posisinya dalam
pembagian wilayah perdagangan dan industri, jasa akomodasi, transportasi,
rekreasi dan hiburan, hingga jalur retribuisi dan/atau cukai.
Krisis identitas pun menjadi penanda budaya, dengan representasi
jatidiri yang menjadi terma final pasca ‘pengganyangan makna’ budaya,
doxa, energi, dan penanda lokal geneous, mereposisi masyarakat lokal dalam
solidaritas multikultural.
Kegelisahan para tokoh elit Kuta, sangat dipengaruhi oleh tertutupnya
ruang desa adat oleh perang alat promosi dan reklame. Efek kerja tanda
dan ikon-ikon kapital di kawasan Kuta, mempengaruhi emansipasi para agen
budaya lokal Kuta. Dengan kesadaran kultural, mereka melihat kegamangan
154
yang terjadi sebagai sebuah pertemuan kehidupan budaya komersial, turistik
dan
kapitalistik.
Kegelapan
cara
melihat
dan
berpikir
senyatanya
mempengaruhi bagaimana posisi individu dalam ambivelansi kehidupan
global yang sangat dirasakan di kawasan pariwisata.
Dualisme ekonomi (McKean, 1989: 119-124) dalam kehidupan destinasi
wisata, dikondisikan dan bukti kerja operasi hospitality industry. Dengan
prinsip produksi dan pengelolaan masing-masing penggiat bazar turistik,
memacu sekaligus menarik semua pihak termasuk stake holder untuk
menyesuasikan peranan dan posisi. Terdapat dua area berbeda yang masingmasing terdapat pertentangan, yaitu: (1) ’tourist world’ yang di dalamnya
sedang terjadi perubahan sosial-budaya yang disebabkan oleh turisme dan
’host area’ yang dijadikan model tempat kunjungan. (2) ’Native world’ di
mana belum terjadi perubahan dan kehidupan masyarakat berjalan alami dan
patut di lihat dan dijaga sebagai model ideal. Dualisme menjadi pengaruh
atas berbagai perubahan, pola interaksi sampai mode produksi untuk saling
menguatkan dengan saling potong. Demikian juga agensi budaya dan politik
identitas yang terus menguat dengan berbagai referensi perubahan dan
dominasi budaya turistik-kapitalistik.
Imagined community dalam kontradiksi kehidupan kawasan, searah
dengan imagined village dan imagined resort yang memiliki intensitas
semakin tinggi di tengah pembangunan daerah wisata. Peranan desa adat
dalam kontrol ruang dan kawasan, memainkan fungsi ekonomi politik dan
politik kebudayaan, disadari atau tidak disadari oleh para elit dan agen
155
kebudayaan lokal. Diaspora tanda turistik yang dikuatkan oleh kontestasi
tanda turistik, persaingan representasi marker pariwisata hingga persaingan
menu bazaar pariwisata, mengiakan ambivalensi kehidupan kawasan di mata
masyarakat
lokal.
Brah (Barker, 2004:207) menyebut karakter diaspora
berkarakter lokal sekaligus global. Realitas ini terkait dengan konsep lama
diaspora yang fokus pada gerak penyebaran melalui wisata, perjalanan, rumah dan
batas-batas yang berkaitan tentang siapa bepergian ’kemana, di mana, bagaimana,
dan dalam situasi apa’.
Dalam kekiniannya, diaspora ditandaskan sebagai
jaringan idenitifikasi transnasional yang mencakup komunitas ’terbayang’ dan
komunitas yang ’saling bertemu’. Harapan ideal masyarakat lokal tentang
kawasan wisata merupakan kawasan terbayang atau imagined
mengkontribusikan kegamangan
resort yang
yang tidak pernah terjawab dan hanya
terjawab dengan perubahan ruang dan konversi lahan yang terus terjadi.
Barker (Barker, 2004:130) melihat komunitas terbayang terbentuk dari pertemuan
wacana politik media, aktor dan institusi dalam, serta ideologi gerakan sosial baru
yang bekerja dibalik berita-berita aktual, even simbolis dan berbagai bentuk
politik representatif. Realitas Kuta kini dominan ditandai oleh ’denyut nadi’
pariwisata
merupakan usaha
’memancing dan
memutar
dolar’, industri
global, dan pariwisata sebagai ’penjajahan baru”, baru bisa dilihat oleh
kegelisahan budaya masyarakat lokal, sebagai penggerak perubahan ruang dan
budaya.
156
5.4.1.3 Perkembangan ke Arah Kawasan Wisata Pasar
Prinsip ekonomi tradisional atau pandangan akan nafkah hidup bagi
orang Kuta, terdorong dan berkembang cepat menjadi prinsip-prinsi komersial
dan kapitalistik. Ruang budaya diwarnai dan didominasi oleh ruang ‘gerak’
aktifitas ekonomi kawasan wisata yang established dan legitimit. Pada
kekiniannya Kuta berubah mulai dari wajah depan hingga pelosok-pelosok
terdalam ruang dan tempat tinggal penduduknya. Bangunan kori atau pintu
gerbang rumah tradisional, termasuk tlajakan bahkan tembok pekarangannya
hilang, dan difungsikan sebagai tempat-tempat komersial untuk meraih
pendapatan dari uang penyewaannya atau digunakan untuk tempat usaha
sendiri.
Laporan kependudukan terakhir Kelurahan Kuta pada Bulan Januari
2007, mencatat jumlah penduduk migran yang masuk di wilayah kelurahan
ini sebanyak 11.357 jiwa yang tersebar di dua belas lingkungan banjar.
Keberadaan mereka masing-masing; 106 jiwa dari desa-desa lainnya di
Kabupaten Badung; 991 jiwa dari kabupaten lainnya di wilayah Provinsi
Bali, dan 10.000 jiwa lebih dari luar Provinsi Bali. Penduduk musiman yang
tercatat
di
dalamnya
sebanyak
3.661
jiwa, masih
terdata
tinggal
di
lingkungan banjar. Para pendatang musiman yang belum terdata, diperkirakan
mencapai angka 1000-an, misalnya mereka yang tinggal di bedeng-bedeng di
lingkungan Banjar Jaba Jero atau arah tenggara Kelurahan Kuta, belum
termasuk mereka yang datang ‘mengadu nasib’ di Kuta, dengan tinggal
sementara di ruko, gudang perusahaan dan tempat-tempat yang belum
157
terdata. Kehadiran para pekerja dan pebisnis yang melakukan aktifitasnya di
kawasan Kuta, dan para wisatawan asing atau domestik yang tinggal
sementara, melengkapi intensitas aktifitas kawasan ini sejak pagi, siang
hingga malam harinya berlanjut keesokan harinya tanpa henti.
Kebijakan dalam pandangan mayarakat lokal, khususnya indigenous
people atau warga Desa Adat Kuta, tampak masih ambivalen. Terlebih lagi
dalam sebutan masyarakat awam, baik sebagai penduduk pendatang atau
warga desa adat, kebijakan tampak masih samar dan ‘jauh tinggi’ dari
jangkauan pemikiran dan pengetahuan mereka, kelompok masyarakat awam
menerimanya sebagai regulasi mutlak pemerintah yang disebut dengan
‘aturan dari atas’. Perubahan tataruang yang terus berjalan cepat pada
pembangunan fasilitas pariwisata oleh pemerintah, swasta hingga perubahan
tataruang pekarangan rumah, diterima sebagai sebuah pilihan atau langkah
ekonomis dan kenyataan hidup di kawasan wisata.
Berbagai dampak implementasi kebijakan di kawasan ini, diterima
sebagai kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebagai konsekuensi ‘kebijakan
kawasan’ bagi desa adat dan masyarakat lokal kawasan secara umum.
Konfirmasi kewenangan atau otoritas dari Dinas Pariwisata Kabupaten
Badung yang berlokasi di tengah-tengah lingkungan Desa Adat Kuta, masih
menyiratkan adanya ambivalensi. Di mana adanya sistem serta mekanisme
pengawasan, kontrol
dan
otoritas
pengeluaran
perizinan
hanya
sebatas
perizinan untuk usaha rekreasi dan hiburan wisata, penginapan hingga hotel
melati. Keberadaan toko atau kios-kios di seluruh kawasan wisata Kuta,
158
ditangani
dan
menjadi
wewenang
dinas-dinas
dan
otoritas
lain
di
pemerintahan Kabupaten Badung dan selebihnya untuk perizinan hotel
berbintang tiga ke atas, merupakan otoritas dinas pariwisata provinsi.
Pariwisata budaya sebagai sektor andalan daerah Bali, sebagai leading
sector di bidang ekonomi, memiliki ‘lintasan orbit’ yang luas (Darmadi,
2005), melewati dan melampaui
sektor-sektor
ekonomi
lainnya
hingga
bidang-bidang kehidupan lain. Merupakan peluang besar bagi pengusaha
kecil dan menengah dalam berusaha, bila bisa menangkap pengaruh tidak
langsung
multiplying-effect
atau
efek
pelipatgandaan
pendapatan
bagi
sumberdaya dan potensi yang digunakan sebagai komoditas dan pendukung
usaha atau industri jasa yang berhubungan secara langsung maupun tidak
langsung dengan pariwisata, yang sangat berpengaruh besar pada peningkatan
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan. Erawan (1996:
10-16) menemukan efek pelipatganda ini berpengaruh besar pada industri
kecil dan menengah, terlebih lagi bagi para pengrajin dan pelaku-pelaku
usaha jasa dan akomodasi lokal dalam siklus perputaran uang di kawasan
wisata. Sementara masyarakat lokal hanya sebagai penonton dan terhimpit
secara ekonomi dan tekanan pajak tinggi sesuai nilai jual objek pajak.
5.4.2 Keterpinggiran dan Kekalahan Masyarakat Lokal
Ambivalensi kawasan turustik Kuta bagi masyarakat lokal, menjadi
bagian representasi masyarakat lokal dan dimensi keterpinggiran, ketika
realitas perubahan dan konflik ruang yang diterima sebagai keniscayaan era
159
global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan
pandangan atas tradisi yang diwarnai oleh nilai-nilai lokal atau indigenous
values. Seperti halnya pengakuan
Bendesa
Adat Kuta dan warga Desa
Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah
terbuka’ (sebut: ruang terbuka ). Satu ungkapan yang mengandung kesadaran,
kekhawatiran dan resistensi atas konsekwensi keberadaan lingkungannya
sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan tersedianya
banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang begitu dekat,
memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada jam dan
tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan selalu
menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan
pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di
daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian mengibarkan ‘bendera desa
adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Hal ini
dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan
rezim
penguasa
negara
dalam
waktu
yang
cukup
lama, kemudian
terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang dipelajari sejak lama.
Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan kekuatan
politik desa adat. (Pitana et all, 2000)
Kesiagaan, koordinasi
dan
komunikasi
antar
desa
adat, ternyata
kemudian mendapatkan insiden ‘ledakan bom teroris’ pada tanggal 12
Oktober 2002 di depan sebuah café-bar di perbatasan Desa Adat Kuta
160
dengan desa adat Legian. Musibah yang tidak pernah terbayangkan oleh
masyarakat Kuta bahkan oleh masyarakat Bali, mematri suasana traumatik
yang lama dan akhirnya harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Aksi
teroris bom yang lebih kecil terjadi lagi di sudut Kuta lainnya, tetapi
menambah parah trauma pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal di
lingkungan Desa Adat Kuta, ditambah satu terror bom di lingkungan desa
adat Jimbaran, sekitar 5km arah selatan Kawasan Wisata Kuta, kembali
merobek citra keamanan pariwisata Bali. Kenyataan pahit ini harus diterima
sebagai bentuk ancaman yang bisa terjadi kapan pun di lingkungan desa
adatnya, sebagai konsekuensii kehidupan masyarakat kawasan wisata ke masa
depan. Ancaman ini juga menghantui desa-desa adat yang ada di sekitar
bentang kawasan Kuta.
Nilai Jual Objek Pajak atau NGOP menjadi penanda kekalahan
personal
sekaligus
komunitas
tradisional, ketika
diartikulasikan
sebagai
hegemoni dan penjajahan baru, bahkan sebagai ’penjerumusan’ ke lubang
kemiskinan di desa sendiri. Penanda kekalahan dan keterpinggiran yang
sering dianalogikan dalam ungkapan lokal, seperti ”Orang Kuta umumnya
jadi
Satpam, Bossnya
Bule
atau
orang
Jakarte”.
Penanda
kuat
ini
menguatkan ambivalensi dalam representasi masyarakat lokal Kuta.
5.5
Poskolonialitas Turisme Global
Realitas sosial-budaya yang ditangkap sebagai poskolonialitas dalam
kekiniannya bertolak dari adanya ambivalensi realitas dalam ruang kesadaran
161
masyarakat lokal kawasan wisata, khususnya desa adat. Kuatnya representasi
kawasan wisata yang menguatkan citraan dan dominasi ruang kawasan
turistik menguatkan poskolonialitas kawasan pariwisata. Dalam hal ini,
konsep poskolonialitas digunakan untuk merekonstruksi dominasi kawasan
pariwisata dalam berbagai aspek, baik aspek politik, ekonomi, dan budaya.
Representasi kawasan wisata menunjukkan dimensi terjadinya dominasi
kawasan yang bisa digambarkan secara fisik, citraan, dan psikologis.
Citraan turistik menarik semua bentuk representasi, ikon, dan tandaan
wisata Kuta dalam medan simulakra kawasan pantai internasional. Citraan Kuta
sudah berkembang dengan arah pergerakan makna yang saling silang. Barker
(2000: 340-370) dan Lewis (2002: 334-376) memandu pembacaan gejalagejala ambiguitas dan ambivalensi yang dimaknai secara lebih radikal dan
politis
ke dalam studi poskolonial. Karena realitas poskolonialitas, akan
membuka adanya;
dominasi, marginalisasi, subaltern, hegemoni
dan
lain
sebagainya dalam keberlimpahan simulakra yang sudah cenderung skizofrenik
dan pasti hedonis. Piliang (2005: 1–2) menyebut realitas ini terus berkembang
atau becoming atau menjadi posrealitas yang tetap dipetakan dalam dua fase
budaya modernisme dan posmodernisme, yang berpusat dan menyebar pada
representasi pelaku dan audiensnya.
Searah dengan fase pemikiran ‘cultural studies modern’ diangkat isyu
sentral yang berkaitan pada budaya
popular, budaya
massa, industrialisasi,
kebudayaan dan industri, media massa, komodifikasi, struktur budaya, kode
budaya, ideologi, subjek, hegemoni, struktur
kelas, demokrasi
dan
kelas,
162
resistensi,
subversi
dan
perlawanan.
posmodernisme’, isyu-isyu
posmodernisme
sendiri:
tanda, permainan
bergeser
yaitu
bebas
Pada
menjadi
isyu-isyu
obyek
‘cultural
studies
subject
matter
gerakan
genesis, perubahan, produktifitas
tanda, permainan
bebas
interpretasi, relativitas
pengetahuan, mesin hasrat (desiring machine), ketaksadaran (unconsciousness),
ekonomi libido, heterogenitas, skizofrenia, nomadisme, simulasi, hiperrealitas,
relasi pengetahuan dan kekuasaan (geneologi), discourse, pengetahuan lokal
dan etnisitas (Piliang, 2000)
Berangkat dari representasi budaya daerah dan re-presentasi kawasan
atau
destinasi
wisata, segala
yang
ada
di
dalamnya, dengan
mudah
dikomoditisasi secara berulang-ulang. Bahkan dengan perspektif global, tidak
mustahil
lagi
bila
Bali
pun
dikomodifikasi
atau
dalam
perpektif
commmodification of destination yang terjadi karena adanya mass production
of certain commodities (Burns,1995:105-106). Bila demikian halnya, kemudian,
Bali sudah merupakan sebuah komoditas, dengan nilai image atau citra Bali;
dengan image of Kuta, image of Ubud, image of Tanah Lot, image of
Besakih dan hasil citraan lain di dalamnya.
Semua citraan tersebut
dikuatkan dengan alih-alih ‘mitos’ Bali dengan berbagai julukan dalam
tulisan-tulisan
barat
yang
merepresentasikan
keindahan, kedamaian
dan
keunikan seni-budayanya pada sekitar tahun 1920-an hingga 1950-an, seperti
tulisan Mrs. Menc atau Ni Ktut Tantri yang lama tinggal di Kuta hingga
membangun hotel, dalam bukunya Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa
Damai (1964)
163
Akhirnya, dirasakan
masih
kecil
pembacaan
wacana
poskolonial
apalagi perhatian terhadap poskolonialitas dalam bentang ketidaksadaran dan
ketakberdayaan masyarakat lokal kawasan wisata. Masih sempit wawasan
dan masih lemah posisi tawar rakyat untuk mengkritisi kebijakan public
dalam alam globalisasi yang penuh dengan laizes faire atau free fight
liberalism. Masih kuatnya
ego-disipliner
yang mekanis dan pragmatis
mengecilkan sumbangan pemikiran kebangsaan yang hanya diperingati setiap
bulan Mei.
5.6
Representasi Politik Identitas Menghadapi Turisme
Pariwisata
sudah
jelas
menjadi
praktek
Global
neo-imperialisme
dan
kolonialisme, di mana jejaring global dan telekomunikasi informatika global
mengecilkan dunia ini dalam kompresi jarak, bentuk dan ukuran ruang
dengan pemotongan waktu. Ruang berhasil dikalahkan dengan percepatan
dan
kompresi
ruang
(Piliang, 2005)
demikian
juga
nihilnya
jarak
memudahkan kapitalisme global untuk berkuasa. Membaca kembali genre
pariwisata, berarti
menakar
kembali
kekuatan
ideologi
turisme
yang
dirayakan dengan bazar sejuta tanda turistik-komersial.
Tanda, warna, rupaan bentuk atau citraan semu, semua harus diterima
sebagai bagian realitas komodifikasi realitas dalam pariwisata (Darmadi,
2005) akhirnya harus diterima sebagai kenyataan bagi masyarakat lokal
dalam desa kelahirannya sendiri. Realitas absurd yang diwarnai pseudo
budaya dan tanda artifisial, merupakan langgam dunia kontemporer sekarang
164
ini. Tanpa terpikirkan lagi pariwisata untuk sebagian lebih kebutuhan leisure
class, pasti mengajak setiap orang untuk tamasya turistik yang penuh atraksi
dan berbagai produk turistik. Lainnya. Komodifikasi sebagai bagian dari
mode produksi pariwisata, lebih banyak dodorong oleh ideology capital yang
juga sama halnya dengan komodifikasi realitas dalam kotak TV dan
multimedia lainnya.
Ideologi ekonomi politik turisme, menakar barbagai potensi seni,
ekologi, panorama alam hingga atraksi tubuh manusia, dengan nilai uang.
Sehingga dualisme ekonomi tetap membayangi para praktisi hingga pembuat
kebijakan.
Sama
halnya
dengan konformitas authenticity, sakral–profan,
ekpresif-progresif, idealistikmerupakan
kultur
pragmatis.
kehidupan
global
Sehingga
atau
realitas
realitas
komodifikasi
kehidupan
manusia
kontemporer. Sign atau tanda dalam representasi marker turisme, baik dalam
sightseeing, attraction, and
adventure
pariwisata, dicitrakan
dengan
’the
colour of...’ atau ’the spirit of.....’ sehingga pengaruh hampir sama dengan
mitos dan nilai kesakralan totemic atau religius.
Kontestasi
tanda
pariwisata, merupakan
persaingan
representasi
dalam
persaingan
marker
deru
persaingan
representasi
turistik
yang
tanda
kehidupan
kawasan
komersial
sama-sama berada
global,
pada
posrepresentasi global dengan kekuatan teknologi dan kapital global. Sudah
tentu semuanya nerupakan tanda artifisial – hedonis dengan untuk pemuasan
hasrat dan keinginan turistik bergaya Leisure class. Bagi masyarakat lokal,
ini menjadi suguhan imagined village, place of attraction and village of
165
sight. Kelemahan kesadaran masyarakat lokal, akan membentuk kesadaran
palsu akan ekonomi kawasan yang hanya bisa dikuasai oleh kapital global.
Ingar-bingar
transportasi
wisata
hampir
tidak
pernah
berhenti
sepanjang hari, seperti ’ronda’ penjaga malam kawasan wisata dengan
turisme yang semakin kuat. Masyarakat lokal sudah terbiasa dengan kehidupan
turistik dan berbagai event dan atraksi wisata. Dengung suara musik cafe,
pub dan diskotik, sejak lama menjadi teman tidur para tetangga (baca:
masyarakat lokal) yang membludak pada momen-momen tahun baru dan
high season atau bulan-bulan puncak kunjungan wisata, dari bulan Juni
sampai Agustus.
Permasalahan yang selama ini menjadi sekam dalam ambivalensi
kehidupan kawasan, merupakan unarticulated problem of society, closed
public discourse and people with commonsense. Resistensi dan perlawanan
yang pernah keluar dengan clash action, ditarik dengan konformitas lokal
untuk mensiasati kegelisahan moral, politik identitas, ekonomi politik desa
adat hingga politik budaya dalam agenda masa depan para agen desa adat.
Agensi budaya menjadi praktik politik lokal yang bergerak dan berkembang
alamiah. Disadari atau tidak dalam pemikiran para agen, kebijakan masa
depan tercantum dalam catatan dan agenda kritis mereka untuk masa depan
desa mereka.
The shadow of tourism atau bayang-bayang pariwisata yang selama
ini menjadi tabir dominasi pariwisata, bisa dikonfirmasi kembali dengan;
dominasi turisme kapital, pegaruh kontestasi jejaring kapital pariwisata,
166
hingga hegemoni kebijakan kawasan yang menyatu dalam ambivalensi
kehidupan kawasan pariwisata. Pengaruh pariwisata kemudian dihidupkan
oleh bayang-bayang turisme dan kota turistik yang terbayang dalam daya
tarik kawasan atau the gravity of touristic resort.
167
BAB VI
PROSES REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL
DAN POLITIK IDENTITAS DESA ADAT KUTA DALAM
POSKOLONIALITAS KAWASAN PARIWISATA
Bab
ini
memaparkan
representasi
masyarakat
lokal
khususnya
masyarakat adat Kuta dalam melihat dan menyikapi dinamika kehidupan
kawasan pariwisata.
diterima
sebagai
Proses perubahan dan
konsekuensi berterimanya
konflik
wilayah
yang terjadi, sudah
desa adat
dengan
kawasan turistik-komersial.
6.1 Tertutupnya Representasi Lokal dalam Kawasan Wisata Global
Kontestasi tanda turistik dan komersial di permukaan atau wajah
kawasan Kuta, merukapan penanda artifisial-mekanis atas dominasi kawasan
turistik atas ruang budaya desa adat. Tanda turistik yang artifisial, terutama
tanda komersial dalam studi ini, dibedakan menjadi tandaan hingga bab
terakhir tesis ini. Dengan pertimbangan ideologis dan modus kapital global,
tandaan turistik diasosiasikan analog dengan tandaan komersial dan tandaan
kapitalistik global. Tandaan turistik sudah menyangkut
seluruh media
promosi dan informasi di kawasan wisata Kuta yang paling banyak
memusat di wilayah Desa Adat Kuta.
Semangat
emansipasi
para
tokoh
elit
masyarakat
adat
Kuta,
direpresentasikan dalam domain pemikiran dan sirkulasi mereka masingmasing.
Komunitas
tradisional
berinteraksi
167
dengan
kelompok-kelompok
168
solidaritas
masyarakat
lokal
kawasan
yang
multikultural.
Pluralitas
masyarakat lokal kawasan yang sempat menguat dalam wacana media,
analog dengan ambivalensi kawasan bagi outsiders atau pihak luar yang
mengkritisi kehidupan kawasan Kuta.
Gambar 6.1
Sebuah tempat makan dalam ketersesakan ruang Kuta
Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2010
6.1.1
di Gang
Poppies.
Pariwisata Bali dalam Representasi Masyarakat Lokal Kuta
Dalam representasi masyarakat lokal, Bali dan Kuta khususnya,
pariwisata masih dilihat sebagai sektor penting milik pemerintah. Kuta
sebagai desanya sendiri masih dirasakan sebagai titik silang-temu-pandang
manusia
dari
berbagai
negara
untuk
melepas
lelah, kerinduan, dan
keingintahuan tentang pulau seribu pura. Dari the last paradise hingga the
morning of the world, hingga referensi global village, menampakkan Bali
sebagai pulau yang baru melewati proses modernisasi, dan orang Kuta sudah
169
merasa tidak berada di Bali lagi. Pariwisata sudah menanamkan kebiasaan
representasi ruang, objek, dan waktu (baca: kesempatan) yang turistik dengan
pencitraan yang tak kunjung selesai atau berkesudahan, berlimpah ruah dan
tidak pernah berhenti. Tidak pernah ada titik jenuh karena tamu-tamu (baca:
wisatawan) yang dinanti-nanti dan disasar (baca: tourist) dipastikan berganti
terus.
Kepentingan dalam profitabilitas investasi modal industri penerbangan
sipil, menurut Truong (1992:344) telah memacu pertumbuhan dramatis
turisme internasional dalam berbagai cabang terkaitnya. Potensi keuntungan
ini hanya dapat diwujudkan melalui dua sarana: (1) promosi turisme
internasional untuk menyerap surplus penghasilan Negara-negara industri; (2
penciptaan infrastruktur dan jasa untuk tujuan-tujuan peripheral. Konsep
turisme
dileburkan
dalam
praktik-praktik
diskursif
komunitas
ilmiah,
birokratis, promo organisasi internasional, dan pemerintah di bawah kedok
nilai pendidikan dan internasionalis.
Sirkulasi pariwisata Bali
menemukan putaran yang tak pernah
berhenti, progressif dan menembus batas ruang-ruang sektor lainnya, dengan
‘lintas orbit’ melewati batas-batas bidang, daerah dan batas Negara. Bali
direpresentasikan di seluruh kawasan wisata, sebagai tanda kultural, penguat
cap dagangan, hingga marker turuistik. Hospitality industry
mewarnai
Bali sebagai daerah pariwisata, pulau kunjungan wisata internasional, tujuan
wisata dunia, destinasi wisata dunia, semarak dengan rona-rona marker
170
pariwisata yang masing-masing menguatkan diri untuk tampil mapan atau
established.
Ajang
kontestasi
tanda
turistik-komersial, menguatkan
nuansa
kepariwisataan di Bali yang mendunia karena pengaruh kekuatan kapitallistik
global dan daya tarik atau gravity kawasan itu sendiri. Bersimbah bayangan
turisme global yang sarat kepentingan stabilitas, keamanan dan ketertiban
masyarakat, kebijakan pun harus diimplementasikan searah sirkulasi (baca:
tradisi)
kehidupan kawasan dan prinsip
kerja
mewujudkan hospitality atmosphere dengan
keramah-tamahan untuk
implementasi
kebijakan
di
kawasan pariwisata atau hospitality policy yang didukung dengan hospitality
guardian, termasuk
antisipasi
terrorisme
nasional
yang
membayangi
pariwisata.
6.1.2
Representasi Kuta dalam Bayang-Bayang Turisme Global
Bayang-bayang pariwisata demikian juga cermin turistik Kuta bagi
masyarakat lokal, yang menjanjikan rezeki dan kenikmatan, akhirnya disadari
sebagai koin gamang pariwisata. Pada satu sisi berwajah peluang dan wajah
ancaman pada sisi di Baliknya. Melihat permasalahan ruang, lingkungan dan
tanah
dari
efek
komodifikasi
Bali
dalam
simulasi
kawasan
turistik,
menemukan resepsi insiders yang commonsense seperti dipaparkan pada
awal bab V, berupa (1) masalah ruang atau ’tanah berharga emas’, (2)
mimpi kemakmuran dan harapan atau utopia turisme (3) masalah kebijakan
publik di kawasan pariwisata. Peningkatan infrastruktur pariwisata bersamaan
171
dengan realisasi pembangunan fisik daerah dan nasional, mengkondisikan
masyarakat Kuta ‘ada’ dan ‘mengada’ dalam pariwisata di atas space and
place atau ruang dan tempat komunitas pendukung budaya setempat atau
indigenous people, yaitu ruang desa adat.
