Hukum Pidana FH UMT

advertisement
HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
Universitas Muhammadiyah Tangerang
Penjatuhan Pidana (Sentencing)
•
•
•
•
Upaya yang sah
Yang dilandasi oleh hukum
Untuk mengenakan nestapa/penderitaan
Pada seseorang yang melalui proses peradilan
pidana
• Terbukti secara sah dan meyakinkan
• Bersalah melakukan suatu tindak pidana
Pidana (Punishment)
•
•
•
•
•
Nestapa/derita
Yang dengan sengaja
Dikenakan pada seseoarng
Oleh negara
Melalui proses peradilan pidana
Proses Peradilan Pidana
(the Criminal Justice Process)
• Struktur, fungsi dan proses pengambilan
keputusan
• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
• Yang berkenaan dengan penanganan dan
pengendalian
• Kejahatan dan pelaku kejahatan
Pidana sebagai Pranata Sosial
• Sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku
• Mencerminkan nilai & struktur masyarakat
• Merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap
‘hati nurani bersama’
• Sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu
• Selalu berupa konsekuensi yang menderitakan, atau
setidaknya, tidak menyenangkan
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Moeljatno
• Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu
negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tidak boleh dilakukan, yg
dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tsb;  Criminal Act
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yg telah diancamkan ;  Criminal Liability/ Criminal
Responsibility .
1) dan 2) = Substantive Criminal Law / Hukum Pidana Materiil
3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tsb.  Criminal Procedure/ Hukum Acara Pidana
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Pompe
• Hukum Pidana adalah semua aturan-aturan
hukum
yang
menentukan
terhadap
perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya
dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana
itu
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Simons
• Hukum Pidana adalah kesemuanya perintahperintah dan larangan-larangan yang diadakan
oleh negara dan yang diancam dengan suatu
nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak
mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yg
menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum
itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk
mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan
pidana tersebut.
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Van Hamel
• Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan
aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara
dalam menyelenggarakan ketertiban hukum
(rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang
bertentangan
dengan
hukum
dan
mengenakan suatu nestapa kepada yang
melanggar larangan-larangan tersebut
Pembagian Hukum Pidana
• Hukum Pidana Materiil
(Hukum Pidana)
• Hukum Pidana Formil
(Hukum Acara Pidana)
Ilmu Hukum Pidana & Ilmu-ilmu
lainnya
•
•
•
•
•
•
Kriminologi
Ilmu Psikologi
Kedokteran Kehakiman
Sosiologi Hukum
Hukum Pidana dan Teknologi
Ekonomi, Politik dan Sosial Budaya
Mengapa pidana perlu dijatuhkan?
• Kelompok konsekuensialis
Pidana dijatuhkan bila benar-benar ada
konsekuensi positif yang mengikutinya:
 Membawa kebaikan
 Mencegah kejadian yang lebih buruk
 Tidak ada alternatif lain yang setara efeknya
• Kelompok non-konsekuensialis
 Pidana merupakan respons yang patut
(appropriate response) terhadap tindak
pidana
 Karena pelaku sudah melanggar norma yang
berlaku
 Karenanya pidana harus proporsional
Doktrin
• Retributive
Penjahat layak dihukum
Sesuai dengan cerminan perasaan kolektif
masyarakat
Menyatukan masyarakat melawan penjahat
Harus dilihat dalam konteks sosial budaya
• Deterrence


Konsep aliran klasik
Reaksi terhadap pemidanaan yang semenamena
 Utilitarian, forward looking
 Manusia itu rasional
 General deterrence
• Rehabilitasi


Individualisasi pemidanaan
Tekanan pada
treatment/pembinaan/memperbaiki pelaku
 Anti-punishment
 Model medis
• Integratif
Multi fungsi pemidanaan:
 Membuat pelaku menderita
 Mencegah terjadinya tindak pidana
 Memperbaiki pelaku
Perkembangan Teori Pemidanaan
1. Retributif
 Pidana adalah akibat mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan pada pelaku tindak
pidana
 Sanksi pidana adalah pemberian derita dan
petugas dinyatakan gagal bila penderitaan
tidak dirasakan oleh terpidana
 dapat dibedakan menjadi:
 retributif yang negatif
 retributif yang positif
…..lanjutan
2. Deterrence
 Pidana dijatuhkan dengan tujuan untuk
pencegahan
 dapat dibedakan menjadi:
general deterrence
special deterrence
3. Rehabilitasi
Pidana dijatuhkan untuk mereformasi atau
memperbaiki pelaku
sering dimasukkan ke dalam sub kelompok
deterrence, padahal dalam kajian kriminologi
latar belakang ke dua teori pemidanaan ini
berbeda; sehingga dalam pandangan deterrence
pelaku adalah orang bersalah yang harus
dijerakan supaya tidak mengulangi tindak pidana,
sedangkan rehabilitasi memandang seorang
pelaku tindak pidana sebagai orang yang perlu
ditolong
4. Incapacitation
 membatasi orang dari masyarakat selama waktu
tertentu dengan tujuan perlindungan terhadap
masyarakat pada umumnya
 Ditujukan untuk pelaku TP yang sangat berbahaya
bagi masyarakat
 Andrew Ashworth, pendekatan incapacitation :
 hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang
membahayakan masyarakat
 bentuk sanksinya adalah mengisolasi atau
memisahkan pelaku dari masyarakat untuk jangka
waktu tertentu (biasanya untuk waktu yang lama)
…..lanjutan
5. Resosialisasi
 Melihat bahwa pemidanaan dengan cara
desosialisasi (memisahkan pelaku dari kehidupan
sosial masyarakat dan membatasinya untuk dapat
berkomunikasi dengan masyarakat) dapat
menghancurkan pelaku
 Resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi
dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana
akan kebutuhan sosialnya, yaitu kebutuhan untuk
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan
masyarakat
6. Reparasi, Restitusi dan Kompensasi
 Fokus perhatian bukan hanya pada pelaku atau masyarakat;
tetapi mulai perhatikan korban sebagai bagian yang penting
untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana
 reparasi:
- the act of making amends for a wrong
- compensation for benefits derived from a wrong done to
another
- compensation or reparation for the loss caused to another
 restitusi: return or restoration of some specific thing to its
rightful owner or status
 kompensasi: payment of damages, or another act that a
court orders to be done by a person who has caused injury
to another process
• Hybrid Theory (Teori Integratif)
 Berangkat dari kenyataan bahwa masing-masing
teori sangat sulit untuk dipilah-pilah secara
tersendiri dalam prakteknya. Dengan penerapan
satu pidana terdapat lebih dari satu teori yang
tercakup di dalammya
 Packer: pidana merupakan suatu kebutuhan yang
juga merupakan bentuk kontrol sosial yang
disesalkan, karena ia mengenakan derita atas nama
tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan
kemungkinan
 Oleh karena itu, dalam praktek bisa jadi perumusan
tujuan pemidanaan merupakan kombinasi antara
satu teori dengan teori lainnya
• Prof. Muladi:
“saat ini masalah pemidanaan menjadi sangat
kompleks sebagai akibat dari usaha untuk
memperhatikan faktor-faktor
yang menyangkut
HAM, serta menjadikan pidana bersifat operasional
dan fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan
multidimensional yang bersifat mendasar terhadap
dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak
yang bersifat individual maupun keharusan untuk
memilih teori integratif tentang tujuan pemidanaan
yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka
mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan
oleh tindak pidana”
Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana
• Asas Legalitas
[1] :
(The principle of legality; Nullum crimen/nulla poena
sine lege)
– Asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundangundangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan.
– Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris
merasa berhak menciptakan delik, tetapi pada tahun 1972, House of
Lords menolak adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik
baru atau memperluas delik yang ada  ada pergeseran dari asas
legalitas dalam artian materiil ke asas legalitas dalam pengertian formal,
artinya suatu perbuatan yang pada mulanya ditetapkan sebagai suatu
delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang
dikembangkan lewat putusan pengadilan), dalam perkembangannya
hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).
[1] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Asas Legalitas
• Asas Legalitas dalam KUHP Indonesia diatur dalam:
– Pasal 1 ayat (1): “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas
ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu
daripada perbuatan itu”.
– Ada tiga prinsip:
1. tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang,
2. aturan hukum pidana tidak berlaku surut,
3. untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
menggunakan penafsiran analogi.
• Asas Kesalahan (actus non facit reum nisi mens sit rea)
– Inggris menganut asas kesalahan walaupun tidak pernah dirumuskan
dalam undang-undang hukum pidana Inggris.
– Dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana:
• Ada perbuatan yang dilarang (actus reus)  tidak hanya menunjuk
pada suatu perbuatan (act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung
arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
– Perbuatan dari si terdakwa;
– Hasil atau akibat dari perbuatannya itu;
– Keadaan-keadaan yang tercantum/terkandung dalam perumusan
tindak pidana.
• Ada sikap batin jahat/tercela (mens rea):
– Intention (kesengajaan)
– Recklessness (kesembronoan)  apabila seseorang mengambil
dengan sengaja suatu risiko yang tidak dapat dibenarkan.
– Negligence (kealpaan).
Asas Kesalahan
• Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, syarat yang harus dipenuhi untuk
seseorang dapat dipidana:
1. ada kesalahan,
2. terhadap perbuatan tersebut dpt dipertanggungjawabkan.
• Dalam hukum pidana Indonesia, asas kesalahan merupakan asas yang
tidak tertulis. Dalam rancangan KUHP telah dirumuskan secara eksplisit,
karena asas legalitas dan asas kesalahan merupakan dua asas yang
fundamental.
• Asas kesalahan ini dasarnya adalah liability based on fault.
Pertanggungjawaban Pidana
dan Perkembangannya
Asas:
• Geen Staf zonder schuld
• Actus non facit reum nisi mens sit rea
• An act does not make a person guilty,
unless the mind is legally blameworthy
Pada intinya:
 Seseorang baru dapat dipidana, bila ia
melakukan perbuatan yang terlarang dan
ada sikap batin yang tercela/jahat
Criminal Act:
• Perbuatan (actus reus)
 Perbuatan
(aktif/pasif) /hasil
atau akibat
 keadaan
• Kesalahan (mens rea)

intention

recklessness

negligence
Mens Rea:
• The mental element necessary for a
particular crime
• Tidak pidana yang mensyaratkan mens
rea dianggap lebih serius dibandingkan
yang dilakukan dengan negligence atau
yang pertanggungjawabannya strict
Intentionally (common law) Vs
Kesengajaan (Indonesia)
• Intentionally:
 Purpose to cause
 Not purpose to cause
it, but know
something will occur
in the ordinary course
of events if he were
to succeed in his
purpose of causing
some other result
• Kesengajaan/opzet:

sebagai tujuan

insyaf kepastian

insyaf kemungkinan
• Recklessness serupa dengan bewuste schuld:
- dengan sadar mengambil suatu risiko yang
tidak dapat dibenarkan (taking an
unjustifiable risk)
- biasanya harus dibuktikan bahwa pelaku
sebenarnya menyadari suatu keadaan dan
mengetahui atau dapat memperkirakan
kemungkinan terjadinya akibat itu, tetapi ia
sembrono atau tidak memperdulikannya.
• Pada negligence tidak ada unsur awareness
dan foresight of probability
• Strict Liability
– Berlaku terhadap tiga macam delik:
• Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum,
menghalangi jalan raya);
• Criminal libel (fitnah, pencemaran nama baik);
• Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
– Contoh kasus:
• R v. Prince (1875)
• Warner v. Metropolitan Police Commissioners (1969)
• Sweet v. Parsley (1970)3636
Strict Liability
•
Strict liability di negeri Belanda dikenal dengan nama “leer van het materielle feit”
atau “fait materielle”. Dahulu, ajaran ini hanya diberlakukan terhadap tindak
pidana pelanggaran, tetapi sejak adanya arrest susu tahun 1916 dari Mahkamah
Agung Belanda, penerapannya ditiadakan. Dengan kata lain, ajaran itu tidak
dibenarkan untuk dianut lagi.
• Mengenai strict liability sudah diterapkan dalam hukum pidana Indonesia:
1. Pelanggaran lalu lintas,
2. UU Perlindungan Konsumen,
3. UU Lingkungan Hidup
• Menurut Rancangan KUHP, strict liability baru bisa diterapkan pada suatu
perbuatan pidana apabila hal tersebut telah diatur secara tegas dalam UU.
• Vicarious Liability  pertanggungjawaban menurut hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain
(pertanggungjawaban pengganti)
– Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law
adalah
bahwa
seseorang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara vicarious untuk tindak
pidana yang dilakukan oleh pelayan (contoh kasus R. v.
Huggins 1730), kecuali dalam tindak pidana terhadap public
nuisance (perbuatan yang menyebabkan gangguan
substansial terhadap penduduk atau menimbulkan bahaya
terhadap kehidupan, kesehatan, dan harta benda) dan
criminal libel.
– Menurut undang-undang (statute law), vicarious liability
dapat terjadi dalam hal-hal berikut:
• Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila telah
mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang
kepada orang lain  harus ada prinsip pendelegasian.
• Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh
pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan pekerjanya
itu dipandang sebagai perbuatan majikan  apabila si
pekerja sebagai pembuat materil/fisik (auctor fisicus) dan
majikan sebagai pembuat intelektual (auctor intellectualis).
• Pertanggungjawaban korporasi
– Pada tahun 1944  korporasi dimungkinkan untuk
bertanggung jawab dalam hukum pidana baik sebagai
pembuat atau peserta, untuk setiap delik, meskipun
diisyaratkan adanya mens rea dengan menggunakan asas
identifikasi.
– Pengecualian:
• Dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak
dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigami,
perkosaan, sumpah palsu.
• Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat
dikenakan, tidak mungkin dikenakan kepada korporasi,
misalnya pidana penjara atau pidana mati.
Pertanggungjawaban (Schuld):
Toerekeningsvatbaarheid dari pelaku
Sifat psikis pelaku dengan perbuatannya,
berupa sengaja atau alpa
Tidak ada alasan penghapus kesalahan
(d.a. pertanggungjawaban)
KUHP
KUHP dan Sejarahnya
• Andi Hamzah
- Jaman VOC
- Jaman Hindia Belanda
- Jaman Jepang
- Jaman Kemerdekaan
• Utrecht
-Jaman VOC
-Jaman Daendels
-Jaman Raffles
-Jaman Komisaris
Jenderal
-Tahun 1848-1918
-KUHP tahun 1915 sekarang
Jaman VOC
• Statuten van Batavia
• Hk. Belanda kuno
• Asas2 Hk. Romawi
• Di daerah lainnya berlaku
Hukum Adat
• mis. Pepakem Cirebon
Jaman Hindia Belanda
• Dualisme dalam H. Pidana
1. Putusan Raja Belanda 10/2/1866 (S.1866 no.55) -->
Orang Eropa
2. Ordonnantie 6 Mei 1872 (S.1872) --> Orang Indonesia &
Timur Asing
• Unifikasi :
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie
- Putusan Raja Belanda 15/10/1915 Berlaku 1/1/1918
disertai
- Putusan Raja Belanda 4/5/1917 (S.1917 no. 497) : mengatur
peralihan dari H. Pidana lama --> H. Pidana baru.
Jaman Jepang
• WvSI masih berlaku
• Osamu Serei (UU) No. 1
Tahun 1942, berlaku
7/3/1942
• H. Pidana formil yang
mengalami banyak
perubahan
Jaman Kemerdekaan
• UUD 1945 Ps. II Aturan
Peralihan
Segala Badan Negara dan
Peraturan yang ada masih
berlaku selama belum
diadakan yang baru
menurut UUD ini
Jaman Kemerdekaan
• UU No. 1 Tahun 1946 : Penegasan tentang Hukum Pidana
yang berlaku di Indonesia
• Berlaku di Jawa-Madura (26/2/1946)
• PP No. 8 Tahun 1946 : Berlaku di Sumatera
• UU No. 73 Tahun 1958 : “ Undang-undang tentang
menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan
mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
• KUHP (beserta UU yang
merubah &
menambahnya)
• UU Pidana di luar KUHP
• Ketentuan Pidana
dalam Peraturan
perundang-undangan
non-pidana
KUHP
• Buku I : Ketentuan Umum (ps 1 – ps 103)
Pasal 103  Ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai Bab VIII buku I juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang
ditentukan lain
• Buku II : Kejahatan (ps 104 – 488)
• Buku III : Pelanggaran (ps 489 – 569)
Beberapa UU yang merubah & menambah KUHP
• UU No.1/1946 : berlakunya KUHP, perubahan beberapa
istilah, penghapusan beberapa pasal, penambahan pasalpasal baru : Bab IX - XVI
• UU No. 20/1946 : tambahan jenis pidana Ps 10 a KUHP -->
pidana Tutupan
• UU drt No. 8/1955 : menghapus Ps 527
• UU No. 73/1958 : menyatakan UU No. 1/1946 berlaku di
seluruh Indonesia, tambahan Ps 52a, 142a, 154a
• UU drt No. 1/1960 : menambah ancaman pidana dari Ps 188,
359, 360 menjadi 5 Tahun penjara atau 1 tahun kurungan
Beberapa UU yang merubah & menambah KUHP
• Perpu No. 16/1960 : penambahan nilai terhadap beberapa
kejahatan ringan : Ps 364, 373, 379, 384, 407 (1)
• Perpu No. 18/1960 : pidana denda dilipatgandakan 15 X
• UU No. 1/PNPS/1965 : tambahan Ps 156 a
• UU No. 7/1974 : tambahan sanksi untuk judi Ps 303 menjadi
10 juta & denda 25 juta, Ps 542 (1) menjadi Kejahatan, Ps 303
bis pidana menjadi 4 tahun, denda 10 juta.
• UU No. 4/1976 perubahan dan penambahan tentang
Kejahatan penerbangan : Ps 3, Ps 4 angka 4, Ps 95a, 95b,95c,
Bab XXIX A.
• UU No. 20/2001 : menghapus pasal-pasal tentang korupsi dari
KUHP
Pembaharuan Hukum Pidana
RUU KUHP Nasional
•
•
•
•
•
Sejarah Penyusunan
Metode & Sumber penyusunan
Beberapa asas yg berubah
Tindak pidana2 baru
Pasal-pasal kontroversial
UU Pidana di luar KUHP
• UU Anti Subversi, UU No. 11/PNPS/1963
(Sudah dihapus)
• UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU No.
20/2001 jo UU No. 31/1999
• UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No.
7/drt/1955
• Perpu 1/2002  UU 15/2003 Anti Terorisme
• UU Money Laundering
Contoh UU non pidana yang memuat sanksi pidana
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
UU Lingkungan
UU Pers
UU Pendidikan Nasional
UU Perbankan
UU Pajak
UU Partai Politik
UU pemilu
UU Merek
UU Kepabeanan
UU Pasar Modal
Hukum Pidana Umum & Khusus
• H. Pidana Umum
1. H.Pidana non militer
• H. Pidana Khusus
1. H. Pidana militer
2. KUHP & UU yg merubah & 2. TPE,TPK,TPS, H.Pid.
menambahnya
militer, H.Pid. Fiskal
3. H. Pidana yg. Berlaku
umum (KUHP, TPE,TPK,
TPS, dll)
3. UU non pidana yg.
Bersanksi pidana
Pasal 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundangundangan sesudah perbuatan dilakukan,
maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkan .
ASAS YG TERCAKUP DLM PASAL 1 (1) KUHP
• Nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege poenali :
• Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu
peraturan yg terlebih dahulu menyebut
perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu
delik dan yang memuat suatu hukuman yg
dapat dijatuhkan atas delik itu
Asas-asas dalam
Pasal 1 ayat (1 ) KUHP
1. Asas Legalitas
2. Asas Larangan berlaku surut
3. Asas Larangan
penggunaan Analogi
ASAS LARANGAN BERLAKU SURUT
• Undang-undang pidana berjalan ke depan dan
tidak ke belakang :
X
--------- UU Pidana -------------
Larangan berlaku surut (dan pengecualiannya) dalam
berbagai ketentuan
Nasional
• Ps 28i UUD 1945
• Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
• Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000
• Perpu 1/2002 & 2/2002  UU 15/2003 ; UU 16/2003
Internasional
• Ps 15 (1) dan (2) ICCPR
• Ps 22, 23, dan 24 ICC
Ps 28i UUD 1945
• “… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.”
UU No. 39/ 1999 ttg HAM
• Ps 18 (2)
Setiap orang tidak
boleh dituntut untuk
dihukum atau dijatuhi
pidana, kecuali
berdasarkan suatu
peraturan perundangundangan yang sudah
ada sebelum tindak
pidana itu dilakukan
• Ps 18 (3)
Setiap ada perubahan
dalam peraturan
perundang-undangan maka
berlaku ketentuan yang
paling menguntungkan bagi
tersangka
UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM
(bisa berlaku surut ?)
(1) Pelanggaran hak asasi
manusia yg. Berat yg.
Terjadi sebelum
diundangkannya UU ini,
diperiksa dan diputus oleh
pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk
atas usul DPR Indonesia
berdasarkan peristiwa
tertentu dg. Keputusan
presiden.
• Penjelasan Ps 43 (2)
“ Dalam hal DPR Indonesia
mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM ad hoc,
DPR Indonesia
mendasarkan pada dugaan
telah terjadinya
pelanggaran HAM yang
berat yg dibatasi pada locus
dan tempus delicti tertentu
yg terjadi sebelum
diundangkannya undangundang ini.
UU Anti Terorisme dan Putusan MK
• MK membatalkan ketentuan berlaku surut
dalam UU Anti Terorisme krn bertentangan
dengan UUD 1945
PENAFSIRAN & ANALOGI
• Penafsiran :
Otentik
Sistematis
Gramatikal
Historis
Sosiologis
Teleologis
Ekstensif
Penafsiran Ekstensif Vs
Analogi ?
• Putusan HR 23 Mei 1921 (kasus
pencurian listrik di Gravenhage)
• Putusan Rechtbank Leeuwarden, 10
Des 1919 (pencurian sapi)
• Taverne Vs para sarjana pidana
lainnya (Van Hattum, Simons,
Zevenbergen, Van Hamel)
Pendapat Scholten
(dan juga Utrecht) (1)
• Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara penafsiran
ekstensif dan analogi. Dalam kedua hal itu hakim membuat
konstruksi , yaitu membuat (mencari) suatu pengertian
hukum yang lebih tinggi. Hakim membuat suatu kaidah yang
lebih tinggi dan yang dapat dijadikan dasar beberapa
ketentuan yang mempunyai kesamaan.
Mis.
• Mengambil = mengadakan suatu perbuatan yang bermaksud
memindahkan sesuatu benda dari tangan yang satu ke tangan yang lain
Pendapat Scholten
(dan juga Utrecht) (2)
• PENAFSIRAN EKSTENSIF
• Hakim meluaskan
lingkungan kaidah yang
lebih tinggi sehingga
perkara yang
bersangkutan termasuk
juga di dalamnya
• ANALOGI
• Hakim membawa
perkara yang harus
diselesaikan ke dalam
lingkungan kaidah yang
lebih tinggi
Pasal 1 ayat (2) KUHP
-+-----------+---------------+---->
UU
Perbuatan
Perubahan UU
• Perubahan UU ? …………….
Teori : (1) Teori formil (2) Teori materiil terbatas (3) Teori materiil
tidak terbatas
• Paling menguntungkan ? …………..
• Terserah pada praktek & hanya dapat ditentukan untuk masing2
perkara sendiri (in concreto). Hal ini tidak dapat ditentukan sec.
Umum (in abstracto)
• Periksa : Utrecht h.228
Perubahan UU yg dimaksud Pasal 1 (2)
KUHP
• Teori Formil :Ada perubahan undang-undang kalau redaksi undangundang pidana berubah (simons)
 ditolak oleh Putusan HR 3 Des 1906 , kasus ps 295 sub 2 KUHP, batas
dewasa 23  21 tahun dlm BW
• Teori Materiil Terbatas : Tiap perubahan sesuai dg suatu perubahan
perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang (jadi tidak
boleh diperhatikan perubahan keadaan karena waktu)
• Teori Materiil tidak Terbatas : tiap perubahan – baik dalam perasaan
hukum dari pembuat undang-undang maupun dalam keadaan karena
waktu – boleh diterima sebagai suatu perubahan dalam undang-undang
 Sesuai HR 5 Des 1921
Tempus delicti penting diketahui
dalam hal2 :
• Kaitannya dg Ps 1 KUHP
• Kaitannya dg aturan tentang Daluwarsa
• Kaitannya dg ketentuan mengenai pelaku
tindak pidana anak : Ps 45,46,47 KUHP atau
UU Pengadilan Anak
Teori2 Tempus Delicti
• 1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de
lichamelijke daad)
• 2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de
leer van het instrumen)
• 3. Teori Akibat (de leer van het gevolg)
• 4. Teori waktu yg jamak (de leer van de
meervoudige tijd)
Teori2 Locus Delicti
• 1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de
lichamelijke daad)
• 2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de
leer van het instrumen)
• 3. Teori Akibat (de leer van het gevolg)
• 4. Teori Tempat yg jamak (de leer van de
meervoudige tijd)
Locus delicti penting diketahui dalam
hal2 :
• Hukum pidana mana yang akan diberlakukan
- H. Indonesia atau H. negara lain
• Kompetensi relatif suatu pengadilan
- contoh : PN Jakarta Selatan atau PN Bogor
Teori mana yg dipilih ?
• Van Hamel, Simons :
Bergantung sifat dan corak perkara
konkret yang hendak diselesaikan
• Hazewinkel-Suringa, Zevenbergen, NoyonLangemejer :
Mempergunakan 3 teori sec
teleologis
•
Periksa buku Utrecht hal 239
Surabaya
Semarang Cirebon
---- racun --> ----diminum ---> ----- mati
A --> B
B
B
Meervoudige locus delicti
•Hakim diberi kemerdekaan memilih diantara 3
locus delicti ini
•Lihat --> Keputusan Hoge Raad 2/1/1923
w.Nr.1108
Asas2 Berlakunya Hukum Pidana (1)
• Asas Teritorialitas/ wilayah :
Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976
• Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2 dan 4 -->
Ps 8 KUHP , UU No. 4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat
Ps 16 UU 31/1999
• Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif :
Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP
• Asas Universalitas :
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara
atau uang kertas Bank”
Asas2 berlakunya H. Pidana : Beberapa masalah !
