• ¥O@ • Pþ Tþ %Z@ •O@ • öißµ ÏÊ †5N ÓÏà qÔ-ý†Ðà right.pdf f pdf .pdf •u' `þ • • À•( <• ãÉ|2 Ì üŠ ”‹ BAB III.doc od 0• EO@ •u' •#' " û• Ì“ ô©Qu•#' •u' ¬u' ìÄ" ûÄ" ìÄ" T” •#' ” áËËt •u' ìÄ" $‘( äÄ" 0’( t” ” €ÊËtàÄ" ÌÄ" t” 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" 0’( ` ˆÄ" üÄ" l” 5ZËtüÄ" •u' BABIII~1.DOC aÎt` ` Œ” OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" $— ÛNËt` ˆÄ" °Ã" îNËt” ß oõ P • ` €s-w• €s-w À– ( • 3é w€s-w ÄÄ" ÄÄ" ÄÅ" Å" ª ü— ÄÄ" •u' / wp ! ¨– ½ wpd• ¨– í wp fÃ" wpЖ P ! @c€P ! Xr! ! àÏ" K n i a P ! l ˆÄ" l øÃ" p4 wŸ4 wl mèp! y a ! €Ä" i h† Ä" Ä ! ˜o! H ! €Ä" ÈÅ" – ¿, s – l– ®. s lsÅ. s ' (’( T– p’( PŸ' ÐO) ÊjÄF(’( P— X ß ß ð Ä ! o! ! øÃ" l m “1 w8 ! o1 wj² ! ¨Ã" } |` Ä" Ä ! ˜o! è ! Ã" Ä— w ! °Ã" ( ( ! Ä ! Xr! ! Ä ! Xr! ! P ! Xr! ˜ } P ˜ Ä (Ã" ˜o! Xr! ¸— Xr! èp! } (Ã" Ä ! ˜ y| À è— ä– @[( 0- M× w - þÿÿÿo1 wh- w °Ã" °Ã" x˜ ¨Ã" ø— p/úu ! °Ã" ˜ fRúu°Ã" °Ã" ˜ CRúu °Ã" (˜ çQúu°Ã" |˜ Ôpüu˜m! Ôpüu ˜m! X˜ QSúuÔpüuš ˜m! ïMûuX˜ X˜ è qP’ T– btamail.net.cn w8 o1 wⶠw ’ ð ’ • ÊjÄF¼— º•( ‰uQu pW¯u• C¼-GþÿÿÿšuQu 0’( iZËtP 0’( ð M× w - þÿÿÿo1 wh- w ð ' P •u' ø t“ Ä “ºt P P ÔZËt•u' @ ß Ä • l •u' •#' " û• ¨“ ô©Qu•#' •u' •u' F ' Ò' x” ž5 w8 ' Ÿ4 wÖ± wè— ' P ' ìÄ" T” P ' | ' áËËt P ' F à•( äÄ" 0’( t” €s-w €s-w À– ( L” 3é w€s-w0• p”( L” L” 9ï wÔ–( 0• Ì–( ð” F F m w t w^± wè— Ò' p”( Ø P• m Ò' Ò Ú P• Dq w P K n \ D r M . S i \ P M o r a l \ ž5 w8 ' Ÿ4 Tþ M× wv˜ p”( oõ – Ò €s-wm è— è— Ì–( Ò' `— ˜Ã ˜ Ø D : \ D A T A \ F I l e a . I i m S i t i e n d N i l a i d a B a h (’( ' ˆ’( ° w¦² 0 €s-w w¦—( $• À–( • |þéÿ À–( Ø "– 3é w€s-wè— •o w "– D o s e n J u r u s a n M a s y i t o h , n ( ' (’( — w ' P ' †˜ ŒuP ' ° ( t ' ' P ' à•( ÿÿÿç ' @ Ò' •u' &² w • ð˜( 0’( 0’( +’( P ' ' }pQ 8– þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4 @ *’( (’( Øš } w q-w 0’( F F Ðø wL’( ¨— aÁQuL’( Øš ”š Œ‹QuX ` êÒ' Øš p”( ´߲ ÏÊ Œ¼_ÑÏà °¦»µ ÏÊ *`ª Ò' è˜ Tþ M× wvL’( @[( L’( €— ¨– ôd wTþ <• `þ Ò' ¡‹Qu êÒ' X Й è˜ |Ž w•Ž wF½ @[( €— ”— ˜ @ Ú Ú — Ò' w Й %Z@ P ' ° ( | ' @ ¨˜ P ' Øœ M× wjZ@ ™ ùe wЙ Øœ ð™ ¤™ Øœ f wØœ ¸™ Ëe wЙ Й ð™ ¤™ (°ý• Й @™ â wЙ ð™ ¸™ à wЙ ð™ `þ Ò' Tþ M× wv°”( • 0 b› °”( Hš }pQ r € • Wd w¼I wed wð™ € ƒO@ X U•ôd w? • ÿÿ ; # # `þ 0’( ôd wŸ Qu • jZ@ F Ôœ # • €ÿÿ ø0±¥ 0±¥ @Iyˆ û“• ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä 4ýÿÿÌ ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@ `þ • • 0’ ( °”( o1 w 0• O@ h• `þ 0• 0• 0’( h• ãÉ|2Data\- <O@ h• °¦»µ ÏÊ Œ¼_ÑÏà • .¶ ÏÊ Data Buku Pendidikan Nilai dan Moral t' `t' •#' " û• ø£ ô©Qu•#' `t' |t' ìÄ" ûÄ" ìÄ" €¤ •#' ,¤ áËËt `t' ìÄ" [( äÄ" u' ¤ @¤ €ÊËtàÄ" ÌÄ" ¤ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" u' ` ˆÄ" üÄ" ˜¤ 5ZËtüÄ" `t' DATABU~1 DOC a Ît` ` ¸¤ OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" P§ ÛNËt` ˆÄ" °Ã" îNËtH ß ox P • ` €s-w• €s-w Ò' 0¥ 3é w€s-w ÄÄ" labil, kontekstual/kondisional, situasional. Tentang apa, mengapa, bagaimana dengan cara apa pendidikan nilai. Maka akan dibahas pada bab ini tentang tanggapan pendidikan nilai adalah adalah sebagai solusi dalam merefleksikan nilai-nilai yang dianut manusia yang diaplikasikan sebagai moralitas yang didasarkan norma (tata nilai) yang berlaku. Pengertian Pendidikan Nilai Moral Pada dasarnya, Pendidikan Nilai dapat dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan dan nilai. Ketika dua istilah itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi Pendidikan Nilai. Namun, karena arti pendidikan dan arti nilai dimaksud dapat dimaknai berbeda, definisi Pendidikan Nilai-pun dapat beragam bergantung pada tekanan dan rumusan yang diberikan pada kedua istilah itu. Mulyana (2004:119) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama, Mardiatmadja (Mulyana:2004:119) mendefinisikan Pendidikan Nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan Nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan. Hakam (2000:05) mengungkapkan bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi. Dari tiga definisi di atas, dapat dimaknai bahwa Pendidikan Nilai adalah proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju pemberntukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara. Pendidikan Nilai menurut Winecoff (1988:1-3) adalah: Values Education-pertains to questions of both moral and nonmoral judgement toward object; includes both aesthetics (ascribing value 10 objects of beauty and personal taste) and ethics (ascribing avlues ofrighl and wrong in the interpersonal realm) Arti dari value education atau pendidikan nilai di atas adalah pendidikan yang memeprtimbangkan objek dari sudut moral dan sudut non moral, yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi. Milton R (ibid:46) menyatakan bahwa esensi pendidikan nilai adalah membina, mengembangkan kepercayaan dan sistem nilai yang menjadi potensi manusia, sehingga menjadi nilai-nilai yang terorganisir pada dasar budaya masyarakat, instansi dan personal. Mulyana (2004:119) mengungkapkan bahwa secara umum, Pendidikan Nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada perilaku yang baik dan benar perlu diperkenalkan oleh para pendidik. Di dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus sebagaimana diungkapkan Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Education Innovaton for Depelopment) bahwa Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: a) menerapkan pembentukan nilai kepada peserta didik, b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilakuperilaku yang bernilai. Sementara Winecoff (1988:1-3) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan nilai adalah sebagai berikut: “Purpose of Values Education is process of helping students to explore exiting values through critical examination in order that they might raise of improve the quality of their thingking and feeling” Pendidikan nilai membantu peserta didik dengan melibatkan proses-proses sebagai berikut: Identifikation of a core of personal and societal values (Adanya proses identfikasi nilai personal dan nilai sosial terhadap stimulasi yang diterima) Philosophical and rational inquiry into the core (Adanya penyelidikan secara rasional dan filosofis terhadap inti nilai-nilai dari stimulus yang diterima) Affective or emotive response to the core (Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut) Decision-making related to the core based on inquiry and response (Pengambilan keputusan berupa nilai-nilai dan perilaku terhadap stimulus, berdasarkan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang ada dalam dirinya) Sasaran yang hendak dituju dalam Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran Pendidikan Nilai. Ini penting, untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan. Pendidikan Nilai seyogyanya dikembangkan pada diri dan bersifat umum untuk setiap orang. Pendidikan Nilai merupakan proses membina makna-makna yang esensial, karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mempelajari dan menghayati makna esensial, makna yang esensial sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Pendidikan Nilai membimbing pemenuhan kehidupan manusia melalui perluasan dan pendalaman makna yang menjamin kehidupan yang bermakna manusia (Philip H. Phenix; 1964). Pendidikan Nilai membina pribadi yang utuh, terampil berbicara, menggunakan lambang dan isyarat yang secara faktual diinformasikan dengan baik, manusia berkreasi dan menghargai estetika ditunjang oleh kehidupan yang kaya dan penuh disiplin. Djahiri (1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti, yaitu : Evocation ; yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya. Inculcation ; yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap. Moral Reasoning ; yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah. Value clarification ; yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral. Value Analyisis ; yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral. Moral Awareness; yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu. Commitment Approach; yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai. Union Approach; yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan. Menurut Hers (1980), terdapat empat model pendidikan moral, yaitu teknik pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan tindakan sosial. Teknik pengungkapan nilai adalah teknik yang memandang pendidikan moral dalam pengertian promoting self-awareness and self caring dan bukan mengatasi masalah moral yang membantu mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan dan menilai/ menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri. Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan cara yang sangat sistematis. Model ini akan memberi makna bila dihadapkan pada upaya menangani isu-isu kebijakan yang kompleks. Pengembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan menyeluruh melalui tahapantahapan umum dari pertimbangan moral. Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan kefektifan peserta didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial. Terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan moral, yaitu: berfokus kepada kehidupan, penerimaan akan sesuatu, memerlukan refleksi lebih lanjut, dan harus mengarah pada tujuan (Raths, 1965). Model-model tersebut melihat pendidikan moral sebagai upaya menumbuhkan kesadaran diri dan kepedulian diri, bukan pemecahan. Untuk dapat memahami konsep pendidikan nilai lebih jauh, berikut akan diuraikan visi, misi dan sasaran pendidikan nilai: Visi Pendidikan Nilai Visi Pendidikan Nilai adalah manusia Indonesia yang memiliki akhlaqul karimah, berkepribadian mulai sebagai manusia yang kaffah (utuh) baik sebagai individu, makhluk sosial serta sebagai insan ciptaan Tuhan. Misi Pendidikan Nilai membina peserta didik agar memahami dan menyadari nilai-nilai dirinya dan nilai-nilai orang lain (termasuk nilai individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia) serta sumber-sumber nilai (Agama, sosbud, adat, hukum, metafisik) dan muatan nilai IPOLEKSOSBUDAG. membina peserta didik agar mampu mengaktualisasikan diri (mengapresiasi) sebagai pribadi yang memiliki akhlakul karimah dan berkepribadian mulia dalam hubungan di antara manusia (keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia) dalam hubungannya dengan alam semesta (ruang, waktu dan budaya) serta hubunganya dengan pencipta yakni ibadah kepada Allah swt dalam menata hidup hari ini dan hari kemudian. membina peserta didik agar mampu melakukan proses pembelajaran pembinaan nilai (dalam pendidikan formal maupun non dan dan informal) dalam bentuk cognitive moral, affective moral (pendekatan qolbiyah), hevarioral moral, pendekatan metafisik, pendekatan kultural serta pendekatan holistik. Sasaran Pendidikan Nilai Sasaran pendidikan nilai adalah bagaimana agar individu to be human being dan to be human life. Djahiri (Hakam:2006:73) mengungkapkan bahwa : Humanizing (memanusiakan manusia sehingga manusiawi, manusia yang utuh, kaffah) yaitu dengan proses pembinaan, pengembangan dan perluasan seperangkat nilai-norma dan norma ke dalam tatanan nilai dan keyakinan (value and belief sistem) manusia secara layak dan manusiawi. Empowering (memberdayakan manusia sebagai makhluk yang menyadari memiliki sejumlah potensi dan meyadari keterbatasnnya) dengan cara (1) knowing the what dan knowing the why (2) apreciate mean and end (3) experiencing, acting and behaving. Civilizing, baik dalam pola pikir, pola dzikir dan pola prilaku. Visi, misi dan sasaran di atas mengandung muatan yang holistik, karena peserta didik sebagai objek didik bukan hanya sekedar mengetahui nilai dan sumber nilai, melainkan dibina ke arah nilai-nilai luhur yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan pribadinya di keluarga, masyarakat, negara dan percaturan dunia. Ia juga harus menyadari nilai orang lain, nilai masyarakat, nilai agama orang lain, bangsa lain serta mampu hidup arif dan bijak dalam perbedaan nilai tersebut sehingga tercipta kerukunan hidup. Sementara tentang pentingnya pendidikan nilai Arthur W.Combs (Hakam,2006:74) mengemukakan beberapa pertimbangan bahwa terdapatnya kekeliruan sementara orang., yakni : Yang memisahkan antara pendidikan intelektual dan pendidikan afektif seolah-olah dunia persekolahan disuruh memilih apakah akan membina peserta didik yang cerdas tapi gila atau membina peserta didik yang tenang tapi bodoh. Ada orang yang memisahkan antara private culture dan public culture, sementara pendidikan nilai dipandang sebagai private culture yang merupakan otoritas keluarga dan lembaga keagamaan semata, sehingga sekolah tidak perlu mengajarkan pendidikan nilai karena hanya akan menimbulkan konflik Pola pikir dan pemisahan pendidikan nilai dari dunia persekolahan (pendidikan) tersebut menurut Arthur W. Comb bukan saja tidak tepat bahkan keliru dan merusak dikarenakan: Otak kita berorintasi pada makna (meaning), kerjanya tidak hanya stimulus respon secara sederhana. Dalam keadaan terjaga maupun tertidur otak tetap berusaha membuat pengalaman lahir (outer) maupun pengalaman bathin (inner). Manusia adalah pencari dan pencipta makna, makna yang diciptakannya menentukan bagaimana cara bertindak. Belajar merupakan penemuan diri tentang makna. setiap informasi akan berpengaruh pada pribadi selama orang itu menemukan makna informasi tersebut. Dan aspek belajar yang sangat menentukan adalah pengalaman subjektif siswa dalam penemuan dirinya tentang makna. Perasaan dan emosi sebagai indikator makna. Semakin dekat dan terlibat perasaan dan emosi seseorang dalam belajar maka akan semakin besar pengaruhnya pada pelajar. Faktor afektif, seperti konsep diri (self concept), tantangan/ancaman (feeling of challenge), nilai (values), merasa memiliki dan diperhatikan (feeling belonging and being care) sangat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Keluarga dan lembaga keagamaan bergeser fungsi perannya serta berkurang keampuhanya dalam melakukan pembinaan nilai. Dengan demikian pendidikan nilai merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam sistem pendidikan persekolahan disetiap jalur dan jenjang pendidikan baik formal, informal maupun nonformal. Kemudian perlu dipahami bahwa pendidikan nilai memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Nilai dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan Pendidikan Nilai pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan nilai. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan nilai pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri siswa. Bagaimanakah karakteristik dari berbagai pendekatan nilai yang berkembang saat ini? Pertanyaan selanjutnya, pendekatan apakah yang paling tepat diimplementasikan dalam pelaksanaan pendidikan budi perkerti di Indonesia? Uraian dalam naskah ini bertumpu pada dua persoalan pokok tersebut. Pendekatan Pendidikan Nilai Moral Pendekatan penanaman Nilai Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Windmiller,1976).Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilainilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya. Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama. Pendekatan perkembangan kognitif Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985). Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya. Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya. Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsiasumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut: Tahapan "preconventional": Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik. Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. Seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain. Tahapan "conventional": Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai. Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat. Tahapan "posconventional": Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal. Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan. Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya. Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya seperti dikemukakan oleh Hersh (1980), pendekatan ini menampilkan bisa budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya. Teori Kohlberg juga dikritik mengandung bisa sex, karena dilema yang dikemukakannya dan orientasi penilaian pada keadilan dan hak lebih tepat bagi kaum pria. Berdasarkan kepada hasil uji empiris, kaum wanita cenderung mendapat skor lebih rendah dari kaum pria (Power, 1994). Dalam pelaksanaan program-programnya, teori ini juga memberi penekanan pada proses dan struktur pertimbangan moral, mengabaikan nilai dan isi pertimbangnnya. Berhubungan dengan hal ini, menurut Ryan dan Lickona (1987), pendidikan moral dengan penekanan kepada proses semata dan mengabaikan isi, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Dari sisi lain, pengakuan Kohlberg bahwa teorinya berdasarkan kepada prinsipprinsip moral yang bersifat universal dibantah juga oleh Liebert (1992). Menurut Liebert, berbagai kajian dalam bidang antropologi tidak mendukung pandangan tentang adanya prinsip-prinsip moral yang universal seperti yang dikemukakan Kohlberg. Realita yang ditemukan adalah berbagai norma, standard, dan nilai-nilai moral yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat pendukungnya. Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi tertentu, namun seperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona (1987), teori ini juga telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan moral. Pendekatan analisis nilai Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan. Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional (Superka, et. al. 1976). Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989). Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut: Langkah analisis nilai: Tugas penyelesaian masalah: 1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait 1. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait 2. Mengumpulkan fakta yang berhubungan. 2. Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan 3.Menguji kebenaran fakta yang berkaitan. 3. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan. 4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan 4. Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan. 5. Merumuskan keputusan moral sementara. 5. Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara. 6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan. 6. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima. Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf, dan pakar psikologi, termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Mieux, dan James Chadwick (Elias, 1989; Hersh, 1980). Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral. Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan, seperti yang dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976), pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai. Pendekatan klarifikasi nilai Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilainilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Superka, et. al. 1976). Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain (Raths, et. Al., 1978). Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon (Shaver, 1976). Mereka telah menulis sebuah buku, yang pertama-tama membahas tentang pendekatan ini secara terperici, dengan judul Values and teaching: working with values in the classroom. Edisi pertama buku tersebut diterbitkan pada tahun 1966 oleh penerbit Charles E. Merrill. Istilah values clarification pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada tahun 1950an, ketika beliau mengajar di New York University. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Elias (1989), bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan pendorong. Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut: Pertama, memilih : 1). dengan bebas 2). dari berbagai alternative 3). setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya, Kedua, menghargai: 4). merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya, 5). mau mengakui pilihannya itu di depan umum, Ketiga, bertindak: 6). berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya, 7). diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. al., 197 Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai tersebut, Raths, et. al. (1978) telah merumuskan juga empat pedoman sebagai kunci penting sebagai berikut: (1) Tumpuan perhatian diberikan pada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk mengarahkan tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek kehidupan mereka sendiri, supaya mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai; (2) Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita memberi perhatian pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan apa adanya; (3) Stimulus untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu lebih banyak berbuat sebagai refleksi nilai, dari pada sekedar menerima; (4) Pengembangan kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pendekatan ini bukan hanya mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi juga mendapat tuntunan untuk berpikir dan berbuat lebih lanjut. Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985). Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan, seperti telah dijelaskan di atas Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga mengandung kelemahan menampilkan bisa budaya barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. Seperti dikemukakan oleh Banks (1985), pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis. Pendekatan pembelajaran berbuat Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah proyek-proyek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama (Superka, et. al., 1976). Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat memberi pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum. Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et. al., 1980). Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain. Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut beliau, sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan. Implementasi Pendidikan Nilai Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan Pendidikan Nilai di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, seperti telah diuraikan di atas, namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut. Tujuan Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia. Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia. Dalam pengajaran Nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran Nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama dipentingkan. Berbagai metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan juga dalam pengajaran Pendidikan Nilai. Implementasinya sebagai berikut: (1) Metode yang digunakan dalam Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif. Misalnya mengangkat dan mendiskusikan kasus atau masalah Nilai dalam masyarakat yang mengandung dilemma, untuk didiskusikan dalam kelas. Penggunaan metoda ini akan dapat menghidupkan suasana kelas. Namun berbeda dengan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif di mana yang memberi kebebasan penuh kepada siswa untuk berpikir dan sampai pada kesimpulan yang sesuai dengan tingkat perkembangan moral reasoning masing-masing, dalam pengajaran Pendidikan Nilai siswa diarahkan sampai pada kesimpulan akhir yang sama, sesuai dengan nilai-nilai sosial tertentu, yang bersumber dari Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia; (2) Metoda pengajaran yang digunakan Pendekatan Analisis Nilai, khususnya prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah yang ditawarkan, bermanfaat jua untuk diaplikasikan sebagai salah satu strategi dalam proses pengajaran Pendidikan Nilai. Seperti telah dijelaskan, dalam mata pelajaran ini, aspek perkembangan kognitif merupakan aspek yang dipentingkan juga, yakni untuk mendukung dan menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ingin ditanamkan. Hal ini sejalan dengan penegasan Haydon (1995) bahwa pengetahuan dan pemahaman konsep adalah penting dalam pendidikan moral, untuk membentuk sikap moral yang lebih stabil dalam diri seseorang; (3) Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Klarifikasi Nilai, dengan memperhatikan faktor keadaan serta bahan pelajarannya yang relevan, dapat diaplikasikan juga dalam pengajaran Pendidikan Nilai. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Prayitno (1994), penggunaannya perlu hati-hati, supaya tidak membuka kesempatan bagi siswa, untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakatnya, terutama nilai-nilai Agama dan nilai-nilai Pancasila yang ingin dibudayakan dan ditanamkan dalam diri mereka; (4) Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Pembelajaran Berbuat bermanfaat juga untuk diaplikasikan dalam pengajaran "Pendidikan Pancasila" di Indonesia, khususnya pada peringkat sekolah lanjutan tingkat atas. Para siswa pada peringkat ini lebih tepat untuk melakukan tugas-tugas di luar ruang kelas, yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi yang berhubungan dengan lingkungan, seperti yang dituntut oleh pendekatan ini. Namun demikian, mengingat kelemahan-kelemahan pendekatan ini, seperti dikemukakan di atas, penggunaan metoda dan strategi pengajaran berdasarkan kepada pendekatan ini dapat digunakan dalam batasbatas yang memungkinkan. Untuk ini perlu dirumuskan program-program yang sederhana dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada masing-masing sekolah. Implementasi Nilai di Lingkungan Sekolah Ki Hajar Dewantara (Mulyana,2004:141) membagi lingkungan pendidikan menjadi tiga yang disebutnya sebagai Tri Pusat Pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) No 20 Tahun 2003 menyebutnya sebagai jalur pendidikan. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. UU SPN Pasal 13 menyebutkan jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jalur pendidikan formal diformulasikan menjadi sekolah yang terdiri dari tiga jenjang yakni pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, sedangkan pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal dan dapat dilaksanakan secara terstruktut dan berjenjang dalam lingkungan masyarakat, adapun pendidikan informal dilaksanakan dalam lingkungan keluarga. Pada bagian ini akan diuraikan lebih jauh tentang pendidikan nilai di lingkungan sekolah, artinya pendidikan nilai dalam jalur pendidikan formal, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. UU SPN pasal 17 mengungkapkan yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah yang berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bentuk lainya yang sederajat. Adapun pendidikan menengah menurut UU SPN pasal 18 merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan(MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Dengan demikian, sekolah dimaknai atau diartikan sebagai jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Hubungan Antara Nilai dengan Sekolah Jika ditinjau secara historis hubungan antara nilai -khususnya etika dan moral- dengan sekolah sudah berlangsung cukup lama, bisa dikatakan sejak sekolah dipandang sebagai institusi yang menyandang tugas sebagai lembaga pendidikan. Hal ini bukan hanya sekedar praduga, melainkan berdasarkan fakta bahwa dalam buku Republic karya Plato (B.Jowwet, tanpa tahun) muatan etika telah telah dibahas secara mendalam. Sebagai ilustrasi bagaimana persoalan nilai moral diajarkan, diawali dengan pertanyaan Meno terhadap Socretes dalam buku tersebut yang banyak dikutip oleh buku-buku pendidikan nilai atau pendidikan moral, seperti yang dikemukakan Somantri (1998:1) sebagai berikut: Socretes, apakah moral itu bisa diajarkan atau hanya bisa dicapai lewat praktek kehidupan sehari-hari? Seandainya lewat pengajaran dan praktek tidak bisa dicapai, apakah nilai moral itu bisa dicapai secara alamiah atau dengan cara lain? Lebih jauhnya dalam Al Qur’an surat Lukman tercermin bagaimana pendidikan nilai disampaikan oleh orang tua terhadap anak, bahkan dapat diyakini pendidikan nilai telah ada sejak manusia ada yakni sejak Nabi Adam yang diyakini sebagai manusia pertama, pendidikan nilai telah diajarkan pada anak-anaknya, khususnya ketika mengajarkan keadilan kepada Qabil dan Habil. Yang menjadi persoalan, apakah sekolah akan mencerminkan sebagai lembaga pendidikan atau lembaga pengajaran? Atau dengan kata lain, apakah sekolah hanya akan mengajarkan tentang nilai atau membina dan memgembangkan manusia yang bernilai?, lebih jelas lagi dapat dipertegas, apakah pengajaran tentang nilai otomatis akan menjadikan seseorang menjadi manusia yang bernilai atau sebaliknya mendidik seseorang menjadi manusia yang bernilai akan menambah wawasan orang itu tentang nilai?. Nampaknya dua pertanyaan tersebut menyangkut strategi pengajaran dan pendidikan nilai, meskipun pertanyaan ini belum terjawab, namun disepakati bahwa sekolah tidak bisa menghindari dari misinya sebagai lembaga pendidikan dan pengembang nilai, bahkan John Dewey (1934:85) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai pusat pendidikan dimana: ”karakter moral anak harus dikembangkan dalam alam, sementara lingkungan sekolah harus jadi lingkungan yang mengembangkan moral anak, karena spirit inilah lembaga pendidikan dikembangkan”. Senada dengan pendapat di atas, filsof Spencer (Purpel,1987:3) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan objek pembentuk karakter, oleh karena itu antara nilai dengan sekolah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Watkins (1978:11-12) mengungkapkan bahwa terdapat empat sikap sekolah dalam menghadapi pendidikan nilai yakni: Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan cara menjauhkan/menolak kiprahnya dalam pendidikan nilai. Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan melaksanakan pendidikan nilai/moral dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk mengklasifikasi dan mempertahankan nilai dirinya. Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan melaksanakan pendidikan nilai/moral dengan cara melibatkan siswa dalam proses serangkaian nilai. Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan cara mendidik siswa dengan serangkaian nilai-nilai moral. Sebagai salah satu bentuk sistem sosial tempat civitas sekolah berinterkasi antara satu dengan yang lainya. Lingkungan sekolah dapat dipastikan beragam nilai kehidupan. Nilai-nilai itu dapat berupa nilai yang secara sengaja dilembagakan melalui sejumlah ketentuan formal seperti kedisiplinan dan kerapihan yang diatur dalam tata tertib sekolah atau nilai kecerdasan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesehatan yang diatur melalui kurikulum tertulis. Selain itu sekolah adalah tempat bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan perorangan. Nilainilai seperti itu cenderung muncul spontanitas dalam berbagai kekhasan pribadi setiap orang. Meski agak tersebunyi dan tidak direncanakn secara formal, nilai-nilai yang direfleksikan melalui tampilan perorangan itu berperan bagi terbentuknya iklim budaya sekolah yang penuh makna. Alternatif Pengembangan Pendidikan Nilai di Sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara terstruktur dengan melibatkan komponen-komponen pendidikan seperti manajemen, biaya, sarana dan prasarana, kurikulum, peserta didik, dan pendidik. Sekolah dibangun sebagai wahana pendidikan formal dalam rangka meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai peserta didik. Sebagai sistem sosial sekolah dapat dipandang sebagai organisasi yang interaktif dan dinamis, sebab di dalamnya terdapat sejumlah orang yang memiliki kepentingan yang sama (kepentingan penyelenggaraan pendidikan), tetapi kemampuan setiap individu pada komunitas itu memiliki potensi dan latar belakang yang berbeda. Para ahli Pendidikan Nilai melihat pengembangan nilai di sekolah pada dua pendekatan. Pertama, sekolah secara terstruktur mengembangkan nilai melalui kurikulum tertulis. Kedua, penanaman nilai berlangsung secara alamiah dan sukarela melalui jalinan hubungan interpersonal antar warga sekolah, meski hal ini tidak diatur secara langsung dalam kurikulum formal atau dengan kata lain berada dalam wilayah kurikulum tersembunyi. Terkait dengan dengan yang pertama, Mulyana (2004:178-221) mengungkapkan tentang beberapa prinsip umum penyisipan dan pengintegrasian nilai dalam mata pelajaran melalui krurikulum yang dirumuskan. Pendidikan Nilai dalam IPA dan Matematika Nilai dan etika harus secara ekplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap topik pembelajaran IPA dan Matermatika. Pengembangan nilai dan moral dalam pembelajaran IPA dan Matematika diyakini akan mampu menumbuhkan potensi peserta didik melebihi apa yang dicapai dalam pengajaran konvensional. UNESCO (Mulyana, 2004:179-180) mencatat bahwa pembelajaran IPA dan Matematika yang dilakukan secara terpadu dengan kebutuhan pendidikan nilai akan mampu merubah makna belajar dan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek, mengembangkan minat mereka dalam belajar dan memiliki sikap ilmiah yang jelas. Karena itu, materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai pada materi-materi esensial yang terkandung di dalamnya. Materi esensial adalah pokok-pokok bahasan tentang IPA dan Matematika yang didalamnya terkandung nilai, moral dan etika yang harus dimiliki oleh peserta didik dan dianggap krusial andaikata hal tersebut tidak disampaikan dalam proses pembelajaran. Materi-materi esensial dimaksud dijelaskan dalam tabel sebagai berikut; Tabel 5.1 Materi Esensial IPA dan Matematika Nilai dalam Cakupan Luas Tujuan Kurikulum Nalar rasional Untuk memahami logika IPA dan Matematika serta menggunakan konsep-konsep angka Logika sebab-akibat Untuk menilai hubungan antara peristiwa yang mendahului dengan peristiwa berikutnya, serta implikasinya bagi pengawasan terhadap akibat-akibat yang muncul IPA dan Matematika sebagai cara meningkatkan kehidupan masyarakat Untuk menilai penggunaan IPA dan Matematika dalam kehidupan sehari-hari yang terjadi di masyarakat Modernisasi dan teknologi Untuk menyiapkan peserta didik agar memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kerja dan perkembangan teknologi Sumber: Mulyana (2004:180) Pendidikan Nilai dalam IPS dan Humaniora Secara operasional, pengembangan nilai dalam IPS dan Humaniora selalu melibatkan tiga tahapan yang berbeda. Tahapan pertama berkisar pada pengenalan fakta-fakta lingkungan, tahap kedua merupakan tahap pembentukan konsep-konsep dan tahap ketiga adalah tahapan pertimbangan tentang nilai yang teritegrasi. Atas dasar ini, maka tidak cukup bagi peserta didik untuk belajar IPS dan Humaniora dengan hanya berkisar pada konsep yang verbalistik atau hanya mengenal sejumlah fenomena, melainkan diperlukan ketajaman analisis terhadap nilai dalam sejumlah isu sosial yang muncul dewasa ini. Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS dan Humaniora dapat berupa nilai intrinsik seperti objektivitas, rasionalitas dan kejujuran ilmiah atau dapat pula nilai dasar moral seperti kepedulian terhadap orang lain, empati dan kebaikan sosial lainya. Untuk itu nilai-nilai dasar moral yang muncul secara humanistik harus terintegrasi dalam keseluruhan kurikulum IPS dan Humaniora. Mulyana (2004:193) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran nilai melalui disiplin IPS dan Humaniora terdapat sejumlah nilai esensial yang dapat dikembangkan seperti yang tertera dalam tabel sebagai beriktu ; Tabel 5.2 Materi Esensial IPS dan Humaniora Nilai dalam Cakupan Luas Tujuan Kurikulum Persamaan dan Keadilan Untuk menanamkan rasa kejujuran dan persamaan kesempatan Tanggung jawab sebagai warga dan komitmen sosial Untuk mengembangkan kemampuan mengenal kehidupan suatu masyarakat dan menyadari saling ketergantungan kehidupan sosial Penghargaan terhadap warisan bahasa nasional Untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan kebanggan terhadap aspek-aspek bangsa yang unggul Tanggung jawab lingkungan Untuk mengembangkan pemahaman tentang saling ketergantungan manusia dengan lingkungan dan kebutuhan untuk melindungi warisan bangsa Kesehatan Untuk mengembangkan kebiasaan hidup sehat dan pencegahan terhadap penyakit Kecermatan dalam menggunakan uang Untuk mengembangkan kepedulian terhadap usuran dan pengetahuan tentang penggunaan uang secara bijaksana Sumber : Mulyana (2004:193). Pendidikan Nilai dalam PAI Sebagai mata pelajaran, PAI memiliki peranan penting dalam penyadaran nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang mengandung nilai, moral dan etika agama menempatkan PAI pada posisi terdepan dalam pengembangan moral beragama siswa. Hal ini sekaligus berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang kemudian dituntut lebih banyak peranannya dalam penyadaran nilai-nilai keagamaan. Menurut Pedoman Khusus Pengembangan PAI yang dikeluarkan oleh Depdiknas tahun 2002 disebutkan bahwa prinsip dasar pengembangan PAI meliputi 3 kerangka yakni Aqidah, Syariah dan Akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep Iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep Islam, sedangkan Akhlak merupakan penjabaran dari konsep Ihsan. Dari ketiga konsep itulah dikembangkan berbagai kajian keislaman, termasuk kajian yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta budaya. Tabel 5.3 Materi Esensial PAI Nilai dalam Cakupan Luas Tujuan Kurikulum Keimanan dan Ketaqwaan (aqidah) Untuk memperkokoh aqidah beragama dan mencerahkan fitrah beragama peserta didik Kebenaran dan keyakinan terhadap hukum-hukum (syariat) Untuk memperluas pengetahuan dan kesadaran peserta didik terhadap hukum-hukum agama yang harus ditaati atau dihindari Etika dan moral beragama (akhlak) Untuk melatih peserta didik berprilaku terpuji dalam hubunganya dengan sesama manusia, alam dan Tuhanya. Sumber: Mulyana (2004:205) Pendidikan Nilai dalam Kegiatan Ektrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler dipandang sebagai upaya pendidikan yang melibatkan proses penyadaran nilai bahkan sampai pada internalisasi nilai. Pada beberapa sekolah yang memanfaatkan peluang-peluang belajar di luar kelas sebagai wahana pengembangan pendidikan, kegiatan ektrakurikuler muncul sebagai keunggulan tersendiri yang pada giliranya melahirkan kredibilitas tersendiri bagi lembaga. Tak jarang kita dengar alasan-alasan orang tua dalam memilih sekolah sebagai tempat belajar anaknya atas dasar pertimbangan mereka terhadap sejumlah kegiatan di luar kegiatan tatap muka di kelas. Kegiatan ektrakurikuler dapat dikembangkan dalam beragam cara dan kontennya, penyelenggaraan kegiatan yang memberikan kesempatan luas kepada pihak sekolah, pada giliranya menuntut kepala sekolah, guru, siswa dan pihak-pihak yang terkait untuk secara efektif merancang sejumlah kegiatan sebagai muatan kegiatan ektrakurikuler, diantaranya sebagai berikut : Pengembangan Koperasi Siswa Program Keagamaan Pelatihan Profesional Rekreasi Kegiatan Kultural Program Perkemahan Program Live in Exposure, dan lain-lain Adapun terkait dengan pendekatan yang kedua, dimana pendidikan nilai tidak secara langsung dimasukan kedalam kurikulum tertulis, melainkan berlangsung alamiah dan sukarela, maka tugas sekolah menciptakan kondisi yang kondusif untuk teaktualisasinya nilai-nilai dalam interaksi kehidupan di sekolah. Untuk hal ini maka komponen perangkat sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah, Guru, Tata Usaha dan Komite Sekolah memegang peranan yang strategis. Sebagai perwujudanya maka minimal terdapat empat pendekatan yang bisa menjadi alternatif pendidikan nilai di sekolah jika nilai tidak dimasukan ke dalam kurikulum sekolah secara tertulis : Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat sekolah) secara bersama-sama membuat tata kelela (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan sekolah yang didalamnya dilandasi oleh pertimbangan nilai, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan peserta didik dan tidak bersifat top down dari kepala sekolah. Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif yang dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya “school culture” yang penuh makna. Pendekatan Model yakni mereka (perangkat sekolah), khususnya kepala sekolah berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yang disepakati bersama. Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukanya sistem hadiah dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat. Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis) yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat sekolah, termasuk peserta didik, seperti dengan memasang visi sekolah, kata-kata hikmah, ayat-ayat Al qur’an dan mutiara hadits di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun yang ada di sekolah, memposisikan bangunan masjid di arena utama sekolah, memasang kaligrafi di setiap ruangan sekolah, membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin gurunya, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan oleh OSIS dan sebagainya. Peranan Masyarakat dan Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai di Sekolah Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menawarkan adanya paradigma desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan di sekolah, konsep ini memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat dalam mewujudkan pendidikan di persekolah yang lebih baik. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menjadi instrumen perangkat manajemen sekolah dan pintu masyarakat dalam memberikan peranannya dalam proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Segenap aspirasi masyarakat dan keluarga tentang gagasan muatan pendidikan nilai di lingkungan sekolah dapat disalurkan melalui perangkat Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, merekapun dapat menjadi alat kontrol sosial terhadap keberlangsungan proses pendidikan di Sekolah. Selain itu, masyarakat dan keluargapun menjadi landasan bagi pengembangan nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan nilai di Sekolah. Masyarakat, Keluarga dan Sekolah sebagai Tri Pusat Pendidikan tidak bisa berjalan masing-masing, melainkan perlu adanya keterpaduan dari mulai perencanaan sampai kepada proses evaluasi, distorsi ketiganya dapat menjadikan proses pendidikan di sekolah menjadi senjang dan melahirkan lulusan yang tidak utuh yang berarti keluar dari tujuan pendidikan nasional. Kosasih Djahiri mengklasifikasikan pada 3 pendekatan nilai yakni : Pendekatan L. Kohlberg; Cognitiver moral development yang meyakini bahwa nilai moral norma akan mempribadi apabila dibina melalui struktur kognitif atau “Cognitive Conflict” dan penalaran Pendekatan L.Mercalt dan Imam Al Ghazali (keagamaan umumnya yang mengawali pembinaan dan personalisasi nilai, moral, norma melalui suara dan mata hati “Al Qolbun” manusia). Penggetaran dunia Afektif untuk menyerap dan mempribadikan. Nilai moral norma akan melahirkan prinsip dan atau keyakinan yang akan jadikan acuan berpikir (penalaran) serta perilaku, demikian sebagaimana melalui pembinaan agama atau kehidupan umum terhadap pembinaan nilai, moral, norma dituntut yakin dan iman terlebuh dahulu sebelum berpikir atau berbuat. Pendekatan Albert Bandura dan Skinner (juga kaum behaviouralis dan sosiolog), yang menyatakan pembinaan dan personalisasi nilai, moral, norma melalui pelakonan dan peniruaan (Acting dan Immitating) terhadap apa yang ada dan dilakukan, sehingga nilai, moral, norma seolah-olah merupakan “social and behaviour conduct” yang harus dilakoni. Melalui pelakonan dan peniruaan yang berulang kali diharapkan lahir keyakinan yang bermakna pada daya nalarnya. Dalam beberapa tulisannya Kosasih Djahiri mengemukakan bahwa ketiga pendekatan tersebut merupakan landasan acuan pengembangan model kegiatan pendidikan nilai yang dalam sistem dan kehidupan pendidikan pancasila serta realitas budaya indonesia ketiganya dianut dan dilaksanakan ini tidak berarti lahir perpaduan/campuran ketiga teori tadi melainkan ketiga teori itu berjalan bersamaan dan atau secara kondisional-kasuistis. Dalam hal/ konsep/ kasus tertentu mungkin teori Kohlberg dan dalam kasus lain teori ke-2 atau ke-3. Untuk masalah keagamaan misalnya cenderung digunakan teori ke-2 atau ke-3 sedangkan untuk meyakinkan nilai, moral, norma IPTEK maka digunakan teori ke-3 baru lahir Ke-2. Sejalan dengan pendapat Mc. Luhan, Kosasih Djahiri mengemukakan tentang bahayanya pengutamaan pada pembinaan intelektual (apalagi kalau selalu), maka akan melahirkan dunia dan kehidupan yang serba rasional dan eksistensionalisme serta pemujaan diri dan hasil menusia semata yang akhirnya akan melahirkan ketimpangan dengan dunia affektual (meyebabkan tumpulnya emosi-Mc Luhan) serta proses dehumanisasi, oleh karena itu Mc Luhan melahirkan “teori pendulum” yang melahirkan teori keseimbangan. Sejak awal pembahasan buku ini bahwa dalam leg awal pembelajaran, harus ditargetkan pencapaian nilai, moral, norma dari setiap konsep yang dibelajarkan agar dengan pengetaran terhadap aspek affektif akan memperkuat pengalaman Nilai, moral, nrma luhur dengan penuh keyakinan dan nalar terhadap konsep yang dibelajarkan walaupun memang bahwa L. Kohlberg dkk diakui sebagai “pelopor penemu” pendidikan nilai namun sesuai dengan falsafahnya yang kebarat-baratan dan siberalist di mana adanya tampak ciri-ciri dari ajarannya dimana yang diproses menurut teori Kohlberg adalah hanya kemampuandiri manusia dalam menelaah nilai, moral, norma secara nalar dan bukan berarti untuk penanaman nilai moral norma itu sendiri. Beberapa ahli mengkritisi terhadap ajaran L. Kohlberg diantaranya : Wolfgang edelstein dalam Ascientifical nates (1983). Menyatakan a.l : Keraguan yang telah diutarakan Kohberg.. Tentang “feasibility of moral intervetion” The nature of effects and correspondingly Present application to education. Bahwa perlu dikaji ulang tentag salah satu teori utama kohlberg yang menyatakan bahwa :”Cognitive moral development theory of moral comprence” seolah-olah pengembangan moral diinterpensi melalui pengembangan struktur kognitif. Ada 5 hal yang harus diuji lagi dari teori ini adalah Keterkaitan antara content (isi pesan konsep nilai moral) dengan struktur (potensi taksonomi) pada media ceritera Kohlberg. Keterkaitan antara Judgement dengan action Keterkaitan antara competence dan performance Keterkaitan antara universal culture vs paticular values Keterkaitan moral thinking vs ego development Bahwa moral-action tidak sama dengan moral performance juga moral Judgement berbeda dengan moral competence bahwa educational intervention terhadap cognitive-conflict terjadi melalui: discusion, conperison, contrasting daripada stimulus (melalui specipis sensitivity) bahwa cognitive structure dibina dan tergetar dalam 3 benatuk kegiatan yaitu : Concept-formation (self concept) Interpretation Aplication Performance lebih luas dan meliputi judgement dan competence serta affect the stage structure Morl judgement “are less valid than moral action”, karena judgement hanya merupakan hasil daripada “multiplicity of the intermediate cognitions”. Sedangkan moral performance concern pada “segementation of the social sistem and variety of performance conditions sosial reality”. Bahwa selalu terjadi/terdapat paradoxsel antara sikap prilaku manusia. II. Susanne Villenave, Cremp and Eckensberger (1980) mengkritisi sebagai berikut Bahwa dalam “the real of the moral-conflict situations”: Emotional disturbances sangat menentukan Dalam situasi ekstrim dan kritis terjadi kecenderungan “score below” daripada ”hyphethetical moral-judgement”. Terjadi pengaruh “cognnitive structure” dengan affective dan terwujud dalam “moral judgement performance” Suasana moral conflict discussions menampakkan gejala High ego concern Induce defend mechanism Bahwa Kohlberg “tends to exclude affective aspects” padahal “cognitive dan affective berlangsung pararel, stimulus serta masing-masing membentuk perspektif dan konteks yang berlainan”. III. Haan (1977) dan Dobbert dan Nunner Winkler (1980) mengkritisi sebagai berikut : Dalam menentukan moral conflict selalu ada perhitungan “defence and coping” yang bersifat “ego-Psychological based”, oleh karenanya dalam moral conflict akan dijumpai : Adanya kesenjangan antara “moral conciousness” dengan “action inpulses” dalam kenyataannya “defence cases” akan nampak sebagai : Argumen yang memanipulasikan situasi Hal yang irrasional-non logis, incomplete recontruction demi menghindarkan rasa salah (disonansi). “Coping cases” yang mengperhitungkan hal-hal yang menguntungkan dirinya. Pendekatan Pendidikan Nilia menurut “Peter Martorella ” (1976) mengemukakan 8 pendekatan yang diutarakan oleh “Douglas Suerka” yakni pedekatan : Evolution, dimana peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon affektualnya terhadap stimulus yang diterimanya Inculcation peserta didik oleh stimulus terarah (Conditioned stimulus) digiring atau secara sugestinya dirahkan menuju “Conditioned respond”. Moral reasioning sebagaimana dianut oleh L.Kohlberg dimana terjadi transaksi intelektual taksonomik tinggi (reasoning) dalam mencari pemecahan situasi masalah yang termuat dalam stimulus pengajaran. Value clasification (klasifikasi nilai) dimana melalui stimulus terarah dan pola pengajaran khusu para siswa diajak mencari kejelasan dan makna (isi pesan) atau keharusan nilai-moral yang tersirat baik secara objektif maupun subejktif (hal ini dibahas khusus dalam buku A.Kosasih Djahiri VCT (Value crarification Technique) dalam berbagai gamesnya. Value analysis, pendekatan dimana para peserta didik dirangsang untuk melakukan analisis nilai-moral, analisis yang bertahap mulai dari yang termudah (reportasi/liputan) sampai taksonomik kadar tinggi (moral claim and based). Moral Awareness, dimana peserta didik melalui stimulus dibangkitkan kesadarannya akan nilai-moral tertentu, melalui stimulus dan pola interaksi tertentu. Sistem nilai dan keyakinan peserta didik (dunia afektifnya) digetarkan atau diguncang. Commitment approach, dalam pendekatan ini sejak awal dan dengan diberitahukan kepada peserta didik, mereka diajak menyepakati adanya suatu pola dan penilaian selama dalam proses pendidikan nilai berlangsung, sehingga pola pikir pendidikan nilai lain tidak digunakan (pendekatan ini dipakai dalam pola penataran P4) Union approach, dalam pendekatan ini peserta didik dibawa melakoni secara “riil” atau “mental rount trip” (tamasya mental) dalam suatu kehidupan. Duru merancang sedini mungkin bila mereka akan menggunakan pola partisipatorik, atau membuat stimulus terarah yang kuat agar proses pembelajaran siswa dalam melakukan tamasya mental dihayati sebagaimana peserta didik melakononya sendiri. Kesemua pendekatan diatas belum operasional harus diaplikasikan melalui metoda atau teknik pembelajaran yang mampu membelajarkan aspek afektif peserta didik agar proses klarifikasi nilai moral dapat berlangsung (tersampaikan). Pelakonan diri (experiencing), mental rount trip dan taking position dalam dunia nilai-moral dalam pendekatan diatas baru menyentuh pada “taking position” (menerapkan pilihan) berupa : Kesepakatan Penolakan Penyesuaian/adjusment Dari nilai-moral-norma yang diharapkan terbina dalam diri peserta didik Dalam mengaplikasikan pendekatan-pendekatan diatas perlu dipahami beberapa karakteristik pendidikan nilai sebagaimana dikemukakan oleh “Barbara Stange, L Metcalt dan Henry Giroux” sebagai berikut : Dalam proses pembelajaran Pendidikan Nilai perlu melibatkan minat dan potensi affetual peserta didik. (dalam model cara belajar siswa aktif (CBSA) affektif Kosasih Djahiri). Bukan hanya “printing” sesuatu tetapi “Drawing”. Mengundang (invited) dan melibatkan (Invotvetement, engagement) serta menarik minat-perhatian-kemauan-keterbukaan diri peserta didik (media stimulus pembelajaran yang merupakan target nilai moral bahan ajar harus dalam kadar kualitas tinggi (Kosasih Djahiri). Melahirkan proses transaksi dan atau interaksi antar struktur cognitif dan affektif dan lingkungan social (social environment) (sekarang istilahnya (Contectual Teaching Learning (CTL)) Kosasih Djahiri menjelaskan apa yang disebut “masalah belajar”bahwa melalui pembelajaran harus diupayakan secara optimal yag meliputi munculnya: Potensi internal peserta didik (3 aspek domain taxonomik) Antar potensi peserta didik dengan peserta didik lain (guru dan peserta didik lain) Antar potensi peserta didik dengan potensi lingkungan belajarnya. Terjadinya proses pengembangan moral yang bergeak dalam rentangan : Dari pra conventional level ke post conventional level Dari particular/specifics values ke universal/ultimate values (sukuensial pembelajaran/tingkat kesukaran). Bahwa fokus proses pendidikan nilai ialah lahirnya “Charity” dari konsep nilai-moral yang disampaikan. Pendidikan nilai ini harus selalu memberikan kejelasan “Valuee-based” (kejelasan isi pesan nilai-moral) sebagaimana yang diharapkan (berbeda dengan teori Kohlberg yang hanya sampai pada tahap mengutanakan kematangan (kemahiran) moral saja, sedangkan masalah isi-pesan moral sepenuhnya diserahkan pada peserta didik sebagai mana juga yang ditargetkan pada pendidikan nilai yang ditargetkan kaum liberalis). Mampu melahirkan proses pelakonan affektif (affectual experiences) Kosasih Djahiri (1991) menekankan sekali proses pelakonan ini karena menurut beliau proses affektif akan sulit dibelajarkan tanpa proses pelakonan ini. Memperkuat 6 pendekatan diatas sejumlah pakar mengemukakan hal-hal berikut agar pendidikan nilai lebih layak diterapkan yaitu : Bahwa proses pendidikan nilai hendaknya selalu bersifat “developmental” (target isi pesan nilai-moral bersifat berkesinambungan, tidak pernah selesai, dan selalu berkaitan “forward” mengacu pada moral stage/value oriented) (R.L Mosher,1980). Bahwa proses pendidikan nilai hendaknya mengacu pada klarifikasi kelayakan “moral-claim based” sebagai “moral orientation” pendidikan nilai (Marvin H Berkowits dan fritsoser 1985), hal ini berarti sebagaimana diutarakan barbara Stange dan Kosasih Djahiri bahwa pendidikan nilai harus selalu “Value based” dan tidak “value free”. Dan sebagai dasar acuan dan kriterianya adalah “moral claim” atau “moral based” yang dianut berlaku dan diharapkan bangsa (masyarakat) dan kehidupan yang bersangkutan, yang bersifat multi dimensional dan multi sumber (Kosasih Djahiri.1989). Dari pendekatan nilai-nilai tersebut diharapkan akan melahirkan pembelajaran nilai yang optimal berupa : Advanced affective experience and components Well established value and belief sistem (menurut R. Dobert, 1975). Berbagai wujud Nyata a.i : “Performing moral-behaviour or morally educated person” (Henry Giroux, 1983). Manusia yang tidak hanya “Knowing what... melainkan juga” beliefing an Committed to.....(David Coperfield). “Agent of social inprovement and retoron” serta mampu “fit and provide sosial ballance and self control”. Manusia yang memiliki “personal initiative and adaptibility and depoloving the autonomons of individual”.(M.Downey, 1982). Kosasih Djahiri menekankan pendidikan nilai tersebut tidak hanya melahirkan proses hapalan semata tetapi melahirkan hal-hal sebagaimana diutarakan Henry Giroux diatas yaitu wujud manusia yang memiliki kepribadian dan prinsip yang mantap dan masyarakat yang : Peka (Responsif) dan memiliki keterampilan affektif yang tinggi (simak tentang matrik katakunci pengoperasional aspek konitif, affektif dan Psycomoto pada buku VCT). Memiliki kemampuan yang tinggi untuk selalu siap menentukan pilihan moral (taking position) atau keputusan moral yang tepat dan layak dalam berbagai situasi dan kehidupan nyata sehingga mampu mandiri (self reliance, self help, auto nomous), tidak hanya melalui proses “maximising the conceptions of nationality” (J.Rubio Carracedo, 1989, Habermas 1980) melainkan juga melalui proses. Berkaitan dengan perlunya penekanan pada proses bukan hanya hasil, maka amat sulit mengaplikasikan pembelajaran nilai ini berkaitan dengan pendidikan nilai. Adapun hambatan-hambatan adalah : Bagaimana menciptakan media stimulus pembelajaran yang mampu mengundang “Instictive participation” yang aktif dan terbuka. Mencegah adanya gejolak “Overative” dan “Under active”. Mencegah adanya “Negatif Attitude” selama proses dan atau terhadap isi pesanbahan ajar. Mencegah adanya “the borred group members” atau “stagnated group.” Menangkap hadirnya “Disonansi Cognitive” atau nilai moral. Disonansi adalah gema/gaung yang apabila diterapkan dalam proses pendidikan nilai merupakan hambatan yang menentang (counter) masuknya atau mempribadinya nilai-moral harapan disebut juga “counter cultural values” hal ini disebabkan oleh: Disonansi kognitif berupa penggunaan pola pikir atau konsep rasional yang ada Disonansi yang bersifat personal yang meliputi : Needs and interests Immediacy and emergency Kineship family Belief sistem and my the Habit and culture Tugas dan jabatan (job and function) Hasrat untuk sukses dan enjoy Yang bersifat socio politics seperti : Ideology Ras dan kesukuan Nasionalisme Bawaan iptek dan pola modernisasi,a.l : Perubahan sistem dan alat Keterbukaan komunikasi Peningkatan mobilitas dan pengendaran integritas Pola hidup dan pola pikir yang rasional, eksistensialism, materialism, individualisme, enjoyness and easyness Dll. Daya tarik sonal dan social prestige Peningkatan persaingan dan masalah hidup Hambatan-hambatan berupa disonansi moral diatas apabila terus berlangsung maka akan menghambat proses personalisasi pendidikan nilai yang akan berakibat pada lahirnya proses “Dehumammanisasi”, bahkan mengancam terhadap eksistensi sistem keyakinan yang ada yakni berupa hambatan ke : Adanya paradoxal antara proses pembelajaran yang dilangsungkan dengan kehidupan nyata yang dihadapi peserta didik (Herenstein) L.Kohlberg (1985). Paradoxal disini terjadi dalam masyarakat kita (Indonesia) antara lain paradox dalam hal : Antara hal yang bersifat meta ethics (hasil pola kerja psikolog dan agama) Dengan normative-ethics (hasil pola krja filosof dan yurist). Antara pola pikir/penilaian yang value-based dengan value-free (neutral). Antara pola penilaian yang berlandaskan moral Judgement dengan moral behaviour Moral universality vs culture ethical relativism Pres eriptivisme vs descriptivism atau naturalism Cognitivisme vs emotivism Formalisme vs content oriented Prinsipledness vs theoritician Contractivisme vs empiricisme/apriorism Moral problem vs problems of justice Kesukaran dalam pengukuran dan penilaian hal-hal yang bersifat affektual termasuk hasil perolehannya (kuantitaif dan kualitatifnya). Kesukaran dalam pengukuran pun disebabkan pengukurkan aspek afektif harus bersifat multi evaluation serta berkelanjutan, berkesinambungan inipun hasilnya hanya akan mengungkap kecenderungan-kecenderungan moral