Pada masa awalnya, jalan-jalan penepi siring Kuta atau perkampungan
pesisir Kuta, merupakan jalan atau akses tempat-tempat suci dan fasilitas
kegiatan
adat, yang harus menerima
fungsi
baru
sebagai
akses
atau
infrastruktur kawasan industri pariwisata. Perbaikan wajah dan fisik Desa
Adat Kuta menjadi penanda perubahan cepat yang kurang dari hitungan
dekade atau sewindu, kemudian perubahan mendasar pun mempengaruhi
tataruang perumahan, banjar atau lingkungan dan desa adat.
Gambar 6.2
Suasana pertokoan di jalan utama Legian-Kuta. Sumber: Dok.
Darmadi, 2009
IGNA
Eka
Realitas perubahan konflik ruang yang diterima sebagai keniscayaan era
global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan
172
pandangan atas relevansi dan berlakunya nilai-nilai lokal atau indigenous
values. Seperti halnya pengakuan
Bendesa
Adat Kuta dan warga Desa
Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah
terbuka’ (sebutan ruang terbuka ). Satu ungkapan
kesadaran, kekhawatiran
dan
resistensi
atas
yang mengandung
konsekwensi
keberadaan
lingkungannya sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan
tersedianya banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang
begitu dekat, memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada
jam dan tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan
selalu menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan
pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di
daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian mengibarkan ‘bendera desa
adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Kawasan
Ubud, Sanur, bahkan kawasan Tulamben yang masih sepi pun memiliki
catatan resistensi dan perlawanan masyarakat lokal. Tempat objek daya tarik
wisata Tanah Lot yang sempat disebut kawasan (Mudana, 2006) menuai
wacana politik lokal yang lama, tetapi
selesai dengan konformitas pribadi
dan kelompok. Hal ini dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan
hegemonik kekuasaan rezim penguasa negara dalam waktu yang cukup
lama, kemudian terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang
dipelajari sejak lama. Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta,
dengan tekanan kekuatan politik desa adat. (Pitana et all, 2000) Ubud
173
dengan rural areas-nya, pernah menuai konflik atas komodifikasi tebing yang
disulut oleh kecemburuan masyarakat lokal yang tidak kebagian rezeki
multiplying effect pariwisata.
6.2 Representasi Pariwisata Bali dalam Ambivalensi Kuta
Posisi desa adat dan dinas dalam bentang kawasan turistik global,
menandakan terjadinya transformasi social budaya yang cukup cepat sejak
awal pertumbuhan hingga kini. Sejak tahun 1968 hingga kini, selama empat
dekade, membentuk
beberapa
segmen
generasi
muda
yang
semakin
pragmatis. Representasi masyarakat multikultural dalam wacana normatif
pariwisata Bali yang searah dengan konsensus ke-bhineka-an pada wacana
negara, memang diiakan oleh warga Kuta dalam melihat penduduk plural
yang semakin memadati Kuta. Multikulturalisme merupakan kata kunci
stabilitas dan kemapanan kawasan, yang menjadi ruang kerja berbagai
kepentingan. Kebijakan kawasan mengkondisikan desa-desa turistik sebagai
tuan rumah atau host dalam kawasan pariwisata Kuta. Sebagai masyarakat
lokal kawasan, pada tahun 1976 sampai 1982, Kuta pernah marak dengan
pentas kesenian tradisional. Seperti penuturan Mangku Urip Suardana,
Bagiana Karang, Jero Made Meder, dan, hampir senada mengingat kembali
situasi Kuta yang lebih damai pada tahun 1980-an.
174
Gambar 6.3
Pembangunan akomodasi di bagian dalam kawasan Kuta. Sumber : Dok: IGNA
Eka Darmadi, 2011
”Kita sudah pernah lakukan seperti Ubud, bahkan duluan”, demikian
ungkapan kritisnya tentang partisipasi masyarakat yang akhirnya hilang
akibat
perkembangan
Kuta
menjadi
semakin
glamor, komersial, dan
kapitalistik sejak tahun 1990-an. Ingatan kultural Made Karma pada masa
kecil, menjadi penanda hilangnya ruang budaya tradisional
karena dominasi
kuat ruang turistik komersial turistik saat ini. Bagi warga Kuta sendiri, Kuta
memang desa kelahiran yang unik dengan pantai berpasir putih di barat dan
pantai prapat (baca: Hutan Bakau) di timur. Turisme lokal akhirnya tumbuh
dalam konformitas atas kehidupan tradisional dan modern, dimana aktifitas
pantai Kuta terkadang menjadi obyek daya tarik turisme masyarakat lokal.
”Ya cuci mata, ketemu pacar bule atau sampai ketemu rekan tamu bisnis”
demikian kilah Made Karma.
175
Gambar 6.4
Made Karma dan Mangku Urip, dua tokoh di balik layar pemberdayaan.
Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2011.
Tugas spiritualnya sebagai balian tetakson, meyakinkan dirinya untuk
harus menjaga kelestarian Kuta dalam korps Satuan Keamanan Desa. Dalam
kesibukan penulis, hanya sekali saja bisa membantu membuat rerajahan di
kamar sucinya. Mangku Urip dalam studi ini, menjadi penanda masyarakat
lokal tradisional yang menyadari betul dinamika masyarakatnya dalam
perkembangan kehidupan global. ”Ruang tradisional harus kita lihat dengan
mata hati, bukan bersaing dengan penglihatan emosi”, demikian tandasnya
mengenai representasi masyarakat lokal atas perubahan ruang termasuk
konflik ruang Kuta. Semakin banyak pasien bule yang datang untuk berobat
alternatif di rumahnya.
176
Gambar 6.5
Mangku Urip yang sedang memimpin pengangkatan tengkorak untuk sarana
ritual ngerehan. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Mangku Urip sering mengajak penulis dalam kegiatan ritual dan spiritualnya. Dia
mengaku;
”Saya menekuni pengobatan alternatif tradisional, tepatnya usada,
termasuk lika-liku mistik Bali dipercayakan pada saya oleh
masyarakat. Tokoh-tokoh membusungkan dada di depan umum, tapi kalau
sudah masuk daerah tenget atau beresiko, baru nyebut nama saya”
Demikian ungkapan sentimentilnya keluar ketika mengajak Penulis untuk
mengangkat tengkorak manusia yang akan digunakan untuk ngerehang, yaitu
ritual testimoni sekaligus penguatan kekuatan magis pada rangda di Pura
Dalem Pengastulan yang dikoordinir oleh Mangku Suweja, Pemilik Hotel
Bakungsari. Hal ini meyakinkan penulis bahwa ruang budaya tradisional
Kuta
adalah
karang desa yang dipertimbangkan keberadaannya (baca: ada
177
sebelum karang desa ada) sebagai ruang magis spiritual dalam bathin mereka,
yang tidak akan pernah bisa diubah, ditutup atau didominasi oleh ruang
turistik komersial. Gerakan ini sudah nyata sebagai gerakan sosial dalam rangka
meluruskan kondisi sosial yang diarahkan kepada pihak yang melakukan
eksploitasi pantai dan kepada pemerintah sebagai stakeholder kunci. Suwarsono
dan Alvin Y.SO (Suwarsono&Alvin, 2000:44-47) mencatat berbagai bentuk
situasi-situasi modernisasi yang memprihatinkan, yaitu posisi inferior masyarakat
kelas yang menerima pengaruh tindakan politik kelas menengah-atas, dan
pemerintah dengan berbagai kebijakannya. Jika gerakan reformis tidak
diperhatikan oleh pemerintah, justru akan berkembang gerakan ekstrimis karena
masalah dan kesenjangan kebijakan akan diambil oleh partai-partai politik sebagai
proyek politik atau bahan ’dagangan’produk politik.
Globalisasi, glokalitas, dan perdagangan bebas bagi masyarakat awam
belum dianalogikan dengan pariwisata. Kepariwisataan sebagai terminal
budaya global, menarik segala perhatian untuk melihat bagaimana interaksi
dan transfromasi budaya masyarakat lokal di kawasan-kawasan pariwisata.
Melihat adaptasi dan bekerjanya agensi budaya oleh para aktor politik
budaya di dalamnya, praksis budaya glokal hanya merupakan representasi
budaya para elit masyarakat lokal yang sangat intelektual yang bisa melihat
semua fenomena tanpa ambivalensi. Adaptasi intelektual berawal dari
tumbuhya budaya kawasan pariwisata, yang berupaya menyatukan semua
potensi dan prospek sebagaimana harmoni pertemuan harapan dan kenyataan
dalam wacana kebijakan pemerintah dalam pariwisata.
178
Gambar 6.6
Wawancara dengan pengelola Hard Rock Cafe yang sudah mendunia. Dok:
IGNA Eka Darmadi, 2009
6.3
Kawasan Turistik Kuta: Kawasan Komersial Kapitalistik Global
Tepat di depan pantai Kuta dan masih dekat dengan pos Balawista
sekaligus sebagai menara tanda tsunami, berdiri Hard Rock Café yang
menanmbah penanda turistik global untuk kawasan Kuta. Yang menarik dari
Hard Rock, usaha ini bertolak dari pengalaman dan sense atau rasa
entertaining atau hiburan di Inggris. Cirikas rasa dan pengalaman yang
dijual kepada siapa pun. Sehingga pengunjung bisa datang dengan sandal
jepit atau hanya mengenakan bikini di tempat ini. Citra Hard Rock yang
mendunia ini cukup mendominasi citraan turistik di jalan pantai Kuta.
Menelusuri jalan utama hingga masuk lorong atau jalan kecil
kampung turistik ini, menjumpai banyak marker turistik yang menawarkan
berbagai keindahan, pesona dan kenyamanan atraksi dan obyek wisata. Tidak
179
berlebihan untuk mencatat bila perlu memotret kembali kontestasi tanda dari
berbagai suguhan menu bazar turistik. Bahkan mencitrakan kembali wisata
tanda turistik bagi
kaum
belia, awam
dan sebagian domestik dalam
gemerlap-glamornya desa turistik atau kampung atraksi wisata global. Menu
sightseeing, atraksi wisata hingga adventure
menjadi menu rutin bazar
turisme di Kuta.
6.3.1 Kawasan Turistik: Ajang Kontestasi Tanda Komersial Kapitalistik
Gerak kapitalistik yang mengepung Kuta, mendapat dalih gravity atau
daya
tarik
kawasan
dan
penyulut
mode
produksi
pariwisata, bisa
ditangguhkan sementara dengan bedah tanda turistik atau touristic sign yang
disadari atau tidak membentuk kubangan melting pot turistik dan lubang
skizofrenik yang akan menghapus kesadaran kultural para wisatawan yang
imannya tipis.
Gambar 6.7
Usaha tempat makan oleh masyarakat lokal. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2011
180
Komodifikasi yang dilihat sangat mekanistik justru merupakan alat
ideologi kapital untuk produksi dan reproduksi, dengan simulasi untuk
membuat citraan atau touristic image. Sekilas simulasi dalam proses
komodifikasi turistik yang memainkan sight, sign, and marker, bahkan tourist
and attraction, digambarkan dalam figur berikut ini:
TANDA / SIGN
IDEOLOGI KAPITALISTIK
TOURISTIC / WISATA, SIMULATION
{ tourist / sight / marker }
DESTINATION
Artifisial, Pseudo, Fetish, Skizofrenik
leisure, attraction(MacCannel, 1976) TOURISM
REALITAS KOMODIFIKASI REALITAS
(Baudrillard, 1994)
Gambar 6.8
Skema kontestasi tanda turistik komersial kapitalistik
Keterangan Skema:
Dengan pendekatan ekonomi politik, realitas masyarakat lokal kawasan,
merupakan kehidupan masyarakat kontemporer yang dipenuhi dengan ruang
pencitraan simulacrum (Baudrillard, 1994), sehingga tak asing lagi bila
komodifikasi atau usaha melipatgandakan citraan, fungsi dan nilai sebuah
objek untuk siap dijual di pasar, merupakan ideologi dan pendekatan
mekanis kapitalistik di balik industri pariwisata. Marker pariwisata
merupakan representasi sekaligus tandaan ikonik untuk simulasi produkproduk pariwisata yang berupa paket informasi, panduan, referensi dan daftar
menu suguhan turistik yang dibuat menggiurkan hasrat turistik di suatu
kawasan atau lebih.
181
6.3.2
Identitas Kuta dalam Kampung Global
Global village Kuta diapresiasi sebagai penanda gerbang akses dan
potensi ekonomi global. Labeling global terhadap Kuta, diapresiasi dan
diterimanya Kuta sebagai ikon Bali global, dan sebagai adaptasi mekanis
dan
kemajuan
ekonomi
dalam
pertumbuhan
kawasan
pariwisata.
pun
disemangati dengan desa multikultural berparas global. Representasi budaya
masyarakat lokal kawasan pariwisata, memberikan gambaran terbalik dari
desa global yang dekat dengan pertumbuhan pariwisata global. Representasi
terbalik ini sesungguhnya hal-hal yang terlewatkan oleh proyek transformasi
sosial, seperti (1) Representasi tentang pariwisata, (2) Representasi tentang
gaya hidup, (3) Representasi Budaya lokal dalam globalisasi, (4) Representasi
hedonis dan leissure class.
Transformasi
budaya
yang
berkepanjangan
dalam
commonsense
masyarakat lokal, menuai tertundanya pencapaian harapan-harapan kemajuan,
yang sesungguhnya hanya harapan kosong (Fromm, 1996) tetapi
justru
mengembalikan motivasi tradisional untuk amanat dan cita-cita budaya
tradisional yang citraan produk budayanya mulai mendapatkan tempat dalam
ruang-ruang rezeki pariwisata, seperti: barang-barang antik bernuansa kultural
magis, rangkaian permata manik-manik, dan produk budaya lainnya.
Penemuan kembali identitas Kuta, digerakkan oleh representasi politik
identitas para tokoh elit desa yang tak pernah tinggal diam seperti zaman
pergerakan pada masa kolonial. Nyoman Parna mantan Kepala Lingkungan
Banjar Segara dalam gambar 6.9, merepresentasikan identitasnya dengan mem-
182
Gambar 6.9
Representasi identitas dalam tataruang dan arsitektur tradisional Bali
Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
bangun rumah barunya dengan arsitektur Bali di perbatasan lingkungan Kuta
dan
Tuban.
Gaya
arsitektur
Bali
dan
tata
ruangnya
menandakan
keBaliannya. Simpang-siur kompetisi komersial dengan berbagai bentuk dan
gaya komodifikasinya yang semakin genit dan berani, menantang para elit
desa untuk melawan dengan perang simbolik dan perang makna, dan
menetralisir perangai ’hutan tandaan artifisial tanpa makna ini’, dengan
gerakan penyadaran dalam berbagai kesempatan formal dan informal. Lacan
(Piliang, 1999: 102-107) menyebut fenomena ini sebagai skizofrenia, yaitu
produk, gaya, citraan yang datang dan pergi silih berganti, hanya menciptakan
183
hutan rimba tanda-tanda yang silang menyilang dan saling kontradiktif,
menciptakan jaringan pertandaan tumpang tindih.
Kampung
halaman
Kuta yang menyejarah
dalam
cara
pandang
masyarakat lokal, dalam sejarah kecil Kuta disebutkan Kuta sebagai kota
maya, serambi kerajaan Badung dengan dua dermaga yang sangat ramai.
Kepala desanya pun sekaligus sebagai syahbandar, sempat dipegang oleh
orang asing yang bernama Mads J. Lange yang dekat dengan kerajaan dan
kompeni Belanda. Riwayat inferior Kuta tersebut mulai disadari oleh
pemuda Kuta secara netral, karena sesungguhnya energi perubahan kedepan
tergantung pada bagaimana jatidiri tersebut diposisikan antara pencapaian
harapan dan cita-cita. “Lascarya dan selalu menyikapi situasi bersama!”,
demikian ungkapan kaum tua warga Desa Adat Kuta dalam melihat
dinamika kawasan Kuta kini.
Rezeki pariwisata
dirasakan pahit-manisnya selama tiga dekade,
sekarang dibutuhkan pengendalian diri dalam lautan desa turistik yang
glamour. Tokoh adat, Sri Empu dan para pemangku, dan sesepuh adat masih
berpegang pada orientasi tradisional, di mana perubahan yang terjadi pada
lingkungan desanya ini, hanya pencapaian ego dan libido semata dan tidak
abadi. Yang abadi tetap ada, sehingga keberadaan toko-toko dan ruang
komersial termasuk akomodasi wisata dilihatnya seperti make up belaka.
Sehingga tanpa sikap nekengtuwas atau keiklasan untuk menjaga desa secara
multi aspek, baik sebagai desa adat, kawasan wisata hingga lahan PAD
Badung, tentunya mereka sudah lama kehilangan harapan dan jatidiri. Medan
184
perang tandaan turistik ini, dijadikan tempat adu mesin hasrat atau desiring
machine (istilah Deleuze & Guattari dalam Piliang, 1999) yang bisa
mewujudkan ideologi kapital dalam produk, menu, hingga kemasan benda
dan jasa untuk membujuk-rayu para turis atau pengunjung Kuta.
6.4
Bikini sebagai Ikon Budaya Turistik
MacCannel (1968)
sudah menarik budaya turistik ini sebagai trend
manusia modern yang menemukan kembali dirinya dalam budaya liburan
sebagai kebutuhan hidup, yang membawa mereka keluar sesaat dari sirkulasi
budaya lokal masing-masing. Pariwisata merupakan aktivitas usaha jasa dan
re-presentasi objek-objek dan daya tarik rekreasi dan hiburan dan secara
profesional bisa tampil standar yang disebut turistik. Dengan segala aspek
dan efeknya dalam studi ini, turisme semakin kongkrit sebagai bagian dari
revolusi dunia 4T yaitu Trade, Transfortation, Telecomunication, Tourism.
Proses turistifikasi bahkan institusionalisasi semua hal dalam satu area
turistik mengharuskan semua mode komodifikasi melakoni simulasi yang
semaksimal mungkin (perang bebas dan tidak pernah henti). Pencitraan
kawasan turistik sebagai satu simulasi raksasa pun terus berjalan tiada henti.
Kapitalisme pariwisata
bergerak di
balik
aroma dan rona-rona
simulasi turistik itu dengan memanfaatkan semua potensi turistik yang
diprogram
dalam
mesin
hasrat
turistik.
Kawasan
pariwisata
yang
terinstitusionalisasikan, justru memastikan peta pasar turistik untuk produkproduk ’cetakan’ mesin hasrat tersebut. Imperialisme modern
menguasai
185
jagat ini di mana kapitalisme berjingkrang dengan ribuan mesin komersialkapitalistiknya, seperti McDonaldisasi dan deretan franchise global dan hotelhotel berbintang internasional dan jaringan pasar wisata lainnya.
Gambar 6.10
Bikini sebagai ikon produk dan kawasan wisata pantai. Dok: IGNA
Eka Darmadi, 2010
Ikon-ikon franchise atau waralaba makanan siap saji, konveksi, dan binatu,
yang sesungguhnya merupakan usaha perdagangan komersial zaman ini,
memulai
usaha
dari
ruang-ruang
kawasan
pariwisata.
Sehingga, dalam
persaingan dan representasi komersial ini, pariwisata menjadi kambing hitam.
Bikini sebagai ikon turistik yang memang bisa ditemukan di kawasan
wisata pantai seperti Kuta, menjanjikan titik-titik pointer hubungan industri
pariwisata dengan mode ekonomi politik tanda yang sangat menantang
kecanggihan alat dan metode peneliti dalam kampung kawasan wisata
186
sebagai lokus studi. Keberhasilan mengangkat dan medekonstruksi posisi dan
pengaruh ikon bikini, memberikan cara melihat baru terhadap bikini
dalam
kepariwisataan, yaitu; (1) bikini sebagai jarak antara lokal dan asing, (2) bikini
sebagai ikon libido pariwisata, (3) bikini sebagai libido ekonomi politik
pariwisata, (4) bikini
sebagai
resepsi
gender, (5) bikini sebagai pointer
barometer produktivitas kawasan wisata, dan (6) bikini adalah jarak host and
guest, hingga (7) bikini adalah needs and wants yang sarat dengan cultural
background of visitors (temuan penelitian tesis penulis). Dengan meminjam
konsep skizofrenia
Lacan
(Piliang, 1999), resepsi
bikini
dalam
turisme
merupakan lubang skizofrenik global yang siap menarik siapa saja yang
punya hasrat konsumerisme tinggi, masuk dalam kawasan Kuta sebagai
arena simulakrum raksasa.
Bikini melengkapi fenomena global village di kawasan Kuta, yang
menbedakannya dengan kawasan Ubud sebagai kawasan desa tradisional.
Dalam kawasan pedesaan, situasi hanya memungkinkan kehadiran bikini di
kolam renang. Bikini sebagai ikon turistik memiliki re-presentasi subjektif
atas tourist dan lokal people. Posisi ikoniknya dalam pasar tanda pariwisata
tidak bisa dilepaskan dari proses komodifikasi terus-menerus terhadap segala
objek dan daya tarik kawasan.
Setelah komodifikasi kawasan menarik semua libido turisme termasuk
pemakai bikini, yaitu tourist, sirkulasi pariwisata pun terus berputar, sehingga
posisi terakhir bikini juga sebagai penanda daya tarik kawasan dan ekonomi
politik pariwisata. Turunannya menjadi ekonomi politik kawasan dengan
187
banyak metamorfosis yang salah satunya adalah ekonomi politik pantai.
Pada titik sirkulasi ini, bikini betul-betul menghidupkan suasana pantai Kuta
sebagai pantai internasional. Seperti disebutkan di atas, bikini juga menjadi
penanda objek dan daya tarik wisata domestik dan masyarakat lokal. Terjadi
sedikit pembalikan sense wacana wisata. Kalau bare-breast perempuan Bali
(dahulu) dikejar jauh-jauh dari Eropa, sekarang wisatawan domestik dan
orang lokal tidak perlu jauh-jauh melihatnya, cukup dengan modal kaca
mata hitam bisa puas jalan-jalan di sepanjang pantai Kuta.
6.5
Posrealitas Pasih Perahu ke Pasih Turis
Realitas
neokolonialisme
dalam
pariwisata senyatanya
dirasakan
melalui gerak dan mode kapitalisme pariwisata. Mengingat pariwisata pada
awalnya di Bali, memang masih segar dalam ingatan, diprakarsai oleh koloni
dagang Belanda yang disebut KPM, menggagas koloni-koloni pariwisata
dengan
pengadaan
tranfortasi, akomodasi, bispak-peristirahatan
hingga
pembenahan beberapa tempat yang hingga kini menjadi bagian obyek daya
tarik wisata (Robinson, 2007) Sehingga neokolonialisme sebagai pendekatan
terakhir studi sosiologi pariwisata (Cohen, 1996), menjadi penanda kuat
wacana pariwisata sebagai industri global pada era kini dan industri
ekonomi tersier di negara dunia ketiga dengan warisan turisme kolonial atau
warisan representasi wisata oriental oleh bangsa penjajah pada masanya.
Dalam sub bab VI ini, posrealitas pasih perahu merupakan metafora yang
diangkat dari ungkapan lokal, untuk penanda makna postradisional.
188
6.5.1
Transformasi Budaya Lokal ke Turistik Global
Transformasi
budaya
pada
masa
kini, senyatanya
memposisikan
pariwisata sebagai bagian dari budaya transformasional berdimensi global
dan lokal. Sebagai industri modern, pariwisata memiliki mode, aturan main
dan santun usahanya sendiri. Sebagai industri berbasis potensi lokal dan
sumberdaya
lokal, pariwisata
mengkondisikan
transformasi
kearifan dan
inventaris budaya lokal untuk obyek daya tarik turistik yang bisa diterima
secara
global.
Arsitektur
postmodern
pun
lahir
dari
kolaborasi
pendayagunaan bangunan tradisional dan adatasi arsitektur modern yang
menyatu dan berkembang terus. Kenyamanan-kenyamanan modern pun harus
dimasukkan dalam
pertimbangan konstruksi bangunan akomodasi
yang
berparas tradisional. Persandingan tanda lokal dan global pun mewarnai
perkawinan budaya tersebut.
Hal tersebut menjadi ambivalensi bagi masyarakat, yang disebut
dengan singkat sebagai kegamangan situasi atau kondisi gamang yang di
dalamnya juga tidak ada lagi ruang bagi host atau masyarakat tuan rumah.
Host and Guest atau tuan rumah dan tamu lama dikondisikan oleh
pemerintah dengan sopan-santun dan perangkat nilai budaya, tetapi
belum
bisa mengendalikan siang-malam, kapan para backpackers bergerak dengan
survey kecil untuk membeli bukit, sawah dan ladang, untuk memulai usaha
189
Gambar 6.11
Iringan umat atau krama mengusung pratima dalam prosesi melasti
Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
lokal berbasis global yang jelas keluar dari harapan atas multiplying effect
pariwisata. Lanjutan transformasi budaya dalam momen ini, sarat dengan
kontestasi tanda tanpa henti, yaitu simpang siur tanda budaya lokal dan
budaya
global.
Kontestasi tanda
turistik, komersial dan kapitaistik ini
disadari oleh tokoh-tokoh desa adat, sehingga sejak tahun 2001 yang lalu,
tampak perubahan drastis dalam pelaksanaan ritual Melasti atau upacara
penyucian alat-alat suci upacara sebelum memasuki Nyepi dan tahun baru
Isaka, yang lebih semarak dari desa-desa adat lainnya.
Kontestasi simbol di Kuta, juga sebagai bagian dari penanda dan
aspek pariwisata sebagai modal budaya dan budaya pariwisata itu sendiri.
Bila masyarakat lokalnya commonsense, mereka akan dinyatakan kalah atau
terpinggir. Berikut digambarkan pertemuan ruang dan waktu tradisional dan
modern dalam transformasi budaya di desa global.
190
Gambar 6.12
Kebersamaan prajuru desa adat, pengurus LPM dan kepala lingkungan dalam
Melasti 2008. Dok. IGNA Eka Darmadi
6.5.2
Dominasi Ruang Kapitalistik dalam Kompresi Ruang Lokal
Dengan adanya kompresi atau pemampatan ruang dalam usaha pencapaian
kepentingan-kepentingan dagang barang dan jasa turistik dengan modus
progresif, jelas terjadi perang tanda yang selama ini oleh masyarakat lokal
hanya bisa menyebutnya hanya dengan kegamangan, kesimpang-siuran, perang
merk, yang semuanya memang sebuah ambivalensi kapitalisme global. Satu
kasus tanda ikonik kawasan pantai yaitu bikini yang selama ini hanya
dilihat sebagai penanda kehadiran wanita, tentunya menyimpan kekuatan
penanda
kapital modern yang menembus dimensi
global karena sudah
diterima global sebagai penanda ketidak-telanjangan. Penyebutan pasih bikini
merupakan sebuah penyadaran dalam proses mengangkat representasi budaya
masyarakat lokal, yang masih begitu arif mentolerir dominasi tanda
191
Global
Neokolonialisme
Kapitalisme Global:
Pariwisata:dominasi
bikini, product luar,
kapitalistik,
ikon global, marker
pasar
Eropa/global,
turistik
Past
Future
Transformasi
budaya
sosial
masyarakat
tradisional
kawasan
turistik:pasih,
pantai,
segara,
beach,
sand,
wave, sun, sense
Transformasi Modal
Budaya Lokal:
pariwisata budaya,
pariwisata
Bali
tuan rumah/host
Lokal
Gambar: 6.13
Skema Transformasi Budaya dan Kontestasi Tanda Global
Keterangan :
Poskolonialitas pariwisata adalah kondisi ambivalen kehidupan masyarakat
lokal dalam dominasi kawasan wisata yang dipenuhi diaspora tanda
turistik, ruang kapital global.
ruang kapital pariwisata, seperti halnya bagaimana sebutan pasih perahu
sejak sebelum masa kolonial, masih kuat dipakai sampai sekarang.