• Wilayah Indonesia ?
• Kapal :
a) kapal Indonesia
b) kapal perang
c) kapal dagang
• Prinsip ius passagii innoxii
(ketentuan yang mengatur suatu
kapal yang lewat secara damai di
wilayah laut negara lain)
• Asas Universalitas :
- Kejahatan Terorisme ?
- Kejahatan HAM berat ?
Asas2 Berlakunya H. Pidana : Pengecualian (2)
• Ps 9 KUHP : Hukum publik internasional
membatasi berlakunya Ps 2,3,4,5, 7, dan 8
KUHP
• Termasuk yg memiliki imunitas h.pidana :
Sesuai perjanjian Wina 18/4/1961
• Yg memiliki imunitas :
1) Kepala-kepala negara & keluarganya (sec.
resmi, bukan incognito/singgah)
2) Duta negara asing & keluarganya -->
konsul : tergantung traktat antar negara.
3) Anak buah kapal perang asing : termasuk
awak kapal terbang militer
4) Pasukan negara sahabat yg berada di
wilayah negara atas persetujuan negara
Tindak Pidana (1)
• Istilah, Definisi, & jenis2
Tindak Pidana
• Subyek Tindak Pidana
• Cara merumuskan &
Unsur-unsur Tindak Pidana
Tindak Pidana (2)
Istilah
•
•
•
•
•
•
•
Strafbaar feit
Perbuatan pidana
Peristiwa pidana
Tindak pidana
Delict / Delik
Criminal act
Jinayah
Tindak Pidana (3)
Definisi
• Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat
melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan
oleh orang yg mampu bertanggung jawab”
• Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam
UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg
kesalahan”
• Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi
pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya
dilarang & diancam dengan pidana”
• Aliran Monistis ………...
• Aliran Dualistis …………..
Tindak Pidana (4)
Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik)
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Delik Kejahatan & Delik pelanggaran
Delik Materiil & Delik Formil
Delik Komisi & Delik Omisi
Delik Dolus & Delik Culpa
Delik Biasa & Delik Aduan
Delik yg Berdiri sendiri & Delik Berlanjut
Delik Selesai & Delik yg diteruskan
Delik Tunggal & Delik Berangkai
Delik Sederhana & Delik Berkualifikasi; Delik Berprivilege
Delik Politik & Delik Komun (umum)
Delik Propia & Delik Komun (umum)
•
Pembagian delik menurut kepentingan yg dilindungi :
Lihat judul-judul bab pada Buku II dan Buku III KUHP
Jenis Delik (1)
Kejahatan
(misdrijf)
•
•
dlm. MvT : sebelum ada UU sudah
dianggap tidak baik (rechtdelicten)
Hazewinkel-Suringa : tidak ada
perbedaan kualitatif, hanya
perbedaan kuantitatif
a) Percobaan : dipidana
b) Membantu : dipidana
c) Daluwarsa : lebih panjang
d) Delik aduan : ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
•
KUHP : Buku II
Pelanggaran
(overtreding)
•
dlm MvT : baru dianggap tidak
baik setelah ada UU (wet
delicten)
•
Perbedaan dg kejahatan:
a) Percobaan : tidak dipidana
b) Membantu : tidak dipidana
c) Daluwarsa : lebih pendek
d) Delik aduan : tidak ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
•
KUHP : Buku III
Jenis Delik (2)
• D. Formil : yang dirumuskan
• D. Materiil : Yang dirumuskan
akibatnya --> Ps 338, Ps 187, dll
bentuk perbuatannya --> Ps
362, Ps 263, dll
• D. Komisi : melanggar larangan
dg perbuatan aktif
• D. Omisi : melakukan delik dg
perbuatan pasif
• D. Dolus : delik dilakukan dg
sengaja, mis. Ps 338, Ps 351
a) D. Omisi murni : melanggar
perintah dg tidak berbuat,
mis. Ps 164, Ps 224 KUHP
b) D. Omisi tak murni :
melanggar larangan dg tidak
berbuat, mis Ps 194 KUHP
• D. Culpa : Delik dilakukan dg
kealpaan, mis. Ps 359, Ps 360
Jenis Delik (3)
• D. Biasa : penuntutannya
tidak memerlukan pengaduan,
mis. Ps 340, Ps 285
• D. Aduan :
penuntutannya
memerlukan
pengaduan, mis. Ps
310, Ps 284
Tindak Pidana (5)
Subyek
• Manusia (natuurlijk
personen)
a) syarat merumuskan :
“Barangsiapa ….”
b) hukuman : mati, penjara,
kurungan, dll (Ps 10 KUHP)
c) Hukum Pidana disandarkan
pada kesalahan orang
• Korporasi
• UU TPE
• UU Pemberantasan T.P.
Korupsi
• Draft RUU KUHP
• adanya kebutuhan untuk
memidana korporasi
• Korporasi ?
• Badan hukum ?
Tindak Pidana (6)
Cara Merumuskan Tindak Pidana
• Disebutkan unsur-unsurnya &
disebut kualifikasinya --> mis, Ps
362 KUHP
• disebutkan kualifikasinya tanpa
disebut unsur-unsurnya --> mis.
Ps 184, Ps 297, Ps 351
• disebutkan unsur-unsurnya, tidak
disebut kualifikasinya --> mis. Ps
106, Ps 167, Ps 209
•
•
•
Tindak Pidana (6)
Unsur-unsur (van Bemmelen)
Di dalam perumusan (bagian)
dimuat dalam surat dakwaan
semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik
merup-akan bagian-bagian, sebanyak itu pula,
yg apabila dipenuhi membuat tingkah laku
menjadi tindakan yg melawan hukum
1. Tingkah laku yg dilarang
2. Bagian subyektif : kesalahan, maksud, tujuan,
niat, rencana, ketakutan
3. Bagian obyektif : secara melawan hukum,
kausalitas, bagian2 lain yg menentukan dapat
dikenakan pidana (syarat tambahan; keadaan)
4. Bagian yg mempertinggi dapatnya dikenakan
pidana
• Di luar
perumusan
(unsur) : syarat
dapat dipidana
1. Secara melawan
hukum
2. Dapat
dipersalahkan
3. Dapat
dipertanggungjaw
abkan
Tindak Pidana (7)
Unsur-unsur (Prof. Moeljatno)
• a. kelakuan dan akibat ( = perbuatan)
• b. hal ikhwal atau keadaan yg menyertai
perbuatan
• c. keadaan tambahan yg memberatkan
• d. unsur melawan hukum yg obyektif
• e. unsur melawan hukum yg subyektif
Tindak pidana (8)
Unsur-unsur
• Unsur2 dalam perumusan
A. Unsur Obyektif
- perbuatan (aktif/pasif)
- akibat
- melawan hukum
- syarat tambahan
- keadaan
B. Unsur Subyektif
- kesalahan :
(a) sengaja
(b) kealpaan
- keadaan
• Unsur2 di luar
perumusan
- secara melawan hukum
- dapat dipersalahkan
- dapat dipertanggungjawab kan
Contoh unsur2 dalam rumusan tindak
pidana (1)
Pasal 362 KUHP
• barangsiapa
• mengambil
• barang
- yg sebagian/ seluruhnya
kepunyaan orang lain
• dengan maksud memiliki
• secara melawan hukum
Pasal 338 KUHP
• barangsiapa
• dengan sengaja
• menghilangkan nyawa
orang lain
Contoh unsur2 dalam rumusan tindak pidana (2)
Pasal 285
Pasal 259
•
•
•
•
• barangsiapa
• karena kealpaannya
• menyebabkan orang lain
mati
barangsiapa
dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan
memaksa
• seorang wanita
• bersetubuh dengan dia
• di luar perkawinan
KESALAHAN
Pengertian
• 1. Dapat dipersalahkan
• 2. Arti luas : Dolus & culpa
• 3. Arti sempit : culpa
Dolus/ opzet/ sengaja (1)
• Apakah sengaja itu ?
Sengaja = willens (dikehendaki) en wetens (diketahui) (MvT- 1886)
• Teori2 “sengaja” :
(a) teori kehendak (wils theorie)
“ opzet ada apabila perbuatan & akibat suatu delik dikehendaki si pelaku”
(b) teori bayangan (voorstellings-theorie)
“opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan, ada
bayangan yg terang bahwa akibat yg bersangkutan akan tercapai,
maka dari itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu”
Dolus/ opzet/ sengaja (2)
istilah2 dalam rumusan tindak pidana
•
•
•
•
•
•
Dengan sengaja : Ps 338 KUHP
Mengetahui bahwa : Ps 220 KUHP
tahu tentang : Ps 164 KUHP
dengan maksud : Ps 362, 378, 263 KUHP
niat : Ps 53 KUHP
dengan rencana lebih dahulu : Ps 340, 355 KUHP
- dengan rencana : (a) saat pemikiran dg tenang ; (b) berpikir
dg tenang; ( c ) direnungkan lebih dahulu.
- ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan
pelaksanaan delik
Dolus/ opzet/ sengaja (3)
Macam2 opzet
• Sengaja sebagai maksud/ tujuan (opzet
als oogmerk)
• Sengaja sebagai kesadaran (keinsyafan)
kepastian (opzet bij
zekerheidsbewustzijn)
• Sengaja sebagai kesadaran (keinsyafan)
kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewutzijn)
Dolus/opzet/sengaja (4)
macam 2 opzet
• Sengaja sebagai maksud/ tujuan :
- apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya;
- tidak dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya tidak
terjadi (Vos)
• Sengaja sebagai keinsyafan kepastian :
- pembuat yakin bahwa akibat yg dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa
terjadinya akibat yg tidak dimaksud
• Sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan:
- pembuat sadar bahwa mungkin akibat yg tidak dikehendaki akan terjadi untuk
mencapai akibat yg dimaksudnya
• 2 macam sengaja sbg keinsyafan kemungkinan ( Hazewinkel-Suringa) :
(a) sengaja dg kemungkinan sekali terjadi
(b) sengaja dg kemungkinan terjadi / sengaja bersyarat/ dolus eventualis
Dolus/ opzet/ sengaja (5)
Dolus eventualis
• Teori “inkauf nehmen” : untuk mencapai apa
yang dimaksud , resiko akan timbulnya akibat atau
keadaan disamping maksudnya itu pun diterima
• Prof. Moeljatno : “teori apa boleh buat” : kalau
resiko yg diketahui kemungkinan akan adanya itu
sungguh-sungguh timbul (disamping hal yg
dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul
resiko
Culpa (1)
Istilah2
• Culpa (dalam arti luas) : berarti kesalahan pada umumnya
• Culpa (dalam arti sempit) : bentuk kesalahan yg berupa kealpaan
• Istilah2 :
- culpa - schuld - nalatigheid - sembrono
- teledor
• istilah 2 yg digunakan dalam rumusan :
- kelalaian
- kealpaan
- kesalahan
- seharusnya diketahuinya
- sepatutnya diketahuinya
Culpa (2)
pengertian, jenis, syarat
• KUHP : tidak ada definisi
• MvT : kealpaan di satu pihak berlawanan benar2 dg kesengajaan dan
di fihak lain dengan hal yg kebetulan
• Macam2 Culpa :
(a) culpa levis ; culpa lata
(b) culpa yg disadari (bewuste) : culpa yg tidak disadari (on bewuste)
• Syarat adanya kealpaan :
(a) Hazewinkel-Suringa : 1) kekurangan menduga-duga; 2) kekurangan
berhati-hati
(b) van Hamel : 1) tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan hukum;
2) tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan hukum
( c) Simons : pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai 2 unsur : 1)
tidak berhati-hati; 2) dapat diduganya akibat.
KAUSALITAS
• 1. Pengertian ?
• 2. Kapankah diperlukan ajaran kausalitas ?
• 3. Ajaran Kausalitas ?
Ilustrasi :
B pinjam uang ke rumah A, karena kedatangan B, maka A
terlambat ; karena terlambat A mengendarai mobil dengan
kecepatan tinggi; A menubruk C sehingga luka-luka; C dibawa
ke RS dan dioperasi oleh dokter D; D meminta E merawat
dengan suntikan tertentu; E salah memberikan obat pada C; C
mati.
Pengertian Kausalitas
•
•
•
•
Hal sebab-akibat
Hubungan logis antara sebab dan akibat
Persoalan filsafat yang penting
Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligus menjadi
sebab peristiwa lain
• Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula di suatu
masa lalu
• Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana (bukan
makna di atas), tetapi makna yang dapat dilekatkan pada
pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan
siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu
akibat tertentu
Kapankah diperlukan ajaran Kausalitas ?
• Delik Materiil : perbuatan yang menyebabkan konsekuensikonsekuensi tertentu, dimana perbuatan tersebut kadang tercakup dan
kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam perumusan delik, mis. Ps.