saja. Dari hambatan diatas tidak ada tantangan yang tidak bisa diatasi dalam bentuk pengoptimalkan kemampuan profesionalisme, guru tidak seharusnya lari dari kenyataan ini (escape) tetapi senantiasa inovatif dalam mengupayakan pendidikan nilai ini dengan berbagai pendekatan yang ada. Tahapan Perkembangan Moral (Moral-Stage) Perkembangan moral adalah membicarakan tentang perkembangan kejeniusan manusia dalam meninternalisasikan, mempersonalisasikan sistem nilai untuk dipatuhi, dilaksanakan dalam perilaku kehidupannya sehari-hari. Perkembangan kejiwaan tersebut akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam keputusan-keputusan moral yang dipilihnya. Hal ini penting dipahami berkenaan dengan pemahaman tentang pendidikan nilai, karena tahapantahapan yang ada dalam perkembangan kejiwaan seseorang menentukan atau dapat dijadikan rujukan dalam membelajarkan nilai-moral agar sesuai atau tepat sasaran. Perkembangan moral menurut istilah L.Kohlberg adalah sebagai laju perkembangan landasan moral seseorang dari “is to ought”,”is stage or nomenclature of justice reasoning”sedangkan menurut Richard melden (1977) “sensitive in thouht; feeling and action toward others.....”, yang dimaksud landasan sensitive disini menyangkut lapangan perhitungan aspek kognitif dan aspek afektif baik menyangkut dirinya maupun orang lain”. Menurut Karger (1982) development stage justice reasoning related to the real life moral dillemas social moral atmosphere, and exlective norms of group or community”. Loevinger (dalam buku jarger 1983) menjelaskan “moral development stages adalah ego development yakni perubahan kualitas diri melalui berbagai tahapan perkembangan pesonality dengan the Inner Logic the cognitive structure”. (Dalam Kosasih Djahiri, 1991). Demikian bervariasinya pendapat para pakar barat dalam mendefinisikan perkembangan moral yang pada umumnya tetap menekankan pada kemampuan structure cognitive yang lebih dominan, sementara menurut Kosasih Djahiri tidaklah demikian tentang perkembangan moral untuk kepentingan pendidikan nilai khususnya di Negara Indonesia, karena ada hal-hal dominan lain yang mempengaruhi terbentuknya/terbinanya moral seseorang diantaranya faktor sebagai berikut : Kondisi (waktu, tempat, keadaan) diri dan lingkungan Kualitas masa (kelompok) dan peringkat kedudukan ybs dalam kelompoknya tersebut sering karena kelemahan dan peringkat kedudukan maka ybs yang akan mampu mengkal arus negatif atau memperkuat arus negatif kelompok ataukah terseret arus negatif atau dipengaruhi/diperkuat arus negatif kelompok atau sebaliknya bisa terjadi apakah lingkungan kelompoknya berada pada posisi negatif/positif. Pola tantangan nilai, moral yang meningkatnya (kuat tidaknya) Interes dan kualitas diri ybs itu sendiri. Oleh karena itu perlu dibaiasakan kemampuan seseorang dalam kematangan memperhitungkan keputusan dari pilihan–pilihan morla yang dihadapinya agar lahir insan yang objektif dalam menentukan berbagai keputusan moralnya, menurut Kosasih Djahiri di Indonesia kiranya bisa dijadikan acuan sebagai landasan/kaidah/ tata nilai yang dapat dijadikan pertimbangan bagi kepentingan pendidikan nilai yaitu: pendidikan nilai agama, pancasila dan adat budaya, karena pengambilalihan dari teori-teori luar (barat khususnya) ada berbagai penentu yang berbeda dilihat dari sisi manusianya, kondisi lingkungannya serta landasan filosofi kehidupannya. Karger (1983) memperluas pola orientasi pembinaan nilai moral ini dengan mengemukakan 10 alternatif yang seyogyanya dibinakan (Dalam Kosasih Djahiri 1991) yaitu : The normative ethical assumption The metaethical assumption dimana digunakan pola orientasi yang berpolakan : Value relevance : mengkaitkan sesuatu nilai dengan nilai normatif/positif yang ada (tidak value free) Social Phenomena ; mengkaitkan dengan penomena yang ada Asas universalism ; mengkaitkan dengan asas/sifat universal Asas Prescriptivism; dimana dalam kehidupan terdapat sejumlah pola kehidupan yang “given” yang harus dilakukan. Asas Cognitivism atau rasionalism; dibina daya nalar landasan pemikiran/perhitungan Asas Formalism; dikaitkan dengan pola legalitas yang sudah baku menjadi kesepakatan masyarakat ybs. Asas Principledness; dikaitkan pada sejumlah prinsip yang dianut dalam kehidupan riil Asas Conservation ; dasar pemikiran bahwa masalah-masalah kemanusiaan (Human Contruction) akan selalu menjadi kepedulian umum. Corollary assumption ; dimana masalah keadilan hendaknya diutamakan dan akan menjadi dasar terbukanya “social equillibrium and balancing”.. Karger mengemukakan 6 alternatif orientasi pendidikan nilai moral yang diajukan E. Kant dalam menentukkan ketetapan hati yaitu : Just Course of action ; sekedar memecahkan masalah semata Hierarchical based ; berdasarkan urutan kepentingan saja Moral based atau Intrinsicalness atau deontics ; the real insrinsic of value or justice menjadi dasar utamanya. Preseriptivity atau moral ought or moral claim atas landasan sejumlah keharusan yang sudah ditetapkan/ada/karena tuntutan moral umum Universality ; karena dasar prinsip universal yang ada Universalizability ; karena dasar keharusan standar universal yang imperative. Semua pakar yang membahas tentang pola orientasi dalam perkembangan moral umumnya berasal dari barat seperti : J.Dewey, N Y Bull, Piaget, L.Kohlberg, Mc Dougal, Gilligau dll, dimana diantaranya yang paling dominan adalah L.Kohlberg dan Piaget Berkaitan dengan bahasan tentang tahapan; perkembangan moral yang dikemukakan oleh para pakar atas adalah sebagai berikut : Tahapan perkembangan moral seseorang menurut : John Dewey Pre-Moral atau pre Conventional level : dimana sikap prilaku dilandasi oleh inpils biologis dan sosial. Tingkat conventional ; dimana sikap kritis dari kelompoknya menjadi landasannya Autonomous level ; dimana pola pikirnya sendiri menjadi landasan perhitungan. Piaget Stage 0 atau pre moral, sama dengan Dewey Stage 1 atau Heterenomous ; dimana landasannya beraneka ragam dan berubah-ubah (belum mempunyai pendirian kuat) Stage 2 atau Autonomuous, dimana subjek merupakan “agent of just ” (sudah memiliki pendirian sendiri). Stage 3 atau Instrumental atau Reciprocity atau Reversibility atau Equalibrated moral judgement ; dimana sebagai landasan pertimbangannya bersifat intrumental atasi asas timbal balik karena sudah memperhitungkan kepentingan dan pandangan berbagai pihak/kepatuhan karena orientasi timbal balik. Stage 4 Eonstructivism level ; dimana dasar perhitungan sudah mencapai tahap perpaduan semua tahap diatas dan sudah bersifat perhitungan normative ethic, keputusan moral sudah merupakan hasil konstruksi diri ybs yang dilandasi pula the human mind and social contact. Kepatuhan atas dasar konsep keyakinan sendiri. N.Y. Bull Anomous; kesadaran nilai,moral pada tahap ini landasan tidak menentu/tidak jelas dasar dan alasannya/tahapan paling rendah dan labil Heteronomous; kepatuhan disadari atas kepatuhan dasar motivasi yang beraneka ragam, mudah berubah tergantung situasi dan keadaan. Socionomous; landasannya adalah apa yang menjadi kiprah umum. Autonomous; sudah memiliki pendirian sendiri kesadaran/kepatuhan terbaik karena di dasari oleh konsep/landasan diri sendiri. Loevinger Tahapan Autonomous yang meliputi tahapan : Inpulse controle; yang menitikberatkan upaya menekan the inner conflict Interpersonal atau interdependency style ; yang lebih mengutamakan pola keterkaitan dengan lainnya. Conscious pre-occupation ; yang mengutamakan role and concepts Cognitive style yang pola kognitifnya sudah meningkat dimana konsep pikirnya sudah lebih kompleks dan objektif Tahapan integrated ; yang merupakan kelanjutan tahap I diatas serta meliputi tahapan Sbb : Sama seperti pada Sub I.a tetapi sudah mampu reconcilling the inner conflict tersebut. Sama seperti sub I.b dengan sudah mampu Cherising of individuality Sama seperti pada sub I.c dan sudah memiliki identitas mandiri Sama seperti pada Sub I.d Piaget Mengemukakan kajian perkembangan moral menurut usia dan pola dasarnya sebagai berikut : Rentangan perkembangan moral : Heteronomous 0 12 tahun 2-6 tahun Motivasinya : Universal respect Targetnya : Practice of the rule Cooperative group/family menath orientation Rule of justice : Ada 4 jenis justice Retributive dan justice (bersifat fungsional) Group justice Responsibility (rentangan) Immanent justice (universal order) Distributive justice (sama rata) Autonomous - bilateral/mutual respect - a sistem of Rule belief sistem as a Perkembangan moral menurut usia Piaget juga mengemukakan sebab-sebab anak suka berbohong ialah karena “frighter very much want to get reward, didn’t feel like, wanted and like very much, fault, the size of material consequences”. Samapai usia 2 tahun Heteronomous 2 – 6 tahun Ritual egocentric dan moral realm period mral realm menurut dunia anak yaitu segala tata aturan yang mengaturnya (tanpa ada klasifikasi) dan muncul dengan kecenderungan sikap moral anak amat tergantung pada respect mereka terhadap orang tua/orang dewasa. 7 – 10 tahun recognized, agreement dan cognitive materity 11 – 12 tahun abstract reason " ( t h e l e a r n i n g B h b P i a e r g s r e g i i s s t r u c t u r e o u t c o m e s ) o f o b s e r v e d s d a l a m s o l o - t a x o n o m i s t e n t a n g l b e l a j a r k o g n i t i f y a i t u s e b a g a i k u t : t r u c t u r e ; h a s i l k o g n i t i f y a n g b e l u m d i i r i n g a n s i f a t l o g i s , m a s i h e m o s i o n a l d a n b i l a m e n j a w a b c e p a t s e p i n t a s b a t u s a j a atau menolak menjawab. Unistructural, mampu menarik kesimpulan namun hanya atas satu dasar atau data atau konsep saja Multistructural : seperti no 2 tetapi sudah menggunakan sejumlah data. Relational : mampu menyimpulkan dengan segala kaitan dan hubungan satu sama lain tetapi hanya secara induktif Abstract expanding : sudah mampu berpikir induktif dan deduktif, mampu mencari hubungan hipotesa dan kesimpulan. L.Kohlberg Pre- conventional level, yakni tahap mampu merespon the cultural rules tetapi bersifat fisik, hedonis dan level ini terdiri dari 2 kategori : The punishment and obidiens orienttion : patuh karena takut hukuman The instrumental Relatives orientation : patuh sekedar memuaskan orang lain atau alasan praktis-pragmatis saja. Tahapan kepatuhan karena sifat timbal balik. Convebtional level : yakni tahapan kepatuhan yang dasarnya hanya sekedar membina (maintaining). Harapan dan atau nilai-nilai yang diharapkan seseorang, kelompok, bangsa dan negara. Sehingga kepatuhan (loyality) hanya berdasar atas : Interpersonal concordance, good boy nice girl atau pujian/tahapan kepatuhan karena dasarnya disebut anak/orang baik. Law and order orientation, social order, dimana tahap kepatuhan/kesadaran morla karena dasar pertumbuhannya kewenangan hukum dan tertib sosial. Post conventional level : sudah memiliki dasar kepatuhan yang jelas, punya prinsip atau nilai moral tertentu yang menjadi landasannya. Tahap ini terdiri dari 2 kategori : Social contract legalistic orientation, bila kepatuhan sudah berlandaskan pola pikir bahwa kepatuhan didasarkan kewajiban sosial mentaati perjanjian/kesepakatan. Universal ethical principle orientation, kesadaran penuh berdasarkan prinsip umum yang dipilihnya secara rasional dan konprechenship karena lahir dari keputusan diri sendiri. Berdasarkan gambaran diatas betapa kompleksitasnya hal ihwal yang menyangkut pendidikan nilai, mulai dari berbagai pendapat pakar tentang karakteristik membinakan nilai moral seseorang yang amat beragam baik dalam batasan yang dijadikan landasannya maupun pendekatan : yang digunakan serta orientasi yang dijadikan landasan untuk membina nilai moral yang efektif. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya membinakan nilai moral ini, dan betapa sulitnya untuk membinakan nilai moral ini, sehingga melahirkan perdebatan tentang perlu tidaknya nilai diajarkanbagi seseorang melahirkan 4 aliran (Kosasih Djahiri;1985). Aliran relativisme ; yang beranggapan nilai tidak bisa diajarkan karena nilai bersifat relatif, subjektif, temporer dan situasional Aliran kebebasan (value-free) yangberanggapantidak perlu dan tidka boleh diajarka karena bertentangan dengan kodrat kebebasan dasar manusia untuk menentukan pilihannya secara bebas dan mandiri. Aliran Absolutisme atau dogmatisme ; juga beranggapan tidak perlu karena segala nilai dan norma yang sudah dianggap baik dan dilaksanakan untuk wajib dianut dilaksanakan tanpa peduli setuju atau tidak, mau atau tidak. Aliran keyakinan yang rasional/nalar yang menyatakan perlunya diajarkan untuk penerimaan yang sadar, mantap dan nalar. (Kosasih Djahiri,1985). Pendidikan nilai moral menghendaki lahirnya insan-insan yang memiliki sejumlah bekal sistem nilai baku yang positif sebagai landasan dan barometer kehidupan dan lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan pembaharu nilai moral yang diinginkan yakni di Indonesia dilahirkan insan-insan pancasila, diharapkan sistem nilai yang terbentuk akanmampu meluruskan “Conventer values/culture/conflicting values” yang ada dimasyarakat dan mengikisnya. Kosasih Djahiri mengemukakan analisisnya tentang counter values menjadi penyebab munculnya “counter values ” yakni : Budaya lama dalam bentuk mitos dan atau tabu Contoh : banyak anak banyak rizki, dewi sri adalah dewi padi memberantas hama penyakit dengan membakar duka/kemenyan dan lain-lain. Karena sifat ketergesaan/darurat Contoh : melanggar lalu lintas atas dalih membawa orang sakit atau takut terlambat kesekolah dan lain-lain. Hubungan kekerabatan/keluarga Contoh : memberikan dispensasi pada sanak famili membela anakk/istri dalam hal kesalahan dan lain-lain. Dasar kepentingan/kebutuhan Contoh : mencuri karena lapar, menyingkir lawan untuk kemenangan dan lain-lain Solidaritas/integritas yang terlalu tinggi/berlebihan. Contoh : perbuatan naif kelompok remaja, ekses kekerabatan dala organisasi modern dan lain-lain. Dengan demikian sesulit apapun membinakan nilai moral perlu mengupayakan dengan didasari profesionalitas pemahaman pada penguasaan substansi nilai moral itu sendiri, penguasaan pada tahap perkembangan kejiwaan seseorang, serta berbagai pendekatan yang didasarkan pada landasan filosofis yang berdasar pada nilai moral yang berlaku, karena sebagaimana dikemukakanfranicel dalam Kosasih Djahiri (1985:18) bahwa nilai (value) dan sejenisnya merupakan wujud daripada affektif (affektif domain) serta berada dalam diri seseorang yang secara utuh dan bulat merupakan suatu sistem, dimana aneka jenis nilai (nilai keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, hukum, etis, etik dll) berpadu menjalin serta saling mempengaruhi secara sangat sebagai suatu kesatuan yang utuh, sistem nilai ini amat dominan dan menentukan prilaku dalam kepribadian seseorang! Sangat berpengaruh karena merupakan pegangan emosional seseorang (value are powerfull emotional commitment), terutama berpengaruh pada saat seseorang menetappkan keputusan moralnya, maka diperlukan kecerdasan moral yang didasari oleh “Emotional Intelegence”, Spiritual Intelegence, social intelegence, magnetic intelegence yang dikelola berdasarkan “Manajemen qolbu”, maka akan melahirkan kecerdasan moral yang mantap. Strategi Pendidikan Nilai-Moral Pendidikan adalah merupakan upaya terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus-menerus sepanjng hayat) kearah membina manusia/peserta didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (Civilized). Secara substansi pendidikan pada hakekatnya adalah membinakan pendidikan nilai tentang hakekat kehidupan bagi manusia, sehingga dalam upaya membina tadi perlu diterapkan pendekatan-pendekatan manusiawi/humanistik yang meliputi keseluruhan aspek kemanusiaan secara utuh (aspek fisik-non fisik, emosiintelektual, kognitif-afektif-psychomotor). Pendekatan humanistik dimana manusia dihargai sebagai insan yang potensial (mempunyai kemampuan, kelebihan, kekurangan dll) diperlakukan berdasar kasih sayang, cinta kasih hangat, kekeluargaan, terbuka, objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana. Kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun sehingga melalui pendekatan pendidikan nilai merupakan upaya bantuan bagi seseorang untuk menggali, mengembangkan potensi dirinya dalam dunia kehidupan nyata dengan segala persoalannya yang ada, mampu merefleksikan nilai-nilai yang berbeda, sehingga pendidikan nilai bermakna sebagai sarana memberikan filsafat hidup dan memfasilitasi pertumbuhan, perkembangan dan piilihan menyeluruh sehingga dapat mengintegrasikan dalam komunitas dan dunia secara luas dengan rasa hormat, percaya diri dan bertujuan. Memperdalam pemahaman motivasi dan tanggungjawab dalam soal membuat pilihan-pilihan nilai moral pribadi, sosial yang positif, memberikan inspirasi kepada setiap individu untuk mampu memilih nilainilai, moral-moral, norma-norma pribadi, sosial dan spiritual yang dimilikinya dan sadar untuk mengembangkan dan memperdalam dan mempraktekkan nilai-moral dan norma tersebut dalam kehidupannya. Pada dasarnya pendidikan nilai menjadi tanggung jawab guru saja secara formal dan profesional dipersiapkan untuk membantu upaya merealisasikannya tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak terutama dimulai dari tanggung jawab orang tua dalam lingkup pendidikan informal, masyarakat dalam lingkup pendidikan Non-formal. Dan negara sebagai Top Organization dalam strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai warga negaranya oleh karena itu disin akan diberikan sebagai wacana bentuk membuka inovasi tentang pentingnya pendidikan nilai diberikan pada setiap lingkungan pendidikan tersebut. Dewasa ini kompleksitas perubahan era global telah melahirkan pemikiranpemikiran tentang pentingnya pendidikan nila, dimana para orang tua, pendidik dan terlebih anak-anak semakin khawatir dan terpengaruh oleh kekerasan, masalah-masalah sosial yang meningkat dan kurangnya rasa syukur dan saling menghormati diantara sesama dan didalam lingkungan sekitar mereka. Demikian di Indonesia para orang tua/pendidik berupaya mencari jalan/solusi untuk membantu generas penerusnya agar dapat memiliki jati diri, kepercayaan diri dan mampu beradaptasi secara sosial. Disekoalh-sekolah saat ini dibentuk komite-komite sekolah sebagai wadah komunikasi sebagai forum lintas pelaku pendidikan dan menjalin hubunganhubungan tentang penerapan kekuatan efektif serta positif pendidikan terutama saat-saat generasi muda mengarungi masa-masa sulit dalam mengembangkan nilai-nilai kehidupannya. Organisasi dunia seperti UNESCO telah mensponsori dan memprakarsai program pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan ini secara umum di antaranya melalui “living value” : An educational program (LIEV) dimana program ini menwarkan beragam aktivitas tentang pengalaman terhadap pengalaman-pengalaman dalam melaksanakan pendidikan nilai dan metodologi praktis bagi para pendidik dan orang tua/wali asuh untuk menjadi fasilitator pembelajaran nilai bagi anak-anak remaja dalam mengalami dan mengembangkan 12 nilai kunci dari kepribadian dan sosial seperti perdamaian, rasa hormat, cinta, kebahagian, kejujuran, rendah hati, tanggung jawab, sederhana, toleransi,kerjasama, kebebasan dan persatuan yang sudah yang diuji cobakan pada lebih 1800 situs di 64 negara terutama pada anak-anak korban peeprangan sejak tahun 2002. Nilai, budaya setiap bangsa disuatu negara tertentu berbeda-beda oleh karena itu penerapan program: pendidikan nilai akan diwarnai oleh situasi kondisi serta sistem nilai yang anut oleh suatu bangsa di negara