6.5.3
Kuta sebagai Ikon Turisme Global
McCannel(1968)
menarik budaya turistik ini sebagai trend manusia
modern yang menemukan kembali dirinya dalam budaya liburan atau
leissure trend sebagai kebutuhan hidup, yang membawa mereka keluar
192
Gambar 6.14
Poster Kuta Karnival yang menguatkan citraan Kuta sebagai destinasi
wisata internasional. Sumber: Dok. Supatra Karang, 2008
sesaat dari budaya lokal masing-masing. Pariwisata merupakan aktifitas
usaha jasa dan re-presentasi obyek-obyek daya tarik rekreasi dan hiburan
secara professional untuk bisa tampil standar disebut turistik. Sehingga
proses turistifikasi bahkan institusionalisasi semua hal dalam satu area
turistik, mengharuskan semua mode komodifikasi melakoni simulasi yang
semaksimal mungkin. Pencitraan kawasan turistik pun berjalan tiada henti.
Komersialisasi dan kapitalisme pariwisata yang bergerak di balik
aroma dan rona-rona simulasi turistik kawasan Kuta, membangun citra Kuta
sebagai ikon wisata global di Bali. Pelaku wisata memanfaatkan semua potensi
turistik tanpa kenal batas ruang dan waktu. Kesan pariwisata sebagai imperialisme
modern
semakin kuat, dengan deretan logo-logo yang mendunia termasuk
McDonald dan deretan franchise global lainnya. Dalam persaingan dan
representasi komersial ini, pariwisata menjadi kambing hitam.
193
6.6
Resepsi Turisme dalam Politik Identitas
Resepsi
turisme
dalam
kesadaran
masyarakat
lokal
merupakan
kesadaran atas sektor ekonomi pemerintah yang berdimensi lokal dan global.
Pada aras lokal, pariwisata dianggap bisa memberikan peluang besar pada
semua pihak untuk berusaha meninggkatkan pendapatan ekonomi. Dalam
bincang pribadi, bendesa adat pernah mepelesetkan sekala-niskala dengan ”di
Kuta sekala-niskala itu batasnya tipis, sekarang miskin besok bisa kaya,
sekarang kaya besok bisa miskin. Banyak yang sukses mengadu nasib ke
Kuta dengan bermodal satu ransel, ada juga yang sampai kehilangan
pekarangan dan warisannya.
Pada aras global yang bertolak dari daerah dilihat oleh masyarakat
sebagai wilayah pemerintah dan ruang regulatif belaka. Kebijakan baru
dirasakan pada terbukanya pintu untuk desa adat bisa mengelola pantai dan
retribusi saja, yang juga belum diketahui oleh masyarakat kecil yang tidak
berperan dalam desa adat maupun lembaga setingkat desa dinas.
Gambar 6.15
Penulis sedang berbincang dengan tokoh-tokoh Kuta seusai
persembahyangan di Pura Khayangan. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2009
194
Sebagai mesin devisa, pariwisata mengkondisikan konformitas nilai bagi
masyarakat lokal untuk menjaga bahkan mengawal situasi dan kondisi
kawasan sebagai tempat operasi mesin pencetak uang, mesin industri jasa,
dan mesin penghibur para leisure class sebagai tamu terhormat. Ideologi
turisme
menginterpelasi
semua
orang
dalam
masyarakat
lokal, untuk
merayakan kepariwisataan sebagai generator atau penggerak ekonomi desa,
daerah, dan Negara. Interpelasi budaya lokal ke dalam budaya pariwisata,
mengiakan segala konformitas nilai budaya, ruang, waktu, hingga etika yang
tampak jelas pada gaya hidup masyarakat lokal. Hal ini tidak bisa ditutupi
oleh terutama anak-anak muda di kawasan wisata dan dalam bentang graviti
kawasan pariwisata.
Gaya hidup masyarakat sangat dipengaruhi oleh sense dan aroma
turisme
kawasan
pariwisata.
Berbagai
dandanan-solek
para
turis
menyemaraki semua tempat dan jalan-jalan kawasan sebagai desa pesolek,
desa bergaya dan desa bernuansa turistik. Dalam semarak gaya hidup
turistik ini, sangat menarik skeptisme penulis untuk sedikit ‘iseng’ mengejar
tindak-mimikri masyarakat lokal Kuta dalam pengaruh dan bayang-bayang
turisme global. Selain Made dan pemuda lainnya termasuk beberapa bajangbajang Kuta, menyatakan bahwa “Anak muda sini sudah biasa pakai bikini,
lihat saja bokongnya?”, ada yang pernah mendapat pengakuan dari ibu-ibu;
“Kapan-kapan kita juga boleh kan jadi turis?”, “apalagi untuk suami, atau
yang muda untuk si pacar”. Berbagai pengakuan dan ungkapan-resepsi gaya
195
turis, juga memilih bikini sebagai penanda gaya hidup dan kelas ekonomi
yang terkait dengan harga dan kaitan aktifitas dan kebisaaan hidup.
Sense dan gaya mencairkan kelas dan bangsa, searah dengan bikini
bagi para turis sebagai tiket untuk berjemur dan jalan-jalan di pantai.
Semua etalase pakaian atau konveksi memajang bikini sebagai item cirikhas
kawasan Kuta. Hal ini juga dilakukan di kawasan pantai Sanur dan Nusa
Dua, tetapi
pengaruh dan resepsi budayanya hanya ditiru oleh segelintir
kelas ekonomi menengah ke atas. Asesoris dandanan pantai memang
mendominasi tempat komersial atau toko-toko pakaian di Kuta, terlebih lagi
dengan pemasangan billboard dan baliho besar yang mengundang perhatian
setiap pengunjung Kuta. Persaingan antar mereka membangun citra Kuta
sebagai kawasan pantai turistik, komersial, dan glamour. Jelas wajah desa
adat sebagai ruang budaya tradisional tertutup oleh pasar tanda turistik
(Darmadi, 2005).
Brand pakaian dan aseoris dandanan anak muda juga terpusat di
Kuta dan sekitarnya. Bayang-bayang barat (baca: budaya pop global)
menarik anak-anak muda Kuta, Denpasar, hingga Gianyar, datang ke Kuta
untuk melihat dandanan dan solek-molek para tourist muda khususnya pada
musim liburan bulau Juni sampai Agustus. Motivasi usaha para pebisnis
pakaian jadi yang berlogo luar negeri, tiada lain untuk para wisatawan asing
yang ingin mendapatkan produk-produk standar dengan gaya dan merk
mendunia. Memang diakui beberapa pembeli lokal mengambil item-item
pakaian yang mereka pajang.
196
6.7
Representasi Kawasan Wisata Pantai: Tertutupnya Representasi
Lokal
Bikini menjadi ikon kehadiran dan sensualitas wanita seperti halnya
para turis wanita di pantai Kuta. Diterimanya bikini sebagai ikon wisata, searah
dengan ’turisme lokal’ yang melihat turis sebagai obyek wisata tersendiri.
Bersamaan dalam turisme lokal tersebut, resepsi kehadiran turis menetralisir
ruang dan waktu lokal dan global. Bikini sebagai ikon sekaligus obyek
komodifikasi
pakaian, akhirnya
mengkomodifikasi
pemakainya
sekarang.
Bahkan di pantai Kuta sering tampil monokini yang berarti satu kain
penutup organ genital atau kemaluan wanita saja tanpa penutup dada,
menyambung julukan Bali silam sebagai bare breast island. Perkembangan
bentuk kini di kemudian hari hingga sekarang, memunculkan sensualitas
melihat dan menilainya. Ketika kini diminimalisir menjadi bikini atau dua
potong kecil kain penutup organ genital. Bahkan kemudian bentuknya pun
diperkecil menjadi mikrokini, atau stringbikini yang hanya dihubungkan
dengan tali kecil. Perkembangan bentuk-bentuknya pun semakin beresiko
dengan monokini atau
minikini
yang hanya
menjadi
penanda ‘tidak
telanjang’ di pantai, kolam renang atau tempat turistik lainnya. Bila kembali
melihat bagaimana para hippies di Kuta tahun 1968-1970 (McKean, 1971),
mereka justru telanjang seharian dan melakukan hubungan sex seperti di
pulau
tidak
berpenghuni.
Hampir semua pemuda Kuta tahun 1960-an,
menyimpan pengalaman kanak-kanak dalam mengenal kehadiran hippies di desa
pesisir ini pada lima puluhan tahun lalu.
197
6.7.1 Ambivalensi dalam Representasi Kawasan Kuta
Masuknya
industri
leisure
dalam
pembagian
kerja
pemerintah
menunjukkan bagaimana keterjalinan diskursus kebudayaan dan ekonomi
telah
mengkondisikan
pengintegrasian
negara-negara
berkembang
serta
penduduk perempuannya ke dalam struktur total produksi industri leisure.
Tercatat (Truong, 1992:343) Kebangkitan penyediaan jasa leisure dalam
negara-negara industri di kurun 1950-an dan 1960-an berkaitan utama pada
factor: (1) pertumbuhan ekonomi pasca perang di Barat yang menciptakan
surplus penghasilan dan surplus waktu melalui intervensi Negara (waktu
libur dan perundang-undangan, (2) respons pemodal yang bertujuan untuk
menyerap surplus penghasilan melalui produksi jasa yang digunakan di saat
surplus waktu. Kebangkitan leisure berjarak-jauh telah dirangsang oleh
berbagai berbagai inovasi dalam wilayah transportasi udara dan teknologi
informasi. Berbagai inovasi tersebut telah menciptakan fasilitas yang luar
biasa
yang
perdagangan
tak
dan
dapat
diserap
pemerintahan.
oleh
semata-mata
Promosi
tturisme
ekspansi
di
aktivitas
negara-negara
berkembang, menyasar ruang-ruang periferal dan penduduk miskin sebagai
pelayan.
Mengingat turisme
(Truong; 1992)
memiliki hubungan
simbiosis
dengan periklanan yang meleburkan berbagai elemen yang tak berkaitan
pada turisme dan mentrasformasikannya ke dalam produk turisme, termasuk
persentuhan hubungan komersial dengan wilayah personal, telah menciptakan
sebuah kultur homogen dimana domain seksualitas memperoleh penekanan
198
khusus dalam cara yang terfragmentasi. Ini mempengaruhi cara-cara melalui
mana jasa-jasa lokal diorganisasikan dan disediakan. (Truong; 1992) Faktor
tambahan yg berperan dalam peleburan sistematis pelayanan seksual ke
dalam turisme. Ini mencakup hubungan gender yg berakar pada agama dan
struktur kelas serta situasi geo-politik spesifik Asia Tenggara periode 1960an dalam kaca mata Barat.
Posisi
ikonik
global
bikini
bagi
insider
maupun
outsiders,
sesungguhnya memposisikan bikini sebagai penanda turistik yang mampu
mentralisir kelas, bangsa dan batas ruang. Justru turis tanpa bikini tampak
aneh di pantai, yang membuat sangsi penjaga pantai; “apakah mereka tidak
nyaman lagi di pantai ini?” Berbagai bentuk kini atau bikini di pantai
Kuta, sudah ditolerir oleh pengalaman silam tentang wisata para hippies di
pantai Kuta dahulu. Bahkan fenomena ‘bule melalung’ pada masa itu,
menjadi daya tarik wisata bagi pemuda dan masyarakat lokal. Para pemuda
dari Denpasar pun datang bergantian untuk menikmati pemandangan aurat
dan ‘bulu jagung’ (baca: sebutan lokal). Sekarang fenomena daya tarik
wisata yang satu ini menjadi rahasi umum masayarakat lokal dan wisatawan
domestic yang menikmati liburan di Bali. Ungkapan lokal pun kerap keluar,
seperti; “Tanpa mengunjungi pantai Kuta, belum lengkap berwisata di Bali”,
ada juga ungkapan; “Kalau mau menikmati Bali, harus jalan-jalan dulu di
pantai Kuta”, atau “Rugi liburan di Bali tanpa menikmati pemandangan
pantai Kuta”, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya dari wisatawan
lokal. Masyarakat lokal pun sudah menyadari hal itu, sehingga sulit juga
199
bagi mereka untuk menutupi ruang libido turistik ini pada anak-anak yang
di bawah umur. Seperti apa yang dikhawatirkan olen Haji Bambang, tokoh
muslim Kuta, menyampaikan:
“Saya tidak mau mendiami rumah tua di belakang Kuta Beach
Hotel, ya karena takut dengan yang itu tadi. Anak-anak harus tumbuh
norma dulu, nanti kalau sudah dewasa mereka sudah punya wawasan
tentang itu. Makanya saya putuskan untuk tingga di perumahan ini,
agar jauh dari ‘hawa pantai Kuta’.
Tokoh komuniti muslim ini, telah melihat pariwisata sebagai realitas budaya
artifisial, glamour, dan hedonis. Kegelisahannya Haji Bambang telah ditandai oleh
ikon bikini wisata. Tidak disadarinya, bikini telah mematok kegelisahan Haji
Bambang dalam konteks; (1) representasi budaya turistik, (2) dominasi ruang
kawasan turistik kapitalistik, (3) kematian budaya dan identitas desa adat Kuta
yang sering disebut dengan penduduk asli Kuta.
Generalisasi Kuta dalam kegelisahan outsiders (baca: media, buku dan
peneliti luar) tentang resepsi masyarakat lokal atas pasih bikini, tentunya
tidak seperti Haji Bambang yang telah jauh melihat nilai leteh melalung atau
telanjang membuka aurat di segara, namun masih bisa membedakan realitas
ekonomi dan realitas sosial budaya. Terlebih
lagi, tanpa
menyelami
dulu
bagaimana masyarakat lokal melihat dan menyikapi pemandangan para
leisure class yang berjemur dan buka-bukaan di pantai. Searah dengan
adatasi masyarakat, bikini mendapatkan tempat dalam ruang etika berpakaian
yang sudah diterima dengan nyaman oleh masyarakat lokal sebagai ikon
budaya tourist.
200
Kembali pada masa awal Kuta sebagai kawasan pariwisata, dari masa
hippies tahun 1968 hingga turis dengan semua gaya leisure class-nya pada
masa kini, terbalik dengan sikap Haji Bambang, justru
gaya turis berbikini
menjadi obyek wisata baru bagi masyarakat lokal. Pengakuan ini sudah
menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat lokal Kuta, untuk ‘mencuci’
mata pada jam-jam sun bathing atau mandi matahari para turis pada pukul
11: 00 wita sampai sore hari. Mereka menemukan wajah-wajah yang mirip
dengan bintang Hollywood dan gaya ‘barat-barat’ lainnya. Pada jam-jam ini,
tampak ikon bikini memenuhi pantai Kuta dan kaca mata hitam anti sinar
matahari dengan berbagai mode dan gaya dandanannya. Angin pantai
sewaktu-waktu meniup bau krim tabir surya para tamu pantai Kuta, bau
tersebut menguatkan penanda bikini dalam pemandangan
yang sangat
turistik, di mana petanda-petandanya belum bisa ditunjuk oleh orang-orang
lokal yang baru menemukan libido-turistik di tempat ini. Dari ambivalensi
ini, kembali terbukti kuatnya ideologi pariwisata yang bisa menginterpelasi
individu
dalam
kubangan
turisme.
Kelompok-kelompok
gigolo
sudah
memasang focus sasarannya pada semua tourist muda yang memang
sebagian besar merupakan langganan Kuta, yaitu surfer, anak muda dan
backpackers yang lebih banyak memesan kamar bintang tiga ke bawah.
Resistensi terhadap hal ini, tentunya tidak pernah muncul dari
kalangan masyarakat Bali dan Kuta khususnya. Seperti pengalaman mereka
pada tahun awal terbukanya kawasan Kuta, kebiasaan para hippies telanjang
atau sedikit telanjang relatif sama dengan kebiasaan awam masyarakat Bali
201
mandi bersama pada masa itu. Resepsi budaya ini tentunya memiliki
hubungan erat dengan banyak ritual dan budaya Bali, seperti kebisaaan
mandi bersama juga merupakan hal bisaa bagi masyarakat agraris atau
masyarakat nelaya yang masih lugu dengan kepolosan libido dan sikap
tradisionalnya. Telanjang sudah diiakan sebagai sikap dasar bagaimana
manusia lahir dan meninggal nantinya. Seperti ritual Ngaben di Bali, tidak
ada bedanya dengan tradisi yang masih dipegang oleh masyarakat adat
Kuta. Mulai dengan bunyi kentongan banjar tentang kematian seorang
warga, pengurusan dan ritual jenasah sudah menjadi tanggung jawab desa
adat melalui pembagian kerja adat di banjar bersangkutan. Bagi orang
asing, proses pemandian jenasah mungkin dipandang sadis atau barbarik,
dengan pemandian bersama dan ditutup dengan banyak ikatan tali dan
anyaman bambu yang sangat kuat. Semuanya memiliki makna ritual dan
filosofis Hindu bagi krama adat dan karang adat.
Watangan atau jenasah menjadi tanggung jawab desa adat yang
dilaksanakan oleh banjar adat, sejak status meninggal disampaikan oleh
pihak keluarga kepada kelihan adat banjar. Persiapan ngaben dilakukan oleh
banjar adat lanang-istri atau pria dan wanita. Ngaben dilaksanakan harus
pada hari yang sesuai dengan perhitungan waktu desa adat yang disebut
padewasan ngaben, karena pelaksanaannya akan berpengaruh pada karang
desa dan krama desa adat. Bendesa Adat Gung Aji Sudira menjelaskan;
”Segala sesuatunya tentang ngaben menjadi arahan dari desa adat
dan keluarga diharapkan mau menerima demi keharmonisan karang
desa milik kita bersama. Kalau salah padewasan dan tatacara, bisa
202
menyebabkan hal buruk atau meped atau grubug atau kematian
beruntun”
Praktik budaya tradisional memengaruhi semua praktik sosial krama desa
terutama pada hal-hal yang menyangkut karang desa atau wilayah desa adat. Doxa
menjadi penggerak utama dan mendasar bagi komunitas desa adat. Prihal ruang
publik yang sangat dinamis masih dinomer duakan oleh prihal karang desa yang
’dianggap ada hukum sebab-akibatnya sampai kapanpun’ atas segala hal
kebendaan material di atas karang desa. Sehingga mutlak doxa juga
mendisposisikan karang desa sebagai kekuatan basis ekonomi politik desa adat di
balik politik identitas.
Kebuntuan
orientasi
budaya
dan
ekonomi
dalam
kehidupan
masyarakat lokal destinasi wisata, menjadi bukti efek kerja operasi kapital di
balik hospitality industry, yang
memacu sekaligus menarik semua pihak
sebagai stakeholder dalam kontradiksi dan paradoks, ’tourist world’ dan
’Native world’, dunia host and guest” lebih membuka peluang bagi modus
ekonomi politik global dalam konteks ke-pariwisata-an. Kehidupan Kawasan
pariwisata, di mana belum terjadi perubahan yang berarti pada kehidupan
masyarakat
lokal
kelas
bawah
yang
berjalan
alami
dengan
sirkulasi
pendapatan tradisional, patut dilihat dan diberikan tempat untuk berusaha dan
mendapatkan cipratan multiplying efffect pariwisata.
6.7.2
Kesadaran Publik Kuta dalam Ambivalensi
Dualisme menjadi pengaruh atas berbagai perubahan, pola interaksi
sampai mode produksi untuk saling potong pengaruh pasar. Demikian juga
203
habitat dan habitus commonsense yang tercatat selama ini, menjadi referensi
agensi budaya dalam politik identitas untuk terus menguatkan representasi
publik kawasan yang sadar dengan potensi dan ancaman desa mereka dalam
referensi perubahan dan dominasi budaya turistik-kapitalistik. Kegelisahan ini
searah dengan ;
Behaviour is only one of the visible public representation of sosial
structure found in public places........Public behaviour and these other
visible public parts of society are tourist attraction. (MacCannel,
1976)
Pendekatan
poskolonial
yang
sebelumnya
mendapatkan
banyak
referensi dari turisme, memberikan energi pada penemuan kembali kebijakan
di kawasan pariwisata sebagai kebijakan yang bermakna. Inventarisasi
potensi, nilai, dan cirikhas identitas budaya sebagai dasar advokasi budaya,
membentuk historisisme baru Milner (2002) yang searah dengan materialisme
budaya Marvin Harris (1999) dan Saefuddin (2005) Sehingga bukan alih-alih
belaka bila studi poskolonial mendapatkan banyak referensi kasus-kasus
aktual dalam implementasi cultural studies atau poskolonial itu sendiri pada
turisme. Dengan emansipasi pasca kolonial, pendekatan materialisme historis
pun menjadi sandaran dialektis dalam referensi historis sebuah budaya atau
produk/karya komunitas budaya.
Representasi historis dan etnografis pun kadangkala ditemukan dalam
kontestasi tanda atau marker turistik yang sama ramainya dengan berbagai
resistensi dan perlawanan yang pernah dilakukan oleh indegenous people
atau masyarakat lokal kawasan, menuai berbagai adatasi kebijakan kawasan
204
yang lebih mengena kepentingan dan masalah sosial-ekonomi masyarakat
kawasan. Perbedaan ektrim dan kontradiksi public discourse dan wacana
kritis masyarakat, mengiayakan adanya paradoks global dalam desa-desa
tujuan wisata atau desa-desa kawasan turuistik. Belum lagi mengangkat
berbagai korban konversi tanah, limbah budaya sampai limbah fisik yang
merusak air dan tanah.
Bali mengalami involusi kehidupan tradisional ke kehidupan global
yang ditandai oleh resepsi masyarakat terhadap turisme sebagai praktik
ekonomi dan wacana sampai kebijakan pariwisata itu sendiri. Involusi
pertanian, involusi budaya, hingga involusi ekonomi tradisional ke ekonomi
kapitalistik yang akhirnya diterima dengan kegelisahan budaya lokal dalam
gemuruh era global. Implikasi dan pengaruhnya jelas merasuki infrastruktur
hingga suprastruktur masyarakat Bali. Sementara struktur yang dipercayakan
kepada pemerintah pun masih menemukan pertentangan dan kontradiksi.
Kondisi ’bawaan lahir’ negara berkembang dan eks jajahan kolonial,
mematri label kekalahan dan kelemahan potensi lokal untuk masuk dalam
domain
ekonomi
global.
Ambivalensi
budaya
dan
ekonomi
kawasan
pariwisata, dikuatkan kembali atmosfirnya oleh berbagai masalah sosialbudaya atau unarticulated problem yang sebetulnya tidak diketahui oleh
masyarakat
itu
sendiri, walau
bisa
dirasakan
adanya
kejanggalan dan
kontrasiksi dalam kegamangan kehidupan sosial-ekonomi kawasan pariwisata.
Atmosfir tipikal kawasan pariwisata di Bali yang dipetakan menjadi
enam (6) kawasan pariwisata (RIPP Bali, 2005) dan objek-objek wisata
205
lainnya
(ODTW), secara
masyarakat lokal di atas.
umum
bisa
ditarik
ke
dalam
representasi
Perkembangan masing-masing kawasan mengalami
pertumbuhan dan percepatan sirkulasi ekonomi produksi barang dan jasa
dengan gravity dan pencitraan masing-masing. Mode-mode produksi turistik,
patut dilihat lebih awal dari titik pandang infrastruktur ideologis yang sering
dikesampingkan pada era orde baru, sehingga resistensi dan perlawanan
meledak setelah orde itu berakhir. Seperti halnya komodifikasi pariwisata
yang bisa
ditangkap
modusnya
oleh
masyarakat
lokal, patut
mempertimbangkan kearifan dan nilai budaya lokal yang merupakan bagian
dari identitas mereka. Poor tourism atau layanan wisata masyarakat miskin
sudah selayaknya diberikan tempat untuk menguatkan masyarakat lokal dan
konformitas ideologis atas suprastruktur kehidupan bersama.
Ganbar 6.16
Ibu-ibu tukang pijat dan perawatan kuku turis, sedang menawarkan jasa
kepada turis domestik. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
206
Pantai bikini menjadi objek turisme lokal termasuk anak-anak muda.
Sex tourism secara moral belum dilihat pada aspek representasi diri yang
menikmati. Penulis mendapatkan informasi lengkap dari para tokoh pemuda
termasuk anak-anak pelajar, bahwa mereka sangat terhibur bila melihat para
turis yang sedang bermandi sinar matahari dengan mengenakan bikini dan
tidak jarang telanjang dada. Dengan bermodal kaca mata hitam, mereka bisa
menikmati objek turistik sepuas-puasnya.
Warga
yang sekarang sudah
berumur 50-an tahun, juga mengaku memiliki perasaan yang sama ketika
masih muda senang ngintip turis telanjang dada dan telanjang bulat pada
tahun 1960-an.
Hal ini sudah menjadi rahasia umum, disamping masalah bersama
dan merupakan bagian kebutuhan manusia dewasa, bahkan menjadi penanda
kawasan wisata pantai. Seperti bikini dan surfing yang memang banyak
mempangaruhi psikologi generasi muda di kawasan wisata. Pemuda yang
lebih nekat, baik lokal maupun luar Bali, berani menghampiri dan merayu
turis untuk diajak jalan-jalan sampai pacaran. Hal inilah yang menutupi
fenomena gigolo di Kuta sejak tahun 1980-an.
6.7.3
Ambivalensi dalam Pusat Pasar Turistik
Gravity kawasan dalam penglihatan kasat mata, dirayakan dengan
representasi marker turistik dan ikon produk-produk komersial dan turistik.
Pada area infrastruktural, berkembang ekonomi kapitalistik yang penuh
kontestasi
saling
silang
dan
saling
potong
pengaruh
promoso
dan
207
pemasaran. Pelipatgandaan modal dalam pariwisata mendorong dan menarik
pihak-pihak yang berkepentingan untuk menguasai ruang-ruang pada area
pusat kawasan. Sementara diaspora tanda turistik yang bergerak terus tidak
disadari berlangsung dengan kekuatan capitalistic dan tehnologi informatik
global. Masyarakat awam masih sebagian besar terinterpelasi dalam gravity
dan riuh kehidupan kawasan turistik, dalam kegamangan kesadaran dan
ambivalensi kehidupan global.
masyarakat
lokal
kawasan
Artikulasi kekalahan dan
pariwisata, sementara
bisa
keterpinggiran
dijawab
dengan
’penjajahan baru’ dengan kekalahan peralatan dan pengetahuan dalam
ingatan politik kolonial Belanda dan Fasis Jepang.
Gambar 6.17
Prasasti peresmian gedung pusat informasi pariwisata. Dok:
Darmadi, 2010
IGNA
Eka
Dengan semua investagasi dan ekonstruksi system ke-pariwisata-an,
bisa direkomendasikan pendekatan yang bermakna dalam perencanaan dan
implementasi kebijakan pemerintah khususnya di area objek turisrik dan
208
kawasan
wisata.
Peluang
berusaha
bagi
masyarakat
lokal
termasuk
masyarakat lemah bisa diposisikan pada area indigenous culture yang masih
menjadi daya tarik wisata. Di dalamnya bisa disuguhkan wisata kuliner,
traditional performance, hingga traditional games. bisa teratasi.