338, Ps 359, Ps 360
• Delik Omisi tak murni/semu (delicta commissiva per omissionem/
Oneigenlijke Omissiedelicten) : Pelaku tidak melakukan kewajiban yang
dibebankan padanya dan dengan itu menciptakan suatu akibat yang
sebenarnya tidak boleh ia ciptakan. Ia sekaligus melanggar suatu
larangan dan perintah; ia sesungguhnya harus menjamin bahwa suatu
akibat tertentu tidak timbul.
• Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir : tindak pidana yang karena situasi
dan kondisi khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang
bersangkutan atau karena akibat-akibat khusus yang dimunculkannya,
diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat ketimbang sanksi yang
diancamkan pada delik pokok tersebut.
(pengkualifikasian delik juga dapat dilakukan atas dasar akibat yang
muncul setelah delik tertentu dilakukan, mis. Ps 351 (1)  Ps 351 (2)/
 Ps 351 (3)
Ajaran Kausalitas
• Conditio Sine Qua Non/ Ekuivalensi (Von Buri)
• Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima :
Birkmeyer , Mulder
• Teori-teori menggeneralisasi : teori Adekuat
(Von Kries, Simons, Pompe, Rumelink)
• Teori Relevansi : Langemeyer
Ajaran Conditio Sine Qua Non
• Semua faktor yaitu semua syarat, yang turut
serta menyebabkan suatu akibat dan yang
tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktorfaktor ybs. Harus dianggap causa (sebab)
akibat itu.
• Semua syarat nilainya sama (ekuivalensi)
• Ada beberapa sebab
• Syarat = sebab
Pembatasan Ajaran Von Buri
• Pembatasan ajaran Von Buri oleh Van Hamel
[dibatasi dg ajaran kesalahan (dolus/culpa)]
• Pengkesampingan semua sebab yang terletak di luar
dolus atau culpa; dalam banyak kejahatan dolus atau
culpa merupakan unsur-unsur perumusan delik.
• Jika hal itu bukan merupakan unsur delik, maka
solusinya harus dicari dengan bantuan alasan atau
dasar-dasar yang meniadakan pidana.
Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima
• Birkmeyer :
Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine Qua Non
. Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicari syarat
manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang
paling banyak membantu untuk terjadinya akibat.
• G.E Mulder :
• Sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak
dapat dilepaskan dari akibat.
Teori-teori menggeneralisasi (1)
• Von Bar : teori ini tidak menyoal tindakan
mana atau kejadian mana yang in concreto
memberikan pengaruh (fisik/psikis) paling
menentukan. Yang dipersoalkan adalah
apakah satu syarat yang secara umum dapat
dipandang
mengakibatkan
terjadinya
peristiwa seperti yang bersangkutan mungkin
ditemukan dalam rangkaian kausalitas yang
ada
Teori-teori menggeneralisasi (2)
• Von Kries (Teori Adequat Subjectif) : Sebab adalah keseluruhan faktor
positif & negatif yang tidak dapat dikesampingkan tanpa sekaligus
meniadakan akibat. Namun pembatasan demi kepentingan penetapan
pertanggungjawaban pidana tidak dicari dalam nilai kualitatif/kuantitatif
atau berat/ringannya faktor dalam situasi konkret, tetapi dinilai dari
makna semua itu secara umum, kemungkinan dari faktor-faktor tersebut
untuk memunculkan akibat tertentu. Sebab = syarat-syarat yang dalam
situasi dan kondisi tertentu memiliki kecenderungan untuk memunculkan
akibat tertentu, biasanya memunculkan akibat itu, atau secara objectif
memperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut.
• Apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkan akibat
tertentu hanya dapat diselesaikan apabila kita memiliki 2 bentuk
pengetahuan :
(a) hukum umum probabilitas dalam peristiwa yg terjadi / pengetahuan
Nomologis yg memadai
(b) situasi faktual yg melingkupi peristiwa yg terjadi/ pengetahuan
Ontologis/ pemahaman fakta (empirik)
Teori-teori menggeneralisasi (3)
• Rumelink (Teori Adequat Objectif) :
Faktor yang ditinjau dari sudut objektif , harus (perlu) ada untuk terjadinya
akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apa yang diketahui atau
mungkin diketahui pada waktu melakukan tindakannya, melainkan pada
fakta yang objektif pada waktu itu ada, entah diketahuinya atau tidak –
jadi pada apa yang kemudian terbukti merupakan situasi dan kondisi yang
melingkupi peristiwa tersebut.
• Simons :
Sebab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum
pengalaman manusia dapat menimbulkan akibat
• Pompe :
Sebab adalah hal yang mengandung kekuatan untuk dapat menimbulkan
akibat
Teori Relevansi
• Langemeijer
Teori ini ingin menerapkan ajaran von Buri
dengan memilih satu atau lebih sebab dari
sekian yang mungkin ada, yang dipilih sebabsebab yang relevan saja , yakni yang kiranya
dimaksudkan sebagai sebab oleh pembuat
undang-undang.
Sifat Melawan Hukum
• Arti :
- tanpa hak sendiri (zonder eigen recht)
- bertentangan dg hak orang lain (tegen eens anders recht)
- tanpa alasan yg wajar
- Bertentangan dengan hukum positif
• Melawan hukum : formil & materiil
- aliran formil : melawan hukum = melawan UU, sebab hukum
adalah UU.
-aliran materiil : melawan hukum adalah perbuatan yg oleh
masyarakat tidak dibolehkan.
Perbedaan Ajaran Materiil dan Formil
• Materiil :
mengakui adanya pengecualian /
penghapusan dari sifat melawan
hukumnya perbuatan menurut
hukum yang tertulis dan yang
tidak tertulis
• Formil :
hanya mengakui pengecualian
yang tersebut dalam undangundang saja/ mis, Ps. 49.
• Materiil :
sifat melawan hukum adalah
unsur mutlak dari tiap-tiap tindak
pidana, juga bagi yang dalam
rumusannya tidak menyebut
unsur-unsur tersebut
• Formil :
sifat tersebut tidak selalu menjadi
unsur delik, hanya jika dalam
rumusan delik disebutkan dengan
nyata-nyata barulah menjadi
unsur delik
Pembuktian Melawan Hukum
• Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum
selalu menjadi unsur delik, ini tidak berarti bahwa
karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur
tersebut oleh penuntut umum
• Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah
tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam
rumusan unsur tersebut disebutkan nyata-nyata, jika
tidak dinyatakan maka tidak perlu dibuktikan.
Alasan Pencantuman unsur Melawan Hukum
• Pada umumnya dalam perundang-undangan , lebih
banyak delik yang tidak memuat unsur melawan
hukum dalam rumusannya
• Alasan pencantuman sifat melawan hukum dalam
perumusan tindak pidana :
- untuk melindungi orang2 yg memiliki hak dari tuntutan
pidana.
Konsekuensi aliran Materiil
• Apakah konsekuensi ajaran bahwa sifat
melawan hukum selalu menjadi unsur tiaptiap delik ?
Jika unsur melawan hukum tidak tersebut
dalam rumusan delik, maka unsur itu
dianggap diam-diam telah ada, kecuali jika
dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
Arti “dan” diantara unsur dengan sengaja & unsur melawan
hukum
• Van Hamel, simons, pompe : perbedaan itu mempunyai arti. Mis. Ps 406
KUHP : dengan sengaja dan melawan hukum ; Ps 333 KUHP : dengan
sengaja melawan hukum
• Vos, zevenbergen, langemeijer :
tiadanya kata “dan” tidak berarti apa2, semuanya mesti dibaca “dengan
sengaja dan melawan hukum”
• Remelink, van Bemmelen :
kata penghubung “dan” tidak mempunyai arti, jadi istilah “dengan
sengaja” meliputi pula “melawan hukum.”
Alasan Penghapus Pidana
Alasan penghapus pidana
( strafuitsluitingsground )
• Keadaan khusus ( yang harus dikemukakan,
tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa )
yang jika dipenuhi menyebabkan – meskipun
terhadap semua unsur tertulis dari rumusan
delik telah dipenuhi – tidak dapat dijatuhkan
pidana
Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus
pidana dibedakan :
1. alasan
penghapus
pidana
umum
adalah alasan penghapus pidana yang
berlaku umum untuk setiap tindak pidana
dan disebut dalam pasal 44, 48 – 51 KUHP
2. alasan
penghapus
pidana
khusus
adalah alasan penghapus pidana yang
berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu.
Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310,
dan 367 ayat (1) KUHP
Alasan penghapus pidana juga
diatur di luar KUHP
1.hak mendidik dari orang tua
2.izin dari orang yang dirugikan
3.hak jabatan dari dokter ( gigi)
4.mewakili urusan orang lain
5.tidak adanya melawan hukum materiil
6.tidak adanya kesalahan sama sekali
7.alasan penghapus pidana putative
Ajaran daad-dader strafrecht alasan penghapus
pidana dapat dibedakan menjadi :
a) alasan pembenar
(rechtvaardigingsgrond ) yaitu alasan
yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya
perbuatan,
berkaitan
dengan tindak pidana ( strafbaarfeit )
yang dikenal dengan istilah actus reus
di
Negara
Anglo
saxon.
b) Alasan pemaaf
( schuldduitsluitingsgrond ) yaitu alasan
yang menghapuskan kesalahan terdakwa,
berkaitan dengan pertanggungjawaban
(toerekeningsvatbaarheid ) yang dikenal
dengan istilah mens rea di Negara Anglo
saxon.
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan
pembenar yang terdapat dalam KUHP:
a)
Noodtoestand
(
keadaan
darurat
)
Keadaan darurat merupakan bagian dari daya paksa relatif
(vis compulsiva ), diatur dalam pasal 48 KUHP :
” barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana “
Ada beberapa ahli yang menggolongkan ” keadaan darurat ”
sebagai alasan pembenar namun adapula yang
menggolongkannya sebagai alasan pembenar. Dalam keadaan
darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu
paksaan dari luar
• paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku
dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu :
1. Perbenturan
antara
dua
kepentingan
hukum,
Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk
melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama
melanggar kepentingan hukum yang lain, dan begitu pula sebaliknya.
2. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum,
Dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus
melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum.
3. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum,
Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu,
namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum
yang lain, begitu pula sebaliknya.
b) Noodweer ( pembelaan terpaksa )
• Diatur dalam pasal 49 ayat (1) KUHP :
” barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk
pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan
ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri
maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (
eerbaarheid ) atau harta benda sendiri maupun orang lain,
tidak dipidana “
Dalam pembelaan terpaksa perbuatan pelaku memenuhi
rumusan suatu tindak pidana, namun karena syarat – syarat
yang ditentukan dalam pasal tersebut maka perbuatan
tersebut dianggap tidak melawan hukum.
c) Melaksanakan ketentuan undang – undang
Diatur dalam pasal 50 KUHP :
” barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang – undang,
tidak dipidana “
Walaupun memenuhi rumusan tindak
pidana,
seseorang
yang
melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang – undang dianggap tidak melawan
hukum dan oleh karena itu tidak dipidana.
d) Menjalankan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang
Diatur dalam pasal 51 KUHP :
” barangsiapa melakukan perbuatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana “
Seseorang dapat melaksanakan undang – undang
oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga dapat
menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika
ia melaksanakan perintah tersebut maka ia tidak
melakukan perbuatan melawan hukum
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan
pemaaf yang terdapat dalam KUHP:
a) Tidak mampu bertanggungjawab
Diatur dalam pasal 44 KUHP :
” barangsiapa melakukan perbuatan yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
padanya, disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tumbuhnya ( gebrekkige ontwikkeling )
atau terganggu karena penyakit ( ziekelijke
storing ), tidak dipidana “
• Dalam memorie van Toelicting yang dimaksud tidak
mampu bertanggungjawab adalah :
“Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih
antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang
dilarang atau diperintahkan undang – undang
Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa, sehinga tidak dapat menginsyafi
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
dan tidak dapat menetunkan akibat perbuatannya”
(Sudarto, 1987 : 951 )
b) Overmacht ( daya paksa )
• Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsiva ).
Seperti keadaan darurat, daya paksa juga diatur dalam pasal
48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa,
namun dalam memorie van toelichting ( MvT ) daya paksa
dilukiskan sebagai setiap kekuatan, setiap paksaan atau
tekanan yang tak dapat ditahan.
• Dalam daya paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi
terjepit ). Sifat dari daya paksa datang dari luar si pembuat
dan lebih kuat ( Sudarto, 1987 : 142 ). Dalam daya paksa
perbuatannya tetap merupakan tindak pidana namun ada
alasan yang menghapuskan kesalahan pelakunya.
c)Noodweer exces ( pembelaan terpaksa yang
melampaui batas )
• Hal ini termasuk pembelaan terpaksa juga, namun
karena serangan tersebut menimbulkan goncangan
jiwa yang hebat maka pembelaan tersebut menjadi
berlebihan. Hal ini diatur dalam pasal 49 ayat (2)
KUHP :
• ” pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung dapat disebabkan oleh kegoncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan
itu, tidak dipidana “
d) Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
• Diatur dalam pasal 51 ayat (2) KUHP :
” perintah jabatan yang tanpa wenang, tidak
menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang
diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa
perintah diberikan dengan wenang, dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaanya “
Melaksanakan perintah jabatan yang tidak wenang
dapat merupakan alasan pemaaf jika orang yang
melaksanakan perintah mempunyai itikad baik dan
berada dalam lingkungan pekerjaannya.