tertentu, walaupun nilai-nilai yang dikembangkan oleh LIEV memilik standar “universal values” artinya nilai-nilai umum yag dianut, namun upaya secara metodologis praktis memerlukan strategi pengembangkan yang disesuaikan dengan sistem nilai yang berlaku disuatu negara. Indonesia adalah negara yang berketuhanan dan berideologi Pancasila tentunya nilainilai universal seperti yang dikembangkan LIEV telah termuat pula pada tujuan nasional negara kita sehingga upaya untuk mengejawantahkan secara metodelogis praktis akan didominasi faham yang dituju oleh tujuan nasional kita yang tertuang dalam program pembangunan nasional. Khusus pada bahasan ini akan dibahas tentang salah satu strategi pembelajaran nilai-moral sebagai metodelogis praktis yang sudah dikembangkan untuk kepentingan pendidikan nila-moral ditingkat persekolahan yaitu VCT L M N “ ” ý þ ‰ œ » ¼ L é ê • ‹ Œ Ž ïßïν®ž®ž®ƒžtžteR? h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w hÁP$ CJ OJ QJ aJ mH h©w hf ¿ CJ OJ QJ aJ h©w hÁP$ CJ OJ QJ aJ Ä CJ OJ QJ aJ h©w hÐ?2 CJ OJ QJ aJ - hk&Ä CJ OJ QJ H sH h©w h<:è CJ OJ QJ aJ ! hHEå 5 •CJ OJ QJ aJ sH ! h<:è 5 •CJ OJ QJ aJ mH sH h©w hô 5 •CJ OJ QJ aJ h©w h<:è 5 •CJ OJ QJ aJ 5 M N + Œ • Ž M P ‚ P … ~ ò ò ò å å å å å Í º † $ $ h©w sH hk& aJ m mH ° º „õÿ „Ð dh ¤ ¤ [$ \$ ]„õÿ^„Ð a$ gd©w $ „õÿ „Ð dh ¤ a$ gd©w $ & F0 „ª „Vþ dh ¤ [$ \$ ]„õÿ`„Ð a$ gd©w ¤ ^„ª `„Vþa$ gd Gw $ „Ð dh ¤ ¤ `„Ð $ dh ¤ a$ gd©w $ dh ¤ a$ gd©w Ž ¯ ° ð ñ P … ~ ˆ — ¨ ¡ À Ë Þ 8! p! v! •! Î! þ! i" ’" Ó" # ¥# C% Y% Z% k' l' u' ”' •' 0( ‘( ïßʼʱ£±— ±Ê…ÊmÊmÊmÊ…ÊmÊmÊmʱ…¼Ê¼Ê…¼Ê± . h©w h,Qv 6 • CJ OJ QJ ] •^J aJ mH! sH! " hk&Ä CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! hk& Ä h,Qv 6 •mH! sH! h©w h,Qv 6 •] •mH! sH! h©w h,Qv mH! sH! hk &Ä CJ OJ QJ ^J aJ ( h©w h,Qv CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! h©w hù•Î 5 •CJ OJ QJ aJ h©w hHEå 5 •CJ OJ QJ aJ %~ ¯ ¨ ² Ý Þ 8! Î! i" Ó" ¥# C% 0( å å Ò Ò Ò ¿ Ò Ò ¥ ¥ ¥ ¥ ‹ Ò $ „÷ÿ „Ð dh ¤ ¤ [$ \$ ]„÷ÿ`„Ð a$ gd©w & F2 Æ à „á dh ¤ ¤ ^„á a$ gdHEå $ $ „Ð dh ¤ ¤ `„Ð a$ gd©w $ „Ð $ dh ¤ ¤ ^„Ð a$ gd©w „õÿ „Ð dh ¤ ¤ [$ \$ ]„õÿ`„Ð a$ gd©w 0( ’( + €+ Þ >) §) '* -* , |, }, «. |0 Þ Ð î h2 á2 Þ ÷2 î Þ Þ î Þ Þ î Þ » › $ & F1 Æ „á „Éý dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdHEå $ „Ð dh ¤ 7$ 8$ H$ `„Ð a$ gd©w „Ð dh ¤ `„Ð gd©w $ & F7 dh ¤ a$ gd Gw $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd©w ‘( ’( ›( >) I) §) ¶) '* :* -* ¼* + + €+ “+ , , v- Ž- “- žJ. i. F1 e1 h2 ’2 ±2 á2 ÷2 53 63 Ç3 òäÙäÙäÙäÙäÙËÀËÀËÀ´À´À¬À ¬À™‰™ubRb- h•aU CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH ' hHEå h,Qv 5 •CJ OJ QJ aJ mH sH - h•aU CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH h•aU mH sH h•aU h,Qv 6 •mH sH h©w h,Qv mH sH h©w h,Qv 6 •] •mH sH h©w h,Qv mH! sH! h©w h,Qv 6 •] •mH! sH! h©w h,Qv 5 •\ •mH! sH! ÷2 Ç3 Ý3 ã4 l6 •7 ¦7 48 C9 2: s: n< ê Ê ± ± ± ‘ | d d d | $ & F4 Æ 8 „n dh ¤ ^„n a$ gdHEå $ „ª „7 dh ¤ ^„ª `„7 a$ gdHE å $ & F1 Æ „S „Wþ dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„S `„Wþa$ gdHEå $ & F3 Æ 8 á „n dh ¤ ^„n a$ gdHEå $ & F1 Æ „á „Éý dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdHEå $ „ë „ö dh ¤ ^„ë `„ö a$ gd•aU Ç3 Ý3 œ4 É4 ’5 ²5 þ6 7 7 7 67 @7 Œ7 •7 ¦7 Þ7 ï7 ô7 8 48 >8 J8 i8 9 9 9 49 ëØÈØÈززز؟ë•~•~•~•r•bUr hä 6 •CJ OJ QJ aJ h•aU h,Qv 6 •CJ OJ QJ aJ h CJ OJ QJ aJ " h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ $ hHEå h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH - h•aU CJ OJ Q J aJ mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH ' hHEå h,Qv 5 •CJ OJ QJ aJ mH sH 49 79 C9 M9 Ë9 1: 2: =: r: s: = <= > %> *> 8> g> v> ? ? Ã? å? ì? z@ •@ – @ ðáÏáÏṦ“¦ƒ¦¹¦¹¦¹¦p¦]G]G] * h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •a J mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH $ hÐ|' h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH - hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH sH $ hHEå h,Qv CJ OJ QJ a J mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH " h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ - h CJ OJ QJ aJ mH sH n< = õ= ? Ã? A h Eå & F6 Æ & F5 Æ & F5 Æ å –@ C B ¤ ´B ž žC D áD ž ¼G ê Ò p 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdHEå $ $ „ü „Wþ dh Ð „á dh ¤ ^„á a$ gdÐ|' $ Ð „á dh ¤ ^„á a$ gdHEå $ @ D ¤ ê ž Ð —@ ›@ DC dC º ž „ª ^„ü `„Wþa$ gdHEå ž „7 dh ¤ ‰ $ „ª „7 d ^„ª `„7 a$ gdH $ „h „y dh ¤ ^„h `„y a$ gdHE £@ â@ ã@ B ÙB æB ûB C C D »G ¼G ÍH ÎH ñM òM ðÝÇݸ¨¸•••••l•V•F•¸ - hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h,Qv 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH $ hHEå h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH - hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH sH h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ * h©w h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH $ h©w h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH - hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH sH ¼G VJ ñM òM N /N ¹O fP jS ¡W ÂW ¦Y æ æ Õ ½ • „ „ „ „ d „ $ & F5 Æ @ „á „Éý dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdòOª $ „ª „7 dh ¤ 7$ 8 $ H$ ^„ª `„7 a$ gdòOª $ & F5 Æ @ „á „Éý dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdI ” $ & F0 „ª „Vþ dh ¤ ^„ª `„Vþa$ gd Gw $ „ª dh ¤ ^„ª a$ gd©w $ „ª „7 dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdI ” òM N N /N JN aN fP ½Q R ¡W ÁW ÂW ÍW )[ H[ \ T\ )] H] <_ F_ L_ ]_ É_ ×_ R` ^` !e ïß˼ª¼—„—n—^—^—^—^—H— H—H—H— * h©w hÒk 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH - h-%l CJ OJ QJ aJ m H sH * h©w hÒk 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH $ h©w hÒk CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w hÒk CJ OJ QJ aJ mH sH " h©w hÒk 6 •CJ OJ QJ ] •aJ h©w hÒk CJ OJ QJ aJ ' h©w h©w 5 •CJ OJ Q J aJ mH sH h©w hù•Î 5 •CJ OJ QJ aJ h©w hI ” 5 •CJ OJ QJ aJ ¦Y [ &^ a ‡b !e <e Øe ®f Æf xg 2h Mh &j új &m Ip ìr -t áx Ãy æ æ Í Í Í ¸ Í Í ¸ Í Í ¸ Í Í Í Í Í Í Í Í $ „ª dh ¤ 7$ 8$ H$ `„ª a$ g dQ@ $ „ª „7 dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdQ@ $ „ª „7 dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdòOª !e )e :e ;e <e \e Øe f -f ®f ¶f Äf Æf ùf xg ¨g 2h :h Kh Mh jh •h ¡h Li ‰i &j oj ìr Ët êt Ãy ëÔëÀª—ª—„ëÔ몗ª—ëÔ몗ª—ª—ª— qaq - hå4 CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w hÒk CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w h¡)• CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w hÒk CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w hÒk 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH ' hQ@ h¡)• 5 •CJ OJ QJ aJ mH sH hQ@ hÒk 5 •6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH ' hQ@ hÒk 5 •CJ OJ QJ aJ mH sH -Ãy Ýy øy z î{ ï{ ¢~ ¤~ ³• ã• ä• å• ü• ý• € € € Q€ •€ •€ ¸€ í€ î€ X• Y• Õ• Ö• Ù• :‚ ;‚ €‚ Å‚ ô† ‡ ê×Á×®›®›Œ×Œ‚{‚{Œp{Œ{p›p›p›l{Œ{p›V * h©w hÒk 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH hQ@ h©w hÒk mH sH h©w hÒk h©w hÒk CJ OJ QJ aJ mH sH sH * h©w hÒk 6 •CJ OJ sH $ h©w hÒk CJ OJ QJ sH * h©w hÒk 5 •CJ OJ sH !Ãy Þy ï{ ¤~ ä• å• Æ µ y k 5 •\ • $ h©w QJ aJ QJ ý• — h©w hÒk CJ OJ QJ aJ h¡)• CJ OJ QJ aJ mH ] •aJ $ h©w hÒ mH mH \ •aJ € ß mH Æ Æ - $ „– „– dh ¤ ¤ $ If [$ \$ ]„– ^„– a$ gd©w - $ „– „– dh ¤ ¤ $ If [$ \$ ]„– ^„– a$ gd©w $ „Ð dh ¤ ^„Ð a$ gd©w H$ ^„ª `„7 a$ gdQ@ $ & F5 Æ @ „á „Éý dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdQ@ N N $ „ª „7 dh € € Q€ •€ - ¤ l $ 7$ 8$ „– „– dh a$ gd©w “ Ö ÿ ¤ kd ¤ Ö ÿÿÿÿ 6 ö aö ÿ ÿ3Ö ö ø 4Ö N $ $ If $ If [$ \$ ]„– ^„– Ö ÿÿÿÿ Ö0 ö Ö ÿ pÖ ÿÿÿÿ N ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ Ö0 èÿG U" ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ •€ •€ ¸€ - ` ÿ í€ l $ „– „– dh a$ gd©w “ Ö ÿ ¤ kdÕ ¤ Ö ÿÿÿÿ 6 ö aö ÿ ÿ3Ö ö ø 4Ö N $ $ If $ If [$ \$ ]„– ^„– Ö ÿÿÿÿ Ö0 ö Ö ÿ pÖ ÿÿÿÿ N ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ Ö0 èÿG U" ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ í€ î€ • - ` ÿ X• l $ „– „– dh a$ gd©w “ Ö ÿ ¤ kdª ¤ Ö ÿÿÿÿ 6 ö aö ÿ ÿ3Ö ö ø 4Ö N $ $ If $ If [$ \$ ]„– ^„– Ö ÿÿÿÿ Ö0 ö Ö ÿ pÖ ÿÿÿÿ N ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ Ö0 èÿG U" ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ X• Y• Ž• - ` ÿ Õ• l $ „– „– dh a$ gd©w “ Ö ÿ ¤ kd• ¤ Ö ÿÿÿÿ 6 ö aö ÿ ÿ3Ö ö ø 4Ö N $ $ If $ If [$ \$ ]„– ^„– Ö ÿÿÿÿ Ö0 ö Ö ÿ pÖ ÿÿÿÿ N ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ Ö0 èÿG U" ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ Õ• Ö• ÿ• - ` ÿ :‚ l $ „– „– dh a$ gd©w “ Ö ÿ ¤ kdT ¤ Ö ÿÿÿÿ 6 ö aö ÿ ÿ3Ö ö ø 4Ö N $ $ If $ If [$ \$ ]„– ^„– Ö ÿÿÿÿ Ö0 ö Ö ÿ pÖ ÿÿÿÿ N ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ Ö0 èÿG U" ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ :‚ ;‚ €‚ - ` ÿ Å‚ l $ „– „– dh a$ gd©w “ Ö ÿ ¤ kd) ¤ Ö ÿÿÿÿ 6 ö aö ÿ ÿ3Ö † l $ ö ø 4Ö Ö ÿ3Ö Š ›Œ Æ Ö ÿ ÷• $ „Ð ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ B Ö0 ÿ ÿ Ö ÿÿÿÿ ¤ èÿG U" ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ Å‚ Æ‚ Ç‚ $ „7 dh ¤ ^„Ð a$ gd©w Ö0 èÿG U" ` ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ Ö0 6 ö ö Ö ÿ aö pÖ ÿÿÿÿ ‰• š• ß Æ Æ Æ ö ø 4Ö v• [$ \$ ]„– ^„– Ö ÿÿÿÿ Ö0 ö Ö ÿ pÖ ÿÿÿÿ B [ $ ^„7 `„7 a$ gdQ@ Ö ÿ $ If $ If „7 dh “ kdþ ¤ $ ` ÿ Ü„ ô 7$ 8$ H $ If ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ytQ@ ô† ‡ ô‡ Æ Æ • ÿ Š ¶ „– dh ¤ ¤ $ If [$ \$ ]„– gd©w " $ „– „– „Üÿ dh ¤ ¤ $ If [$ \$ ]„– ^„– `„Üÿa$ gd©w $ „7 „7 dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„7 a$ gdQ@ $ & F5 Æ @ „á „Vþ dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Vþa$ gdQ@ ‡ .‡ M‡ ‹ ¸‹ Œ 0Œ G• Q• v• š• œ• ®• ¹• º• ¼• À• ü• ý• ‘ C‘ E‘ t‘ u‘ ˆ‘ ¶‘ ¸‘ ’ ™ =™ ]™ x™ ûœ • Ÿ )Ÿ <¡ V¡ }¡ ’¡ <¢ V¢ e¢ f¢ £ +£ „¤ – ¤ § í×í×í×í×íÐÁнÐÁµªíЪíªíЪíªí”í×í„í×í×í×í×í„í×í×í - h÷ZT CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w hÒk 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH h©w hÒk mH sH h J3 mH sH hå4 h©w hÒk CJ OJ QJ aJ h©w hÒk OJ QJ aJ * h©w mH sH hÒk 0š• 6 •CJ OJ QJ ›• œ• º• ˆ ] •aJ mH sH s $ h©w hÒk \ CJ „– dh gd©w Ö Z#à Ü 6 Ö t Gw ¤ $ ÿ º• ¤ $ If „Üÿ dh ¤ [$ \$ ]„– $ If `„Üÿa$ gd©w Ö0 èÿ“ ¬ Ö0 ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö »• ¼• ü• ˆ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö s ÿ v ÿ ÿ3Ö kdÓ ÿ 4Ö \ $ $ If ÿ aö 4 ö ˆ f4 y „– dh gd J3 Ö Z# 6 Ö t Gw ¤ $ ÿ ü• ¤ $ If „Üÿ dh ¤ [$ \$ ]„– $ If `„Üÿa$ gd©w Ö0 èÿ“ ¬ Ö0 ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ý• ‘ C‘ ˆ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö f ÿ v ÿ ÿ3Ö kd„ ÿ 4Ö K $ $ If ÿ aö 4 ö ˆ f4 y „– „– dh ¤ ¤ $ If [$ \$ ]„– ^„– gd©w " $ „– „– „Üÿ dh `„Üÿa$ gd©w v “ Z# 6 Ö t Gw ÿ C‘ ¤ ¤ kd5 $ If $ $ If ¬ Ö0 ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö D‘ E‘ t‘ ˆ ÿ ÿ [$ \$ ]„– ^„– 4 Ö ÿ ÿ Ö s ÿ Ö0 ÿ ÿ3Ö ÿ 4Ö X ÿ aö èÿ ö ˆ f4 y „– „– gd©w Ö Z#à Ü 6 Ö t Gw dh $ ÿ t‘ ¤ ¤ „Üÿ dh $ If ¤ ¬ Ö0 ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö u‘ ˆ‘ ¶‘ ˆ [$ \$ ]„– ^„– $ If `„Üÿa$ gd©w Ö0 èÿ“ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö f ÿ v ÿ ÿ3Ö kdæ ÿ 4Ö K $ $ If ÿ aö 4 ö ˆ f4 y „– „– dh ¤ ¤ $ If [$ \$ ]„– ^„– gd©w " $ „– „– „Üÿ dh $ $ If ¤ Ö ¤ Ö0 ÿ Ö ÿ ·‘ ¸‘ s ÿ 4 Z# 6 Ö t Gw ’ ˆ $ If [$ \$ ]„– ^„– `„Üÿa$ gd©w Ö0 èÿ“ v kd— ¬ ÿ ¶‘ ÿ Ö ÿ ÿ X ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ3Ö ÿ 4Ö ÿ aö ö ˆ f4 y „– „– gd©w dh ¤ $ „Ð $ $ If Z#à Ü 6 Ö t Gw ’ ÿ ÿ Ö ¤ dh $ If ¤ 4 Ö ¬ Ö0 ÿ ÿ ÿ Ö [$ \$ ]„– ^„– $ If `„Ð a$ gd©w ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ ÿ3Ö v kdH Ö0 èÿ“ ÿ 4Ö ÿ aö ö ˆ f4 y ’ ’ ¾• ;— ™ ˆ { ¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„7 a$ gdº|¦ a$ gd J3 b I $ „7 „Å I dh ¤ $ „7 „7 dh 7$ 8$ H$ ^„7 `„Å $ dh $ Z# 6 Ö t Gw - ÿ ™ ¤ a$ gd©w $ If 4 v kdù Ö ¬ Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ =™ .š Tœ µ• G¤ K¦ § :§ ” Ö0 ÿ ÿ3Ö © ß èÿ“ ÿ 4Ö ÿ aö ö ˆ f4 y Æ - t $ & F5 Æ @ „á „Vþ dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Vþa$ gdº|¦ $ „7 „Å dh ¤ 7$ 8 $ H$ ^„7 `„Å a$ gdº|¦ $ „7 „7 dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„7 a$ gdº|¦ $ „7 „Ð dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„Ð a$ gdº|¦ $ & F5 Æ @ „á „Vþ dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Vþa$ gd J3 § 9§ U§ k§ ª° Ê° Y´ h´ ½ @½ ÅÀ ÆÀ ÐÀ ïÀ øÄ úÄ -Å -Å ÌÅ ÍÅ ÎÅ YÆ bÆ eÆ „Æ üË ýË 5Î 6Î ^Ñ _Ñ àÔ Õ ê×Á×±×Á× êססבêוו×Áססס×n×X * h©w h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH $ h÷ h©w CJ OJ QJ aJ mH sH - h’c¬ CJ OJ QJ aJ mH sH - h©w C J OJ QJ aJ mH sH - h÷ZT CJ OJ QJ aJ mH sH - hº|¦ CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h©w 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH $ h©w h©w C J OJ QJ aJ mH sH * h©w h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH © 6ª »¬ ‡® ç± ½ @½ P¾ ûÀ LÄ úÄ Å á á á á È ¨ “ “ “ ~ b $ & F8 Æ p „n „Wþ dh ¤ ^„n `„Wþa$ gd’c¬ $ „Ð „Ð dh ¤ ^„Ð `„Ð a$ gd’c¬ $ „Ð „Ð dh ¤ ^„Ð `„Ð a$ gdº|¦ $ & F8 Æ p „n „Wþ dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„n `„Wþa$ gd’c¬ $ „Ð „, dh ¤ 7$ 8$ H$ ^„Ð `„, a$ gdº|¦ $ & F8 Æ „n dh ¤ 7$ 8$ @& H$ ^„n a$ gdº|¦ Å ÁÇ (È ®È Ê þË Î RÏ ¹Ï jÐ øÐ _Ñ àÔ Õ ê Ò Ò ê ê ê ê ¶ ¶ ¶ š ê ‚ $ & F8 Æ p „n dh ¤ ^„n a$ gd’c¬ $ & F: Æ Û „Š „äý dh ¤ ^„Š `„äýa$ gd÷ $ & F: Æ & F9 Æ ¬ Õ ß â Û „Š „äý dh Ð „Š dh ¤ ¤ ^„Š `„äýa$ gd’c¬ ^„Š a$ gd’c¬ $ £Õ ºÕ »Õ ¼Õ ù× Ø MØ RØ Ú Îß tà #á Lá þá Mã íÝíÝíÇíÇí±í¡‘~íl]í]í]l]Q] CJ OJ QJ aJ h©w h©w CJ OJ QJ \ •aJ $ h©w hX “ CJ OJ QJ aJ mH sH - h©w CJ OJ QJ aJ mH sH J mH sH * h©w h©w 6 •CJ OJ QJ CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w h©w LÙ Ú ;Ú dÞ eÞ fÞ qÞ ”Þ -Þ ¾Þ ¹ ¤ ¤ † † $ „Ð ;Ú „º cÞ dÞ ¤ eÞ ^„Ð `„º a$ gd’c fÞ qÞ ”Þ ÎÞ - h÷ QJ aJ " h©w h©w 5 •CJ mH sH - hX “ CJ OJ QJ * h©w h©w 5 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH - h÷ CJ OJ QJ aJ mH sH Õ ê ê Õ ¤ — $ w dh dh ¤ $ If OJ aJ \ •a £× — a$ gd© $ dh ¤ a$ gd©w $ „n „7 dh ¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬ $ & F; Æ 8 „ „Vþ dh ¤ ^„ `„Vþa$ gd’c¬ $ „Ð „Ð dh ¤ ^„Ð `„Ð a$ gd’c¬ $ „ „š dh ¤ ^„ `„š a$ gd’c¬ ¾Þ ¿Þ ÎÞ ß g V V $ $ $ If –l Ö dh ¤ $ If Ö0 a$ gd©w 7 I þ ˜ kdª µ t à ÿ Ö ö ÿÌÌÌ 6 ö 4Ö l aö £ pÖ p d©w $ } kdŠ $ If ö ÿÌÌÌ –l Ö ÿÌÌÌ Ö0 Ö ÿÌÌÌ Ö ÿ ÿ Ö yt’c¬ ÿ ÿ Ö Ö ß -ß 2ß Íß $ dh Ö0 ÿ 4Ö • 7 I þ p ¤ $ If a$ g t à Ö0 ÿ Ö Ö l aö £ yt’c¬ µ ÿ ÿ Íß ÿ ÿ Ö Îß à ÿ sà $ dh ÿ ÿ Ö ÿ ÿ • ¤ $ If ÿ ÿ4Ö p a$ gd©w ö 6 4Ö p } kd5 ö ö $ $ If –l Ö Ö0 7 I þ t à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö £ yt’c¬ µ ÿ ÿ sà ÿ ÿ Ö tà Žà ÿ á $ dh ÿ ÿ Ö ÿ ÿ • ¤ $ If ÿ ÿ4Ö p a$ gd©w ö 6 4Ö p } kdÒ ö ö $ $ If –l Ö Ö0 7 I þ µ à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ l aö £ yt’c¬ á á "á #á Lá “ã • G 2 „7 a$ gd’c¬ $ & F; Æ 8 „ „Vþ dh ¤ ^„ `„Vþa$ gd’c¬ t ÿ ÿ ÿ4Ö ö 6 ö ö 4Ö $ p „n „7 dh c ¤ ^„n ` $ $ dh $ If ¤ a$ gd©w –l Ö $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd’c¬ Ö0 7 I þ } kdo µ à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö ö Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ4Ö 4Ö l aö £ yt’c¬ Mã Nã 8ä Wä Xä Yä äå åå ðå æ Tæ 7ç Ýç bè ^ é _é `é {é òì í ¢í Üî ÷î &ï ð :ð ;ð Mó _ó ˜ô æõ ùõ Eö ðáÕáðáÂá°á•á•á•Â°á°á•á°áÕðá{á•e• * h©w h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH " h©w h©w 6 •CJ OJ QJ ] •aJ - h©w CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w h©w CJ OJ QJ aJ mH sH " h©w h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ $ h©w h©w CJ OJ QJ aJ mH sH h÷ CJ OJ QJ aJ h©w h©w CJ OJ QJ aJ - h÷ CJ OJ QJ aJ mH sH “ã å åå ðå æ +æ <æ ê Õ È È · · t $ dh ¤ $ If a$ gd©w $ dh ¤ „n „7 dh V a$ gd©w $ „n ¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬ „Å dh <æ =æ ¤ Tæ ^„n `„Å a$ gd’c¬ •æ g V $ $ ¤ $ If a$ gd©w ˜ kd dh $ $ If –l Ö Ö0 ª I þ Ÿ µ t à ÿ Ö ö 4Ö l aö d©w ÿÀÀÀ 6 ö pÖ p } kdÞ ÿÀÀÀ Ö ÿÀÀÀ ö Ö ÿÀÀÀ Ö0 ÿ ÿ ÿ Ö yt’c¬ ÿ ÿ •æ ÿ ÿ Ö Žæ ÿ ÿ Ö ÿ ¿æ 6ç $ dh ÿ ÿ • ÿ4Ö p ¤ $ If a$ g $ $ If –l Ö Ö0 ª I þ Ÿ t à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö yt’c¬ –l Ö µ ÿ ÿ 6ç ÿ ÿ Ö 7ç dç ÿ Âç $ dh ÿ ÿ Ö • ¤ ÿ ÿ ÿ ÿ4Ö p $ If a$ gd©w Ö0 ª I þ Ÿ ö 6 ö ö 4Ö p } kd{ $ $ If t à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö yt’c¬ –l Ö µ ÿ ÿ Âç ÿ ÿ Ö Ãç Ýç ÿ aè $ dh ÿ ÿ Ö • ¤ ÿ ÿ ÿ ÿ4Ö p $ If a$ gd©w Ö0 ª I þ Ÿ ö 6 ö ö 4Ö p } kd $ $ If t à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö yt’c¬ –l Ö µ ÿ ÿ aè ÿ ÿ Ö bè lè ÿ ·è $ dh ÿ ÿ Ö • ¤ ÿ ÿ ÿ ÿ4Ö p $ If a$ gd©w Ö0 ª I þ Ÿ ö 6 ö ö 4Ö p } kdµ $ $ If t à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö yt’c¬ –l Ö µ ÿ ÿ ·è ÿ ÿ Ö ¸è Úè ÿ Bé $ dh ÿ ÿ Ö • ¤ ÿ ÿ ÿ ÿ4Ö p $ If a$ gd©w Ö0 ª I þ Ÿ ö 6 ö ö 4Ö p } kdR $ $ If à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö yt’c¬ ? $ „n „7 dh µ ÿ ÿ t & F; Æ 8 } „ kdï Bé ÿ ÿ Ö Cé `é ÿ {é ÿ ÿ Ö ë èì ? ¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬ „Vþ dh ¤ $ $ If ^„ `„Vþa$ gd’c¬ –l Ö ÿ ÿ • ÿ ö ÿ4Ö 6 ö ö 4Ö p T $ $ „Ð dh Ö0 ¤ `„Ð a$ gd÷ ª I þ Ÿ µ à Ö0 ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ l aö yt’c¬ èì òì í í 0í 1í Qí ò ò ; t ÿ ÿ Ö ÿ ÿ á ÿ ÿ4Ö ö 6 ö ö 4Ö á I l dh Ö t à ¤ $ If gd©w ˜ µ ÿ Ö ö 4Ö l aö 1 pÖ ÿÌÌÌ 6 ö ÿÌÌÌ ÿÌÌÌ ö Ö ÿÌÌÌ kdŒ $ $ If – Ö0 Å I þ „ Ö Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ yt’c¬ $ dh ¤ ÿ ÿ Ö $ If ÿ ÿ ÿ4Ö a$ gd©w $ dh ¤ î a$ gd©w Qí ¡í ¢í Ùí Oî î p b l t dh Ö ¤ $ If à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö 1 yt’c¬ s gd©w µ ÿ ÿ ÿ Ö $ dh b } kd^ $ Ö0 Å I þ ÿ ÿ ¤ ÿ ÿ Ö $ If $ dh $ If „ ÿ ÿ ÿ4Ö a$ gd©w ¤ $ If – ÿ Oî ö 4Ö Pî 6 rî a$ gd©w Ûî ö • ö dh Ö l ¤ $ If à Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ Ö l aö 1 yt’c¬ ? $ „n „7 dh gd©w µ ÿ ÿ t & F; Æ 8 ¬ } „ kd˜ Ûî } kdû $ Ö0 Å I þ ÿ ÿ Ö Üî ÷î ÿ &ï $ If „ ÿ ÿ Ö oñ Óò ÿ ÿ • ? ¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬ „Vþ dh ¤ ^„ `„Vþa$ $ $ If –l Ö µ t à Ö0 ÿ ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ Ö ÿ ÿ l aö 1 yt’c¬ Óò ïò ó ó ó 2ó Eó mó æõ ç÷ Ëø _ù ñû ã ã ã • • – ÿ ö ÿ4Ö p ö T $ „Ð dh Ö0 ÿ Ö ÿ ÿ ÿ ö ÿ4Ö ¤ `„Ð a$ gd’c Å I þ „ 6 ö ö 4Ö ã ã ã • ö $ gd’c¬ òû 6 4Ö ã Î ˆ ² $ & F; Æ « & F; Æ « dh ü ¤ „ a$ gd©w „äþ dh $ ¤ ^„ `„äþa$ gd’c¬ $ „ „äþ dh ¤ ^„ `„äþa$ gd’c¬ $ „n „7 dh ¤ ^„n `„ 7 a$ gd’c¬ $ & F< Æ Ð „O „Vþ dh ¤ ^„O `„Vþa$ gd’c¬ Eö Tö -÷ &÷ Å÷ Ó÷ ç÷ ÷÷ Ëø êø _ù yù Zú yú ”ú •ú òû ?ü H ü gü ²ý ³ý Æý Çý ë ì î ï J f ê×ê×Ã×-×-×-וו×-ווו×}• j[K hFŸ hG5² 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hG5² CJ OJ QJ aJ $ h (Ò hFŸ CJ OJ QJ aJ mH sH - h©w CJ OJ QJ aJ mH sH - hFŸ CJ OJ QJ aJ mH sH - h÷ CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH ' h÷ h©w 6 •CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w h©w CJ OJ QJ aJ mH sH * h©w h©w 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH òû ?ü ëý ýþ ì í î ï 2 î  x f . ã Î Î Î Î Î Î ¹ ¡ ¡ ¡ Œ Œ Œ $ „û „8 dh ¤ ^„û `„8 a$ gdë~ $ & F „¥ „Vþ dh ¤ ^„¥ `„Vþa$ gdë~ $ „ž „Ð dh ¤ ^„ž `„Ð a$ gdë~ $ „n „7 dh ¤ ^„n `„7 a$ gdë~ $ & F; Æ 8 „ „Vþ dh ¤ ^„ `„Vþa$ gdë~ f Ì ; f r Š ß Â š ì œ 9 Ö : ÿ @ ¯ A Ä “ ” ™ š ´ µ ñ ò e Ë ñáñÑñ³£³£³”…Ñ…Ñ…Ñ…Ñ…Â…Ñ…ñvgX h©w hÍMÊ CJ OJ QJ aJ h©w h±hÒ CJ OJ QJ aJ h©w hM ® CJ OJ QJ aJ h©w h¼ Y CJ OJ QJ aJ h©w hògA CJ OJ QJ aJ hFŸ h)9É 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h)9É CJ OJ QJ aJ h©w h N CJ OJ QJ aJ - hFŸ CJ OJ QJ aJ mH sH hFŸ hG5² 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hG5² CJ OJ QJ aJ Ë . r s ¸ ¹ ã ê Y ± è : ; < + I , J 7 q r ; F Z • ’ š ® E d ñâñÒñÃñ´¤”¤´¤´Òñ´„´ñ´¤´¤´„¤´¤´¤´u¤´i„´i´ñ hFŸ CJ OJ QJ aJ hFŸ hÒlJ CJ OJ QJ aJ - hFŸ CJ OJ QJ aJ mH sH hFŸ hÖ V 6 •CJ OJ QJ aJ hFŸ hÒlJ 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hÒlJ CJ OJ QJ aJ h©w h jû CJ OJ QJ aJ - hë~ CJ OJ QJ aJ mH sH h©w hM ® CJ OJ QJ aJ h©w hÖ V CJ OJ QJ aJ ). r ¹ â 7 Y < r î G ê ¦ € Ò ® º º ’ º ’ ¦ ¦ ’ ’ ’ º $ & F & F & F & F „j dh ¤ ^„j a$ gdë~ $ „j dh ¤ ^„j a$ gdë~ $ „Á „Wþ dh ¤ ^„Á `„Wþa$ gdë~ $ „3 gdë~ „Éý dh ¤ ^„3 `„Éýa$ gdë~ $ „Ð „+ dh ¤ ^„Ð `„+ a$ * 9 D ë ¦ z & F „ô ¢ ¸ ë ÿ Q Š Ó ’ z ’ $ ³ " Ó Œ ’ Â Ó Ó ë ë ¾ ’ „ û dh ¤ ^„ô `„ ûa$ gdë~ $ & F „ø dh ¤ ^„ø a$ gdë~ & F „O „Vþ dh ¤ ^„O `„Vþa$ gdë~ gdë~ $ & F „ø „Wþ dh ¤ ^„ø `„Wþa$ gdë~ & F „† dh ¤ ^„† a$ gdë~ $ $ „¥ $ „Éý dh ¤ ^„¥ `„Éýa$ 2 ^ z € µ ÿ ) H I P " 3 H n Š  ë û £ ¤ 2 E U m ¿ Ò Ú ë S ïàïàïàïàïÓïàĸ¨Ä™Ä‰Ä‰ÄyÄ‰Ä‰Ä‰Ä‰Ä‰Ä¨Ä‰Ä‰Ä‰Ä‰Ä‰Ä - hFŸ CJ O J QJ aJ mH sH hFŸ h jû 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hÖ V CJ OJ QJ aJ - hë~ CJ O J QJ aJ mH sH hë~ CJ OJ QJ aJ h©w h jû CJ OJ QJ aJ hä 6 •C J OJ QJ aJ h©w hÒlJ CJ OJ QJ aJ hFŸ hÒlJ 6 •CJ OJ QJ aJ .