209
BAB VII
MAKNA REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL
DAN POLITIK IDENTITAS DESA ADAT KUTA DALAM
POSKOLONIALITAS KAWASAN PARIWISATA
Dalam Bab terakhir ini, Pariwisata dilihat sebagai fenomena sosial
yang tidak akan pernah terbahas tuntas dengan hanya menelusuri rekayasa
genre kepariwisataan yang justru cenderung semakin mengecilkan arti studi
yang akhirnya terinterpelasi ke dalam kubangan libido dan medan tanda
turistik. Sehingga politik identitas diangkat sebagai penanda representasi
budaya masyarakat lokal kawasan pariwisata Kuta khusunya warga (baca :
masyarakat tradisional) Desa Adat Kuta yang tidak mau disebut desa adat.
7.1. Politik Identitas sebagai Gerakan Penyadaran Budaya
Mode industri jasa dan hospitality industry yang sudah berlabel
pariwisata
di
Indonesia
mendapatkan
tempat
dan
legalitas
untuk
mengembangkan dan menjalankan berbagai resep dan paket wisata untuk
wisatawan. Genre pariwisata sebagai sebuah sense of writing, discoursivemode and style, belum masuk pada posisi registrasi tema, ranah, dan
subjek/objek masalah, yang sering disebut dengan mode, field and tenor
dalam sebuah bangun teks. Sehingga, untuk melihat realitas sesungguhnya
atas realitas turisme, dibutuhkan pemahaman sesungguhnya ke dalam habitat
masyarakat lokal dalam lokus studi di mana peneliti juga harus bisa
“menjadi” insider.
209
210
Gambar 7.1
Anak-anak yang akan menari Rejang dalam ritual Melasti. Dok: IGNA Eka
Darmadi, 2009
7.1.1
Kesadaran Kultural dalam Lingkungan Kampung Turistik
Hanya dalam bentuk yang berbeda, suguhan tari striptis dengan
sebutan sexy dancer and bikini dance diiakan sebagai atraksi hiburan wisata
walaupun promosinya mangkal di koran lokal. Beberapa klub malam
memakainya sebagai program tetap dan terbuka untuk umum. Budaya
turistik ini berjalan dengan berbagai ritual-ritual hedonis di dalamnya untuk
tampil turistik dan glamor. Resepsi dan reprsentasi masyarakat lokal
terhadap fenomena ini begitu cepat mengiakan legalitas sang ekonomi
politik pariwisata. Sehingga, tidak salah jika dalam diskusi ini, bikini
dilupakan untuk disebut sebagai penanda toleransi budaya. Mungkin inilah
elemen identitas terakhir Kuta sebagai global village pascapenyakit lama:
211
drugs, crime, and prostitution. Dalam alibi dan pledoi Amrozy dkk, hal
inilah yang lebih mendorongnya untuk meledakkan pub gelap Sari Club
yang tidak bisa dikunjungi oleh orang lokal, setelah survainya beberapa hari
dengan mengantongi KIPS dari Banjar Segara.
Secara inklusif, beberapa tokoh masyarakat Kuta melakukan kegiatankegiatan yang sifatnya penyadaran masyarakat lokal kawasan pariwisata
Kuta. Sejak tahun 1999, kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal diterima publik
hingga sekarang, seperti; (1) pendirian sekehe shanti di masing-masing
banjar, (2) gagasan Kuta Carnival yang disambut positif oleh Pemkab
Badung, (3) optimalisasi Pasar Manjalangu sebagai rangkaian merayakan
tahun baru Isaka, (4) revitalisasi organisasi pecalang desa adat, (5) pendirian
sekehe gong wanita kelurahan, dan pemberdayaan semua organisasi yang ada
di lingkungan Kelurahan Kuta, untuk menyatukan persepsi dan melangkah
bersama membangun Desa Adat Kuta beserta peningkatan harkat dan
martabatnya.
Gerakan yang bersifat ekonomi politik dilakukan dengan resistensi
hegemoni represif negara terhadap pengelolaan pantai Kuta yang ’dipegang’
oleh Puskovad sejak tahun 1980-an. Sehingga momen reformasi tahun 1998
dijadikan puncak aksi resistensi militerisme dan premanisme di wilayah
Desa Adat Kuta. Kontan seluruh tokoh masyarakat Kawasan Kuta turun
menggalang massa untuk mengepung semua sarana-perlengkapan Puskovad
di pantai Kuta dari Seminyak di utara hingga ke selatan sampai batas
pantai
Tuban.
Kondisi
Kelurahan
Kuta
yang
pada
masa
itu
masih
212
mengkornisasikan administrasi sipil desa adat Seminyak, Legian, dan Kuta,
termasuk LPM-nya, yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, mempermudah
gerakan para elit agensi politik budaya untuk mengepung semua unsur
Puskovad dan kroni-kroninya yang bercokol di wilayah Kelurahan Kuta.
Mastra menuturkan, ”Kurang lebih lima hari anggen tyang gawe, tanpa tidur,
dan semua tokoh didukung seluruh pemuda pegang senjata”.
Dalam
wawancara terpisah, Mangku Suweja juga menyampaikan hal yang sama
bahkan lebih prinsipil dan keras, ketika dirinya harus memperhitungkan
dirinya selaku anggota dewan di Kabupaten Badung, dari Fraksi Karya
Pembangunan, mewakili Golongan Karya sebagai partai terbesar pada masa
Orde Baru. ”Saya harus memutuskan untuk siap keluar dari legislatif
termasuk dari Golkar, karena ini menyangkut hati nurani, masa depan anak
cucu kami, dan untuk kebenaran dan keadilan”, demikian penuturan Suweja.
Beberapa tokoh masyarakat Kuta menyampaikan pandangan dan sikap yang
sama. Seluruh pemuda Kuta yang pada waktu itu berumur 20-an atau di
atas 15 tahun, ke luar rumah bahkan beberapa tokohnya tidak pulang ke
rumah karena dihantui penangkapan (baca:investigasi) aparat keamanan.
Semua kegelisahan terhadap hegemoni pemerintah telah terjawab oleh Gedung
Lotring pada pembahasan akhir dan serah-terima Kantor Lurah Kuta yang baru,
eks Kantor Disparda Badung dalam gambar 7.2 berikut ini.
213
Gambar 7.2
Kantor Lurah Kuta. Sumber : Dok. IGNA Eka Darmadi, 2010
7.1.2
Konsolidasi Politik Identitas dalam Agensi Budaya Lokal
Bagiana Karang selaku ketua LPM pada saat itu, melakukan banyak
pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan pemuda untuk memutuskan
gerakan resistensi militerisme dan premanisme. Situasi politik pemerintahan
orde baru, tidak mengelakkan terjadinya komunikasi politik dengan para elit
PDI yaitu Partai Demokrasi Indonesia sebagai partai marginal yang selalu
dioposisikan dalam percaturan politik nasional hingga orang-orangnya (baca:
simpatisan dan kadernya) di tingkat banjar dan desa. Sehingga sosok
Bagiana Karang akhirnya didukung oleh masyarakat Kuta untuk mewakili
rakyat di DPRD Kabupaten Badung pada masa bhakti 2004 – 2009.
Bagiana
menuturkan
ketika
situasi
sudah
pecah
dan
massa
menghancurkan semua sarana-perlengkapan Puskovad, Bagiana dan tokoh-
214
tokoh kunci gerakan lainnya, bergerilya sambil mengatur taktik menghadapi
respon militer.
”Pantai Seminyak hingga Pantai Jerman sudah diduduki oleh massa
bersenjata, bakara-bakaran terus dilakukan hingga berlanjut pada
pembakaran alat-alat pedagang souvenir yang dihimpun oleh Puskovad
di dalam lingkungan desa juga dibakar habis”. Mangku Suweja
mengenang peristiwa panas saat itu, ”Aksi massa tentunya akan
berbuntut banyak kerusakan dan masalah tentunya, tetapi itu bukan
aksi kesukuan apalagi isu SARA pada masa orba sangat tajam”.
Aksi massa yang tak pernah terlupakan itu, dilakukan dengan sadar tanpa
intervensi aktor politik dari luar desa, bahkan dilakukan dengan semangat
mesatya. Representasi pemaknaan segara atau pantai sebagai penanda karang
desa dalam hal ini, searah dengan konsep Volosinov (Barker, 2004:74-75), ketika
makna bisa dinegosiasikan, harus diperjuangkan dan menjadi arena perjuangan
kelas. Lebih jelasnya dalam petikan konsep Volosinov;
Tanda tidak memiliki makna namun menguasai ’kualitas dialektis dalam’
dan ’aksen evaluatif’ yang menjadikan mereka mampu memberikan rentang
makna tertentu. Pemaknaan berubah karena konvensi sosial dan perjuangan
sosial berusaha menetapkan makna. Jadi makna tidaklah tetap melainkan
dapat dinegosiasikan.
Mangku
Suweja
yang
pada
saat
itu
sudah menekuni
ajaran
kepemangkuan dan wahwya dyatmika di beberapa tokoh spiritual Bali,
sementara mengkordinir seluruh pemangku di Desa Adat Kuta untuk turut
berdoa dan melakukan ritual untuk memohon agar masyarakat Kuta bisa
memenangkan situasi dan tidak ada pihak-pihak luar Kuta yang bisa
melakukan keonaran dan kekacauan di wilayah Desa Adat Kuta. Dia
memiliki posisi ganda sebagai elit desa yang dikondisikan oleh ambivalensi dan
215
ambiguitas dinamika kawasan Kuta sebagaimana konsepsi perlawanan tradisional
Hall (Barker, 2004: 360-361) Tungkas akhir Mangku Suweja;
”Beberapa balian dan paranormal juga kita libatkan untuk mengusir
’orang-orang Puskovad itu’ dari tanah Kuta”. Tentang komunikasi
politik dengan oposisi orba, Suweja mengakui, ”Ya, kembali pada
identitas manusia Bali kita, partai akhirnya betul-betul saya lihat
sebagai pilihan hati nurani dan pilihan politik, siapa yang berani
nindihan kita, itu yang kita tindihin juga. Makanya saya dorong terus
saudara kita seperti Sumer dan Bagiana untuk menyuarakan hati
nurani Kuta di DPRD Kabupaten Badung”. Demikian ungkapan politis
dari Mangku Suweja.
Dalam kaitan pemaknaan pantai secara kultural dan sosial sebagai penanda karang
desa di kawasan wisata, Made Sumer sebagai tokoh elit desa, telah mengambil
ancang-ancang dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Badung,
untuk melakukan evaluasi penataan ruang pantai Kuta sebagai bagian kawasan
sekaligus tempat ritual bagi krama desa adat Kuta. Sikap evaluatif dan praktis ini
sebagai pengaruh tertutupnya pantai sebagai tanda dan penanda desa adat dalam
dominasi kawasan turistik Kuta. Searah dengan dinamika intelektual masyarakat,
aksen dialektis dan evaluatif (Barker, 2004: 74-75) ini akan berkembang terus dari
representasi personal ke dalam wacana kolektif.
Representasi Upacara Melasti yang semakin lengkap, menjadi akumulasi
perlawanan dan resistensi ritual yang sarat politik budaya yang menyatukan gerak
tubuh, simbol dan metafora yang terkait atau melawan dengan arus tanda. Hall
(Barker, 2004:360-361) menyatukan bentuk resistensi atau perlawanan ini dalam
kekuatan Resistance Through Rituals yang terletak dalam konsepsi perlawanan
sebagai tantangan dan negosiasi terhadap tatanan dominan yang tidak dapat
diasimilasikan dengan baik kepada kategori tradisional atau lokal. Pemosisian
216
modal budaya (Sumadi, 2009) sebagai dasar pengembangan pariwisata tampak
sebagai representasi makro Bali yang sudah terinstitusionalisasi. Namun bagi
masyarakat lokal Kuta, modal budaya sebagai elemen identitas yang terus
bergerak sekaligus terancam oleh dominasi budaya turistik.
7.2 Romantisme Revitalisasi Adat dan Pengembalian Identitas Kuta
Global village
diterima
sebagai
label pengganti
yang moderat
terhadap kawasan wisata yang terkesan mekanis dan menutup tempat bagi
masyarakat
lokal berperan sebagai subjek.
Masyarakat
hanya
sebagai
penanda adaptasi mekanis dan kemajuan ekonomi dalam pertumbuhan
kawasan pariwisata, yang sesungguhnya lebih memerlukan kekuatan dan
kapasitas untuk melihat dan menyikapi semua fenomena yang memang
benar global.
Gambar 7.3
Iringan Barong Singa melewati Discovery Mall Kartika Plaza. Sumber: Dok:
IGNA Eka Darmadi, 2007
217
7.2.1 Kampung Multikultural, Kampung Global Kuta
Kuta sudah menjadi desa multikultural berparas global. Representasi budaya
masyarakat lokal kawasan pariwisata memberikan gambaran terbalik dari
desa global yang dekat dengan pertumbuhan pariwisata global. Representasi
terbalik ini sesungguhnya hal-hal yang terlewatkan oleh proyek transformasi
sosial, yang selama ini meragukan fungsi kesadaran dan kearifan budaya
masyarakat lokal seperti (1) representasi tentang pariwisata, (2) representasi
tentang gaya hidup, dan (3) representasi budaya lokal dalam globalisasi.
Seperti pemandangan dramatis gambar 7.3 di atas, sering terjadi dan
menampakkan penanda dominasi ruang turistik kapitalistik dalam ruang budaya
lokal.
Gambar 7.4
Wisatawan asing dan domestik menyaksikan prosesi Ngaben. Sumber: Dok.
IGNA Eka Darmadi, 2008
Transformasi budaya yang berkepanjangan dalam common sense
masyarakat lokal menuai tertundanya pencapaian harapan-harapan kemajuan,
yang sesungguhnya hanya harapan kosong (Fromm, 1996: 67-70) tetapi
218
motivasinya adalah amanat dan cita-cita budaya tradisional yang mulai
mendapatkan tempat dalam ruang-ruang rezeki pariwisata. Perubahan sudah
menadi cirikhas Kuta sebagai lingkungan pasar turistik. Dengan realitas
perubahan fisik yang begitu cepat, transformasi budaya yang terjadi sesungguhnya
transformasi budaya konformitas lokal dan global, adat dan kawasan, hingga
sakral dan profan yang searah dengan dinamika desa adat dan desa dinas.
Persoalan yang begitu besar menyangkut masa depan Kuta, telah mencairkan
sekat adat dan dinas yang menyatukan semangat dan aksi advokasi budaya lokal.
Perubahan di Desa Adat Kuta, sudah menyejarah dalam cara pandang
masyarakat
lokal.
Bourdieu tidak pernah melepaskan referensi historis dari
habitus individu (Ritzer & Goodman, 2003:518-520) Dalam sejarah kecilnya,
disebutkan Kuta sebagai kota maya, serambi kerajaan Badung dengan dua
dermaga yang sangat ramai. Pada abad 18-an, kepala desanya pun sekaligus
sebagai syahbandar, yaitu Mads J. Lange yang dekat dengan kerajaan
Badung dan kompeni Belanda. Riwayat inferior Kuta tersebut mulai disadari
oleh pemuda Kuta secara netral karena sesungguhnya energi perubahan ke
depan
tergantung
pencapaian
pada
harapan
dan
bagaimana
jatidiri
tersebut
diposisikan
antara
cita-cita. Referensi habitus ini, mempengaruhi
’morphogenesis ganda’ dalam gerakan (Sztompka, 2005: 338-350), yaitu adanya
dinamika internal dan dinamika eksternal dalam gerakan sosial, yang dipengaruhi
oleh perubahan dan histori perubahan itu sendiri. Kondisi historis akan dikaitkan
dengan berbagai kajian yang terjadi termasuk berjalannya struktur norma-norma
dalam menyiapkan sebuah peristiwa sejarah dan usaha membangun gerakan.
219
Pendirian intelektual ini tentunya keluar dari hasil renungan dalam
mengumpulkan nilai-nilai budaya terlebih lagi dalam sastra yang masih
relevan dan dibutuhkan sebagai obat kebingungan dalam
kegamangan
kehidupan Kuta. Searah dengan renungan Sri Empu, para pemangku dan
sesepuh adat yang masih berpegang pada orientasi tradisional, di mana
perubahan
yang
terjadi
pada
lingkungan
desanya
hanya
merupakan
pencapaian ego dan libido semata dan tidak abadi seperti ungkapan Sri Empu;
”Yang abadi tetap ada, sehingga keberadaan toko-toko dan ruangruang komersial termasuk akomodasi wisata dilihatnya seperti make
up belaka. Sehingga, dimensi spiritual dalam kesadaran, tentunya
mereka sudah lama kehilangan harapan dan jatidiri”.
Ungkapan bernuansa magis ini, hampir sama juga dari beberapa informan atau
tokoh Kuta seperti mitos. Sztompka mengakui mitos mampu menggerakan
tindakan sosial (Sztompka, 2005:349) dipetik sebagai berikut;
Mitos sering mampu menggerakkan petani untuk bertindak tetapi hanya
menyediakan visi bersama, belum mampu mengorganisasikan kerangka
tindakan. Mitos yang menyatukan itu belum bisa mengorganisasikan
mereka.
Kuatnya kepercayaan magis dalam kesadaran ruang seorang pendeta, menjadi
penanda sikap warga Kuta terhadap perubahan ruang dan transformasi sosial
budaya. Bourdieu (Harker, et al, 2005 : 20) sangat mempertimbangkan doxa yaitu
kesesuaian struktur objektif dan mental yang searah dengan fungsi ideologi dalam
kerja habitus individu di dalam maupun di luar habitatnya. Habitat Kuta secara
umum masih dipertimbangkan secara historis dan struktur tradisional sebagai
karang desa.
220
Tampilan fisik kawasan yang profan dalam dominasi ruang fisik kawasan,
dianggap sebagai dinamika kekuasaan koersif pemerintah dan kuasa otonomi
budaya dari struktur tradisional. Ranah-ranah ekonomi dan praktik-praktik
otonom merupakan bentukan intelektual, yang hanya bisa dikenali oleh para agen
yang memiliki modal simbolik. Mangku Urip tidak henti-hentinya merenungi
fenomena turisme di desanya sendiri, demikian halnya Pak Nyoman Bagiana
Karang yang sudah sibuk dengan kehidupan spiritual selepas tugasnya
sebagai anggota DPRD Kabupaten Badung. Krisis identitas juga menjadi
penyulut gerakan dalam dinamika internal secara kolektif, ketika kebutuhan
individu akan penghargaan dan identitas menyatu dalam representasi kolektifnya.
Francis (Francis, 2002:139-141)menyebut identitas sebagai salah satu kebutuhan
fundamental individu. Dikaitkan dengan transformasi konflik dalam artian sebagai
usaha resolusi, patut memperhatikan martabat setelah pemosisian identitas. Hal ini
mengarah pada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pada domain politik.
Pengakuan identitas dan kehormatan martabat komunitas dalam implementasi
kebijakan nantinya, menurut Francis, harus nyata dalam tindakan yang dalam
kekiniannya bisa disatukan dengan penghargaan kearifan budaya, modal budaya
dan ruang budaya sebagai elemen identitas lokal.
Permainan tanda artifisial menurut Piliang (Piliang, 2003:54-57)
merupakan kekuatan hyper-sign yang mampu membuat batas kabur ketika
bersanding dengan tanda otentik. Representasi ideologi penopengan (masquerade
of information) menurut Baudrillard mempersandingkan informasi yang ’salah’
dan distorsif pada informasi yang ’benar’. Eco menyebut tanda palsu atau tanda
221
dusta sebagai alat dusta. Sejak tahun 1960-an, Kuta sudah terbentuk menjadi
medan perang tanda, komodifikasi, citraan, dan permainan bebas tanda atau
tandaan dalam studi ini, yang membentuk sebuah kawasan simulakrum, medan
perang tanda, bazaar tandaan turistik, dan pasar bebas tanda dan gaya. Meminjam
istilah Eco (Piliang, 2003: 54-57), hyper-signification telah terjadi dalam realitas
Kuta yang menjadi sebuah posrealitas bagi masyarakat lokal, dan simulakrum
turistik bagi wisatawan. Hal ini dibentuk oleh tandaan dan penandaan ekstrim
secara terus-menerus di semua sisi dan bagian ruang Kuta.
7.2.2
Poskolonialitas Kuta: Penjajahan Karakter Generatif
Kuatnya representasi kawasan wisata dengan meluasnya citraan dan
dominasi
ruang
pariwisata.
kawasan
Dalam
hal
turistik
menguatkan
ini, konsep
poskolonialitas
poskolonialitas
digunakan
kawasan
untuk
merekonstruksi dominasi kawasan pariwisata dalam berbagai aspek, baik
politik
maupun
ekonomi
dan
budaya.
Representasi
kawasan
wisata
menunjukkan dimensi terjadinya dominasi kawasan yang bisa digambarkan
secara fisik, citraan, dan psikologis. Nuansa kuat poskolonialitas terletak pada
dominasi posisi tandaan turistik komersial, yang menguatkan citra ruang
kapitalistik yang mengangkangi ruang budaya atau ’tanah desa Kuta’ (baca:
sebutan masyarakat awam) selama menjadi kawasan turistik.
Tampak pada
gambar 7-5 di bawah, dua model hidup dipajang pada etalase sebuah toko
pakaian wisata pantai untuk wanita. Dua gadis ini digunakan untuk
menguatkan citraan turistik dengan tanda hidup. Praktik penutupan sifat
222
artifisial pada tandaan komersial ini justru memperlihatkan modus kekuasaan
kapitalistik (yang tidak disadari) di balik toko pakaian wisata pantai ini
Gambar 7.5
2 (dua) model perempuan hidup di sebuah toko busana. Sumber: Dok. IGNA
Eka Darmadi, 2008
Representasi jatidiri dalam pengaruh dominasi kawasan turistik, justru
menjadi sebuah keprihatinan manusiawi untuk mengingatkan para pelaku
usaha
yang
datang
dari
berbagai
tempat.
Keberlimpah-ruahan
citraan
kawasan turistik sebagai hutan simulakrum raksasa yang skizofrenik, justru
menjadi energi terbalik yang akan membangun ”pengganyangan makna”
budaya, doxa, energi kapitalistik, dengan ’pengaruh energi reflektif’ sikap dan
praktik
kultural
Pelaksanaan
masyarakat
ritual
Nangluk
lokal
khusunya
krama
desa
adat
Kuta.
Merana, Tawur dan upacara lainnya, yang
dilaksanakan di perempatan jalan utama, menggugah masyarakat lokal dan
pihak-pihak pelaku usaha komersial di Kuta
223
Gambar 7.6
Caru Tawur Agung di pertigaan Kuta, Nyepi 2008. Sumber: Dok. IGNA Eka
Darmadi
Terjadi penyingkapan dan penyikapan hak-hak indigenous people
dalam perjalanan transformasional berbangsa dan bernegara. Kontribusi idepemikiran poskolonial menglarifikasi
dilema
orientalisme
yang
sangat
ambivalen merasuki emosi-emosi intelektual pribumi yang senyatanya surut
dan mandeg lantaran kebodohan dan keblinger dalam common sense
oksidental lokal. Sehingga, melihat Kuta dari bikini, salah satunya adalah
untuk menghindari penghakiman etik terhadap mentalitas lokal yang bisa
berbuntut pembunuhan karakter dan genocide yang lebih dahsyat dalam
prahara ideologis dan polemik pada ruang privat sendiri. Fobia modernisme
yang lebih ditonjolkan dengan penyikapan mekanis
resepsi
glokal
alias
global-lokal.
Judgement
berakhir dalam ruang
berupa
common
sense
masyarakat lokal juga akan melemahkan harapan pada situasi dan kondisi
Kuta yang lebih baik.
224
Giddens mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam perihal
keagenan dan struktur (Ritzer & Goodman, 2003:511-512), pemosisian diri
individu dalam sebuah momen pertemuan atau hajatan, akan memastikan
keberadaan individu sebagai aktor atau agen dalam struktur atau di luar struktur.
Berbagai perubahan atas tatanan sosial, institusi sosial dalam lintas ruang dan
waktu, pola sosial baru, hingga pengaruh modernisasi terhadap masyarakat.
Terlebih lagi masyarakat lokal kawasan Kuta yang sudah merasakan perubahan
ruang dan lingkungan yang sudah begitu turistik.
Terkait pengaruh lingkungan pada individu atau komunitas, Bourdieu
(Ritzer & Goodman, 2003: 522 – 523) memperhatikan habitus yaitu struktur
mental dan kognitif yang digunakan aktor dalam menghadapi kehidupan sosial.
Habitus yang terbentuk secara historis dalam kehidupan sosial, merupakan juga
produk struktur, sehingga disebut ’struktur yang menstruktur’ yaitu struktur yang
diinternalisasikan yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan walaupun
tidak menentukan keputusan. Habitus mengusulkan apa yang sebaiknya
dipikirkan dan dilakukan seseorang. Habitus menyediakan prinsip-prinsip untuk
aktor dalam membuat pilihan dan strategi dalam kehidupan sosial. Lingkungan
bagi Bourdieu, merupakan arena pertarungan, wilayah perjuangan, dan pasar
kompetisi yang mempertemukan berbagai modal (ekonomi, kultur, sosial,
simbolik), hingga terakhir lingkungan juga lingkungan politik yang melibatkan
kekuasaan secara hierarkis dan generatif, melewati ruang kesadaran individu.
Dengan kesadaran kultural, mereka melihat kegamangan yang terjadi
sebagai
sebuah
pertemuan
kehidupan
budaya
komersial, turistik
dan
225
kapitalistik.
Kegelapan
cara
melihat
dan
berpikir
senyatanya
memengaruhi bagaimana posisi individu dalam ambivelansi kehidupan.
Gambar 7.7
Penataan posisi dan fungsi simbol adat dan agama dalam Melasti. Sumber:
Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
Perlawanan simbolik seperti pada gambar 7.7 di atas, menandai kembali
representasi jatidiri Kuta dan ruang budaya desa adat atau karang desa.
Pantai sebagai pelemahan desa adat juga ditandai sebagai bagian dari
identitas Bali. Pemaknaan segara sempat tertutup oleh hegemoni kroni
pemerintah pada masa orde baru sampai tahun 1998.
Melasti satu hari ini menandai pantai sebagai segara yang disucikan.
Segara sebagai penanda ruang budaya desa adat dan ruang magis yang
dipertimbangkan secara sekala-niskala (baca: spiritual religius) Pada hari-hari
biasa, kembali ditutup oleh aktifitas wisata, dengan berbagai model bikini
sebagai ’ticket’ masuk pantai Kuta bagi para turis.
226
7.3
Pengembalian Segara dari Pasih Bikini
Bikini masih menjadi fenomena seksualitas yang sering menandai
dalih sindrom komodifikasi seksual di bawah industri leisure ini. Kritikan
media massa pada wajah Kuta yang semrawut dan penuh kekalahan,
mendorong representasi identitas Kuta untuk berbenah diri di semua aspek.
Gambar 7.8
Hasil program reklamasi pantai Kuta oleh Pemkab Badung. Sumber: Dok.
IGNA Eka Darmadi, 2010
Pemerintah kabupaten Badung telah menggagendakan banyak hal untuk
masyarakat Kuta, terkait dengan kependudukan, kompetisi usaha hingga
reklamasi pantai Kuta yang baru selesai pada tahun 2010 lalu. Gede Adnyana,
Ketua DPRD Kabupaten Badung tahun 2004 -2009, menyebut kependudukan dan
tata ruang merupakan masalah mendasar yang harus dipecahkan dan dilakukan
oleh pemerintah kabupaten. Diungkapkannya:
”Penyelematan Kuta sudah kita antisipasi dengan penempatan lurah-lurah
yang punya kapasitas di lima desa tersebut; Kuta, Seminyak, Legian,
227
Tuban, Kedonganan, termasuk Jimbaran ke selatan. Karena penduduk asli
sudah kalah jumlahnya bila dibandingkan dengan penduduk pendatang”.
Untuk tata ruang, kita akan menerapkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)
dengan pengembalian selektif kepada rakyat ekonomi lemah. Reklamasi
nanti akan menjawab abrasi yang terjadi selama ini di pantai Kuta”.