PERCOBAAN (POGING)
• PASAL 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
• Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana
POGING (PERCOBAAN)
• “Permulaan kejahatan yang belum selesai”
• Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam hukuman
oleh undang-undang
• Poging adalah perluasan pengertian delik
• Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum atau
membahayakan kepentingan hukum
• KUHP tidak memberi perumusan/ definisi
• Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai
• Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil
• Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang telah
dilakukan
• Pada delik materiil : delik selesai apabila akibat yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang telah timbul atau terjadi
Percobaan Menurut KUHP:
•
•
•
•
Percobaan sebagai Suatu Delik yang Telah
Selesai (voltooid delict)
Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang
Tidak Dilarang
Percobaan Melakukan Pelanggaran
Percobaan terhadap Delik Kealpaan
Percobaan sebagai Suatu Delik yang
Telah Selesai
(voltooid delict)
• Pasal 104-107, 139a dan 139b KUHP
• Pasal 110, 116, 125, 139c KUHP
• Pasal 250, 261, 275 KUHP
Percobaan Melakukan Tindak Pidana
yang Tidak Dilarang
1. Pasal 184 KUHP)
2. Pasal 351 ayat 5 dan 352 ayat 2 KUHP
3. Pasal 302 ayat 4 KUHP)
Percobaan Menurut Doktrin
• Percobaan yang Tidak Sempurna
(Ondeugdelijk Poging)
• Percobaan yang Dikualifisir (Gequalificeerde
Poging)
• Percobaan yang Ditangguhkan (Geschorste
Poging)
• Percobaan yang Selesai / Sempurna
(Voleindigde Poging)
Syarat Percobaan yg dapat dipidana
• Niat
• Permulaan Pelaksanaan
• Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri
NIAT
“Voornemen”
• Menurut doktrin dan yurisprudensi
:”voornemen” harus ditafsirkan sebagai
kehendak, “willen” atau “opzet”
• Seseorang harus mempunyai kehendak, yaitu
kehendak melakukan kejahatan
• Karena ada 3 macam opzet, apakah opzet di
sini harus dtafsirkan dalam arti luas atau
hanya opzet dalam arti pertama (sebagai
“ogmerk” atau tujuan) ?
Permulaan Pelaksanaan
• “Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan
pelaksanaan”  een begin van uitvoering
• Harus ada suatu perbuatan(handeling)
• apa yang dimaksud “perbuatan sebagai permulaan
pelaksanaan” ?
• Undang-undang tidak merumuskan pelaksanaan
atau”uitvoering” dan bagaimana bentuknya
• Perlu digunakan penafsiran
Pelaksanaan Kehendak atau
Pelaksanaan Kejahatan ?
• Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang
mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak  Niat
sudah terwujud dengan adanya permulaan
pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai
“pelaksanaan kehendak”  TEORI POGING SUBYEKTIF
• Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “…
tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara
sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan”
 TEORI POGING OBYEKTIF
CONTOH KASUS
• A menghendaki untuk membunuh B , untuk melaksanakan maksudnya, A
harus melakukan beberapa perbuatan, yaitu :
• a. A pergi ke tempat penjualan senjata api
• b. A membeli senjata api
• c. A membawa senjata api ke rumahnya
• d. A berlatih menembak
• e. A menyiapkan sebjata apinya dengan membungkusnya rapat-rapat
• f. A menuju rumah B
• g. Sesampai di rumah B, A mengisi senjata itu dengan peluru
• h. A mengarahkan senjata kepada B
• i. A melepaskan tembakan ke arah B
MANA YANG MERUPAKAN PELAKSANAAN ?
APAKAH TIAP2 PERBUATAN DALAM KASUS TSB
DAPAT DIHUKUM ?
• 1. Menurut Teori Poging Subyektif : perbuatan
a sudah merupakan “permulaan
pelaksanaan” karena telah menunjukkan
“kehendak yang jahat”
• 2. Menurut Teori Poging Obyektif : perbuatan
a  f belum merupakan “permulaan
pelaksanaan” karena semua perbuatan itu
“belum membahayakan kepentingan hukum si
B
Contoh
Percobaan Pembunuhan Berencana
KASUS
• A bermaksud menghabisi nyawa B dengan meletakkan bom di mobil
B. Bom meledak sebelum B masuk mobil dan mengakibatkan B lukaluka parah.
PASAL YG DIDAKWAKAN
• Pasal 340 jo Pasal 53 KUHP ( Percobaan pembunuhan berencana)
ANCAMAN PIDANA
• 15 tahun penjara (lihat Ps. 53 ayat 3)
PEMBATASAN TERHADAP TEORI SUBYEKTIF
• Perbuatan dibedakan :
• 1. tindakan atau perbuatan persiapan (belum
dapat dihukum)
• 2. tindakan atau perbuatan pelaksanaan
(sudah dapat dihukum)
• Tetapi, pertanyaannya : mana yang
merupakan “perbuatan persiapan” dan mana
yang merupakan “perbuatan pelaksanaan” ?
PENDAPAT PARA AHLI
1.Van Hamel : “apabila dari perbuatan itu telah terbukti kehendak yang
kuat dari si pelaku untuk melaksanakan perbuatannya”
2.Simons melihat dari jenis deliknya : delik materiil atau delik formil.
• Pada delik formil apabila perbuatan itu merupakan perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU, apabila perbuatan itu
merupakan sebagian dari perbuatan yang dilarang; jika ada beberapa
unsur maka jika sudah melakukan salah satu unsur
• Pada delik materril apabila perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan
yang menurut sifatnya adalah sedemikian rupa , sehingga secara
langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh UU
3.Vos : ada “permulaan pelaksanaan” apabila perbuatan itu mempunyai
sifat terlarang terjadap suatu kepentingan hukum.
4.Pompe : ada “permulaan pelaksanaan” apabila suatu perbuatan yang
bagi orang normal memungkinkan terjadinya suatu delik.
Pendapat Hoge Raad
Ada “permulaan pelaksanaan” apabila antara
perbuatan yang dilakukan dan kejahatan yang
dkehendaki oleh seseorang itu terdapat hubungan
erat langsung; yaitu apabila seorang melakukan
sesuatu perbuatan untuk melaksanakan kejahatan ,
perbuatan itu baru dianggap sebagai permulaan
pelaksanaan apabila disamping perbuatan itu tidak
dibutuhkan lagi perbuatan-perbuatan yang lain untuk
menyelesaikan kejahatan.
Macam2 Percobaan (Doktrin)
• Percobaan yg Sempurna : Voleindigde Poging --> apabila seseorang
berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan semua
perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan, tetapi kejahatan
tidak selesai karena suatu hal
• Percobaan yg Tertangguh : Geschorte Poging --> apabila seseorang
berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan beberapa
perbuatan yg diperlukan bagi tercapainya kejahatan, tetapi kurang satu
perbuatan ia terhalang oleh suatu hal
• Percobaan yg Tidak Sempurna : Ondeugdelijke Poging --> apabila
seseorang berkehendak melakukan suatu kejahatan, dimana ia telah
melakukan semua perbuatan yg diperlukan bagi selesainya kejahatan,
namun tidak berhasil disebabkan alat (sarana) tidak sempurna atau
obyek (sasaran) tidak sempurna.
Tidak sempurna : mutlak atau relatif
Penyertaan (deelneming)
Pengertian
• Terlibatnya lebih dari 1 orang dalam 1 tindak
pidana (sebelum dan atau pada saat tindak
pidana terjadi)
• Pasal yang mengatur : Pasal 55, 56, 57 KUHP
Permasalahan
• Bagaimana pertanggungjawaban pidana dari
orang-orang yang terlibat itu?
Keterlibatan SSO dalam suatu tindak pidana dapat
dikatagorikan sebagai
1. Yang melakukan
2. Yang menyuruh melakukan
3. Yang turut melakukan
4. Yang menggerakkan/menganjurkan untuk
melakukan
5. Yang membantu melakukan
• No. 1 s.d. 4 dikatagorikan sebagai “pelaku”
(pembuat) (Pasal 55 KUHP):
- Pelaku: memenuhi semua unsur delik
- dianggap sebagai sebagai pelaku:
memenuhi sebagian unsur delik
sama sekali tidak memenuhi unsur delik
Pidananya sama dengan pelaku
• No. 5 : pembantu (Pasal 56, 57 KUHP)
Bentuk-bentuk Penyertaan
1.
2.
3.
4.
Menyuruh melakukan (doen plegen)
Turut melakukan (medeplegen)
Menggerakkan (uitlokken, uitlokking)
Membantu melakukan
(medeplichtigheid)
Menyuruh Melakukan
• SSO punya kehendak untuk melakukan TP, tetapi dia
tidak melaksanakannya sendiri melainkan
menyuruh orang lain untuk melakukannya
- Yang menyuruh diancam pidana sebagaimana
seorang pelaku
- Yang disuruh (sebagai pelaku langsung, pelaku
materil): tidak (diancam) pidana
Orang yang disuruh melakukan tidak
dapat dihukum karena dua sebab:
• 1. Orang tsb. sama sekali tidak melakukan tindak
pidana atau perbuatan yang dilakukan tidak dapat
dikualifikasi sebagai tindak pidana
• 2. Orang tsb. memang melakukan tindak pidana
tetapi ia tidak dapat dihukum karena ada satu atau
beberapa alasan penghapus kesalahan
Contoh keadaan dimana Orang tsb. sama sekali tidak
melakukan tindak pidana atau perbuatan yang
dilakukan tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak
pidana
• Seorang juru rawat yang sama sekali tidak
mengetahui bahwa obat yang diberikan pada pasien
atas perintah seorang dokter adalah obat yang
mengandung racun
• A meminta B untuk menukarkan uang palsu;
sedangkan B tidak tahu bahwa uang itu palsu
Contoh keadaan-keadaan yang membuat orang
yang disuruh melakukan tidak dapat dijatuhi
pidana karena ada alasan penghapus kesalahan
• Orang yang disuruh adalah orang tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena Pasal 44 KUHP
• Orang yang disuruh berada dalam keadaan daya
paksa (overmacht)
• Orang yang disuruh melakukan perintah jabatan
yang tidak sah tapi dengan itikad baik ia mengira
bahwa perintah itu sah
• Orang yang disuruh melakukan tidak bersalah sama
sekali
Doenplegen dalam hal Delik Jabatan
• Apabila seorang pegawai negeri menyuruh orang
yang bukan pegawai negeri untuk melakukan TP
yang diatur dalam bab XXVIII:
Apakah yang menyuruh dapat dipidana?
- dapat
Apakah yang disuruh dapat dipidana?