ë ¥ û ¤ % J ö ÷ ˆ ë Ö Á © • u © h P $ & F> „¥ „Ôý dh ¤ ^„¥ `„Ôýa$ gd`@à Q ^ D Š ‡ ê ¢ ÷ ² Ò $ & F dh ¤ a$ gd©w $ „† „Vþ dh ¤ `„Vþa$ gdë~ & F ^„† $ Æ † „¡ „;ý dh ¤ ^„¡ `„;ýa$ gdë~ $ & F „Á „äþ dh ¤ ^„Á `„äþa$ gdë~ $ „¥ „7 dh ¤ ^„¥ `„7 a$ g dë~ $ „¥ „Éý dh ¤ ^„¥ `„Éýa$ gdë~ $ & F „O dh ¤ ^„O a$ gdë~ S g • † ‡ ® ¯ » õ ö ˆ ‘ $ 0 T i › ² y ž » Ö ä l · ¸ ïßÓô£ï´”´ï´ï´ï´ï´…u…eVGV h©w h: ž CJ OJ QJ aJ h©w h Sß CJ OJ QJ aJ h'x” h Sß 6 •CJ OJ QJ aJ h2+à h-v 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h-v CJ OJ QJ aJ h©w h<:è CJ OJ QJ aJ ! h2+à 6 •CJ OJ QJ aJ mH sH h©w h jû CJ OJ QJ aJ - hë~ CJ OJ QJ aJ mH sH hë~ CJ OJ QJ aJ h2+à hë~ 6 •CJ OJ QJ aJ h2+à h jû 6 •CJ OJ QJ aJ ˆ $ ² y Ö ¸ ©- äd! # # =# q# ‡# ˆ# N$ ç ç ç ç ç ç ç ç Ò Á ± ± ± Ò $ & F h & F dh ¤ $ „Ð dh ¤ ^„Ð a$ gd©w ¤ a$ gd Gw ^„n `„Ð a$ gdåR $ „Ð $ dh ¤ `„Ð a$ gd©w $ „n „Ð d „O : „Vþ dh L c! ¤ d! ^„O `„Vþa$ gd`@à " ¸ Ç ©- ¼- ä ò % & " " W" e" f" w" |" Œ" =# ># ‡# #% ïàÐÁÐÁµ¥ÁÐÁ– ‡µ¥‡w‡w‡w‡\‡M h©w hŽIM CJ OJ QJ aJ 4 j h©w h ` CJ OJ QJ U aJ mH nH tH! u h'x” hQ_± 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hQ_± CJ OJ QJ aJ h`@à hQ_± CJ OJ QJ aJ - h'x” CJ OJ QJ aJ mH sH h'x” CJ OJ QJ aJ h©w h =— CJ OJ QJ aJ h'x” h =— 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h: ž CJ OJ QJ aJ h'x” h: ž 6 •CJ OJ QJ aJ #% ,% 9% A% R% k% ›& ®& Å& â& {' ´' µ' Ž( •( ”( Æ( Ë( ç( ê( ) d) m) Ð) Ü) + .+ Z+ o+ ™+ š+ , Â, Ñ, 6- =- z- {- Æ- Ø- ã- ôž. «. ¶. Ã. ïàïàïàïàïàÑàÑàÑÁÑÁÑÁÑÁÑÁÑಢ²’²ƒsƒsƒàƒsƒsƒsƒs hÏE¸ hëp¯ 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hëp¯ CJ OJ QJ aJ - hÏE¸ CJ O J QJ aJ mH sH hÏE¸ h‹:r 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h‹:r CJ OJ QJ aJ hÏE¸ h0Bú 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h0Bú CJ OJ QJ aJ h©w hŽIM CJ OJ QJ aJ h'x” hŽIM 6 •CJ OJ QJ aJ -N$ -% 1& {' µ' ( K( •( Æ( 1) .+ , ‰, {µ/ ç ç ç Ï Ï Ï · £ £ • • ~ • • $ „3 dh ¤ ^„3 a$ gdåR $ & F „3 dh ¤ ^„3 a$ gdåR $ & F „† dh ¤ ^„† a$ gdåR $ & F „3 „Wþ dh ¤ ^„3 `„Wþa$ gdåR $ & F „† „Vþ dh ¤ ^„† `„Vþa$ gdåR $ & F „3 „Vþ dh ¤ ^„3 `„Vþa$ gdåR Ã. œ/ -0 m0 s0 ª0 á0 11 M1 e1 •1 œ1 Ï1 æ1 62 J2 >4 ´4 ä 4 5 ,5 s5 t5 É5 Ê5 {6 ”6 Æ6 Ð6 Ö6 ã6 ÷6 7 N7 g7 ñâÒÅâÒ âÒâÒâÒâÒ⶧—§—§ˆyiyYyYyYyYyY hð — h¢u× 6 •CJ OJ QJ aJ - håR CJ OJ QJ aJ mH sH h©w h¢u× CJ OJ QJ aJ h>3þ h¢u× CJ OJ QJ aJ hð — h›Rf 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h›Rf CJ OJ QJ aJ h©w h‚Dž CJ OJ QJ aJ hä 6 •CJ OJ QJ aJ hÏE¸ h hã 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h hã CJ OJ QJ aJ h©w h, U CJ OJ QJ aJ "µ/ -0 K0 •0 ª0 ù0 e1 Ï1 J2 N3 ô3 t5 36 ê Ò Ò Ò ¾ ¾ ¾ ¾ © • • € $ „3 „7 dh ¤ ^„3 `„7 a$ gdåR $ & F „3 dh ¤ ^„3 a$ gdåR $ „ç „ƒ dh ¤ ^„ç `„ƒ a$ gdåR $ & F „O dh ¤ ^„O a$ gdåR $ & F „3 „Wþ dh ¤ ^„3 `„Wþa$ gdåR $ „n „Å dh ¤ ^„n `„Å a$ gdåR 36 ®6 º >7 •7 ¼7 ç º ¦ & F æ6 ç „½ ª8 ø8 )9 =9 ç ¦ ¦ U9 e9 ¦ ¦ ~9 •9 ç ¦ º $ µ9 Ó9 Ò ú9 ¦ ç dh ¤ ^„½ a$ gdí*K $ & F „† „äþ dh ¤ ^„† `„äþa$ gdí*K $ „Á „7 dh ¤ ^„Á `„7 a$ gdí*K $ & F „j „Wþ dh ¤ ^„j `„Wþa$ gdåR g7 n7 ~7 •7 •7 ”7 ¨7 º7 w8 •8 )9 l9 r9 •9 £9 ³9 µ9 É9 Ì9 ": #: ; n; o; Š< = = ñáÐáñáñÁ±Á±¤±Á±Á˜ˆÁyÁjÁ[LÁ h©w h˜Wž CJ OJ QJ aJ h©w hæGý CJ OJ QJ aJ h©w hŠg1 CJ OJ QJ aJ håR hx/Á CJ OJ QJ aJ - hð — CJ OJ QJ aJ mH sH hð — CJ OJ QJ aJ hä 6 •CJ OJ QJ aJ hð — hx/Á 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hx/Á CJ OJ QJ aJ ! hð — 6 •CJ OJ QJ aJ mH sH hð — h¢u× 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h¢u× CJ OJ QJ aJ ú9 : : #: K : e: |: -: ; E; o; Š< = w= ç ç ç Ï » » » » » » ¦ ’ • $ „3 dh ¤ ^„3 a$ gdzß $ & F „3 dh ¤ ^„3 a$ gdzß $ „Á „© dh ¤ ^„Á `„© a$ gdí*K $ & F „½ dh ¤ ^„½ a$ gdí*K $ & F „† „äþ dh ¤ ^„† `„äþa$ gdí*K $ & F „½ „äþ dh ¤ ^„½ `„äþa$ = ÿ= F ÎF h±8[ h±8[ hYI‡ gdí*K > ™> ¡? ü@ B B B ?B îB ïB ïD +E TE ŽE ØF ýF G -G -G „G ñâñÒñó ••q•a•a•RBRBRBRBR h( r 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h( r CJ OJ QJ aJ hå<Š 6 •CJ OJ QJ aJ - h±8[ CJ OJ QJ aJ mH sH h©w hå<Š CJ OJ QJ aJ hå<Š 5 •CJ OJ QJ aJ $ hYI‡ hYI‡ CJ OJ QJ aJ mH - h‚Dž CJ OJ QJ aJ mH sH h©w h÷ úE sH =F Ë ‘ CJ OJ QJ aJ — hq&â 6 •CJ OJ OJ QJ aJ w= ÍG •I ë ë ë ¾ hð QJ aJ h©w hx/Á CJ OJ QJ aJ > J> ™> Ê> ü> ? 5? T? |? ¡? ë ë ë ë ë ë ¾ ¦ • $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd©w h©w hq&â CJ þ@ B B ?B ë Ó • $ & F0 „ª „Vþ dh ¤ ^„ª `„Vþa$ gd Gw $ „Ð „º dh ¤ ^„Ð `„º a$ gdzß $ & F „3 „Wþ dh ¤ ^„3 `„Wþa$ gdzß $ & F „j dh ¤ ^„j a$ gdzß „G -G ÌG ÍG XH _H •I •I EK FK GK …K ‘K ’K ™K šK ¯K °K L L 7L UL WL `L M 9M <M ZM ïàÑà³೤³¤˜ˆ¤ˆ¤yj˜j˜ˆj[O[O hÄ Z CJ OJ QJ aJ h©w h - CJ OJ QJ aJ h©w hHb CJ OJ QJ aJ h€iÇ hHb CJ OJ QJ aJ - h±8[ CJ OJ QJ aJ mH sH h±8[ CJ OJ QJ aJ h©w h˜ ^ CJ OJ QJ aJ h©w hI: ù CJ OJ QJ aJ h©w h•XÞ CJ OJ QJ aJ h©w hå<Š CJ OJ QJ aJ h©w h( r CJ OJ QJ aJ h±8[ h( r 6 •CJ OJ QJ aJ •I ÅI GK …K °K )N ÍN îN ;O ¡O ÙO P †P ÛP ?Q •Q R R !S ï ï ï ß Î Î ¾ ¾ ® ® ® ® ® ® ® ® ® Î $ & F dh ¤ a$ gd Gw $ & F dh ¤ a$ gd Gw $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd©w $ & F dh ¤ a$ gd©w $ & F dh ¤ a$ gd Gw ZM \M ¬M (N )N ÄN ÌN ÍN O ;O JO ¡O ± O hP oP ˆP §P ÛP éP ?Q RQ R (R zR œR òR óR S !S 6S [S mS T T ‰T ðáÒÃÒ´Ò¤´¤´¤´¤´˜´˜´˜´ˆyˆyiy´YyYyYy h— hâ`u 6 •CJ OJ QJ aJ - h>3þ CJ OJ QJ aJ mH h©w hâ`u CJ OJ QJ aJ hÄ Z hâ`u 6 •CJ OJ QJ aJ hÄ Z CJ OJ QJ aJ hÄ Z hÙl 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hÙl CJ OJ QJ CJ OJ QJ aJ h©w h Lü CJ OJ QJ aJ h©w - CJ OJ QJ aJ - hÄ Z CJ OJ QJ aJ mH sH "!S [S ”S T ‰T ÀT U V •V ¯V ºV "W X ÉX ïY ï ï ï ï ï Þ Ñ Ñ ½ • • • $ & F! dh ¤ a$ gd Gw $ & F dh ¤ a$ gd Gw $ & F „ª dh ¤ ^„ª a$ gd Gw sH aJ h rW h©w ÀW ½ ÈW ï hHb òW - • b $ dh ¤ a$ gd©w $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd©w $ & F- dh ¤ a$ gd Gw ‰T – T ÀT ÒT U £U V V ¯V ºV ÀW ÇW ÈW bX hX iX ”X ¢X £X ¤X ÈX ÉX ïY FZ ïàïàÑÂѲ¢²“„u„eUeu„uF h©w h¨: ; CJ OJ QJ aJ hÒ Ä h ö 6 •CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hª d 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h ö CJ OJ QJ aJ h©w hª d CJ OJ QJ aJ h©w hÍo, CJ OJ QJ aJ h€iÇ hÍo, 5 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ h°kî 5 •CJ OJ QJ aJ h©w h°kî CJ OJ QJ aJ h©w h=Nø CJ OJ QJ aJ h©w hïy‚ CJ OJ QJ aJ h— hïy‚ 6 •CJ OJ QJ aJ FZ ([ )[ 2[ 3[ :[ ¸[ Ä[ :\ E\ ‚\ õ\ þ\ ÿ\ *] :] ;] Ö] î] ^ %^ 6_ Ñ_ ñâÒ²£²£—£— £‡ÂxhXxXxXxI h©w h› CJ OJ QJ aJ Ä h %‘ 6 •CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hÒ Ä 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h %‘ CJ OJ QJ aJ h€iÇ h %‘ 5 •CJ OJ QJ aJ hÒ Ä CJ OJ QJ aJ h©w hÕ^ô CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hÕ^ô 6 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ h°kî 5 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ hÕ^ô 5 •CJ OJ QJ aJ h©w h¨:; CJ OJ QJ aJ h©w x\ hÒ hH+ CJ 6_ OJ y_ Ë QJ ¸_ aJ ï ïY )[ 3[ Û ¸[ Û § :\ x\ Ë õ\ *] r] Ö] ^ Ë » § » $ & F% „á dh ¤ ^„á a$ gd Gw & F$ „á dh ¤ ^„á a$ gd Gw & F# dh ¤ a$ gd Gw $ & F" dh ¤ a$ gd Gw $ & F „ª dh ¤ ^„ª a$ gd Gw & F! dh ¤ a$ gd Gw ¸_ Ò_ a a Ma ë × Â Â Â ” ƒ „p dh ¤ ^„p a$ gd©w & F& dh ¤ a$ gd Gw $ Æ + dh ¤ a$ gd©w ÿ\ “ „^ Ë § ß^ “ § “ $ $ $ Ú_ 2`  3` 4` $ 6` 7`  µ ” 5` µ V` v`  a ¤ $ $ dh & F „ª dh & F% „á dh ¤ a$ gd©w ¤ ^„ª a$ gd Gw ¤ ^„á a$ gd€iÇ $ „B $ „Ž dh ¤ ^„B `„Ž a$ gd©w $ Ñ_ Ò_ Ù_ Ú_ 1` 2` 6` 7` v` w` xa ~a ®a ´a ™b ¸b ¹b áѲ¢•ÂtÂhÂhÂXH9 h©w hñ » CJ OJ QJ aJ h©w h,T, 5 •CJ OJ QJ aJ h©w hñ » 5 •CJ OJ QJ aJ hä CJ OJ QJ aJ 4 j h©w CJ OJ QJ U aJ mH nH tH! u $ h€iÇ h€iÇ CJ OJ QJ aJ mH - h€iÇ CJ OJ QJ aJ mH sH - h,T, CJ OJ QJ aJ mH h©w h,T, CJ OJ QJ aJ h€iÇ h°kî 5 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ h,T, 5 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ h€iÇ CJ OJ QJ aJ Ma Ya »a Òa æa úa b (b 7b Rb db wb ˜b ™b ¹b €c î Þ É ± ± ± ± ± “ “ c ñ - h,T, sH sH ‡a Þ $ dh ¤ a$ gd©w & F& „ „rÿ dh ¤ ^„ gd©w $ & F& dh ¤ a$ gd Gw «c ¬c Gd ½d ¾d ¿d $ „ dh `„rÿa$ gd Gw $ „p Òd Ôd dh e ¤ $ e ^„ „è a$ gd©w „h ¤ ^„p a$ gd©w (e +e f dh $ ¤ c ^„è `„h a$ •c €c •c f ïßĵšµ‹µpaRapRC3C - h€iÇ CJ OJ QJ h©w h Cø CJ OJ QJ aJ h©w hRj> CJ OJ QJ aJ aJ 4 j h©w hRj> CJ OJ QJ U aJ mH nH CJ OJ QJ aJ 4 j h©w h;T] CJ OJ QJ U h©w hé*™ CJ OJ QJ aJ 4 j h©w hé*™ CJ tH! u hÒ Ä h,T, 6 •CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hñ » 6 •CJ OJ QJ aJ €c «c ¾d e (e ff aJ mH sH h©w h;T] CJ OJ QJ tH! u h©w ht5ñ aJ mH nH tH! u OJ QJ U aJ mH nH hf g h wh ¾h ï ¾ ,i ©i 7j ¾ „á ¤ ^„á a$ gd Gw ¤ a$ gd Gw $ dh ¤ a$ gd Gw $ dh ¤ ^„ª a$ gd Gw l ï ï Î ¾ ® dh „ª k â ¾ š dh {j â š & F+ & F* & F) & F( •i ï ¾ Î ® $ $ $ & F' dh dh ¤ ¤ a$ gd©w a$ gd Gw $ f df ff hf rf h ¾h •i ¨i ©i Ài 7j ]j {j ¡j k *k l l $l /l ïàÑÁѲ£“ÁƒtƒtƒtdUtdE hÒ Ä h%QÌ 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hí(= CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hí(= 6 •CJ OJ QJ aJ h©w h-PÇ CJ OJ QJ aJ hÒ Ä h-PÇ 6 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ h-PÇ 5 •CJ OJ QJ aJ h©w h^ CJ OJ QJ aJ h©w h- Å CJ OJ QJ aJ h€iÇ h Cø 5 •CJ OJ QJ aJ h©w h Cø CJ OJ QJ aJ h©w h,T, CJ OJ QJ aJ hÒ Ä h Cø 6 •CJ OJ QJ aJ /l vl wl žl m -m Zm ±m ²m Øm Tn an b n {n o ¢o ñâÒ󤕆v•iXH9* h©w h‹m CJ OJ QJ aJ h©w hàV€ CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hàV€ 6 •CJ OJ QJ aJ ! hÒ Ä 6 •CJ OJ QJ aJ mH sH hÒ Ä 6 •CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hgaŒ 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hPÇ CJ OJ QJ aJ h©w hgaŒ CJ OJ QJ aJ h©w hM6 CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hM6 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hœMÛ CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hœMÛ 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hí(= CJ OJ QJ aJ h©w h%QÌ CJ OJ QJ aJ l wl m ²m Tn o op gq ëq -r ‡s þs t Ev ë ë Û Ç Ç ² ² ¢ ¢ ¢ ¢ • „ $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd©w $ dh ¤ a$ gd©w $ & F. dh ¤ a$ gd Gw $ „B „7 dh ¤ ^„B `„7 a$ gd©w $ & F- „á dh ¤ ^„á a$ gd Gw $ & F* dh ¤ a$ gd Gw $ & F, „á dh ¤ ^„á a$ gd Gw ¢o Fp np op -r ‡s þs {u ¨u ,v :v ƒw w ¡w x $x %x — x ªx «x y y ñâÓĵ¦—‡—‡—x—xi—iZ— K< h©w hÞ L CJ OJ QJ aJ h©w h•|Å CJ OJ QJ aJ h©w hž3% CJ OJ QJ aJ h©w høR CJ OJ QJ aJ h©w h ç CJ OJ QJ aJ hÒ Ä hH&¢ 6 •CJ OJ QJ aJ h©w hH&¢ CJ OJ QJ aJ h©w hg0 CJ OJ QJ aJ h©w h8?¶ CJ OJ QJ aJ h©w h2Qs CJ OJ QJ aJ h©w hPÇ CJ OJ QJ aJ h©w h- ; CJ OJ QJ aJ h©w h>BŒ CJ OJ QJ aJ Ev rv öv w ƒw ¡w x %x tx «x y ù} ú} ~ â Õ è„ ï 7‡ Ä Ä & F0 „ª ¦Š „Vþ dh Ø• â ‘ ï · Ä ¤ â ï ^„ª `„Vþa$ gd Gw Ÿ Ä ï â ï Ä Ä $ $ dh ¤ a$ gd©w $ „Ð dh ¤ `„Ð a$ gd©w $ dh ¤ a$ gd€iÇ $ & F/ y dh dh ¤ ¤ a$ gd©w a$ gd Gw $ y D{ J{ | | | –| ¾| @} U} X} — } ø} ù} ú} ~ ~ #~ A~ C~ à~ é~ a• Å• Æ• g€ íÞÒÞÒÂÞ²Þ²Þ²Þ£ •€p£Ò£`£QÂQ h©w hÔ CJ OJ QJ aJ hä h‹[M 6 •CJ OJ QJ aJ h" P hå<Š 5 •CJ OJ QJ aJ h" P h" P 5 •CJ OJ QJ aJ $ h" P hÙl CJ OJ QJ aJ mH sH h©w h‹[M CJ OJ QJ aJ hä hÞ L 6 •CJ OJ QJ aJ - hä CJ OJ QJ aJ mH sH hä CJ OJ QJ aJ h©w hÞ L CJ OJ QJ aJ $ h€iÇ hÞ L CJ OJ QJ aJ mH sH g€ nƒ •ƒ Žƒ •ƒ d„ ç„ è„ %† 6‡ šŠ ¥Š ¦Š !• ו Ø• Ž :Ž vŽ |Ž • ‘ ñåñÕñÆ·¨™Š{¨l]lNåNåN? h©w h9 à CJ OJ QJ aJ h©w h×#· CJ OJ QJ aJ h©w h“•h CJ OJ QJ aJ h©w h H§ CJ OJ QJ aJ h©w hQ* CJ OJ QJ aJ h©w h˜tæ CJ OJ QJ aJ h©w h~8à CJ OJ QJ aJ h©w hº^í CJ OJ QJ aJ h©w h‹[M CJ OJ QJ aJ h©w h•%à CJ OJ QJ aJ - hä CJ OJ QJ aJ mH sH hä CJ OJ QJ aJ h©w h o× CJ OJ QJ aJ ‘ ¼‘ ó‘ X X ßX àX "Y #Y (Y )Y +Y ,Y .Y /Y 1Y 2Y 4Y 5Y LY MY OY PY SY TY UY ñâàÐâÁâ²£›—›—›—›—•‹‚‹— £ hX “ mH nH u h@$A j h@$A U h¯A€ j h¯A€ U h©w h^0 CJ OJ QJ aJ h©w hå<Š CJ OJ QJ aJ h©w h9 à CJ OJ QJ aJ CJ OJ QJ aJ hä h©w h«g- 6 •CJ OJ QJ aJ h=X} CJ OJ QJ aJ U h©w h«g- (value clarification teqnich) yang ditulis dalam buku berjudul “strategi pengajaran affektifnilai-moral VCT dan Games dalam VCT, yang ditulis oleh Prof.A Kosasih Djahiri, 1985 diterbitkan oleh lab.PMPKN, FPIPS UPI Bandung” VCT dan sebagai strategi pembelajaran nilai dan beberapa gamesnya. PAGE \* MERGEFORMAT 47 ‘ Y .Y 0Y 1Y î ä 3Y 4Y QY $Y SY î â Ý #Y RY %Y TY î &Y 'Y UY î ä Û dð ¤ gdM6 :pX “ °‚. °ÆA!° "° #• $• *Y +Y î î ä â â ä â $ „Ð dh %° °Ä °Ä (Y â ¤ $ a$ `„Ð a$ gd©w â î ? 0 P 1•h •Ä Dp Ó $ $ If –èÿ!v h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ pÖ 3Ö ÿÿÿÿ ö ø ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ytQ@ Ó Ö0 $ ÿ $ If ÿ –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ pÖ 3Ö ÿÿÿÿ ö ø ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ytQ@ Ó Ö0 $ ÿ $ If ÿ –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ pÖ 3Ö ÿÿÿÿ ö ø ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ytQ@ Ó Ö0 $ ÿ $ If ÿ –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ pÖ 3Ö ÿÿÿÿ ö ø ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ytQ@ Ó Ö0 $ ÿ $ If ÿ –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ pÖ 3Ö ÿÿÿÿ ö ø ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ytQ@ Ó Ö0 $ ÿ $ If ÿ –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ pÖ 3Ö ÿÿÿÿ ö ø ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ytQ@ Ó Ö0 $ ÿ $ If ÿ –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö _ 5Ö #v _ #v :V Ö ÿ 5Ö Ö ÿ 3Ö ÿÿÿÿ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö Ü 3Ö 4Ö f4 yt Gw ¯ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö 3Ö 4Ö f4 yt Gw ¯ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö 3Ö 4Ö f4 yt Gw ¯ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö Ü 3Ö 4Ö f4 yt Gw ¯ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö 3Ö 4Ö f4 yt Gw ¯ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö Ü 3Ö 4Ö f4 yt Gw ¯ 5Ö Ç #v « #v Ç :V 4 Ö0 ÿ ,Ö 5Ö 3Ö 4Ö f4 yt Gw Þ ö ø pÖ ÿÿÿÿ 6 ö 4Ö ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ 5Ö ` ÿ ÿ 5Ö ¬ $ $ If ÿ ytQ@ ¯ –èÿ!v ÿ 5Ö ¬ $ $ If ÿ –èÿ!v ÿ 5Ö ¬ $ $ If ÿ –èÿ!v ÿ 5Ö ¬ $ $ If ÿ –èÿ!v ÿ 5Ö ¬ $ $ If ÿ –èÿ!v ÿ 5Ö ¬ $ $ If ÿ –èÿ!v ÿ 5Ö ¬ $ $ If Ö0 –£ !v $ ÿ ÿ $ If –èÿ!v ÿ ÿ h 5Ö « ÿ ÿ h 5Ö « ÿ ÿ h 5Ö « ÿ ÿ h 5Ö « ÿ ÿ h 5Ö « ÿ ÿ h 5Ö « ÿ ÿ h 5Ö ÿ h 5Ö ÿ « ÿ ö ˆ 6 ö +Ö ÿ ö ˆ 6 ö +Ö ÿ ö ˆ 6 ö +Ö ÿ ö ˆ 6 ö +Ö ÿ ö ˆ 6 ö +Ö ÿ ö ˆ 6 ö +Ö ÿ ö ˆ 6 ö +Ö 5Ö µ #v #v µ :V –l Ö t à Ö ÿ ö ÿÌÌÌ 6 ö ÿÌÌÌ 5Ö Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 5Ö µ /Ö £ !v h 5Ö aö £ pÖ ÿÌÌÌ ÿÌÌÌ yt’c¬ © $ $ If – 5Ö µ #v #v µ :V –l t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ /Ö aö £ yt’c¬ › $ $ If –£ !v h 5Ö 5Ö µ #v #v µ :V –l t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö £ yt’c¬ › $ $ If –£ !v h 5Ö 5Ö µ #v #v µ :V –l t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö £ yt’c¬ › $ $ If –£ !v h 5Ö 5Ö µ #v #v µ :V –l t à Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö £ yt’c¬ Ð $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l Ö t à Ö ÿ ö ÿÀÀÀ 6 ö ÿÀÀÀ 5Ö Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 5Ö µ aö pÖ ÿÀÀÀ ÿÀÀÀ yt’c¬ › $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l t à Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö yt’c¬ › $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l t à Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö yt’c¬ › $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l t à Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö yt’c¬ › $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l t à Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö yt’c¬ › $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l t à Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö µ aö yt’c¬ › $ $ If – !v h 5Ö Ÿ 5Ö µ #v Ÿ #v µ :V –l t à Ö0 Ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ö 6 ö 5Ö 5Ö 5Ö #v µ aö yt’c¬ µ #v „ µ :V –l Ö t à Ö ÿÌÌÌ ÿ ö 6 ö 5Ö µ aö 1 pÖ 5Ö µ #v „ #v µ :V –l t à Ö0 ÿ „ 5Ö µ aö 1 yt’c¬ 5Ö µ #v „ #v µ :V –l t à Ö0 ÿ „ 5Ö µ aö 1 yt’c¬ 5Ö µ #v „ #v µ :V –l t à Ö0 ÿ „ 5Ö µ aö 1 yt’c¬ Ð $ $ If ÿÌÌÌ 5Ö „ ÿÌÌÌ –1 !v ÿ Ö0 ÿ ÿÌÌÌ $ ÿ $ If ÿ › $ ÿ ÿ –1 !v h 5Ö „ ÿ ö 6 ö 5Ö ÿ ö 6 ö 5Ö ÿ ö 6 ö 5Ö „ h 5Ö ÿ ÿ $ If ÿ –1 !v ÿ $ h 5Ö ÿ $ If ÿ ÿ –1 !v ÿ „ ÿ yt’c¬ › ÿ › h 5Ö „ ÿ j 6 6 6 > 6 6 6 H 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 ð 0 0 0 0 0 0 0 OJ 6 6 6 6 6 6 ˜ v 6 6 6 6 6 6 6 ž v 6 6 ¸ 6 6 6 6 6 6 6 6 ž v 6 ž v 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 @ @ @ @ @ @ @ PJ P P P P P P P QJ ` ` ` ` ` ` ` _H p p p p p p p mH € € € € € € € nH • • • • • • • ž v 6 6 6 6 6 6 6 À À À À À À 8 sH ž v 6 ž v 6 6 6 6 6 6 6 Ð Ð Ð Ð Ð Ð X tH ž v 6 8 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 à à à à à à ø ð ð ð ð ð ð ž v 6 6 6 6 6 6 6 6 0 6 6 6 6 6 ~ J ( 6 6 6 6 6 6 6 2 V `ñÿ 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 2 J 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 h 6 6 6 À 6 Ð Ø è 6 à ô N o r m a l d ¤È CJ _H aJ mH! sH! tH D A òÿ¡ D D e f a u l t P a r a g r a p h F o n t R i@óÿ³ R 0 T a b l e N o r m a l l 4Ö aö ( k ôÿÁ ( 0 N o L i s t ö 4Ö @ ³@ ò @ ù•Î L i s t P a r a g r a p h ^„Ð m$ > @ > Æ M6 0 ¡ B# H e a d e r dð ¤ . þ ¢ . M6 0 H e a d e r C h a r > " > Æ M6 0 ¡ B# F o o t e r dð ¤ . þ ¢ 1 . M6 0 F o o t e r C h a r d ^@ B d ,Qv 0 N o r m a l ( W e b ) d >@ R d dð ¤d ¤d [$ \$ CJ OJ PJ QJ aJ mH sH ,Qv 0 T i t l e CJ OJ PJ QJ ^J aJ $ mH dð sH ¤d ¤d 7$ 8$ H$ a$ P þ ¢ a P ,Qv 0 T i t l e T B@ C h a r r T $ CJ OJ PJ QJ ^J aJ mH sH tH ,Qv 0 B o d y T e x t dð ¤x CJ OJ PJ QJ aJ mH sH T þ ¢ • T ,Qv 0 B o d y T e x t z š ³ “ z C h a r CJ OJ PJ QJ aJ mH sH tH ©w 0 T a b l e G r i d < :V Ö0 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ aö OJ PJ QJ PK ƒÐ¶Ørº(¥Ø΢Iw},Ò ä±-j„4 ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷…þ Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã “óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô “^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù* D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù $€˜ X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .— ·´aæ¿-? ÿÿ PK ! ¥Ö§çÀ 6 _rels/.rels„•ÏjÃ0 ‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ » „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý ÿÿ PK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xml ÌM à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K Y,œ ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Õ…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+& 8ý ÿÿ PK ! –µ-â– P theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰– ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ !)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—– ¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu ¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi– @öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä` - ÚïgÔ È˜³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ß㢠dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö ð:Á¥ ;ä˹!Í I_ÐTµ½ S 1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó $”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£ x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I u3 KGñnD 1÷ N 3Vq%'#q¾ à ÓòŠÍ IB Òsü€• íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i ~™Vé þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕ ~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ– }KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c? ¢ íqU ßån†èwð N ºû %Ž»O¯ ·ièˆ4 =3 Ú—Pª• ÓäïÊ1£P•m \\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì eW÷ ¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ išd ûDЇA½Îœ óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú IqbJ#xÌ꺃 6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ ¯èáü\P•1»Mh Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJíP |8¯ Ö„ AÛ V^…ó¹f ÌH ín÷ÞÜ-Æ é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹ €Ø©ð‘>ä•bµ ·– &û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD ¢à •ØDìcp¿ UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd 7y\È`ÞJân•² åίŠIù R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m q¨BiDý¾€ÆÁÔ ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y ›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ• ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M  ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍÒ¿ ÿÿ PK ! ÑŸ¶ ' theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5 6?