Hal senada dan searah juga pernah diungkapkan oleh Ketua DPRD Badung tahun
1999 – 2003, I.B. Suryatmaja yang juga mantan pelaku pariwisata. Aksi yang
lebih kongkrit dengan pendekatan struktural, dilakukan oleh Made Sumer selaku
Ketua DPRD tahun 2009-2013. Sebagai warga Kuta, Sumer merasakan desakan
kehidupan global dengan turisme sebagai salah satu pintu masuknya. Sehingga dia
memprogramkan seluruh anggota DPRD Badung untuk mengawasi dan
memediasi realisasi program pembangunan masyarakat desa yang sudah tembus
musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) maupun yang belum tembus
musrenbang. Wesna Astara (2009) menemukan kuatnya peranan desa adat dalam
hal ini, yang bahkan menolak disebut desa pekraman karena masih kuat
berpegang pada aturan lama sebagai desa adat dan definitif dengan nama desa
adat. Adaptasi aktor perubahan dengan habitus dalam perubahan lingkungan dan
agensi struktur dalam perubahan ruang (Giddens; Ritzer & Goodman, 2003:522523), memang akhirnya akan memasuki lingkungan atau arena politik, yaitu
bertemu domain pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
7.3.1
Genre Wacana Pariwisata: Mode Kapitalistik Global
Berbagai
genre
wacana pariwisata
dalam
banyak
tulisan
yang
memasang pariwisata sebagai tema wacana dan budaya berawal dari
kegelisahan etik outsiders (baca: kalangan media dan penulis) dalam melihat
228
semak
tandaan global dalam hutan simulakrum Kuta ini, sehingga
tersesat
dalam kegelisahan generalisasi dan common sense semiotika budaya dalam
sirkulasi budaya pariwisata
yang tak pernah berhenti mengembangkan
model-model kemasan komodifikatif dan turistik. Kegalauan mesin industri
pariwisata pun menambah histeris kegelisahan outsiders dalam ambivalensi
kehidupan
pariwisata.
Rutinitas
kehidupan
masyarakat
lokal, budaya
tradisional, dan budaya turistik, hidup bersama dengan lantunan kidung dewa
yadnya atau desis musik kafe dengan petikan gitar akustik live music yang
menggoda labirin semua orang untuk berhenti merenung; “Kuta tempat
liburan dan entertainment, bukan tempat merenung apalagi termenung!”
Gambar 7.9
Dokar turut beroperasi di desa adat Kuta selama 24 Jam. Sumber: Dok. IGNA
Eka Darmadi, 2009
”Let’s join us !”, ungkapan di club-club malam seperti ini menjadi
penanda malam-malam Kuta dan menarik semua wisatawan yang lewat
229
untuk bergabung bersama. Tokoh pemuda bernama Made Karma banyak
membantu penulis dalam menembus ruang-ruang turistik desa wisata ini.
Hubungan antarfenomena yang selama ini berbau etik, akhirnya cair dalam
satu malam, dari pukul 21.00 wita sampai 03.15 Wita, dan membuka tabir
sang turisme bahwa Kuta (memang) tidak pernah tidur. Bisnis rekreasi dan
entertainment yang sudah berjalan ini sangat menjanjikan pendapatan yang
berlimpah. Dengan ungkapan vulgar, Made berseloroh “Di Kuta weekend
everyday!” Kesibukannya sebagai tim pengamanan (swakarsa) Kuta, di
samping tokoh pemuda, hanya memberikan kesempatan istirahat empat jam
sehari, di samping besarnya rasa memiliki Desa Kuta tercintanya.
Gambar 7.10
Pantai Kuta pada Saat Hari Raya Nyepi. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi,
2008
7.3.2
Pemaknaan Kembali Kuta sebagai Desa Segara Pesisir
Kembali
pada ungkapan pasih
menjadi keniscayaan bagi siapa saja
bikini, realita budaya
turistik sudah
yang melihat kemapanan situasi
230
kehidupan kawasan wisata pesisir ini. Sebagai desa pesisir, Kuta merupakan
tempat terbuka yang tidak dapat menutup diri terhadap budaya luar. Dengan
kawasan turistik sekarang, pengaruh luar sudah masuk kuat dengan tandaan global
yang hedonis dan glamor.
Gambar 7.11
Upacara Melasti yang paling lengkap di Bali. Sumber: Dok: Sumadi, 2009
Realitas neokolonialisme dalam pariwisata sudah senyatanya dirasakan melalui
gerak dan mode kapitalisme pariwisata. Pariwisata pada awalnya di Bali,
memang masih segar dalam ingatan, diprakarsai oleh koloni dagang Belanda
yang
disebut
KPM
yang
menggagas
koloni-koloni
pariwisata
dengan
pengadaan transportasi, akomodasi, bispak-peristirahatan hingga pembenahan
beberapa tempat yang hingga kini menjadi bagian objek dan daya tarik
wisata
(Robinson, 2007), sehingga
neokolonialisme
sebagai
pendekatan
terakhir studi sosiologi pariwisata (Cohen, 1996) menjadi penanda kuat
231
wacana pariwisata sebagai industri global pada era kini dan industri
ekonomi tersier di negara Dunia Ketiga dengan warisan turisme kolonial
atau
warisan representasi
wisata
oriental
oleh
bangsa
penjajah pada
masanya. Hal ini sering menjadi topik diskusi penulis dan keluarga Bendesa
Adat Gung Aji Sudira pada saat-saat ritual usada pada hari Kajeng Kliwon
di rumah Gung Aji Mangku Desa, seperti gambar 7-10 di bawah.
Gambar 7.12
Diskusi spiritual di sela-sela ritual kajengkliwon di rumah Gusti Mangku Desa.
Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008.
7.3.3
Politik Identitas sebagai Transformasi Budaya Kuta
Pada aras makro, transformasi budaya pada masa kini
memosisikan
pariwisata
sebagai
bagian
dari
budaya
senyatanya
transformasional
berdimensi global dan lokal. Sebagai industri modern, pariwisata memiliki
232
mode, aturan main, dan santun usahanya sendiri. Sebagai industri berbasis
potensi lokal dan sumberdaya lokal, pariwisata mengondisikan transformasi
kearifan dan inventarisasi budaya lokal untuk objek daya dan tarik turistik
yang bisa diterima secara global. Arsitektur posmodern pun lahir dari
kolaborasi pendayagunaan bangunan tradisional dan adatasi arsitektur modern
yang menyatu dan berkembang terus. Kenyamanan-kenyamanan modern pun
harus dimasukkan dalam pertimbangan konstruksi bangunan akomodasi yang
berparas tradisional. Persandingan tanda lokal dan global pun mewarnai
perkawinan budaya tersebut, yang pada tingkat desa seperti Kuta, disemangati
dengan representasi formasi identitas pada pemuliaan tampilan arsitektur
bangunan tempat tingga, balai banjar, pura, dan bangunan publik lainnya.
Seperti terlihat pada foto di atas, Bendesa adat sangat antusias
dengan penelitian ini, yang dianggap bisa mengkritisi keberadaan Desa Adat
Kuta di tengah
kawasan wisata.
Acara-acara adat dan ritual
selalu
diinformasikan kepada penulis, termasuk dari tokoh-tokoh lainnya seperti;
Bagiana Karang, Mangku Urip, Made Karma, Wayan Soma beberapa pemuda
lainnya. ”Kuta diwarnai oleh warna-warna kehidupan global” demikian kata
Bagiana Karang. Diskusi dengan tokoh yang satu ini bisa menghabiskan
waktu sampai jam 05.00 pagi, membahas masalah-masalah sosial budaya
Kuta dan fenomena magis yang pernah dialaminya.
Pasih sebagai terma tradisional atas laut tampak sangat kuat dalam
representasi budaya masyarakat lokal dan masih memiliki sederet ungkapan
lokal yang linear dalam komunikasi sehari-hari. Pasih perahu merupakan
233
sebutan area pantai di bagian selatan, di sebelah utara Bandara Ngurah Rai.
Sebutan ini menjadi penanda lokal atas tempat berlabuhnya perahu-perahu
nelayan Kuta. Penyebutan perahu menjadi penanda kuat bagi masyarakat
lokal untuk menandai lokasi operasi para nelayan Kuta sekaligus habitat
tradisional masyarakat pantai. Pasih dalam hal ini menjadi artefak wacana
tradisional bahwa Kuta dahulu masih memiliki penanda. Pantai Kuta kini
dengan bias pasih toris-nya juga diterima sebagai kelanjutan Kuta masa
lalu.
Melasti di Kuta atau pentas Calonarang di Kuta dalam representasi
kekiniannya, bisa dipastikan sebagai ritual yang paling lengkap di Bali. Hal
ini menandakan pemuliaan kembali makna ruang budaya. Segara sebagai
satu ruang ekologis yang harus dijaga dalam konteks holistik-religius.
Terkait dengan politik identitas, segara menjadi referensi doxa yang akan
mendisposisikan kearifan-kearifan segara. Sri Empu menjelaskan;
”Segara kerthih dan desa kerthih yang termasuk dalam sad kerthih,
lengkapnya buana kerthih, patut kalaksanayang secara menyatu dan
membumi dalam praktik dan langkah bersama”.
Demikian penuturan Sri Empu yang kerap disapa Anak Lingsir, cukup
disegani oleh para elit desa dan masyarakat.
234
Gambar 7.13
Pawai iringan pratima sebagai simbol religio-magis Bali. Sumber: Dok.
IGNA Eka Darmadi, 2008
7.4
Representasi Politik Identitas dalam Poskolonialitas Kawasan
Dominasi ruang turistik diakui hanya bisa ditangkap oleh tokoh elit
desa adat yang intelektual, dan tokoh masyarakat lokal di luar agama Hindu
yang intelektual seperti Haji Bambang (tokoh Islam), Indra Suarlim dan Tjik
Mangku Koncho (tokoh Budha), dan tokoh pelaku pariwisata yang sudah
dewasa melihat Kuta
Referensi
poskolonial
dalam
doxa
para
elit
desa
selama
ini,
ditransformasikan dalam seni, ritual, dan gaya arsitektur. Bagi Bapak Mastra,
yang searah dengan pemikiran Bapak Sumer, Bagiana Karang, Made Karma,
Bendesa Adat Gung Sudira, Sri Empu, dan lain-lain, ”Perjuangan kami belum
selesai, regenerasi atau kaderisasi yang menjadi agenda panjang ke depan”,
demikian tandas Made Mastra. Secara ideologis dapat dilihat adanya aspek
235
unifikasi identitas budaya, doktrin formasi identitas, fragmentasi dominasi
budaya turistik, dan reifikasi tujuan agama Hindu Dharma.
7.4.1 Pentas Calonarang di Kuta: Representasi Politik Identitas
Dalam beberapa pentas Calonarang di Kuta seperti gambar 7-14 di
bawah, dapat direfleksikan beberapa hal yang menarik dalam kajian politik
identitas, yang sampai saat ini disebut oleh para aktor sebagai politik
budaya. Dalam representasi politik, terdapat; (1) Kolaborasi pendekatan
kultural, estetika, dan mitos yang membalut dogma agama sebagai unifikasi
doxa dalam praktik politik representasi.
Gambar 7.14
Pentas Calonarang di Kuta. sumber Dok: IGNA Eka Darmadi, 2009
(2) Unifikasi persepsi dan apresiasi seluruh warga desa adat untuk
membangun kesadaran kultural dan formasi identitas Kuta dalam kondisi
terjajah secara ekonomi. (3) Representasi politik identitas dengan doxa
236
(baca: mitos dan dogma) nilai kearifan budaya Bali. Semua representasi
tersebut memang diapresiasi dan disambut baik pada domain kesadaran.
Ideologi politik identitas yang digerakkan selama ini oleh para elit
desa, dimaksudkan untuk, merupakan penyemaian generatif wacana penyadaran
intelektual terhadap masyarakat agar bisa melihat secara kritis realitas kini
di Kuta. Bias pasih merupakan ungkapan lama
sebagai pengandaian
kuantitas sebuah objek, dalam hal ini tourist yang jumlahnya begitu banyak
di pantai pada jam-jam berjemur. Pribumi melihat poskolonialitas pariwisata
sebagai pertemuan realitas neokolonialisme
dan kapitalisme
pariwisata.
Kondisi tersebut membuat diaspora tanda turistik, kepentingan, dan budaya,
yang tidak bisa dilihat dengan jelas oleh masyarakat lokal. Hal tersebut
menjadi ambivalensi bagi masyarakat, yang disebut secara sederhana sebagai
kegamangan situasi atau kondisi gamang yang di dalamnya juga tidak ada
lagi ruang bagi host atau masyarakat tuan rumah.
7.4.2 Pengembalian Ruang Budaya Desa Adat
Transformasi budaya, dalam hal ini, sarat dengan kontestasi tanda
tanpa henti, yaitu tanda dari budaya lokal dan budaya global. Kontestasi
tanda turistik, komersial, dan kapitalistik ini disadari oleh tokoh-tokoh desa
adat, sehingga sejak tahun 2001, tampak perubahan drastis dalam pelaksanaan
ritual keagamaan melasti atau upacara penyucian alat-alat suci upacara
sebelum memasuki Nyepi dan tahun baru Isaka. Simbol-simbol ritual
diusung secara lengkap dari pura menuju segara (sebutan laut sebagai
237
sumber mata air suci). Selama ritual berlangsung, areal upacara dipagari
dengan tombak dan bendera panji-panji adat, sehingga para turis yang
memakai bikini tidak diizinkan lewat atau masuk. Bahkan, instrumen gong
lengkap dan tari sakral Rejang Dewa mengiringi prosesi Melasti, hingga
menjadi melasti yang terlengkap di Bali.
Situasi magis dalam prosesi Pasupati Barong Singa dari Puri Satria
Dalem mengingat warga pada ruang budaya atau karang desa Kuta. Secara
niskala
atau
religio-magis, krama
menyebut
ruang
budaya
dengan
wewidangan Kuta. Sepanjang perjalanan dari Pura Dalem Tunon, para sadeg
(Baca: pelaku trans magis) mencari titik-titik posisi magis yang dulunya
merupakan tempat-tempat untuk kuburan, tempat suci, dan bekas pohon
besar. Seorang keluarga puri berkata:
”Oh, sajan setrane pidan ditu di kolam renange ento, beh melaib
turise?.....Suba tawange teken Satpame, hmm”.
Artinya, ”Oh, benar kuburan dulu di sana di kolam renang itu, wah lari
turisnya?.....sudah tau Satpamnya, hmm”.
Representasi
identitas
mendapatkan
ruang
dan
waktunya
pada
momen-momen ritual, khususnya ritual yang melibatkan trans para Sadeg
seperti dalam gambar 7.15. Hal ini memberikan representais kultural generatif
kepada generasi muda Kuta di samping kebiasaan mereka meniru gaya
mode pakaian yang turistik.
238
Gambar 7.15
Seorang yang sedang trans dalam iringan Barong. Sumber: Dok. IGNA Eka
Darmadi, 2008
Dewa Sarma Kaling. Br. Jaba Jero sedang mendampingi seorang sadeg
yang sedang kerawuhan dalam perjalanan balik dari Pura Dalem Tunon
melewati
Pantai Kuta menuju Puri Satria Dalem. Wajah-wajah histeris pun
tampak pada muka para Sadeg yang sedang menangis seperti sedang
menangisi ruang budaya desa adat atau karang desa yang telah berubah
total.
Seperti temuan Fashri (2007: 105-109), simbol memang kuat disebut
sebagai
instrumen
dominasi
atau
penanda
dominasi
dan, sebaliknya
kekalahan tetapi kontrolnya ada dalam fungsi kesadaran. Kontestasi simbol
di Kuta juga merupakan bagian dari penanda dan aspek pariwisata sebagai
modal budaya dan budaya pariwisata itu sendiri. Bila masyarakat lokalnya
239
common sense, mereka akan dinyatakan kalah atau terpinggir. Berikut
digambarkan kembali pertemuan ruang dan waktu tradisional, modern dan
lokal yang menjadi tempat sirkulasi kehidupan kawasan pariwisata, di mana
terjadi diaspora tanda turistik sebagai mode gerak kapitalistik global,
semakin nyata dan menguat terus. .
Dengan adanya kompresi atau pemampatan ruang dalam usaha
pencapaian
kepentingan
atau
tujuan-tujuan
progresif, perang
tanda, dan
diaspora tanda turistik yang selama ini oleh masyarakat lokal hanya bisa
menyebutnya
dengan
kegamangan, kesimpang-siuran, perang
merek, yang
semuanya memang sebuah ambivalensi kapitalisme global. Bikini yang
selama ini hanya dilihat sebagai penanda kehadiran perempuan tentunya
menyimpan kekuatan penanda kapital modern yang menembus dimensi
global karena diterima global sebagai penanda ketidak-telanjangan, ’free past
to the beach’, dan penanda diaspora tanda turistik dalam studi ini.
Penyebutan pasih bikini merupakan sebuah penyadaran dalam proses
mengangkat representasi budaya masyarakat lokal, yang masih begitu arif
menolerir dominasi tanda dan ruang kapital pariwisata, seperti halnya
bagaimana sebutan pasih perahu sejak sebelum masa kolonial, akhirnya
harus masih kuat dipakai sampai sekarang dalam rangka politik identitas
dan menetralisir kegamangan atas dominasi kawasan turistik terhadap ruang
budaya desa adat, dengan diaspora tanda turistik kapitalistik global.
Sehingga
melihat
harapan
beberapa
tokoh
masyarakat, bisa
digambarkan posisi netral kehidupan kawasan pariwisata yang diharapkan
240
bisa
memposisikan
masyarakat
lokal
dengan
konsensus
dan
kendali
kebijakan pemerintah yang seimbang dan proporsional, dengan figurasi skema
pada gambar 7.16 di bawah.
Future
Reposisi
Modal
Budaya
Transformasi
dan
lokal di tengah dominasi
representasi budaya lokal:
ruang kapitalisme global:
karakter
dan
Bikini, produk
kultural,
advokasi
luar, ikon
Global
praktik
dan
Lokal
Neokolonialisme pariwisata:
Transformasi
dominasi
pasar
global,
kearifan
diaspora
tanda
turistik,
nilai
dan
budaya-tradisional:
pasih, segara, pantai, beach,
sand, wave, sense
diáspora ruang global.
Past
Gambar 7.16
Dengan Skema Transformasi dan Politik Identitas dalam Ambivalensi
Kawasan Kuta. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi
7.4.3 Konformitas Politik Identitas dalam Kearifan Masyarakat Pariwisata
Transformasi budaya banyak mendapatkan pengaruh dari referensi
resistensi kawasan turistik yang pernah terjadi. Representasi politik bergerak
seperti figurasi operasi ideologis pada gambar 7.16 di atas. Politik identitas
yang disebut politik budaya oleh tokoh-tokoh Kuta, juga mendapat pengaruh
241
dari media cetak dan media elektronik yang merepresentasikan kekalahan
masyarakat lokal kawasan Kuta dalam ruang– ruang pantai, jalan utama, dan
hilangnya ruang publik desa adat. .
Gambar 7.17
Tokoh Pecalang Desa Adat Kuta. Sumber: Dok: IGNA Eka Darmadi, 2007
Pasca tahun 1998, dengan perjuangan
moderat, para tokoh elit dan
intelektual Kuta menyatukan persepsi dan langkah untuk terus berjuang
mengangkat martabat dan identitas masyarakat lokal Kuta khusuny Desa
Adat Kuta. Momen-momen ritual dan adat dijadikan kesempatan diskusi dan
penggalangan kekuatan untuk politik budaya (baca: politik identitas). Tokoh
pecalang Wayan Meder pada gambar 7.17 di atas, menyimpan banyak
catatan jejak perlawanan dan resistensi kawasan pada masa orde baru dan
masih ingat betul pada situasi politik pada tahun 1965. Pada tahun 1965,
Made Meder sudah merasakan bagaimana situasi desa yang tenang berubah
menjadi mencekam karena situasi politik Bali dan nasional. Tidak adanya
242
keterlibatan warga Kuta dalam partai terlarang pada saat itu, memudahkan
tokoh desa untuk menghalau atau menolak pembantaian-pembantaian yang
dibawa ke Kuta. ”Deriki nenten wenten sane terlibat, tyang ten nerima ada
pembantaian di tanah Kuta” demikian ucapnya mengingat ungkapan warga
pada saat itu. Sekarang, dia mengembalikan berbagai representasi politik
warga Kuta
pada
kesadaran
masing-masing
individu
dan
persatuan
’masyarakat kawasan yang beranekaragam’ (baca: masyarakat lokal yang
heterogen).
Memaknai beberapa kali diskusi tentang tradisi dan ritual Bali,
dengan Pak Meder, representasi identitas dipengaruhi oleh representasi tanda
atau ikon-ikon budaya luar berupa ikon-ikon komersial, turistik, fantasi, hobi,
dan deretan merk yang mendunia. Ketika ruang budaya yang merupakan
habitat kulturalnya didominasi ruang turistik dan ditutup rapat oleh perang
tanda
turistik
komersial
kapitalistik, representasi
identitas
kultural
pun
tertantang keluar untuk merepresentasikan jatidiri, roh kebudayaan yang
masih hidup, ruang budaya atau karang desa. Pak Meder mengungkapkan;
”Banyak tokoh desa adat di Bali yang datang ke rumah saya, untuk
menanyakan bagaimana caranya membangun pasukan adat yang kuat
dan disegani seperti Pecalang Adat Kuta”
”Bahkan tokoh adat dari Sumbawa, Lombok dan Bugis pernah datang
kepada saya. Ya, saya jawab; pertama, harus berangkat dari pikiran
suci penuh pengabdian, kedua, orang-orangnya harus pilihan yang
punya prinsip, bila perlu sakti. Bukan ririgan (giliran) seperti
pecalang di di desa-desa lain, ya pasti dilecehkan. Anak baru tamat
SMA jadi pecalang, kan jelas belum tahu aturan dan tatakrama adat
ya” demikian tungkasnya.
Commonsense pariwisata searah dengan commonsense politik dan
ekonomi politik, yang sebenarnya sudah dipraktikan secara politis dan efektif,
243
banyak dikondisikan oleh situasi habitat para elit dengan masyarakatnya.
Perlawanan fisik pun sudah dilakukan pada tahun 1998 yang menjadi catatan
dalam pemberdayaan ke depan.
Intelektualitas (baca: representasi) individu
tidak menjadi persoalan dalam pergerakkan tokoh masyarakat dan ’Pemuda
Kuta Bersatu’ demikian sebutan mereka, bila dikaitkan dengan ’politik
budaya’ (sebutan lokal) untuk merepresentasi politik lokal yang sarat akan
pola dan ideologi politik identitas. Dapat ditangkap secara ideologis, yang
menggerakkan politik identitas dalam hal ini ideologi identitas Kuta dengan
elemen; (1) Tanah sebagai penanda identitas desa, (2) Ruang budaya yang
terdominasi oleh ruang turistik, (3) Dogma agama tirta, mitos nilai-nilai adat,
dan keyakinan religio magis yang menyatu menjadi doxa di Balik praktik
politik identitas.
Praktik budaya yang sarat dengan misi panjang dan historis menurut
Bourdieu (Harker, et al, 2005) didorong keras oleh doxa yang sudah dipenuhi
dengan banyak referensi historis dan disposisi otak para aktor yang bekerja
dalam beberapa fase pergerakkan. Tanah desa adat atau karang desa sebagai
ruang budaya tradisional, jelas menjadi pertaruhan yang melekat secara
ideologis
dengan
habitat, historis, dan
formasi
identitas
individu
dan
komunitas. Kaderisasi pun dilakukan secara jelas dalam lembaga-lembaga
desa dinas dan desa adat; LPM, Angga Kertha, kepala lingkungan, Satuan
Pengamanan Desa, hingga ketua sekehe teruna, yang diawasi oleh para tokoh
desa di masing-masing banjar.
244
Apresiasi
pemerintah)
tendensi
bersama
sebagai
cukup disikapi
resistensi, sangat
masyarakat
pariwisata
dengan arif, sehingga
diantisipasi.
Stakeholder
(baca:
setiap
label
gerakan atau
pariwisata
menjadi
perhatian para aktor politik, sebagai terma baru yang secara politis dijadikan
jargon untuk mengarahkan sasaran politik identitas. Dalam paradigma
kebijakan publik (Parson, 2007), apapun yang menjadi langkah implementasi
kebijakan pemerintah pada satu ruang publik, patut dilahirkan melalui pola
komunikatif dan konsensus bersama untuk menjamin keberlanjutan secara
sinergis.
Stakeholder
secara
praktis diterjemahkan (www.wikipedia.com)
dengan pemangku kepentingan atau segenap pihak yang terkait dengan isu
dan permasalahan yang sedang diangkat.
Dengan
pertimbangan
stakeholder, kebijakan
posisi
publik akan
dan
peranan
masyarakat
menjadi elegan, bila
selaku
diketahui dan
dikawal bersama masyarakat. Masyarakat lokal adalah stakeholder primer
yang
berhadapan
dna
mendapatkan
manfaat
langsung
nanti
setalah
implementasi kebijakan direalisasikan untuk sebuah proyek fisik dan lain
sebagainya.
Stakeholder
sekunder
merupakan
pihak-pihak
yang
tidak
memiliki kaitan kepentingan langsung terhadap suatu kebijakan, program atau
proyek, tetapi
sangat peduli dan memiliki keprihatinan terhadap masalah-
masalah kebijakan keputusan legal pemerintah. LSM, dinas-dinas yang tidak
terkait langsung, perguruan tinggi dan pengusaha atau badan usaha yang
terkait
dengan
bidang
atau
domain
bersangkutan.
Stakeholder
kunci
245
merupakan unsur eksekutif sesuai tingkatannya, baik bupati atau muspida
terkait, DPR atau perangkat legislatif dan dinas-dinas terkait.
Mudana (2005) menemukan adanya hegemoni pemerintah dalam
pembangunan sebuah hotel besar di desa adat Braban di Kabupaten
Tabanan, ketika posisi, sikap dan peranan masyarakat tidak dilihat sebagai
stakeholder atau penentu keberhasilan sebuah kebijakan. Mudana meminjam
konsep
Perlas
(2000)
tentang
hubungan
posisi
dan
peranan
antara
pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Bila hubungan ini difungsikan secara
seimbang, akan menjadi pilar pembangunan masyarakat dan negara yang
sinergis, sehingga disebut Three Folding atau tiga pilar negara. Wisnumurti
(2011) menyebut keseimbangan hubungan posisi dan peranan tiga pilar
negara ini, dengan sebutan Masyarakat Trisula.
Seperti pembahasan pada bab VI tentang peranan dan kebijakan
pemerintah dalam pembangunan di Kelurahan Kuta, disebutkan sebagai
kebijakan partisipatif dengan pola top-down sesuai RTRW, dan pola buttomup sesuai aspirasi dan usulan masyarakat yang akan dikaji dan diakomodir
oleh eksekutif beserta dinas-dinas terkait.
Seperti Pantai Kedonganan di
bagian selatan kecamatan sekaligus kawasan Kuta, tepatnya di sebelah
selatan Bandara Ngurah Rai, dikelola oleh desa adat Kedongan sejak tahun
2010, setelah Pemilukada Badung 2010.
246
7.5 Politik Identitas dalam Poskolonialitas Kawasan Kuta
Jargon glokalitas tepat dipinjam untuk menyebut representasi politik
identitas Kuta. Dewa Ketut Adi menyadari situasi Kuta yang
total.
Identitas
baginya
berada
pada
spiritualitas
dan
berubah
keberagamaan
masyarakat, khususnya keluarga besarnya. Seperti halnya restorasi Barong
Singa dilakukan sesuai petunjuk leluhur dan roh barong yang dijelaskannya
dengan ”Ida sane ngiyangin mapikayun metangi malih mangda sidha
macecingak ring sekala” artinya ” Beliau yang memberi roh barong
tersebut, berkeinginan
untuk
diwujudkan
secara
fisik
lagi
agar
bisa
mengawasi dalam dunia nyata” Formasi identitas juga menyatu dengan
representasi politik identitas, seiring dengan berkah kemajuan ekonomi.