- tergantung apakah ybs. mengetahui atau tidak
bahwa yang menyuruhnya adalah pegawai negeri
…..lanjutan
• Apabila seorang yang bukan pegawai negeri
menyuruh seorang pegawai negeri untuk melakukan
delik jabatan:
- Pendapat van Hamel, Simons (para sarjana yang
klasik): tidak mungkin terjadi konstruksi seperti itu
karena yang menyuruh harus memenuhi kualitas
pelaku
- Pendapat Jonkers, Vos (para sarjana yang lebih
modern) dan HR: mungkin saja seorang bukan
pegawai negeri menyuruh seorang pegawai negeri
Turut Melakukan
• Beberapa orang bersama-sama melakukan TP
• Kemungkinannya:
Semua dari mereka yang terlibat, masing- masing
memenuhi semua unsur TP
Ada yang memenuhi semua unsur; ada yang
memenuhi sebagian saja, bahkan ada yang sama
tidak memenuhi unsur delik
Semua hanya memenuhi sebagian-sebagian saja
unsur delik
Syarat Turut Melakukan
1. Ada kerja sama secara sadar
tidak perlu ada kesepakatan, tapi harus ada
kesengajaan:
- untuk bekerja sama, dan
- untuk mencapai hasil yang berupa TP
2. Ada pelaksanaan bersama-sama secara fisik
Turut Melakukan pada Delik Jabatan
• Terjadi perbedaan pendapat di antara para
sarjana:
•
Pendapat yang klasik mengatakan: orang
yang turut melakukan harus memenuhi
kualitas yang disyaratkan
•
Pendapat yang lebih modern berpendapat
sebaliknya
Menggerakkan/Menganjurkan/Membujuk
• SSO punya kehendak untuk melakukan TP, tetapi tidak
melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang
lain utk melaksanakan niatnya itu
• Syarat-syarat Penggerakkan yang dapat dipidana:
 Ada kesengajaan menggerakkan orang lain untuk
melakukan TP
 Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam
Pasal 55 ayat (1) butir ke-2: pemberian, janji,
penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,
ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan,
alat , keterangan
…..Lanjutan
Ada yang tergerak untuk melakukan TP akibat
dengan sengaja digerakkan dengan upaya-upaya
dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP
Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan
atau percobaannya (catatan: Pasal 163 bis)
Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana
Pemidanaan terhadap Penggerak (Uitlokker)
• Diancam pidana yang sama dengan pelaku
langsung (yang digerakkan/uitgelokte), pada:
 penggerakan yang berhasil (geslaagde
uitlokking)
 penggerakan yang sampai pada taraf
percobaan yang dapat dipidana (uitlokking bij
poging)
Pasal 163 bis:
• Penggerakan yang gagal (mislukte uitlokking/ poging tot
uitlokking = mencoba menggerakkan)
• Penggerakan tanpa akibat (zonder gevolg gebleven
uitlokking)
- Pemidanaan terhadap penggerak:
maksimal 6 tahun penjara atau denda Rp. 4500,- tetapi
tidak boleh lebih berat daripada:

pidana untuk percobaan TP- kl percobaannya
dapat dipidana

pidana karena melakukan TP- dalam hal
percobaan melakukan TP (yaitu kejahatan) tidak dapat
dipidana
Pasal 163 bis
• Menurut Pompe, Jonkers, Hazewinkel-Suringa: Pasal
163 bis berlaku juga pada doeplegen, karena istilah
yang digunakan dalam rumusan pasalnya bukan
uitlokken tetapi trachten te bewegen (yang
maknanya lebih luas dari uitlokken)
• Pasal 163 bis berlaku pada doenplegen, asalkan
daya upaya yang digunakan terbatas pada daya
upaya yang disebut Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP
Batas Pertanggungjawaban Seorang Penggerak
(Pasal 55 ayat (2))
• Hanya sebatas perbuatan yang dengan sengaja
digerakkan oleh penggerak, beserta dengan
akibatnya
• Yang dimaksud dengan akibat adalah akibat
obyektif yang dapat menyebabkan diperberatnya
pidana yang akan dijatuhkan (Mis. Ayat (3) Pasal
351 KUHP)
• Tidak dipersyaratkan bahwa penggerak telah
mengetahui terlebih dahulu akibat-akibat yang akan
terjadi. Ia juga bertanggungjawab atas akibat yang
tidak dapat diketahui atau diramalkannya terlebih
dahulu
Pertanggungjawaban
Seorang Penggerak
• A mengajak B untuk memukul C dengan sebatang
kayu. Akan tetapi B tidak memukul C dengan kayu,
malahan menusuk C dengan sebilah pisau
• Bagaimana pertanggungjawaban A?
Penggerakan dalam hal Delik Jabatan
• Baik pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri dapat
membujuk seorang pegawai negeri untuk melakukan delik
jabatan (sehingga keduanya mungkin untuk dipidana)
• Bagaimana bila yang dibujuk bukan pegawai negeri?
- Van Hattum: tidak mungkin seorang bukan pegawai negeri
dibujuk untuk melakukan delik jabatan
- Kalau yang membujuk pegawai negeri, seharusnya sama
dengan perlakuan pada menyuruh:
# kalau mengetahui bahwa yang membujuk pegawai
negeri seharusnya dapat dihukum
Membantu Melakukan
(Pasal 56, 57 KUHP)
• Harus dilakukan dengan sengaja
• Menurut Pasal 56, ada 2 jenis:
1. Membantu sebelum TP dilakukan
sarananya: kesempatan, daya upaya (alat),
keterangan
2. Membantu pada saat TP dilakukan
sarananya: boleh apa saja
• Yang dipidana hanya membantu melakukan kejahatan
(lihat Pasal 56 dan Pasal 60 KUHP)
• Ancaman pidana maksimal bagi seorang pembantu:
pidana bagi pelaku kejahatan dikurangi 1/3-nya
Note: Pada beberapa UU Khusus, ancaman pidana
bagi seorang yang membantu melakukan
sama
dengan pelaku
Batas Pertanggungjawaban seorang yang membantu
melakukan TP
(Pasal 57 ayat (4)
• Hanya terbatas pada perbuatan yang dengan
sengaja dimudahkan oleh pembantu; beserta
dengan akibatnya
Perbedaan antara Menyuruh Melakukan
dengan Menggerakkan
• Menyuruh Melakukan
• Menggerakkan
 Sarana menggerakkan
tidak ditentukan
 Sarana menggerakkan
ditentukan secara limitatif
 Pelaku langsung dapat
dipertanggungjawabkan
 Pelaku langsung tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
Perbedaan Turut Serta dengan
Pembantuan (pada saat TP dilakukan)
• Turut Melakukan
# Mnrt ajaran obyektif:
Perbuatannya merupakan
perbuatan pelaksanaan
(uitvoeringshandeling)
# Menurut ajaran
subyektif:
- kesengajaan ditujukan
untuk terwujudnya delik
• Membantu Melakukan
# Mnrt ajaran obyektif:
Perbuatannya merupakan
perbuatan yang
membantu/menunjang
# Menurut ajaran subyektif:
- Kesengajaannya hanya
untuk memberi bantuan
saja pada orang lain
….lanjutan
• Turut melakukan
• Membantu melakukan
- Harus ada kerja sama yang
disadari
- Tidak harus ada kerja sama
yang disadari
- Mempunyai
kepentingan/tujuan
sendiri
- Tidak mempunyai
kepentingan/tujuan sendiri
Perbedaan Menggerakkan dengan
Membantu Sebelum TP Terjadi
• Menggerakkan
Keterangan, sarana,
kesempatan digunakan
oleh penggerak untuk
menimbulkan kehendak
melakukan TP pada pelaku
langsung
• Membantu
Keterangan, sarana,
kesempatan digunakan
oleh pembantu untuk
memberikan bantuan pada
pelaku langsung
Medeplegen dan Doenplegen dalam
delik Jabatan
• Pendapat terbaru di Belanda
Hasil penelitian E. Sikkema dalam disertasi
tentang TP Korupsi:
Medepleger dan doenpleger tidak dapat
dipidana apabila ybs. tidak mempunyai kualitas
yang dipersyaratkan (sebagai pejabat)
Penyertaan Mutlak Perlu
(Noodzakelijke deelneming)
• Baru merupakan delik apabila pelakunya lebih dari 1
orang
contoh: TP Perzinahan, TP Penyuapan, TP Pasal 287
KUHP, TP Pasal 292 KUHP
• Bagaimana pemidanaan terhadap para pelakunya?
 KUHP menyebutkan secara tegas pertanggungjawaban
pidana setiap peserta yang terlibat (contoh Pasal 284,
Pasal 209 dan Pasal 418, Pasal 419 KUHP)
 Dilihat dari sejarah pembentukannya dan tujuan
dibuatnya ketentuan (Pasal 287, Pasal 292 KUHP)
GABUNGAN TINDAK PIDANA
• Pokok persoalan dalam gabungan melakukan
tindak pidana adalah mengenai bagaimana
sistem pemberian hukuman bagi seseorang
yang telah melakukan delik gabungan
Teori yang dipergunakan untuk memberikan
hukuman bagi pelaku Tindak Pidana Gabungan
1. Absorbsi Stelsel
Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang
terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam
hal ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana
yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat
kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan
perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan
adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada
sistem hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan
tindak pidana tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.
2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam.
Dalam sistem ini ancaman hukumannya
adalah hukuman yang terberat, namun masih
harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman
terberat yang disebutkan. Sistem ini
dipergunakan untuk gabungan tindak pidana
berganda dimana ancaman hukuman
pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang
digunakan adalah pasal 65.
3. Cumulatie Stelsel
• Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman
hukuman dari gabungan tindak pidana
tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan
apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut.
Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak
pidana berganda terhadap pelanggaran
dengan pelanggaran dan kejahatan dengan
pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70
KUHP.
4. Cumulatie yang Diperlunak
Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masingmasing kejahatan yang telah dilakukan,
dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh
melebihi maksimum terberat ditambah
sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk
gabungan tindak pidana berganda, dimana
ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis.
Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal
66 KUHP.
• Dari keempat stelsel di atas yang sering
dipergunakan hanyalah tiga, yaitu sistem
absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan
cumulasi yang diperlunak. Sementara itu
cumulatie murni tidak pernah dipergunakan
dalam praktek, karena bertentangan dengan
ajaran samenloop yang pada prinsipnya
meringankan terdakwa.
Jenis-jenis/Bentuk-bentuk Gabungan Tindak Pidana
• concursus ldealis atau Eendadse Samenloop
Satu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang
dengan tindakan tersebut terjadi dua/lebih tindak
pidana, perbarengan ketentuan pidana atau disebut
sebagai eendadse samenloop atau concursus realis
dan sering juga disebut sebagai perbarengan
tindakan tunggal yang dapat diperbedakan lagi
antara cocursus idealis homogenius dan concursus
idealis heterogenius sebagaimana dirumuskan dalam
perundangan.
Mengenai concursus Realis atau perbarengan tunggal
ini di dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 63 KUHP
yang berbunyi :
1. Jika suatu suatu tindakan masuk dalam lebih dari
satu ketentuan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu dari ketentuan itu; jika berbeda maka
yang diterapkan adalah yang memuat ancaman
pidana. pokok yang paling berat.
2. Jika suatu tindakan masuk dalam suatu ketentuan
pidana umum, tetapi termasuk juga dalam
ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus
itu diterapkan.
• Dikatakan perbarengan tindakan tunggal, apabila satu
tindakan terjadi dua/lebih tindak pidana. Dengan perkataan
lain, dengan tindakan yang sama telah terjadi jadi tindak
pidana lain. Contoh seseorang yang yang telah melakukan
suatu pemerkosaan di muka umum, selain melanggar Pasal
285 KUHP, sekaligus merupakan kejahatan melanggar
kesusilaan Pasal 281 KUHP.
• Contoh lain, Seseorang dengan ancaman kekerasan kepada
pejabat, memberi pertolongan kepada tahanan untuk
melarikan diri sekaligus melanggar Pasal 223 dan 221 KUHP.
Seseorang yang menembak A dengan kehendak untuk
membunuhnya, telah sekaligus melukai B karma peluru yang
mengenai A tembus kepada B, padahal ia tiada kehendak
untuk itu, maka pelaku tersebut telah melanggar Pasal 338
KUHP dan Pasal 351 KUHP.
b. Concursus Realis atau Merdaadse Sameloop
• Dua atau lebih tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yang
dengan itu telah terjadi dua kali atau lebih tindak pidana. Tindak
pidana ini disebut juga meerdadse samenloop atau concursus
realis sebagaimana dirumuskan dalam perundangan.
• Mengenai Concursus Realis atau disebut juga sebagai
perbarengan jamak yang diatur di KHUP dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal-pasal 65, 66, 70 dan 70 bis. Dikatakan
perbarengan tindakan jamak atau perbarengan dua/lebih
tindakan, apabila tindakan-tindakan itu berdiri sendiri dan
termasuk dua/lebih ketentuan pidana yang dilakukan oleh
setiap orang.
• Tindakan-tindakan sejenis, tetapi bukan sebagai perwujudan
dari satu kehendak, dan dapat juga berupa tindakan-tindakan
beragam seperti:
1. Melakukan pencurian di rumah A pada hari Senin, kemudian
pada hari Rabu melakukan pencurian di rumah B dan pada
hari Sabtu melakukan pencurian di suatu gudang. Pencurianpencurian tersebut dilakukan bukan dengan satu kehendak;
2. Melakukan pencurian pada hari pertama, penggelapan pada
hari ketiga dan penipuan pada hari ketujuh
3. Melakukan penghinaan pada hari pertama, penipuan pada
hari ketiga dan penadahan pada hari keenam
4. Melakukan kejahatan pada hari pertama, kemudian hari
melakukan pelanggaran-pelanggaran pada hari-hari yang
berurutan.
• Dalam KUHP perbedaan tindakan jamak ini disatu pihak
dikaitkan. dengan jenis pidana yang diancamkan dari kepada
kejahatan-kejahatan yang terjadi Pasal 65 dan 66 KUHP dan
lain pihak dikaitkan dengan jenis tindak pidana Pasal 70 dan
70 bis. Di Pasal 65 KUHP bertitik berat kepada ancaman
pidana yang sejenis (misalnya ; sama-sama pidana penjara
atau sama-sama pidana kurungan), sedangkan di Pasal 66
KUHP bertitik berat kepada ancaman pidana yang tidak
sejenis. Di Pasal 70 KUHP ditentukan bahwa perbarengan itu
antara kejahatan dan pelanggaran ataupun antara sesama
pelanggaran, yang kemudian dikaitkan dengan stelsel
pemidanaannya. Dalam hal ini kejahatan-kejahatan ringan
sebagaimana ditentukan di Pasal 70 bis, dipandang sebagai
pelanggaran.
Delik Tertinggal
• Suatu delik yang seharusnya merupakan bagian atau salah
satu delik dari delik berbarengan akan tetapi karena sesuatu
delik ini ditinggalkan atau tertinggal tidak ikut sekaligus
diperiksa. dalam persidangan pengadilan.
• Tertinggalnya delik ini mungkin karena belum diketahui pada
penyidikan delik lainnya ataupun mungkin juga karena belum
lengkapnya alat-alat pembuktiannya.
