Uploaded by Jeremy Sutjiawan

gusdur

advertisement
Banyak yang telah ditulis tentang keberpihakan Gus Dur terhadap pluralisme dan
multikulturalisme. Harus diakui bahwa komentar, tafsir, dan berbagai teks tentang Gus Dur akan
terus mengalir tiada henti. Ini konsekuensi logis dari dua hal. Pertama, pluralisme bagi Gus Dur
bukan sebuah wacana dan bukan pula sekadar sebuah perjuangan untuk menjadi realitas
kehidupan bersama. Bagi Gus Dur, pluralisme adalah eksistensi kehidupan dan menjadi sebuah
penghayatan eksistensial bagi dirinya. Karena itu, kedua, konsekuensi logisnya, ia menerima
adanya tafsir beragam-ragam atas sikap eksistensi hidupnya. Hidupnya adalah sebuah teks
multitafsir yang beragam. Yang berarti kontroversi, perbedaan, dan keragaman tafsir atas sikap
dan penghayatan hidup Gus Dur sudah menjadi konsekuensi logis dari eksistensi Gus Dur.
Tulisan ini ingin mengangkat tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai
penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan
bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya
penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu
dihayati secara konsekuen.
Pengakuan Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur
adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya,
politik, maupun jenis kelamin. Menerima dan menghayati multikulturalisme berarti pertamatama ada pengakuan mengenai adanya orang lain dalam keberbedaan dan keberlainannya. Inilah
yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen
mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam
identitas kulturalnya. Konsekuensi lebih lanjut dari pengakuan ini, semua orang dan kelompok
masyarakat yang beragam-ragam itu harus dijamin dan dilindungi haknya untuk hidup sesuai
dengan keunikan dan identitasnya. Dasar moral dari pengakuan, jaminan, dan perlindungan ini
adalah humanisme: setiap orang hanya bisa berkembang menjadi dirinya sendiri dalam
keunikannya: agama, suku, jenis kelamin, aliran politik. Pemaksaan terhadap cara hidup yang
berbeda dari yang dianutnya adalah sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia yang
unik, dan sekaligus juga pengingkaran atas identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi
yang unik. Demikian pula sebaliknya, penghambatan terhadap orang lain dalam melaksanakan
identitas agama, budaya, jenis kelamin, dan aliran politiknya yang berbeda sejauh tidak
mengganggu tertib bersama adalah juga sebuah pelanggaran atas harkat dan martabat manusia
yang unik. Ini semua dihayati oleh Gus Dur secara konsekuen, termasuk bahkan dianggap
nyeleneh dan kontroversial. Namun, itu adalah risiko dari pilihan politik atas multikulturalisme.
Toleransi Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik
pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Memaksa
orang lain menjadi kita, atau menghambat orang lain menjadi orang lain, sama artinya dengan
membangun monokulturalisme. Yang berarti antimultikulturalisme. Hanya saja, yang menarik
pada Gus Dur, toleransi pertama-tama dihayati oleh beliau bukan secara negatif-minimalis:
sekadar membiarkan orang lain menjalankan identitas kulturalnya (dalam pengertian luas
mencakup agama, adat istiadat, jenis kelamin, dan aliran politik). Toleransi yang negatifminimalis adalah sekadar tidak melarang, tidak menghambat, tidak mengganggu, dan tidak
merecoki orang lain dalam penghayatan identitas kulturalnya. Toleransi negatif-minimalis inilah
yang masih menjadi perjuangan berat bagi kita semua. Gus Dur justru menghayati dan
mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju dari toleransi negatifminimalis di atas. Yang dihayati dan dipraktikkan beliau adalah toleransi positif-maksimal:
membela kelompok mana saja—termasuk khususnya minoritas—yang dihambat pelaksanaan
identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok
melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu
ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Maka, ia mendorong
orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Ia
mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik. Dan
seterusnya. Toleransi positif-maksimal ini bahkan dihayati Gus Dur secara konsekuen tanpa
kalkulasi politik dan tanpa dipolitisasi untuk kepentingan politik apa pun selain demi
humanisme: mendorong semua manusia menjadi dirinya sendiri yang unik tanpa merugikan
pihak lain.
Kian jadi diri sendiri
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam
perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi
dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Gur mendorong umat dari
agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi
seorang Muslim yang baik dan tulen. Ini hanya mungkin terjadi karena Gus Dur sendiri sudah
oke dengan jati dirinya sendiri, dengan identitas kulturalnya, dan menjalankan identitas
kulturalnya secara murni dan konsekuen sebagaimana ia menghendaki orang lain melakukan hal
yang sama. Itu disertai dengan keyakinan yang teguh bahwa semakin orang menjadi dirinya
sendiri dalam identitas kulturalnya, maka semakin terjamin tertib sosial. Sebab, ketika seseorang
melaksanakan identitas kulturalnya sampai merusak tertib sosial, ia merusak citra diri dan
identitasnya, serta identitas semua kelompok kultural terkait. Artinya, multikulturalisme bukan
sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan
toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia akan justru menjamin
tertib sosial dan melalui itu setiap orang akan bisa menjadi dirinya sendiri dalam keragamannya
yang unik. Proyek besar yang ditinggalkan Gus Dur, yang sekaligus menjadi tantangan kita
bersama, adalah bahwa kita masih berbicara tentang multikulturalisme pada tingkat wacana. Kita
belum benar-benar menghayati dan melaksanakannya secara konsekuen sebagaimana Gus Dur.
Hal itu, antara lain, karena kita terhambat oleh ketakutan kita sendiri. Pertama, kita takut tidak
diterima orang lain dalam keberbedaan dan keunikan identitas kultural dan jati diri kita. Kedua,
kita takut akan bayangan kita sendiri yang kita proyeksikan pada orang lain seakan orang lain
akan menolak segala praktik kultural kita karena kita sendiri tidak benar-benar oke dengan
identitas kultural dan jati diri kita. Ketiga, kita takut kalau-kalau dengan mengakui identitas
kultural pihak lain, kita sendiri terbawa hanyut dalam identitas kultural pihak lain lalu kehilangan
jati diri.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gus Dur dan Politik Multikulturalisme",
https://nasional.kompas.com/read/2010/01/09/02533080/gus.dur.dan.politik.multikulturalisme?p
age=all.
Download