”Ruang kawasan ya ruang kawasan, ruang niskala tetap niskala” demikian
tungkasnya tentang dominasi ruang kawasan global Kuta, searah dengan
tokoh-tokoh Kuta yang menekuni spiritualitas dan ritual magis.
Sikap terhadap kebijakan kawasan tersebut dilakukan lebih banyak
dengan resistensi dan transformasi budaya lokal terhadap budaya global
yang sangat progresif. Segala muatan budaya lokal, baik energi kulturalisme,
nilai budaya etnisitas, formasi identitas, mistisisme, dan mitosisasi, yang justru
menguatkan counter dominasi ruang turistik komersial. Elit intelektual yang
bisa memahami hal ini, bisa dihitung jari, yaitu: Made Sumer, Bagiana
Karang, Mangku Urip, Mastra, dan,
Bendesa
adat, dan
Bapak Lurah.
Selebihnya lagi semangat dengan perlawanan simbolik dengan transformasi
budaya dalam diri, keluarga, dan komunitas.
247
7.5.1
Pengembalian Identitas Kuta dengan Gedung Lotring
Berdirinya Gedung Lotring pada tahun 2011 ini, menjadi penanda
kuat representasi masyarakat lokal yang diformat sejak tahun 1999, dengan
peta ekonomi politik dalam ruang budaya desa adat. Nama Lotring yang
terkenal sebagai tokoh seniman tari dan tabuh Bali di selatan,
diformat
sebagai
nama
bangunan
yang
monumental.
Banjar
lama
Tegal
menggunakannya sebagai nama jalan dan nama sanggar seni tari yang
dikoordinir oleh anak-cucunya Lotring. Dengan satu model figurisasi Lotring
ini, politik
budaya
bagi
tokoh
elit
masyarakat
Kuta, akan
terus
direpresentasikan dalam praktik sehari-hari. Menurut penuturan Mangku Urip,
Komang
Graha, dan
Made Sumer, Lotring masih banyak memiliki murid
seniman hingga sekarang di sekitar Denpasar dan Badung.
Gambar 7.18
Gedung Lotring untuk mengenang nama seniman Lotring. Sumber: Dok. IGNA
Eka Darmadi, 2011.
248
Gedung Lotring merupakan penanda kontrak politik masyarakat Kuta
dengan Anak Agung Gde Agung sebagai calon Bupati incumbent pada
Pemilukada 2010 yang lalu. Dengan janji dana awal tiga milyar rupiah.
Akhirnya pasca dalam perjalanan satu tahun gedung ini berdiri sesuai
desain
yang
diiniginkan
oleh
warga
Kuta.
Gedung
ini
sebelumnya
merupakan kantor Lurah Kuta yang diganti dengan kantor Dinas Pariwisata
Kabupaten Badung di jantung Kuta atau jalan utama.
Semangat glokal itu pula yang akhirnya menarik energi nasionalisme
sebagai penguat wacana emansipasi kebangsaan dan legitimasi semangat
kedaerahan sebagai bagian kekuatan negara bangsa. Ketika semangat negara
adat masih memerlukan energi untuk menghadapi negara destinasi wisata
global.
Komunitas
terbayang
dalam
negeri
destinasi, di-real-kan
oleh
progresifitas komodifikasi dan turistifikasi dengan berbagai varian simulasi
dan mistifikasi mode dan produk wisata di dalamnya. Penanda komunitas
negara bangsa hanya bekerja dalam intensitas yang rendah dan momenmomen
formal
saja.
Kesadaran
kebangsaan
inilah
yang
menguatkan
kegelisahan atas segala bentuk dominasi dan hegemoni dalam ambivalensi
kawasan, yang mengiakan kembali posisi ‘terjajah dan tersingkirkan’ bagi
masyarakat lokal yang lemah secara ekonomi dan intelektual.
249
7.5.2
Konformitas Nilai Kepariwisataan dalam Politik Identitas Desa
Adat Kuta
Resepsi
pariwisata
dalam
ruang
kesadaran
masyarakat
lokal
dikondisikan oleh kebutuhan individu dan komunitas yang susungguhnya
masuk pada domain ekonomi politik pariwisata, baik dari pemerintah daerah
maupun desa adat dan kelurahan. Hal ini menjadi penanda kesadaran budaya
kawasan dan desa global yang menjadi referensi politik identitas. Pariwisata
budaya diterima sebagai simbol kecerdasan budaya sekaligus modal budaya
yang masih disebut sebagai strategi pariwisata Bali. Bourdieu (Harker et al,
2005: 110-111) memposisikan modal budaya sebagaimana modal ekonomi, yang
terkait dengan kemampuan reproduksi kelompok generatif dan habitus praktik
budaya dominan. Modal budaya teruji melalui proses asimilasi dan reproduksi
budaya kelompok dengan habitus kesuksesan dan kegagalan.
Hall menyebutkan (Barker, 2004: 371-372) politik identitas sebagai usaha
penamaan dalam gerak politik representasi dan perlawanan simbolis yang
dibangun di atas wilayah perjuangan hegemonik. Pertanggung jawaban politik
budaya seperti pengakuan Bagiana Karang dan tokoh lainnya, baru sebatas
artikulasi representatif yang belum memenuhi rentang pemaknaan politik budaya
hingga kebijakan budaya seperti konsep Hall, Gray, Jordan&Weedon (Barker,
2004:367-368)
Ekonomi politik menyangkut kebutuhan riil individu masyarakat yang
berkaitan erat dengan pasar dan kekuasaan. (Galbraith; Caporaso & Levine,
1992:389-391) Yang lebih tegas lagi disebutkan bahwa perekonomian terutama
250
perekonomian pasar kapitalis adalah sebuah sistem kekuasaan. Makna kekuasaan
menurut Lukes adalah sejauh kita bisa menghubungkan antara kekuasaan
dengan perekonomian pasar, dan kembali pada apa makna kekuasaan yang
kita gunakan untuk melihat. Kekuasaan ekonomi dilihat oleh Weber mulai
dari kehendak koersi, kolektif/bersama dan institusional (Caporaso & Levine,
1992:389-391)
Pariwisata
sekaligus
menjadi
gerak
ekonomi
politik
untuk
menggunakan semua potensi sebagai modal dalam operasi ekonomi lokal
dan nasional. Pariwisata Budaya dengan semua pendekatan kultural, regulasi,
dan kebijakan pemerintah, melegitimasi
semua usaha dan aktivitas di
dalamnya sebagai angkatan kerja ekonomi politik daerah dan negara.
Sebagai mesin devisa, pariwisata mengondisikan konformitas nilai bagi
masyarakat lokal untuk menjaga bahkan mengawal situasi dan kondisi
kawasan sebagai tempat operasi mesin pencetak uang, mesin industri jasa,
dan mesin penghibur para leisure class sebagai tamu terhormat.
Kebutuhan masing-masing individu melahirkan kepentingan-kepentingan
ekonomi dalam berbagai bentuk representasi untuk menembus sumbersumber pendapatan atau pemenuhan kebutuhan. Balbus (1992) menyebut
kepentingan riil adalah kepentingan dianggap sebagai ada kepada individu
berdasarkan situasi objektif dimana individu itu berada. Disadari atau tidak
oleh individu, kepentingan inilah yang menentukan kekuatan ekonomi pada
masing-masing orang, ketika individu tidak memiliki kepentingan pada pasar,
menandakan ketidakberdayaan dan tiada kekuasaan individu secara ekonomi.
251
Caporoso&Levin (1992) menyimpulkan bahwa pasar kapitalistik yang
tampak seolah-olah bebas memberikan harapan kekayaan bagi semua pihak
dan masyarakat, tetapi
justru menimbul ketidak merataan dan peminggiran
yang tidak berdaya. Ideologi turisme menginterpelasi semua orang dalam
masyarakat lokal untuk merayakan kepariwisataan sebagai generator atau
penggerak ekonomi desa, daerah, dan negara. Interpelasi budaya lokal ke
dalam budaya pariwisata mengiakan segala konformitas nilai budaya, ruang,
waktu, hingga etika, yang tampak jelas pada gaya hidup masyarakat lokal.
Hal ini tidak bisa ditutupi oleh terutama anak-anak muda di kawasan wisata
dan masyarakat lain dalam bentang gravitas kawasan pariwisata.
Gaya hidup masyarakat sangat dipengaruhi oleh sense dan aroma
turisme kawasan pariwisata. Berbagai dandanan-solek para turis menyemaraki
semua tempat dan jalan-jalan kawasan sebagai desa pesolek, desa bergaya,
dan desa turistik. Dalam semarak gaya hidup turistik ini, sangat menarik
skeptisme penulis untuk sedikit iseng mengejar tindak-mimikri masyarakat
lokal Kuta dalam pengaruh dan bayang-bayang turisme global. Selain Made
dan pemuda lainnya termasuk beberapa bajang Kuta, menyatakan,
“Anak muda sini sudah biasa pakai bikini, lihat saja bokongnya!”
Ada yang pernah mendapat pengakuan dari ibu-ibu, “Kapan-kapan
kita juga boleh ’kan jadi turis?”, ... “apalagi untuk suami, ... atau
yang muda untuk si pacar”.
Berbagai pengakuan dan ungkapan-resepsi gaya turis juga memilih bikini
sebagai penanda gaya hidup dan kelas ekonomi yang terkait dengan
perbedaan atau differentiation atas penampilan, gaya, selera dan harga produk
252
dalam aktivitas dan kebisaaan hidup. MacCannell (1976: 181, 184) tidak pernah
melepaskan perhatian dari perbedaan dan artikulasi budaya hidup masyarakat
lokal di bawah pengaruh turisme. Terlebih lagi kelompok pemuda-pemudi yang
tidak bisa menyembunyikan sikap eksplisit dan logisnya terhadap pengaruh gaya
hidup, struktur, dan kelas dalam penampilan. Sehingga tidak bisa dipungkiri
kekuatan bikini sebagai penanda resepsi turisme Kuta dan kelas baru terbayang di
Kuta, yang disebut leisure class oleh MacCannel, sebagai peniruan gaya hidup
turistik.
Sense dan gaya mencairkan kelas dan bangsa, searah dengan bikini
bagi para turis sebagai tiket untuk berjemur dan jalan-jalan di pantai.
Semua etalase pakaian atau konveksi memajang bikini sebagai item ciri
khas kawasan pantai. Hal ini juga dilakukan di kawasan pantai Sanur dan
Nusa Dua tetapi pengaruh dan resepsi budayanya hanya ditiru oleh segelintir
kelas ekonomi menengah ke atas. Aksesori dan danan
pantai
memang
mendominasi tempat komersial atau toko-toko pakaian di Kuta, terlebih lagi
dengan pemasangan billboard besar yang mengundang perhatian setiap
pengunjung Kuta. Persaingan antarmereka membangun citra Kuta sebagai
kawasan pantai turistik, komersial, dan glamor. Jelas wajah desa adat sebagai
ruang budaya tradisional tertutup oleh pasar tanda turistik (Darmadi, 2005).
Brand pakaian dan aksesori dandanan anak muda juga terpusat di
Kuta dan sekitarnya. Bayang-bayang Barat (baca: budaya pop global)
menarik anak-anak muda Kuta, Denpasar, hingga Gianyar, datang ke Kuta
untuk melihat dandanan dan solek-molek para turis muda, khususnya pada
253
musim liburan bulau Juni sampai Agustus. Motivasi usaha para pebisnis
pakaian jadi yang berlogo luar negeri, tiada lain untuk para wisatawan asing
yang ingin mendapatkan produk-produk standar dengan gaya dan merek
mendunia. Memang diakui, beberapa pembeli lokal mengambil item-item
pakaian yang mereka pajang.
Dominasi kawasan turistik dalam ruang budaya desa adat ditandai
oleh tersebarnya ikon-ikon dagang yang mendunia dalam kacamata usaha
dagang komersial. Bikini memang mendunia sebagai ikon turistik global,
sebagai penanda kawasan pantai. Pernah ada kejadian yang tidak bisa
dilupakan dalam studi ini, ketikapenulis melepas pandangan sesaat sambil
mengamati situasi pantai Kuta pada siang hari, saat para wisatawan mandi
sinar matahari atau sun bathing. Siang itu banyak sekali turis yang
berjemur hingga aroma khas krim tabir surya menyebar sampai di jalan
raya. Setelah beberapa menit, penulis duduk sambil menikmati rujak buah
segar, terdengar
seorang
petugas
keamanan
pantai
memanggil
dan
menghampiri turis bule perempuan yang baru saja turun merasakan deburan
ombak pantai Kuta. ”Hi, Lady, come, come here up!”, sambil menghapiri ke
dalam, dia tampak menjelaskan aturan mandi di pantai, sambil mengajak ke
turis bule itu ke pantai. Anak-anak pantai yang mungkin sudah terbiasa
dengan hal tersebut, malah menertawakan. Kata seorang anak penunggu
papan ski sewaan, ”Ya, ga boleh pakai celana dalam gitu, nanti bisa putus,
harus pakai bikini di pantai”
254
Konformitas nilai budaya tradisional dan budaya turistik, dapat dilihat
pada momen-moment ritual; Melasti, Mepajar, Ngerehang, Ngaben, Nangluk
Merana, dan upacara-upacara adat dan agama yang mengambil tempat di
jalan, pantai, dan ruang-ruang publik, dengan melibatkan banyak orang umat.
Ketika pelaksanaan Melasti yang tercatat sebanyak empat kali Hari Raya
Nyepi dari tahun 2007 sampai 2010, representasi simbol-simbol adat dan
budaya semakin kuat. Untuk sekali sore ini, pantai Kuta memang betul-betul
dipatok oleh pecalang selama pelaksanaan melasti, dengan durasi paling
cepat dua jam. Instrumen tetabuhan gong barungan lengkap dengan tari
wali sakral Rejang Dewa mengiringi upacara Melasti. Konformitas nilai
selama ini berjalan dengan penuh toleransi.
Permasalahan ruang dalam politik identitas, sesungguhnya pada ruang
ekonomi politik yang direpresentasikan dalam posisi dan peran lembaga
setingkat
kelurahan
untuk
pengelolaan
ruang-ruang
terbuka
seperti:
pengamanan pantai Kuta, pengaturan pedagang acung dan tukang pijat,
pungutan
parkir
di
depan
pantai, pasar, dan
pemasangan
bahan-bahan
promosi komersial di lingkungan desa adat dan kelurahan. Ideologi politik
identitas dan politik ekonomi untuk pengelolaan dan pendapatan, tentunya
bukan pengembangan modal budaya, tetapi
praksis ekonomi politik yang
berjalan berdampingan dengan politik identitas. Representasi politik menguat
sejak resistensi orde baru dalam turisme pantai Kuta berhasil menyatukan
pandangan dan langkah antara Desa Adat Kuta, Legian, dan Seminyak.
255
7.5.3
Dekonstruksi Perang Tanda Kawasan Turistik Global
Pasar global yang menyentak berita lebar-lebar di media cetak dan
elektronik
sejak tahun
2000-an, ditangkis dengan
sikap
represif
pada
pematokan wilayah desa adat secara kultural dan ekonom politik. Hinggar
bingar musik glamor dan perang marker turistik serta tandaan artifisial
komersial kapitalistik menjadi salah satu indikator dominasi yang disikapi
dengan representasi politik dan ekonomi politik.
Poskolonialitas sebagai suatu kondisi dan realitas sosial, ditandai oleh
adanya ambivalensi yang tidak bisa ditangkap dengan unconsciousness atau
ketidaksadaran masyarakat akan fenomena sosial di lingkungannya. Nalar
pikiran awam atau commonsense mengiyakan segala bentuk dominasi,
dengan tidak melihat atau merasakan hegemoni atas kehidupan mereka.
Nyepi satu hari, telah menghilangkan audiens simulakrum turistik Kuta.
Dekonstruksi simulakrum dan skizofrenik Kuta, terjadi bilamana; (1) nihil
aktifitas turistik, (2) situasi traumatik seperti ketika terjadi bom, (3)Penyepian
Hindu, dan (4) kesadaran moral yang bisa menetralisir segala bentuk pencitraan
artifisial. Identitas ‘keBalian’ mereka secara kolektif dan perorangan sudah
terinjak di desa kelahiran sendiri, yang sesungguhnya memiliki akar kuat
pada kultur dan nilai yang sudah melembaga dalam bentuk desa adat,
dengan tradisi yang menyatu dengan budaya hidup sehari-hari, norma, nilai
dan pandangan hidup yang tersirat dan terukir dalam simbol budaya atau
atribut adat yang bahkan bernuansa magis dan spiritual.
256
Gambar 7.19
Suasana pertokoan dan mal pada Hari Raya Nyepi. Sumber: Dok. IGNA Eka
Darmadi, 2007
Poskolonialitas dalam Kawasan Industri Pariwisata Kuta, menyatukan
kerangka studi dalam realitas sosial dinamika desa adat dan perkembangan
kawasan wisata, dengan penanda-penanda ‘poskolonialitas’, menarik semua
perhatian pada titik temu polemik nilai, konflik ruang, resistensi lembaga dan
representasi budaya masyarakat lokal, antara tradisional dan modern, spiritual
dan material, sakral dan profan, bahkan modern dan kontemporer atau
pascamodern. Penanda polemik ‘dan’ antara poskolonialitas pariwisata dan
politik identitas desa adat, menjadi titik temu antagonik skenario pariwisata
dengan skenario formasi penguatan identitas kultural desa adat. Investigasi
‘representasi
budaya’
pada
domain
tersembunyi
di
dalam
realitas,
menyatukan arah paradigma cultural studies penelitian yang emansipatif dan
politis dalam pembelaan identitas lokal, budaya dan pandangan ke-Indonesia-
257
an, atau masyarakat dunia ketiga yang disebut eks-koloni barat atau the
others dalam kaca mata barat.
Kajian kritis-emansipatif dengan metode kajian budaya atau cultural
studies, terlebih lagi dalam menyikapi lokal people dari perspektif pariwisata
dalam konteks Bali, akan menemukan masyarakat lokal yang kultural,
multikultural dan global. Posisi dan peran desa adat dalam hal ini, sangat
urgen untuk senantiasa diperjuangkan dalam kerangka politik cultural studies
dan studi poskolonial dengan konsep-konsep grounded dan paradigma
kekajian budayaan yang emansipatif dan multidimensional. Penggambaran
realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai
poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘halihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial. Adapun
lapangan
sasaran
studi
poskolonial, menukik
pada
proses
dominasi,
ambivalensi, ambiguitas, keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni,
menemukan fenomena yang searah pada fenomena kehidupan desa adat
dalam bentang kawasan pariwisata, dalam hal ini Desa Adat Kuta.
Makna poskolonial jika dikembalikan pada konsep Hall, C. Michael &
Hazel Tucker dalam “Tourism and Post Colonialism” (2004: 1-5), berasumsi
bahwa poskolonial lahir untuk menandai tantangan, yang awalnya berupa
tantangan sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary challenges to the
hegemonik power of the centre, yang tentu saja bukan merupakan fenomena
baru pada saat ini. Audiens poskolonial dalam studi sosial atau kajian budaya,
merupakan audiens sekaligus subjek. Seperti pembahasan-pembahasan pada bab-
258
bab sebelumnya, poskolonialitas ditandai oleh adanya; (1) dominasi pada ruang
lokal, (2) ketidaksadaran masyarakat lokal, (3) ambivalensi dalam realitas sosial
budaya lokal. Gambar 7.20 berikut, cukup mewakili representasi media massa
yang memiliki perhatian terhadap masyarakat lokal Kuta, termasuk para
akademisi dan intelektual Bali.
Gambar 7.20
Representasi ambivalensi Kuta dan Bali global. Sumber: Dok: T-Shirt
Jangkrik, 2009.
7.6
Diaspora Tanda Turistik Global : Diaspora Ruang Global
Sebagai konsekuensi metodologis dalam penerapan paradigma cultural
studies yang emansipatoris dan eklektis, yang merekomendasikan eksplorasi
realitas atas realitas yang dihadapi, bisa disampaikan temuan konseptual
teoritis grounded dalam hasil studi ini sesuai dengan nouvelty temuan-temuan
penelitian ini. Format penelitian ini berusaha menyambung tali temali
ontologis-epistemologis
dan
aksiologis
dalam
pencandraan
paradigmatik
secara eklektis dan sudah pasti postparadigmatis. Tekanan emansipatoris
259
dalam penelitian ini mendorong kiat-kiat entonagrafis untuk meneliksik
kesenjangan
fenomena
dan
cara
melihat
masyarakat
lokal
kawasan
pariwisata terhadap realitas, di mana sesungguhnya masih ada kesenjangan
makna; pariwisata, kawasan pariwisata, budaya pariwisata (Picard, 1997) dan
pariwisata budaya yang sudah dipertimbangkan sebagai modal budaya dalam
kehidupan global.
Modal budaya
yang yang dianalogkan dengan warisan budaya
tradisional (Semadi, 2009), dalam penelitian ini masih menjadi agenda
perjuangan politik identitas yang baru melihat pariwisata budaya sebagai
modal budaya masyarakat Bali. Kemampuan mengolahnya tergantung pada
kapasitas
pengembangan
sirkulasi
budaya
tradisional, modern
dan
postradisional, dan jejaring kapital atau modal-modal pendukung lainnya.
Seperti pembahasan pada bab sebelumnya, pentas-pentas kesenian yang
pernah berjaya pada tahun 1980an, sudah tidak bisa dikembangkan lagi pada
saat sekarang, karena semua warga harus berlari ’nyagjagin belin baas’ atau
mengejar nafkah untuk beli beras. Pendapatan dari pentas-pentas kesenian
sudah dikalahkan oleh omset sebuah warung makan atau toko pakaian,
cinderamata, dan lain sebagainya.
Dengan pertimbangan nouvelty dan kontribusi keilmuan, ’diaspora
tanda turistik’ diangkat sebagai temuan studi ini, dalam rangka konsekuensi
metodologis yang menggunakan konsep dan teori diaspora Bgarker (Barker,
2004: 207, 403) secara eklektis dan multiparadigmatis kajian budaya di antara
konstruk teori ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Analisis pasca paradigmatis
260
yang mengikuti fenomena obyek penelitian dan kultur masyarakat secara
ethnografis,
sangatlah labil untuk mendeskripsikan hasil penelitian secara
eksplisit, sehingga temuan Diaspora tanda turistik bisa mewakili titik temu
seluruh
fenomena
masyarakat
yang
tercatat
dalam
studi
ini.
Ketika
kontestasi tanda turistik diikuti oleh tanda komersial kapitalistik menjadi
budaya
kawasan wisata, bahkan bazaar turistik tidak asing lagi bagi
masyarakat lokal, fenomena kawasan pasar turistik tidak bisa ditolak lagi
sebagai
fenomena
pasar
global
yang
mempengaruhi
seluruh
domain
kehidupan, terlebih lagi kawasan atau destinasi turistik. Sehingga ditegaskan
kembali fenomena yang dihadapi dalam penelitian yaitu: (1) fenomena
dominasi ruang kawasan terhadap ruang budaya desa adat, (2) fenomena
konflik ruang turistik komersial kapitalistik di atas ruang budaya tradisional,
(3)fenomena perang tanda artifisial. Secara konseptual dan multiparadigmatis,
ketiga fenomena tersebut merupakan fenomena ambivalensi dalam representasi
budaya masyarakat lokal terhadap budaya kawasan pariwisata. Representasi
budaya masyarakat lokal dalam aspek tradisional, modern dan posmodern,
dalam studi ini, masih terbentur pada sulitnya memilah konflik ruang dan
perang tanda yang dikepung oleh dominasi pasar komersial turistik global.
Sebagai konsep baru dari hasil studi ini, Diaspora tanda turistik bisa
digunakan
sebagai
penanda
baru
dalam
melihat
ambivalensi
sebagai
fenomena, konsep dan akhirnya dalam temuan ini mengangkat ambivalensi
sebagi teori yang salah satu premisnya, keluar dari studi ini, yaitu Diaspora
tanda turistik yang berimplikasi pada (1) kompetisi marker turistik dalam
261
perang
tanda, (2)
diaspora
manusia
yang
diliputi
aspek
globalisasi
(Appadurai: Ardika, 2005, Featherstone, 2002), (2) gerak lintas waktu dan
ruang yang mencitrakan diaspora ruang turistik global, (3) konflik ruang dan
kepentingan, (4) dominasi kapital global (baca:
jaringan global)
yang
bergerak dengan mode komodifikasi, perang tandaan turistik, dan imagologi
makanistik.
7.6.1
Diaspora Ruang Global dalam Ruang Budaya desa adat
Titik kesenjangan makna tersirat sejak awal pada proposal penelitian
ini, yang
menyatu menjadi bab I, II, dan III, yang tersurat dengan lugas
dalam mengangkat ambivalensi sebagai satu aspek permasalahan dan focus
studi. Kegamangan atau ambivalensi kemudian dieksplorasi secara investigative
untuk menemukan kesenjangan makna yang erat kaitannya dengan representasi
masyarakat lokal kawasan pariwisata Kuta, khususnya di wilayah Desa Adat
Kuta.
Mobilitas masyarakat Kuta mencerminkan kehidupan global ke depan,
yang
dilengkapi dengan penggunaan media teknologi informatika dan
berjalannya
industri pariwisata dan komersial di kawasan wisata ini.
Pertemuan ruang dan waktu dari pagi hingga siang, sore dan penghujung
malam, masyarakat Kuta yang mencapai angka rata-rata: 40.000 orang per
bulan dalam catatan kependudukan di Kelurahan Kuta, menandakan adanya
ruang pemukiman yang berfungsi ganda yang bisa menjadi tempat bagi
mereka selama 24 jam untuk menetap. Hal ini dipastikan oleh Lurah Kuta
262
I Gede Suardika, sebagai angka rata-rata catatan penduduk di masing-masing
kelurahandi kawasan Kuta, kecuali Kedonganan yang lebih rendah catatan
penduduk musimannya. Kelurahan Kuta dan Tuban selalu melaporkan angka
penduduk musiman
yang tinggi, demikian juga
menyusul Legian dan
Seminyak dengan angka yang sedikit lebih rendah tetapi
dengan ruang
yang lebih sempit. Dengan intensitas kegiatan komersial dan pariwisata di
siang hari, angka 40.000 orang tentunya bertambah mencapai 50.000 orang
lebih di Kelurahan Kuta, demikian juga kondisi di kelurahan tetangga di
satu kawasan Kuta.
Dalam pemampatan ruang seperti sekarang ini, orientasi individu
tentunya sangat didominasi oleh pengaruh keberadaan turisme dan aktifitas
komersial. Bisa dilihat beberapa pengaruh dari pemampatan ruang oleh
gerak kehidupan kawasan dan komersial, yaitu:
A. Menguatnya
penanda
ruang
yang
didominsi
oleh
marker
pariwisata; cap dagang, nama cafe, nama hotel, nama agen wisata,
nama toko, nama mall, nama pub atau discothic, nama tempat
rekreasi, nama
apartemen, dan
nama
toko
yang
paling
mendominasi.
B. Penanda ruang tradisional (masih dipegang oleh kaum tua) yang
dikondisikan oleh penanda-penanda komersial dan pariwisata yang
semuanya
mendunia.
bisa
disebut
sebagai
marker
turistik
yang umum
263
C. Kekalahan ruang budaya desa adat yang menyebabkan beberapa
bentuk resistensi dan bahkan konflik ruang hingga konflik sosial
politik.