• Masalah delik tertinggal ini sangat penting, karena ketentuan
stel-stel pemidanaannya sama dengan delik berbarengan yang
disidangkan sekaligus
SISTEM PERADILAN PIDANA
• Sistem Peradilan Pidana adalah alat kontrol sosial di mana seluruh
komponen yang terlibat di dalam proses peradilan pidana berfungsi untuk
mengontrol berbagai macam bentuk kejahatan melalui peradilan pidana
sebagai suatu institusi sosial yang secara formal dirancang untuk
merespon akan kebutuhan tersebut.
• Komponen sistem peradilan pidana adalah Polisi, Jaksa, Hakim, Pegawai
Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.
• Integrated criminal justice system:
–
–
–
–
Penyidikan oleh kepolisian
Penuntutan oleh Kejaksaan
Pemeriksaan sidang dan putusan oleh Kehakiman/pengadilan
Pemasyarakatan oleh Lembaga Pemasyarakatan.
• Proses bekerjanya sistem peradilan pidana: sederhana, cepat, dan mudah.
• Sengketa Pidana merupakan sengketa antara
individu dengan masyarakat (Publik).
• Sistem hukum Indonesia mengikuti Civil law
system yang tidak mengenal adanya juri.
Dasar Hukum Peradilan Pidana
• UUD 1945, khususnya yang menyangkut kekuasaan
kehakiman.
• UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
• UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
yang lebih dikenal dengan KUHAP
• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
• Peraturan perundang-undangan lain yang terkait
serta peraturan pelaksananya.
Undang-Undang Yang Mengatur dalam
Sistem Peradilan Pidana
• UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
• UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
• UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
• UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
• UU No. 12 Tahun 1997 Tentang Lembaga
Pemasyarakatan.
Azas Sistem Peradilan Pidana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Azas Equality before the law
Azas Legalitas dalam upaya paksa
Azas Presumption of innocence
Azas Remedy and rehabilitation
Azas Fair, impartial, impersonal and objective
Azas Legal assistance
Azas Miranda Rule
Azas Presentasi
Azas Keterbukaan
Azas Pengawasan
Tujuan Sistem Peradilan Pidana
(Mardjono Reksodipuro)
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi
sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
Komponen Integrated Criminal Justice
1. Komponen yang bersifat struktural yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan.
2. Komponen substansial yaitu hukum pidana harus
dilihat dalam konteks sosial untuk keadilan
3. Komponen kultural yaitu ideologi, pandangan,
sikap dan bahkan falsafah yang mendasari sistem
peradilan pidana yang pada akhirnya disebut
dengan model.
Faktor yang mempengaruhi jalannya penyelesaian
perkara di Pengadilan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Faktor substansi – perkara
Faktor pencari keadilan
Faktor kuasa hukum
Faktor substansi hukum
Faktor kesiapan alat-alat bukti
Faktor sarana prasarana
Faktor budaya hukum
Faktor komunikasi dalam persidangan
Faktor pengaruh dari luar
Faktor aparat pengadilan
Faktor hakim
Faktor manajemen.
Prinsip Pelaksanaan Peradilan Pidana
• Sederhana, maknanya bahwa proses yang tidak bertele-tele,
tidak berbelit, tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, tidak
interpretable, mudah dipahami, mudah dilakukan, mudah
dilaksanakan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit.
• Cepat, harus dipahami sebagai upaya strategis untuk
menjadikan sistem peradilan sebagai institusi yang dapat
menjamin
terwujudnya/tercapainya
keadilan
dalam
penegakan hukum secara cepat.
• Murah, artinya harus ada jaminan bahwa keadilan tidak
mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan.
Tujuan Hukum Pidana
•
•
Teori Absolut (Vergeldingstheorie)
Hukuman dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap
para pelaku karena telah melakukan kejahatan
yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang
lain atau anggota masyarakat.
Teori Relatif
–
–
Menjerakan, diharapkan si pelaku tindak pidana menjadi
jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Memperbaiki pribadi terpidana, diharapkan terpidana
merasa menyesal sehingga tidak mengulangi
perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai
orang yang baik dan berguna
Azas Hukum Acara Pidana
• Azas Umum
–
–
–
–
–
–
–
Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun
Praduga tak bersalah
Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum
Hak untuk kehadiran terdakwa di muka pengadilan
Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana
Peradilan yang terbuka untuk umum
• Azas Khusus
– Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan
surat perintah (tertulis)
– Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan
pendakwaan terhadapnya, dan
– Kewajiban pengadilan untuk mengendalian pelaksanaan putusan-putusannya.
Sepuluh Usulan Pembaruan Peradilan Pidana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Perlunya Lay / Judges dalam Pengadilan
Technology Court
Stelsel Pasif
Disclosure system
Exclusionary rule
Praperadilan adalah habeas corpus
Special prossecutor
Procureur stelling
Impeachment
Mahkamah Agung sebagai puncak kedaulatan hukum.
Proses Pemeriksaan Perkara Pidana
1.
2.
Pemeriksaan perkara pidana berawal dari terjadinya tindak
pidana (delict) atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana
yang berupa kejahatan atau pelanggaran.
Peristiwa atau perbuatan tersebut diterima oleh aparat
penyelidik (Polri) melalui:
1.
2.
3.
3.
4.
Laporan dari masyarakat
Pengaduan dari pihak yang berkepentingan
Diketahui oleh aparat sendiri dalam hal tertangkap tangan
(heterdaad)
Penyelidik menentukan apakah suatu peristiwa atau
perbuatan (feit) merupakan peristiwa atau perbuatan pidana
atau bukan.
Jika dalam penyelidikan diketahui atau terdapat dugaan
bahwa peristiwa atau perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana maka dapat dilanjutkan pada proses selanjutnya yaitu
Penyidikan.
5.
6.
7.
8.
Penyidikan dilakukan untuk mengusut, mencari, dan
mengumpulkan bukti-bukti agar terang tindak pidananya
dan untuk menemukan tersangkanya.
Polri pada dasarnya merupakan penyidik tunggal, namun
dalam kasus-kasus tertentu (tindak pidana bidang perbankan,
bea cukai, keimigrasian, dll) dapat dilibatkan penyidik
Pegawai Negeri Sipil, selain itu kewenangan penyidikan ada
pada jaksa apabila menyangkut kasus tindak pidana
ekonomi, korupsi atau subversi.
Penyidikan
merupakan
pemeriksaan
pendahuluan
(vooronderzoek) yang dititikberatkan pada upaya pencarian
atau pengumpulan “bukti faktual” atau bukti konkret.
Proses penyidikan sering diikuti dengan tindakan
penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat
diikuti dengan tindakan penahanan terhadap tersangka dan
penyitaan terhadap barang atau bahan yang diduga erat
kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.
9.
Pemeriksaan terhadap saksi pada tingkat penyidikan tidak perlu
disumpah, kecuali jika saksi dengan tegas menyatakan tidak
dapat hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka
saksi harus disumpah agar keterangannya mempunyai kekuatan
yang sama jika diajukan di pengadilan.
10. Hasil pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi dituangkan
dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dijadikan satu
berkas dengan surat-surat lainnya.
11. Apabila dalam pemeriksaan awal tidak terdapat cukup bukti
adanya tindak pidana, maka penyidik dapat menghentikan
penyidikan dengan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah
Penghentian Penyidikan. Namun apabila bukti telah cukup
maka penyidik dapat segera melimpahkan berkas perkara ke
kejaksaan untuk proses penuntutan.
12. Jika BAP telah diterima Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan
dinyatakan telah sempurna, maka JPU segera melakukan
proses Penuntutan, namun apabila BAP dinyatakan oleh JPU
kurang sempurna akan dikembalikan kepada penyidik dengan
disertai catatan atau petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
penyidik.
13. Hasil konkret dari proses penuntutan adalah surat dakwaan
yang didalamnya memuat:
1.
2.
3.
4.
Unsur-unsur perbuatan terdakwa
Waktu terjadinya tindak pidana (Locus)
Tempat terjadinya tindak pidana (Tempus delicti)
Cara-cara terdakwa melakukan tindak pidana
14. Proses penuntutan merupakan transformasi oleh JPU dari
peristiwa dan faktual yang disampaikan penyidik menjadi
peristiwa dan bukti yuridis.
15. Dalam proses penuntutan, penuntut umum menetapkan bahanbahan bukti dari penyidik untuk meyakinkan hakim dan
membuktikan dakwaannya dalam persidangan.
16. Terhadap tindak pidana penyertaan (deelneming) atau
concursus (samenloop) penuntut umum dapat menentukan
apakah perkara tersebut pemeriksaannya digabung menjadi
satu atau akan dipecah menjadi beberapa perkara.
17. Penuntut umum juga menentukan apakah perkara tersebut akan
diajukan ke pengadilan dengan acara singkat (sumir) atau
dengan acara biasa, hal ini biasanya tergantung dari kualitas
perkaranya.
18. Pengadilan dengan acara singkat yaitu pada hari yang
ditentukan oleh pengadilan akan langsung menghadapkan
terdakwa beserta bukti-bukti ke sidang pengadilan.
19. Pengadilan dengan acara biasa, yaitu penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan disertai dengan surat
dakwaan dan surat pelimpahan perkara yang isinya
permintaan agar perkara tersebut segera diadili.
20. Sebelum ke pengadilan, ada proses praperadilan yaitu
wewenang pengadilan untuk negeri untuk memeriksa dan
memutus tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya
hukum dan keadilan
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
21. Apabila berkas perkara, terdakwa, dan bukti-bukti telah
diajukan ke pengadilan berarti proses pemeriksaan perkara
telah sampai pada tahap Peradilan. Tahap ini merupakan
tahap yang menentukan nasib terdakwa karena dalam tahap
ini semua argumentasi para pihak (penuntut umum dan
terdakwa/penasihat hukum) diadu secara terbuka dan
dikuatkan dengan bukti-bukti yang ada.
22. Asas yang berlaku adalah Pemeriksaan di sidang pengadilan
dilakukan oleh Majelis Hakim yang jumlahnya gasal, namun
dalam keadaan tertentu dapat dilakukan oleh Hakim Tunggal
atas izin dari Ketua Mahkamah Agung.
23. Yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum:
1. Dakwaan
2. Tuntutan
3. Replik, dll
24. Yang diajukan oleh Terdakwa/Penasihat Hukum:
1. Eksepsi
2. Pembelaan
3. Duplik, dll
25. Terhadap putusan yang telah diambil oleh Majelis Hakim
semua
pihak
(Jaksa
Penuntut
Umum
dan
Terdakwa/Penasihat Hukum) diberi kesempatan untuk
menyatakan sikap:
1.
2.
3.
4.
Menerima
Pikir-pikir
Mengajukan upaya hukum
Mengajukan grasi
26. Jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(inkracht van gewijsde), maka putusan tersebut dapat segera
dilaksanakan (dieksekusi). Pelaksana eksekusi putusan
pengadilan dalam perkara pidana adalah jaksa.
27. Jika dalam amar putusan dinyatakan terdakwa bebas, maka
terdakwa harus dilepaskan dari tahanan dan dipulihkan hakhaknya kembali seperti sebelum diadili.
28. Jika dalam amar putusan dinyatakan terdakwa dipidana
badan (penjara/kurungan), maka jaksa segera menyerahkan
terdakwa ke Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) untuk
menjalani hukuman dan pembinaan.
Tindak Pidana
(delict)
Tertangkap Tangan
(ambtshalve)
Ps. 1 Butir 4 – 5 jo
Ps. 4 – 5 jo
Ps. 102 – 105 KUHAP
Penyelidikan
Ps. 1 Butir 25
KUHAP
Penyidikan
Ps. 14 b jo Ps. 110 Ay
(3) – (4) jo. Ps. 138
KUHAP
Prapenuntutan
Penuntutan
Laporan
(aangifte)
Ps. 1 Butir 24
KUHAP
Ps. 1 Butir 1 – 3 jo
Ps. 6 – 12 jo
Ps. 106 – 136 KUHAP
Vooronderzoek
Pengaduan
(klacht)
Ps. 1 Butir 6 – 7 jo
Ps. 13 – 15 jo
Ps. 137 – 144 KUHAP
Ps. 1 Butir 8 – 9 jo
Ps. 145 – 232 KUHAP
Ps. 1 Butir 10 jo
Ps. 77 – 83 KUHAP
Peradilan
(Sidang Pengadilan)
Eksekusi
Eindonderzoek
Praperadilan
PERSONIL YANG TERLIBAT DALAM PERSIDANGAN PIDANA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hakim / Majelis Hakim
Jaksa Penuntut Umum
Penasihat Hukum
Panitera / Paniter Pengganti (PP)
Terdakwa
Saksi / Saksi Ahli
Para Petugas yang Mendukung Kelancaran Jalannya
Persidangan:
1.
2.
3.
4.
Juru Sumpah
Juru Panggil
Petugas Pengawalan
Petugas Keamanan
Tahap-tahap Persidangan Pidana
1.
Sidang Pertama
1.
2.
3.
4.
5.
2.
Sidang Pembuktian
1.
2.
3.
3.
Pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum
Pembuktian oleh Terdakwa/Penasihat Hukum
Pemeriksaan pada Terdakwa
Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana, Pembelaan, dan
Tanggapan-tanggapan
1.