$Qìí ®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r 'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ 6 + _rels/.relsPK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xmlPK ! – µ-â– P Ñ theme/theme/theme1.xmlPK ! ÑŸ¶ ' › theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK ] – <?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?> <a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main" bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1" accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5" accent6="accent6" hlink="hlink" folHlink="folHlink"/> t‰ \ ÿÿÿÿ @ + òM + !e + Ãy + + ‡ § . Õ Mã Ž Eö ‘( f Ç3 Ë 49 – S ¸ #% Ã. g7 = „G ZM ‰T FZ Ñ_ c f y /l g€ ¢o ‘ UY É Ë Î Ð Ñ Ó Õ × Ø â ë î õ $ & ( ) * ~ 0( ÷2 :‚ Å‚ ô† š• º• ü• C‘ t‘ ¶‘ ’ ™ © Å Õ ¾Þ ß Íß sà á “ã <æ •æ 6ç Âç Óò òû . ! X• UY # Õ• ë Ì Ê å ú æ û ˆ Í ç ü n< ¼G ¦Y Ãy € •€ í€ aè ·è Bé èì Qí Oî Ûî N$ µ/ 36 ú9 w= •I !S ïY ¸_ Ma €c l Ev ‘ Ï Ò Ô Ö Ù Ú Û Ü Ý Þ ß à á ã ä è é ê ì í ï ð ñ ò ó ô ö ÷ ø ù ý þ ÿ - " % ' - $ ð ' . ! ÿ•€ # ð\ ð( †A ÅA @ -ñ ð& ð ð ð6 "ñ ? ÿÿ ÿ €€€ ÷ ð ð( ‚ ð ð0 ð ð ðP ð 3 ð ð ¿ Ñ "ñ ? ð ð ðP ¿ Ñ "ñ ? ð ð ðP ¿ Ñ "ñ ? ð ð ðP ¿ Ñ "ñ ? ð ð ðP ¿ Ñ "ñ ? ð ð ðB 3 ð ð 3 ð ð 3 ð ð 3 ð ð S ð- ¿ Ë ÿ ð _ ð ÿÿÿÿÿÿÿÿ ð ÿÿÿÿÿÿÿÿ ð ÿÿÿÿÿÿÿÿ= vX €[ «[ ? ð ÿÿÿÿÿÿÿÿ ¾\ ] t‰ ! ÿÿÿÿÿÿÿÿ ð ð €þÿÿ” ‘ { O t ÿ ñ ÿ t 1 t a œ þ é 4 B @ H M U ð ê • t ‰ Ë « ˆ • — œ • 4 » ¡ ‘ ÿ t 5 ½ L ‹ Z Ž Ë ¥ ü L R ¯ ´ “ þ ° › t ý þ @ * A D P V A C ‚ ‡ A ® - E ¶ ² A § D ° O ® - [ » d - i ! ƒ ¡ … ¥ ® À p ´ Ä y ~ Ë • ƒ Ð › ® ± Ç - Í ² ± Ý é 8 G Î Ü þ i s ’ › Ó ã " f k ¤ f r Y Z f- n- kl u ~ ” – 0 8 g p ‘ œ >! J! §! -! ¶! ¹! '" " :" =" A" C" -" ³" ¼" ¿" # -# 9# C# €# ‹# “# •# $ $ $ $ 1$ 5$ |$ …$ •% •% i& k& «& ±& ~' €' |( …( e) g) h* n* t* }* ”* ›* ±* ¸* 5+ =+ Æ+ Ì+ Ý+ å+ r, u, », Â, Ç, Í, ã, ë, n- t- ’- •- °- ³l. t. þ. / / / 6/ A/ Œ/ •/ Þ/ á/ ï/ ð/ ô/ ÷/ ú/ 0 0 0 >0 M0 i0 q0 ÿ0 1 -1 1 31 41 71 81 C1 N1 Ë1 Ó1 /2 22 =2 C2 r2 s2 È2 Ð2 *3 ,3 *4 ,4 n4 x4 »4 É4 5 5 5 &5 <5 D5 õ5 ù5 6 -6 #6 &6 *6 16 86 :6 g6 o6 v6 |6 þ6 7 7 7 "7 %7 e7 n7 Â7 Ã7 å7 ï7 8 &8 z8 •8 –8 š8 ›8 £8 â8 ã8 ÿ8 9 9 9 : : ´: »: Ù: Þ: æ: è: û: ; ; ; ; "; D; L; d; f; ž; §; < < 2< 4< c< i< à< ê< = = /= 4= > > ? ? »? ¼? @ @ Í@ Ò@ A A B B VB [B •B ©B C C D D E E ñE òE F F -F F (F )F .F /F JF WF aF hF ~F †F aG iG ¸G ¹G H H eH fH ¶H ¿H SI oI aJ gJ aK jK ¼K ÃK õK ûK aL iL ÑL ÖL aM vM aN iN aO gO O ¡O ÁO ÂO ÌO ÑO P P ZQ ^Q ¥Q ¦Q òQ õQ S S HS KS T 1T :T =T TT WT HU LU UU ZU %V &V UV `V uV {V íV îV <W GW LW _W ÉW ÙW RX `X Y Y UY `Y UZ ^Z †Z ‡Z ÔZ ÙZ íZ óZ U[ Z[ U\ `\ ] !] )] <] \] ]] Œ] ”] ×] Ø] ^ ^ ,^ 0^ -^ ®^ ¶^ Æ^ ù^ û^ _ _ w_ x_ ¨_ ª_ Î_ Ø_ 1` 2` :` M` j` l` •` ¢` La Ta ‰a ‹a %b &b Lb Pb ob qb ùb úb @c Ic Ld Pd %e &e Le Se te }e Èe Òe Lf Pf Lg Rg Hh Ih Lh Th •h žh Li Ri Lj N j ëj ìj >k Jk Ll Ol ¬l -l êl íl úl m Kn Nn Ko Mo Kp Rp àp áp (q 2q Âq Ãq Ýq Þq øq r r :r Ds Fs îs ïs ?t Et Du Gu Dv Gv ¢v ¤v ëv îv õv w ãw åw ìw íw õw öw ûw ýw x x x x x x Qx Tx ^x _x hx ix sx tx {x |x •x ‡x Žx “x Ÿx x ¥x «x ¶x ¸x íx øx y y Xy \y Žy ‘y Õy Ùy ãy äy íy ôy ýy z z z z z z z $z %z .z /z 8z >z Ez Fz Mz Yz bz cz hz iz uz ~z €z Åz Çz { &{ | | Û| Ü| ,} 3} Ü~ è~ ó~ ô~ • .• 6• M• N• e• k• ó• ô• E€ K€ V• X• ‚ ‚ g‚ o‚ µ‚ ¶‚ ƒ ƒ Vƒ \ƒ ƒ †ƒ ¸ƒ ºƒ „ „ 0„ 9„ V„ Y„ š„ ›„ ç „ ò„ V… `… V† Y† G‡ L‡ Q‡ V‡ ö‡ ÷‡ 1ˆ 7ˆ Lˆ Uˆ uˆ vˆ }ˆ ˆ †ˆ •ˆ “ˆ ”ˆ ™ˆ ˆ ¤ˆ ¥ˆ ­ˆ ¼ˆ üˆ ýˆ ‰ ‰ tz • ‰ Š Š ‹ Œ • • • ‘ ’ ‰ C‰ I‰ t‰ ]Š ‹ Œ • • • ‘ -’ dŠ ½• :• ¾• ;• „• ‘ .’ ‘ “ <‘ u‰ {‰ }‰ •• é• ê• =‘ ]‘ e‘ Ž †‰ ˆ‰ ¶‰ x‘ €‘ ’ Ž ¼‰ “ ” – — š ” S” – — <š T” û” þ” — — )— .— Kš Vš Xš • • ˜ eš ˜ kš ™ › ™ <™ › K™ › V™ _™ }™ › +› -› ‡™ œ ’™ ”™ š œ Fœ Gœ „œ ‹œ –œ ¡œ • • Ÿ Ú• å• ž ž Jž Kž ›ž ¦ž Ÿ Ÿ Ÿ 9Ÿ EŸ UŸ bŸ kŸ sŸ ŠŸ •Ÿ çŸ ìŸ ç ï ¡ !¡ ä¡ é¡ 6¢ >¢ á¢ é¢ á£ ä£ »¤ Ȥ Þ¤ ⤠ޥ æ¥ ‡¦ •¦ Û¦ 㦠ۧ Þ§ ɨ Ш Û© ç© 8ª Bª Û« Ý« Y¬ _¬ h¬ x¬ Û¬ ଠÛ- ß- Û® å® Û¯ ݯ Û° â° Û± è± Û² á² Û³ ï³ Û´ è´ µ µ ?µ @µ Œµ ‘µ ç µ õµ ž¶ ¦¶ Ö· Ü· Ÿ ʸ и Ó¸ ï¸ ñ¸ L¹ U¹ Öº ݺ Ö» Ü» ›¼ §¼ ø¼ ú¼ -½ ½ v½ ~½ ̽ Õ½ ç½ ê½ &¾ ,¾ Y¾ b¾ „¾ †¾ %¿ ,¿ Á¿ Ë¿ "À &À (À 3À -À ®À æÀ íÀ þÀ Á c n -à à ûà þà NÄ UÄ Å !Å 5Æ FÆ Ç )Ç RÇ `Ç ¹Ç ÇÇ È È jÈ xÈ øÈ É É -É ^É _É ·É ¾É Ê Ê Ë Ë Ì Ì çÌ ëÌ Í Í aÍ lÍ ºÍ ÄÍ Î Î Ï Ï çÏ éÏ íÏ Ð MÐ TÐ Ñ Ñ •Ñ •Ñ Ò Ò Ò Ò •Ò šÒ þÒ Ó þÓ Ô þÔ Õ þÕ Ö DÖ GÖ cÖ mÖ nÖ qÖ “Ö šÖ -Ö ´Ö ¾ Ö ÅÖ × -× 2× 8× Í× Î× Ø Ø sØ tØ ŽØ ”Ø Ù Ù !Ù .Ù ’Ù •Ù ¢Ù ªÙ þÙ Ú Ú Ú MÛ NÛ ÞÛ äÛ éÛ îÛ EÜ HÜ WÜ YÜ Ý -Ý ^Ý gÝ äÝ åÝ íÝ ðÝ Þ Þ +Þ 2Þ <Þ GÞ uÞ xÞ •Þ — Þ ¿Þ ÅÞ 6ß 7ß dß jß Âß Ìß aà bà dà là ·à Ãà Úà àà Bá Cá ^á `á aá ká Çá Íá aâ jâ ã ã Xã ^ã éã êã =ä Cä èä îä ïä òä å å å &å 0å :å =å Hå Qå Wå ¡å ¢å Ùå ßå Oæ Væ ræ xæ Ùæ Üæ éæ ìæ öæ ç rç yç éç êç è è :è ;è oé xé ¼é Ìé Óê àê ïê ÷ê ë ë ë ë 2ë :ë Eë Më _ë cë ¸ë ¿ë mì rì mí oí æí ñí ùí ûí Eî Jî Tî Vî jî wî -ï "ï &ï ,ï jï mï çï òï ÷ï þï gð sð Ëð Öð êð òð _ñ jñ yñ €ñ Zò ^ò yò }ò ”ò — ò aó hó ñó òó >ô ?ô fô rô Zõ `õ ²õ ·õ Æõ Ôõ 6ö <ö ?ö Jö ýö ÷ '÷ ,÷ G÷ S÷ 'ø ø ëø ïø 1ù =ù íù ùù -ú "ú šú œú Öú Ýú û &û ÿû ü ü &ü ý &ý Áý Èý ìý íý îý úý þ þ îþ ðþ ìÿ ïÿ 9 A “ ” ™ › ´ ¼ ñ ø I R e l ® º ò þ r x ð õ Š ‘ Ë Ó ð ÷ . q s ¸  à â ã ê 7 ) 9 C P ¡ § æ ì l € • • · ¾ æ è þ 6 G ? S X • _ Œ ê - ô ´ : ê < ð I K q ~ ì E î U d + f ) . H W ‰ ” ² ¹ ÷ " * ‹ ” Á Ç Ò Ú ç ë £ « è ñ ú û ? I # â G N 0 æ L g ± ¨ U i ¸ ´ £ † â â « â ‡ æ é ì ¬ x â $ - • ä ® â % ¯ æ & » Õ ' Á Ü c õ â d ÷ æ ‡ l “ € â · í ¾ < P p ˆ × á M T × Ú , 8 × Þ 0×- Ú- z ƒ ´ » × à J V Ž ” Å Ë × à 7! Ï! Þ! Ï" Ó" -# 4# ™# ¡# $ $ ˆ$ •$ Ð$ Ù$ z% •% Ð% Ó% Ã& È& Ð& Ö& œ' ¦' ´' µ' ö' ( ( ( ( '( J( P( \( s( t( •( Ž( ˜( ©( ¶( Ð( Ú( ø( ) 1) 3) e) l) Î) ×) I* J* ‹* – * •* ¥* ö* ÷* M+ S+ Í+ Ö+ ó+ ý+ >, F, Í, Ñ, s- t- ·- ¼Á- Ç- É- Ê- ÷- ø2. =. -. ·. Í. Ò. å. ï. =/ G/ g/ i/ ~/ •/ •/ ‹/ º/ ¼/ ø/ ý/ 0 <0! 0 ©0 ´0 Î0 Ô0 ÷0 1 (1 /1 <1 G1 T1 ^1 d1 e1 r1 s1 }1 „1 •1 – 1 ´1 µ1 É1 Ì1 Í1 ù1 2 2 #2 J2 U2 d2 q2 {2 ˆ2 ¬2 ²2 Ì2 Ö2 3 %3 D3 Q3 n3 •3 -3 ¹3 ¾3 Ã3 4 4 %4 04 ‰4 ‘4 Ã4 É4 5 5 c5 k5 v5 ~5 Â5 É5 Ò5 Ú5 ÿ5 6 I6 Q6 ˜6 Ÿ6 ¿6 Ê6 û6 7 7 !7 47 D7 S7 c7 {7 ‚7 7 «7 ¿7 Ê7 ¿8 Æ8 ü8 þ8 L9 [9 : : ?: L: ½: Ä: î: ï: ; ; ¾; Â; ¾< Ä< ï< ó< þ< = = = ¾= Å= ú= > ¾> Â> ¾? Æ? Ì? Ö? X@ b@ ¾@ É@ •A ˜A ¾A ÅA ¾B ÒB EC GC „C …C ‘C ’C ™C ŸC ¯C °C D D D &D UD WD `D bD E #E 9E ;E <E FE ZE ]E ¬E -E F F (F 0F 1F 7F ©F ¯F ÃF ÅF ÌF ÑF îF òF :G AG •G •G ŸG ¡G ¢G ¨G ©G ²G ÙG ÞG ìG ùG H H 'H *H hH pH ˆH ‹H §H ©H éH ëH I #I RI TI •I šI ÜI âI íI ïI øI ûI J -J zJ ‚J œJ J òJ óJ K &K [K hK ”K šK ñK ôK L L ˆL –L ÀL ÓL îL ôL M N M £M ¥M íM ÷M N •N ˆN •N •N ¯N ´N ¹N ÄN "O *O rO }O ¿O ÈO ÉO ÎO òO øO BP HP `P bP cP hP iP oP ”P ›P ¡P £P ¤P ¬P ÆP ÉP ÊP ÏP ÕP ãP ŸQ ©Q îQ õQ FR LR žR ©R úR S (S .S 2S 3S :S <S ÄS ÆS ET GT ‚T „T õT ÿT U U )U *U :U <U rU €U ÖU àU V V [V bV ƒV ŒV ßV äV 5W ;W yW ~W ÑW ÒW ÙW ÚW ÛW çW /X 7X VX kX uX øX Y Y Y Y Y $Y 1Y 4Y LY WY YY bY mY sY ~Y •Y †Y “Y ŸY ¤Y ´Y µY ¹Y ºY ÆY ÑY ØY åY êY ùY Z Z Z &Z (Z )Z .Z 6Z FZ GZ RZ SZ [Z cZ oZ tZ wZ xZ „Z •Z ’Z – Z ™Z šZ ¦Z ¯Z ´Z ¸Z ÁZ [ [ ,[ /[ }[ •[ ‚[ ‰[ –[ ¬[ ®[ °[ ²[ ¿[ 1\ 7\ A\ H\ •\ – \ ½\ Á\ Â\ Æ\ Ì\ à\ ] ] ] ] ] !] '] 1] 2] 6] ]] `] ±] ¿] ^ ^ C^ S^ £^ ³^ é^ õ^ _ _ X_ a_ È_ Õ_ Ö_ Ú_ ` ` b` g` §` «` a a Ca Qa ^a ga –a ¤a ¥a ¬a ùa b b b +b .b /b <b Pb Rb ¢b §b 2c 8c 9c Ec Fc Kc Lc Sc Tc \c ]c bc cc lc mc qc rc xc yc ~c •c †c ‡c ‹c Œc ‘c ’c — c ˜c c ¡c ¥c ¦c -c ®c ºc »c Àc Ác Äc Åc Ìc Íc Ñc Òc Üc Ýc åc æc îc ïc ùc úc d d d d d d d d d (d )d .d 3d 4d 9d :d Cd Dd Nd Od Xd Yd _d `d hd id €d •d Žd §d ©d ,e /e 0e ;e <e De Ee Ke Le Re Se be ce fe ge le me qe re |e }e ‡e ˆe Že •e ”e •e ™e še ¢e £e «e ¬e ±e ²e ¹e ºe Çe Èe Òe Óe Øe Ùe Þe ße èe ée íe îe òe óe úe û e ÿe f f f f f f f f f (f )f /f 0f :f ;f Af Bf Kf Lf Qf Rf [f \f `f af jf kf sf tf yf zf •f ‚f ‡f ˆf •f Žf ’f “f ›f œf Ÿf f £f ¤f ¯f °f ¶f ·f Áf Âf Ìf Íf Òf Óf Øf Ùf Ýf Þf áf âf èf éf ñf òf ÷f øf g g g g g g g g g g 'g (g 2g 3g :g ;g @g Ag Ig Jg Og Pg ]g ^g gg hg rg sg {g |g „g …g “g ”g šg ›g ¦g §g -g ®g ¹g ºg ¿g Àg Åg Æg Êg Ëg Ôg Õg Ûg Üg ág âg êg ëg óg ôg þg ÿg h h h h h h h -h (h )h 5h 6h Jh Kh Ph Qh Th Uh Zh [h `h ah ih jh ph qh }h ~h „h …h ‹h Œh •h – h ›h œh £h ¤h ©h ªh ´h µh ¿h Àh Æh Çh Ìh Íh Ðh Ñh Ùh Úh àh áh ìh íh ñh òh üh ýh i i i i i i i i "i #i )i *i /i 0i 3i 4i 9i :i >i ?i Di Ei Mi Ni Ri Si Vi Wi ci di ii ji oi pi vi wi ƒi „i ‰i Ši •i ‘i — i ˜i œi •i £i ¤i §i ¨i ¬i -i ³i ´i ºi »i Äi Åi Éi Êi Øi Ùi Ýi Þi èi éi ñi òi ûi üi j j j j j j j j j j #j $j *j +j 3j 4j Bj Cj Mj Nj Sj Tj Yj zj {j •j €j ˆj ‰j ‘j ’j — j ˜j žj Ÿj ¤j ¥j ©j ªj ®j ¯j ¶j ·j ¾j ¿j Öj ßj àj ãj äj éj êj îj ïj ój ôj ûj üj Zj ej fj nj oj Çj k Èj k Ëj Ìj Õj k k k k k k k !k &k 'k +k ,k 6k 7k <k =k ?k @k Ik Jk Tk Uk `k ak kk lk vk wk }k ~k ƒk „k ˆk ‰k ’k “k œk •k §k ¨k ²k ³k Ík Îk Õk Ök Úk Ûk Þk ßk ëk ìk ïk ðk ük ýk l l l l l l l %l &l .l 5l 6l <l =l Dl El Ml Nl Wl Xl `l al gl hl ol pl xl yl }l ~l ƒl „l Šl ‹l •l ‘l ”l •l ™l šl žl Ÿl ¥l ¦l ®l ¯l ³l ´l ºl »l Ál Âl Æl Çl Êl Ël Ñl Òl Öl ×l Ûl Ül çl èl ìl íl õl öl ül ýl m m m m m m "m #m )m *m /m 0 m Cm Dm Jm Km Vm Wm [m \m bm cm gm hm mm nm um vm {m |m •m ‚m †m ‡m Œm •m –m —m m ¡m ¤m ¥m ¯m Ìm Ôm n &n 5n ;n Pn Xn n ·n Ãn ×n )o -o 6o 8o q #q pq xq ,r .r /r 0r t &t Et Ft mt ot #u )u *u 4u 5u 9u :u Du Eu Ku Lu Vu Wu au bu gu hu ou pu wu xu •u ‚u †u ‡u •u •u ˜u ™u žu Ÿu ¤u ¥u ¬u -u ±u ²u ·u ñu ûu “v •v w #w x x y !y ¹y »y •z •z { { { "{ | "| Q| V| } '} b} c} d} j} k} n} o} {} |} …} †} ‰} Š} •} ‘} –} — } ¡} ¢} µ} ¶} ½} ¾} È} É} Ó} Ô} Ù} Ú} à} á} å} æ} ë} ì} ð} ñ} ù} ú} ý} þ} ~ ~ ~ ~ ~ ~ !~ "~ %~ &~ 1~ 2~ 6~ 7~ A~ B~ Q~ R~ X~ Y~ ]~ ^~ g~ h~ k~ l~ u~ v~ z~ {~ •~ ‚~ …~ †~ Œ~ •~ ˜~ ™~ ¡~ ¢~ ¨~ ©~ ¬~ -~ ´~ µ~ ¿~ À~ Ç ~ È~ Ï~ Ð~ Ø~ Ù~ Û~ Ü~ å~ æ~ ê~ ë~ ð~ ñ~ ý~ þ~ • • • • • • !• "• *• +• 2• 3• =• >• B• € +€ Æ€ Ò€ • • -• *• +• 2• 3• >• ?• H• I• L• M• S• T• X• Y• [• \• e• f• m• n• u• v• |• }• •• ‚• •• Ž• •• – • œ• •• £• ¤• «• ¬• ¯• °• ¹• º• Á• • Ë• Ì• Ó• Ô• Þ• ß• ç• è• ý• þ• ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ ‚ !‚ "‚ %‚ &‚ 0‚ 1‚ 8‚ 9‚ =‚ >‚ B‚ C‚ K‚ L‚ O‚ P‚ U‚ V‚ ^‚ _‚ c‚ d‚ i‚ j‚ q‚ r‚ }‚ ~‚ Š‚ ‹‚ •‚ ‘‚ •‚ – ‚ Ÿ‚ ‚ ¦‚ §‚ ¬‚ ­‚ ¶‚ ·‚ º‚ »‚ È‚ É‚ Ë‚ Ì‚ Ñ‚ Ò‚ ׂ Ø‚ Ü‚ Ý‚ è‚ é‚ ì‚ í‚ ó‚ ô‚ û‚ ü‚ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ ƒ 'ƒ (ƒ 2ƒ 3ƒ 9ƒ :ƒ ?ƒ @ƒ Hƒ Iƒ Oƒ oƒ pƒ yƒ zƒ }ƒ ~ƒ ‡ƒ ˆƒ Œƒ •ƒ ’ƒ “ƒ — ƒ ˜ƒ •ƒ žƒ ¥ƒ ¦ƒ ªƒ «ƒ °ƒ ±ƒ µƒ ¶ƒ »ƒ ¼ƒ ¾ƒ ¿ƒ Ƀ у Òƒ Öƒ ׃ àƒ áƒ çƒ èƒ òƒ óƒ øƒ ùƒ þƒ ÿƒ „ Pƒ Zƒ [ƒ Áƒ „ ƒ „ ȃ „ „ „ „ „ „ !„ („ )„ /„ 0„ 8„ 9„ E„ F„ J„ f„ h„ ¢„ ©„ ,… 3… 4… ;… <… G… H… L… M… P… Q… X… Y… ^… _… d… e… k… l… w… x… … €… Š… ‹… “… ”… ¡… ¢… ¦… §… ²… ³… ¹… º… À… Á… Æ… Ç… Ë… Ì… Ó… Ô… Û… Ü… ã… ä… í… î… ô… õ… û… ü… † † † † † † † -† '† († 0† 1† <† =† F† G† N† O† S† T† `† a† e† f† k† l† s† t† x† y† }† ~† „† …† •† Ž† ”† •† ™† š† ¢† £† ¨† ©† ®† ¯† ¿† À† Ɔ dž Ò† Ó† Ú† Û† ߆ à† ê† ë† ð† ñ† õ† ö† ü† ý† ‡ ‡ ‡ ‡ ‡ ‡ ‡ ‡ ‡ ‡ $‡ %‡ *‡ +‡ 2‡ 3‡ >‡ ?‡ H‡ I‡ O‡ P‡ T‡ U‡ \‡ ]‡ `‡ a‡ e‡ f‡ m‡ n‡ u‡ v‡ {‡ |‡ €‡ •‡ ‰ ‡ Š‡ –‡ — ‡ ¢‡ £‡ ª‡ «‡ ¶‡ ·‡ ¾‡ ¿‡ Ç ć ɇ ʇ Ö‡ ׇ ܇ ݇ è‡ é‡ ó‡ ô‡ þ‡ ÿ‡ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ &ˆ 'ˆ 4ˆ 5ˆ =ˆ >ˆ Bˆ Cˆ Jˆ Kˆ Pˆ Qˆ Uˆ Vˆ ^ˆ _ˆ hˆ iˆ sˆ tˆ ˆˆ ‰ˆ Œˆ •ˆ •ˆ ‘ˆ –ˆ — ˆ œˆ •ˆ ¡ˆ ¢ˆ ¦ˆ §ˆ ®ˆ ¯ˆ ³ˆ ´ˆ ºˆ »ˆ ˆ È ˈ ̈ Ј ш ܈ ݈ áˆ âˆ ìˆ íˆ òˆ óˆ öˆ ÷ˆ ÿˆ ‰ ‰ ‰ ‰ ‰ ‰ ‰ ‰ ‰ %‰ &‰ +‰ ,‰ /‰ 0‰ 8‰ 9‰ G‰ G‰ H‰ I‰ I‰ J‰ J‰ K‰ L‰ M‰ N‰ O‰ P‰ Q‰ R‰ S‰ o‰ u‰ 4 O * M O P • , ‹ Ž ¯ ° L 5 L ‚ O 7 P 8 =! „ Í >! … Î ¦! } h §! ~ ® ¯ § i Ò Ó ¤ &" '" ¬" -" ¨ ¥ B C ± / ² 0 Ü ‘ ’ Þ # # 9 •# €# $ $ {$ }$ ª& «& {( |( g* h* à* á* ö* ÷* Æ+ Ç+ Ü+ Ý+ â, ã, k. l. Œ/ •/ ¥/ ¦/ 30 40 B1 C1 12 22 r2 s2 m4 n4 5 5 ô5 õ5 7 7 Â7 Ã7 9 : : ³: ´: •; ž; < < à< á< »? ¼? UB VB ðE òE F /F ¸G ¹G eH fH iK jK O ¡O ÁO ÂO ¥Q ¦Q S S %V &V Y Y †Z ‡Z ] !] ;] <] ×] Ø] -^ ®^ Å^ Æ^ w_ x_ 1` 2` L` M` %b &b ùb úb %e &e Hh Ih ëj ìj ¬l -l àp áp Âq Ãq Ýq Þq îs ïs ¢v ¤v ãw x Px ¸x ìx îx y y Wy Yy •y Žy Ôy €z Äz Çz Û| Ü| ó~ ô~ • • ó• ô• ‚ ‚ µ‚ ¶‚ š„ ›„ ö‡ ÷‡ uˆ ¼ˆ ûˆ ‰ B‰ E‰ s‰ ˆ‰ µ‰ ¸‰ Š Š ½• ¾• :• ;• ‘ ‘ <‘ =‘ ’ .’ S” T” ´• µ• Fœ Gœ Jž Kž Ÿ Ÿ 9Ÿ :Ÿ ¡ ¡ 5¢ 6¢ º¤ »¤ †¦ ‡¦ æ© ç© µ µ ?µ @µ O¶ P¶ ú¸ û¸ K¼ L¼ ù¼ ú¼ -½ ½ À¿ Á¿ 'À (À -À ®À   ýà þÃ Æ Æ QÇ RÇ ¸Ç ¹Ç iÈ jÈ ÷È øÈ ^É _É ßÌ àÌ Í Í ¢Ï £Ï KÑ LÑ Ò Ò :Ò ;Ò cÖ eÖ fÖ pÖ qÖ “Ö ”Ö ¬Ö -Ö ½Ö ¿Ö ÍÖ ÎÖ × -× 1× 2× Ì× Î× Ø Ø rØ tØ •Ø ŽØ Ù Ù !Ù #Ù KÙ LÙ ’Û “Û Ý Ý äÝ åÝ ïÝ ð Ý Þ Þ *Þ +Þ ;Þ =Þ SÞ TÞ ŒÞ ŽÞ ¾Þ ¿Þ 5ß 7ß cß dß Áß Ãß Üß Ýß `à bà kà là ¶à ¸à Ùà Úà Aá Cá _á `á zá {á ã ã çä èä ñä òä å å -å å /å 1å På Qå å ¢å Øå Ùå Næ Pæ qæ ræ Úæ Üæ öæ ÷æ %ç &ç né oé Òê Óê îê ïê ë ë ë ë ë ë 1ë 2ë Dë Eë lë më åí æí æï çï Êð Ëð ^ñ _ñ ðó òó >ô ?ô êõ ëõ üö ýö ëø ïø 1ù 2ù íù îù ›ú ×ú ÿû ü Áý Âý w x e f . q s ¸ ¹ á â 6 ) * 8 9 C D ¡ ¢ · ¸ þ ÿ P 7 X Y ; < q r í î F G • € - ® Q ‰ Š ² ³ ! " ‹ Œ Á Â Ò Ó ê ë ¤ ¥ ú û £ Õ ¤ Ö N M 0! $ · , % ¸ - I ¨ 0- J ¬ © ã ä 1- z { ´ õ c µ ÷ d ‡ ÿ ˆ # < J $ > K ± p Ž ² q • x † Å y ˆ Æ 1! -# .# $ $ ˆ$ ‰$ z% {% ´' µ' ( -( J( K( Ž( •( ©( ª( ø( ù( d) e) Î) Ï) I* J* M+ N+ ó+ ô+ s- t2. 3. -. ®. å. æ. =/ >/ €/ •/ »/ ¼/ ©0 ª0 ÷0 ø0 (1 )1 <1 =1 T1 U1 d1 e1 }1 ~1 •1 •1 ´1 µ1 Ò1 Ó1 ù1 ú1 2 2 2 2 "2 #2 J2 K2 d2 e2 {2 |2 ¬2 -2 3 3 D3 E3 n3 o3 ‰4 Š4 5 5 v5 w5 ÿ5 6 I6 J6 ˜6 ™6 É6 Ê6 û6 ü6 7 7 47 57 S7 T7 {7 |7 7 ¡7 ý8 þ8 : : >: ?: Ì? Í? •A •A ÄA ÅA FC GC „C …C ¯C °C (F )F ÌF ÍF íF îF :G ;G G ¡G ØG ÙG H H …H †H ÚH ÛH >I ?I ”I •I J J Ÿ J J K !K ZK [K “K ”K L L ˆL ‰L ¿L ÀL M M N N ~N €N ®N ¯N ¹N ºN !O "O qO rO ¿O ÀO ÇO ÈO ñO òO aP bP ÈP ÉP îQ ïQ (S )S 2S 3S ·S ¸S 9T :T wT xT ôT õT þT ÿT )U *U qU rU ÕU ÖU V V ƒV „V ÞV ßV 5W 6W xW yW ·W ¸W ÑW ÒW ÙW ÚW 1X 7X UX VX uX €X Y Y Y Y Y Y LY MY XY YY †Y ‡Y ºY ¿Y ÑY ÓY åY æY ùY úY Z Z 'Z (Z 6Z 7Z QZ RZ cZ dZ vZ wZ — Z ™Z ¸Z ºZ •[ •[ ª[ ¬[ ½\ ¿\ ] ] '] .] ^] `] ±] ²] C^ D^ ¢^ £^ é^ ê^ W_ X_ È_ É_ Ô_ Õ_ b` c` ¦` §` Ca Da b .b ¢b £b 2c 3c Ýc Þc •d €d .e /e šf ›f ’g “g h h Øh Ùh ²i ³i )j *j Aj Bj pl ql •l žl !m "m Bm Cm ®m ¯m Ìm Ím 4n 5n Pn Qn Ÿn n Ön ×n 7o 8o $t &t Et Ft { { b} c} Ñ€ Ò€ „ „ G‡ H‡ A‰ G‰ G‰ I‰ I‰ J‰ J‰ L‰ M‰ O‰ P‰ R ‰ S‰ r‰ u‰ 1 1 cÖ eÖ , , d d € ® ¯ % & z ™# š# m( s( 1) 1) ~/ •/ l1 r1 É1 Ì1 4 4 %4 %4 &4 &4 î: ï: þ< þ< ‘C ’C ™C šC D D UD WD 9E 9E ZE \E §H §H éH éH RI RI :S :S ÄS ÄS ET ET ‚T ‚T :U :U xY ~Y ®Y ´Y •d Žd pq vq /r 0r mt ot ñu òu ¹y ¹y ºy »y f„ f„ ¢„ ¨„ F‰ G‰ G‰ I‰ I‰ J‰ J‰ L‰ M‰ O‰ P‰ R‰ S‰ o‰ u ‰ F Ô ®\ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ _g. NšZ€ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ …X€ >ã mÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ô • |ÈXŠÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ zqN ÝÖ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ å u > :oØ Ê•È ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ F0 }ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 2Èèºÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ þ;•8ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ °•µ ø?½ ©-· ¢r8Íÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÈiÐ î‹LØÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ó b trŽŸÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ n&˜ fÕ tÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ™UO BÈUÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ™~d x^t ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ì%Ú ˆÚ•Gÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ¨ " |7 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Äg2 (³TÓÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ !|C `u ¢ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ •VßLoÄØÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ë ë'„›Üÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ {+´(ˆ€ ¯ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ˆf *Â㎂ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ñ ÿ+ å²-ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ­W41¨•ŽÓÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Té2`lüÑÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ëh 6Ú%®1ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ D-æ;Š n=ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ yb$<Úí@ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ól =Ø|B ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ < ¡=*þØ»ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ’,¯=-kÞ9ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÇlÈ=~ç ªÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ë ÛE s°Žÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ D=¿G`¬v•ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ «bDJz #ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ œoáJ*b‚(ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 39¬Kô=œ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ íXBSä¾"¾ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ zN¦SÆS0Lÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ (+èSÀ — ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ªh‹YÀ•vÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ Ÿj=\ü…ò?ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ u +] ¾Ž°ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ $T_] ×0òÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ %‡^0càûÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ çNC_zŒÊ?ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ 8.¯iÞ ˜¤ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ •Ïi– …p³ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ¿?ýj MžÌÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ „w^m Á`‰ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ›[ùp➸ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ¥ qB4® ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ x ·sHdt3ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ç /t¤ÁPlÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ús™tªír•ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ H öv|c¢Õÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ßzÐw ³ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ^;{È Ò ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ò ä|0‡‚þÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ hAö|xaŒ)ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ T@¿~ Á^Æÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ „Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( ) € „ „˜þ^„ `„˜þ . ‚ „p „Lÿ^„p `„Lÿ . € „@ „˜þ^„@ `„˜þ . € „ „˜þ^„ `„˜þ . ‚ „° „˜þ^„° `„˜þ . ^„€ `„˜þ . ‚ „ „˜þ^„ `„˜þo( „â „˜þ^„â `„˜þ‡h ˆH . „² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h ˆH . „‚ „˜þ^„‚ `„˜þ‡h ˆH . € „R „à ‚ € „Lÿ^„à `„Lÿ . € „P „Lÿ^„P `„Lÿ . € € „€ . „˜þ „˜þ^„R `„˜þ‡h ˆH „" „Lÿ^„" „ò „˜þ^„ò „ „˜þ^„ „’ „Lÿ^„’ Ð `„˜þo( . „ „˜þ^„ „p „Lÿ^„p „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH „ . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ ˆH ˆH . . ‚ € € „Ð „˜þ^„ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . „à „Lÿ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ^„P `„Lÿ‡h Ð ^„Ð `„˜þ^J ) „˜þ^J . . h „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ h h h „ „p „@ h „ „Lÿ Æ p „Ð „˜þ Æ „˜þ Æ ^„ ` ^„p `„Lÿ^J „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . . h h h „P „Lÿ Æ Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( ‚ „@ „˜þ^„@ `„˜þ . € „€ P ) „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . ^„P `„Lÿ^J . € „ „˜þ^„ `„˜þ „p „Lÿ^„p `„Lÿ . € „ h „ . „˜þ^„ `„˜þ . ^„€ `„˜þ „ „˜þ^„ € „˜þ^„@ `„˜þ . ‚ „° . `„˜þ € „à „˜þ^„° `„˜þ . ‚ „Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( . ‚ „@ „ „Lÿ^„à `„Lÿ . € € „€ „˜þ „P „Lÿ^„P `„Lÿ . . € „p „Lÿ^„p `„Lÿ . „˜þ^„ `„˜þ . ‚ „° „à „Lÿ^„à `„Lÿ . „˜þ^„° `„˜þ . € ^„€ `„˜þ . ‚ „P „Lÿ^„P `„Lÿ Ð „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þOJ PJ QJ ^J h „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . „p „Lÿ Æ p ^„p `„Lÿ^J . h @ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J . h „ € „€ „˜þ . ) h „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . . h „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . h „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . h „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ^J . „ „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( ·ð € „p „˜þ^„p `„˜þOJ QJ ^J o( o € „@ „˜þ^„@ `„˜þOJ QJ o( §ð € „ h „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( ·ð € o( o € „° „˜þ^„° `„˜þOJ QJ „€ „˜þ^„€ `„˜þOJ QJ `„˜þOJ QJ ^J o( o „ „˜þ^„ `„˜þOJ QJ „à o( o( §ð ·ð € € „˜þ^„à `„˜þOJ „P € o( §ð „ QJ ^J „˜þ^„P „˜þ^„ `„˜þo( . € „Ü „¬ „˜þ^„| `„˜þ . € „Lÿ^„¬ `„Lÿ . „L „˜þ^„Ü `„˜þ € . ‚ „| „˜þ^„L `„˜þ . ‚ „ì „˜þ^„ì `„˜þ . ^„¼ `„˜þ . ‚ „Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . „p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h ˆH . „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ „ „Lÿ^„ `„Lÿ . € „Œ „Lÿ^„Œ `„Lÿ . € ‚ € € „¼ . „˜þ „˜þ^„ `„˜þ‡h „à „° „€ „P „ „¨ ˆH „Lÿ^„à „˜þ^„° „˜þ^„€ „Lÿ^„P „˜þ^„ „˜þ^„Ø . ‚ `„Lÿ‡h ˆH . `„˜þ‡h ˆH . `„˜þ‡h ˆH . `„Lÿ‡h ˆH . `„˜þOJ QJ o( ·ð `„˜þOJ QJ ^J o( € € ‚ € o „Ø € „˜þ^„¨ `„˜þOJ QJ o( §ð „x „˜þ^„x `„˜þOJ `„˜þOJ QJ ^J o( „ „˜þ^„ `„˜þOJ „è „˜þ^„è `„˜þOJ `„˜þOJ QJ ^J o( „ˆ „˜þ^„ˆ `„˜þOJ 8 ^„8 `„˜þ^J o( „ `„˜þ^J . . „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J . € QJ o( o QJ QJ o( o( o € „H „˜þ^„H §ð ·ð € € „¸ „˜þ^„¸ € QJ ( ·ð € o( §ð Ð ) Ð Ð Ð „p „@ Ð „ „ „Lÿ Æ p „8 „˜þ Æ „˜þ Æ ^ ^„p `„Lÿ^J „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . . Ð Ð Ð 8 „P „Lÿ Æ „˜þ^„8 `„˜þo( ‚ `„Lÿ . „€ P . € „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . ^„P `„Lÿ^J . € „ „˜þ^„ `„˜þ „Ø „Lÿ^„Ø „¨ Ð „ . „˜þ^„¨ `„˜þ . € „H „Lÿ^„H `„Lÿ . ^„ `„˜þ . € „¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ^J o( . ^„ `„˜þ^J . ÿ^J . „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ5 ^J . „x „˜þ^„x `„˜þ . € „è „˜þ^„è `„˜þ ‚ „ . . „ „p „@ „ „Lÿ Æ p „˜þ ‚ „Ð „˜þ Æ ^„p `„L „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . „ „¨ . „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ^J . „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( ·ð € „Ø „˜þ^„Ø `„˜þOJ QJ ^J o( o € „˜þ^„¨ `„˜þOJ „x `„˜þOJ „ „è `„˜þOJ „ˆ `„˜þOJ € € € „˜þ^„@ `„˜þOJ QJ o( §ð € „˜þ^„x `„˜þOJ QJ o( ·ð € QJ ^J o( o € „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( §ð € „˜þ^„è `„˜þOJ QJ o( ·ð € QJ ^J o( o € „˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o( §ð PJ QJ ^J o( „ „˜þ^„ `„˜þOJ „p „˜þ^„p `„˜þOJ „@ QJ o( ‡h ˆH ·ð € h QJ QJ „H „˜þ^„H „¸ „˜þ^„¸ „Ð „˜þ^„Ð ^J o( ‡h o( ‡h ˆH „ ˆH §ð o „˜þ^„ `„˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH o `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð € OJ QJ o( ‡h ˆH ·ð € QJ ^J o( ‡h ˆH o € QJ o( ‡h ˆH §ð € „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . „p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h ˆH . „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ € „Ð ‚ € „à „˜þ^„à „° „˜þ^„° `„˜þ „€ „˜þ^„€ `„˜þOJ „P „˜þ^„P `„˜þOJ „˜þ^„Ð `„˜þo( . „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „à „Lÿ^„à „° „˜þ^„° „€ „˜þ^„€ „P „Lÿ^„P Ð `„˜þo( ) „ „˜þ^„ „p „Lÿ^„p „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH „ . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ ˆH ˆH . . ‚ € € „Ð „˜þ^„ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „à „Lÿ^„à `„Lÿ‡h ˆH „° „˜þ^„° `„˜þ‡h ˆH „€ „˜þ^„€ `„˜þ‡h ˆH „P „Lÿ^„P `„Lÿ‡h ˆH â `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð ˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH o „˜þ^„‚ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð . . . . € € ‚ h • • • h h h „² „‚ „R „â „˜þ^„ „˜þ^„² `„ „˜þ^„R `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð OJ QJ ^J o( ‡h ˆH o OJ QJ o( ‡h ˆH §ð • QJ o( ‡h ˆH ·ð • ^J o( ‡h ˆH o • o( ‡h ˆH §ð „Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( ‡h ˆH „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h ˆH „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ • • h h h h h „’ „b . . . € ‚ € „" „˜þ^„" `„˜þ „ò „˜þ^„ò `„˜þ „ „˜þ^„ `„˜þOJ „˜þ^„’ `„˜þOJ QJ „˜þ^„b `„˜þOJ QJ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „à „Lÿ^„à „° „˜þ^„° „€ „˜þ^„€ „P „Lÿ^„P Ð `„˜þo( . „˜þ^„@ `„˜þ . . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € „p € ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ „ „Lÿ^„p `„Lÿ . „ „˜þ^„ € `„˜þ „Ð . „˜þ^„ ‚ „@ „˜þ^„ `„˜þ . ^„€ `„˜þ „p „Lÿ Æ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J ‚ „° . „ p . „à „Lÿ^„à `„Lÿ . „˜þ^„° `„˜þ . € ‚ „P „Lÿ^„P `„Lÿ „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ^J o( . „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . ^„p `„Lÿ^J . „ € „€ . „@ „˜þ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . 8 . „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ^J . „˜þ^„8 `„˜þo( . € „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . ‚ „Ø „Lÿ^„Ø `„Lÿ‡h ˆH . € „¨ „ „˜þ^„¨ `„˜þ‡h „x „H „ „è „¸ „ „¨ ˆH „˜þ^„x „Lÿ^„H „˜þ^„ „˜þ^„è „Lÿ^„¸ „˜þ^„ „˜þ^„Ø . € `„˜þ‡h ˆH . `„Lÿ‡h ˆH . `„˜þ‡h ˆH . `„˜þ‡h ˆH . `„Lÿ‡h ˆH . `„˜þOJ QJ o( ·ð `„˜þOJ QJ ^J o( ‚ € € ‚ € o „Ø € „˜þ^„¨ `„˜þOJ „x `„˜þOJ „ „è `„˜þOJ „ˆ `„˜þo( „ „p „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h „ QJ o( §ð € „˜þ^„x `„˜þOJ QJ o( QJ ^J o( o € „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( „˜þ^„è `„˜þOJ QJ o( QJ ^J o( o € „˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o( . € „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „Lÿ^„p `„Lÿ‡h ˆH ˆH . € ·ð € „H „˜þ^„H §ð ·ð € € „¸ „˜þ^„¸ „Ð „˜þ^„Ð §ð . . ‚ € „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . „à „Lÿ^„à `„Lÿ‡h „° „˜þ^„° `„˜þ‡h „€ „˜þ^„€ `„˜þ‡h „P „Lÿ^„P `„Lÿ‡h ^„ `„˜þ^J o( p `„˜þ5 6 OJ PJ QJ „Lÿ Æ @ ^„@ `„Lÿ^J . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . o( . . . . € € ‚ „p àð „ „ „˜þ Æ „@ „˜þ Æ p ^„ „˜þ Æ ^„ `„˜þ5 . ^J . „P „ „Lÿ Æ `„Lÿ^J „€ P „p „˜þ^„p `„˜þ . „ € „@ „Lÿ^„@ `„Lÿ . „˜þ Æ ^„ „à „˜þ Æ à ^„à `„˜þ^J „° „Lÿ Æ ° ^„° `„Lÿ^J . „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . ^„P `„˜þ^J . € . „ „˜þ^„ ‚ `„˜þo( . „˜þ^„ `„˜þ . ^„€ `„˜þ `„Lÿ € „° . „à „Lÿ^„° `„Lÿ € „ „Lÿ^„ . . „ „p „Lÿ^„@ `„Lÿ . € „˜þ^„p `„˜þ . „ „˜þ^„à `„˜þ . € „P „˜þ^„P `„˜þ „˜þ^„ ‚ `„˜þo( ‚ „€ . . „˜þ ‚ € „@ „˜þ^„ `„˜þ . ^„€ `„˜þ `„Lÿ . ·ð o „˜þ^„‚ `„˜þOJ QJ H H € „° . • • o( ‡h „à „Lÿ^„° `„Lÿ € „ „Lÿ^„ h h h ˆH §ð . „² „‚ • „˜þ^„à `„˜þ . € „P „˜þ^„P `„˜þ „â „˜þ^„â `„˜þOJ „˜þ^„² `„˜þOJ QJ h ‚ „€ . QJ ^J „R o( ‡h o( ‡h „˜þ ‚ ˆ ˆ „˜þ^„R `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð • OJ QJ ^J o( ‡h ˆH o • OJ QJ o( ‡h ˆH §ð • QJ o( ‡h ˆH ·ð • ^J o( ‡h ˆH o • o( ‡h ˆH §ð € „ „˜þ^„ „Ø „Lÿ^„Ø `„Lÿ . € h h h h h „8 `„˜þ . „" „˜þ^„" `„˜þ „ò „˜þ^„ò `„˜þ „ „˜þ^„ `„˜þOJ „’ „˜þ^„’ `„˜þOJ QJ „b „˜þ^„b `„˜þOJ QJ „˜þ^„8 `„˜þo( . ‚ „¨ „˜þ^„¨ `„˜þ . € „H „Lÿ^„H `„Lÿ . ^„ `„˜þ . € „¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ „˜þ Æ 8 ^„8 `„˜þ^J o( ( ) ^„ `„˜þ^J . „Lÿ^J . „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J . „x „˜þ^„x `„˜þ . € „è „˜þ^„è `„˜þ ‚ „ . . „ „p „@ „ „Lÿ Æ p „˜þ ‚ „8 „˜þ Æ ^„p ` „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . . „P „Lÿ Æ Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( ‚ „@ „˜þ^„@ `„˜þ . € „€ P ) „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . ^„P `„Lÿ^J . € „ „˜þ^„ `„˜þ „p „Lÿ^„p `„Lÿ . € „ „ . „˜þ^„ `„˜þ . ^„€ `„˜þ „p „Lÿ Æ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J ‚ „° . „ p . „à „Lÿ^„à `„Lÿ . „˜þ^„° `„˜þ . € ‚ „P „Lÿ^„P `„Lÿ „Ð „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ^J o( ) „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . ^„p `„Lÿ^J . „ € „€ . „@ „˜þ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . Û . „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „€ „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . „P „Lÿ Æ P ^„P `„Lÿ^J . „ „õû Æ Û ^„Û `„õû^J o( ) „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . „Ø „Lÿ Æ Ø ^„Ø `„Lÿ^J . „¨ „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ^J . ¸ 8 . „x „˜þ Æ x ^„x `„˜þ^J „Lÿ Æ H ^„H `„Lÿ^J . „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . „è „˜þ Æ è ^„è `„˜þ^J . „ „Lÿ Æ ¸ ^„¸ `„Lÿ^J . „8 „˜þ Æ ^„8 `„˜þ^J o( ) „« „õû Æ « ^„« `„õû^J o( . „Ø „Lÿ Æ Ø ^„Ø `„Lÿ^J . „¨ „H „˜þ Æ ¨ ^„¨ `„˜þ^J . . „x „˜þ Æ x ^„x `„˜þ^J „Lÿ Æ H ^„H `„Lÿ^J . „ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . „è „˜þ Æ è ^„è `„˜þ^J . „ ¸ „Lÿ Æ ¸ ^„¸ `„Lÿ^J . h „â „˜þ^„â ` „˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð • h „² „˜þ^„² `„˜þO J QJ ^J o( ‡h ˆH o • h „‚ „˜þ^„‚ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð • h „R „H „˜þ^„R `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð OJ QJ ^J o( ‡h ˆH o OJ QJ o( ‡h ˆH §ð • QJ o( ‡h ˆH ·ð • ^J o( ‡h ˆH o • o( ‡h ˆH §ð ) h h „@ „Lÿ Æ @ ^„@ `„Lÿ^J . h • • h h h h h h „p „˜þ Æ „ „ p „" „˜þ^„" `„˜þ „ò „˜þ^„ò `„˜þ „ „˜þ^„ `„˜þOJ „’ „˜þ^„’ `„˜þOJ QJ „b „˜þ^„b `„˜þOJ QJ „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J ^„p `„˜þ5 ^J . „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . . h h h „P „Lÿ Æ `„Lÿ^J „€ P „˜þ Æ ^„ . „ € „² „Lÿ^„² `„Lÿ „˜þ^„‚ `„˜þ . € „à „˜þ Æ à ^„à `„˜þ^J „° „Lÿ Æ ° ^„° `„Lÿ^J . „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . ^„P `„˜þ^J . h „â . „˜þ^„â `„˜þ € . „R „˜þ^„ ‚ „‚ `„˜þo( . h „ „˜þ^„R `„˜þ . ‚ „ò „˜þ^„ò `„˜þ . ^„ `„˜þ . ‚ „ „˜þ^„ `„˜þo( „â „˜þ^„â `„˜þ‡h ˆH . „² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h ˆH . „‚ „˜þ^„‚ `„˜þ‡h ˆH . € „R „" ‚ € „Lÿ^„" `„Lÿ . € „’ „Lÿ^„’ `„Lÿ . € € „ . „˜þ „˜þ^„R `„˜þ‡h ˆH „" „Lÿ^„" „ò „˜þ^„ò „ „˜þ^„ „’ „Lÿ^„’ Ð `„˜þo( . „˜þ^„@ `„˜þ . . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € „p € ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ „ „Lÿ^„p `„Lÿ . „ „˜þ^„ € `„˜þ „Ð . „˜þ^„ ‚ „@ „˜þ^„ `„˜þ . ‚ „° „˜þ^„° `„˜þ . ^„€ `„˜þ . ‚ „ „˜þ^„ `„˜þo( „â „˜þ^„â `„˜þ‡h ˆH . „² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h ˆH . „‚ „˜þ^„‚ `„˜þ‡h ˆH . € „R „à ‚ € „Lÿ^„à `„Lÿ . € „P „Lÿ^„P `„Lÿ . € € „€ . „˜þ „˜þ^„R `„˜þ‡h ˆH . ‚ „" „Lÿ^„" `„Lÿ‡h ˆH „ò „˜þ^„ò `„˜þ‡h ˆH „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „’ „Lÿ^„’ `„Lÿ‡h ˆH `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð ˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH o „˜þ^„@ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð . . . . € € ‚ h • • • h h h „p „@ „ „ „˜þ^„ „˜þ^„p `„ „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð OJ QJ ^J o( ‡h ˆH o OJ QJ o( ‡h ˆH §ð • QJ o( ‡h ˆH ·ð • ^J o( ‡h ˆH o • `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð þo( . € „p „Lÿ^„p `„Lÿ „˜þ^„@ `„˜þ . € • • h h h h h „ . „ „˜þ^„ € „à „˜þ^„à `„˜þ „° „˜þ^„° `„˜þ „€ „˜þ^„€ `„˜þOJ „P „˜þ^„P `„˜þOJ QJ „ „˜þ^„ „Ð „˜þ^„Ð `„˜ `„˜þ . ‚ „@ „˜þ^„ `„˜þ . ‚ „° „˜þ^„° `„˜þ . ^„€ `„˜þ . ‚ „ „˜þ^„ `„˜þo( „â „˜þ^„â `„˜þ‡h ˆH . „² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h ˆH . „‚ „˜þ^„‚ `„˜þ‡h ˆH . € „R „à ‚ € „Lÿ^„à `„Lÿ . € „P „Lÿ^„P `„Lÿ . € € „€ . „˜þ „˜þ^„R `„˜þ‡h „" „ò „ „’ ˆH „Lÿ^„" „˜þ^„ò „˜þ^„ „Lÿ^„’ . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ „ „˜þ^„ `„˜þo( . € „Ü „¬ „˜þ^„| `„˜þ . € „Lÿ^„¬ `„Lÿ . „L „˜þ^„Ü `„˜þ € . ‚ „| „˜þ^„L `„˜þ . ^„¼ `„˜þ „ ‚ „ì . „˜þ^„ `„˜þ `„Lÿ . „ „˜þ^„ì `„˜þ . ‚ „8 „˜þ^„8 `„˜þo( . ‚ € „Lÿ^„ `„Lÿ . € € „¼ „Œ „Lÿ^„Œ `„Lÿ . . € „Ø „Lÿ^„Ø „¨ „˜þ „˜þ^„¨ `„˜þ . € „H „Lÿ^„H `„Lÿ . ^„ `„˜þ . € „¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ „0ý^„ `„0ýo( . € „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . „Ø „Lÿ^„Ø `„Lÿ‡h ˆH „¨ „x „˜þ^„x `„˜þ . € „è „˜þ^„è `„˜þ . ‚ . € ‚ „ . „˜þ ‚ „ „˜þ^„¨ `„˜þ‡h ˆH . € „x „˜þ^„x `„˜þ‡h ˆH „H „Lÿ^„H `„Lÿ‡h ˆH „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „è „˜þ^„è `„˜þ‡h ˆH „¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ‡h ˆH â `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð ˜þOJ QJ ^J o( ‡h ˆH o „˜þ^„‚ `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH §ð . . . . . ‚ € € ‚ h • • • h h h „² „‚ „R „â „˜þ^„ „˜þ^„² `„ „˜þ^„R `„˜þOJ QJ o( ‡h ˆH ·ð OJ QJ ^J o( ‡h ˆH o OJ QJ o( ‡h ˆH §ð • QJ o( ‡h ˆH ·ð • ^J o( ‡h ˆH o • o( ‡h ˆH §ð „ p `„Lÿ . „˜þ^„@ `„˜þ . „˜þ^„ € € `„˜þ • • h h h h h „Ð . „’ „b „˜þ^„Ð `„˜þo( ‚ „@ „ „" „˜þ^„" `„˜þ „ò „˜þ^„ò `„˜þ „ „˜þ^„ `„˜þOJ „˜þ^„’ `„˜þOJ QJ „˜þ^„b `„˜þOJ QJ . € „p „Lÿ^„ „˜þ^„ `„˜þ . ‚ „° „˜þ^„° `„˜þ . ^„€ `„˜þ . ‚ „Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( „ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH . „p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h ˆH . „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH . € „ „à ‚ € „Lÿ^„à `„Lÿ . € „P „Lÿ^„P `„Lÿ . € € „€ . „˜þ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „à „Lÿ^„à „° „˜þ^„° „€ „˜þ^„€ „P „Lÿ^„P `„˜þo( . „â „˜þ^„â „² „Lÿ^„² „‚ „˜þ^„‚ `„˜þ‡h ˆH „R . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ ˆH ˆH . . ‚ € € „ „˜þ^„ „˜þ^„R `„˜þ‡h ˆH . „" „Lÿ^„" `„Lÿ‡h „ò „˜þ^„ò `„˜þ‡h „ „˜þ^„ `„˜þ‡h „’ „Lÿ^„’ `„Lÿ‡h Ð ^„Ð `„˜þ^J o( ^„ `„˜þ^J . . „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ^J . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH ( . . . . € € ‚ ) „p „@ „ „Lÿ Æ „ p „Ð „˜þ Æ „˜þ Æ ^„p `„Lÿ^J „˜þ Æ ^„ `„˜þ^J . . „P „Lÿ Æ ¤ „˜þ^„¤ `„˜þo( ‚ „ „˜þ^„ `„˜þ . € „€ P . „à „Lÿ Æ à ^„à `„Lÿ^J „° „˜þ Æ ° ^„° `„˜þ^J . „˜þ Æ € ^„€ `„˜þ^J . ^„P `„Lÿ^J . € „t „˜þ^„t `„˜þ „D „Lÿ^„D `„Lÿ . € „ä „ . „˜þ^„ä `„˜þ . ^„T `„˜þ `„˜þ ‚ „„ . . „´ „˜þ^„„ `„˜þ ‚ „Ø „˜þ^„Ø € . „Lÿ^„´ `„Lÿ . € „$ „Lÿ^„$ `„Lÿ „¨ € „T . „˜þ „˜þ^„¨ `„˜þ ^„ . `„˜þ ‚ „H . „˜þ^„ˆ `„˜þ `„Lÿ . „ „˜þ^„ „˜þ^„Ø „¨ . „x „˜þ^„H `„˜þ . ‚ „¸ „˜þ^„¸ `„˜þ ‚ `„˜þOJ QJ o( ·ð `„˜þOJ QJ ^J o( . € o „Lÿ^„x `„Lÿ . € „è „Lÿ^„è `„Lÿ € „X „Lÿ^„X € „ . „Ø € „˜þ € „ˆ „˜þ^„¨ `„˜þOJ „x `„˜þOJ „ „è `„˜þOJ „ˆ `„˜þo( QJ o( §ð € „˜þ^„x `„˜þOJ QJ o( ·ð QJ ^J o( o € „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( §ð „˜þ^„è `„˜þOJ QJ o( ·ð QJ ^J o( o € „˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o( §ð . € „p „Lÿ^„p `„Lÿ „˜þ^„@ `„˜þ . € € „H „˜þ^„H € € „¸ „˜þ^„¸ „Ð „˜þ^„Ð ‚ „@ „ . „ „˜þ^„ € `„˜þ . „˜þ^„ `„˜þ ^„€ `„˜þ . ‚ „° . „p „˜þ^„p `„˜þ „Lÿ^„@ `„Lÿ . € „à „˜þ^„° `„˜þ . ‚ „ „˜þ^„ `„˜þo( . ‚ „ „Lÿ^„à `„Lÿ . € „P „Lÿ^„P `„Lÿ . € „@ € „€ . „˜þ „˜þ^„ `„˜þ . ^„€ `„˜þ `„Lÿ € „° . „à „Lÿ^„° `„Lÿ € „ „Lÿ^„ . . „Lÿ^„Ø „8 „ `„Lÿ „˜þ^„ . `„˜þ € . „˜þ^„à `„˜þ . € „P „˜þ^„P `„˜þ „˜þ^„8 `„˜þo( ‚ „¨ ‚ „€ . . „˜þ ‚ € „Ø „˜þ^„¨ `„˜þ ^„ . `„˜þ „ „¨ € „H . „˜þ^„ „˜þ^„Ø „Lÿ^„H `„Lÿ . € „¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ `„˜þOJ QJ o( ·ð `„˜þOJ QJ ^J o( „x . € o „˜þ^„x `„˜þ . € „è „˜þ^„è `„˜þ ‚ „ . „Ø € „˜þ ‚ „˜þ^„¨ `„˜þOJ „x `„˜þOJ „ „è `„˜þOJ „ˆ `„˜þo( „ „p „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h „ QJ o( §ð € „˜þ^„x `„˜þOJ QJ o( QJ ^J o( o € „˜þ^„ `„˜þOJ QJ o( „˜þ^„è `„˜þOJ QJ o( QJ ^J o( o € „˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o( . € „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „Lÿ^„p `„Lÿ‡h ˆH ˆH . € ·ð € „H „˜þ^„H §ð ·ð € € „¸ „˜þ^„¸ „Ð „˜þ^„Ð §ð . . ‚ € „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „à „Lÿ^„à „° „˜þ^„° „€ „˜þ^„€ „P „Lÿ^„P Ð `„˜þo( . „ „˜þ^„ „p „Lÿ^„p „@ „˜þ^„@ `„˜þ‡h ˆH „ . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ ˆH ˆH . . ‚ € € „Ð „˜þ^„ „˜þ^„ `„˜þ‡h ˆH „à „Lÿ^„à „° „˜þ^„° „€ „˜þ^„€ „P „Lÿ^„P `„˜þo( . „â „˜þ^„â „² „Lÿ^„² „‚ „˜þ^„‚ `„˜þ‡h ˆH „R . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h € `„˜þ‡h `„Lÿ‡h . ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . € € ‚ ˆH ˆH . . ‚ € € „ „˜þ^„ „˜þ^„R `„˜þ‡h „" „ò „ „’ ˆH „Lÿ^„" „˜þ^„ò „˜þ^„ „Lÿ^„’ Ëh . `„Lÿ‡h `„˜þ‡h `„˜þ‡h `„Lÿ‡h 6 ‚ ˆH ˆH ˆH ˆH . . . . > H öv € € ‚ zqN ÈiÐ x ·s •Ïi æ; ús™t DË ë' Ÿj=\ ø?½ $T_] %‡^ q ç /t ßz * ä| ñ ÿ+ 39¬K zN¦S ô • F ól = ¥ ^;{ ™~d ’,¯= Äg2 u +] «bDJ hAö| ò (+èS !|C íXBS 8.¯i n&˜ °•µ ˆf „w^m Ì%Ú _g. -W41 T@¿~ ¿?ýj ªh‹Y ¨ " •Vßyb$< :oØ å u Té2 < ¡= ›[ùp G ó b œoáJ ÇlÈ= ™UO …X€ ©-· {+´( ë ÛE D=¿ çNC_ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ> ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! $* ! ! ! ! ! ! ! 6Ñ~Ç ! ! ! ¶èø\ ! ! ! ! ! ! ! ! ˆ–†2 ž}" ! ! ! ! ÒØ \ ! ! ! ¯>y ! ! ! ! ι|‘ ! ! ! ! ! ! ÿÿ> ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! •rÒ ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! (Ûê¦ ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ªøbô ! ! ! ! ! ! :zø¢ ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ¯>y ! ! ! ! F¶ ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! h¾P\ ! ! ! ! ! ! ! ˆ–†2 ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! †÷””!v¨ ´ÞB ! ôfºú ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! £J ! ! ! ! ! ! ! à úM ! 8• ! ! \ ^ f@Êg ! ! ! ! ! ! ! ! 1 # ! ! ! ! ! ! ´a ¿ ! ! ! ! ! ! ! ! Ì“’® ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ´a ¿ ! ! ! ! ! ! ! Sè ! ! ! ! ! ! ! ! È Öj ! ! ! ! ! ! ! ! Çlf ! ! ! ! ! ! ! ! Näb‰ ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ¢¼ ! ! ! ! ! ! ! ! deBB d‘¶ô ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! Œâ:¬ ! ! ! ! ! ! ! ! neƾ ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ìäÂð ! ! ! ! ! ! ! ! å r å4 -v — M6 ©w H+ › øR ô ë~ ‹m  ÷ Q* ^0 åR ä Q@ Ùl Hb Ô Òk - ÁP$ a"% ž3% Öy& Ð|' ,T, Ío, «gŠg1 Ð?2 J3 - ; ¨:; í(= Rj> @$A ògA ÒlJ í*K Þ L ŽIM ‹[M N " P ÷ZT , U •aU Ö V ¼ Y Ä Z ±8[ ;T] ˜ ^ ^ ` ª d ñ e ›Rf /h “•h ó)i -%l ýTl ( r ‹:r 2Qs â`u ,Qv Gw ,y Å=| =X } Y} ¯A€ àV€ ïy‚ YI‡ å<Š >BŒ gaŒ ¡)• ÷ ‘ %‘ X “ l“ I ” 'x” ð — =— é*™ : ž ‚Dž ˜Wž •FŸ g0 H&¢ XJ¢ º|¦ H§ <;ª òOª ’c¬ M ® ëp¯ Q_± G5² 8?¶ ×#· ÏE¸ ñ » f ¿ x/Á 9 à •%Ã Ò Ä k&Ä - Å •|Å -PÇ €iÇ )9É ÍMÊ %QÌ O0Î ù•Î (Ò ±hÒ o× ¢u× œMÛ à&Þ •XÞ Sß zß 2+à ~8à `@à q&â {Lã hã HEå ˜tæ ç <:è º^í °kî t5ñ Õ^ô ö Cø =Nø I:ù 0Bú jû Lü æGý >3þ G‰ I‰ ÿ@ € eÖ eÖ eÖ eÖ 4 ,] ,^ ˆ t‰ € @ € f € Ð @ € ° @ ÿÿ U n k n o w n ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ ÿÿ G-• ï* àAx À ÿ T i m e s N e w R o m a n 5-• € S y m b o l @ ÿ* àCx À Ÿ ÿ ÿ A r i a l C a l i b r i ?=• C o u r i e r N e w 7.• ï ÿ* àCx À ; (é 3.• { • ï ë B M a t h •N / È Ÿ 1 ˆ " É ðÐ ! ð € W i n g d i n g s C a m b r i a h •BÒ VÂÚÆÓRË&( ç ²: •N A-• / È ´ ´ •• 4 ˆ ˆ •É ²: • 2ƒQ ð $P üý ä a I r i z i r f a n HX ðÿ ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•<:è x x f a h r i z a 2 = ÿÿ > ! - ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = þÿ ˜ $ 0 ¤ ° À Ì à…ŸòùOh «‘ à +'³Ù0 t ø • < H T riz \ - d - l ä - - - aI Normal.dotm Office Word @ @ ¼tëBÉ @ irfan fahriza *4E æÅa‰É @ >ÄPTÊ 40 / - Microsoft ²: •N þÿ +,ù®0 è ÕÍÕœ. “— h œ ¼ p ¤ | ¬ „ ´ Œ ” É ä - É È ˆ - - Title ! . @ R " / A S e d w ‰ ˜ ª ¼ T f x Š ™ « ½ Ï Î á ó # 0 B U g y ‹ š ¬ ¾ Ð â ô $ 1 C V h z Œ › ¿ Ñ ã õ % 2 D E W i { • œ ® À Ò ä ö & 3 F X j | Ž * 7 I [ m • ‘ ± à \ n ’ ² Ä ³ Å × é û ü ] o Æ Ø ê , 9 K • “ ¢ ´ ¡ Ö è ú + 8 J € Ÿ Õ ç ù H Z • °  ) 6 l ~ ž Ô æ ø G Y • ¯ Á ( 5 k } • Ó å ÷ ' 4 ^ p ‚ ” £ µ Ç Ù ë ý : L _ q ƒ • ¤ ¶ È Ú ì þ ; M ` r „ – ¥ · É Û í ÿ < N s … > P b t † ? Q c u ‡ v ˆ — ¦ ¸ Ê Ü î = O a § ¹ Ë Ý ï ¨ º Ì Þ ð © » Í ß ñ à ò " # $ % & ' ( ) * + , þÿÿÿ0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 þÿÿÿ; < = > ? A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~ • € • ‚ ƒ „ … † ‡ ˆ ‰ Š ‹ Œ • Ž • • ‘ ’ “ ” • – — ˜ ™ š › œ • ž Ÿ ¡ ¢ £ ¤ ¥ ¦ § ¨ © ª « ¬ ® ¯ ° ± ² ³ ´ µ ¶ · ¸ ¹ º » ¼ ½ ¾ ¿ À Á Â Ã Ä Å Æ Ç È É Ê Ë Ì þÿÿÿ Î Ï Ð Ñ Ò Ó Ô þÿÿÿÖ × Ø Ù Ú Û Ü þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿý ÿÿÿýÿÿÿâ þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t E n t r y ÿÿÿÿÿÿÿÿ À F à>gàPTÊ ä € D a t a ! . @ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ e / 5 1 T a b l ÿÿÿÿ o c u m e n t a t i o n Í t i o n 8 C o m p O b j ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ : h% W o r d D ÿÿÿÿ A\ S u m m a r y I n f o r m ( ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a ÿÿÿÿÿÿÿÿ Õ y ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ ÿÿÿÿ À F' Microsoft Office Word 97-2003 Document MSWordDoc Word.Document.8 ô9²q