D. Kekalahan
waktu
tradisional
memaksa
adanya
konformitas
aktifitas adat terhadap aktifitas pariwisata yang menandakan harus
adanya adaptasi tinggi warga adat Kuta terhadap waktu modern
dan waktu global. Bahkan nomenklatur perarem atau pelaksanaan
teknis awig-awig pun harus mengakomodir kepergian dan domisili
warga banjar di luar negeri dan sebaliknya warga asing untuk
berdomisili di Desa Adat Kuta.
E. Totalitas ruang turistik yang harus diterima oleh masyarakat lokal
khususnya krama adat Kuta, yang menyangkut dominasi ruang
turistik dan komersial
kawasan wisata
Kuta
dengan segala
pemasangan marker turistik komersial di berbagai tempat di
lingkungan desa adat.
Tanpa
kemampuan
dekonstruktif
untuk
melihat
dan
memilah
fenomena perang tanda turistik dan konflik ruang, ambivalensi kawasan
wisata Kuta dalam cara melihat dan cara berpikir masyarakat Kuta, akan
semakin menumpulkan kesadaran masyarakat lokal dalam representasi diri
dan representasi kawasan sebagai ruang komersial kapitalistik global.
Keterpingiran di desa adat sendiri merupakan posisi ekonomi belaka
tanpa harus meniadakan identitas sebagai masyarakat lokal yang sudah
264
kehilangan ruang budaya. Karena advokasi budaya desa adat juga sudah
melawan dengan perang simbol budaya dan agama.
Kekalahan ruang budaya hanya diterima sebagai kekalahan peran
individu dalam ekonomi dan penguasaan pasar turistik kawasan Kuta, yang
terpaksa sebagai penonton secara ekonomi.
7.6.2
Diaspora Tanda Turistik Mencitrakan Diaspora Ruang Global.
Gerak ruang komersial-turistik dalam menjangkau seluruh kawasan,
audiens kawasan, berkompetisi dalam kawasan, dengan teknologi informasi
untuk pasar global. Pergerakan yang terjadi dapat dilihat dalam: penandaan
marker turistik, pencitraan Kuta pada nama dan design tempat, re-presentasi
tempat dan produk yang mengalahkan representasi budaya tradisional.
Cara melihat Kuta sebagai objek dalam hal ini, harus disatukan
dengan paradigma multitafsir terhadap fenomena yang kompleks, atau dengan
multiparadigma sosial yang juga mesti dikonfirmasikan dahulu kepada
masyarakat lokal atau masyarakat Desa Adat Kuta yang betul-betul bisa
melihat fenomena komersial-turistik di Desa Adat Kuta sejak awal (1960an). Sehingga cara pandang Kuta dalam studi ini merupakan cara pandang
paradigmatis yang multiparadigma, yang harus dan atau dikonfirmasikan terlebih
dahulu kepada masyarakat lokal.
Diaspora tanda turistik dalam lintas pertemuan waktu dan
yang
sesungguhnya
merupakan
gerak
lintas
ruang
kepentingan
ruang
yang
mangadu penandaan dan marker komersial-turistik sebagai alat sekaligus
265
modus pencitraan dalam komodifikasi maupun imagologi media promosi
komersial.
Hal
ini
belum
bisa
dilihat
oleh
masyarakat
lokal.
Bisa
digambarkan kontestasi tanda turistik mengkondisikan sebuah bazaar marker
atau tanda turistik, pasar turistik dan dalam tiga dekade (1990, 2000, 2010),
menguatkan fenomena yang dalam studi ini diangkat sebagai temuan yaitu
diaspora
tanda
turistik
yang
bergerak
semakin
kuat
dan
bervariasi
mengkondisikan semua ruang yang ada sekarang, baik pada ruang global,
modern dan tradisional.
Ideologi politik identitas dan ekonomi politik yang mendorong
peranan untuk pemetaan dan pengelolaan ruang terbuka dan pendapatan
desa, tentunya
bukan
berorientasi
pengembangan
modal
budaya, tetapi
praksis ekonomi politik yang berjalan berdampingan dan saling tergantungan
dengan politik identitas. Representasi politik yang menguat sejak tahun
1998, pasca resistensi orde baru dalam turisme pantai Kuta, mengambil
bentuk politik identitas Desa Adat Kuta, setelah berpisah dalam pemekaran
Kelurahan Kuta pada tahun 1988, menjadi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan
Kuta, Kelurahan Legian, dan Kelurahan Seminyak.
Menguatnya pola pasar global bagi masyarakat lokal, disikapi dengan
langkah
represif pada pematokan wilayah desa adat secara kultural dan
ekonom politik. Hinggar minggar musik glamor dan perang marker turistik
serta tandaan artifisial komersial kapitalistik menjadi salah satu indikator
dominasi kawasan turistik kapitalistik yang disikapi dengan representasi
politik dan ekonomi politik.
266
Asumsi penulis bahwa diaspora tanda turistik global akan terus
menguat dalam kehidupan kawasan ke depan karena semakin canggih dan
kuatnya modus operasi kapital ke dalam kawasan turistik Kuta, akan
beradaptasi untuk tampil menyatu dengan citra kawasan turistik. Semakin
meluas dan menguatnya kontestasi tanda turistik, walaupun dengan tandaan
artifisal, akan didorong oleh berbagai modus-modus ideologi kapital.
Ruang Posmodern / Global
Ruang Modern
Ruang
Tradisional
Gambar 7.21
(Lintas ruang-waktu tradisional, modern, posmodern/global)
Keterangan:
: Lintas waktu dan ruang tradisional
: Lintas waktu dan ruang modern
:
Lintas waktu global
267
Dengan cara pandang posstruktural dan poskolonial dalam studi ini,
bisa
direferensikan
temuan
Diaspora
tanda
turistik
yang
membangun
ambivalensi dalam representasi Kuta selama ini. Bahkan ruang pun nampak
bergerak dan menyebar atau diaspora karena saking kuatnya pencitraan
dalam ritual komodifikasi dan imagologi. Dalam hal ini, figurisasi pertemuan
ruang-waktu tradisional, modern dan pos modern di atas. Diaspora tanda
turistik bergerak dengan penyesuaian lintas
waktu dan bentuk ruang
tradisional, modern dan pos modern, yang kemudian dengan tekanan dan
pengaruh pasar global, bergerak tanpa batas ruang dan waktu.
7.6.3 Diaspora Ruang Global: Signifikansi dan Kontribusi Konseptual
Kontribusi temuan studi ini, dalam studi kajian budaya khususnya
studi poskolonial di Bali, untuk menguatkan lebih menguatkan cara pandang
atau paradigma teoritis kajian budaya terhadap; (1) Ambivalensi kehidupan
global, (2) Ambivalensi kehidupan kawasan turistik, komersial, kapitalistik, (3)
Bagaimana agensi budaya atau advokasi budaya dilakukan dalam lintas
ruang dan waktu global yang harus diadaptasi oleh pola kehidupan modern
dan kehidupan tradisional dalam kawasan turistik global, dan (4) Bagaimana
membangun kesadaran dengan orientasi masyarakat lokal yang sesungguhnya
nihil atau masih disorientasi. (5) Bagaimana representasi budaya masyarakat
lokal kawasan Kuta, dapat dipaparkan sebagai berikut:
A. Cara
melihat
realitas
sebagai
bagian
dinamika
masyarakat
tradisional, modern dan global, merupakan cara melihat masyarakat
268
adat
Kuta
yang
masih
terpengaruh
dan
berpengaruh
pada
representasi kolektif Kuta sebagai kelurahan dan desa kawasan
wisata.
Representasi budaya
masyarakat lokal Kuta masih
diwarnai pola pemikiran tradisional dengan prinsip-prinsip, nilai
budaya dan pandangan hidup, disamping hegemoni pemerintah
melalui
wacana
pariwisata
budaya, sirkulasi
budaya
kawasan
wisata, dan destinasi wisata yang melegitimasi dominasi ruang
turistik komersial dan kapitalistik.
B. Perubahan orientasi tanpa pijakan jelas, diposisikan sebagai arah
berpikir, sikap dan pandangan masyarakat yang disadari atau tidak
disadari, sedang mencari bentuk dan formasi identitas dalam
proses transformasi sosial budaya.
C. Representasi
Masyarakat
Kuta
dalam
politik
identitas, baru
diartikulasikan dalam representasi kolektif sebagai politik budaya
(baca: strategi kebudayaan), yang sesungguhnya telah dipraktikkan
secara koersif dengan referensi resistensi, konflik, dan terorisme
yang pernah terjadi di Kuta. Ideologi ini menjanjikan berlanjutnya
perjuangan
politik
identitas
masyarakat
lokal
Kuta, untuk
menghadirkan kembali, penyikapan, pemosisian masyarakat lokal
dalam ruang budaya Kuta yang selama ini diposisikan sebagai
ruang publik Kuta dan ruang kawasan wisata global.
D. Masyarakat lokal Kuta yang multikultural, dikonsolidasikan oleh
Desa
Adat
Kuta
secara
persuasif
dan
kultural
dengan
269
mempertimbangkan
kepentingan
berbagai
pragmatis
perbedaan
khususnya
etnis, agama, dan
dalam
kaitan
industri
keramahtamahan.
Arah Penandaan Tempat dan Ruang yang selama ini dipertimbangkan
secara kasat mata dan mekanis, bahwa ruang bergerak dan berlari, hanya
merupakan efek citraan mekanik dan pengaruh ideologis komodifikasi.
Ruang mengecil dan bergerak merupakan ruang citraan dan ruang jejaring
maya mekanis. Waktu menguat karena manusianya semakin kuat dan
banyaknya
sirkulasi
kepentingan
ekonomi
kapitalistik
dengan
variasi
kepentingan kelompok dan individu yang terlibat, sesungguhnya mengecilkan
posisi dan gerak individu karena dalam diaspora tanda turistik, individu
menjadi obyek complement atau pelengkap dalam penandaan dan pencitraan
ruang-ruang terkait.
Degradasi makna budaya tradisional yang diikuti dengan kegamangan
budaya modern sampai pada ambivalensi global tidak akan pernah terungkap
tanpa dekonstruksi perang tanda dengan penandaan artifisial atau tandaan
dalam komodifikasi dan imagologi mekanis. Sebagai bagian dari masyarakat
pragmatis dan komsumerime, Kuta sebagai penanda destinasi dan budaya
turistik global, harus didekonstruksi terus oleh para tokoh dan intelektual
Kuta, untuk menemukan karakter Kuta dan keseimbangan makna Kuta
sebagai desa adat, desa dinas atau kelurahan, dan sebagai ruang ekonomi
sumber pendapatan desa dan daerah.
270
Secara refleksif, akhirnya temuan ini dikontribusikan untuk studi-studi
dalam cultural studies, bahwasanya cultural studies atau kajian budaya sarat
akan konsep teoritis eklektik yang sarat akan metode analisis semiotik,
ethnografis, dekonstruksi, dan refleksif, seperti dideskripsikan oleh Barker
(2004: 10–19) yang bisa diposisikan dan dimaknai kembali dalam studi ini,
sebagai berikut;
A. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda dan penandaan
yang sangat penting sebagai titik point wacana dan titik
pandang makna dan pemaknaan dalam analisis, khususnya
dalam cultural studies yang sarat tafsir makna dan pos
kolonial
yang
refleksif
dan
sarat
rekomendasi
emansipatoris.
B. Ethnografi senantiasa menjadi metode, nafas dan energi
yang disadari atau tidak dalam studi ilmu-ilmu sosial.
Cultural studies sangat memerlukan ethnografi untuk studi
yang
bersifat
mikro
maupun
makro, sehingga
sangat
menguatkan cara pandang dan analisis secara ontologis
yang bisa menentukan penggunaan paradigma dalam studi,
dari obyek ke subyek, atau dari ruang ke penandaan.
C. Dekonstruktif merupakan ciri analisis cultural studies atau
kajian budaya yang sarat tafsir sosial dan pemaknaan
setiap tanda dan representasi, sehingga dengan ethnografi
objek yang lengkap, bisa dimemposisikan kembali semua
271
tanda yang real, kemudian mendekonstruksi objek dengan
seluruh representasi dan pemaknaan yang tidak real, untuk
mengemBalikan
objek
pada
posisi
makna
yang
sesungguhnya (baca: sesuai locus studi dan manusianya)
Konsep refleksif merupakan ciri tulisan kajian budaya yang
emansipatif, keluar dari narasi konseptual teoritis dan pasca filosofis
sesuai fenomena yang dihadapi, sehingga dengan temuan Diaspora
tanda turistik, sesungguhnya merekomendasikan penggunaan narasi
konseptual-teoritis dalam kajian budaya untuk melekatkan ’pesan’ dan
pemaknaan refleksif dalam setiap studi.
7.7
REFLEKSI
Pariwisata
Bali
mewakili
fenomena
kepariwisataan
di
negara
berkembang, yang tumbuh bersamaan dengan pengadaan infrastruktur negara
dan daerah. Pengkondisian segala fasilitas kawasan pariwisata, kemudian
mengkondisian desa adat sebagai kampong turistik yang diupayakan terus
menjadi eksotik hingga sekarang. Turistifikasi semua sudut ruang dan
potensi
kawasan, membentuk
ambivalensi
dalam
representasi
budaya
masyarakat lokal atas fenomena di depan matanya.
Dilema kehidupan kawasan Kuta bagi masyarakat lokal dalam realitas
sosial budaya yang multidimensional ini, memposisikan masyarakat adat
dalam garis marginal di lingkungan mereka sendiri. Representasi identitas,
peran, dan posisi
subjektifitas
personal
mereka
masing-masing
menjadi
272
semakin
lemah dalam dominasi ruang turistik, komersial dan kapitalistik.
Kemandegan komunikasi dan konsensu komuniti, terbentur ambivalensi dalam
kesadaran kolektif-komunitas mereka dan krisis kepercayaan diri. Perubahan
berjalan sangat cepat, melewati dinamika sosial dalam karang desa atau ruang
budaya mereka.
Eksplorasi
berbagai
konstruksi
sosial
dalam
penelitian
ini,
mengantarkan studi pada wacana pariwisata yang relative sama dengan
kawasan lainnya di Bali, tetapi berbeda dalam sikap dan resepsi budaya turistik
pariwisata. Wacana kebijakan dan manajemen kawasan pariwisata, termasuk
mode-mode
komersialisasi
dan
turisitifikasi
potensi
kawasan, hampir
menguatkan ambivalensi tersebut di atas. Tanpa penggunaan konsep-teori
posstruktural dalam tesis ini, berbagai kegamangan dan kejanggalan kehidupan
kawasan akan larut dalam kemapanan turistik dan gemerlap eksotik pasar
wisata Kuta.
Investigasi cultural studies mengantarkan studi pada temuan domaindomain
signifikan
dalam
kehidupan
masayarakat
kawasan
pariwisata.
Sehingga masyarakat kawasan mesti dibagi menjadi; -masyarakat lokal atau
host, dan masyarakat pengusaha dan pekerja (casa grande and labour ).
Pengajuan temuan dalam penelitian ini, bertolak dari nouvelty dan tanggung
jawab
emansipatoris
konsep-konsep
dengan
perjuangan cultural
aplikasi
teori
studies, konsekuensi
secara
pemakaian
eklektk. Sehingga
amanat
multiparadigmatis, mendorong untuk adanya konstruk temuan tesis yang
fenomenal, konseptual dan teoritis. Secara mekanis, temuan ini menawarkan
273
pemaknaan baru yang merekomendasikan ruang baru dalam penelitian dan
studi kawasan pariwisata.
Intriguing
phenomenon
of
tourism(Cohen, 1998)
atau
fenomena
pariwisata yang selalu menarik perhatian, tentunya tidak dikuatkan lagi oleh
tulisan
ini.
Karena
ambivalensi
yang
selama
ini
berkembang
dalam
ketidakberdayaan cara pandang subyektifitas personal dalam masyarakat
lokal, dibuka satu per satu dari konstruksi- multidimensional-nya. Demikian
juga
pemetaan posisi leadingsector,
multiplying
effect(McCintosh),
dan
keberadaaan pariwisata sebagai panglima atas semua sektor yang bergerak
terus dengan gravitasi global.
Agensi pemberdayaan masyarakat lokal Kuta, dibangun terus oleh
para aktor adat, aktor politik dan sosial budaya yang berusaha menyatu
dalam solidaritas dan konsensus politik budaya. Perhitungan time and space
dalam agensi masyarakat adat, menarik urgensi transformasi nilai dan
kearifan budaya dalam bingkai politik budaya dan ekonomi politik desa
adat dalam kancah glokal. Dalam menakar kembali segala potensi dan
sumberdaya Kuta, segala kepentingan dan sasaran atau interest and goal
attainment
menjadi
consensus
dan
pertimbangan
pencapaian
bersama.
Multiplying income suatu saat akan menjadi rasio baru dalam consensus
masa depan, ketika seluk-beluknya diketahui, sementara sekarang menjadi
bagian ambivalensi dalam kesadaran kritis mereka.
Memperhatikan proses akulturasi dan artikulasi budaya dalam politik
representasi masyarakat lokal, menemukan proses transformasi budaya dalam
274
perubahan cepat dengan gemuruh mesin turisme dan deru berbagai bentuk
operasi komodifikasi dan tusitifikasi di kawasan pariwisata. Hal ini menjadi
penanda masih lemahnya ruang public masyarakat lokal Kuta. Praksis
budaya dalam representasi budaya masyarakat lokal, masih diwarnai oleh
transhabitus tradisional ke penemuan habitus-habitus baru (baca: instant dan
mekanik) dalam proses transformasi dan perubahan cepat. Hanya beberapa
tokoh
masyarakat
adat
yang
kritis, bisa
melihat
adanya
kejanggalan
implentasi kebijakan pembangunan (baca: sebutan masyarakat lokal) di
lingkungan desanya.
Krisis ruang publik berimplikasi pada lemahnya kontrol masyarakat
sebagai publik terhadap kebijakan publik yang diberlakukan di kawasan di
mana desa adat mereka ada. Pendekatan etnometodologis dalam penerapan
prinsip-prinsip etnografis, menemukan sudut-sudut ruang publik Kuta yang
ambivalen, dengan titik-titik representasi budaya publik Kuta yang plural.
Apa yang menjadi tekanan Habermas dalam teori kritis hingga teori
tindakan komunikatif, menuai kelemahan-kelemahan ruang publik dalam hasil
temuan penelitian ini.
Globalisasi, glokalitas, dan perdagangan bebas bagi masyarakat awam
dianalogikan dengan pariwisata yang sudah diterima sebagai budaya turistik
global. Kepariwisataan
sebagai
terminal
perhatian untuk melihat bagaimana
budaya
global, menarik
segala
interaksi dan transfromasi budaya
masyarakat lokal di kawasan-kawasan pariwisata. Setelah melihat adaptasi
dan bekerjanya agensi budaya oleh para aktor politik budaya di dalamnya,
275
praksis budaya glokal hanya merupakan representasi budaya para elit
masyarakat lokal yang sangat intelektual yang bisa melihat semua fenomena
tanpa ambivalensi. Adaptasi intelektual berawal dari tumbuhya budaya
kawasan pariwisata, yang berupaya menyatukan semua potensi dan prospek
sebagaimana harmoni pertemuan harapan dan kenyataan dalam wacana
kebijakan pemerintah dalam pariwisata.
Ketika
semangat
negara
adat
masih memerlukan
energi
untuk
menghidupi negara destinasi wisata global. Komunitas terbayang dalam
negeri destinasi, di-real-kan oleh progresifitas komodifikasi dan turistifikasi
dengan berbagai varian simulasi dan mistifikasi mode dan produk wisata di
dalamnya. Penanda komunitas negara bangsa hanya bekerja dalam intensitas
yang rendah dan momen-momen formal saja. Kesadaran kebangsaan inilah
yang menguatkan kegelisahan atas segala bentuk dominasi dan hegemoni
dalam ambivalensi kawasan, yang mengiakan kembali posisi ‘terjajah dan
tersingkirkan’ bagi masyarakat lokal yang lemah secara ekonomi dan
intelektual. Ketika representasi budaya lokal tidak mendapatkan momen yang
maksimal, politik identitas menguat sebagai lanjutan representasi budaya.
Representasi politik lahir dari mode ekonomi politik yang memediasi
berbagai kepentingan kelompok dan kebutuhan pragmatis individu dalam
komuniti. Representasi politik menjadi energi penggerak dalam praktik ekonomi
politik, di sisi lain politik budaya (baca: sebutan lokal) mengkondisikan budaya
politik yang ‘berkearifan’ melanjutkan gerakan ’si ekonomi politik’ yang
bermetamorfosis dalam varian-varian bentuk representasi politik dan politik
276
representasi. Sehingga dengan penundaan makna atau difference, temuan di
atas
bisa
menghentikan
sementara
pengejaran
makna
dalam
format
eksplorasi betuk, fungsi dan makna budaya, yang semuannya digarisbawahi
dengan
budaya
kawasan
pariwisata di atas permukaan representasional
kehidupan lokal.
Temuan penelitian ‘budaya kawasan pariwisata’ yang merupakan rincian
dari budaya turistik (Picard, 1992) membuka
ruang berpikir
baru untuk
menarik semua fenomena kepariwisataan ke dalam matriks budaya kawasan
pariwisata. Sehingga kemungkinan commonsense dan apriori bisa digantikan
dengan energi emansipatoris yang tepat dan cermat dalam ‘membidik’
sasaran kritrik, advokasi, dan sedikit provokasi keilmuan. Terlebih lagi untuk
masuk pada poskolonialitas pariwisata dan fenomena yang kongruen lainnya.
Konsep budaya pariwisata yang ditawarkan oleh Picard, masih lemah
untuk dipertanggung jawabkan secara metodologis. Karena jejak-jejak operasi
wacana pariwisata, kebijakan dan ekonomi politik yang digarisbawahi dengan
budaya pariwisata, masih putus-putus dalam keterhubungannya sebagai satu
hubungan
fenomena.
Semangat
dan
amanat
emansipatifnya, sangat
mendorong usaha dan membangkitkan energi konseptual dan eksploratif.
Diaspora tanda turistik dan diaspora ruang global sebagai temuan studi ini,
dapat direpresentasikan bersama, bagaimana pariwisata Bali khususnya Kuta,
akan semakin kuat dan sangat
kompleks
menutup
kesadaran-kritis untuk
menyikapi, kontrol dan menata kawasan pariwisata khusunya dan Bali secara
multidimensional. Kuatnya pengaruh pencitraan dan komodifikasi
sebagai
277
mode produksi dagangan pariwisata, pada kenyataannya, memojokkan posisi
masyarakat lokal dalam kelemahan representasi budaya dan artikulasi masalah
simbolik, ruang budaya secara fisik, dan arena tanda budaya global di dalam
desa adat.
Bali menjadi pulau yang sarat kepentingan dan dinamika berparas
global, protokoler, turistik, dan
hedonis
(Darmadi, 2008).
Demikian
representasi outsiders dalam melihat Bali dari ”cermin-cermin turistik”
kawasan wisata yang sudah berwajah global village seperti, salah satunya
dan terutama, Kuta. Sebuah satir dari Redi Panuju berusaha menggugah
kesadaran masyarakat lokal kawasan Kuta dengan sebuah novel kurban yang
berjudul “Bali Surga para Anjing” (2007). Kulit luar novel kecil ini
menyoal sosok turis (bule) yang mengenakan bikini dan membawa sebuah
papan selancar. Kepala anjing yang digunakan untuk menggantikan kepala
turis
tersebut
menunjukkan
resistensi-radikal
outsiders
yang
melebihi
resistensi insider. Dalam ruang kritis intelektual Bali, memang kehadiran
novel pendek ini menyambung keterbatasan representasi insiders untuk
menembus pagar etika dan santun-bahasa di Bali. Penanda satir anjing
berhasil menyaingi bahkan menggoyang ikon-ikon pariwisata dan penanda
regulasi-kebijakan pariwisata yang sangat mendominasi dan hegemonik,
termasuk
ikon
bikini
yang
mau
dimatikan
dengan
kepala
anjing.
Keterpinggiran dan kekalahan masyarakat lokal kawasan wisata sangat
mendapatkan perhatian mendalam Panuju, dengan segala kekurangan dan
keterbatasannya.
278
Revitalisasi
membangun
civil
modal
sosial
community
merupakan
untuk
dapat
kekuatan
yang
meningkatkan
mampu
pembangunan
patisipatif. Dengan menggunakan basis modal sosial (Fukuyama, 2004)
berupa trust (kepercayaan), ideologi, dan religi. Modal sosial mengandung
kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral.
Ini mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan
pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen
lingkungan. Modal sosial juga sebagai alat untuk memahami aksi sosial
secara
konseptual
yang
mengombinasikan
perspektif
sosiologis, politik,
budaya, dan ekonomi. Pengertian ini dipertegas dengan nilai dan kearifan
lokal Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmonis antara manusia
dengan Tuhan, dengan lingkungan, dan sesama manusia. Manajemen desa
adat direvitalisasi terus secara konstruktif, dengan pertimbangan segala
kelemahan dan kelebihannya, untuk bisa digunakan terus sebagai media
penggerak semua modal sosial dan modal budaya dalam proyeksi ekonomi
politik dan ekonomi budaya Bali ke depan.
Dalam pandangan ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat
menguntungkan atau menghasilkan. Dengan pendekatan konstruktivis, modal
belum final bila dilihat hanya dari aspek ekonomi, tetapi
secara sosiologis
(Bourdieu; Harker et al, 2005) dapat diperhitungkan menjadi (1) modal
material: uang, gedung, barang, (2)
modal budaya: kualitas pendidikan,
kearifan lokal, manajemen organisasi desa adat, pariwisata budaya, (3) modal
sosial: kebersamaan, kewajiban sosial
yang diinstitusionalisasikan dalam
279
bentuk
kehidupan
bersama, peran, wewenang, tanggung
jawab, sistem
penghargaan, dan keterikatan lainnya, yang menghasilkan tindakan kolektif.
Kebersaman, solidaritas, toleransi, dan semangat kerjasama yang menyatu
dalam tradisi menyama braya merupakan modal sosial yang melekat dalam
kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan
menjadi indikasi krisis kesatuan masyarakat desa adat, yang dicekoki oleh
individualisme dan krisis subjektivitas personal sebagai elemen publik.
Polemik personal atas Kuta between nation and destination (Darmadi, 2007)
pun menjadi penanda ambruknya ikatan sosial budaya sebagai energi modal
sosial dan budaya yang tersimpan dalam desa adat yang menjadi kerdil di
Balik the establishment of touristic destination atau berdiri mapannya
kawasan wisata. Wacana negara bangsa tentu lebih jauh dari harapan para
founding father.
Dengan pendekatan dekonstruktif, bikini digunakan sebagai stimulasi
penyadaran
yang
netral
lantaran
kekuatan
simulasi-turistiknya
terbukti
menjadi tiket bagi pemakainya untuk tidak disebut telanjang, melalung atau
nude. Tanpa kesadaran tentang penanda budaya, tentunya melasti Desa Adat
Kuta akan tidak pernah bersih seperti sekarang, yakni bersih dari tanda
turistik dan komersial, walaupun proses perubahannya melewati konflikkonflik kecil. Secara semiotik, poskolonialitas atau realitas pariwisata sangat
menarik dilihat dari ”lubang bikini” dalam arti secara non-binary opposition
dan keniscayaan
atas
distingsi atau
keragaman
nuansa
budaya
yang
menerima kebusukan, kenistaan polusi budaya, di mana sesungguhnya bisa
280
ditemukan kembali solusi budaya
(Darmadi, 2005)
yang kuat dengan
pegangan nilai rwa bhineda dan kebinekaan budaya. Seperti dharma usadha
di Bali, untuk mengobati penyakit kritis yang menahun, seorang Balian harus
bertanya pada penyakit itu sendiri.