2.
3.
4.
Hakim/Majelis Hakim Memasuki Ruang Sidang
Pemanggilan Terdakwa supaya Masuk ke Ruang Sidang
Pembacaan Surat Dakwaan
Pengajuan Eksepsi (keberatan)
Pembacaan/Pengucapan Putusan Sela
Pembacaan Tuntutan Pidang (Requisitoir)
Pengajuan/Pembacaan Nota Pembelaan (Pleidooi)
Pengajuan/Pembacaan Tanggapan-tanggapan (Replik dan Duplik)
Sidang Pembacaan Putusan
Tata Cara Persidangan
Perkara Biasa
1.
2.
3.
4.
Surat dakwaan dibuat secara
tertulis
dan
diajukan
ke
persidangan dengan cara dibacakan
oleh Penuntut Umum
Pada umumnya eksepsi dan
pembelaan dibuat secara sistematis
tertulis
dan
diajukan
ke
persidangan dengan cara dibacakan
oleh terdakwa dan atau penasihat
hukum
Putusan dibuat secara khusus
dalam surat putusan
Keseluruhan tahap persidangan
biasanya harus diselesaikan dalam
beberapa hari sidang
Perkara Singkat
1. Dakwaan disampaikan secara lisan
berdasarkan catatan yang dibuat oleh
Penuntut Umum
2. Pada
umumnya
Eksepsi
dan
Pembelaan
disampaikan
secara
sederhana/lisan oleh terdakwa dan
atau penasihat hukum
3. Putusan tidak dibuat secara khusus,
tetapi dicatat dalam Berita Acara
Persidangan
4. Diupayakan
seluruh
tahap
persidangan
dapat
diselesaikan
dalam satu hari sidang
Tata Cara Persidangan Perkara Cepat secara Singkat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hakim membuka sidang dan memerintahkan pada panitera untuk membuka buku
register yang memuat catatan semua perkara yang diterimanya.
Hakim memerintahkan penyidik/petugas untuk memanggil para terdakwa yang
akan diperiksa agar masuk ke ruang sidang sesuai dengan urutan yang terdapat
dalam buku register.
Terdakwa pertama diperintahkan untuk duduk di kursi pemeriksaan, selanjutnya
hakim memerintahkan agar panitera membacakan identitas terdakwa dan apa
yang didakwakan padanya.
Acara dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan barang bukti atau alat
bukti lainnya. Tata cara pemeriksaan saksi dan alat bukti lainnya sama dengan
tata cara pemeriksaan dalam perkara biasa/singkat, keculai dalam hal
penyumpahan, biasanya saksi dalam pemeriksaan perkara cepat tidak perlu
disumpah.
Hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk menggapi hasil pemeriksaan
atau mengajukan pembelaan.
Hakim menjatuhkan putusan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan dan
selanjutnya hakim memberitahukan hak-hak terdakwa untuk menentukan sikap.
Terdakwa selanjutnya dipanggil dan diperiksa, diadili, dan dijatuhi putusan
sebagaimana terdakwa sebelumnya, demikian seterusnya sampai semua
terdakwa yang diajukan pada pemeriksaan cepat pada hari sidang tersebut habis.
Putusan-putusan tersebut dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan
selanjutnya dicatat oleh panitera dalam buku register serta ditandantangani oleh
hakim dan panitera yang bersangkutan.
Sidang ditutup
Jaksa
Penuntut Umum
Hakim/
Majelis Hakim
Terdakwa /
Penasihat Hukum
Dakwaan
Eksepsi
Tanggapan (Replik)
Tanggapan (Duplik)
Sidang
Pertama
Tahap I
Sidang Dibuka
Putusan Sela
Pemeriksaan Terdakwa
• Saksi A Decharge
• Ahli
• Surat
• Barang Bukti
Pleidooi
(Pembelaan)
Requisitor
(Tuntutan Pidana)
Replik
Duplik
Sidang Tuntutan
& Pembelaan
Tahap III
• Saksi A Charge
• Ahli
• Surat
• Barang Bukti
Pemeriksaan Bukti
Sidang
Pembuktian
Tahap II
Pemeriksaan Bukti
Pernyataan Sikap:
- Menerima
- Pikir-pikir
- Upaya Hukum
Putusan
Sidang Ditutup
Pernyataan Sikap:
- Menerima
- Pikir-pikir
- Upaya Hukum
Sidang
Putusan
Tahap IV
(Musyawarah hakim, penilaian fakta,
penerapan hukum, dan penerapan sanksi)
Pengadilan Yang Menangani Perkara Pidana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pengadilan Negeri
Pengadilan Anak
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan Perikanan
Pengadilan Militer
Komponen inti dari penegakan HUKUM
PIDANA adalah:
1. Peraturan Perundang-undangan yang baik,
2. Aparat penegak hukum yang bermoral, dan
3. Anggota masyarakat yang berkesadaran
hukum.
PLURALISME DALAM HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
• 1. Pluralisme Hukum
• 2. Pluralisme Hukum Pidana
• 3. Hukum Pidana Adat dan Pluralisme Hukum
Pidana (Contoh Pidana Adat Bali)
• 4. Hukum Pidana Islam dan Pluralisme Hukum
Pidana (Pidana Islam di NAD)
• 5. Penutup
Pluralisme Hukum
• Adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersamasama berada dalam lapangan sosial yang sama
• “Legal pluralism is generally defined as a situation in which
two or more legal systems coexist in the same social field”
(Sally Engle Merry)
• “… The presence in a social field of more than one legal
order.” (Grifiths)
• Dalam area pluralisme hukum terdapat hukum negara di satu
sisi dan di sisi lain adalah hukum rakyat (hukum adat, hukum
agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi sosial lain yang
dipandang hukum)
Melalui pandangan pluralisme hukum :
• dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beraneka
ragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. dalam
kenyataan terdapat sistem-sistem hukum lain di luar hukum
negara (state law).
• dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut
“beroperasi” bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari.
• dapat diamati dalam konteks apa orang memilih (kombinasi)
aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih
aturan dan sistem peradilan yang lain.
Pluralisme hukum lemah dan kuat
• Pluralisme hukum lemah : bentuk lain sentralisme
hukum, meski pluralisme hukum diakui tetapi hukum
negara tetap dipandang sebagai superior, sementara
hukum yang lain disatukan dalam hirarki di bawah
hukum negara.
• Pluralisme hukum kuat : fakta adanya kemajemukan
tatanan hukum yang terdapat di semua kelompok
masyarakat. Semua sistem hukum yang ada
dipandang sama kedudukan dalam masyarakat, tidak
terdapat hirarki lebih tinggi dan rendah.
Perkembangan konsep Legal Pluralism
• Tidak menonjolkan dikotomi antar sistem hukum negara di
satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi lain
• Pluralisme hukum lebih menekankan pada : “a variety of
interacting, competing normative orders – each mutually
influencing the emergence and operation of each other’s
rules, process and institutions” (Kleinshans dan MacDonald).
• Pemikiran pluralisme hukum terakhir menunjukkan adanya
perkembangan baru, yaitu memberi perhatian kepada
terjadinya saling ketergantungan atau saling pengaruh
(interdependensi, interfaces) antara berbagai sistem hukum,
terutama antara hukum internasional, nasional, dan lokal.
Pluralisme dalam Hukum Pidana
• Bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan adanya sistem
hukum lain disamping hukum negara masih sulit diterima.
• Hal ini terutama dalam bidang hukum pidana; dan tidaklah
terlalu mengejutkan dalam bidang hukum perdata (mis.
Perikatan, perkawinan, kewarisan)
• Keberadaan asas Legalitas sebagaimana dikandung dalam
Pasal 1 (1) KUHP misalnya merupakan “benteng yang sangat
kuat” untuk menafikan keberadaan hukum pidana lain selain
hukum pidana negara.
• Meski demikian, dalam sejarah perkembangan hukum pidana
Indonesia, ada lebih dari satu sistem hukum pidana yang
digunakan yaitu hukum pidana barat (Belanda) sesuai WvS
dan Hukum Pidana Adat.
Hukum Pidana Adat dan Pluralisme Hukum
Pidana (Contoh Pidana Adat Bali)
• Hukum pidana adat : tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan
terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk
memulihkan kentraman dan keseimbangan, maka terjadi reaksi adat.
• Jembatan yuridis untuk mengaktualisasi hukum pidana adat dalam
kerangka hukum pidana nasional adalah dalam pasal 5 (3) sub b UU No. 1
Drt 1951.
• Di Bali terdapat beberapa sumber hukum pidana adat yang tertulis.
• Berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana adat dibagi menjadi dua :
tindak pidana adat yang dilakukan di tempat sudi (pura) dan tindak pidana
adat di luar tempat suci.
• Proses penyelesaian tindak pidana adat di Bali ada yang diselesaikan
melalui saluran formal yaitu melalui pengadilan (khususnya PN) dan
saluran informal (diselesaikan melalui lembaga adat).
• Di Bali, tindak pidana adat yang terjadi sebagian
besar diselesaikan di luar pengadilan.
• Dasar hukum yang digunakan dalam penyelesaian di
PN adalah KUHP atau Kitab Adi Agama jo Pasal 5 (3)
UU No. 1 Drt 1951.
• Sanksi adat yang dikenal : upacara pembersihan,
denda, minta naaf, dibuang, tidak diajak bicara,
diusir, dsb.
Hukum pidana adat dalam RUU KUHP
(draft 2004)
• Pasal 1 (1) Tiada seorangpun dapat dipidana atau
dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada saat perbuatan itu dilakukan.
• (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan.
Penjelasan
Pasal 1 (3) RUU KUHP (draft 2004)
• Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah
tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang
tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku
sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian
terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang
biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya
hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan
secara tegas dalam KUHP ini. Ketentuan dalam ayat ini
merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana
diatur dalam perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana
adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup
di dalam masyarakat tertentu.
Hukum Pidana Islam dan Pluralisme Hukum Pidana (Pidana Islam
di NAD)
• Otonomi Khusus Aceh
• UU No. 44 Tahun 1999 ttg Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Di Aceh
• UU No. 18 Tahun 2001 ttg Otonomi Khusus bagi
Provinsi NAD
• UU No. 11 Tahun 2006 ttg Pemerintahan Aceh
• Qanun
• Pergub
Hukuman Cambuk
• Qanun No. 12/2003 ttg Khamr/ minuman
keras
• Qanun No. 13/2003 ttg Maisir / perjudian
• Qanun No. 14/2003 ttg Khalwat
• Pergub No. 10 tahun 2005 ttg Petunjuk
Pelaksanaan Teknis Hukuman Cambuk
• Hukuman cambuk antara lain telah diterapkan
di Bireun, Kuala Simpang, Banda Aceh, dan
Langsa.
• Implikasi dari penerapan syariat Islam sebagaimana
diatur dalam UU adalah dapat mengenyampingkan
peraturan sejenis yang mengatur hal yang sama.
• Sesuai UU No. 32/2004 dan UU No. 10/2004 Di
daerah lain Perda hanya dapat memuat tindak
pidana dengan jenis Pelanggaran dengan pidana
kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling
banyak Rp 50 juta. Tidak dikenal jenis sanksi pidana
yang lain.
Syariat Islam di Aceh
• syariat Islam yg diterapkan termasuk Jinayah (hukum pidana)
 Pasal 125 UU No. 11/2006
• Peradilan Syariat Islam diAceh adalah bagian dari sistem
peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama
• Salah satu kompetensi mahkamah Syariah adalah jinayah
(hukum pidana)  Pasal 128 UU No. 11/2006
• Ketentuan lebih lanjut mengenai Syariat Islam dan bidang
yang menjadi kompetensi Mahkamah Syariah serta hukum
acaranya diatur dalam Qanun
• Sebelum hukum acara sesuai Qanun ada maka hukum acara
pidana berlaku hukum acara pada peradilan umum
Masalah Pilihan Hukum Pidana?
Pasal 129 UU 11/2006
• (1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersamasama yang diantaranya beragama bukan Islam,
pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih
dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum
jinayah.
• (2) Setiap orang yang beragama bukan Islam
melakukan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP
atau ketentuan pidana di luar KUHP berlaku hukum
jinayah.
• (3)Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan
jinayah di luar Aceh berlaku KUHP
Hukum Pidana dalam Qanun
Pasal 241 UU No.11/2006
• (2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan
paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak
Rp 50 juta.
• (3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau
denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan lainnya.
• (4) Qanun mengenai jinayah (hukum pidana)
dikecualikan dari ketentuan ayat (1), (2), dan ayat (3).
• Baik dalam pengakuan hukum pidana adat melalui
UU No. Drt 1 Tahun 1951 dan RUU KUHP maupun
pengakuan jinayah melalui UU No. 11/2006 sesuai
dengan pernyataan Von Savigny  “hukum itu tidak
dibuat , melainkan berada dan berkembang denagn
bangsa” serta Eugen Ehrlich  The positive law can
be effective only when it corresponds to the living
law : that is, when legal codes are based on
underlying social norms, or real live. In other words,
law is to be understood as part of the social order.”
Download