Polusi-polusi budaya sering dilewati bahkan tidak pernah muncul
dalam cermin pariwisata budaya, atau karena ”cermin itu keburu retak”
(Pitana, 2000)
oleh
panasnya situasi kompetitif dalam kehidupan kawasan
turistiktik Kuta. Sensasi dan perubahan adrenalin kaum hawa kelas menengah
Kuta mungkin berhasil meningkatkan energi untuk terus bekerja sambil
menyama braya atau justru menjadi individualis dan eksklusif bila memakai
bikini. Benar atau tidak, itu hanya ilustrasi penulis bersama Made Karma
yang sangat bersemangat dengan konsep-konsep penulis. Renungan dalam
diskusi kecil dan sms (pesan singkat telepon genggam) bersama para tokoh
masyarakat
Kuta
menjadi
penyadaran
pemuda
Kuta
tugas
tetap
penulis
sudah
tumbuh
untuk
sehingga
Kuta.
tidak
Minimal,
terjadi
lost
generation, dan tidak common sense, termasuk doyan memakai bikini juga
bukan mimikri lagi tetapi
sudah melihat diri sama dengan tourist sebagai
pemilik kawasan wisata sekaligus kampung halaman Kuta. Gaya hidup
global yang diakui sebagai hasil didikan media, sama halnya dengan teks
kontemporer yang tidak bisa tidak diungkapkan sesekali sebagai representasi
intelektual, kecuali disebut masyarakat tertutup.
Selain
menyikapi
gerak
kapitalisme
global, media Bali
Post
mengharapkan Gubernur harus bisa mengelola modal sosial dengan semua
281
kearifan budaya dan lokal genius untuk menggerakkan pembangunan Bali
yang jagadhita. Artinya, bagaimana pemimpin bisa menyejahterakan rakyat
tanpa polusi dan kehabisan sumberdaya alam tetapi dinamis tanpa kehilangan
jatidiri. Nilai panutan dan etika pemimpin masih relevan dalam masyarakat
kontemporer ini, yang terasa ambar lantaran degradasi budaya sudah mulai
menggerogoti mentalitas budaya individu. Potret diri Bali selama ini adalah
pelanggaran norma, krisis kepemimpinan, kerenggangan hubungan sosial, dan
dehumanisasi. Kondisi ini menyebabkan kontrol sosial lemah, sentimen
kelompok, individualisme, dan materialisme semakin buas. Terjadi egoisme
sektoral para pemimpin, di mana kondisi ini akan menyebabkan anomali,
resistensi dan pembangkangan, konflik, hingga perilaku menyimpang.
Revitalisasi desa adat patut mendorong kualitas partisipasi, kontribusi,
dan daya kontrol masyarakat agar mampu memainkan agent of change
dalam menggerakkan potensi ekonomi lokal dengan lokal genius. Harapan
bias pasih toris di Kuta juga tentunya melewati berbagai renungan dan
refleksi masyarakat lokal dan para intektual dan pelaku pariwisata, untuk
menakar ulang pariwisata budaya sebagai modal budaya baru bagi masa
depan Bali.
Menguatnya representasi outsiders tentang Bali, khususnya Kuta,
mendorong pengamatan sekaligus penelitian ini di desa turistik Kuta.
Penandaan Kuta sebagai ikon wisata Bali, mengiakan juga Kuta sebagai
global village yang mengakar, tumbuh dan cair dengan budaya turistik,
konsumeris dan kapitalistik.
282
Semangat
memperjuangkan
indigenous
kekajian
budayaan
masyarakat
lokal
culture, menarik
atau cultural
dengan
perhatian
budaya
pada
studies
untuk
tradisionalnya
poskolonialitas
atau
sebagai
unarticulated problem dalam ruang abu-abu yang belum terpikirkan dan
belum tersentuh oleh kesadaran masyarakat lokal. Sisanya hanya menjadi
penyulut
kegelisahan
dan
kebimbangan
manusia
Kuta
yang menerima
semuanya sebagai sebuah kekalahan dan keterjajahan.
Berbagai bentuk dan warna pajangan produk konsumerisme turistik,
aroma aneka masakan untuk para bule dan ekspatriat global, menutup ruangruang kritis masyarakat lokal. Debur ombak dan angin malam mengingatkan
insan Bagiana Karang, Mastra, Mangku Tama, Wendra, dan tokoh muda
lainnya untuk menyikapi kenyataan dan bertanya serta menyadarkan seluruh
saudara dan warga desa untuk meyakinkan diri atas identitas dan tradisi
yang dimiliki di tanah pesisir Kuta.
283
BAB VIII
SIMPULAN, SARAN, REKOMENDASI
8.1 SIMPULAN
Representasi
budaya
tradisional
masyarakat
lokal
khususnya
masyarakat desa adat Kuta yang disebut krama, sarat dengan transformasi
kehidupan yang kompleks. Posisi kekalahan ruang budaya atau karang desa
dalam dominasi kawasan turistik komersial kapitalistik, menguatkan dasar
advokasi dengan pijakan emansipasi masyarakat lokal kawasan pariwisata
Kuta yang sangat plural. Representasi budaya mengahadirkan kembali ruang
dan subyek budaya dengan posisi dan peranannya secara kultural, ekonomi,
dan politik. Tertutupnya representasi budaya masyarakat lokal kawasan Kuta
pada permukaan sudah bisa diasumsikan adanya dominasi ruang kawasan
dengan dinamika ekonomi turistik, komersial dan kapitalistik.
Dengan formasi identitas dan doxa atau ideologi budaya dalam
kesadaran masyarakat lokal (baca: gerakan elit desa), dominasi ruang budaya
turistik
komersial
disikapi
secara
ideolologis
dan
represif.
Resistensi
ekonomi turistik yang pernah menguat ’angkat bendera’, mengambil bentuk
representasi politik dan ekonomi politik desa adat. Langkah tegas dengan
wacana
emansipatif, mengiyakan
penjajahan
baru
yang
harus dihadapi
dengan politik budaya. Transformasi budaya lokal ke global, memberikan
perspektif ekonomi politik dalam studi ini.
283
284
Poskolonialitas sebagai realitas keterpinggiran posisi, terdominasi dan
terhegemoni, membuka ruang kesadaran kolektif komunitas untuk mereposisi
diri dan merepresentasikan diri secara kolektif. Politik representasi menjadi
energi awal politik identitas desa adat atas kesadaran masing-masig individu
untuk bersatu menggalang kekuatan. Kekalahan masyarakat lokal yang
disuarakan oleh media massa, diiakan sebagai representasi outsiders yang
belum memasuki area ekonomi politik, tetapi
tetap diagendakan dalam
menyikapi perjalanan Kuta ke depan sebagai kampung global atau global
village dan kawasan pasar turistik global.
Politik identitas desa adat dipandang wajar sebagai gerak dinamis
dalam representasi masyarakat lokal dan formasi identitas manusia global.
Konformitas nilai budaya tradisional dan budaya turistik global, merupakan
berterimanya masyarakat lokal terhadap pertumbuhan kapitalistik kawasan
pariwisata, yang disambut dengan
politik identitas dan ekonomi politik desa
adat. Pasar turistik global yang ditandai oleh lintas kompetisi marker
turistik global, tandaan(baca: tanda artifisial) komersial global, dan budaya
turistik global yang hedonis glamor, dilihat sebagai gerak politik ekonomi
kapital oleh krama desa adat. Kesadaran bathin kultural ini ditumbuhkan
sendiri oleh hawa hiruk-pikuk kehidupan kawasan yang kelewat batas moral
dan etika ekonomi. Tuduhan gravity kawasan Kuta yang menarik banyak
pengikut usaha berlabel wisata, mengharuskan krama untuk bersiaga dan
bersahaja dalam penyadaran budaya dan advokasi identitas kultural.
285
Dengan pijakan ekonomi politik desa adat dalam politik identitas,
diangkat temuan ”Diaspora Tanda Turistik: Diaspora Ruang Global” dalam
proses Kuta menjadi kawasan pasar turistik global. Sebagai kontribusi
pemahaman baru terhadap studi kepariwisataan dan kawasan secara umum,
temuan ini memposisikan ruang-ruang budaya lokal sebagai ruang-ruang
yang hilang bila masyarakatnya tidak bisa memetakan peta politik identitas
dan
ruang
ekonomi
politik.
Berkibarnya
bendera
politik
representasi
masyarakat lokal, akan membangun romantika republik-republik kecil atau
komunitas terbayang dalam kawasan kapitalistik global.
Tri Angga masyarakat sipil Kuta dipertimbangkan pada posisi bergerak
dengan dinamika masing-masing pihak sebagai stakeholder. Keseimbangan
domain politik, ekonomi dan budaya dalam konsepsi Three Folding (Perlas,
2002), Tiga Pilar (Mudana, 2005), dan Masyarakat Tri Sula (Wisnu Murti, 2010),
menjadi pertimbangan reposisi subyektif masyarakat sipil dalam kebijakan dan
pembangunan masyarakat sipil dalam era global. Tri Angga dalam tesis ini
berpijak pada (1) dinamika representasional ketiga pihak dalam ’sengketa’ makna
budaya, (2) angga
atau bagian tubuh (diri) masyarakat sipil khususnya
masyarakat lokal kawasan Kuta, (3) indigenisasi metodologi dalam representasi
masyarakat lokal dengan berbagai kearifan lokal yang masih hidup di dalamnya,
menginspirasikan Tri Angga keluar dari indigenisasi metodologi dalam
representasi atau pemosisian subyek masyarakat lokal Kuta yang sarat dengan
nilai ; (1) kearifan lokal, (2) budaya lokal, (3) warisan budaya sebagai basis
286
pariwisata budaya sebagai modal budaya baru, terakhir (4) angga merupakan
identitas kolektif dan individu sebagai tubuh sosial krama desa atau pekraman.
Dalam
signifikansi
methateori
sosial,
teori
poskolonial
sudah
mengantarkan studi ini sebagai pisau analisis sekaligus sebagai alat konstruk
konsep dan pengembangan semua teori pada eksplorasi realitas yang ada.
Pembahasan pada setiap bab sudah sampai pada ruang ideologi budaya dan
ekonomi politik baru dengan meminjam konsep Caporoso et al. Demikian juga
teori praktis Bourdieu sudah memberikan konstruk konsep lingkungan atau
habitat pada angel atau aspek analisis gerak budaya pada teori strukturasi
Giddens, teori poskolonial dan teori kebijakan publik Wayne Parson. Teori
posstruktural dalam studi ini berhasil menajamkan setiap analisis teoritis,
sekaligus mendapatkan makna baru dalam penerapannya dalam ranah kehidupan
Timur atau masyarakat lokal Kuta.
8.2 SARAN
Masyarakat
lokal
khususnya
krama
desa
adat
harus
bisa
mengelola potensi desa di dalam kawasan wisata, mulai dari penataan
lingkungan pemukiman para pendatang hingga sedapat mungkin menata posisi
alat-alat promosi wisata dan komersial yang permanen maupun sementara di
wilayah desa adat atau kelurahan.
Pengusaha yang berkepentingan dengan keberlanjutan kawasan Kuta,
287
agar memahami latar belakang budaya dan karakter masyarakat Kuta, untuk bisa
mengambil langkah nyata untuk membantu dan memberdayakan masyarakat
lokal sebagai tuan rumah kawasan yang bermartabat.
Pemerintah
sebagai
penentu
kebijakan
dan
stakeholder
kunci
pembangunan, agar melakukan kajian evaluasi menyeluruh sampai pada
penggunaan
pembangunan
bangunan
fisik
dan
areal
pantai, tidak
hanya
berhenti
pada
saja. Hubungan pemerintah, pengusaha dan masyarakat
dalam tesis ini disebut Tri Angga Masyarakat Bali khusunya masyarakat lokal
Kuta. Tri Angga merupakan tiga bagian tubuh sekaligus subyek sosial masyarakat
yang juga bisa disebut pekraman sebagai sebutan lokal untuk komunitas dan
penduduk.
Wisatawan bisa belajar banyak tentang kehidupan dan hidup orang
Bali, khususnya proses transformasi budaya, dimana warisan budaya tradisional
masih kuat melekat, karena masih menyatu dengan karakter, identitas, dan ruang
budaya komuniti atau desa adat. Walaupun Kuta sudah didominasi dan tertutup
oleh ruang dan bangunan kawasan turistik, kearifan lokal dan warisan seni
budayanya masih melekat kuat dengan nuansa magis dan spiritual.
8.3 REKOMENDASI
Merekomendasikan
secara
keilmuan,
studi
pariwisata
patut
mengembangkan konsep multidimensional untuk menyikapi dinamika global,
sebagaimana halnya kajian budaya melihat pariwisata yang multidimensional
dari lokal sampai global.
288
Merekomendasikan konsep Tri Angga Masyarakat Bali dalam domain
kebijakan
masyarakat
publik
sebagai
khususnya
di
domain
bersama
kawasan
pemerintah, pengusaha, dan
pariwisata. Tri Angga keluar dari
indigenisasi metodologi dalam representasi atau pemosisian subyek masyarakat
lokal Kuta yang sarat dengan nilai ; (1) kearifan lokal, (2) budaya lokal, (3)
warisan budaya sebagai basis pariwisata budaya sebagai modal budaya baru,
terakhir (4) angga merupakan identitas kolektif dan individu sebagai tubuh sosial
krama desa atau pekraman.
Advokasi budaya dan emansipasi masyarakat lokal kawasan wisata,
patut
dilakoni oleh seluruh penentu kebijakan bersama masyarakat lokal
khususnya desa adat setempat. Demikian juga studi atau penelitian dalam
bidang ilmu sosial di desa atau kawasan ini, patut mengangkat permasalahan riil
Kuta.
289
DAFTAR PUSTAKA
Agger, Ben., 2003, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Althusser, Louis., 2004, Tentang Ideologi: Marxisme Struktural, Psikoanalisis,
Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra
Amin, Samir., 2005, Unity and Changes in The Ideology of Political
Economy, dalam
Cultural
Studies:
from
Theory to
Action. Pepi
Leistyna (ed.) USA: Blackwell Publishing Ltd., hal. 19 - 28
Anderson, Benedict. 2001, Imagined Community: Komunitas-Komunitas
Terbayang. Yogyakarta: Insist
Appadurai, Arjun, 1993, Disjuncture and Difference in the Global Cultural
Economy, dalam
Global
Culture: Nationalism, Globalization
and
Modernity. Mike Featherstone (ed.) London: SAGE Publications, hal.
295-310
Apostolopoulos, Y., Leivadi S, et al. (ed.) 2002, Sociology of Tourism,
New York: Routledge
Ardika, I Wayan (ed.), 2003, Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi
dan Harapan di tengah Perkembangan Global. Denpasar: Program
Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Universitas Udayana
_________., 2004, Pariwisata
Bali:
Membangun
Pariwisata-Budaya
dan
Mengendalikan Budaya-Pariwisata” dalam Bali Menuju Jagaditha:
Aneka Perspektif. I Nyoman Darma Putra (ed.)Denpasar: Pustaka Bali
Post, hal. 20–34
Arif, Saiful. 2000, Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Astara, I W. Wesna, 2009, Dinamika Desa Adat Kuta: dari Desa Adat ke Desa
Pekraman (Perspektif Kajian Budaya), Disertasi, Program S3 Kajian
Budaya, Universitas Udayana
Aziz, M. Imam. 2001, Galaksi Simulacra: Esai-Esai Jean Baudrillard.
Yogyakarta: LkiS
290
Bauman, Zygmunt., 2005, Time and Class, dalam Cultural Studies: from
Theory to Action. Pepi Leistyna, (ed.) USA: Blackwell Publishing
Ltd., hal. 56 – 67
______ . 1993, Modernity
and
Ambivalence
dalam
Global
Culture:
Nationalism, GloBalization and Modernity. Mike Featherstone, (ed.)
London: SAGE Publications, hal. 143-170
Barthes, R. 2004, Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
______, 2007, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika/Sosiologi
Tanda, Simbol dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra
Berger, Athur Asa. 2005, Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer:
Suatu
Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Berger, Peter L.1982, Piramida Kurban Manusia. Jakarta: LP3ES
Bleicher, J. 2003, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode,
Filsafat dan Kritik .Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Barker, Chris. 2000, Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE
Publications Ltd.
___________, 2004, Cultural Studies: Teori & Praktik (terjemahan). Yogyakarta:
Kreasi Wacana
Bagus, I G.N. 1990, “Dari Objek ke Subjek: Mengada dan Menjadi dalam
Proses Pengembangan Pariwisata“, Majalah Widya Pustaka Tahun VII
No. 4, Juli 1990, Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar,
hal. 1 - 9
______ . 2002, Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam Pembangunan.
Denpasar: P.S. S2 Magister Kajian Budaya Universitas Udayana
______ . 2004, Mengkritisi Peradaban Hegemonik. Denpasar: Kajian Budaya
Universitas Udayana.
Beilharz, P. 2004, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta: Bentang.
Budiman, H. 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Bungin, Burhan. (Ed.) 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT
291
RajaGrafindo Persada
_____ . 2006, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Burns,
Peter.,
1999,
“Paradoxes
in
Planning:
Tourism
Elitism
or
Brutalism?” Jurnal Annals of Tourism Research, Vol. 26, No. 2, 1999,
hal. 329- 348
Burns, Peter M. & Holden A. 1995, Tourism, a New Perspective, London:
Prentice Hall
Butcher, Jim. 2006, Cultural Politics, Cultural Policy and Cultural
Tourism dalam Cultural Tourism in a
Participation
and
(Re)presentation.
Changing World: Politics,
Smith, K.
Melanie
& Mike
Robinson, (ed.)Great Britain: Channel View Publications
Capra, F. 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
______ . 2004, The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan
Kapitalisme Baru. Yogyakarta: Jalasutra.
Caporaso, James A.&Levine, David P., 1992, Teori-Teori Ekonomi Politik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Christomy, T & Untung Y., 2004, Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Depok.
Darmadi, IGNA Eka., 2005, “Komodifikasi Realitas dalam Pariwisata
Budaya”, Jurnal Kajian Budaya, P.S Kajian Budaya, Unud, Vol 3, No.6,
Juli 2005, hal. 81-96
Dharmayudha, S. 2001, Desa adat: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Provinsi Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Dwipayana, AAGN Ari., 2004, Geneologi Politik: desa adat Bali dan Ruang
Demokrasi, dalam
Bali
Menuju
Jagaditha:
Aneka
Perspektif. I
Nyoman Darma Putra, (Ed.) Denpasar: Pustaka Bali Post, hal. 53-82
Elliade, Mircea., 2002, Sakral dan Profan: Menyingkap Hakikat Agama.
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
292
Endraswara, Suwardi. 2003, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Erawan, I Nyoman. 1996, Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali
sebagai Kasus). Denpasar: Upada Sastra
Fairclough, N. 1995, Discourse and Sosial Change. Cambridge: Polity Press
Fakih, M, 2003, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Featherstone, Mike. 2001, Posmodernisme dan Budaya konsumen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
______ . (Ed.) 1993, Global Culture: Nationalism, GloBalization and
Modernity. London: SAGE Publications
Foucault, Michel. 1972, The Archeology of Knowledge and The Discourse
on Language. NewYork: Pantheon Books
______ .2002, Power/Knowledge, Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta:
Bentang
Fiske, J., 2004, Cutural and Communication Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Francis, Diana, 2002, Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta:
Quills
Fukuyama, Francis., 2002, Trust:Kebajikan
Sosial
dan
Penciptaan
Kemakmuran. Yogyakarta: Qalam
Gadamer, H.G. 2004, Truth and Method (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gandhi, Leela. 2001, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni
Barat. Yogyakarta: Qalam
Geertz, Clifford. 1973, The Interpretation of Cultures. Newyork: Basic
Books, Inc., Publishers
Geriya, I Wayan. 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad
XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali
Giddens, A. 1986, Central Problems in Sosial Theory: Action, structure and
contradiction in sosial analysis. Berkeley and los Angeles: University
293
of California Press
______, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis
Sosial. Pasuruan: Penerbit Pedati
______, 2001, Tumbal Modernitas: Ambruknya Pilar-Pilar Keimanan.
Yogyakarta: IRCiSoD
Graem, MacRae. 1997, “Economy, Ritual and History in Balinese Tourist
Town”, (tesis) Program of Doctor of Philosophy. New Zealand: School
of Sosial and Cultural Studies.
_____ . 1999, “Acting Global, Thingking Lokal in Balinese Tourist Town”
dalam Rubinstein, R., (Ed.) Staying Lokal in The Global Village:
Bali in The Twentieth Century. Hawaii: University of Hawaii Press,
hal. 123-154.
Halim, Fachrizal. 2002, Beragama dalam Belengu Kapitalisme. Magelang:
Indonesiatera
Hall, C. Michael & Hazel Tucker (Ed.) 2006, Tourism and Postcolonialism:
Contested discourse, identities, and representations. London and New
York:
Routledge Taylor & Francis Group
Hardiman, F. B.2000, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat,
Politik dan Posmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius
_______ . 2005, Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Harker, R., & Mahar, C. 2005, . (Habitus x Modal)+Ranah = Praktik,
Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
Yogyakarta: Jalasutra
Hobart, Mark. 2000, After Culture: Anthropology as Radical Metaphysical
Critique. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Kleden, Ignas. 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
_______ . 2006, “Cultural Studies dan Masalah Kebudayaan di Indonesia”,
makalah Seminar Nasional HUT X Kajian Budaya, Unud, Denpasar
Lewis, Jeff. 2002, Cultural Studies, The Basic. London: SAGE Publications
294
Ltd.
Lury, Celia. 1998, Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor
Janamijaya, IG. et al (Ed.). Eksistensi desa adat di Bali. Denpasar: Yayasan
Tri Hita Karana Bali
Jenkins, Richard. 2004, Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta:
Kreasi Wacana
Kellner, Douglas. 1994, Baudrillard: A Critical Reader. UK & Cambridge:
Blackwell Publishers
Kuta Ratna, Nyoman. 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi
dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lacan, Jacques. 2005, Diskursus dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Jalasutra
Lubis, Akhyar
Yusuf.
2006, Dekonstruksi
Epistemologi
Modern:
Dari
Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies.
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu
Long, Elizabeth., 1997, From Sociology to Cultural studies, a New Perpectives.
USA: Blackwell Publisher Inc.
McIntosh, Robert W dan C. R. Goulner. 1986, Tourism: Principles, Practices
and Philosophies. USA: John Wiley & Sons Inc.
Mariyah, Emiliana. 2006, “Kekinian Kajian Budaya di Bali”, Jurnal Kajian
Budaya, P.S. Kajian Budaya, Unud. Vol. 3 No. 6, hal. 1 - 18
Maunati, Yekti. 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta: LkiS
McKean, Philip F., 1989, Towards a Theoretical Analysis of Tourism:
Economic Dualism and Cultural Involution in Bali, dalam Host and
Guest:
The
Anthropology
of
Tourism, Smith Valene
L.
(Ed.),
Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Mudana, I Gde., 2005, “Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan
Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban, Tabanan,
Bali”, (disertasi) Program Doktor Kajian Budaya, P.S. S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana, Denpasar.
295
Muhadjir, Noeng.
2001.
Filasafat
Ilmu, Positivisme, PostPositivisme, dan
PostModernisme, Edisi II. Yogyakarta: Rake Sarasin
Nash, Dennison. 1989, Tourism as a Form of Imperialism, dalam Host and
Guest:
The
Anthropology
of
Tourism, Smith Valene L.(ed.) .
Philadelphia: University of Vennsylvania Press
Nawawi, Hadari dan Martini H., 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Norris, Christopher., 2003, Membongkar Teori Dekonstruksi
derrida.
Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz
Nuryanti, W.(Ed)., 1996, Tourism and Culture, Global Civilization in Change.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
O’Sullivan, Tim, et al., 1994, Key concepts in Communication and Cultural
Studies. London and New York: Routledge.
Parimartha, IG., 2004, Desa adat, Desa Dinas dan desa adat di Bali: Tinjauan
Historis Kritis, dalam Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik, . I
Wayan Ardika dan Darma Putra (ed.)
Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana dan Bali Mangsi Press, hal. 13-43
Parson, Wayne. 2005, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Prenada Media
Philpot, Simon. 2001. Meruntuhkan Indonesia: Politik Poskolonial dan
Otoritarianisme. Yogyakarta: LkiS
Perlas, Nicanor. 2000, Shaping Globalization: Civil Society, Cultural Power
and Three Folding. Philippines: CADI & GlobeNet3
Picard, M., 2006, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPGForum Jakarta-Paris
Piliang, Y.A., 2003, Hiper Semiotika, Telaah Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
______, 2005, “Cultural
Studies
dan
Posmodernisme:
Isyu, Teori
dan
Metode”, makalah Seminar Cultural Studies Program Magister dan
Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana, Denpasar.
______ . 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas.
296
Yogyakarta: Jalasutra
Pitana, I G. 1994, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar:
Offset B.P.
______ & Gayatri, G.P. 2005, Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
______ et al. 2000, Kuta Cermin Retak Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit
BP
______. 2000, Cultural Tourism in Bali: A Critical Appreciation. Denpasar:
Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana
Pujaastawa, IBG. 2006, Anarki Kapitalisme dalam Pariwisata, dalam
Wacana
Antropologi:
Kusumanjali untuk
Drs.
I Wayan
Griya,
Pujaastawa, IBG (ed.) . Denpasar: Pustaka Larasan, hal.174-186
Pusat
Penelitian
Kebudayaan
dan
pariwisata.
2006, “Rencana
Induk
Pengembangan Pariwisata Bali” (Laporan tidak diterbitkan), Kerjasama
dengan Dinas Pariwisata Provinsi Bali
Richards, G. 1997, Cultural Tourism in Europe, UK: CAB Internasional.
______ . 2003, Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
______ & Douglas J.Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenada Media
______ . 2001, Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka
Sanit, Arbi. 2003, Sistem Politik Idonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik
dan Pembangunan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Salim, Agus. 2002, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi
Kasus Indonesia. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana
Simon, R., 2004, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Smith, Linda T. 2005, Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: Insist Press
Soros, George. 2002, Krisis Kapitalisme Global: Masyarakat Terbuka dan
Ancaman Terhadapnya. Yoygyakarta: Qalam
Sosialismanto, Duto. 2001, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan
Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama
Spivak, Gayatri C. 2003, Membaca Pemikiran Jacques Derrida, Sebuah
297
Pengantar. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Steger, Manfred B. 2006, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar.
Yogyakarta: Lafadl Pustaka
Suastika, I M., 1997, Calon Arang dalam Tradisi Bali: Suntingan Teks,
Terjemajan, dalam Analisis Proses Pem-Bali-an. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press
Sudikan, S. Y. 2001, Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra
Wacana.
Sujaya, I Made. 2002, Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga
Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002. Kuta: Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat (LPM) Kelurahan Kuta.
Sumadi, I Ketut, 2009, Modal Budaya Sebagai Dasar Pengembangan Pariwisata
di Desa Adat Kuta. Disertasi, Program S3 Kajian Budaya, Universitas
Udayana
Susanto, Budi S.J. 2003, Politik dan Poskolonialitas di Indonesia.Yogyakarta:
Kanisius
Sutrisno, M. & H. Putranto (Ed.) 2004, Hermeneutika Pascakolonial: Soal
Identitas. Yogyakarta: Kanisius
Suwarsono, Alvin Y. So. 2000, Perubahan Sosial dan Pembangunan,
Jakarta: LP3ES
Suyanto, Bagong & Sutinah (Ed.)2005, Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Pendekatan Alternatif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Sztompka, Piötr. 2005, Sosiologi Perubahan sosial. Jakarta: Prenada Media
Truong, Thanh-Dam.1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan
Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES
Turner, Bryan. 2003, Teori-Teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wiana, I Ketut. 2004, Menuju Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-hari,
dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. I Nyoman Darma
Putra (ed.), Denpasar: Pustaka Bali Post, hal. 263 – 254
298
LAMPIRAN :
1. Daftar Informan
2. Panduan Wawancara
299
Download